BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi di berbagai kawasan, khususnya integrasi dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ekonomi ini penting dilakukan bagi masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia. Salah satu bentuk integrasi ekonomi adalah dengan membentuk kawasan perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Area). Dengan dibentuknya FTA maka suatu negara akan memberikan perlakuan khusus kepada negara mitra dagangnya dan mendiskriminasi negara mitra dagang yang lain. FTA dapat berupa penetapan tarif dan non tarif yang lebih rendah bahkan tidak ada sama sekali. Dalam FTA plus, akses pasar yang lebih baik juga dikombinasikan dengan berbagai kerjasama dan kemudahan lainnya, seperti perlakuan pajak yang lebih longgar. Dengan adanya FTA diharapkan dapat meningkatkan volume perdagangan diantara kawasan tersebut sehingga masyarakatnya akan mencapai tingkat kepuasan yang paling optimal. Pada akhirnya akan mendorong tercapainya tingkat kesejahteraan yang merata diantara negara anggota. Perekonomian dunia yang semakin berkembang akan membuka hubungan perdagangan antar negara yang kian pesat, ditandai dengan semakin cepatnya aliran barang dan jasa antar negara. Menurut pendapat sebagian ahli ekonomi, perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimal mungkin pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat perdagangan dan bagi dunia serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan. Demikian pula menurut Hadi (2003) selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar negara perdagangan bebas juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Sementara Stephenson (1994) mengidentifikasikan bahwa liberalisasi perdagangan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan
2 meningkatkan akses pasar ke negara lain. Dengan demikian suatu negara akan berusaha membuka dirinya terhadap perdagangan dengan negara lainnya. Alasan diselenggarakannya liberalisasi perdagangan dalam jangka panjang yakni: Pertama, untuk membuka kesempatan bagi pengembangan industri. Hal ini dimungkinkan karena integrasi merupakan mekanisme yang mendorong pembagian tenaga kerja intra kelompok secara rasional. Sebaliknya, tanpa adanya integrasi: (1). masing-masing hanya akan menerima manfaat terbatas bila pembagian kerja terjadi pada masing-masing negara, (2). Masing-masing negara mungkin tidak akan dapat menyediakan pasar yang cukup besar untuk memberi kesempatan pada industri-industri untuk menurunkan biaya produksi melalui pengembangan skala ekonomi. Tanpa integrasi maka industri yang sama mungkin akan dibangun di dua atau lebih negara yang berdekatan. Masing-masing industri akan beroperasi di bawah kapasitas optimal dan dengan demikian akan dilindungi dari barang-barang impor dari negara lain dengan tarif yang tinggi atau hambatan non tarif. Duplikasi seperti ini bukan hanya pemborosan sumberdaya yang langka, tetapi juga konsumen dipaksa membayar harga yang lebih tinggi untuk barang yang sama dibanding bila pasar bagi barang tersebut cukup besar untuk menghasilkan produksi dengan volume tinggi, biaya murah yang dibangun di satu tempat. Industrialisasi melalui substitusi impor biasanya hanya akan merupakan pembangunan industrialisasi yang tidak efisien dan berbiaya tinggi. Kedua, dengan menghilangkan hambatan (barrier) perdagangan antar negara anggota, maka koordinasi perencanaan industri sangat mungkin diciptakan, terutama berdasar skala ekonominya. Perencanaan pengembangan industri yang terkoordinasi memungkinkan negara anggota mempercepat pertumbuhan industri dengan menempatkan industri di negara-negara yang berbeda sehingga membawa negara mitra (partner) ke dalam haluan ekonomi yang kian dekat, bahkan akhirnya kesatuan politik. Bagi Indonesia, liberalisasi perdagangan pada dasarnya adalah suatu bagian dari kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia yang merupakan keputusan politik ekonomi. Diawali sejak adanya keinginan untuk membentuk kawasan perdagangan bebas di ASEAN atau AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 90 an (Departemen Perdagangan RI, 2010). Kesepakatan AFTA
3 adalah kerangka ekonomi utama di ASEAN. AFTA diterapkan melalui Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang mencanangkan semua tarif bakal dihapus sebelum tahun 2010 untuk ASEAN-6 dan sebelum tahun 2015 Kambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam (Departemen Perdagangan RI, 2010) Selain AFTA, Indonesia yang tergabung dalam ASEAN juga terlibat dalam beberapa kesepakatan perdagangan bebas lainnya. Diantaranya: a. ASEAN-Cina (ACFTA, ditandatangi pada 29 November 2004), merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina. b. ASEAN-Rep. Korea (AKFTA, ditandatangi pada 26 Agustus 2006), merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Rep. Korea untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Rep. Korea. c. ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP, ditandatangi pada 1 Maret 2008), merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan Jepang. Hal ini untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para anggotanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Jepang. d. ASEAN-India Regional Trade and Investment Area ditandatangi pada 13 Agustus 2009. Tingkat liberalisasi perdagangan barang dalam AIFTA tidak setinggi liberalisasi perdagangan barang yang dicapai antara ASEAN dengan
4 mitra FTA lainnya. Namun kedua pihak sepakat untuk meningkatkan komitmen liberalisasi melalui proses review setelah perjanjian diimplementasikan e. ASEAN-Australia and New Zealand FTA (penandatangannya pada 27 Februari 2009), merupakan FTA regional yang bersifat komprehensif yang menggunakan pola single undertaking. AANZ-FTA perlu dilihat sebagai sebuah paket komprehensif yang menawarkan tidak saja tantangan di sektor tertentu, tetapi juga manfaatnya secara lintas sektoral dan peluang kerjasama bilateral yang dirintis selama perundingan yang mencakup sektor-sektor yang sensitif bagi Indonesia. f. ASEAN-European Union FTA, yang telah ditandatangani pada November 2007, namun dihentikan sementara sejak awal 2009, karena kesulitan EU untuk melanjutkan perundingan dengan seluruh anggota ASEAN Lebih jauh lagi, gagasan pembentukan FTA yang lebih luas telah disepakati, yaitu ASEAN Plus Three FTA atau East Asia Free Trade Area (EAFTA). FTA ini melibatkan negara anggota ASEAN dan tiga negara besar di kawasan Asia Timur, yakni Cina, Rep. Korea dan Jepang. ASEAN Plus Three telah sepakat untuk menciptakan perdagangan bebas di kawasan tersebut. Pada dasarnya ASEAN Plus Three FTA adalah salah satu rangkaian kerjasama antara negara anggota ASEAN dan 3 (tiga) negara Asia Timur. Kerjasama ini berfokus pada pilar kerjasama ekonomi dan keuangan yang meliputi perdagangan dan investasi, kerjasama keuangan, kesesuaian standar, HKI, transportasi, pariwisata, pangan, pertanian, perikanan dan kehutanan, sumberdaya mineral, UKM, komunikasi dan informasi, serta kerjasama pembangunan. Pembentukan ASEAN Plus Three FTA adalah salah satu dari sembilan langkah jangka panjang yang diusulkan oleh kelompok studi Asia Timur (EASG) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Plus Three November 2002. Selanjutnya pada KTT ASEAN Plus Three pada tanggal 29 November 2004, para pemimpin meminta Menteri ekonomi ASEAN Plus Three untuk merumuskan sebuah kelompok ahli pada setiap negara untuk mempelajari kelayakan ASEAN Plus Three FTA. Pertemuan konsultasi ke-11 Menteri Ekonomi ASEAN Plus
5 Three pada tanggal 15 Agustus 2009 mencatat laporan akhir ASEAN Plus Three yang salah satu isinya adalah rekomendasi dari para ahli dari 10 negara ASEAN dan Cina, Jepang dan Rep. Korea mengenai prospek dari pembentukan kawasan pedagangan bebas Asia Timur. Rekomendasi utama dari kajian tersebut kepada Menteri ASEAN dan Kepala Negara ASEAN adalah: (i) ASEAN Plus Three merupakan proses integrasi kawasan yang sangat penting dan memiliki arti strategis; (ii) proses dilanjutkan dengan membentuk 2 kelompok kerja untuk Rule of Origin (RoO) dan klasifikasi tarif serta; (iii) paling lambat negosiasi FTA dimulai tahun 2012. Para Menteri sepakat agar hasil kajian ASEAN Plus Three dapat disampaikan kepada Kepala Negara/Pemerintahan (Departemen Perdagangan RI, 2010). Akhirnya dengan melewati berbagai proses studi dan konsultasi yang membutuhkan waktu lama, skema ASEAN Plus Three FTA ditandatangani pada bulan Oktober 2009 di Thailand. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang meliputi sekitar 2,5 milyar konsumen, yaitu sebanyak lebih dari 1,6 milyar dari Asia Timur dan lebih dari 700 juta dari ASEAN (ASEANSEC, 2010). Implikasi bagi Indonesia dan negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN dan Asia Timur dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, penerapan FTA ini juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik. Perkembangan beberapa indikator makro ekonomi selama beberapa tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 1.1, menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) bagi negara-negara yang lebih maju seperti Rep. Korea dan Jepang relatif rendah dengan tingkat inflasi yang lebih stabil. Sementara Cina jauh mengungguli negara ASEAN Plus Three lainnya dengan persentase neraca perdagangan terhadap PDB yang relatif besar. Indonesia memperlihatkan penurunan dalam persentase neraca perdagangan terhadap PDB bahkan mencapai angka negatif pada tahun 2009. Dari sekilas gambaran tersebut
6 maka diperkirakan Cina lebih siap dalam menghadapi persaingan pasar bebas di kawasan ASEAN dan Asia Timur. Tabel 1.1. Perkembangan Indikator Makroekonomi Beberapa Anggota ASEAN Plus Three Tahun 2007-2009 (persen) PDB Riil Harga Konsumen 1 Neraca Negara Perdagangan 2 2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009 Indonesia 6.3 6.1 5.5 6.2 9.8 8.8 2.5 0.1 0.1 ASEAN 5 6.3 5.5 4.9 4.4 9.6 7.2 5.1 2.7 2.1 Cina 11.9 9.7 9.3 4.8 6.4 4.3 11.3 9.5 9.2 Rep Korea 5.1 2.2 0.2 2.5 4.6 2.7 0.6-0.6 5.1 Jepang 2.1 0.7 0.5 0.3 1.6 0.9 4.8 4.0 3.7 Sumber : IMF, 2011 Keterangan: 1 Perkembangan harga konsumen dihitung berdasarkan nilai pertumbuhan rata-rata tahunan 2 Dinyatakan sebagai persentase dari PDB 1.2. Perumusan Masalah ASEAN Plus Three FTA akan menimbulkan implikasi bagi negara-negara yang terlibat termasuk Indonesia. Sebagai gambaran, jika melihat perkembangan neraca perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang selama 5 tahun terakhir seperti pada Tabel 1.2, terlihat bahwa Indonesia mengalami penurunan neraca perdagangan khususnya dengan Cina. Dengan tingkat tarif sebelum diberlakukannya skema ASEAN Plus Three neraca perdagangan Indonesia dengan Cina menunjukkan kecenderungan yang menurun, bahkan mulai tahun 2008 mencapai angka negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dayasaing produk-produk Cina semakin unggul di pasar Indonesia. Terlebih setelah diberlakukannya skema ASEAN-Cina FTA (ACFTA). Neraca perdagangan Indonesia dengan Jepang mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga 2007. Namun kembali mengalami penurunan meski belum mencapai angka negatif. Penurunan tersebut dikhawatirkan akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya terlebih setelah ASEAN Plus Three FTA diberlakukan. Sementara dengan Rep. Korea, neraca perdagangan Indonesia lebih cenderung stabil walaupun sempat turun pada tahun 2008 namun kemudian meningkat kembali pada tahun 2009.
7 Tabel 1.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang Periode 2006-2010 (Juta Dolar) Negara Mitra Cina Rep. Korea Jepang Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 Ekspor 8,343.6 9,675.5 11,636.5 11,499.3 15.692.6 Impor 6,636.9 8,557.9 15,247.2 14,002.2 20.424.2 Neraca 1,706.7 1,117.6-3,610.7-2,502.8-4.731.6 Ekspor 7,693.5 7,582.7 9,116.8 8,145.2 12.574.6 Impor 2,875.9 3,196.7 6,920.1 4,742.3 7.702.9 Neraca 4,817.7 4,386.0 2,196.8 3,402.9 4.871.6 Ekspor 21,732.1 23,632.8 27,743.9 18,574.7 25.781.8 Impor 5,515.8 6,526.7 15,128.0 9,843.7 16.965.8 Neraca 16,216.3 17,106.1 12,615.8 8,731.0 8.816.0 Sumber: Departemen Perdagangan RI, 2011 Sebelum pemberlakuan FTA dalam kerangka ASEAN Plus Three, ASEAN juga telah menyepakati berbagai FTA dalam kerangka ASEAN Plus One. Salah satu bentuk FTA dalam kerangka ASEAN Plus One yang sudah diberlakukan per tanggal 1 Januari 2010 adalah ACFTA (ASEAN China Free Trade Area). Dampak ACFTA merupakan isu yang banyak diperbincangkan karena telah menimbulkan berbagai implikasi bagi perekonomian semua negara yang terlibat. Bagi Indonesia, implikasi yang terlihat jelas adalah dengan semakin banyaknya produk Cina di pasar Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data neraca perdagangan Indonesia dengan Cina hingga tahun 2010 seperti yang terlihat pada Tabel 1.3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sejak ACFTA resmi berlaku tahun 2010 menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap neraca perdagangan Indoensia dengan Cina. Dimana neraca perdagangan Indonesia tahun 2010 mengalami defisit hampir dua kali lipat dari tahun 2009. ACFTA menimbulkan pro dan kontra khususnya bagi Indonesia. Pihak yang menentang dengan kebijakan ini menilai bahwa akan terjadi peningkatan permintaan produk dari Cina yang secara langsung akan memperluas lapangan pekerjaan di Cina, di sisi lain industri-industri kecil Indonesia dikhawatirkan akan mulai berguguran yang pada akhirnya berpotensi mengurangi lapangan pekerjaan di Indonesia. Hal inilah yang menjadi keluhan para pelaku usaha Indonesia.
8 Berdasarkan informasi dari berbagai media, ACFTA dianggap oleh sebagian besar masyarakat, khususnya pengamat ekonomi industri domestik dan pelaku industri sebagai suatu ancaman bagi perkembangan industri skala kecil dan menengah di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa distribusi massal produk-produk asal Cina di banyak negara seringkali dianggap sebagai suatu ancaman terhadap produk-produk lokal. Padahal ACFTA tidak selalu memiliki pandangan yang negatif jika Indonesia dapat memanfaatkan peluang kerjasama FTA tersebut. Tabel 1.3. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina (Juta dolar) Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 Total perdagangan 14.980,4 18.233.3 26.883,6 25.501,4 36.116,8 - Migas 4.011,8 3.612.1 4.148,6 3.090,1 2.347,9 - Non migas 10.968,6 14.621,3 22.735,1 22.411,4 33.768,9 Ekspor 8.343,5 9.675,5 11.636,5 11.499,3 15.692,6 - Migas 2.876,9 3.011,4 3.849,3 2.579,2 1.611,7 - Non migas 5.466,6 6.664,1 7.787,2 8.920,1 14.080,9 Impor 6.636,9 8.557,8 15.247,1 14.002,2 20.424,2 - Migas 1.134,9 600,6 299,2 510,8 736,2 - Non migas 5.501,9 7.957,2 14.947,9 13.491,4 19.688,1 Neraca perdagangan 1.706,7 1.117,6-3.610,6-2.502,8-4.731,6 - Migas 1.742,1 2.410,7 3.550,1 2.068,4 875,4 - Non migas -353,7-1.293,1-7.160,7-4.571,3-5.607,1 Sumber: Departemen Perdagangan RI, 2011 Meningkatnya produk Cina yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor kompetitif harga. Barang-barang impor dari Cina relatif lebih murah dibanding produk dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih mencari barang murah (kurang memperhatikan asal atau nasionalisme dan komparasi kualitas), maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk Cina. Keadaan tersebut tentu saja menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia, mengingat kita akan segera menghadapi pasar bebas dengan tiga negara di Asia Timur dalam kerangka ASEAN Plus Three. Perdagangan antar negara di kawasan ini akan berlangsung sangat bebas, jauh lebih bebas dari AFTA. Di dalam AFTA, pemerintah masih dimungkinkan misalnya menerapkan bea masuk 1 sampai 5 persen atau juga mengeluarkan kebijakan khusus untuk melindungi industri atau
9 barang-barang produksi dalam negeri yang sangat sensitif. Sedangkan, dalam kerangka ASEAN Plus Three produk-produk Indonesia akan sepenuhnya bersaing dengan produk-produk negara lainnya. Dengan kualitas yang ada saat ini serta tingginya pajak dan pungutan sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi barang Indonesia untuk bisa bersaing. Vietnam dan Kamboja memiliki keunggulan dalam hal tenaga kerja yang lebih murah, sedangkan Singapura, Malaysia dan Thailand sangat bersaing dalam kualitas dan juga manajemen. Oleh sebab itu, FTA dalam kerangka ASEAN Plus Three diduga akan menimbulkan dampak yang lebih besar dari AFTA maupun ACFTA. Harus disadari bahwa keikutsertaan Indonesia ke dalam blok semacam ini tentunya merupakan keputusan politik pemerintah. Para pihak yang mendukung pembentukan FTA ini tentunya bukan hanya sekedar dukungan semata. Melainkan telah dikaji oleh tim ahli yang tentu sudah memikirkan segala aspek positif maupun negatifnya. Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya memetik pelajaran berharga. Sudah saatnya pemerintah maupun para ahli kita mengkaji secara mendalam dan memikirkan masak-masak segala persoalan yang terkait dengannya. Berbagai studi serta persiapan maksimal perlu dilakukan agar kita bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya. Tahapan-tahapan yang realistis perlu dipikirkan untuk menekan dampak negatif yang mungkin timbul. Di sisi pemerintah, perbaikan pelayanan birokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik atau bermutu, lebih cepat dan lebih murah (better, faster and cheaper) hendaknya bukan hanya slogan politis, tetapi juga demi efisiensi pelaku bisnis. Di sisi lain, pelaku usaha seharusnya juga terus melakukan perbaikan internal dengan arahan dan orientasi bisnis yang semakin jelas, sehingga pemerintah pun bisa mendukung dan bersama-sama menghadapi serangkaian tantangan yang dihadapi dalam rangka ASEAN Plus Three FTA. ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, proses integrasi juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik.
10 Berdasarkan uraian sebelumnya, maka masalah yang relevan untuk dirumuskan pada penelitian ini antara lain: 1. Bagaimanakah kinerja perdagangan Indonesia dalam rangka menghadapi perdagangan bebas ASEAN Plus Three? 2. Bagaimanakah dampak perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan penelitian ini antara lain: 1. Menganalisis kinerja perdagangan Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN Plus Three. 2. Menganalisis dampak perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup pada penelitian ini antara lain: 1. Komoditi yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai ekspor tertinggi ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea (ASEAN Plus Three) serta 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai impor tertinggi dari ASEAN Plus Three. 2. Performa ekspor Indonesia ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea dapat dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, yaitu dengan melihat pertumbuhan ekspor selama 5 (lima) tahun terakhir dan dengan menggunakan alat analisis Revalead Comparatif Advantage (RCA) dan Intra Industry Trade (IIT). 3. Untuk menganalisis dampak dari dibukanya area perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia digunakan data dan model GTAP (Global Trade Analysis Project). 4. Agregasi regional GTAP dan komoditi untuk ASEAN Plus Three FTA masing-masing adalah sebagai berikut:
11 a. Negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Rest of ASEAN, Cina, Jepang, Rep. Korea, Rest of Asia dan Rest of the World. b. 10 (sepuluh) Komoditi yang memiliki nilai ekspor tertinggi ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea serta 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai impor tertinggi dari ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea.