1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah satu-satunya yang diciptakan Tuhan dengan anugerah untuk memiliki kebudayaan. Manusia dikatakan berbudaya karena manusia memiliki pola pikir untuk dapat mewujudkan apa yang hendak dilakukannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi serta adat istiadat. Secara tata bahasa kebudayaan dijabarkan dari kata budaya yang cenderung merupakan pola pikir manusia. Sehingga kebudayaan diartikan juga sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pikiran manusia. Peneliti tertarik untuk meneliti tentang Komunikasi Lintas Budaya, karena seperti diketahui Indonesia memiliki banyak sekali kepulauan, suku bangsa, budaya dan bahasa. Oleh sebab itu tidak tertutup pula kemungkinan seorang perawat dengan kebudayaan yang lain, datang ke suatu daerah yang tidak diketahuinya untuk menjadi perawat dengan alasan yang berbeda, dan dengan sendirinya perawat tersebut menjadi seorang perawat lintas budaya, yang harus mampu menjalani komunikasi lintas budaya, supaya dapat melakukan tugas dengan tanggungjawabnya dengan baik saat merawat pasien yang berbeda budaya darinya.
2 Peradaban manusia mulai berkembang dengan pesat dan sangat kompleks. Sebagai mahkluk sosial manusia hidup berkelompok-kelompok akan melakukan komunikasi dengan sesamanya yang juga merupakan individu yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa sekarang ini sangatlah penting komunikasi antar budaya dan semakin vital ketimbang di masa-masa sebelumnya. Komponen-komponen budaya sendiri adalah kebudayaan material, yang mengacu pada semua yang diciptakan masyarakat secara nyata atau konkret. Suatu penggalian arkeologi contohnya seperti mangkuk tanah liat, berbagai perhiasan merupakan kebudayaan material. Sehingga yang termasuk kebudayaan material yaitu barang-barang seperti radio, pesawat terbang, lapangan olahraga, baju, gedung pencakar langit, dan playstation. Kebudayaan nonmaterial merupakan ciptaan-ciptaan yang abstrak dan diwariskan dari generasi ke generasi seperti cerita dongeng, cerita rakyat, serta lagu atau tarian nasional adalah kebudayaan nonmaterial. Budaya bahkan bisa ada tanpa bahasa. Aspek mendasar seperti setiap budaya dilihat sebagai agama, hubungan keluarga, dan pengaturan teknologi juga bisa menjadi sangat mustahil bila tidak ada bentuk simbolik dari komunikasi. Komunikasi terdiri dari dua jenis antara lain komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang dilakukan dengan cara berbicara secara lisan maupun tertulis. Seseorang biasanya menggunakan bahasa yang bisa mengisyaratkan arti-arti khusus yang
3 terkadang bahasa tersebut hanya bisa dimengerti oleh komunitas dimana individu tersebut tinggal atau berada. Sehingga dengan bahasa yang dituliskan maupun diucapkan, dengan mudah kita dapat menebak darimana seseorang berasal serta dari komunitas mana. Komuniasi verbal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu connotative and denotative meaning (kemaknaan), pacing (kecepatan), intonation (nada suara), vocabulary (perbendaharaan kata), clarity and brevity (kejelasan dan keringkasan). Bukan hanya komunikasi verbal saja yang sangat penting, akan tetapi komunikasi nonverbal juga sangatlah penting, karena bisa membawa pesan tersendiri dan membantu kita untuk menafsirkan pesan linguistic. Hingga 70% pesan yang diterima maupun dikirim oleh manusia secara alami adalah komunikasi nonverbal. Seperti bahasa, komunikasi nonverbal dipelajari bervariasi dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Walaupun ada beberapa isyarat nonverbal memiliki makna yang sama dalam budaya yang berbeda, tetapi banyak sekali jenis variasi komunikasi nonverbal antar budaya. Dalam beberapa kasus, pesan dapat dikirim dengan menggunakan sejumlah cara yang berbeda dengan budaya yang berbeda pula. Manusia berkomunikasi tanpa berkata-kata adalah beberapa cara penting termasuk ekspresi wajah, gerakan tangan, menyentuh, kontak mata, aroma, gaya berjalan dan sikap. Mulyana (2003) mengatakan bahwa komunikasi termasuk hal yang terpenting atau vital bagi manusia. Manusia tanpa komunikasi dikatakan
4 tersesat dalam belantara kehidupan, dan bisa dipastikan orang tersebut akan tersesat bila tidak berkomunikasi dengan orang lain dikarenakan ia tidak mampu menaruh dirinya dalam lingkungan sosial. Sekarang ini, studi antropologi budaya tentang bahasa sangat penting. Tidak hanya untuk tujuan praktis berkomunikasi saat melakukan kerja lapangan, tetapi juga karena hubungan dekat antara bahasa dan budaya. Kedua hal ini diketahui secara luas bahwa bahasa dan budaya akan sulit diterima, jika tidak mustahil untuk memahami budaya tanpa terlebih dahulu memahami bahasa dan itu akan sama-sama tidak mungkin untuk memahami bahasa dari luar konteks budayanya. Budaya dan komunikasi memiliki hubungan timbal balik layaknya dua sisi mata uang. Perilaku komunikasi menjadi bagian dari budaya dan komunikasi pun turut memelihara, menentukan, mengembangkan serta mewariskan budaya. Seperti yang dikatakan (Hall. 1959), bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Komunikasi merupakan suatu cara untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, secara garis lurus dari masyarakat yang satu ke lainnya atau secara vertikal dari generasi ke generasi berikutnya. Akan tetapi pada satu sisi budaya yaitu nilai atau norma yang dipercaya sesuai dengan kelompok tertentu (Muljana, 2000:6)
5 Indonesia sejak dulu masyarakatnya sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, bahasa, agama, serta adat istiadatnya. Setiap kelompok etnik pendatang mempunyai nilai, norma, kebudayaan, tata cara bahasa, dan pola tingkah laku yang berbeda dan belum tentu sama dengan penduduk lokal. Oleh sebab itu dalam setiap kebudayaan dikenal adanya istilah etnosentrisme, yang artinya suatu keyakinan kelompok pendukung suatu kebudayaan, meyakini bahwa nilai dan norma kebudayaan yang mereka anut lebih unggul. Transcultural Nursing merupakan suatu wilayah/area keilmuwan budaya pada proses dan praktek keperawatan yang fokus memandang kesamaan dan perbedaan diantara budaya dengan menghargai asuhan sehat dan sakit, yang didasari pada nilai budaya manusia, tindakan dan kepercayaan, serta ilmu ini juga digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya kebutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002). Proses komunikasi dibangun melalui hubungan saling percaya dengan klien dan keluarganya. Komunikasi efektif adalah hal yang sangat penting dalam menciptakan hubungan antara klien dengan perawat. Dikatakan bahwa seorang perawat yang beragama tidak dapat bersikap tidak peduli dan masa bodoh terhadap pasien. Seorang perawat yang tidak peduli dengan pasien adalah berdosa. Maka seorang perawat yang tidak menjalankan profesinya dengan professional akan menyebabkan kerugian
6 kepada orang lain, unit kerjanya maupun dirinya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam Potter dan Perry (1993) bahwa ada tiga tahapan dalam komunikasi yaitu komunikasi secara intrapersonal atau yang terjadi di dalam diri sendiri, interpersonal atau yang dilakukan antara dua orang maupun kelompok kecil serta publik yaitu interaksi yang dilakukan dalam kelompok besar. Saat perawat berhadapan dengan klien yang memiliki budaya berbeda, maka perawat yang professional akan tetap memberikan asuhan keperawatan yang tinggi, demi terpenuhi kebutuhan dasar klien tersebut. Menurut Leininger (1985) untuk meperhatikan keanekaragaman nilai-nilai serta budaya dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien sangatlah penting. Saat hal tersebut tidak mampu perawat lakukan dan abaikan akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Klien akan mengalami Cultural shock saat perawat tidak mampu untuk beradaptasi dengan perbedaan budaya, nilai dan kepercayaan. Sehingga dapat menyebabkan adanya rasa ketidakberdayaan, ketidaknyamanan hingga mengalami disorientasi. Kebutaan budaya yang terjadi pada perawat akan mengakibatkan penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan (Riley 2000). Leininger (1985) mengatakan bahwa bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan merupakan perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan itu sendiri. Mengacu pada kemungkinan adanya
7 variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan dalam memberikan asuhan keperawatan yang menghargai kepercayaan, tindakan dan nilai budaya individu, yang termasuk didalamnya kepekaan akan lingkungan dari individu yang datang maupun individu yang mungkin akan kembali lagi. Sering praktik keperawatan professional mengalami kesulitan dalam memberikan pelayanan keperawatan, karena adanya perbedaan kultur antara budaya tradisional dan budaya modern. Mengakibatkan kurang optimalnya pemberian pelayanan keperawatan pada klien atau masyarakat. Kebutaan budaya yang terjadi mengakibatkan perilaku mengacuhkan, tidak memahami budaya klien, serta tidak menerima. Semuanya mengakibatkan konflik yang berujung pada penurunan kualitas pada pelayanan keperawatan yang diberikan. Komunikasi lintas budaya dalam penerapan asuhan keperawatan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang selalu digunakan atau menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Perawat juga dapat menggunakan penerjemah bila dia tidak mengerti bahasa yang digunakan klien untuk berkomunikasi. Perawat juga dapat menjumpai suatu hal yang pada budaya tertentu memiliki arti positif, tetapi pada budaya lain memiliki arti negatif pada saat komunikasi lintas budaya. Sebagai upaya untuk menyelesaikan kesenjangan yang ada, perawat sebagai tim kesehatan dan pemberi pelayanan yang profesional harus
8 memiliki kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan budaya dan bahasa. Ia juga perlu mempunyai pengetahuan tentang budaya dan juga bahasa yang ada di masyarakat setempat. Hal ini harus dipahami oleh perawat sehingga tidak menyebabkan terputusnya komunikasi. Misalnya, seorang perawat yang bertugas di sebuah rumah sakit di Maluku, namun perawat tersebut bukanlah berasal dari daerah Maluku serta tidak mengerti bahasa yang digunakan masyarakat Maluku. Maka sebagai seorang perawat yang profesional akan dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungan, adat istiadat, dan juga tata cara bahasa di Maluku. Maluku sendiri memiliki daerah yang unik. Bukan hanya daerahnya saja yang unik akan tetapi masyarakat yang didalamnya juga. Masyarakat Maluku yang terkenal dengan suaranya yang besar serta bicaranya yang kasar, akan bisa membuat seorang perawat ataupun seorang pendatang baru menjadi takut, dan juga bisa menjadi tidak nyaman. Banyak pendatang baru yang datang di Maluku guna mencari pekerjaan ataupun mungkin dipindah tugaskan. Maluku yang memiliki Ibu kota provinsinya yaitu kota Ambon. Banyak Rumah Sakit besar yang berdiri di kota Ambon dan memiliki tenaga medisnya yang berasal dari luar Ambon. Misalnya pada Rumah Sakit Tentara Tk II Prof.Dr. J.A.LATUMETEN di Ambon, yang memiliki perawat dari luar kota Ambon, maka perawat tersebut diharapkan bisa menyesuaikan diri dengan pasiennya yang berasal dari daerah tersebut, karena sebagian besar bahasa yang dipakai oleh
9 orang Ambon adalah bahasa ibu. Sehingga seorang perawat lintas budaya yang bertugas dituntut untuk bisa menyesuaikan diri. Sehingga dalam tindakan medis, guna menyelamatkan pasien tidak ada yang namanya kesalahan komunikasi, yang bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam penerapan asuhan keperawatan. Seorang perawat tidak mungkin mampu melakukan tugas dan tanggungjawabnya sendiri tanpa bantuan dari rekan perawat maupun other health care providers. Perawat juga perlu memahami bahwa ketika terjalin komunikasi yang baik antara perawat dan pasien, maka tingkat kepuasan pasien akan meningkat dan pasien akan segera sembuh. Namun jika suatu komunikasi tidak berjalan lancar antara perawat dan pasien, maka hal tersebut akan berakibat fatal karena pasien bisa menjadi lebih stres dan tingkat kepuasan pasien akan menurun. Sehingga komunikasi sangat diperlukan dalam hal ini, dan oleh sebab itu sangat diperlukan adaptasi yang baik dari seorang perawat lintas budaya. 1.2 Rumusan Masalah Terkait uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu: 1. Bagaimana gambaran Komunikasi Lintas Budaya perawat di Rumah Sakit? 2. Bagaimana strategi perawat untuk mengatasi hambatan komunikasi lintas budaya dalam praktek keperawatan?
10 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum : a. Mengetahui gambaran komunikasi lintas budaya yang terjadi di Rs Tentara Tk II Prof. Dr. J.A.LATUMETEN Ambon. Tujuan Khusus : a. Mendeskripsikan tentang hambatan, proses adaptasi, dan strategi perawat dalam mengatasi hambatan komunikasi lintas budaya yang terjadi dalam praktek keperawata di Rs Tentara Tk II Prof. Dr. J.A. LATUMETEN. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Sebagai bahan referensi guna menambah kepustakaan dalam pembelajaran terutama tentang keperawatan lintas budaya. 1.4.2 Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi penulis Menambah wawasan penulis mengenai ilmu keperawatan antropologi terutama mengetahui bagaimana seorang perawat lintas budaya yang bertugas diluar daerahnya dalam proses komunikasi dengan pasien untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam menyampaikan maksud dan tujuan. 1.4.2.2 Bagi lembaga kesehatan
11 Sebagai masukan untuk membangun kualitas komunikasi bagi para perawat yang bertugas sebagai perawat lintas budaya, karena pelayanan kesehatan bukan hanya diberikan kepada masyarakat setempat saja yang sama akan budaya dan adat istiadatnya, akan tetapi bisa berbaur dengan masyarakat yang berbeda budayanya dan juga adat istiadatnya, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memberikan tindakan keperawatan. 1.4.2.3 Manfaat Bagi Perawat Lintas Budaya Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, serta masukan-masukan terutama bagi seseorang yang menyandang profesi sebagai perawat saat harus meninggalkan daerah asalnya untuk bertugas didaerah luar yang berbeda budaya darinya, sehingga bisa menghindari yang namanya culture shock. 1.4.2.4 Bagi Peneliti berikutnya Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau juga dapat dikembangkan lebih lanjut dan lebih bisa digunakan sebagai bahan referensi terhadap penelitian serupa.