BAB I PENDAHULUAN. nanti. Semakin beragamnya motif kejahatan tidak hanya dapat menjerat anak. namun juga orang dewasa terutama wanita.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

MAKALAH. Kebutuhan Pendampingan Hukum Penyandang Disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. sudah memberikan perlindungan yang dimasukkan dalam peraturan-peraturan yang telah

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan karunia berharga dari Allah Subhanahu wa Ta ala yang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Maka rumah tangga

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (2010 hingga 2014) sebanyak kasus anak terjadi di 34 provinsi dan

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB I PENDAHULUAN. hukum tidak berdasar kekuasaan belaka. 1 Permasalahan besar dalam. perkembangan psikologi dan masa depan pada anak.

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK MELALUI UU TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN UU TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Oleh : Nita Ariyulinda *

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa :

Institute for Criminal Justice Reform

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

Kajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta )

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PORNOGRAFI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga

BAB I PENDAHULUAN. untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan aset dan sebagai bagian dari generasi bangsa. Anak

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

Bentuk Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

III. METODE PENELITIAN. empiris sebagai penunjang. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perkembangan masyarakat modern, telah memberi dampak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi 1. Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM. Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (United

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di zaman yang modern ini pendidikan dan pendampingan sedari dini pada anak-anak tentang pentingnya menjaga diri dari orang yang belum dikenal akan berdampak besar pada perkembangan psikologis sang anak saat dewasa nanti. Semakin beragamnya motif kejahatan tidak hanya dapat menjerat anak namun juga orang dewasa terutama wanita. Hingga saat ini, kejahatan terutama terhadap kaum wanita semakin marak terjadi, kasus pelecehan seksual terutama pemerkosaan yang dialami oleh kaum wanita terus meningkat. Dalam catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada tahun 2017, kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking 139 kasus (4%). Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus). 1 1 Komisi Nasional Perempuan, 2017, Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2017, Jakarta, 7 Maret 2017, https://www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-catatan-tahunancatahu-komnas-perempuan-tahun-2017-labirin-kekerasan-terhadap-perempuan-dari-gang-rape-hinggafemicide-alarm-bagi-negara-untuk-bertindak-tepat-jakarta-7-maret-2017/, diunduh 3 Mei 2017 1

2 Saat ini lebih dari 90 persen kasus pemerkosaan di indonesia tidak dilaporkan kepihak berwajib. Alasan utama mereka tidak berbicara adalah karena stigma sosial dan para korban takut disalahkan. 2 Kekerasan seksual pada umumnya diartikan sebagai bentuk kejahatan yang menyerang kehormatan seksualitas seseorang. Perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, baik secara langsung (fisik) maupun secara tidak langsung (psikis). Saat ini, pengaturan mengenai kekerasan seksual di Indonesia dapat ditemukan di beberapa pengaturan baik di tingkat nasional maupun daerah. 3 Semakin maraknya kasus pemerkosaan ini juga semakin bermacam-macam pula korbannya seperti kaum penyandang disabilitas atau difabel. Isu tentang penyandang disabilitas atau orang-orang yang memiliki perbedaan kemampuan seringkali dikenal dengan istilah difable (differently abled people) adalah masalah yang paling jarang mendapatkan perhatian dari Pemerintah maupun masyarakat. Khususnya di Negara berkembang seperti Indonesia, terabaikannya masalah difable ini disebabkan oleh adanya faktor sosial budaya, selain faktor ekonomi dan lemahnya kebijakan dan penegakan hukum yang memihak komunitas difable. CRPD yaitu konvensi tentang Hakhak Difabel/Penyandang Disabilitas, telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD. CRPD menetapkan hak-hak penyandang 2 https://www.voaindonesia.com, diakses 3 mei 2017 3 Assesmen Konsistensi Putusan Pengadilan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, 2016, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,. Hlm 56

3 secara luas yaitu setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. 4 Diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan semakin muncul ke permukaan, karena mulai menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa disabilitas adalah makhluk a-seksual atau menstigma bahwa disabilitas (terutama disabilitas intelektual) memiliki kebutuhan seksual yang berlebih, sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada mereka. 5 Perlunya perlindungan hukum sangat dibutuhkan terutama pada korban kekerasan seksual, bukan hanya terhadap korban berfisik normal tetapi juga terhadap korban dengan kondisi penyandang difabel atau disabilitas. Menurut Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas bahwa dalam Pasal 1 pengertian penyandang disabilitas adalah sebagai berikut: Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan da kesulitan 4 Rahayu Repindowaty Harahap,Bustanuddin, 2015,Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Crpd), Volume VIII Nomor I Januari 2015, hlm 17. 5 Komisi Nasional Perempuan, 2017, Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2017, Jakarta, 7 Maret 2017, https://www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-catatan-tahunancatahu-komnas-perempuan-tahun-2017-labirin-kekerasan-terhadap-perempuan-dari-gang-rape-hinggafemicide-alarm-bagi-negara-untuk-bertindak-tepat-jakarta-7-maret-2017/, diunduh 3 Mei 2017

4 untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Di dalam konvensi Hak-hak penyandang disabilitas CPRD (convention of the rights of person with disabilities) Pasal 5 menerangkan bahwa Negara menjamin kesetaraan perlindungan hukum bagi setiap orang dan melarang segala bentuk diskriminasi atas difabilitas. 6 Dengan adanya pengertian tersebut dapat diartikan bahwa jaminan kesetaraan diberikan oleh negara sebagai bentuk perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sehingga tidak terjadi diskriminalitas.dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285 menyebutkan: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dengan adanya undang-undang tersebut adalah bukti bahwa negara melindungi setiap orang tanpa terkecuali yang mendapatkan tindakan asusila dengan memberikan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. Mengenai kasus pemerkosaan yang terjadi di masyarakat tentu sangat menjadi sorotan publik ketika yang menjadi korban terhadap tindakan tersebut adalah penyandang difabel terutama mengenai pemberian sanksi terhadap pelaku, berbeda dengan pemberian sanksi terhadap pelaku pemerkosaan dengan korban bukan penyandang difabel. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti dalam hal ini tertarik untuk mengkaji dan meneliti permasalahan tersebut kedalam 6 Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, 2012, PUSHAM UII, Yogyakarta.

5 penulidan skripsi dengan judul PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL DENGAN KORBAN DIFABEL DAN BUKAN DIFABEL B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana terhadapkekerasan seksual dengan korban difabel dan bukan difabel dalam hukum positif? 2. Bagaimanakah kekerasan seksual dilihat dari perspektif jenis delik? 3. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual dengan korban difabel dan bukan difabel dalam putusan hakim? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah yang sudah dijelaskan maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana terhadap kekerasan seksual dengan korban difabel dan bukan difabel dalam hukum positif. 2. Untuk mengetahui kekerasan seksual dilihat dari perspektif jenis delik. 3. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual dengan korban difabel dan bukan difabel dalam putusan hakim.

6 Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka diharapkan penulisan ini dapat memberikan kegunaan serta manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi kalangan akademisi hukum, yaitu : 1. Manfaat teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum terutama untuk memperluas pengetahuan dan menambah referensi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. 2. Manfaat Praktis Diharapkan dapat memberikan masukan serta sumbangan pemikiran terhadap pemerintah khususnya bagi aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan keadilan dalam hal pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual. D. Kerangka Pemikiran TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL KORBAN DIFABEL KORBAN BUKAN DIFABEL PENERAPAN SANKSI PENERAPAN SANKSI

7 Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Pelaku tindak pidana dapat dikatakan sebagai subyek tindak pidana. Simons, seorang ahli hukum Belanda mendefinisikan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu. 7 Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana adalah apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Kerugian itu dapat bersifat materi, immateril, ataupun campuran dari materil dan immateril. Kekerasan seksual adalah perbuatan yang merugikan secara campuran yang sangat merugikan bagi korban baik secara lahiriah ataupun rohaniah. Pemberian sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan tentu dapat diperhitungkan melihat kerugian yang dialami oleh korban. Semakin kesini, korban tindak pidana kekerasan seksual dapat dialami oleh wanita dari usia muda hingga lansia ataupun penyandang difabel. Bagi penyandang difabel tentu untuk melaporkan tindak pidana kekerasan seksual tersebut sangat sulit dilihat dari berbagai hal seperti adanya ancaman oleh pelaku tindak pidana serta ketidakmampuan bagi korban untuk melapor karena kerterbatasan fisik. Kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) jika dikaji berdasarkan pada perspektif kriminologi, menunjuk pada motif dan perilaku, dimana hal tersebut 7 Topo Santoso,2001, Menggagas Hukum Pidana Islam Penerapan Syari at Islam dalam Konteks Modernita, Bandung; Asy Samil, hlm 132

8 memiliki motif pemuasan nafsu seksual. Pengaturan mengenai kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang telah dikodifikasi yaitu KUHP. Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan dalam KUHP, yaitu : 1. Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh 2. Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul. Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan, baik itu sengaja atau alpa. Namun dengan dicantumkannya unsur memaksa dalam rumusan pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Dapat dikatakannya tindakan perkosaan apabila telah terjadi persetubuhan antara pelaku dan korban. Apabila tidak sampai terjadi persetubuhan maka perbuatan dimaksud dapat dikualifikasikan dengan tindak pidana percobaan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285 Jo. Pasal 53 KUHP) dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul (Pasal 289 KUHP). Dari ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana perkosaan tersebut, dirumuskan pula suatu sanksi pidana yang diberikan bagi pelaku kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP dinyatakan bahwa ancaman pidana maksimum yang diterima oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga memungkinkan pelaku dijerat dengan hukuman yang lebih ringan jauh dari efek yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban kejahatan kekerasan seksual (perkosaan). 8 8 Ni Made Dwi Kristiani, 2014, Kejahatan Kekerasan Seksual (Perkosaan) Ditinjau Dari Perspektif Kriminologi, Vol.7 No.3 2014, hlm 379.

9 Secara umum, tujuan hukum pidana adalah menciptakan ketertiban, keadilan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan jalan mencegah, melindungi kepentingan-kepentingan hukum baik kepentingan orang-perorangan atau individu, kepentingan masyarakat atau kolektivitas serta kepentingan negara atau pemerintah, dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya. 9 Pemidanaan serta pemberian sanksi diberikan kepada pelaku tindak kejahatan bertujuan sebagai upaya untuk memberikan rasa keadilan bagi korban. E. Metode penelitian 1. Metode pendekatan Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan pendekatan normatif, di mana melakukan analisis putusan hakim dalam perspektif Hukum Positif 2. Jenis Penelitian Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif bersifat diskriptif. 10 9 Sudaryono dan Natangsa Surbakti,2005, Hukum Pidana,Surakarta; Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm.314. 10 Sudarwan Danim, 2002, Menjadi Penelitian Kualitatif, Bandung, CV. Pustaka Setia,, Cet. Ke-1, hlm.51.

10 Penelitian ini akan menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisa permasalahan mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. 3. Bentuk dan Jenis Data Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder 11 yang terdiri dari bahan-bahan hukum, sebagai berikut : a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer ini mencakup peraturan perundangundangan yang meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, UU No.23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan Perempuan, UU No.31/2014 Tentang Perlidungan Saksi dan Korban. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan putusan Pengadilan Nomor : 48/Pid.B/2010/PN.Glto, Putusan Nomor: 410/Pid.B/2014/PN.Bgl, Putusan Nomor: 33/Pid.B/2012/PN.SS. c. Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder untuk membantu memperjelas arti kata dalam penelitian ini yaitu kamus hukum, internet dan lain-lain. 11 Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi.

11 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah Studi Kepustakaan yaitu penelitian terhadap masalah hukum yang semata-mata ditujukan terhadap data kepustakaan dengan cara mencari, menginventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, dan datadata sekunder lain. 5. Metode Analisis Data Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggambarkan data dengan menekankan pada pengambilan kesimpulan dari putusan hakim tentang kasus pemerkosaan dengan korban difabel dan bukan difabel. Seluruh data yang diperoleh diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan diteliti selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut. F. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempermudah pemahaman isi dari penulisan maka penulis menyusun sistematika dalam penulisan penelitian ini sebagai berikut : BAB I Pendahuluan Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, sistematika penulisan.

12 BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini penulis menguraikan tinjauan umum tentang tindak pidana kekerasan seksual, pemidanaan dan penerapan sanksi pidana, tinjauan umum tentang korban. BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam bab ini, penulis akan menguraikan bebrapa pokok permasalahan yang akan dibahas antara lain: pengaturan hukum pidana terhadap kekerasan seksual dengan korban difabel dan bukan difabel dalam hukum positif, kekerasan seksual dilihat dari perspektif jenis delik, mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual dengan korban difabel dan bukan difabel dalam putusan hakim. BAB IV Penutup Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.