BAB I PENDAHULUAN. izin terlebih dahulu dengan mengucapkan kata nenek pada penunggu yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki makna yang sama. Salah satu fungsi dari bahasa adalah sebagai alat

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap upacara biasanya diiringi dengan syair, dan pantun yang berisi petuahpetuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat Melayu sejak nenek moyang dahulu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. daerah di negara ini memiliki adat istiadat dan tradisi masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

B. Rumusan Masalah C. Kerangka Teori 1. Pengertian Pernikahan

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. yang berada di sebelah timur pulau Sumbawa yang berbatasan langsung dengan NTT adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia. Hampir

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. besar.segala hal yang menyangkut tentang perkawinan haruslah dipersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, sebuah tindakan yang telah disyari atkan oleh Allah SWT

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses dan pemaknaan tentang arti perkawinan itu sendiri selama pasangan

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

Oleh : TIM DOSEN SPAI

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. proses dalam merencanakan keuangan pribadi untuk dapat memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk berbudaya dan secara biologis mengenal adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB IV ANALISIS DATA. A Pelaksanaan Adat Pelangkahan dalam Perkawinan dan Dampaknya Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kehidupan masyarakat atas alasan menjaga lingkungan bersama yang harmonis.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan

I. PENDAHULUAN. memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Eufemisme merupakan usaha seseorang dalam bertutur agar bahasa yang dituturkan tidak dianggap melanggar konsep tabu yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Eufemisme telah dikenal atau dipakai oleh masyarakat Melayu sejak zaman dahulu. Bahkan mereka telah menggunakannya sebelum mereka mengenal agama, khususnya agama Islam. Pada saat itu, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam memiliki roh atau kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Jika mereka berbuat sesuatu yang dilarang atau melanggar pantangan, mereka akan mengalami sesuatu yang negatif. Sebagai contoh, ketika mereka memasuki hutan, mereka harus minta izin terlebih dahulu dengan mengucapkan kata nenek pada penunggu yang diyakini mendiami hutan tersebut atau kata cucu untuk menyebutkan dirinya, sebagai tanda merendahkan diri atas penunggu hutan tersebut. Ketika para petani mendapati sawah mereka dimakan tikus, mereka harus menghindari kata tikus untuk menyebutkan hewan tersebut. Dengan demikian, mereka harus mengganti kata tikus dengan cik siti, agar tidak semua padi mereka yang sedang berbuah, dimakan oleh tikus sampai habis. Penggunaan eufemisme semakin tumbuh subur sejak orang Melayu memeluk agama Islam sebab dalam Islam diajarkan keutamakan akhlak dan sopan santun. Akhlak yang terpuji seperti yang diajarkan oleh Rasulullah 1

S.A.W begitu mempengaruhi masyarakat Melayu Islam, bukan saja dalam perbuatan, melainkan juga dalam bertutur sehari-hari. Ajaran agama ini akhirnya membudaya di tengah-tengah masyarakat Melayu, sehingga konsep kesantunan atau eufemisme terus berkembang hingga saat ini. Eufemisme adalah bagian dari semantik kognitif. Eufemisme memiliki enam belas tipe (Allan dan Burridge, 1991: 14). Dari keenam belas tipe yang ditemukan oleh Allan dan Burridge tersebut akan dicermati tipe-tipe mana saja yang terdapat pada proses upacara perkawinan adat masyarakat Melayu Langkat. Selain tipe, tesis ini juga akan meneliti makna eufemisme yang ada dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat. Cara mengungkapkan perasaan orang-orang tua dahulu pada masyarakat Melayu berbeda dengan anak muda sekarang. Orang tua pada masa lalu mengungkapkan perasaaan atau keinginannya, baik ungkapan rasa senang, sedih, marah, bimbang, takut, malu, bosan, dan benci, mereka lazim menggunakan perumpamaan yang banyak mengandung eufemisme. Hal ini dimaksudkan agar apa yang disampaikan tetap terdengar sopan, tidak kasar, bermartabat, dan dipahami lebih dalam oleh lawan bicara (pendengar). Sementara itu, masyarakat sekarang ini dalam mengungkapakan pikiran dan perasaannya lebih senang berbicara langsung dari pada menggunakan perumpamaan atau pribahasa. Masyarakat sekarang enggan menggunakan ungkapan yang bermakna eufemisme karena dianggap ortodoks, lambat, dan bertele-tele. Hal ini senada dengan temuan Juairi Hikmah (2011:2) bahwa masyarakat khususnya generasi muda sekarang jarang sekali menggunakan pepatah dalam berbahasa. Pada pepatah juga dijumpai banyak ungkapan yang

bermakna eufemisme yang saat ini, dengan penuh kesadaran atau tidak telah mulai ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat atau di media kerap kita jumpai atau dengar orang-orang berbicara sesuka hatinya, tanpa merasa malu apalagi merasa bersalah telah melanggar norma atau sopan-santun di dalam masyarakat, yang kadang kala menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Apabila hal ini terus terjadi, tidak mustahil suatu saat nanti, eufemisme dalam bahasa Melayu Langkat dan adat masyarakat Melayu Langkat yang sarat dengan nilai-nilai luhur, perlahan-lahan akan hilang, ditinggalkan oleh pemiliknya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan bahasa sangat penting dalam memahami kebudayaan, demikian sebaliknya, peranan budaya juga sangat penting untuk memahami bahasa. Kekeliruan dan kesalahan kerap terjadi sehingga menyebabkan perselisihan karena orang tidak mampu menggunakan bahasa sesuai kebudayaan di suatu daerah tertentu. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Bahasa sama halnya dengan budaya, keduanya dapat dipelajari, dikembangkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasa sangat memainkan peran penting bagi pelestarian suatu budaya atau adat-istiadat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga halnya dengan bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Langkat, selain berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan budaya, bahasa Melayu Langkat adalah bagian dari budaya itu sendiri. Bahasa Melayu Langkat adalah alat untuk

mentransmisikan, mengembangkan, dan juga mewariskan suatu budaya, yang telah menjadi bagian dari masyarakat Melayu Langkat, sejak dahulu hingga sekarang ini. Perkawinan merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan keturunan yang sah sesuai dengan hukum agama dan norma masyarakat. Menurut BAB I pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang sah, selain untuk melestarikan keturunan, juga mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan kepastian hukum atas status anak yang dilahirkannya, siapa yang menjadi ayah dan ibu, sekaligus yang berhak dan berkewajiban mengasuh, memelihara, memenuhi kebutuhan, dan lain sebagainya. Akad nikah merupakan peristiwa sangat penting yang tidak terlupakan dalam perjalanan hidup manusia. Akad nikah adalah ibadah dan lambang kesucian hubungan antara dua jenis manusia berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, perkawinan perlu didasari dengan niat yang suci, mendapat persetujuan kedua orang tua dan kebulatan tekad kedua mempelai untuk hidup bersama secara rukun, harmonis dan bertanggung jawab. Setiap etnis memandang upacara perkawinan merupakan suatu tahapan yang dianggap sangat sakral, baik bagi calon pengantin itu sendiri maupun bagi seluruh anggota keluarga, serta seluruh kerabat kedua belah

pihak. Proses pelaksanaan upacara perkawinan ini umumnya memperhatikan serangkaian aturan atau tata cara yang sudah ditentukan secara hukum agama dan hukum adat yang tidak tertulis yang dianut dan dilaksanakan oleh setiap etnis, terlebih etnis yang ada di provinsi Sumatera Utara, khususnya etnis Melayu. Adat perkawinan Melayu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran agama Islam. Meski tidak masuk dalam rukun nikah, merayakan perkawinan atau pesta perkawinan yang dimaksudkan untuk mengumumkan atau mengabarkan kepada masyarakat luas sebuah perkawinan merupakan hal yang dianjurkan (walimatul urus). Mengabarkan atau menumumkan sebuah perkawinan penting dilakukan, untuk menjagah terjadinya fitnah dan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kedua pengantin dapat menjagah kesucian perkawinannya dan dapat menjalankan kehidupan rumah tangganya dengan baik. Dalam pandangan adat Melayu, kehadiran keluarga, kaum famili, tetangga, dan masyarakat pada acara perkawinan bertujuan untuk mempererat silaturahim, memberikan kesaksian atas perkawinan kedua pengantin dan untuk merestui sekaligus mendoakan kebaikan untuk kedua pengantin. Perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan adat secara lengkap memberikan kesan yang baik di masyarakat, dan dapat menghindari anggapan bahwa kedua pengantin sudah melakukan hubungan terlarang sebelum menikah. Upacara adat perkawinan pada masyarakat Melayu Langkat pada umumnya hampir sama dengan tradisi masyarakat Melayu pada daerah lain

yang berpegang teguh dengan adat. Mereka mempercayai bahwa adat yang mereka pegang mempunyai makna dan kebaikan dalam kehidupan, oleh sebab itu bagi masyarakat Melayu adat perkawinan begitu diutamakan. Upacara adat perkawinan biasanya dilaksanakan dengan cukup meriah, namun, sesuai fenomena yang diamati dan hasil wawancara dengan Bapak Abu Samah (informan), upacara perkawinan Melayu Langkat dewasa ini tidak dilaksanakan secara utuh lagi. Sebagian masyarakat Melayu Langkat menganggap upacara adat perkawinan tersebut merepotkan keluarga, karena tidak praktis dan efisien. Umumnya upacara adat perkawinan yang masih dilaksanakan dengan baik saat ini antara lain penyambutan pengantin beserta rombongan dengan acara: hempang batang, silat berlaga, tukar tepak di tengah halaman, disambut tari persembahan, hempang pintu, hempang kipas di pelaminan, dan bersanding. Selanjutnya acara marhaban (doa), tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, mandi berdimbar, dan serah terima pengantin (acara penyerahan pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan). Masyarakat Melayu Langkat umumnya masih memegang teguh adat istiadat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Kebiasaan santun berbahasa dapat dilihat dari tuturan-tuturan orang Melayu, yang sedapat mungkin menghindari ungkapan secara berterus terang, dalam menyatakan sesuatu hal yang ingin dikatakannya. Sebagai contoh, begitu di lidah, begitu di hati. Artinya: apa yang dijanjikan itulah yang menjadi maksud sesungguhnya. Contoh lain, ketika ada seseorang yang membutuhkan bantuan orang lain, orang tersebut menggunakan ungkapan, Ape engko ade waktu?

Arti atau makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sesungguhnya adalah mengharapkan bantuan kepada orang yang dimaksud. Pada upacara adat perkawinan juga terdapat banyak contoh ungkapan yang menggunakaan eufemisme dalam menyampaikan maksudnya. Beberapa contoh di antaranya: pucuk dicinta ulampun tiba apa yang dicita-citakan atau diidam-idamkan datang tanpa diduga kalau berjalan pelihara kaki, kalau melihat pelihara mata, kalau berkata pelihara lidah dalam mengarungi bahtera rumah tangga harus menjaga semua rambu atau peraturan dan tetap menjaga kedamaian di dalam rumah maupun masyarakat dan ungkapan yang menyatakan piring tak retak, nasi tak dingin makna dari ungkapan tersebut adalah apabila pinangan ternyata ditolak, tidak mengapa, pihak laki-lakipun tidak akan memaksa. Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa dalam bertutur orang Melayu banyak menggunakan eufemisme. Eufemisme merupakan bentuk penghalusan bahasa yang bertujuan untuk menghindari tabu atau kata tidak sopan pada saat berkomunikasi. 1.2 Perumusan Masalah sebagai berikut: Dari uraian di atas penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini 1. Tipe dan makna eufemisme apa sajakah yang digunakan pada saat upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat? 2. Bagaimanakah kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses upacara adat perkawinan Masyarakat Melayu Langkat 2. Menemukan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada upacara adat perkawinan masyarakat Langkat. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoretis: 1. Memperkaya khasanah budaya, termasuk linguistik, khususnya yang berkaitan dengan adat Masyarakat Melayu. 2. Membantu pelestarian kebudayaan Masyarakat Melayu, khususnya Melayu Langkat. 3. Sebagai rujukan dalam penelitian sejenis, khususnya yang berhubungan dengan eufemisme. 4. Sebagai pemacu semangat bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam agar bahasa dan kebudayaan Melayu Langkat dapat tetap lestari. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah, sebagai masukan dalam mengembangkan budaya daerah (lokal). 2. Bagi para guru yang mengajar di sekolah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam membuat rencana pembelajaran, khususnya mata pelajaran muatan lokal.