BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Eufemisme merupakan usaha seseorang dalam bertutur agar bahasa yang dituturkan tidak dianggap melanggar konsep tabu yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Eufemisme telah dikenal atau dipakai oleh masyarakat Melayu sejak zaman dahulu. Bahkan mereka telah menggunakannya sebelum mereka mengenal agama, khususnya agama Islam. Pada saat itu, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam memiliki roh atau kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Jika mereka berbuat sesuatu yang dilarang atau melanggar pantangan, mereka akan mengalami sesuatu yang negatif. Sebagai contoh, ketika mereka memasuki hutan, mereka harus minta izin terlebih dahulu dengan mengucapkan kata nenek pada penunggu yang diyakini mendiami hutan tersebut atau kata cucu untuk menyebutkan dirinya, sebagai tanda merendahkan diri atas penunggu hutan tersebut. Ketika para petani mendapati sawah mereka dimakan tikus, mereka harus menghindari kata tikus untuk menyebutkan hewan tersebut. Dengan demikian, mereka harus mengganti kata tikus dengan cik siti, agar tidak semua padi mereka yang sedang berbuah, dimakan oleh tikus sampai habis. Penggunaan eufemisme semakin tumbuh subur sejak orang Melayu memeluk agama Islam sebab dalam Islam diajarkan keutamakan akhlak dan sopan santun. Akhlak yang terpuji seperti yang diajarkan oleh Rasulullah 1
S.A.W begitu mempengaruhi masyarakat Melayu Islam, bukan saja dalam perbuatan, melainkan juga dalam bertutur sehari-hari. Ajaran agama ini akhirnya membudaya di tengah-tengah masyarakat Melayu, sehingga konsep kesantunan atau eufemisme terus berkembang hingga saat ini. Eufemisme adalah bagian dari semantik kognitif. Eufemisme memiliki enam belas tipe (Allan dan Burridge, 1991: 14). Dari keenam belas tipe yang ditemukan oleh Allan dan Burridge tersebut akan dicermati tipe-tipe mana saja yang terdapat pada proses upacara perkawinan adat masyarakat Melayu Langkat. Selain tipe, tesis ini juga akan meneliti makna eufemisme yang ada dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat. Cara mengungkapkan perasaan orang-orang tua dahulu pada masyarakat Melayu berbeda dengan anak muda sekarang. Orang tua pada masa lalu mengungkapkan perasaaan atau keinginannya, baik ungkapan rasa senang, sedih, marah, bimbang, takut, malu, bosan, dan benci, mereka lazim menggunakan perumpamaan yang banyak mengandung eufemisme. Hal ini dimaksudkan agar apa yang disampaikan tetap terdengar sopan, tidak kasar, bermartabat, dan dipahami lebih dalam oleh lawan bicara (pendengar). Sementara itu, masyarakat sekarang ini dalam mengungkapakan pikiran dan perasaannya lebih senang berbicara langsung dari pada menggunakan perumpamaan atau pribahasa. Masyarakat sekarang enggan menggunakan ungkapan yang bermakna eufemisme karena dianggap ortodoks, lambat, dan bertele-tele. Hal ini senada dengan temuan Juairi Hikmah (2011:2) bahwa masyarakat khususnya generasi muda sekarang jarang sekali menggunakan pepatah dalam berbahasa. Pada pepatah juga dijumpai banyak ungkapan yang
bermakna eufemisme yang saat ini, dengan penuh kesadaran atau tidak telah mulai ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat atau di media kerap kita jumpai atau dengar orang-orang berbicara sesuka hatinya, tanpa merasa malu apalagi merasa bersalah telah melanggar norma atau sopan-santun di dalam masyarakat, yang kadang kala menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Apabila hal ini terus terjadi, tidak mustahil suatu saat nanti, eufemisme dalam bahasa Melayu Langkat dan adat masyarakat Melayu Langkat yang sarat dengan nilai-nilai luhur, perlahan-lahan akan hilang, ditinggalkan oleh pemiliknya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan bahasa sangat penting dalam memahami kebudayaan, demikian sebaliknya, peranan budaya juga sangat penting untuk memahami bahasa. Kekeliruan dan kesalahan kerap terjadi sehingga menyebabkan perselisihan karena orang tidak mampu menggunakan bahasa sesuai kebudayaan di suatu daerah tertentu. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Bahasa sama halnya dengan budaya, keduanya dapat dipelajari, dikembangkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasa sangat memainkan peran penting bagi pelestarian suatu budaya atau adat-istiadat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga halnya dengan bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Langkat, selain berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan budaya, bahasa Melayu Langkat adalah bagian dari budaya itu sendiri. Bahasa Melayu Langkat adalah alat untuk
mentransmisikan, mengembangkan, dan juga mewariskan suatu budaya, yang telah menjadi bagian dari masyarakat Melayu Langkat, sejak dahulu hingga sekarang ini. Perkawinan merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan keturunan yang sah sesuai dengan hukum agama dan norma masyarakat. Menurut BAB I pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang sah, selain untuk melestarikan keturunan, juga mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan kepastian hukum atas status anak yang dilahirkannya, siapa yang menjadi ayah dan ibu, sekaligus yang berhak dan berkewajiban mengasuh, memelihara, memenuhi kebutuhan, dan lain sebagainya. Akad nikah merupakan peristiwa sangat penting yang tidak terlupakan dalam perjalanan hidup manusia. Akad nikah adalah ibadah dan lambang kesucian hubungan antara dua jenis manusia berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, perkawinan perlu didasari dengan niat yang suci, mendapat persetujuan kedua orang tua dan kebulatan tekad kedua mempelai untuk hidup bersama secara rukun, harmonis dan bertanggung jawab. Setiap etnis memandang upacara perkawinan merupakan suatu tahapan yang dianggap sangat sakral, baik bagi calon pengantin itu sendiri maupun bagi seluruh anggota keluarga, serta seluruh kerabat kedua belah
pihak. Proses pelaksanaan upacara perkawinan ini umumnya memperhatikan serangkaian aturan atau tata cara yang sudah ditentukan secara hukum agama dan hukum adat yang tidak tertulis yang dianut dan dilaksanakan oleh setiap etnis, terlebih etnis yang ada di provinsi Sumatera Utara, khususnya etnis Melayu. Adat perkawinan Melayu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran agama Islam. Meski tidak masuk dalam rukun nikah, merayakan perkawinan atau pesta perkawinan yang dimaksudkan untuk mengumumkan atau mengabarkan kepada masyarakat luas sebuah perkawinan merupakan hal yang dianjurkan (walimatul urus). Mengabarkan atau menumumkan sebuah perkawinan penting dilakukan, untuk menjagah terjadinya fitnah dan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kedua pengantin dapat menjagah kesucian perkawinannya dan dapat menjalankan kehidupan rumah tangganya dengan baik. Dalam pandangan adat Melayu, kehadiran keluarga, kaum famili, tetangga, dan masyarakat pada acara perkawinan bertujuan untuk mempererat silaturahim, memberikan kesaksian atas perkawinan kedua pengantin dan untuk merestui sekaligus mendoakan kebaikan untuk kedua pengantin. Perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan adat secara lengkap memberikan kesan yang baik di masyarakat, dan dapat menghindari anggapan bahwa kedua pengantin sudah melakukan hubungan terlarang sebelum menikah. Upacara adat perkawinan pada masyarakat Melayu Langkat pada umumnya hampir sama dengan tradisi masyarakat Melayu pada daerah lain
yang berpegang teguh dengan adat. Mereka mempercayai bahwa adat yang mereka pegang mempunyai makna dan kebaikan dalam kehidupan, oleh sebab itu bagi masyarakat Melayu adat perkawinan begitu diutamakan. Upacara adat perkawinan biasanya dilaksanakan dengan cukup meriah, namun, sesuai fenomena yang diamati dan hasil wawancara dengan Bapak Abu Samah (informan), upacara perkawinan Melayu Langkat dewasa ini tidak dilaksanakan secara utuh lagi. Sebagian masyarakat Melayu Langkat menganggap upacara adat perkawinan tersebut merepotkan keluarga, karena tidak praktis dan efisien. Umumnya upacara adat perkawinan yang masih dilaksanakan dengan baik saat ini antara lain penyambutan pengantin beserta rombongan dengan acara: hempang batang, silat berlaga, tukar tepak di tengah halaman, disambut tari persembahan, hempang pintu, hempang kipas di pelaminan, dan bersanding. Selanjutnya acara marhaban (doa), tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, mandi berdimbar, dan serah terima pengantin (acara penyerahan pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan). Masyarakat Melayu Langkat umumnya masih memegang teguh adat istiadat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Kebiasaan santun berbahasa dapat dilihat dari tuturan-tuturan orang Melayu, yang sedapat mungkin menghindari ungkapan secara berterus terang, dalam menyatakan sesuatu hal yang ingin dikatakannya. Sebagai contoh, begitu di lidah, begitu di hati. Artinya: apa yang dijanjikan itulah yang menjadi maksud sesungguhnya. Contoh lain, ketika ada seseorang yang membutuhkan bantuan orang lain, orang tersebut menggunakan ungkapan, Ape engko ade waktu?
Arti atau makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sesungguhnya adalah mengharapkan bantuan kepada orang yang dimaksud. Pada upacara adat perkawinan juga terdapat banyak contoh ungkapan yang menggunakaan eufemisme dalam menyampaikan maksudnya. Beberapa contoh di antaranya: pucuk dicinta ulampun tiba apa yang dicita-citakan atau diidam-idamkan datang tanpa diduga kalau berjalan pelihara kaki, kalau melihat pelihara mata, kalau berkata pelihara lidah dalam mengarungi bahtera rumah tangga harus menjaga semua rambu atau peraturan dan tetap menjaga kedamaian di dalam rumah maupun masyarakat dan ungkapan yang menyatakan piring tak retak, nasi tak dingin makna dari ungkapan tersebut adalah apabila pinangan ternyata ditolak, tidak mengapa, pihak laki-lakipun tidak akan memaksa. Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa dalam bertutur orang Melayu banyak menggunakan eufemisme. Eufemisme merupakan bentuk penghalusan bahasa yang bertujuan untuk menghindari tabu atau kata tidak sopan pada saat berkomunikasi. 1.2 Perumusan Masalah sebagai berikut: Dari uraian di atas penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini 1. Tipe dan makna eufemisme apa sajakah yang digunakan pada saat upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat? 2. Bagaimanakah kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses upacara adat perkawinan Masyarakat Melayu Langkat 2. Menemukan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada upacara adat perkawinan masyarakat Langkat. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoretis: 1. Memperkaya khasanah budaya, termasuk linguistik, khususnya yang berkaitan dengan adat Masyarakat Melayu. 2. Membantu pelestarian kebudayaan Masyarakat Melayu, khususnya Melayu Langkat. 3. Sebagai rujukan dalam penelitian sejenis, khususnya yang berhubungan dengan eufemisme. 4. Sebagai pemacu semangat bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam agar bahasa dan kebudayaan Melayu Langkat dapat tetap lestari. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah, sebagai masukan dalam mengembangkan budaya daerah (lokal). 2. Bagi para guru yang mengajar di sekolah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam membuat rencana pembelajaran, khususnya mata pelajaran muatan lokal.