BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah dan Pemerintahan Desa Busisingo

dokumen-dokumen yang mirip
ADAT LEARO DALAM PERNIKAHAN MASYARAKAT BUSISINGO. Pembimbing : Drs. H. Darwin Une, M.Pd*, Hj. Yusni Pakaya, S.Pd M.Pd** WINDA DAENG MASENGE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) yang terdiri dari

BAB II KAJIAN TEORITIS. Pengertian adat-istiadat ini, perlu untuk disadari sangat banyak yang

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tujuh unsur kebudayaan universal juga dilestarikan di dalam kegiatan suatu suku

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB II GAMBARAN UMUM DESA MUARA JALAI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB II GAMBARAN UMUM DESA SIMPANG PELITA. A. Geografis dan demografis desa Simpang Pelita

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. besar.segala hal yang menyangkut tentang perkawinan haruslah dipersiapkan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. idividu maupun sosial. secara individu, upacara pengantin akan merubah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal

BAB II GAMBARAN UMUM DESA TELUK BATIL KECAMATAN SUNGAI APIT KABUPATEN SIAK. Sungai Apit Kabupaten Siak yang memiliki luas daerah 300 Ha.

PEMBAHASAN Dalam masyarakat Sasak, mengenal beberapa cara pelaksanaan perkawinan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

Bukit Rimon & Kebun Anggur ( Hakim-Hakim 21 ) - Warta Jemaat - Minggu, 9 Oktober 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR

BAB I PENDAHULUAN. peninggalan nenek moyang yang sangat berbeda latar belakangnya. Keragaman

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kampar Kabupaten Kampar. Desa Koto Tuo Barat adalah salah satu desa dari 13

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah. SWT, dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

BAB IV ANALISA DATA. A. Analisa Makna Pernikahan di Gereja Bethany Nginden Surabaya. untuk menghasilkan keturunan. kedua, sebagai wujud untuk saling

BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK

PENETAPAN. Nomor : 270/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA TENTANG DUDUK PERKARANYA

BAB I PENDAHULUAN. Masing-masing budaya asli merupakan identitas masing-masing masyarakat.

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan

MENGHAYATI PERAN ISTRI

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

LIFE HISTORY. Note : II (12-18 tahun) Nama : Tetni br Tarigan Usia : 16 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berada di sebelah timur pulau Sumbawa yang berbatasan langsung dengan NTT adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Besarnya jumlah mahar sangat mempengaruhi faktor hamil di luar nikah. Dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

B. Rumusan Masalah C. Kerangka Teori 1. Pengertian Pernikahan

Kang, sebenarnya khitbah sama tunangan itu sama gak sih?

BAB VI PENUTUP. menolak permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke Pengandilan Agama pada

BAB III KEBIASAAN PEMBAGIAN WARIS ADAT MASYARAKAT KEJAWAN LOR. A. Pengertian Anak Perempuan Sulung oleh Masyarakat Kejawan Lor

Lingkungan Mahasiswa

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang merupakan

BAB III PROSES KHITBAH YANG MENDAHULUKAN MENGINAP DALAM SATU KAMAR (DI DESA WARUJAYENG KECAMATAN TANJUNGANOM KABUPATEN NGANJUK)

BAB III GAMBARAN TERHADAP TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYUURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANAN KULON KABUPATEN BLITAR

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

UPACARA PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan yang berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia

BAB IV MAKNA IDEAL AYAT DAN KONTEKSTUALISASINYA

Jenis Pertanyaan 1 Untuk Mengetahui makna Bendera Merah Putih dalam upacara perkawinan:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

ra>hmatan lil alami>n (rahmat bagi alam semesta). Dan salah satu benuk rahmat

BAB I PENDAHULUAN. jenis pekerjaan, pendidikan maupun tingkat ekonominya. Adapun budaya yang di. memenuhi tuntutan kebutuhan yang makin mendesak.

BAB I PENDAHULUAN. umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri

BAB I PENDAHULUAN. pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras,

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan cikal bakal terciptanya keluarga sebagai tahap

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS. merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam bagian Kabupaten Deli

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

BAB III DESKRIPSI TENTANG PERKAWINAN DI MASA IDDAH DI DESA SEDAYULAWAS KECAMATAN BRONDONG KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Busisingo 4.1.1 Sejarah dan Pemerintahan Desa Busisingo Asal mula sejarah Desa Busisingo di umpamakan seperti wanita cantik yang mempunyai lesung pipit (kendis) di kedua pipinya.dalam bahasa Sangkub dan Bintauna lesung pipit ini disebut kambusising, yang kemudian menjadi Busisingo. Itulah nama desa Busisingo sampai sekarang. Desa Busisingo merupakan area perkebunan Busisingo yang pada waktu itu masih marupakan Desa Sangkub. Secara tidak langsung bisa dikatakan Busisingo saat ini merupakan Totabuan atau tempat mencari nafkahnya orangorang Desa Sangkub pada waktu itu.terbentuknya perkebunan Busisingo pada tanggal 6 juni 1956 yang dipimpin oleh seorang Probis Umum bernama Bapak Ibrahim Hassan. Setelah itu, setahun kemudian menjadi desa definitif pada tanggal 3 maret 1957, yang dipimpin oleh Bapak Husen H. Hassan yang tidak lain merupakan ayah dari Bapak Ibrahim Hassan. Bapak Husen Hasan ini memerintah dari tahun 1957 sampai tahun 1960, berdasarkan Surat Keputusan (SK) dari Kabupaten pada tanggal 2 Mei 1958 yang pada waktu itu masih dalam lingkup Kabupaten Bolaang Mongondow yang berkedudukan di Desa Kopandakan. Memasuki tahun 1958, terjadilah peperangan di Sulawesi utara yang dikenal dengan Persatuan Rakyat Semesta (Permesta), kondisi peperangan tersebut cukup berimbas pada kondisi pemerintah di Bolaang Mongondow dan 23 23

desa-desa kecil yang dinaunginya. Namun, tidak berselang pada tanggal 1 Januari 1961 kembali Bapak Ibrahim Hassan yang diangkat menjadi Sangadi (kepala desa) dan dilantik. Masa tugas Ibrahim Hassan mulai tanggal 1 Januari 1961 sampai dengan 4 maret 1964. Pada tahun 1964 ini, terjadi masa transisi di desa lamanya sekitar 4 bulan, dan tugas pemerintahan diambil oleh Probis Penerangan/Palakat atas nama Bapak Arnol Kandow. Pada tahun 1964 itu juga diadakan pemilihan kepala desa di desa Busisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan dan Karim H. Hassan, kemudian yang terpilih menjadi Sangadi Busisingo adalah Bapak Karim H. Hassan yang massa jabatanya 1964-1966. Pada tahun 1966 terjadi lagi krisis/transisi pemerintahan sehingga Bapak Andot H. Hassan diangkat menjadi Sangadi definitive pada tahun 1967.Bapak Karim H. Hassan ini adalah sepupu dari Bapak Ibrahim H. Hassan, sedangkan Bapak Adot H. Hassan ini adalah adik dari Bapak Ibrahim H. Hassan. Pada tahun 1967 diadakan pemilihan kepala desa, dimana yang terpilih menjadi kepala desa adalah bapak G. M Hassan yang memerintah selama 20 tahun mulai dari tahun 1967 sampai 1987. Pada tahun 1987 diadakan pemilihan kepala desa, dan yang terpilih adalah bapak Higa J. Lakoro yang memerintah dari tahun 1987-1996. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1996 diadakan lagi pemilihan kepala desa dan yang terpilih saat itu adalah bapak Husain Gonibala, dengan massa jabatan dari tahun 1996 sampai 2005. Pada tahun 2005 ini, kemudian masyarakat Busisingo kembali melakukan pemungutan suara untuk memilih kepala desa, dan yang terpilih sebagai Sangadi 24

adalah bapak Hamka Hassan, dengan masa jabatan dari tahun 2005 sampai tahun 2008. Dan pada tahun 2008 ini yang terplih menjadi kepala desa adalah ibu Rohaeni Gonibala-Boda, berdasarkan surat keputusan yang ada memerintah selama 6 tahun dari tahun 2008 sampai 2014. Namun pada tanggal 14 mei 2013, terjadi transisi pemerintahan dan akhirnya mandat pemerintahan diserahkan kepada Kepala Urusan (KAUR) Pembangunan sebagai PLH, yang dipercayakan kepada bapak Nyompa Saromeng sampai sekarang. Kondisi penduduk Desa Busisingo pada waktu itu, sekitar tanggal 6 Juni 1956 berjumlah 17 kepalah keluarga atau 85 jiwa penduduk. Saat menjadi desa definitif pada tanggal 3 Maret 1957 bertambah menjadi 35 kepala keluarga atau 157 jiwa penduduk. 4.1.2 Kondisi Umum Desa Busisingo 4.1.2.1 Kondisi Geografis Desa Busisingo berjarak 8 km dari ibukota kecamatan Sangkub, atau sekitar 60 km dari ibukota Kabupaten. Perjalanan dari Ibukota Kabupaten menuju Desa Busisingo memakan waktu 2 jam dengan mengunakan kendaraan bermotor.berdasarkan Peraturan Desa Nomor 05/DB-KS/PERDES/V/JI, batas wilayah Desa Busisingo antara lain: a. Sebelah Utara : Desa Busisingo Utara, Kecamatan Sangkub b. Sebelah Selatan : Desa Tombolango, Kecamatan Sangkub c. Sebelah Timur : Desa Tombolango, Kecamatan Sangkub d. Sebelah Barat : Desa Bintauna Pantai, Kecamatan Bintauna 25

Luas wilyah menurut penggunaannya di Desa Busisingo ada sekitar 242,60 hektar, yang terbagi dalam cakupan luas pemukiman 81 hektar, luas persawahan 85,5 hektar, luas perkebunan 40,07 hektar, luas pekuburan umum 0,3 hektar, luas pekarangan 3 hektar, luas wilayah kantor desa 0,5 hektar, dan luas prasarana umum lainnya 30,5 hektar. Selain itu, desa Busisingo juga mempunyai luas hutan mangrove sebesar 30 hektar. 4.1.2.2 Keadaan Penduduk Berdasarkan data profil desa tahun 2012, jumlah penduduk Desa Busisingo sekitar 240 kepala keluarga dengan total keseluruhan 869 jiwa, rinciannya 460 jiwa laki-laki dan 409 jiwa perempuan. Dimana presentase pertambahan jumlah penduduknya sekitar 4,5 persen untuk laki-laki dan 6,2 persen untuk perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Busisingo bermata pencaharian sebagai petani ada sekitar 245 orang, ada juga yang berprofesi sebagai nelayan sekitar 10 orang, peternak sebanyak 17 orang, pengusaha kecil dan menengah ada 17 orang. Penduduk desa Busisingo mayoritas merupakan etnis Bintauna, yang mayoritas juga beragama Islam. Tingkat kesejahteraan penduduk desa Busisingo juga masih di dominasi oleh keluarga prasejahtera dengan total 124 keluarga. Selain itu juga ada keluarga sejahtera 1 sebanyak 34 keluarga, keluarga sejahtera 2 sebanyak 40 keluarga, keluarga sejahtera 3 sebanyak 23 keluarga, dan keluarga sejatera 3 plus sebanyak 5 keluarga. 26

4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Deskripsi Pelaksanaan Adat Learo Dalam Pernikahan Masyarakat Busisingo Seperti halnya dalam prosesi adat atau kegiatan lainya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka pelaksanaan pernikahan adat di Desa Busisingo juga mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.adat Learo merupakan salah satu prosesi adat yang diharuskan dilaksanakan pada pernikahan adat masyarakat Desa Busisingo.Karena adat ini sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang masyarakat Busisingo. Hal ini berdasarkan wawancara dengan bapak Lodi Mokodongan, yang mengatakan bahwa: Adat learo ini sudah merupakan adat istiadat dalam acara pernikahan sejak dari nenek moyang mereka, dan adat learo ini sudah merupakan sebuah tradisi atau kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. (wawancara, 21 Mei 2013) Hal serupa juga diungkapkan bapak Rahim yang mengatakan bahwa: Masyarakat Busisingo menerima adat learo ini menjadi adat istiadat dalam acara pernikahan, karena memang sudah menjadi dasar kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. (wawancara, 22 Mei 2013) Selanjutnya bapak Imbuto mengatakan bahwa: Adat learo ini telah dikenal oleh masyarakat bolaang mongondow sejak nenek moyang mereka, adat learo ini sudah merupakan adat istiadat dalam pernikahan masyarakat Busisingo sejak nenek moyang mereka. (wawancara, 22 Mei 2013) 27

Terkait dengan Adat Learo merupakan warisan turun termurun, atau merupakan peninggalan nenek moyang masyarakat Busisingo ini dipertegas pula oleh bapak Surapel Wartabone, dengan mengatakan bahwa: Adat learo sudah dikenal oleh masyarakat Busisingo sejak nenek moyang masyarakat Bolaang Mongondow. Adat learo ini sudah menjadi dasar utama dalam pernikahan masyarakat Busisingo sejak zaman dulu yang merupakan atau sudah menjadi adat istiadat masyarakat busisingo, yang di mana adat learo ini digunakan dalam perlengkapan adat istiadat pernikahan masyarakat Busisingo. (wawancara, 23 Mei 2013) Sebagaimana lazimnya pelaksanaan upacara adat, pelaksanaan adat learo dalam pernikahan adat masyarakat Busisingo pun mempunyai aturan atau ketentuan-ketentuan adat yang mengikat, yang mau tidak mau harus dipenuhi.salah satu syarat tersebut misalnya, adanya ketentuan pelaksanaan adat learo bagi si pengantin wanita yang tidak melakukan pelanggaran atau hamil diluar nikah, atau pelaksanaan adat learo tidak dilaksanakan lagi bagi pernikahan si calon mempelai wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya atau sudah pernah menjanda. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Lodi Mokondongan, yang mengatakan bahwa: Adat learo ini tidak dilaksanakan jika kedua pasangan telah melakukan pelanggaran, misalnya kawin lari dan nikah sirih. Adat learo juga tidak bisa dilaksanakan apabila sang wanita sudah berstatus janda. (wawancara, 21 Mei 2013) 28

Hal senada juga dikatakan bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa: Apabila sang wanita telah berstatus janda maka adat learo ini tidak bisa dilasanakan. Dan apabila sang wanita telah melakukan pelanggaran misalnya, kawin lari dan nikah siri. Maka adat learo tidak bisa dilaksanakan. (wawancara, 22 Mei 2013) Ketentuan-ketentuan adat ini sudah menjadi dasar hukum tertentu sehingga kegiatan ini dapat berlangsung terus-menerus. Bagi masyarakat Busisingo pelaksanaan adat learo ini akan terus dilaksanakan karena sudah menjadi aturan yang mengikat bagi masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan bapak Lodi Mokodongan, yang mengungkapkan bahwa: Mengapa kita harus melakukan adat learo tersebut karena sudah merupakan aturan dan sesuai dengan adat istiadat yang diyakini oleh masyarakat Bolaang Mongondow Utara yang ditinggalkan oleh nenek moyang. (wawancara, 21 Mei 2013) Pelaksanaan adat learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah dan walimah digelar.bahkan ada cerita yang beredar di masyarkat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang diharapkan. Terkait dengan pelaksanaan adat learo sebelum acara pernikahan ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Rahim, bapak Surapel Wartabone dan bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa: Adat learo dilaksanakan sebelum akad nikah. 29

Adapun penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui musyawarah keluarga kedua bela pihak, beserta pemerintah desa, para pemangku adat dan pegawai syar I.Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Imbuto, yang menerangkan bahwa: Pelaksanaan learo terlebih dahulu dimusyawarakan oleh keluarga dan para orang tua adat.dan atas persetujuan dari keluarga kedua belah pihak. (wawancara, 22 Mei 2013) Selain itu, setelah disepakati keluarga kedua bela pihak bahwa adat learo akan dilaksanakan, maka pelaksanaan adat learo ini pula harus disaksikan oleh pemerintah Desa, para tetua adat dan kelurga dari kedua belah pihak. Ini berdasarkan wawancara dengan bapak Surapel Wartabone, yang mengatakan bahwa: Adat learo disaksikan oleh pemerinrah, lembaga adat dan keluarga dari kedua belah pihak, yang sudah dimusyawarakan oleh keluarga dan sudah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, yang dimana apakah adat learo ini akan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.(wawancara, 23 Mei 2013) Hal senada juga diungkapkan oleh bapak Lodi Mokodongan, yang mengatakan bahwa: Pelaksanaan adat learo ini disaksikan oleh pemerintah desa, lembaga adat dan keluarga yang akan mengadakan acara pernikahan. (wawancara, 21 Mei 2013) Setelah dilakukan musyrawah antara kedua keluarga calon mempelai tersebut, dan disepakati bahwa adat learo pada acara pernikahan akandilaksanakan, mulai saat itu keluarga kedua mempelai akan mempersiapkan segala keperluan terkait dengan pelaksanaan adat learo ini. 30

Adapun hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaan adat learo ini antara lain: Batu Learo, Pinang, Sirih, Kapur, dan sebuah baki yang berisi berbagai hadiah yang akan diberikan kepada mempelai wanita. Terkait dengan keperluan pelaksanaan adat learo ini seperti yang diungkapkan bapak Lodi Mokodongan yang mengatakan bahwa: Dalam pelaksanaan learo yang harus kita persiapkan yaitu, batu learo untuk menggosok gigi, pinang, sirih dankapur makan. (wawancara, 21 Mei 2013) Tidak jauh berbeda dengan itu, bapak Imbuto, juga mengungkapkan bahwa: Yang harus dipersiapkan yaitu :Isi Baki ( Bahan-bahan yg akan diberikan kepada sang wanita misalnya Cipu, AL-Qur an dll), Batu Learo, Pinang (Bunga pinang biasanya untuk meramal calon bayi yang akan lahir), Sirih dan,kapur makan. (wawancara, 22 Mei 2013) Setelah segalah keperluan learo telah dipersiapkan, maka selanjutnya tinggal pelaksanaan adat learo.dimana untuk pelaksanaan adat learo ini dilakukan di rumah mempelai wanita. Pada pelaksanaan adat learo ini, yang melakukan adat learo merupakan hasil persetujuan dari kedua keluarga mempelai yang diputuskan melalui musyawarah. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Lodi Mokodongan yang mengatakan bahwa: Yang menggosok gigi sang wanita yaitu tergantung dari hasil musyawarah dari keluarga apakah dari orang tua pihak laki-laki yang akan menggosok gigi sang wanita atau orang yang sudah dipercayakan untuk menggosok gigi sang wanita. (wawancara, 21 Mei 2013) 31

Hal senada juga diungkapkan oleh bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa: Yang menggosok gigi sang wanita yaitu dari persetujuan dari kedua belah pihak apakah orang tua dari pihak laki-laki atau dari pelaksana adat yang telah dipercayakan memegang batu learo tersebut. (wawancara, 22 Mei 2013) Selain itu, biasanya juga yang melakukan learo (menggosok gigi) sang mempelai wanita dilakukan oleh orang yang telah diberi amanah untuk memegang batu learo. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Surapel Wartabone bahwa: Biasanya yang meenggosok gigi sang wanita adalah orang yang telah dipercayakan memegang batu learo. (wawancara, 23 Mei 2013) Demikian juga diungkapkan oleh bapak Rahim, yang mengatakan bahwa: Yang menggosok gigi adalah orang tua yang sudah ditetapkan untuk menggosok gigi atau orang yang sudah dipercayakan untuk memegang batu learo tersebut. (wawancara, 22 Mei 2013) Batu yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo atau batu learo bukan batu sembarang.batu tersebut adalah batu khusus yang dipergunakan untuk pelaksanaan adat learo yang merupakan peninggalan para leluhur.disamping itu, orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga batu learo tersebut merupakan orang terpilih, atau berdasarkan kesepakatan para tetua adat, dan biasanya mengenal betul seluk beluk pelaksanaan learo beserta doanya. Tentang ini seperti yang diungkapkan bapak Lodi Mokodongan, bahwa: Batu yang dipakai untuk menggosok gigi merupakan batu keramat atau batu spesial yang memang batu dari peninggalan nenek moyang mereka. (wawancara, 21 Mei 2013) 32

Bahkan menurut bapak Surapel Wartabone, batu yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo, itu berbeda dengan batu yang kita temui sehari-hari di jalan. Memang sangat berbeda batu yang dipakai untuk learo dengan batu yang kita jumpai di jalan. (wawancara, 23 Mei 2013) Sedangkan dalam pelaksanaan learoini mula-mula disediakan beberapa ramuan yang terdiri dari siri, kapur dan bunga pohon pinang. Setiap bahan ramuan yang digunakan untuk adat learo itu diletakkan di pelepah daun pinang. Lilin juga digunakan sebagai penerang agar kilapan gigi akan tampak. Alat yang digunakan untuk learo ini merupakan sejenis batu yang disebut batu learo dan diletakkan pada daun woka (vou= sejenis daun palem). Selain itu, digelar diserambi rumah seperangkat tempat tidur.dimana gelar adat learo ini dilakukan di tengah-tengah keluarga terutama bagi mereka yang hendak menikah. Dengan cara tertentu, si wanita ditidurkan dengan tertutup sapu tangan. Selama gelar adat learo, dimainkan musik gambus yang diiringi dengan pantun (solivako) untuk menghibur pengantin.sedangkan untuk anak dan cucu bangsawan dimainkan kaimbu. 4.2.2 Pandangan Masyarakat Busisingo Terhadap Kelangsungan Adat Learo Pada prinsipnya, kelangsungan pelaksanaan adat learo menurut padangan masyarakat Busisingo akan terus dipertahankan. Karena adat learo sudah menjadi tradisi dan warisan turun temurun dari nenek moyang mereka.bahkan bagi masyarakat Busisingo pelaksanaan adat learo memiliki makna tersendiri.pelaksanaan adat learo tidak hanya dilakukan pada masyarakat 33

Busisingo atau bekas kerajaan Bintauna lainnya, melainkan juga dilakukan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Utara seluruhnya, termasuk bagi masyarakat bekas kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang, dimana adat learo bagi mereka dikenal dengan molelearu yang secara garis besar tatacaranya tidak jauh berbeda. Perihal ini seperti yang dibahasakan bapak Lodi Mokodongan, saat diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa: Adat learo ini telah mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat Busisingo yaitu dimana adat learo ini sudah merupakan suatu adat istiadat pernikahan bagi masyarakat busisingo, dan bukan hanya bagi masyarakat busisingo, tetapi juga masyarakat bolaang mongondow utara umumnya. (wawancara, 21 Mei 2013) Pelaksanaan adat learo sendiri merupakan kelengkapan upacara adat dalam pernikahan.seperti halnya sebuah kelengkapan, ketika adat learo ini tidak dilaksanakan, maka pernikahan terasa tidak lengkap yang berdampak pada menurunnya kualitas kemeriahan suatu pernikahan adat. Hal ini sebagaimana yang diujar oleh bapak Surapel Wartabone, yang mengatakan bahwa pelaksanaan adat learo ini tidak lain: Merupakan kelengkapan adat dalam pernikahan yang dimana adat learo ini sudah menjadi adat istiadat masyarakat Busisingo. (wawancara, 23 Mei 2013) Agar pelaksanaan adat learo tetap terpelihara di masyarakat, maka ditetapkan beberapa ketentuan adat yang bisa seiring sejalan dengan pelaksanaan adat learo ini.dimana ketika masyarakat tidak bisa melaksanakan adat learo 34

karena beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya maka ada kewajiban dari pihak keluarga untuk mengeluarkan biaya pengganti adat learo tersebut. Sebagai suatu ketentuan adat dan kelengkapan acara pernikahan, ketika adat learo ini tidak dilaksanakan oleh calon mempelai terutama mempelai wanita, maka dari pihak wanita harus memberikan uang pengganti berdasarkan ketentuan adat yang berlaku dimasyarakat. Terkait besaran uang pengganti ketentuan adat ini biasanya sebesar Rp300.000,-.Biasanya uang pengganti ini dibayarkan oleh pihak perempuan. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh bapak Lodi Mokodongan, yang mengatakan: Jika adat learo ini tidak dilaksanakan maka pihak perempuan tetap harus membayar uang sebesar Rp300.000,- yang sudah ditetapkan dalam rincian adat. (wawancara, 21 Mei 2013) Ada juga yang mengatakan bahwa, uang pengganti tersebut tidak harus dibayarkan oleh pihak pengantin wanita, melainkan juga bisa dilaksanakan oleh kedua bela pihak. Ini sebagaimana diungkapkan oleh bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa: Jika tidak dilaksanakan, kedua belah pihak tetap harus membayar uang Rp300.000,- yang sesuai dengan ketentuan rincian adat. (wawancara, 22 Mei 2013) Senada dengan itu, bapak Surapel Wartabone, juga mengungkapkan bahwa: Jika learo ini tidak dilaksanakan, maka harus membayar uang sebesar Rp300.000,-sesuai dengan rincian adat yang berlaku. (wawancara, 23 Mei 2013) Adapun mengenai tidak dilaksanakannya adat learo pada acara pernikahan karena terkendala, si calon pengantin wanita sebelumnya sudah pernah menikah, 35

atau karena si calon pengantin wanita sudah hamil diluar nikah atau kawin lari, maka harus ada uang pengganti dengan nominal sebagaimana telah diatur oleh adat. Tentang pandangan ini sebagaimana yang telah diutarakan oleh bapak Imbuto, yang mengungkapkan bahwa: Jika wanita telah hamil diluar nikah maka learo tidak bisa dilakukan,dan harus membayar uang sebesar Rp. 300, 000 sesuai dengan rincian adat. Akan tetapi jika kedua dari belak pihak ingin melakukan learo maka ke-2 belah pihak harus bermusyawarah dengan para orang tua adat dan pegawai syar I. (wawancara, 22 Mei 2013) Telah dijelaskan sebelumnya bahwa learo merupakan pelengkap dalam pelaksanaan pernikahan adat pada masyarakat Busisingo.Selain itu juga pelaksanaan learo juga secara tidak langsung dapat menghakimi suci tidaknya calon pengantin, terutama pengantin wanita. 4.2.3 Pokok-Pokok Temuan Berdasarkan kepercayaan masyarakat Busisingo, prosesi adat learo ini bisa membuktikan suci tidaknya sang calon pengantin. Dimana ketika adat learo dilaksanakan dan si pengantin wanita tidak merasa ngilu, maka si calon pengantin wanita tersebut tidak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya atau masih suci. Akan jika si wanita sudah tidak suci lagi maka ketika dilaksanakan learo maka si wanita akan merasakan ngilu. Hal ini seperti yang diungkap bapak Surapel Wartabone yang mengatakan bahwa: Ada dua pendapat tentang pada waktu pelaksanaan learo, yaitu dimanna jika sang wanita masih suci, maka dia tidak akan merasakan ngilu. Tetapi jika 36

sang wanita sudah tidak suci lagi, maka gigi akan terasa ngilu ketika pada saat learo. (wawancara, 23 Mei 2013) Senafas dengan itu, bapak Lodi Mokodongan juga mengungkapkan bahwa: Pada saat melakukan learo (menggosok gigi) gigi akan merasa ngilu apabila sang wanita sudah melakukan pelanggaran (sudah tidak suci/ tidak perawan), dan tidak akan merasa ngilu apabila sang wanita masih suci. (wawancara, 21 Mei 2013) Begitu juga dengan yang diungkap bapak Rahim, yang mengatakan bahwa: Ngilu apabila sang wanita sudah ada pelanggaran, dan tidak ngilu apabila sang wanita masih suci. (wawancara, 22 Mei 2013) Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa: Ada dua kesimpulan tentang melakukan learo yaitu : Gigi tidak akan merasakan ngilu apa bila sang wanita masih bersih (suci), Gigi akan tersa ngilu apabila sang wanita sudah tidak suci. (wawancara, 22 Mei 2013) Adanya kepercayaan masyarakat inilah yang terkadangan jika dilihat dari sisi negatifnya sering menimbulkan pergunjingan dan fitnah di tengah masyarakat pada saat pelaksanaan adat learo.bahkan ada calon pengantin yang ketakutan melaksanakan adat learo.namun dari sisi positifnya, pelaksanaan adat learo ini justru membuat anak-anak muda berfikir dua kali untuk melakukan hal-hal terlarang, karena takut mendapat sangsi moral pergunjingan dari masyarakat. 4.3 Pembahasan 4.3.1 Pelaksanaan Adat Learo Dalam pernikahan Masyarakat Busisigo 37

Kegiatan perkawinan adat di Bolaang Mongondow Utara khususnya di Desa Busisingo, Kecamatan Sangkub juga mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Terdapat beberapa ketentuan yang berdasarkan adat yang berlaku ditengah masyarakat, bahwa adat learo dapat dilaksanakan dalam pesta perkawinan. Masalah perkawinan mereka memiliki adat istiadat tertentu, yang harus dilaksanakan sebelum terjadinya akad nikah terhadap kedua calon pengantin. Akan tetapi tata cara adat istiadat tersebut tidak berlaku pada semua proses perkawinan yang ada di daerah ini. Karena ada juga proses perkawinan yang tidak memakai adat istiadat atau pun tidak diikat oleh peraturan adat tersebut. Seperti perkawinan bawah lari atau perkawinan lari bersama. Perkawinan semacam ini biasanya terjadi pada masyarakat yang kurang mampu memenuhi tuntunan adat. Selain itu ada juga perkawinan yang biasanya diselenggarakan oleh masyarakat golongan atas, yaitu masyarakat yang mempunyai kesanggupan untuk memenuhi tuntutan adat. Seperti dalam perkawinan pinang yang cara pelaksanaannya sangat jauh berbeda dengan perkawinan bawah lari bersama seperti yang disebutkan di atas. Proses perkawinan pinang dalam masyarakat etnis Bintauna sangat diikat oleh berbagai ketentuan adat istiadat. Salah satu tata cara adat yang paling menonjol yang masih dipelihara oleh masyarakat saat ini adalah pelaksanaan adat learo, dimana jika adat istiadat ini konon jika tidak dilaksanakan maka pesta perkawinan akan terasa kurang meriah. Berikut ini prosesi perkawinan pada masyarakat Busisingo dan masyarakat etnis Bintauna umumnya. 38

Peminangan (Molondao) artinya diawali dengan penyampaian kepada orang tua dari perempuan dimana sebentar malam ada orang tua adat yang akan berkunjung kerumah mereka. Hal ini disampaikan langsung oleh salah satu orang tua adat yang telah ditunjuk oleh keluarga si pria. Pelaksanaan prosesi adat pernikahan lengkap pada masyarakat Busisingo, biasanya terlebih dahulu dimulai dengan peminangan. Dimana peminangan atau Molanda o artinya pertemuan pertama dari kedua orang tua laki-laki dan orang tua perempuan yang di fasilitasi oleh Lembaga Adat dengan maksud memohon kepada orang tua perempuan dimana seorang anak perempuan bernama dimohon dan diminta kiranya mendapat persetujuan / diterimah untuk dinikahi oleh seorang laki-laki bernama.. pada saat itu orang tua dan lembaga adat dari pihak laki-laki belum mendapat jawaban dengan alasan masih menanyakan kepada seorang perempuan dimana mereka sudah ada saling hubungan cinta. (Ointoe, 2012: 23). Setelah kembali salah satu orang tua yang menyampaikan amanat, orang tua perempuan pun pergi untuk mengundang orang tua kampung untuk datang ke rumahnya. Di waktu yang bersamaan juga orang tua laki-laki sudah dalam perjalanan mau berkunjung ke rumah pihak perempuan. Orang tua adat pihak perempuan (Lovuka kampungo o mampilo vova): menanyakan kepada orang tua adat dari pihak laki-laki maksud baik apa yang akan disampaikan, dan dipersilahkan untuk menyampaikan maksud tersebut. Orang tua pihak laki-laki (Lovuka kampungo o mampilo lola i): menyampaikan bahwa dimana niat yang dibawah ini, datang untuk mencari jalan anak dari keluarga. Perempuan bernama diminta oleh orang tua dari pihak laki-laki yang bernama.. untuk dipelihara atau diakui sebagai anak. 39

Orang tua pihak perempuan, kemudian menyatakan bahwa belum ada jalan yang terang, sebab masih bertanya kepada kedua orang tuanya dan kepada anak yang bersangkutan. Setelah orang tua adat pihak perempuan mendapat keterangan yang baik dari orang tuanya, maka orang tua adat datang di rumah mempelai laki-laki bahwa sudah ada jalan yang baik. Orang tua adat pihak laki-laki, setelah itu segera datang di rumah orang tua perempuan untuk mengucapkan sukur sudah mendapat jalan yang baik. Setelah itu orang tua adat dari pihak perempuan dan orang adat dari pihak lakilaki beserta keluarga dari kedua belah pihak akan bermusyawarah ringan dan beratnya serta jauh dan dekatnya pekerjaan. Setelah itu, orang tua adat dari pihak perempuan telah pergi ke pemerintah desa, pegawai syar I dan orang-orang tua adat sudah berkumpul di rumah orang tua perempuan. Satu orang tua adat berdiri dan menyampaikan maksud kepada pemerintah, bahwa seorang perempuan bernama dilamar seorang laki-laki bernama.. setelah diterima lamaran tersebut maka orang tua dari pihak laki-laki sudah meminta susunan adat istiadat perkawinan. Sebagaimana yang dimaksud dari orang tua pihak perempuan ini, bahwa malamini dapat dibuat rincian adat istiadat perkawinan oleh pelaksana-pelaksana adat dan disaksikan oleh pemerintah desa. Setelah itu pelaksana-pelaksana adat sudah membuat perincian mulai dari dana adat: a. Peminangan: Rp. 100.000,- Pinokumana vali nia (peminangan artinya meminang) 40

b. Dua macam benda keras dan lembut: Rp. 75.000,- Dua macam benda keras dan lembut artinya sebelah lembut 10 meter kain putih sebelah keras dengan arti tapajaro. c. Penggunaan kedua bela tangan: Rp 60.000,- Penggunaan kedua bela tangan artinya walau isteri kena dengan api, atau kena dengan air panas orang tuanya tidak keberatan. d. Badan harta: 30 pohon kelapa berbuah e. Keperawanan: Rp 48.000,- Keperawanan ini khusus untuk kesucian bagi calon mempelai perempuan. f. Buka kain pintu: Rp 150.000,- Buka kain pintu ini artinya membuka kain pintu sampai pada penutup ranjang sudut empat. g. Learo (Gosok Gigi): Rp 300.000,- Ini adalah adat istiadat menggosok gigi atau memepat gigi, dan juga digunakan untuk membutktikan kesucian calon pengantin wanita. h. Pengantin perempuan datang dirumah pengantin laki-laki: Rp 40.000,- Artinya pengantin perempuan dijemput oleh orang tua laki-laki untuk datang dirumah pihak laki-laki. i. Pengantin perempuan tidur dirumah pengantin laki-laki: Rp 40.000,- Artinya pengantin perempuan dijemput oleh orang tua laki-laki untuk bermalam di rumah pihak laki-laki Setelah perincian adat perkawinan selesai dibuat, sesegera mungkin diantar kepada orang tua dari pihak laki-laki. Kemudian orang tua dari pihak laki- 41

laki datang bertemu dengan orang tua pihak perempuan guna membicarakan jauh dekatnya pelaksanaan. Setelah mendapat kesepakatan bersama, maka orang tua pihak laki-laki dan orang tua pihak perempuan pergi memberitahukan kepada pemerintah desa bahwa mereka akan membuat pesta nikah. Sesampainya dirumah pemerintah desa mereka menyampaikan bahwa menjadi maksud mereka datang pada saat itu untuk datang mengundang kepada pemerintah bahwa besok malam kalau tidak ada hal yang merintangi akan dilakukan antar harta. Setelah mendengar penyampaian itu, pemerintah desa, siapa-siapa pelaksana adat dan pegawai syar I yang diundang. Setelah pemerintah desa telah menyebut satu persatu yang diundang, lalu pada malamnya terus dilaksanakan antar harta di rumah mempelai perempuan malam itu juga pemeritah, pelaksana adat dan keluarga sudah datang dirumah mempelai wanita. Selanjutnya orang tua adat pihak perempuan menyampaikan permohonan izin kepada pihak pemerintah. Meski begitu jika ditelusuri lebih jauh pada jaman dahulu sempat terdapat perbedaan proses perkawinan atara golongan bangsawan dengan golongan biasa. Hal ini terjadi semasa ohongia/jokulango Mooreteo dinobatkan menjadi raja, saat itulah terjadi pembentukan struktur kemasyarakatan. Mereka yang dianggap cakap dan berani diangkat menjadi pemimpin dan bangsawan. Sedangkan bagi mereka yang cakap dan berpenghidupan sederhana diangkat menjadi pembantu kepala suku dan dijuluki simpalo. Sementara mereka yang penghidupannya rendah (mokiko) dikenal sebagai anak negeri (suango lipu). Selain itu, ada pula yang dimasukkan sebagai 42

golongan pelayan (budak) dan disebut vevako. Namun dimasa pemerintahan M.T Datunsolang (1938) golongan ini kemudian dihapuskan. Bentuk-bentuk penyapaan bagi anak dan cucu kohongia biasanya disapa dengan kata avo dan vua. Strata yang dibentuk dalam masyarakat Bintauna ini kemudian sangat menentukan dalam pemberian harta dalam perkawinan. Perhitungan harta ini dikenal dengan istilah kati. Namun, perhitungan kati ini bisa diwujudkan dalam bentuk uang, pohon kelapa, hewan dan lain-lain. Menurut adat, tingkatan harta itu diatur sebagai berikut: a. Delapan kati susuro (susun) untuk anak raja dan cucu raja pertama. b. Delapan kati tifatu (tidak disusun) untuk cucu raja kedua. c. Enam kati susuro untuk keturunan bangsawan. d. Enam kati tifatu pada keturunan bangsawan tengah (simpalo). e. Empat kati untuk keturunan suango lipu (anak negeri). Keputusan pemberian harta ini telah ditetapkan oleh hukum adat dan disepakati oleh para tetua adat. Bahkan cara dikuatkan dengan tivato (sumpah) yang terungkap dalam syair: Io moilampango o adat tino tantuwo (Siapa yang melanggar adat yang telah ditentukan). Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) Ungkapan yang serupa dibacakan dalam penobatan raja-raja. Dalam bahasa adat penobatan tersebut berbunyi: 43

Amu ohongia ompita namintolu lupu (kepada sang raja tempat kami bergantung) Aku ndk motuliro ( kalau tidak berjalan pada kebenaran) Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) Kanaitua roma ami lipu (demikian juga kami anak negeri) Ndk motuliro onijo ijompu (tidak berjalan pada kebenaran) Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) S.K Datunsolang (1996:236) mengungkapkan, pada zaman dahulu, ada beberapa prisip dalam perkawinan adat. Prisip-prinsip tersebut sangat ditentukan oleh peraturan yang mengikat dan golongan mereka yang menikah. Susunan adat yang telah dititahkan raja dan diakui oleh orang tua-tua adat itu antara lain dalam tata cara perkawinan suku Bintauna. Dalam perkawinan pada zaman dahulu terdapat pembagian proses perkawinan menjadi dua golongan yakni golongan bangsawan dan golongan orang biasa. Dimana golongan bangsawan, Vuasu nganga, sopoto reapange, sompa wafu, tonda, londuto, filombo, learo, pinonimbalea, pinopopitikan,. Sedangkan bagi golongan biasa Pinokumama (pemberitahuan), Sopoto reapange, Lontupo lima, Tonda, Londuto, Hiyaho (permainan), Learo, Pinonimbalea, Pinopopotika. 44

Dari Sembilan langkah adat perkawinan sebagaimana yang disebutkan tersebut, antara golongan bangsawan dan golongan biasa terletak pada pelaksanaan filombo dan hiyaho. Selain itu ada beberapa hal yang sangat menarik untuk peneliti papar disini antara lain adat timbale, ponimbale, popotika dan learo. Filombo adalah sejenis rintangan yang menempatkan Sembilan orang yang ditidurkan di tempat-tempat strategis pada setiap pintu masuk saat pengantin pria masuk rumah calon mempelai wanita. Dahulunya para perintang tersebut adalah para budak (vevako/aata). Tapi setelah perbudakan dihapus, maka digantikan dengan bambu yang dihiasi daun kelapa dan kayu rayo (kraton). Sebelum rintangan itu diberi bayaran atau tebusan, pengantin pria belum dibenarkan masuk. Seandainya dilanggara, sang pengantin pria dikenai denda adat. Setiap alat penebus itu ditutupi kain putih.namun, kadangkala kesembilan penghalang bisa ditunai dengan hewan, pohon kelapa atau uang. Kalau telah dibayarkan kesembilan penghalang tersebut akan disingkap. Untuk menghalau rintangan itu, terutama yang sudah terbuat dari bamboo, biasanya kepala adat dari pihak pria mengunakan pedang atau menginjaknya.kalau tidak sanggup menghalau rintangan itu, biasanya dianggap kesalahan adat.meskipun tak jauh berbeda, bagi keturunan bangsawan, pelaksanaan hiyaho (filombo) lebih disederhanakan. Dan umumnya, hiyaho itu telah digantikan dengan uang sebagai tebusan. Pada prinsipnya, pelaksanaan timbale tidak berbeda bagi golongan manapun. Bagi mempelai pria sebelum memasuki pintu rumah pihak mempelai 45

wanita, harus dihalangi. Setelah memberikan uang sebagai tanda tebusan, barulah pengantin pria berhak masuk. Payung yang menutupi pengantin pria harus tetap terbuka sebelum uang tebusan diterima. Setelah itu baru payung tersebut bisa ditutup (tumbao). Kemudian alas kaki dibuka (pangkuso). Ibu (inde) mempelai pria menyambut terlebih dahulu dan mengantarnya sampai ke puade (tempat duduk mempelai). Ditempat itu disuguhkan pinang dan sirih. Sebelum sampai ke puade, bagi mempelai wanita anak atau cucu raja, harus menginjak sebanyak tujuh buah piring putih.kalau segala persyaratan itu dijalankan resmilah acara penerimaan nikah adat itu.untuk mengiringi mempelai wanita, biasanya disembunyikan tabor. Dalam tata cara pernikahan adat, ponimbale dan popotika dipahami sebagai tanda penerimaan setelah perkawinan dilaksanakan. Acara ini dipakai sebagai ungkapan pengikat kekeluargaan antara keluarga masing-masing mempelai. Dengan tata cara itu, rasa sungkan diantara mereka terhadap keluarga kedua bela pihak dikurangi. Kalau adat ini tidak dilaksanakan, maka apapun yang terjadi di rumah keluarga masing-masing pihak, mereka tidak akan saling mengunjungi. Selain itu, dalam langkah-langka peminangan, ada beberapa tata cara yang dikenal dengan monapato. Dimana peminangan disertai para pemangku adat (wala). Biasanya, Wala Apulu (Kepala Desa) menyerahkan tata cara adat itu kepada Tetua Adat (Yepatolipu). Kemudian, peminangan dibukan dengan pinokumana, atau bagi kalangan bangsawan disebut vuaso nganga yang dibuktikan dengan pemberian 46

uang.seringkali ponimbale dilaksanakan pada siang hari.sedangkanpopotika dilakanakan pada malam kedua setelah perkawinan. Meski tidak diikat adat, popotika dilaksanakan juga untuk mengantar mempelai wanita ke kamar mempelai pria. Agat tidak malu dan sungkan tidur di rumah orang tua mantu, ketika memasuki kamar mempelai wanita ditemani gadis-gadis lain. Setelah pengantin wanita tidur semalam, siangnya ia dihantar kembali ke rumah orang tuanya. Setelah itu, keduanya boleh memilih tinggal dimana saja. Namun, dari berbagai adat yang dilakukan pada saat upacara pernikahan tersebut, ada sebuah adat yang cukup menarik untuk ditelusuri, yakni adat learo. Adat learo inilah yang merupakan adat pada pelaksanaan pernikahan yang peneliti terlusuri, baik berupa seluk beluk pelaksanaannya, serta mengapa adat learo ini masih dijaga dan dilestarikan.berikut sedikit gambaran tentang adat istiadat learo yang berkembang ditengah-tengah masyarakat saat ini, sebagian meruapakan hasil kajian literature, dan sebagian lagi merupakan informasi yang penulis dapati di lapangan. Mekanisme pelaksanaan adat learo sudah dijelaskan pada hasil penelitian ini. Perlu diperhatikan adalah adat Learo merupakan salah satu prosesi adat yang diharuskan dilaksanakan pada pernikahan adat masyarakat Desa Busisingo. Karena adat ini sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang masyarakat Busisingo. Dimana pelaksanaan adat learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah dan walimah digelar. Bahkan ada cerita yang beredar di masyarkat bahwa apabila adat learo ini 47

tidak dilaksanakan maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang diharapkan. Pelaksanaan adat learo tidak hanya dilakukan pada masyarakat Busisingo atau bekas kerajaan Bintauna lainnya, melainkan juga dilakukan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Utara seluruhnya, termasuk bagi masyarakat bekas kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang, dimana adat learo bagi mereka dikenal dengan molelearu yang secara garis besar tatacaranya tidak jauh berbeda. Pelaksanaan adat learo dalam pernikahan adat masyarakat Busisingo pun mempunyai aturan atau ketentuan-ketentuan adat yang mengikat, yang mau tidak mau harus dipenuhi. Salah satu syarat tersebut misalnya, adanya ketentuan pelaksanaan adat learo bagi si pengantin wanita yang tidak melakukan pelanggaran atau hamil diluar nikah, atau pelaksanaan adat learo tidak dilaksanakan lagi bagi pernikahan si calon mempelai wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya atau sudah pernah menjanda. Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui musyawarah keluarga kedua bela pihak, beserta pemerintah desa, para pemangku adat dan pegawai syar I. Selain itu, setelah disepakati keluarga kedua bela pihak bahwa adat learo akan dilaksanakan, maka pelaksanaan adat learo ini pula harus disaksikan oleh pemerintah Desa, para tetua adat dan kelurga dari kedua bela pihak. Seperti juga yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa istilah Learo atau learu sama dengan padanan kata pepat atau memepat yang berarti membuat rata (dikerat, dipangkas, didabung dengan gigi, dipenggal puncaknya dan 48

sebagainya). Sedangkan menurut istilah adat, learo adalah suatu kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat turun temurun sebagai pelengkap dalam setiap pelaksanaan perkawinan adat, dengan jalan menggosok atau memepat, mengerat dan memangkas puncak gigi kedua calon pengantin hingga rata dan teratur.yang dimaksud memepat gigi dalam adat learo bukan memepat sampai habis, melainkan hanya merapihkan, sehingga learo ini juga sering dikenal dengan istilah adat menyikat gigi juga. Selain itu, pelaksanaan learo dalam acara pernikahan, menurut kepercayaan masyarakat, adat learo ini bisa menunjukkan si calon pengantin masih suci atau tidak lagi. Sehingga tidak heran terkadang pelaksanaan adat ini juga berdampak pada pergunjingan ditengah-tengah masyarakat. Selain itu ada juga pandangan ini demi kebersihan. Menurut S.K. Datunsolang (1996: 138), agar gigi setiap wanita tampak rapi dan bersih, dilakukan acara learo (memepat/menyikat gigi). Hal ini dilakukan sebagai tanda kasih sayang orang tua kepada anak gadisnya. Namun, hingga sang gadis dilamar dan menikah, tata cara learo ini bisa dilaksanakan oleh suaminya. Pelaksanaan learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah dan walimah digelar. Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui musyawarah keluarga kedua bela pihak.menurut tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang diharapkan. Karena adat learo ini pada pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan acara penyerahan dan penerimaan calon pengantin laki-laki beserta mas kawinnya 49

dan perlengkapan lain yang ada sangkut pautnya dengan acara perkawinan adat tersebut. Bahkan ada juga pandangan yang sudah mengakar dan menjadi kepercayaan masyarakat bahwa, pada gelar adat learo bisa diketahui apakah si wanita tersebut masih suci atau tidak. Hal ini dapat dilihat ketika saat pelaksanaan adat learo, jika si wanita merasakan sakit atau ngilu berarti wanita tersebut sudah tidak suci lagi, sedangkan jika tidak merasakan apa-apa berarti wanita tersebut masih terjaga kesuciannya.dalam pelaksanaan learo disediakan beberapa ramuan yang terdiri dari srey, bawang merah dan bunga pohon pinang. Buah pinang sendiri kerap digunakan untuk meramal jenis kelamin bakal bayi yang akan lahir. Buah pinang itu biasanya dibela di atas perut wanita yang bakal melahirkan. Pada pelaksanaan adat learo, mengunanakan batu untuk menggosok gigi yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo dan batu learo bukan batu sembarang. Batu tersebut adalah batu khusus yang dipergunakan untuk pelaksanaan adat learo yang merupakan peninggalan para leluhur. Disamping itu, orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga batu learo tersebut merupakan orang terpilih, atau berdasarkan kesepakatan para tetua adat, dan biasanya mengenal betul seluk beluk pelaksanaan learo beserta doanya. Bagi masyarakat pelaksanaan adat learo memiliki makna tersendiri. Dimana secara khusus adat learo ini merupakan salah satu kelengkapan acara adat pada pesta pernikahan, sehingganya ketika acara ini tidak dilaksanakan maka acara pernikahan dianggap tidak lengkap. Meski begitu, jika ada keluarga yang mempunyai hajatan pernikahan tersebut tidak ingin melaksanakan acara adat learo 50

ini, atau tidak bisa melaksanakan learo ini karena alasan-alasan yang tidak membolehkan dilaksanakananya learo, maka tetap harus membanyar denda, atau uang pengganti berdasarkan ketentuan adat yang berlaku. Terkait besaran uang pengganti ketentuan adat ini biasanya sebesar Rp300.000,-. Biasanya uang pengganti ini dibayarkan oleh pihak perempuan. 4.3.2 Pandangan Masyarakat Busisingo Terhadap Kelangsungan Adat Busisingo Berdasarkan data dan hasil penelitian yang peneliti peroleh dalam penilitian ini, sebagian besar masyarakat Busisingo khususnya dan Bolaang Mongondow Utara umumnya merupakan mayoritas memeluk agama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan di Desa Busisingo dilihat dari bentuk dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang berbeda hanyalah system pelaksanaannya saja. Di Bolaang Mongondow Utara umumnya pasca masuknya agama Islam telah mempengaruhi banyak segi dan aspek kehidupan, terutama pada tatanan adat masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan diterimanya syariat Islam sebagai landasan adat yang sekaligus merupakan landasan dan dasar bagi pelaksanaan perkawinan secara adat. Atau dalam istilahnya adat bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, dimana ini dapat mengindikasikan bahwa antara hukum agama dan hukum adat saling bekerjasama atau saling melengkapi. Meski begitu apabila adat ketentuan adat yang bertentangan biasanya yang lebih diutamakan adalah ketentuan agama. 51

Demikian dapat dipahami bahwa dasar yang menjadi landasan dari pelaksanaan perkawinan adat learo dalam masyarakat Busisingo adalah syariat Islam. Oleh karenanya kehadiran syariat Islam telah banyak berpengaruh pada aspek kehidupan masyarakat Busisingo khususnya dalam masalah perkawinan. Seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa dalam pelaksanaan perkawinan adat di Busisingo terutama pada prosesi pelaksanaan adat learo tersebut tujuannya agar kedua calon mempelai terjaga kesucian dan kebersihan dirinya sebelum mereka membina mahligai rumah tangga. Agar rumah tangga mereka kelak bisa menjadi rumah tangga yang sakinah mawadah dan warohmah. Terkait dengan masalah kebersihan dan kesucian ini dalam Islam ditempatkan dalam urutan tertinggi, bahkan dalam kitab-kitab ilmu fiqih, Thahara yang artinya bersuci mendapat posisi dan kedudukan awal sebelum membahas fiqih yang lainnya. Sebab dalam agama Islam telah dianjurkan agar umat Islam senantiasa dalam keadaan suci dan bersuci. Tahara sendiri berarti menjauhi segala yang kotor dan cemar dan mendekati kebersihan dan kesucian baik lahir maupun batin. Sehubungan dengan itu maksud dari pelaksanaan adat learo adalah merujuk pada masalah kebersihan dan kesucian diri yang pada hakekatnya adalah untuk membudayakan hidup senantiasa bersih dan suci. Hal ini sejalan dengan difirmankan Allah SWT dalam Surat Al-Baqorah ayat 222, yang artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orangorang yang menyucihkan diri. 52

Berdasarkan pandangan masyarakat Busisingo dapat dikatakan pelaksanaan adat learo tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Justru pelaksanaan adat learo merupakan perwujudan pelaksanaan atau praktek ajaran Islam di dalam pelaksanaan perkawinan adat di Busisingo. Menyadari bahwa learo mempunyai maksud dan tujuan yang baik, maka masyarakat Busisingo menerima adat ini dalam perkawinan adat mereka bahkan hingga kini masih terus dipelihara. Tidak hanya itu pelaksanaan adat learo juga secara tidak langsung turut serta berpengaruh sebagai legitimasi budaya pada pelaksanaan perkawinan adat pada masyarakat Busisingo. Sehingga sifatnya bisa juga disamakan sebagai formalitas atau melambangkan suatu budaya daerah dan tidak menentukan berlangsung tidaknya pernikahan. Sebab meskipun tidak dilaksanakan learo pernikahan tetap bisa dilanjutkan. Hakekat dari adat laero berdasarkan pengertian tersebut menyeruhkan agar para calon pengantin baik laki-laki dan perempuan untuk menjaga kesuciannya. Tidak hanya itu dituntut juga kesucian dan kebersihan lahir dan batin dari si calon mepelai yang akan melansungkan perkawinan. Karena persoalan menjaga kesucian ini merupakan anjuran dalam ajaran Islam. Dengan demikian pelaksanaan adat learo sejatihnya dapat membantu mencegah terjadi pelanggaran dari apa yang disyariatkan oleh ajaran Islam seperti larang berzina, menjagai kesucian diri dan lain sebagainya. Sebab tak disangkal lagi zaman yang semakin bebas ini, pergaulan anak muda belakangan sudah menjurus kepada pergaulan bebas, menyalahgunakan obat-obatan terlarang, hingga sex bebas. 53

Diharapkan dengan adanya adat learo ini akan memberikan sanksi moral kepada pemuda-pemudi agar berhati-hati, karena suci tidaknya mereka dapat diketahui pada saat akan dilangsungkannya adat learo berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat. Justru dengan diterapkannya konsep Islam ini sudah menjadi keterpautan rumah tangga baru agar melalui dengan kebersihan dan kesucian. Dengan demikian bisa dikatakan calon suami istri ini telah menjalankan perintah Allah diambang pernikahan yang diawali dengan penyucian diri. Lebih dari itu apabila adat ini benar-benar diterapkan dalam masyarakat dalam arti bahwa maksud dan tujuannya dijelaskna pada masyarakat setiap akan dilaksanakannya adat tersebut. Agar supaya masyarakat terutama generasi muda dapat memahami dan mengetahui maksud dan tujuan diadakannya adat learo. Bahkan lebih dari itu adat learo kalau ditelisik lebih jauh lagi juga dapat mengajak pada masyarakat untuk menghindari perbuatan yang mungkar dan mengajak kepada kebaikan atau makruf. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Imran ayat 164 yang artinya: Hendaklah diantara kamu suatu bangsa yang mengajak kepada kebaikan dan menyuruh yang baik dan melarang kepada segala yang mungkar dan mereka yang demikian merupakan orang-orang yang menang. Meski begitu, dalam perjalanan sejarahnya pelaksanaan adat learo selain merupakan adat kebiasaan turun temurun, pelaksanaannya dewasa ini hanya dilaksanakan pada perkawinan yang masih dianggap baik. Dalam penelitian ini juga peneliti menemukan bahwa jika adat learo tidak dilaksanakan maka kemungkinan akan menimbulkan fitnah yang terutama fitnah gunjingan ini tertujuh pada keluarga mempelai wanita. Sebab secara umum masyarakat akan 54

dengan sendirinya curiga, jika tanpa alasan yang jelas-jelas berdasarkan ketentuan adat tidak bisa dilaksanakan adat learo, maka akan dicurigai pihak perempuan tidak melaksanakan learo karena sudah tidak suci lagi. Berdasakan bahasan penelitian yang telah dijelaskan bahwa, adat learo selain berfungsi sebagai pelengkap perkawinan adat di desa Busisingo, juga mempunyai maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya. Adapun maksud dan tujuan dari pelaksanaan adat learo ini secara umum yakni untuk menjaga kebersihan dan kesucian dari kedua calon pengantin sebelum membangun rumah tangga. Sedangkan tujuan pelaksanaan adat learo pada acara pernikahan masyarakat Busisingo antara lain: 1) Demi menjaga dan terpeliharanya kehormatan dari calon mempelai wanita, dan juga anak-anak remaja yang belum menikah. Agar terhindar dari seks pra nikah, karena adanya sangsi moral pada pelaksanaan adat learo tersebut. Tidak hanya wanita, bahkan ada juga pelaksanaan learo yang mengikut sertakan pria. 2) Selain itu, adat learo ini juga berfungsi untuk kebersihan dan kesucian kedua calon pengantin sebelum mereka melakukan hak dan kewajibannya sebagai suami istri dalam sebuah mahligai rumah tangga. 55