BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB I PENDAHULUAN. daerah masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa orde baru, pembangunan yang merata di Indonesia sulit untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Keberhasilan suatu

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun Kebijkan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat dan pembangunan (Siahaan, 2010:9). Sedangkan pajak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Keseriusan pemerintah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dengan adanya sistem desentralisasi maka pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah pada tahun 1999, yaitu sejak

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Negara Indonesia sedang berada dalam sistem pemerintahan yang

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

I. PENDAHULUAN. Organisasi sebagai satu kesatuan yang dinamis merupakan alat untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran. pemerintah di bidang pembangunan dan kemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Negara Indonesia telah sejak lama mencanangkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era desentralisasi dan otonomi daerah menjadi tantangan bagi setiap daerah untuk memanfaatkan peluang kewenangan yang diperoleh, serta tantangan untuk menggali potensi daerah yang dimiliki guna mendukung kemampuan keuangan daerah sebagai modal pembiayaan dan penyelenggaraan pemerintah di daerah. Desentralisasi telah menjadi topik atau isu yang popular di Indonesia, terutama sejak pemerintah Indonesia memperkenalkan Kebijakan Otonomi Daerah. Keseriusan pemerintah diwujudkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Esensi kebijakan ekonomi daerah yang bergulir dewasa ini telah menempatkan kabupaten dan kota sebagai titik berat ekonomi, nampaknya telah membawa perubahan dalam pelaksanaan Pemerintah Daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Hal tersebut baik bagi perkembangan pembangunan daerah di Indonesia yang tentunya juga diharapkan berimplikasi pada peningkatan pelayanan, perbaikan, kesejahteraan, dan jaminan hidup yang lebih baik kepada masyarakat dibandingkan dengan peristiwa masa lalu. Pelaksanaan otonomi daerah secara langsung akan berpengaruh terhadap sistem pembiayaan, pengelolaan, dan pengawasan keuangan daerah. Sistem 1

2 pembiayaan daerah dalam konteks otonomi daerah merupakan salah satu aspek yang paling penting. Daerah diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fiskal agar mampu memenuhi kebutuhan fiskal sehingga tidak mengalami kesenjangan fiskal. Salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas daerah tersebut adalah dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah (bagian dari Pendapatan Asli Daerah) melalui belanja modal. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 53 dalam Rudy Badrudin (2012: 61), belanja modal adalah anggaran pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (A PBD) yang digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Sumber Pendapatan Asli Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendaparkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/ atau diberikan Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang

3 pribadi atau badan (Mardiasmo, 2011: 12-15). Lebih lanjut lagi Marihot Pahala Siahaan (2010: 5-9) menjelaskan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Retribusi daerah adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan Negara bagi penduduknya secara perorangan. Dengan demikian, pajak daerah dan retribusi daerah merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan Pemerintah Daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah Daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sebagaimana dimuat dalam penjelasan perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Tahun 2009 yang menyebutk an secara umum bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, setiap daerah yaitu provinsi yang terbagi atas daerah kabupaten dan kota mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan efisiensi dan efektivitas serta pelayanan kepada masyarakat yang harus selalu ditingkatkan. Dengan perubahan Undang-Undang PDRD Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut 11 jenis pajak yaitu empat jenis pajak untuk tingkat provinsi dan tujuh jenis pajak untuk tingkat kabupaten/ kota. Namun

4 kabupaten atau kota masih diberi wewenang untuk menetapkan jenis pajak lainnya dengan syarat memenuhi ketentuan yang diterapkan dalam undang undang. Sedangkan dalam pemungutan retribusi, undang-undang mengatur proses penetapan jenis retribusi yang dapat dipungut daerah. Dalam hal retribusi pihak provinsi maupun kabupaten/ kota juga diberikan kewenangan menetapkan jenis retribusi selain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Telah disampaikan bahwa undang-undang PDRD diadakan perubahan dengan beberapa dasar pertimbangan. Dengan pertimbangan tersebut dilakukannya perubahan dengan diberlakukannya Undang-Undang PDRD Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena memudahkan penyesuaian pendapatannya yang sejalan dengan peningkatan basis Pajak Daerah dan diskresi dalam penetapan tarif (Waluyo, 2011: 235-236). Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial.

5 Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk di kembangkan menjadi sumber PAD. Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah. Dalam upaya peningkatan kemandirian daerah pemerintah daerah juga dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembagunan pada sektor-sektor yang produktif di daerah. Penerapan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal oleh pemerintah pusat Indonesia memiliki tujuan untuk kemandirian pemerintah daerah dalam pengelolaan rumah tangganya. Dalam penerapannya pemerintah pusat tidak lepas tangan secara penuh dan masih memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa dana perimbangan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan dan menjadi menjadi komponen pendapatan daerah dala APBD. Pemerintah daerah harus dapat menjalankan rumah tangganya secara mandiri dan dalam upaya peningkatan kemandirian ini, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pelayanan publiknya. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin (Anggito Abimanyu, 2005). Belanja Modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga menikmati manfaat dari pembangunan daerah. Tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan

6 efisiensi dan efektivitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat diharapkan menjadi semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah telah mengakibatkan pemungutan berbagai jenis pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pemungutan ini harus dapat dipahami oleh masyarakat sebagai sumber penerimaan yang dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Agar dapat dipungut secara efektif, pemahaman masyarakat, petugas pajak, dan setiap pihak yang terkait dengan pemungutan tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang serta peraturan daerah yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Penerimaan Pajak Daerah dan Penerimaan Retribusi Daerah terhadap Belanja Modal Daerah (Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2016).

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dituliskan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah penerimaan pajak daerah berpengaruh terhadap belanja modal daerah pemerintahan kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2016? 2. Apakah penerimaan retribusi daerah berpengaruh terhadap belanja modal daerah pemerintahan kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2016? 3. Apakah penerimaan pajak daerah dan penerimaan retribusi daerah berpengaruh terhadap belanja modal daerah pemerintahan kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2016? C. Batasan Masalah Agar penelitian ini bisa memberikan pemahaman sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, maka penulis melakukan pembatasan masalah terhadap ruang lingkup penelitian, yaitu meliputi : 1. Pemerintahan daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa untuk tahun 2016. 2. Bukan daerah pemekaran. 3. Variabel yang digunakan yaitu penerimaan pajak daerah, penerimaan retribusi daerah dan belanja modal daerah.

8 D. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang ada maka tujuan dilakukan penelitian ini antara lain : 1. Untuk mengetahui pengaruh penerimaan pajak daerah terhadap belanja modal daerah pemerintahan kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2016. 2. Untuk mengetahui pengaruh penerimaan retribusi daerah terhadap belanja modal daerah pemerintahan kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2016. 3. Untuk mengetahui pengaruh penerimaan pajak daerah dan penerimaan retribusi daerah terhadap belanja modal daerah pemerintahan kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2016. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh bagi beberapa pihak dari penelitian mengenai pengaruh penerimaan pajak daerah dan penerimaan retribusi daerah berpengaruh terhadap belanja modal daerah antara lain : 1. Bagi Pemerintahan Dapat digunakan sebagai perbandingan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintahan. Terlebih dalam hal penerimaan pajak daerah, penerimaan retribusi daerah dan belanja modal daerah seperti pada perencanaan strategi dalam pelaksanaan kegiatan berhubungan pajak, retribusi dan belanja modal. Diharapkan pula dapat membantu pemerintah

9 dalam penentuan upaya upaya atau kebijakan mengenai penerimaan pajak daerah, penerimaan retribusi daerah dan belanja modal daerah. 2. Bagi Universitas Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian berikutnya, baik dari kalangan Universitas Mercu Buana Yogyakarta maupun dari perguruan tinggi lainnya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam sektor publik khususnya mengenai penerimaan pajak daerah, penerimaan retribusi daerah dan penerimaan belanja modal daerah 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta pembaca hasil penelitian ini. F. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Memuat latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Memuat tinjauan pustaka mengenai hasil penelitian terdahulu, landasan teori yang mendasari penelitian, antara lain : daerah, pajak, retribusi, pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerahyang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, dana alokasi umum, dana lokasi

10 khusus, dana bagihasil, belanja modal daerah serta membahas hipotesis dan kerangka berfikir. Bab III Metode Penelitian Terdiri atas variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan sumber data yang digunakan untuk memperoleh hasil penelitian. Bab IV Hasil dan Pembahasan Pada bab ini diuraikan deskripsi dari obyek penelitian khususnya mengenai variabel-variabel yang digunakan. Selain itu berisi analisis data yang memuat intrepertasi data agar lebih mudah dimengerti. Pembahasan berisi jawaban atau permasalahan penelitian. Bab V Kesimpulan dan Penutup Berisi ringkasan atas hasil pembahasan dan saran kepada pihak yang berkepentingan terhadap penelitian