BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

Oleh. Firmansyah Gusasi

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Indonesia memiliki 13.466 pulau yang telah terdaftar dan berkoordinat (www.bakosurtanal.go.id). Garis pantai di Indonesia sepanjang 99.093 kilometer (km) merupakan garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Kanada (263.523 km), Amerika Serikat (133.312 km) dan Federasi Rusia (110.310 km). Adanya garis pantai yang panjang, memiliki konsekwensi wilayah kepesisiran yang luas pula. Bakosurtanal (2000) mengemukakan bahwa wilayah kepesisiran merupakan bentang lahan yang dimulai dari garis batas wilayah laut yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah gelombang ke arah darat hingga pada suatu bentanglahan yang seecara genetik pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktifitas marin, seperti dataran aluvial pesisir. Pemahaman lain mengenai wilayah kepesisiran adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua, dimana ciriciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (BCEOM, 1998 dalam Khakhim, 2009). Wilayah kepesisiran merupakan wilayah yang kaya akan sumberdaya alam dan mempunyai potensi dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Gunawan dkk., 2005). Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dimaksud dengan sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri dari sumberdaya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Kekayaan sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan apabila 1

direncanakan dan dikelola dengan baik. Perencanaan dan pengelolaan wilayah kepesisiran dapat dilakukan dengan pendekatan tipologi pesisirnya, mengingat tiap-tiap pesisir memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan proses genetik dan material penyusunnya (Khakhim, 2009). Sumberdaya alam yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan jenis hutan yang tumbuh pada daerah rataan pasang surut, pesisir yang tergenang, sepanjang sungai maupun anak sungai yang berair payau (Melana dkk., 2000). Mangrove memiliki berbagai manfaat, baik manfaat secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat secara langsung yang dapat diperloleh dari mangrove adalah memberikan perlindungan pesisir, baik dari tsunami, erosi maupun gelombang. Kemudian manfaat yang dapat diturunkan dari hutan mangrove antara lain berupa kayu, madu, obat, makanan ternak maupun sumberdaya perikanan dan kelautan lainnya (Clough, 2013). Manfaat lain dari hutan mangrove adalah berperan dalam mendukung rantai makanan di wilayah kepesisiran (Giesen dkk., 2006). Terkait dengan pengelolaan mangrove di Indonesia, selain mengacu pada UU Nomor 27 tahun 2007, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Kusmana (2014) mengemukakan bahwa terkait dengan pengelolaan mangrove di Indonesia, paling tidak terdapat 5 (lima) kementerian/badan yang menangani mangrove. Adapun kementerian atau badan tersebut adalah: Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahah Nasional. Kemudian untuk memperkuat kelembagaan di daerah dalam pengelolaan mangrove, pemerintah Indonesia juga membentuk intitusi terkait. Adapun intitusi tersebut adalah: Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM), Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) dan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD). Luas hutan mangrove di Indonesia dalam satuan luas, yakni mencapai 3,2 juta hektar, Bakosurtanal (2009, dalam Kusmana 2014). Hutan mangrove di Indonesia merupakan hutan mangrove dengan jenis spesies terbanyak dan terluas bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Jumlah spesies hutan 2

mangrove di Indonesia mencapai 48 jenis spesies dan lusannya menecapai 59,8 persen dari total mangrove yang ada di Asia Tenggara. Hal tersebut merupakan potensi sumberdaya alam yang harus dikelola untuk pembangunan yang berkelanjutan. Informasi mengenai persentase luas dan macam jenis mangrove di Asia Tenggara, dapat dilihat pada Gambar 1.1 Gambar 1.1. Persentase luas (a) dan macam jenis mangrove (b) di Asia Tenggara Sumber: Geisen, 2006 a b Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, informasi telah menjadi kebutuhan yang sebaiknya diinformasikan ke publik, tidak terkecuali informasi geospasial. Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Informasi geospasial mengenai hutan mangrove di Indonesia yang dapat diakses oleh publik telah ada, namun belum ada informasi mengenai pengelolaan mangrove. Informasi geospasial mangrove tersebut dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dalam bentuk webservice. Dalam informasi yang didiseminasikan secara elektronik tersebut disajikan keterangan mengenai hutan mangrove yang dapat dilihat dengan menggunakan perangkat lunak pengolahan data geospasial. Gambaran mengenai informasi geospasial mengenai hutan mangrove di Indonesia, khususnya di Kabupaten Banggai Kepulauan dapat dilihat pada Gambar 1.2 3

Gambar 1.2. Informasi Geospasial mangrove di Indonesia Sumber: http://geoservices.inasdi.or.id/arcgis/rest/services/igt/igt_pesisir_ Laut/MapServer 1.2. Perumusan Masalah Pengelolaan mangrove diarahkan untuk menuju terwujudnya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat (KKMTN, 2013). Salah satu wilayah kepesisiran yang penting untuk dikaji, kaitannya dengan pengelolaan hutan mangrove adalah wilayah kepesisiran Kabupaten Banggai Kepulauan. Wilayah kepesisiran kabupaten ini memiliki panjang garis pantai mencapai 756,5 kilometer (km) dan ditemui adanya hutan mangrove dengan pola sebaran garis mengelompok. Terdapat 18 Jenis spesies mangrove sejati yang berada di Kabupaten Banggai Kepulauan (BPLH Banggai Kepulauan, 2014). Bila dikaitkan dengan banyaknya spesies yang ada di Indonesia (Gambar 1.1b) yang berjumlah 48 spesies, maka dapat dikatakan bahwa spesies mangrove sejati di Banggai Kepulauan adalah sebanyak 37,5 persen. Mendasarkan pada hal tersebut, diperlukan perhatian khusus untuk dikelola dengan bijaksana, sehingga mangrove di Kabupaten Banggai Kepulauan tetap lestari dan tidak terjadi penurunan keanekaragaman, baik karena faktor alami maupun faktor manusia. Pelestarian hutan mangrove sangat penting untuk peredam gelombang sekaligus pertahanan yang menghalangi gelombang tsunami agar tidak secara 4

langsung menghantam permukiman yang terdapat di sepanjang wilayah pesisir. Pada 4 Mei 2000 terjadi gempa besar berkekuatan 6,5 SR yang mengakibatkan 54 orang tewas dan 23.000 bangunan penduduk rusak di Kabupaten Banggai Kepulauan (Antara News, 2009). Pemanfaatan wilayah kepesisiran di Kabupaten Banggai Kepulauan sangat kompleks, sehingga mempengaruhi keberadaan mangrove. Bappeda dan Penanaman Modal (2012) memaparkan bahwa pemanfaatan ruang di wilayah kepesisiran tersebut antara lain berupa pengembangan permukiman, pertanian, perikanan, transportasi laut (termasuk pelabuhan). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengleolaan untuk kebermanfaatan dan kelestarian mangrove guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Upaya perolehan informasi lokasi mangrove di Kabupaten Banggai Kepulaun secara langsung akan menjadi permasalahan (waktu, biaya, tenaga), mengingat panjang garis pantai yang mencapai 756,5 km. Perolehan informasi keterdapatan mangrove dengan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh, diyakini dapat memberikan kemudahan dalam perolehannya. Data spasial yang telah diperoleh dari penginderaan jauh, perlu dilakukan analisis secara keruangan untuk dapat menentukan model pengelolaannya. Sistem informasi geografis (SIG) dapat digunakan sebagai sarana pengolahan data spasial. Kemampuan SIG terkait data geospasial adalah dalam mengelola, menyimpan, menayangkan kembali, memanipulasi, menganalisis dan keluaran data spasial. Model pengelolaan hasil analisis akan lebih bermanfaat apabila didiseminasikan, sehingga menjadi informasi yang berguna oleh berbagai pihak. Terlihat pada Gambar 1.3 kaitanya dengan pengelolaan mangrove penginderaan jauh mampu memberikan informasi spasial yang dibutuhkan yang cepat, yang dapat digunakan sebagai sumber data dalam pengolahan menggunakan SIG. Informasi hasil analisis kemudian dapat digunakan sebagai masukan dalam diseminasi melalui web/internet. Dengan didiseminasikannya informasi tersebut melallui internet, maka akan dapat dengan mudah diakses oleh publik dimana saja dan kapan saja. 5

Gambar 1.3. Hubungan antara informasi, informasi geospasial dan web (Sumber: http://www.dbxgeomatics.com, diakses tanggal 30 juni 2013) Mendasarkan pada identifikasi permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian, berikut ini. (1) Bagaimanakah kondisi hutan mangrove di wilayah kepesisiran Kabupaten Banggai Kepulauan (2) Bagaimanakah arahan zonasi pengelolaan hutan mangrove berdasarkan kondisinya. (3) Bagaimanakah cara diseminasi informasi pengelolaan hutan mangrove berbasis geospasial. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi kondisi hutan mangrove di Kabupaten Banggai Kepulauan, yang diperoleh dari data penginderaan jauh dan data SIG, yang meliputi: (a) kondisi vegetasi; (b) tingkat kesehatan; (c) tingkat kerusakan; (d) lahan potensial; (e) fungsi kawasan hutan; dan (f) ancaman kerusakan. (2) menentukan arahan zonasi pengelolaan hutan mangrove berdasarkan kondisi hutan mangrove; dan 6

(3) menyusun model diseminasi informasi arahan zonasi pengelolaan hutan mangrove berbasis geospasial yang dapat diakses oleh publik. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu bagi pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan pemerintah. (1) Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan yang baru mengenai strategi pengelolaan mangrove dan cara mendiseminasikannya. (2) Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai strategi pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Banggai Kepulauan. (3) Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang pengelolaan hutan mangrove dan cara diseminasi informasinya. 1.5. Keaslian Penelitian Uraian mengenai penelitian yang terkait dengan penelitian ini lebih menekankan pada penelitian yang memiliki kesamaan tema. Adapun kesamaan tema yang diuraikan adalah tema pengelolaan hutan mangrove. Berbagai penelitian mengenai pengelolaan hutan mangrove telah banyak dilakukan penelitian sebelumnya. Perbandingan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah memanfaatkan citra satelit Landsat 8 sebagai bahan untuk mengetahui sebaran geospasial dan kondisi hutan mangrove. Perbedaan yang mendasar dengan penelitian sebelumnya adalah data penginderaan jauh yang digunakan berbeda tahun perekaman dan jenisnya, lokasi penelitian, tahun penelitian, tujuan penelitian berbeda, teknik pengumpulan data, serta penyajian akhirnya juga berbeda. Untuk mengetahui perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 1.1. 7

Tabel 1.1. Perbandingan antara Penelitian Sebelumnya dengan Rencana Penelitian No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil 1 Eni Yuniastuti (2013) Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Zona Kepesisiran Demak 1. Memetaan kondisi eksisting dan perubahan kawasan mangrove di zona kepesisiran Kabupaten Demak. 2. Mengetahui persyaratan tumbuh dan berkembangnya ekosistem mangrove yang dijadikan prioritas dan penanganannya 3. Menentukan daerah yang perlu menjadi prioritas utama dalam rehabilitasi ekosistem mangrove di zona kepesisiran Kabupaten Demak. 4. Menentukan strategi rencana pengelolaan ekosistem mangrove di zona kepesisiran Demak. 1. Teknik PJ yaitu interpretasi visual. 2. Analisis SIG (skoring, buffer, overlay) dan metode survei-deskriptif. 3. Analisis Tabulasi. 4. Analisis Matriks SWOT. 1. Jumlah ekosistem mangrove berkurang jumlahnya, hal ini disebabkan oleh konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak. Jumlah ekosistem mangrove bertambah, disebabkan oleh program rehabilitasi mangrove berhasil. 2. Kondisi fisik persyaratan tumbuh dan berkembangnya ekosistem mangrove di zona kepesisiran Demak meliputi bentuklahan asal proses marine, curah hujan, nilai salinitas, suhu perairan, substrat tanah, julat pasang surutnya, tinggi genangan, dan penggunaan lahan. 3. Penentuan daerah prioritas program rehabilitasi mangrove (1) berdasarkan kerusakan ekosistem mangrove (2) berdasarkan pemodelan greenbelt (3) berdasarkan lahan potensial ekosistem mangrove. 4. Strategi rencana pengelolaan ekosistem mangrove yaitu (1) menentukan prioritas penanaman mangrove yang disesuaikan dengan persyaratan dan tipologi zona kepesisiran, (2) penanaman mangrove di sepanjang zona greenbelt (3) memanfaatan dan mengelola ekosistem mangrove berbasis masyarakat untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan perekonomian dan mendukung pembangunan 2. Rani Sawitri (2012) Strategi pengelolaan lingkungan pada ekosistem mangrove di sekitar muara Sungai Bogowonto Kabupaten Kulonprogo 1. Mengkaji komposisi penyusun vegetasi mangrove hasil rehabilitasi di sekitar muara Sungai Bogowonto di Desa Jangkaran. 2. Mengkaji faktor-faktor lingkungan 1. Sampling data dengan teknik survey purposive samplingdengan membuat transect line, lalu dilakukan pengamatan 1. Komposisi penyusun vegetasi mangrove di lokasi penelitian secara umum terdiri dari Avicennia alba, Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris, Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, dannypa fruticans. 8

Lanjutan Tabel 1.1 3 Debby Vemiancy Pattimahu (2010) Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku fisik yang mendukung pertumbuhan vegetasi mangrove dan kegagalan pertumbuhan mangrove hasil rehabilitasi di sekitar muara Sungai Bogowonto di Desa Jangkaran. 3. Mengkaji strategi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di sekitar muara Sungai Bogowonto di Desa Jangkaran ditinjau dari pendekatan ekologi. 1. Menentukan indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan 2. Menganalisis kondisi ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat pada ekosistem hutan mangrove 3. Menganalisis nilai keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove 4. Menentukan alternatif kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan pada tingkat semai 2mx2m, pancang 5mx5m, dan pohon 10mx10m. 2. Pengkururan parameter fisik meliputi tekstur tanah, BO, ph, suhu, salinitas, pasang surut Pengumpulan data kuesioner pada penduduk sekitar areal mangrove 3. analisis secara SWOT 1. Analisis Vegetasi 2. Analisis Perupahan Penutupan lahan 3. Analisis Ekonomi 4. Analisis Keberlanjutan 5. Analisis AHP 2. Hasil analisis faktor fisik: tekstur tanah:lempung dan lempung berpasir. Kandungan bahan organik 2,31 9,49 %. ph tanah antara 5,58 7,41. Kondisi air: salinitas 4 5, suhu air 29-34ºC, ph air antara 7 8. 3. Arahan strategi pengelolaan rehabilitasi ekosistem mangrove antara lain: (1) perlunya legalitas kebijakan; (2) peningkatan daya dukung kemampuan lahan untu disertai strategi penanaman mangrove yang sesuai; (3) prioritas upaya penghijauan pada zona pertumbuhan vegetasi mangrove ke arah daratan; (4) upaya pembuatan konstruksi pelindung dari hempasan ombak dan angin; (5) peningkatan peran kelembagaan (7) pengembangan IPTEK ramah lingkungan 1. Diperoleh sebanyak dua puluh dua indikator yang dapat mencerminkan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove. 2. Hasil valuasi ekonomi, menunjukkan bahwa pemanfaatan mangrove secara langsung, dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sementara pada hasil analisis sosial menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. 3. Analisis Rap-Mforest, menunjukkan nilai indeks multidimensi pengelolaan ekosistem hutan mangrove sebesar 36,08% (kurang berkelanjutan) pada skala sustainabilitas 0 100. dimensi ekologi memiliki nilai indeks tertinggi, sebesar 79,95% (berkelanjutan), dimensi ekonomi 33,56 % (kurang berkelanjutan) dan yang terendah dimensi sosial sebesar 22,96% (tidak berkelanjutan). 4. Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan konservasi (66,4 %) merupakan prioritas utama dalam 9

Lanjutan Tabel 1.1 4 Nurul Huda (2008) 5 Amran Saru (2007) Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan Mengidentifikasi kerusakan mangrove dan penyebabnya untuk dapat dirumuskan sebuah strategi pengelolaan yang lebih mengarah ke pengelolaan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek fungsi dan peran mangrove sebagai alat untuk perlindugan dan pengamatan pantai secara alami. 1. Mengetahui kondisi ekosistem, perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem mangrove di Kabupaten Barru. 2. Untuk mengetahui tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove berdasarkan kondisi ekologis dan sosial ekonom 3. Untuk membuat zonasi pemanfaatan secara spesifik ekosistem mangrove berdasarkan klasifikasi potensi dan sumberdaya mangrove. 4. Merekomendasikan konsep kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan ( sustainable) di Kabupaten Barru. 1. Analisis kebijakan yang terkait dengan zonasi dan pola pengelolaan serta pembiayaan 2. Analisis tutupan lahan dengan SIG. 3. Analisis permasalahan. 4. Analisis penentuan strategi pengelolaan dengan melihat potensi kendala dengan alat analisis SWOT 1. Analisis SWOT 2. Analisis AHP 3. Analisis Spasial pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat, selanjutnya kebijakan budidaya perikanan (23,4 %) dan kebijakan wisata pantai (10,3%). 1. Penyebab utama berkurangnya lahan mangrove yaitu konversi lahan dari lindung dan penyangga ke budidaya terbangun. 2. Sistem kebijakan yang tidak sinkron satu sama lain serta arahan pola pembiayaan yang kurang terstruktur menjadikan pengelolaan mangrove kurang maksimal dan berkelanjutan 1. Ditinjau dari hasil inventarisasi komposisi jenis mangrove, kondisi dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove di Kabupaten Barru masih dalam kategori stavilitas tinggi. 2. Terdapat enam jenis kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, yaitu: kawasan konservasi, wisata pantai, tambak, kawasan permukiman, pelabuhan dan kawasan industri 3. Pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru yang direkomendasikan: (a) ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di Kabupaten Barru ditetapkan sebagai kawasan, (b) pemanfaatan untuk pengembangan wisata pantai dapatdilakukan di Kecamatan Mallusetasi, Balusu dan Kecamatan Barru, (c) pemanfaatan ekosistem mangrove untuk budidaya ikan/ tambak dapatdilakukan di semua kecamatan di Kabupaten Barru dengan modelpengembangan tambak tumpang sari ( 10

Lanjutan Tabel 1.1 6 Bakhtiar Arif Mujianto (Penulis) Penyusunan Sistem Informasi Geospasial Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah 1. Melakukan analisis kondisi hutan mangrove yang diperoleh dari data penginderaan jauh dan data SIG, 2. Menentukan arahan zonasi pengelolaan hutan mangrove berdasarkan kondisinya, 3. Menyusun model diseminasi informasi arahan zonasi pengelolaan hutan mangrove berbasis geospasial yang dapat diakses oleh publik. 1. Teknik PJ yaitu interpretasi visual. 2. Analisis AHP 3. Analisis Spasial 4. Analisis tutupan lahan dengan SIG. 5. Diseminasi Informasi Geospasial server base silvofishery), (d) pengembangan dan pembangunan pelabuhan dapat dilakukan di sekitar areal hutan mangrove khususnya di Kecamatan Soppengriaja dan Barru, (e ) pengembangan kawasan industri hatchery dapat dilakukan di belakang hutan mangrove di Kecamatan Mallusetasi dan Kecamatan Balusu, dan (f) untuk pengembangan pemukiman dapat dilakukan di Kecamatan Balusu dan Kecamatan Barru. 1. Deskripsi kondisi hutan mangrove di Kabupaten Banggai Kepulauan berdasarkan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis 2. Arahan zonasi pengelolaan hutan mangrove (Pelesarian, perlindungan dan pengembangan) 3. Sistem informasi geospasial arahan zonasi pengelolaan hutan mangrove yang dapat diakses oleh masyarakat melalui internet. 11