PROLOG Mimpi bukan lah sekedar angan-angan yang hanya membuat kita berharap saja, tapi bagaimana kita memiliki tekad kuat dan usaha keras untuk mewujudkan mimpi itu. Itulah yang dipercayai oleh seorang anak laki-laki bernama Munadi Ramadhan, seorang bocah lelaki yang mendedikasikan hidupnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, yaitu menjadi pemain sepakbola profesional. Banyak orang berani bermimpi namun hanya bisa berharap itu akan terwujud, sedangkan hanya sedikit orang yang berani bermimpi kemudian berani pula mewujudkannya. Muna mungkin adalah salah satu dari sedikit orang tersebut, karena baginya, sebesar apapun rintangan mimpi itu harus ditempuh, yang dibutuhkan adalah niat yang lebih besar dari rintangan itu untuk menaklukannya. Bagi Muna, sepakbola adalah sebuah jalan hidup yang membawanya ke dunia yang penuh perjuangan dan pengorbanan. Kucuran keringat, tetes air mata, hingga luka dan darah adalah saksi perjuangan yang tak kenal lelah, dan pengorbanan yang tak mudah. Baginya, sepakbola adalah tentang cinta, gairah, dan kebanggaan.
*** Muna adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ayah dan kakaknya adalah penggemar sepakbola, mereka juga gila bola sama seperti Muna. Meski begitu, ketika ia menyatakan niatnya untuk menjadikan sepakbola sebagai karirnya kelak, tak ada dukungan sama sekali dari mereka. Ada sesuatu yang tidak Muna ketahui, mengapa mereka tidak mendukung tapi tidak juga melarangnya melanjutkan cita-citanya itu. Terlahir di keluarga yang berkecukupan tidak membuat Muna terlena begitu saja dengan segala yang ada. Keluarganya memang memberikannya dukungan dan fasilitas untuk kebutuhan apapun, tapi terkecuali untuk sepakbola. Dia hanya diperbolehkan bermain sepakbola untuk kesenangan saja, dan dilarang mengikuti Sekolah Sepakbola atau kompetisi-kompetisi yang ada. Latarbelakang keluarganya yang memegang teguh pada pendidikan mengharuskannya menjadi pelajar yang giat. Hidup di keluarga dengan ibu seorang guru, ayah seorang pengusaha, dan kakaknya seorang mahasiswa, membuat Muna tidak bebas menentukan arah hidupnya sendiri, karena campur tangan keluarga yang dominan. Muna tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi juga tidak begitu saja mengubur mimpi besarnya. Dia mengambil jalan tengah dengan menjadi pelajar 2
yang giat dan diam-diam terus mengasah skill nya bermain bola. Bakatnya di sepakbola terhitung biasa saja, tapi gairahnya untuk menjadi yang terbaik adalah modal utama yang dimilikinya lebih dari obsesi apapun dalam hidupnya. Tidak dianugrahi bakat yang luar biasa membuatnya semakin giat untuk terus berlatih dan berlatih. Dia percaya, bahwa usaha keras pasti hasilnya tidak akan mengkhianati. 3
AKU ADALAH ZIDANE Juli 1998. Malam itu keheningan seketika pecah oleh sorak-sorai ayah dan kak Munif. Muna terbangun dan menuju ruang tengah, tempat di mana sorak-sorai itu berasal. Dia heran, kenapa dua orang ini begitu bising di tengah malam hanya karena sebuah tayangan sepakbola. Dia yang masih setengah sadar, kemudian menghampiri ayah dan kakaknya itu. Ada apasih sih, yah? Kok berisik banget malem-malem gini? Tanya Muna pada ayahnya, setengah menguap. Sini Mun, kita nonton bareng! Final nih. Sahut ayahnya dengan penuh antusias. Muna duduk diantara ayah dan kak Munif, dan langsung meneguk minuman soda yang ada di jangkauannya, satu persatu camilan yang tersedia malam itu pun tak luput darinya. Ada sebuah fenomena yang tidak diketahui, tiba-tiba matanya asik menatap layar kaca itu, dia mulai menikmati pertandingan sepakbola itu. Mata yang menatap layar kaca itu mulai terhubung dengan sebuah gairah yang baru disadarinya, semakin dia larut menikmati walau pun tidak mendukung 4
salah satu tim yang berlaga kala itu. Dia hanya menikmati dan terus menikmati, sebuah kesenangan dan antusiasme yang menyatu itu seperti sesuatu yang mengalir begitu saja dalam darahnya. Bocah lima tahun ini mulai merasakan bahwa dia tengah dirasuki sesuatu yang luar biasa, dia jatuh cinta pada si kulit bundar yang dimainkan begitu indah dan memikat hatinya. Muna yang selama ini mengenal sepakbola hanya permainan yang hanya sekedar bersenang-senang, kini mulai mengerti ada hal yang lebih esensial dari itu semua, setelah menonton pertandingan itu. Pertandingan Final Piala Dunia antara Timnas Perancis Vs Timnas Brasil malam itu memperkenalkan Muna pada sebuah tujuan hidup baru. Tak ada protes atau pun tanya, Muna mulai memasuki dimensi yang sedang ayah dan kak Munif gandrungi. Pertandingan baru berjalan 10 menit, seorang pemain Timnas Perancis berkepala botak di tengah bernama Zinedine Zidane menarik perhatiannya. Kemampuan olah bola Zidane memikat hati Muna, begitu pula ayahnya yang memang menjagokan Perancis saat itu. Tuh liat, itu baru namanya pemain berkelas. Ucap ayah ketika melihat Zidane beraksi. 5
Hebat banget Yah orang itu. Sahut Muna mengiyakan pernyataan ayahnya. Belum aja Ronaldo dapet bola, lewat semua tuh bek Perancis. Tandas kak Munif membela Timnas Brasil yang dijagokannya. Ruang ini seketika bergelora, aroma persaingan jelas terasa. Wajah ayah nampak ceria, ekspresi dari kegembiraannya karena tim yang didukungnya sangat mendominasi pertandingan. Sebaliknya, kak Munif nampak serius dan tegang dengan keadaan itu. Muna tidak menentukan sikap, dia tidak mendukung Perancis atau Brasil, dia hanya senang melihat kehebatan idola barunya, Zinedine Zidane. Pertandingan memasuki menit ke 27, sebuah peluang didapat Perancis melalui sepak pojok. Bola itu melambung begitu baik, melewati kawalan beberapa pemain Brasil, kemudian disambut oleh sundulan Zinedine Zidane dan GOOOOLLLL!!! Teriak Muna dan Ayah. Muna girang bukan kepalang melihat idolanya mencetak gol. Begitu juga ayah yang semakin yakin dengan tim yang didukungnya itu. kak Munif nampak kecewa melihat kelengahan para pemain Brasil. Perancis 1 0 Brasil. Kekaguman Muna terhadap pemain berkepala botak di tengah itu semakin mengudara setelah gol itu, apalagi seorang yang diidolakannya itu terlihat sangat 6
dominan ketika menguasai bola. Muna kecil mulai meresapi gaya bermain Zidane yang cukup tergambar dalam satu kata, yaitu Elegan. Di menit-menit akhir babak pertama, Perancis kembali memperoleh peluang dari sepak pojok. Perhatian Muna terus tertuju pada Zidane, berharap idolanya itu mencetak gol lagi. Sepakan dari Djorkaef melambung tidak begitu tingga, dengan cepat Zidane menyambar bola itu lagi-lagi melalui sundulan yang melewati celah kaki Roberto Carlos, dan GOL! GOOOOLLLLL!!! Teriak ayah dan Muna kegirangan. Yeah! Udah deh kak, tidur ajaaa. Sindir ayah kepada kak Munif. Masih ada babak kedua yah, nanti pasti dibales! Kata kak Munif yang masih sangat optimis. Istirahat babak pertama, ayah dan kak Munif selalu melakukan ritual untuk menunggu kick off babak kedua. Ayah memasak air, sedangkan kak Munif menyiapkan tiga bungkus mie instan dengan bahanbahan pelengkap. Ayah dan kak Munif rupanya mempunyai kebiasaan yang mereka sebut ritual ini, sembari menunggu babak kedua dimulai. Tak ada arti khusus sebenarnya, tapi ini cukup mempererat kekeluargaan. 7
Di dapur, ayah dan kak Munif masih saja sempat membicarakan pertandingan yang baru berjalan setengah babak itu. Ah gimana sih Brasil ngga ada perlawanan gitu? Tanya ayah kepada kak Munif. Kan masih ada babak kedua yah, kalem aja. Ronaldo aja melempem gitu, mana bisa nyetak gol. Liat ajadeh nanti di babak kedua. Peluit wasit berbunyi, tanda babak kedua dimulai. Ayah, kak Munif, dan Muna sudah siap di ruang tengah sambil menyantap mie instan yang tadi dibuat. Masih pada fokus yang sama, ayah dengan Timnas Perancis nya, kak Munif dengan Timnas Brasil nya, dan Muna dengan Zinedine Zidane nya. Sepasang mata ketiga orang itu bagaikan kutub utara dan kutub selatan dengan layar kaca, daya magnetnya begitu kuat. Perancis masih terus menekan pertahanan Brasil melalui beberapa peluangnya, sementara Brasil hanya sesekali mampu membalas serangan. Seperti kata ayah, Ronaldo yang merupakan rising star di pertandingan-pertandingan Brasil sebelumnya, tampil kurang greget. Justru Perancis yang berhasil menambah gol melalui Emanuel Petit di akhir babak kedua. 8
Ayah kembali bersorak, GOOOOLLLL Kak Munif semakin suram wajahnya, sedangkan Muna menatap dengan ekspresi yang biasa saja. Jelas sudah bahwa ia hanya senang dengan Zinedine Zidane. PRIIITTT!!! PRIIITTT!!! PRIIITTTTT!!! Pertandingan final selesai dengan skor 3 0 untuk keunggulan Perancis. Ekspresi ayah sudah seperti orang-orang yang ada di lapangan sana, seperti para penonton yang memadati stadion kala itu. Kak Munif hanya terdiam, sedangkan Muna wajahnya mulai menampilkan senyuman. Bukan karena Perancis juara, tapi dia kini telah mengerti apa itu sepakbola dan bagaimana rasanya menjadi juara, seperti idolanya saat itu. Mulai saat itu, Muna tahu kini dirinya telah meresapi bahwa ada hal esensial dibalik sebuah kemenangan yang dicapai melalui kerja keras dan kerjasama tim tentunya. Dia mulai menggantungkan ekspetasi yang tinggi terhadap olahraga ini, ya! Sepakbola. 9
*** Di sore hari yang cukup teduh, Muna bermain sepakbola dengan teman-temannya. Setiap dribel, skill, passing, shoting dan heading yang dilakukannya, dia hanya membayangkan bola itu bukan sedang ada di kakinya, tapi di kaki seorang Zinedine Zidane. Dalam hatinya tertanam kuat bahwa ia kini bermain dengan nyawa. Aku adalah Zidane begitu katanya. Yan, liat nih Zidane beraksi. Katanya mengolah bola. Zidane siapa, Mun? Tanya Ryan pada Muna. Yaaah payah, masa nggak tau Zidane. Semalem dia juara piala dunia, Yan. Ooh... berarti dia hebat dong, Mun? Yaa seperti aku ini, Yan. Hehehe. Seperti sebuah mukjizat menyertainya, bocah lima tahun ini bermain layaknya orang-orang di atas usianya. Muna kecil menunjukan permainan indah yang identik dengan Zidane, membuatnya mendapat pujian dari orang-orang yang melihatnya. Rasa lelah enggan menghampiri, hingga ibunya menjemputnya untuk pulang sore itu. 10