KAMPANYE PEMILU 2019 DAN POTENSI ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA Martien Herna Susanti, Setiajid, Novia Wahyu Wardhani Abstrak: Pemilihan umum lahir dari konsepsi dan gagasan besar demokrasi. Pemilu demokratis secara sederhana dapat dirumuskan sebagai predictable procedures but unpredictable results, yakni demokrasi harus menjaga dan memastikan prosedur yang terpola dan pasti (predictable procedures) dalam melaksanakan Pemilu sehingga hasilnya tidak dapat diketahui (unpredictable results). Tahun 2018 sebagai tahun politik diwarnai dengan kegiatan kampanye yang seharusnya menyebarkan visi, misi dan program malah menjadi forum menyerang, menangkis, bahkan menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian. Hal ini sangat bertentangan dengan pengertian kampanye menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yaitu kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk peserta pemilu untuk meyakinkan publik dengan menawarkan visi misi program atau citra diri peserta pemilu. Di era generasi mileneal interaksi politik di media sosial semakin marak, bahkan mulai menghawatirkan dengan munculnya bentuk-bentuk sentimen berbasis ras, golongan, dan agama, hoaks dan ujaran kebencian. Kebhinnekaan sebagai pengikat sosial diuji dengan kecenderungan praktik ujaran kebencian yang dipromosikan melalui media sosial. Kondisi itu diperparah oleh penyalahgunaan media sosial seperti persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoaxs) yang dampaknya menimbulkan permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Jika kondisi dibiarkan berlarut-larut, maka akan berpotensi mengancam disintegrasi bangsa. Kondisi ini tidak lain terjadi, karena masyarakat politik belum berhasil mengembangkan etika sosial dan habitus politik yang sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kata Kunci: Kampanye, Pemilu 2019, Disintegrasi Bangsa PENDAHULUAN Perjalanan demokrasi Indonesia telah menuju ke arah konsolidasi demokrasi di tengahtengah banyaknya paradoks yang muncul yang berpotensi menyebabkan demokrasi menjadi stagnan mengingat tidak adanya jaminan, bahwa demokrasi tidak akan mengalami kemunduran menjadi otoritarianisme. Momentum Pemilu 2019 bisa jadi merupakan test case perwujudan konsolidasi bagi Indonesia, dimana untuk pertama kalinya, pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan dalam waktu bersamaan. Hakikatnya pemilihan umum lahir dari konsepsi dan gagasan besar dari demokrasi. Pemilihan umum merupakan salah satu bagian dari proses sekaligus hasil dari sebuah sistem demokrasi, meski demokrasi secara substansial dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi keterbukaan, kebebasan dan hak asasi baru dapat dilaksanakan pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah rezim Presiden Soeharto. Tahun 1998 disebut-sebut menjadi tonggak sejarah dimulainya babak baru demokrasi substansial dan tidak lagi sebatas demokrasi prosedural yang telah berlangsung selama 32 tahun. Demokrasi substansial sangat identik dengan pemilu demokratis yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai predictable procedures but unpredictable results, yaitu demokrasi harus menjaga dan memastikan prosedur yang terpola dan pasti (predictable procedures) dalam melaksanakan Pemilu sehingga hasilnya tidak dapat diketahui (unpredictable results) (Surbakti, 2003: 390). Sedangkan demokrasi procedural atau empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya PROSIDING SEMINAR NASIONAL JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN ǀ 199
pada kehidupan politik praktis yang terkait erat dengan pelembagaan sistem sosial budaya dan peraturan perundang-undangan. Dalam memahami konsep demokrasi terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan formal prosedural dan substansial. Dua pendekatan ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Pada prinsipnya demokrasi substantial hanya sebatas teori yang ideal dan tidak aplikatif, kecuali jika ada mekanisme yang menerjemahkan ide-ide ideal tersebut ke ranah realitas. Sebaliknya demokratisnya institusi prosedural akan tidak berarti, jika tidak menerapkan nilai-nilai ideal dalam demokrasi. Menurut Morlino, sebuah pemilu disebut demokratis jika memenuhi 3 (tiga) dimensi. Pertama, kualitas hasil. Kualitas hasil ini mengacu pada pemerintahan yang memiliki legitimasi dan dapat memuaskan warga negaranya. Kedua, kualitas isi atau substansi. Dilihat dari warga negara memiliki kebebasan dan kesetaraan. Ketiga, kualitas prosedur. Kualitas prosedur mengandung pengertian, bahwa warga negara memiliki kebebasan untuk memeriksa dan mengevaluasi bagaimanapemerintahnya mencapai tujuan-tujuan kebebasan dan kesetaraan sesuai dengan hukum yang berlaku (Morlino, 2004:10). KAMPANYE DAN BERITA BOHONG (HOAX) Mewujudkan kedewasaan berpolitik dan tanggungjawab politik merupakan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan konsolidasi demokratisasi dalam kehidupan politiknya. Selama ini kampanye dipahami sebagai ajang pertunjukan hiburan oleh para artis, pidato berapi-api dari para juru kampanye (jurkam) yang penuh propaganda, agitasi, caci maki, dan ledekan-ledekan sinis yang menyinggung kontestan lain. Dengan cara-cara seperti itu, pengertian kampanye telah melenceng dari tujuan yang sebenarnya yakni sebagai sebuah aktivitas komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan penyebar atau pemberi informasi. Pasal 1 Undangundang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk peserta pemilu untuk meyakinkan publik dengan menawarkan visi misi program atau citra diri peserta pemilu. Selanjutnya pasal 267 ayat (1) menyebutkan, bahwa kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara betanggung jawab. Pasal 267 ayat (2), kampanye Pemilu dilaksanakan secara serentak antara kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Oleh karena dilaksanakan dalam waktu bersamaan, maka sangat besar potensi konflik yang ada di dalam masyarakat. Pilpres 2019 diikuti oleh dua pasangan yang berkontestasi dan saling berkompetisi untuk mendapatkan simpati rakyat. Kerasnya persaingan sering kali mendorong munculnya kampanye negatif dan kampanye hitam yang menjatuhkan lawan politik. Kampanye yang seharusnya menyebarkan visi, misi dan program menjadi forum menyerang, menangkis, bahkan menyebarkan kabar palsu fitnah dan ujaran kebencian. Mulai dari isu Lombok dan Palu Donggala, Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali, serta kabar bohong terkait penganiayaan Ratna Sarumpaet (Kompas, 15 Oktober 2018). Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, menyebutkan media sosial adalah kumpulan saluran komunikasi dalam jaringan internet yang digunakan untuk interaksi dan berbagi konten berbasis komunitas. Media sosial ini dapat menjadi media kampanye, tetapi para peserta pemilu wajib mendaftarkan akun resmi media sosial (paling banyak 10 akun setiap aplikasi. Aktivitas media sosial hanya diatur di pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 200 ǀ Penguatan Integrasi Nasional di Era Disrupsi dalam Perspektif Pancasila
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang antara lain mengatur penyebaran kebencian berbasis SARA di dunia maya. Di era generasi mileneal yakni generasi yang akrab dengan media sosial. Interaksi di media sosial semakin marak dan mulai menghawatirkan dengan munculnya bentuk-bentuk sentimen berbasis ras, golongan, dan agama, hoaks dan ujaran kebencian. Tidak hanya kampanye negatif, tetapi juga kampanye hitam yang mampu merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa yang dibangun di atas keberagaman. Sebenarnya kampanye dalam bentuk ujaran kebencian (hate speech) telah ada di media sosial sejak pilpres 2014. Kampanye dikategorikan sebagai propaganda. Propaganda adalah suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi. Laswell melihat propaganda membawa masyarakat dalam sitausi kebingungan, keragu-raguan, dan terpaku pada sesuatu yang licik yang tampaknya menipu dan menjatuhkan mereka. Propaganda dan agitasi sering kali tidak bisa dibedakan. Agitasi ialah diseminasi informasi yang dilakukan dengan cara membakar emosi (blow-up) orang banyak. Penggunaan propaganda sebagai senjata persuasi pada saat kampanye bukan merupakan hal baru dalam komunikasi. Istilah propaganda dikenal pada abad ke-17 ketika gereja mulai mempraktikkan penyebaran agama Kristen. Propaganda sendiri mulai membawa pengaruh negatif ketika dipraktikkan dalam Perang Dunia II. Pada waktu itu Menteri Propaganda Jerman Dr, Joseph Gobbels mengatakan bahwa propaganda tidak mengenal aturan dan etika. Tujuannya ialah membelenggu rakyat dengan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Cangara, 2009:333). Potensi konflik semakin memanas mendekati Pemilu 2019 dengan muncul berita-berita bohong atau hoaxs yang mengandung ujaran kebencian atas seseorang atau sekelompok orang cenderung meningkat. Hoaks atau berita bohong ini tidak berdiri tunggal, namun memiliki tujuan untuk memecah belah atau kepentingan politik atau sosial tertentu. Sebagai contoh bahwa hoaxs ini merusak, dapat dilihat berdasarkan olah data yang dilakukan oleh PolMark Research Center, terdapat 4,3 persen responden yang mengaku hubungan pertemanannya rusak karena Pilpres 2014. Sementara itu, sebesar 5,7 persen responden yang mengatakan hubungan sosialnya terdampak akibat Pilkada Jakarta 2017. Jumlah tersebut memang masih terbilang kecil. Namun, jika dibiarkan begitu saja potensi keretakkan hubungan akibat pemilu mendatang menjadi semakin besar (https://nasional.kompas.com /read/2018/08/29/23592811/potensi-konflik-akibat-pemilu-terancammeningkat -karena-hoaks). Selain hoaxs, potensi konflik juga muncul dari adanya persaingan 2 (dua) kubu yang saling bertentangan yakni pendukung kubu petahana (Jokowi) dan kubu pesaing (Prabowo) yang dikenal dengan membawa slogan #2019TetapJokowi dan #2019 GantiPresiden. Dua kubu yang melibatkan kekuatan massa, jelas tidak memberikan kondisi kondusif bagi berlangsungnya demokrasi di Indonesia, meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa di era kebebasan berpendapat setiap individu bebas menyampaikan pendapat. Hal yang perlu diingat, bahwa kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan dalam arti sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya kebebasan berpendapat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum. Pemilu merupakan pertarungan kepentingan dalam memperebutkan kekuasaan. Oleh karena itu semua pihak yang berkonstestasi yakni calon peserta sekaligus penyelenggara pemilu harus mematuhi segala aturan main, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan calon peserta dan penyelenggara pemilu. PROSIDING SEMINAR NASIONAL JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN ǀ 201
PEMILU 2019 DAN POTENSI DISINTEGRASI BANGSA Pemilu tahun 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 dan diikuti sebanyak 20 partai politik, termasuk di dalamnya 4 (empat) partai lokal asal Aceh. Pemilu serentak 2019 ini merupakan pemilihan umum yang paling rumit sepanjang sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pada pemilu 2019, masyarakat dihadapkan pada lima kertas suara untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Daerah, serta presiden dan wakil presiden. Keputusan pelaksanaan pemilu serentak ini dilakanakan setelah dikabulkannya permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013, bahwa pengadaan pemilu legislatif dan presiden yang terpisah bertentangan Undang- Undang Dasar 1945, sehingga tidak bisa dijadikan dasar penyelenggaraan pemilu. Putusan MK ini jelas bukan perkara mudah pada tataran implementasinya, mengingat faktor kultural dan agama masyarakatnya yang majemuk. Indonesia juga merupakan negara paling beragam dari sisi budaya dan bahasa. Terdapat sekitar 400 bahasa lokal/daerah dan ada sekitar 300 etnis yang hidup di 17,508 pulau. Dengan merebaknya kampanye hitam dan negatif, kebhinnekaan sebagai pengikat sosial diuji dengan kecenderungan praktik ujaran kebencian yang dipromosikan melalui media sosial. Kondisi itu diperparah oleh penyalahgunaan media sosial seperti persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoaxs) yang dampaknya menimbulkan permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Kondisi ini terjadi, karena masyarakat politik belum berhasil mengembangkan etika sosial dan habitus politik yang sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika Indonesia layaknya berbangga menjadi percontohan bagi negara-negara di dunia dalam menjaga integrasi bangsa di antara negara-negara Asia. Dibanding negara lain, Indonesia telah memiliki landasan yang kuat sebagai negara demokrasi. Pemilu di Indonesia benar bisa menimbulkan konflik, namun berdasarkan statistik dan analisis kuantitatif dalam risetnya, Pierskalla menemukan bahwa konflik umum dan bahkan konflik separatis di daerah malah cenderung menurun. Belakangan, meski ada banyak pertanyaan mengenai keberlangsungan demokrasi Indonesia. Faktanya, Indonesia sebagai negara demokrasi masih bertahan, berkembang dan bertransformasi dalam semua sisi (Bachtiar, 2014). Menurut James J Coleman dan Carl G Roseberg (dalam Syamsuddin, 1989:5) menyebutkan, bahwa integrasi nasional mempunyai dua dimensi, yaitu dimendi vertikal (elit massa) dan dimensi horizontal (teritorial). Dimensi vertikal disebut juga dengan integrasi politik bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada antara elit dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses politik terpadu dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Sedangkan dimensi horizontal atau integrasi teritorial merupakan integrasi dengan tujuan untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen. Lebih lanjut menurut Syamsuddin persoalan yang hakiki dalam integrasi politik adalah: 1) bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara. Masalah pertama ini mencakup persoalan pengakuan rakyat akan hak-hak yang dimiliki Negara dan keharusan rakyat untuk mematuhinya, 2) bagaimana meningkatkan consensus normative yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat. Aspek yang kedua lebih bersifat pembinaan kesepakatan diantara sesama warga negara tentang tingkah laku politik yang diperlukan agar sistem politik dapat berjalan dengan baik (Syamsuddin, 1989:6). Atas dasar hal tersebut, Weiner membagi dua strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi integrasi politik sebagaimana 202 ǀ Penguatan Integrasi Nasional di Era Disrupsi dalam Perspektif Pancasila
diatas, yakni asimilasi dan persatuan dalam keanekaragaman yang di Indonesia dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia sebagai negara multikultural memilih keragaman dalam kesatuan atau unity in diversity. Kini kebhinnekaan sebagai pengikat sosial diuji dengan kecenderungan praktik ujaran kebencian yang dipromosikan melalui media sosial. Kondisi itu diperparah oleh penyalahgunaan media sosial seperti persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoaxs) yang dampaknya menimbulkan permusuhan yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Kondisi ini terjadi, karena masyarakat politik belum berhasil mengembangkan etika sosial dan habitus politik yang sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. SIMPULAN Potensi konflik semakin memanas mendekati Pemilu 2019 dengan muncul berita-berita bohong atau hoaxs yang mengandung ujaran kebencian atas seseorang atau sekelompok orang cenderung meningkat. Hoaks atau berita bohong ini tidak berdiri tunggal, namun memiliki tujuan untuk memecah belah atau kepentingan politik atau sosial tertentu. Menurut James J Coleman dan Carl G Roseberg (dalam Syamsuddin, 1989:5) menyebutkan, bahwa integrasi nasional mempunyai dua dimensi, yaitu dimendi vertikal (elit massa) dan dimensi horizontal (teritorial). Dimensi vertikal disebut juga dengan integrasi politik bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada antara elit dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses politik terpadu dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Sedangkan dimensi horizontal atau integrasi territorial merupakan integrasi dengan tujuan untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen. Kebhinnekaan sebagai pengikat sosial diuji dengan kecenderungan praktik ujaran kebencian yang dipromosikan melalui media sosial. Kondisi itu diperparah oleh penyalahgunaan media sosial seperti persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoaxs) yang dampaknya menimbulkan permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Kondisi ini terjadi, karena masyarakat politik belum berhasil mengembangkan etika sosial dan habitus politik yang sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. DAFTAR REFERENSI Buku Cangara, Hafield. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa. Morlino, Leonardo. 2004. What is a Good Democracy?. Democratization 11, no. 5. Syamsuddin, Nazaruddin.1996. Dimensi Politik dan Integrasi Nasional: Tinjauan Teoritis dalam Safroedin Bahar dan AB. Tangdililing (Ed.), Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Undang-Undang dan Peraturan KPU Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengeluarkan pendapat di Muka Umum. Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Website PROSIDING SEMINAR NASIONAL JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN ǀ 203
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/29/23592811/potensi-konflik-akibat-pemilu-terancammeningkat-karena-hoaks). Jurnal Bachtiar, Farahdiba Rahma, 2014. Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai Prefresentasi. Jurnal Politik Profetik. Volume 3 Nomor 1 Tahun 2014. Surbakti, Ramlan. 2003. Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi 19 halaman 4-5. Media Massa Kompas, 15 Oktober 2018 204 ǀ Penguatan Integrasi Nasional di Era Disrupsi dalam Perspektif Pancasila