4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

3 METODOLOGI 3.1 WAKTU DAN TEMPAT 3.2 BAHAN DAN ALAT 3.3 TAHAPAN PENELITIAN Pengambilan Bahan Baku Analisis Bahan Baku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Adelia Zelika ( ) Lulu Mahmuda ( )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Macam macam mikroba pada biogas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk

HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN BIOGAS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

LAPORAN PENELITIAN BIOGAS DARI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI : EFEK KOMPOSISI

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak

SNTMUT ISBN:

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3. protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan bentuk senyawa

LAMPIRAN A PROSEDUR PENELITIAN

SNTMUT ISBN:

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Persiapan Bahan Baku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen minyak dunia. Meskipun

ANALISIS PERAN LIMBAH SAYURAN DAN LIMBAH CAIR TAHU PADA PRODUKSI BIOGAS BERBASIS KOTORAN SAPI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon kelapa sawit terdiri dari dua spesies besar yaitu Elaeis guineensis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Bel akang

BAB II LANDASAN TEORI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN DIGESTER DUA TAHAP SKRIPSI AMALIA FITRIA F

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. kita pada krisis energi dan masalah lingkungan. Menipisnya cadangan bahan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga Agustus 2015 dan bertempat di

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah perlunya usaha untuk mengendalikan akibat dari peningkatan timbulan

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan sumber energi fosil yang semakin menipis, sedangkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Situasi energi di Indonesia tidak lepas dari situasi energi dunia. Konsumsi energi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi

DOSEN PENGAMPU : Dra.Hj.Kasrina,M.Si

III. METODE PENELITIAN

PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI BIOETANOL MELALUI PROSES ANAEROB (FERMENTASI)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN A METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas

PENDAHULUAN. masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Metabolisme Energi. Pertemuan ke-4 Mikrobiologi Dasar. Prof. Ir. H. Usman Pato, MSc. PhD. Fakultas Pertanian Universitas Riau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. biologis. Biohidrogen berpotensi sebagai bahan bakar alternatif karena kandungan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber nitrogen pada ternak ruminansia berasal dari non protein nitrogen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR PABRIK TAHU DENGAN TINJA SAPI. Dewi Ayu Trisno Wati **) dan Sugito *).

Transkripsi:

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 4.1.1 Limbah Cair Kelapa Sawit Hasil analisis karakteristik kimia limbah cair pabrik minyak kelapa sawit PTPN VIII Kertajaya seperti yang dipaparkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa limbah mempunyai ph 5,12; BOD 20.816 mg/l; karbon 21.335 mg/l; nitrogen 489 mg/l; dan TVS 4250 mg/l. Keseluruhan parameter berada di atas ambang baku mutu nilai yang telah ditetapkan oleh MenKLH (1995), sehingga limbah cair pabrik minyak kelapa sawit yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi berpotensi dijadikan sebagai substrat dalam proses fermentasi anaerobik. Tabel 3. Karakteristik limbah cair minyak kelapa sawit PTPN VIII Kertajaya Parameter Nilai Apriani (2009) (Limbah cair PTPN VIII Kertajaya) Baku Mutu Limbah* ph 5,12 4,4 6-9 BOD (mg/l) - 20.816 110 Karbon (mg/l) 21.335-100 Kandungan nitrogen total (mg/l) 489-20 C/N rasio 43,63 - - Total volatile solid (TVS) 42.500 (mg/l) - - *MenKLH (1995) Menurut Zhang et al. (2008), pengolahan fermentasi anaerobik lebih potensial dilakukan untuk penanganan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit karena tingginya karakteristik bahan organik sebagaimana yang dinyatakan oleh Apriani (2009), bahwa nilai BOD limbah cair pabrik minyak kelapa sawit PTPN VIII Kertajaya, Banten mencapai 20.816,67 mg/l. Bahan-bahan organik ini adalah senyawa yang difermentasikan pada proses anaerobik menjadi gas metana dan karbon dioksida. Nilai C/N pada bahan baku limbah cair pabrik minyak kelapa sawit sebesar 43,63. Nilai ini terlalu tinggi dari nilai optimum sebagaimana yang dinyatakan oleh Simamora et al. (2006), bahwa imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme perombak adalah 20-25. Upaya penurunan imbangan C/N dilakukan dengan menambahkan feses sapi segar yang mempunyai kandungan C/N sebesar 18. Cairan dari rumen yang diambil dari kompartemen perut sapi dipilih sebagai campuran substrat dalam fermentasi anaerobik limbah cair kelapa sawit, karena ekosistem rumen terdiri dari mikroorganisme obligat anaerobik termasuk bakteri anaerobik, fungi, protozoa, Archaea metanogen dan bakteri pembentuk metana dari genus Methanobrevibacter (Alrawi, 2011). 4.1.2 Starter (Lumpur Aktif) Lumpur adalah campuran zat padat (solid) dengan cairan (air) dengan kadar solid yang rendah (antara 0,25%-6%). Pada penelitian ini, lumpur aktif diperoleh dengan mencampurkan 80% feses sapi segar dan 20% lumpur digester yang telah aktif menghasilkan biogas pada suhu ruang. Lumpur 17

digester aktif ini tersedia setiap saat di Laboratorium Pengelolaan Limbah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, karena selalu dimasukkan sejumlah feses sapi segar ke dalam digester setiap harinya. Pembuatan lumpur aktif dilakukan setiap hari sebelum dicampurkan dengan limbah cair dan dimasukkan ke dalam digester. Lumpur aktif berfungsi sebagai starter, yaitu media yang telah diinokulasikan sejumlah mikroorganisme agar mampu beradaptasi terhadap media fermentasi, sehingga lag phase sebagai tahap awal fermentasi dilewati. Feses sapi segar dipilih karena mempunyai imbangan C/N lebih rendah, sebesar 18 yang dapat menurunkan imbangan C/N limbah cair menjadi berada di antara rentang C/N optimum yaitu 20-25 dan mengandung sejumlah mikroorganisme fakultatif anaerobik maupun obligat anaerobik. Selain itu, lumpur dari digester yang telah aktif menghasilkan biogas dipilih sebagai campuran karena telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan fermentasi sehingga dapat mempersingkat waktu adaptasi bakteri (Gerardi, 2003). 4.1.3 Substrat (Limbah Cair dan Lumpur Aktif) Substrat yang digunakan dalam fermentasi anaerobik berasal dari campuran limbah pabrik minyak kelapa sawit dan lumpur aktif dari feses sapi segar. Sebelum dimasukkan ke dalam digester tahap I untuk dilakukan proses fermentasi, substrat terlebih dahulu dianalisis kandungan karbon, nitrogen, ph dan TVS untuk mengetahui potensi substrat dalam menghasilkan biogas. Pada hari berikutnya, substrat dimasukkan dengan laju alir 0,35 l/hari selama 40 hari waktu fermentasi melalui lubang pemasukan digester tahap I, hingga digester tahap II penuh. Hasil analisis substrat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik substrat (campuran limbah cair dan lumpur aktif) Parameter Komposisi Limbah Cair Kelapa Sawit dan Lumpur Aktif 90 LC : 10 LA 80 LC : 20 LA 70 LC : 30 LA Karbon (mg/l) 14.400 20.500 19.600 Nitrogen (mg/l) 646,80 672,41 660,60 ph 5 6 5,67 C/N 22,26 30,48 29,67 TVS (%) 2,56 3,77 3,62 Berdasarkan hasil analisis, nilai C/N optimum terdapat pada substrat 90 LC :10 LA sebagaimana yang dinyatakan oleh Simamora et al. (2006), bahwa imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme perombak adalah 20-25. Nilai C/N terlalu tinggi mengindikasikan kurangnya unsur nitrogen yang akan berakibat buruk pada pertumbuhan mikroorganisme dan sintesis sel baru bagi mikroorganisme karena sebanyak 18% sel bakteri terdiri dari unsur N, sedangkan nilai C/N terlalu rendah akan meningkatkan produksi ammonia dan menghambat pembentukan biogas (Deublein, 2008). Oleh karena itu, substrat dengan kombinasi 90 LC :10LA mempunyai potensi terbesar dalam menghasilkan biogas. Total volatile solid merupakan jumlah padatan organik pada substrat. Nilai TVS tertinggi adalah kombinasi 80 LC :20 LA sebesar 3,77%, diikuti oleh kombinasi 70 LC :30 LA dan 90 LC :10 LA sebesar 3,62% dan 2,56%. Menurut Gerardi (2003), semakin tinggi TVS yang diumpankan ke dalam digester, semakin tinggi pula jumlah volatile fatty acid (VFA) yang terbentuk dalam digester. Jumlah VFA yang tinggi akan berpengaruh terhadap alkalinitas dan ph dari digester, sehingga substrat yang mempunyai jumlah TVS yang tinggi sebaiknya diumpankan secara perlahan ke dalam digester anaerobik. Apabila ph di dalam digester terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri pembentuk 18

metana. Pada hasil analisis, kombinasi 80 LC :20 LA memiliki TVS tertinggi sehingga mempunyai potensi terjadinya gangguan terhadap nilai ph dan produksi biogas dengan laju pengumpanan setara dengan lainnya. 4.2 PRODUKSI GAS 4.2.1 Akumulasi Gas Hasil penelitian produksi gas dari limbah cair pabrik minyak kelapa sawit dan lumpur aktif menggunakan digester dua tahap sistem kontinu skala laboratorium volume 15 liter dapat dilihat pada Tabel 5. Kombinasi Limbah Cair dan Lumpur Aktif Tabel 5. Total produksi biogas pada masing-masing perlakuan Waktu (hari) Digester Tahap ke- I Total Volgas (Liter) Peningkatan Produksi Volgas Tahap II (%) 90 : 10 40 4 ± 3,52 7,35 ± 4,07 11,35 83,75 80 : 20 40 1,08 ± 0,55 2,39 ± 2,14 3,47 121,29 70 : 30 40 1,77 ± 2,02 2,57 ± 3,57 4,34 45,19 II Produksi gas tertinggi adalah kombinasi 90 LC :10 LA pada digester tahap II sebesar 7,35 liter (L), sedangkan produksi gas terendah adalah kombinasi 80 LC :20 LA pada digester tahap I sebesar 1,08 liter (L) dengan waktu retensi selama 40 hari. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan produksi gas pada tiap perlakuan adalah kandungan C/N rasio substrat, TVS, serta nilai ph. Nilai standar deviasi pada perlakuan terlihat sangat tinggi sekali dikarenakan respon pada masing-masing ulangan dalam satu perlakuan berbeda-beda. Hal ini ditunjukkan pada produksi gas kombinasi 80 LC :20 LA pada R2 sebesar 0 L, dikarenakan oleh banyak faktor seperti terjadinya kebocoran pada digester atau faktor lain yang menyebabkan aktivitas mikroba terhenti, selain faktor ph dan suhu. Produksi gas pada digester tahap II lebih tinggi dibandingkan pada digester tahap I dengan prosentase peningkatan produksi gas tertinggi pada 80 LC :20 LA sebesar 121,29% diikuti oleh 90 LC :10 LA dan 70 LC :30 LA sebesar 83,75% dan 45,19%. Hasil ini melebihi penelitian Boe (2006) yang menyatakan produksi gas pada digester bertahap meningkat sebesar 11% dibandingkan digester satutahap, dengan perbandingan volume digester tahap I dan II adalah 90/10 atau 80/20. Grafik akumulasi produksi gas pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Akumulasi produksi biogas 19

Produksi gas yang relatif rendah dibandingkan penelitian Apriani (2009), yang mampu menghasilkan gas sebesar 20 liter (L) dikarenakan penelitian ini menggunakan suhu mesofil yang mempunyai laju produksi gas lebih rendah dibandingkan suhu termofil. Namun pada kondisi penelitian yang mesofilik, mikroorganisme akan tetap memproduksi gas selama fluktuasi suhu dijaga ± 2 C (Gerardi, 2003). Produksi gas masing-masing kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada digester tahap I dan digester tahap II akan dijelaskan lebih rinci pada sub sub-bab 4.2.2. 4.2.2 Produksi Gas pada Berbagai Kombinasi Substrat Produksi gas kombinasi 90 LC :10 LA, pada digester tahap I menghasilkan biogas sebanyak 4 liter (L) dengan keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi cukup tinggi, bernilai positif, dan nyata sebesar 0,667. Banyaknya produksi gas ini sekitar 44,50% ditentukan oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan 55,50% ditentukan oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh nyata terhadap produksi gas (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh yaitu Y = 0,006X 0,023, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap produksi gas sebesar 0,006 liter (L). Pada digester tahap II menghasilkan biogas sebanyak 7,35 liter (L) dengan keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi cukup tinggi, bernilai positif, dan nyata sebesar 0,855. Sekitar 73,15% dari jumlah produksi gas ditentukan oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan 26,75% dipengaruhi oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi gas (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh nyata yaitu Y = 0,021X 0,289, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap produksi gas sebesar 0,021 liter (L). Hasil persamaan garis regresi penduga antara waktu (Xi) dan produksi gas (Yi) kombinasi 90 LC :10 LA pada digester tahap I dan digester tahap II dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Produksi biogas pada digester tahap I mencapai puncak pada hari ke-23 sebesar 0,28 liter (L) dan pada hari ke-33 sebesar 0,63 liter (L) untuk digester tahap II. Grafik menunjukkan tren peningkatan produksi gas pada digester tahap II lebih signifikan dibandingkan pada digester tahap I, seperti terlihat pada Gambar 7. Gambar 7. Produksi biogas kombinasi 90 LC :10 LA pada digester tahap I dan digester tahap II Selanjutnya kombinasi 80 LC :20 LA, pada digester tahap I menghasilkan biogas sebanyak 1,08 liter (L) dengan keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sangat rendah, bernilai negatif, dan tidak nyata, sebesar -0,183. 20

Waktu fermentasi (Xi) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi gas (Yi), sehingga tren produksi gas selama waktu fermentasi tidak bisa ditentukan. Pada digester tahap II menghasilkan biogas sebesar 2,39 liter (L) dengan keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi cukup tinggi, bernilai positif, dan nyata sebesar 0,877. Jumlah produksi gas ini sekitar 77,05% dipengaruhi oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan 22,95% dipengaruhi oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi gas (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh yaitu Y = 0,009X 0,168, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap produksi gas sebesar 0,009 liter (L). Hasil persamaan garis regresi antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) kombinasi 80 LC :20 LA pada digester tahap I dan digester tahap II dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Produksi gas pada digester tahap I mencapai puncaknya pada hari ke-4 sebesar 0,26 liter (L), sedangkan pada digester tahap II produksi gas mencapai puncak pada hari ke-34 sebesar 0,26 liter (L). Grafik menunjukkan produksi biogas pada digester tahap II mengalami tren peningkatan, sedangkan produksi gas pada D1 tidak bisa ditentukan trennya, seperti terlihat pada Gambar 8. Gambar 8. Produksi biogas kombinasi 80 LC :20 LA pada digester tahap I dan digester tahap II Selanjutnya adalah kombinasi 70: LC 30 LA, digester tahap I menghasilkan biogas sebanyak 1,77 liter (L) dengan keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sangat rendah, bernilai negatif, dan tidak nyata sebesar -0,231. Waktu fermentasi (Xi) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi gas (Yi), sehingga tren produksi gas selama waktu fermentasi tidak bisa ditentukan. Pada digester tahap II menghasilkan biogas sebanyak 2,57 liter (L) dengan keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi cukup tinggi, bernilai positif, dan nyata sebesar 0,763. Pada digester tahap II sekitar 58,32% jumlah produksi gas dipengaruhi oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan 41,68% dipengaruhi oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi gas (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh yaitu Y = 0,010X 0,18, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap produksi gas sebesar 0,010 liter (L). Hasil persamaan garis regresi penduga antara waktu fermentasi (Xi) dan produksi gas (Yi) kombinasi 70: LC 30 LA pada digester tahap I dan digester tahap II dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Produksi gas pada digester tahap I mencapai puncaknya pada hari ke-4 sebesar 0,33 liter (L) dan pada hari ke-36 sebesar 0,34 liter (L) untuk digester tahap II. Grafik menunjukkan produksi biogas pada digester tahap II mengalami tren peningkatan, sedangkan produksi biogas pada digester tahap I tidak bisa ditentukan trennya, seperti terlihat pada Gambar 9. 21

Gambar 9. Produksi biogas kombinasi 70 LC :30 LA pada digester tahap I dan digester tahap II Pada berbagai perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif terlihat bahwa digester tahap II menghasilkan gas lebih tinggi dibandingkan pada digester tahap I dan menunjukkan tren peningkatan setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa waktu fermentasi pada digester tahap II mempunyai korelasi positif terhadap produksi gas dan dapat dijelaskan melalui garis regresi. Sedangkan pada digester tahap I garis regresi hanya dapat diterima pada perlakuan kombinasi 90 LC :10 LA. Produksi gas harian dari seluruh perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini diakibatkan pada digester tahap II reaksi yang terjadi adalah metanogenesis, sebagaimana dinyatakan oleh Demirel dan Yenigun (2002) bahwa pada sistem reaktor dua-tahap, tahap singkat asidogenesis terjadi pada digester pertama dan diikuti oleh tahap panjang metanogenesis pada digester kedua. Reaksi metanogenesis ini adalah tahapan dimana bakteri metanogen memproduksi biogas dari asam asetat, hidrogen, dan karbondioksida yang dihasilkan dari tahapan reaksi sebelumnya. 4.2.3 Produksi Gas pada Digester Tahap I dan Digester Tahap II Penelitian ini menggunakan dua digester yang dirangkai sehingga masing-masing digester dapat dilihat kemampuannya dalam memproduksi gas. Pada digester tahap I, terlihat bahwa perlakuan yang mengalami tren peningkatan produksi gas hanya pada kombinasi 90 LC :10 LA, sedangkan perlakuan lainnya tidak bisa ditentukan tren produksi gas seperti terlihat pada Gambar 10a. Selanjutnya pada digester tahap II, terlihat bahwa ketiga perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif mengalami tren peningkatan produksi gas. Namun, produksi gas yang mengalami tren peningkatan lebih tinggi adalah kombinasi 90 LC :10 LA seperti terlihat pada Gambar 10b. (a) (b) Gambar 10. Produksi biogas pada : (a) digester tahap I kombinasi 90 LC :10 LA, 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA (b) digester tahap II kombinasi 90 LC :10 LA, 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA 22

Peningkatan atau penurunan produksi gas tidak menunjukkan banyaknya kandungan metan (CH 4 ) pada suatu biogas. Biogas yang dapat menimbulkan nyala api adalah yang mengandung metan (CH 4 ) lebih dari 55%. Pengujian nyala api ini dilakukan dengan melewatkan gas pada nyala api lilin. Biogas dikatakan menimbulkan nyala api, apabila api lilin berubah menjadi api biru dan membesar saat dilewatkan sejumlah gas. Sedangkan, biogas dikatakan tidak menimbulkan nyala api, bila api lilin menjadi padam saat dilewatkan sejumlah gas. Pada digester tahap I, keseluruhan perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif menghasilkan biogas yang tidak menimbulkan nyala api, karena sekitar 75% proses yang terjadi adalah proses hidrolisis dan pembentukan asam yang menghasilkan karbondioksida (CO 2 ). Sedangkan pada digester tahap II, setiap perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif menghasilkan biogas dengan nyala api pada hari yang berbeda-beda. Pada kombinasi 90 LC :10 LA, biogas menimbulkan nyala api pada hari ke 35, 36, 37, 38, dan 39, sedangkan pada kombinasi 80 LC :20 LA timbul nyala api pada hari ke 34, 35, dan 40. Berbeda pula pada kombinasi 70 LC :30 LA yang menimbulkan nyala api pada hari ke 33, 35, 38, dan 39. Pengujian terhadap nyala api ini membuktikan bahwa pada digester tahap II reaksi dominan yang terjadi adalah reaksi metanogenesis yang menghasilkan gas dominan berupa metana. Nyala api ini juga membuktikan kualitas biogas pada kombinasi 90 LC :10 LA lebih baik karena nyala api terjadi sebanyak lima hari, diikuti kombinasi 70 LC :30 LA dan 80 LC :20 LA sebanyak empat dan lima hari. Hasil pengujian terhadap nyala api dapat dilihat pada Lampiran 10. Jika dilihat pada kedua digester, kombinasi 90 LC :10 LA menghasilkan gas lebih tinggi dibandingkan kombinasi lainnya dan menunjukkan tren peningkatan pada digester tahap I dan digester tahap II. Kombinasi 90 LC :10 LA menghasilkan gas lebih tinggi, karena mampunyai imbangan C/N paling optimum sebesar 22,26 sebagaimana yang dinyatakan oleh Simamora et al. (2006), bahwa imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme perombak adalah 20-25. C/N yang tidak optimum dapat mengganggu proses pembentukan biogas, karena substrat yang mengandung C/N terlalu rendah akan meningkatkan produksi ammonia dan menghambat produksi metana sedangkan C/N yang terlalu tinggi mengindikasikan terlalu sedikit unsur nitrogen yang berakibat buruk bagi pertumbuhan mikroorganisme dan sintesis sel baru bagi mikroorganisme, karena sebanyak 16% sel bakteri terdiri dari unsur N (Deublein, 2008). Faktor lain yang mengakibatkan tingginya produksi gas pada kombinasi 90 LC :10 LA adalah rendahnya nilai TVS, yang menandakan jumlah bahan organik dalam bahan. Jumlah TVS dalam substrat harus sesuai dengan kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi TVS menjadi VFA dan kemampuan dalam mengkonsumsi VFA hingga menjadi biogas. Apabila kemampuan mikroorganisme tidak seimbang, akan terjadi penumpukan VFA yang menyebabkan penurunan ph secara drastis dan menghambat aktivitas bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003). Fenomena ini terjadi pada perlakuan 80 LC :20 LA, yang akan dibahas lebih rinci pada sub sub-bab 4.3.2. 4.3 NILAI ph DAN SUHU 4.3.1 Nilai ph pada Berbagai Kombinasi Substrat Nilai ph kedua digester kombinasi 90 LC :10 LA terlihat pada Gambar 11, pada digester tahap I keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai ph (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sangat rendah, bernilai negatif, dan tidak nyata sebesar -0,153. Waktu fermentasi (Xi) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai ph (Yi), sehingga tren nilai ph selama waktu fermentasi tidak bisa ditentukan. 23

Pada digester tahap II keeratan hubungan yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai ph (Yi) rendah, bernilai positif dan nyata, sebesar 0,558. Pada digester tahap II sekitar 31,24%, nilai ph ditentukan oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan 68,76% ditentukan oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai ph (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh yaitu Y = 0,034X + 5,567, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap nilai ph sebesar 0,034. Nilai ph ini mengalami tren peningkatan selama 40 hari waktu fermentasi. Nilai ph tertinggi pada digester tahap I sebesar 6,33 dan pada digester tahap II sebesar 7,33. Hasil persamaan garis regresi antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai ph (Yi) kombinasi 90 LC :10 LA pada D1 dan D2 dapat dilihat pada Lampiran 11 dan Lampiran 12. Gambar 11. Nilai ph kombinasi 90 LC :10 LA pada digester tahap I dan digester tahap II Nilai ph kombinasi 80 LC :10 LA pada kedua digester terlihat pada Gambar 12. Pada digester tahap I keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai ph (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sangat rendah, bernilai positif, dan tidak nyata sebesar 0,259. Waktu fermentasi (Xi) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai ph (Yi), sehingga tren nilai ph selama waktu fermentasi tidak bisa ditentukan. Pada digester tahap II keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai ph (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi cukup tinggi, bernilai positif, dan nyata sebesar 0,772. Sekitar 59,64% nilai ph pada digester tahap II dipengaruhi oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan 40,36% ditentukan oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai ph (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh yaitu Y = 0,055X + 5,066, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap nilai ph sebesar 0,055. Nilai ph ini mengalami tren peningkatan selama 40 hari waktu fermentasi. Nilai ph tertinggi pada digester tahap I sebesar 6,67 dan pada digester tahap II sebesar 7,67. Hasil persamaan garis regresi antara waktu fermentasi dan nilai ph kombinasi 80 LC :10 LA pada digester tahap I dan digester tahap II dapat dilihat pada Lampiran 13 dan Lampiran 14. 24

Gambar 12. Nilai ph kombinasi 80 LC :20 LA pada digester tahap I dan digester tahap II Nilai ph kombinasi 70 LC :10 LA pada kedua digester terlihat pada Gambar 13. Pada digester tahap I keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai ph (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sangat rendah, bernilai positif, dan tidak nyata sebesar 0,168. Waktu fermentasi (Xi) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai ph (Yi), sehingga tren nilai ph selama waktu fermentasi tidak bisa ditentukan. Pada digester tahap II keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai ph (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi cukup tinggi, bernilai positif, dan nyata sebesar 0,682. Sekitar 46,58% nilai ph ditentukan oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan sekitar 53,42% ditentukan oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai ph (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh yaitu Y = 0,049X + 5,866, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap nilai ph sebesar 0,049. Nilai ph ini mengalami tren peningkatan selama 40 hari waktu fermentasi. Nilai ph tertinggi pada digester tahap I sebesar 6,67 dan pada digester tahap II sebesar 8,67. Hasil persamaan garis regresi antara waktu fermentasi dan nilai ph kombinasi 70 LC :10 LA pada digester tahap I dan digester tahap II dapat dilihat pada Lampiran 15 dan Lampiran 16. Gambar 13. Nilai ph kombinasi 70 LC :30 LA pada digester tahap I dan digester tahap II Nilai ph seluruh kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada digester tahap II berada pada rentang 5,33-8,67 dan mengalami tren peningkatan di setiap perlakuan, nilai ini lebih tinggi 25

dibandingkan nilai ph pada digester tahap I yang berada diantara rentang 5,00-6,67. Hal ini menunjukkan bahwa waktu fermentasi pada digester tahap II mempunyai korelasi positif terhadap nilai ph dan dapat dijelaskan melalui garis regresi. Sedangkan garis regresi tidak dapat diterima pada seluruh kombinasi pada digester tahap I. Nilai ph harian dapat dilihat pada Lampiran 17. Pada awal reaksi fermentasi anaerobik, nilai ph akan menurun seiring produksi VFA. Setelah itu, bakteri pembentuk methan akan mengkonsumsi VFA dan alkalinitas diproduksi, ph akan meningkat dan mencapai kestabilan (Gerardi, 2003). Pembentukan VFA banyak terjadi pada digester tahap I dan konsumsi VFA oleh bakteri pembentuk metana banyak terjadi pada digester tahap II. 4.3.2 Nilai ph pada Digester Tahap I dan Digester Tahap II Pada digester tahap I nilai ph pada seluruh kombinasi tidak bisa ditentukan trennya, seperti terlihat pada Gambar 14a. Sedangkan pada digester tahap II, nilai ph ketiga kombinasi limbah cair dan lumpur aktif mengalami tren peningkatan dan tidak berbeda signifikan satu sama lain, seperti terlihat pada Gambar 14b. Namun, nilai ph tertinggi pada kombinasi 70 LC :30 LA dan nilai ph terendah pada kombinasi 80 LC :20 LA. (a) (b) Gambar 14. Nilai ph pada : (a) digester tahap I kombinasi 90 LC :10 LA, 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA (b) digester tahap II kombinasi 90 LC :10 LA, 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA Nilai ph berbagai kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada kedua digester terlihat tidak berbeda secara signifikan. Rentang nilai ph berturut-turut pada kombinasi 90 LC :10 LA; 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA adalah 5,00-7,33; 5,00-7,67; dan 5,00-8,67. Nilai ph setiap harinya berfluktuasi karena pada masing-masing digester terdapat aktivitas produksi VFA oleh bakteri pembentuk asam dan konsumsi VFA oleh bakteri pembentuk metana, jumlah VFA ini yang menentukan nilai ph setiap harinya. Nilai ph kombinasi 80 LC :20 LA berada pada rentang terendah dibandingkan dengan nilai ph kombinasi lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap rendahnya produksi biogas pada kombinasi 80 LC :20 LA. Fenomena ini telah disebutkan sebelumnya, bahwa tingginya TVS pada substrat menyebabkan tingginya VFA yang terbentuk. Apabila terjadi ketidakseimbangan dalam produksi VFA dan konsumsi VFA, nilai ph akan semakin menurun dan menghambat produksi biogas. 4.3.3 Suhu Selain ph, faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap produksi gas adalah suhu. Rentang suhu pada kombinasi 90 LC :10 LA pada digester tahap I; 90 LC :10 LA pada digester tahap II; 80 LC :20 LA pada digester tahap I; 80 LC :20 LA pada digester tahap II; 70 LC :30 LA pada digester tahap I; dan 70 LC :30 LA pada digester tahap II berturut-turut adalah 25,8-27,8 C; 25,7-27,3 C; 26,0-27,5 C; 26,2-26

27,8 C; 26,0-27,5 C; dan 26,2-27,5 C. Nilai suhu harian dapat dilihat pada Lampiran 18. Suhu dalam penelitian ini adalah kondisi mesofilik, yaitu berkisar antara 25,7-27,8 C, seperti terlihat pada Gambar 15. Gambar 15. Suhu digester Nilai suhu yang digunakan pada penelitian ini mengalami fluktuasi mengikuti perubahan suhu lingkungan dan lebih tinggi ± 2 C dari suhu lingkungan. Pada proses fermentasi anaerobik, reaksi yang terjadi selama degradasi bahan organik tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan suhu digester, karena energi yang dihasilkan oleh fermentasi anaerobik sangat kecil. Saat substrat didegradasi di dalam sel bakteri, sejumlah energi dihasilkan dari elektron yang dilepaskan dari pemutusan ikatan kimia pada substrat. Elektron ini akan melalui sejumlah molekul pembawa elektron-sistem transpor elektron, menuju akseptor elektron akhir. Akseptor elektron akhir yang digunakan tiap bakteri berbeda-beda dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen di lingkungan dan kemampuran molekul dalam menangkap dan melepaskan elektron, yang disebut oksidasi-reduksi potensial (ORP). Akseptor elektron yang digunakan dapat berupa O 2, NO 2 -, SO 4 2 -, CH 2 O*, atau CO 2 (Gerardi, 2003). Pada fermentasi anaerobik, oksigen tidak tersedia untuk digunakan sebagai akseptor elektron akhir dan mikroorganisme tidak mempunyai kemampuan dalam menggunakan senyawa inorganik seperti NO 2 -, SO 4 2 -. Mikroorganisme hanya menggunakan CO 2 dan intermediate organic (CH 2 O*) sebagai akseptor elektron, sehingga energi yang dihasilkan hanya 2 ATP/mol glukosa. Menurut Gerardi (2003), yang menggunakan glukosa sebagai sampel untuk menjelaskan perolehan energi yang terjadi dalam fermentasi glukosa sebagai berikut : Glikolisis : Glukosa (+2ADP + 2 NAD + ) 2 Piruvat + 2 ATP + 2 NADH Fermentasi : 2 Piruvat 2 Asetaldehid + 2 CO2 2 Asetaldehid + 2 NADH 2 Etanol + 2 NAD + 4.4 TOTAL VOLATILE SOLID (TVS) Total volatile solid adalah nilai yang menunjukkan jumlah padatan dalam bahan yang menguap pada pembakaran di atas suhu 550 C. Total padatan menguap sering disebut juga sebagai organik total. Nilai ini dapat digunakan sebagai parameter pendegradasian bahan organik. Perubahan nilai TVS dari awal fermentasi hingga akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai TVS mengalami perubahan selama masa fermentasi anaerobik. Pada akhir masa fermentasi, nilai TVS mengalami penurunan karena terjadi proses pendegradasian bahan organik 27

berlangsung secara optimal melalui empat tahap reaksi pembentukan biogas. Campuran limbah cair dan lumpur aktif mengandung senyawa organik kompleks, seperti karbohidrat, protein, dan minyak. Senyawa organik kompleks ini dihidrolisis menjadi senyawa organik sederhana, seperti glukosa, asam amino, dan asam lemak agar bisa ditransportasikan melewati membran sel bakteri. Senyawa organik sederhana didegradasi menghasilkan VFA (asam butirat, asam propionat, asam asetat), asam laktat, etanol, CO 2, dan H 2. Volatile fatty acid dikonversi menjadi asam asetat, H 2, dan CO 2 agar bisa dijadikan substrat oleh bakteri pembentuk metana. Pada tahap akhir, asam asetat dikonversi menjadi metana dan CO 2, sedangkan CO 2 dan H 2 dikonversi menjadi metana dan H 2 O. Senyawa organik didegradasi oleh bakteri untuk mendapatkan energi dan menghasilkan produk berupa gas, seperti metana dan CO2 sehingga nilai TVS mengalami penurunan selama 40 hari fermentasi. Penurunan nilai TVS pada kombinasi 90 LC :10 LA, 80 LC :20 LA, dan 70 LC :30 LA berturut-turut sebesar 70,31%, 59,59%, dan 38,58%. Hasil analisis ragam nilai TVS menunjukkan bahwa kombinasi limbah cair dan lumpur aktif memberikan pengaruh nyata terhadap perolehan nilai TVS akhir, baik pada digester tahap I dan digester tahap II. Hasil analisis ragam ini dapat dilihat pada Lampiran 19. Uji lanjut Duncan terhadap perolehan nilai TVS akhir pada digester tahap I menunjukkan adanya pengaruh berbeda nyata antara kombinasi 90 LC :10 LA dengan 70 LC :30 LA, sedangkan kombinasi 90 LC :10 LA dengan 80 LC :20 LA, dan 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan terhadap perolehan nilai TVS akhir pada digester tahap II juga menunjukkan adanya pengaruh berbeda nyata antara kombinasi 90 LC :10 LA dengan 70 LC :30 LA, sedangkan kombinasi 90 LC :10 LA dengan 80 LC :20 LA, dan 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Keterangan : Huruf a 1, ab 1, dan b 1 adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada digester tahap I yang menunjukkan beda nyata (p<0,05). Huruf a 2,ab 2, dan b 2 adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada digester tahap II yang menunjukkan beda nyata (p<0,05). Gambar 16. Histogram rata-rata perubahan nilai TVS pada awal dan akhir masa fermentasi Kombinasi 90 LC :10 LA memberikan penurunan nilai TVS tertinggi, sedangkan kombinasi lainnya tidak berbeda nyata. Penurunan nilai TVS tertinggi mengindikasikan tingginya bahan organik yang didegradasi untuk memproduksi biogas, sehingga semakin tinggi penurunan nilai TVS akan menyebabkan semakin tinggi pula produksi biogas yang dihasilkan. 28