III. KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis yang dikaji dalam penelitian ini ditekankan

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

SMP NEGERI 3 MENGGALA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. fungsi lindung dan fungsi konservasi semakin berkurang luasnya. Saat ini

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

19 Oktober Ema Umilia

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan


1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

2014 POTENSI EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN BURU GUNUNG MASIGIT KAREUMBI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat,

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan memiliki prospek baik, potensi hutan alam yang menarik. memiliki potensi yang baik apabila digarap dan sungguh-sungguh

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pariwisata Menurut Soekadijo (1997) pengertian pariwisata adalah segala kegiatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. UMUM. Sejalan...

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

BAB. I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

PANDUAN PENGAMATAN LANGSUNG DI LOKASI/KAWASAN WISATA TERPILIH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis yang dikaji dalam penelitian ini ditekankan pada kawasan yang dilindungi, pengembangan pariwisata pada kawasan yang dilindungi dan peran serta masyarakat terhadap pengembangan wisata. 3.1.1 Kawasan yang Dilindungi Kawasan lindung adalah kawasan yang memiliki fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan (BKTRN, 1996). Kawasan ini antara lain kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya seperti hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air. Kawasan lindung termasuk pula antara lain adalah kawasan suaka alam, kawasan pelestarian dalam dan cagar budaya. Secara umum, pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup, dengan sasaran mempertahankan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa, nilai sejarah dan budaya serta untuk mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam (BKTRN, 1996). Adapun penetapan sebuah kawasan yang dilindungi memiliki tujuan sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang Nomor 5 pasal 3 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yakni untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sementara itu, tujuan perlindungan hutan dan konservasi alam adalah untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi 30

lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari (UU No.41 tahun 1999). Bagi pembangunan, pengelolaan kawasan lindung memberikan kontribusi sebagai dasar dan petunjuk cara pembangunan yang baik agar manfaat pembangunan dapat dirasakan secara terus-menerus (Soemarwoto, 2001). Mac Kinnon et al., (1993), mengkategorikan kawasan yang dilindungi menjadi enam macam, yaitu : taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru dan hutan lindung. Agar dapat dikelola secara efektif, kawasan tersebut harus memiliki dasar hukum yang pasti (Mac Kinnon et al, 1993). Mengacu pada Undang-undang Nomor 5 pasal 14 tahun 1990, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diwujudkan dalam pengelolaan pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sementara kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Tiap-tiap jenis kawasan memiliki batasan kriteria dan tujuan pengelolaan yang berbeda. 3.1.2 Pengembangan Pariwisata pada Kawasan yang Dilindungi Sebagai suatu sistem, pariwisata kadang menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap keberadaan sumber daya, keberlangsungan habitat flora dan fauna serta kadang dapat menimbulkan potensi konflik dengan masyarakat sekitar (Hammit et al, 1987). Selain itu, Hammit et al., (1987) juga mengemukakan bahwa kegiatan wisata alam dapat menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah, tumbuhan, kehidupan liar dan sumber air di kawasan tersebut. Di samping dampak terhadap lingkungan, pariwisata yang menghasilkan wisata massal dapat pula berdampak negatif terhadap sosial budaya (Fandeli, 31

2002). Selain itu, untuk mengurangi/menekan terjadinya dampak terhadap kawasan yang dilindungi tersebut, Dirjen Pariwisata dalam (Yoeti, 2000) telah menetapkan dasar-dasar pengembangan wisata alam, yang secara umum sebagai berikut: (1) bersifat ramah lingkungan, termasuk lingkungan sosial-budaya, (2) tetap terjaganya fungsi dan daya dukung lingkungan, (3) ada tindakan untuk mengantisipasi dampak, (4) merupakan tanggung jawab semua pihak terkait, (5) ada pendidikan dan pelatihan bagi pekerja kepariwisataan dan (6) adanya akses informasi ke masyarakat tentang konservasi alam. 3.1.3 Peran serta Masyarakat terhadap Pengembangan Wisata Secara normatif konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat (UU No. 5 tahun 1990 pasal 4), namun dalam implementasinya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan taman wisata alam belum cukup jauh dijalankan. Berkaitan dengan keberadaan masyarakat di kawasan pelestarian alam, Mac Kinnon et al., (1993) menyatakan beberapa hal penting dalam pengelolaan kawasan tersebut, yakni sebagai berikut: (1) dalam penetapan kawasan, pemukiman kembali penduduk asli sedapat mungkin dihindari, karena budaya asli akan tetap utuh hanya di wilayahnya sendiri, di mana kapasitas produksi lingkungan telah benarbenar dipahami, (2) kawasan harus cukup luas untuk berfungsi sebagai cagar alam dan cagar bagi penduduk setempat, (3) perencanaan kawasan harus dapat mengantisipasi pertambahan penduduk dan perubahan budaya, (4) pegawai penjaga kawasan harus diambil dari penduduk setempat. Berkaitan dengan itu perlu dilakukan upaya menghubungkan kembali masyarakat dengan lingkungannya sebagai langkah strategis untuk membangun dukungan terhadap pelestarian kawasan (Indriyastuti et al, 2001), di samping itu 32

tingkat peran serta masyarakat yang tinggi dapat menjamin dukungan sosial dan politik yang sebesar-besarnya (Mac Kinnon et al, 1993). Berdasarkan kondisi ini maka paradigma pengelolaan saat ini perlu diubah dari mengeluarkan manusia dari alam menjadi mengintegrasikan kembali manusia ke dalam alam, dan peran masyarakat harus dikembangkan tidak hanya sekedar pemberi informasi, namun terlibat langsung dalam proses perencanaan. Peran serta masyarakat dalam kegiatan kepariwisataan dan rekreasi dalam kawasan yang dilindungi juga telah tercantum dalam UU No. 5 tahun 1990 pasal 32 yang menyatakan bahwa untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Taman Wisata Alam Gunung Pancar merupakan salah satu kawasan pelestarian alam atau konservasi yang berada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selain menjadi kawasan pelestarian alam atau konservasi, kawasan ini juga merupakan kawasan wisata yang saat ini diminati oleh berbagai wisatawan khususnya wisatawan yang berasal dari Jakarta. Potensi sumberdaya alam di Taman Wisata Alam Gunung Pancar, baik ekosistem alam maupun buatan, yang kaya akan keanekaragaman hayati, air dan mineral, menunjukkan potensi sumberdaya alam yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sumberdaya alam yang terdapat di taman wisata alam ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik dan berkelanjutan. Taman Wisata Alam Gunung Pancar memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perkembangan kondisi masyarakat sekitar kawasan. Perubahan 33

status hutan produksi menjadi taman wisata menimbulkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang menuntut kebutuhan hidup yang semakin beragam. Pemerintah, pengelola dan masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam pelestarian sumberdaya alam sebagai kawasan wisata. Hal ini mengacu pada Undang- Undang No.5 Tahun 1990 pasal 4, yaitu konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan wisata ini diperlukan kerjasama antara pemerintah maupun masyarakat. Pengembangan yang terjadi di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Pancar merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan banyaknya bermunculan warung-warung baik warung makanan maupun warung minuman sehingga hal ini berdampak positif terhadap perputaran uang dari daerah lain ke masyarakat yang ada disekitar kawasan wisata. Selain itu, juga memberikan peluang usaha bagi masyarakat untuk bekerja. Hal ini terlihat dari bergesernya pola hidup masyarakat yang dahulu petani menjadi pekerja wisata. Masyarakat menjadikan kawasan ini sebagai sumber mencari nafkah. Perubahan pendapatan masyarakat sekitar yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan Taman Wisata Alam dilihat dengan mengestimasi pendapatan masyarakat tanpa adanya kawasan dan dari adanya kawasan. Setelah perubahan pendapatan masyarakat diperoleh, dapat diduga faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi pendapatan masyarakat. Faktor-faktor sosial ekonomi yang diduga mempengaruhi pendapatan masyarakat yaitu jumlah tanggungan, umur, lama bekerja di TWA, pendidikan akhir, jarak rumah ke TWA dan jenis kelamin. 34

Pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut berguna untuk melihat pengaruh perubahan pendapatan masyarakat akibat adanya pengembangan wisata. Dengan demikian, kawasan wisata ini dapat dijadikan alternatif sumber mata pencaharian oleh masyarakat. Dampak sosial dan lingkungan dianalisis secara deskriptif untuk menilai dampak sosial dan lingkungan pengembangan wisata yang terjadi di kawasan TWA Gunung Pancar. Dampak sosial tersebut meliputi perubahan perilaku masyarakat yang juga menyebabkan pergeseran profesi sehingga menimbulkan penyerapan tenaga kerja dan kerawanan sosial yang terjadi di sekitar kawasan sehingga menimbulkan kerusakan. Dampak lingkungan dilihat dari perubahan secara fisik kawasan. Perubahan fisik tersebut dilihat dari dampak visual yaitu terdapat sejumlah sampah akibat kegiatan wisata yang ditimbulkan dari kedatangan wisatawan, adanya longsor akibat pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan munculnya polusi serta terjadinya perubahan udara terhadap lingkungan sekitar kawasan. Diagram alir kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. 35

Kawasan TWA Gunung Pancar Aktivitas Wisata Pengembangan kawasan TWA Gunung Pancar Dampak Ekonomi Dampak sosial Dampak lingkungan Perubahan pendapatan masyarakat Perubahan pola perilaku dan kerawanan sosial Perubahan fisik kawasan Estimasi pendapatan dan perubahan pendapatan Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi fungsi pendapatan masyarakat akibat adanya pengembangan TWA Gunung Pancar Analisis regresi linier berganda Analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif Identifikasi karakteristik masyarakat TWA Gunung Pancar Menilai dampak sosial dan lingkungan pengembangan wisata di TWA Gunung Pancar Alternatif kebijakan pengembangan TWA Gunung Pancar Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional = Objek penelitian 36