BAB I PENDAHULUAN. adalah suatu unit emosional dan menggunakan sistem pemikiran untuk menjelaskan interaksi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang merusak sel-sel hati (liver)

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan ibu berperan di dapur

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ( Pendidikan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. keluargalah semua aktifitas dimulai, keluarga merupakan suatu kesatuan social

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

Abstrak. iii Universitas Kristen Maranatha

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus mendebarkan hati. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tahap perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif semakin sering terdengar dan dialami oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan pada Remaja yang dibesarkan oleh OrangTua Tunggal

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa era globalisasi ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari Play Group

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua, terlebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. sepasang suami istri namun juga keinginan setiap anak di dunia ini, tidak seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB II LANDASAN TEORI

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14% keluarga dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat ini tidak hanya suami saja yang harus bekerja untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sejak tahun 2004 hingga 2010,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu unit sosial terkecil dalam suatu masyarakat adalah keluarga. Keluarga adalah suatu unit emosional dan menggunakan sistem pemikiran untuk menjelaskan interaksi yang kompleks di dalam unitnya (Kerr, 2000). Keluarga memiliki peranan yang sangat penting, mulai dari bayi hingga dewasa, peran keluarga tidak pernah lepas dari kehidupan individu. Namun pada kenyataannya, tidak semua keluarga mampu bertahan untuk tetap utuh. Kehilangan salah satu anggota keluarga dapat terjadi karena perceraian, kematian, atau perpisahan. Salah satu fenomena yang terkait dengan hal ini adalah single-parent. Singleparent family adalah keluarga yang dipimpin oleh orangtua tunggal. Terdapat dua macam orang tua tunggal yaitu single mother (ibu tunggal) dan single father (ayah tunggal). Sebanyak 15,06 % keluarga di Indonesia dipimpin oleh single-parent. Di mana 12,08 % adalah single mother dan 2,98% adalah single father. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah single mother hampir 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah single father. (Badan Pusat Statistik, 2011). Hal ini salah satunya terjadi karena keputusan pengadilan terkait dengan hak asuh anak umumnya jatuh ke tangan ibu yang dianggap lebih sesuai untuk merawat dan mengawasi tumbuh kembang seorang anak. (www.legalakses.com diakses pada 4 Mei 2015) Meskipun sebagian besar hak asuh anak didapatkan oleh ibu, namun bukan berarti ayah tidak memiliki peran yang penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Ayah dan ibu memiliki tugas dan fungsi tersendiri yang berbeda, di mana setiap perannya tidak dengan mudah dapat digantikan oleh orang lain. 1

2 Perceraian yang terjadi antara suami dan istri umumnya berakhir menyakitkan bagi berbagai pihak yang ikut terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak. Peristiwa yang terjadi dapat menimbulkan kurangnya perlindungan dan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Selain itu, perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma bagi anak, terutama dalam hal menjalin hubungan yang baru dengan lawan jenis. Perceraian yang terjadi seringkali dihayati oleh anak sebagai suatu kegagalan di dalam keluarga (Holmes dan Rahe, 2005). Kegagalan yang terjadi di dalam keluarga, terlebih melihat budaya di Indonesia yang masih belum bisa sepenuhnya menerima perceraian, dapat membuat anak merasa berbeda dengan kebanyakan anak pada umumnya. Bagi anak sendiri, perceraian seringkali dihayati sebagai suatu kesalahan yang dilakukan oleh dirinya (Brooks, 2013). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa perceraian menjadi penyebab stres kedua tertinggi bagi anak setelah kematian orangtua (Papalia, 2012). Kehidupan awal keluarga yang diasuh oleh single mother dapat mengalami ketidakstabilan, seperti dalam hal ekonomi dan hubungan antar keluarga. Terkait dengan masalah ekonomi, keluarga yang baru saja beralih ke dalam single-parent system harus mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di dalam sistem keluarga yang baru. Bagi seorang ibu rumah tangga, sumber penghasilan yang awalnya berasal dari suami tidak lagi didapatkan, hal ini memaksa ibu untuk bekerja dan menafkahi keluarga. Sedangkan bagi wanita karir, mereka harus bekerja lebih keras dan membagi waktu untuk berperan sebagai ibu juga sebagai pencari nafkah keluarga. Hal ini secara tidak langsung dapat merenggangkan hubungan orangtua dengan anak karena kesibukan orangtua akan pekerjaannya. Sangat sulit bagi single mother untuk menyediakan waktu yang cukup, memberikan perhatian, dan menyeimbangkan dua peran sekaligus sebagai ayah dan ibu untuk anaknya. Kesulitan yang dialami oleh single mother akan turut dialami oleh anak. Bagaimanapun juga, satu figur ibu tidak dapat menggantikan dua peran secara utuh bagi

3 anak. Selain itu, orangtua yang menjadi single-parent karena bercerai sering kali menunjukkan konflik yang terjadi di depan anak. Konflik yang ditampilkan di depan anak dapat menimbulkan perasaan tidak aman pada anak. Bahkan pada tingkatan yang lebih parah, konflik yang terjadi berulang-ulang dapat menimbulkan trauma bagi anak. Namun di sisi lain, seorang single mother tidak lagi perlu berdebat dengan suami jika terdapat perbedaan pendapat mengenai keputusan-keputusan yang akan diambil di dalam keluarga. Selain itu, anak yang diasuh oleh single mother mendapat kesempatan untuk belajar lebih mandiri dan mengerti bahwa terkadang ada masalah di dalam kehidupan yang memang harus dihadapi, salah satunya adalah menerima kenyataan bahwa sosok ayah tidak lagi dapat mendampinginya. Berbagai kejadian yang dialami dan dirasakan oleh keluarga dengan single-parent system akan memberikan dampak jangka panjang bahkan hingga anak beranjak menuju emerging adulthood. Pentingnya peran orangtua tidak hanya ketika anak masih berusia dini, bahkan hingga memasuki masa dewasa sekalipun, kedua orangtua tetap memiliki peranan yang penting. Maka dari itu, kehilangan figur ayah, yang salah satunya terjadi akibat perceraian di dalam suatu keluarga akan berpengaruh terhadap anak yang berusia dewasa sekalipun. Berbagai kejadian yang harus dialami oleh anak yang diasuh oleh single mother dapat dihayati sebagai suatu kejadian yang bersifat traumatis dan akan memengaruhi cara pandang anak terhadap kehidupan. Setiap anak memiliki cara pandang tertentu terhadap kehidupan setelah kedua orangtua bercerai. Bagaimana cara pandang anak menghayati situasi yang terjadi di dalam seluruh kehidupannya disebut dengan explanatory style. Explanatory style adalah cara pandang yang digunakan seseorang dalam menjelaskan kepada diri sendiri mengapa suatu peristiwa terjadi (Seligman, 1990). Explanatory style yang dimiliki oleh

4 individu akan menentukan pandangan mengenai kejadian yang sedang dialami oleh individu dan tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan. Individu dengan optimistic explanatory style cenderung memandang masalah yang dihadapinya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, spesifik, serta bukan ditimbulkan oleh dirinya dan memandang peristiwa baik sebagai sesuatu yang bersifat menetap, universal, dan terjadi karena dirinya sendiri (Seligman, 1990). Individu dengan cara pandang yang positif akan memandang suatu peristiwa baik yang terjadi begitu menguntungkan dan memberi manfaat yang relatif menetap di dalam kehidupannya. Secara umum, individu yang memiliki pandangan positif akan cenderung percaya diri, sehingga individu menjadi lebih yakin dalam mencapai tujuan hidupnya. Berbeda dengan individu optimis, individu yang memiliki pessimistic explanatory style akan memandang masalahnya sebagai suatu hal yang menetap, universal, dan timbul sebagai akibat dari kesalahannya dan memandang suatu kejadian baik sebagai suatu hal yang hanya terjadi sementara, spesifik, dan bukan ditimbulkan oleh dirinya sendiri (Seligman, 1990). Individu dengan cara pandang yang negatif akan merasa bahwa masalah yang terjadi dalam kehidupan begitu besar, sehingga dapat menghambat kemajuan berbagai aspek dalam kehidupannya. Hasil akhir dari pandangan negatif tersebut dapat mengarah pada keputusasaan serta kurangnya usaha dalam menghadapi suatu tantangan. Melihat penjelasan tersebut, explanatory style merupakan hal yang penting bagi mahasiswa yang sedang berada pada tahap emerging adulthood, yang berada pada kisaran usia 18-23 tahun. Pada tahap inilah individu sedang mengalami transisi dari masa remaja menuju masa dewasa di mana individu bukan lagi remaja, namun juga belum dapat mengemban tanggung jawab sebagai orang dewasa secara utuh. Pada tahap ini, individu mulai belajar untuk mandiri, seperti mengelola waktu dan mengatur kegiatan akademis. Meskipun demikian, peran orangtua bagi emerging adulthood masih tetap penting. Emerging

5 adulthood masih bergantung kepada orangtua, seperti dalam hal finansial dan tempat tinggal. Selain itu, pada tahap ini, orangtua akan menjadi acuan nilai yang dianut anaknya yang akan memengaruhi explanatory style anak. Ketiadaan ayah di dalam keluarga akan mengurangi figure yang dapat menjadi teladan atau contoh bagi anak, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia nilai-nilai yang dimiliki oleh anak dapat berasal dari anggota keluarga besar lainnya. Explanatory style bagi individu emerging adulthood menjadi hal yang penting mengingat cara pandang yang dimiliki akan sangat berpengaruh pada setiap keputusan yang diambil. Pada tahap ini, emerging adulthood harus mengambil berbagai keputusan yang penting, seperti pemilihan jurusan, tempat kuliah, dan juga penentuan karir atau pekerjaan di masa depan. Setiap keputusan penting yang diambil akan berpengaruh pada masa depan emerging adulthood, termasuk berpengaruh kepada kesuksesan di masa depan. Mahasiswa yang memiliki optimistic explanatory style lebih mampu melihat kehidupannya secara positif, sehingga lebih berani untuk mengambil risiko dan mengatasi berbagai tantangan serta hambatan yang dihadapinya. Mahasiswa yang lebih optimis akan menetapkan target dalam kehidupan yang cenderung lebih tinggi. Hal ini terjadi karena mahasiswa yang optimis mampu melihat berbagai kemungkinan positif yang akan terjadi. Sedangkan mahasiswa yang memiliki pessimistic explanatory style cenderung lebih ragu dalam mengambil risiko dan menghadapi tantangan dalam kehidupan. Hal ini akan berdampak pada banyak hal, salah satunya akan berdampak pada target yang ditetapkan. Mahasiswa yang pesimis cenderung ragu dan takut untuk menetapkan target yang tinggi, mahasiswa yang pesimis lebih banyak melihat kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap 5 orang mahasiswa usia 18-23 tahun yang diasuh oleh single mother mengenai permasalahan dalam kehidupan sehari-

6 hari, penghayatan dan sikap mereka terhadap kehidupan berbeda-beda. Menurut kelima responden tersebut, permasalahan yang paling sering dialami adalah masalah dalam keluarga, relasi sosial, dan bidang ekonomi. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, 3 orang responden (60%) pesimis terhadap kehidupannya. Pandangan tersebut berdampak di dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika berhadapan dengan masalah. Mereka beranggapan bahwa masalah yang terjadi bersumber dari dalam dirinya dan akan berdampak luas dan menetap, sehingga mereka lebih memilih untuk tidak banyak bertindak karena mereka yakin bahwa usaha yang dilakukan akan sia-sia. Sedangkan 2 responden lainnya (40%) memiliki optimis terhadap kehidupannya. Pandangan ini membantu individu tersebut untuk melihat hal-hal positif di dalam setiap permasalahan yang dihadapi. Meskipun suatu masalah dapat saja terjadi karena kesalahannya, tapi hal tersebut dapat diperbaiki sehingga tidak akan berdampak luas dan dapat terselesaikan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Hal ini membuat mereka lebih berani untuk menghadapi setiap masalah dan mencoba berbagai hal baru. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada 5 orang responden, dapat diketahui bahwa pandangan individu yang tinggal dalam keluarga dengan single-parent system bergantung pada penghayatan individu terhadap kondisi yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki pandangan yang beragam dan berbeda. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti ingin mengetahui Explanatory Style pada mahasiswa usia 18-23 tahun Fakultas Psikologi Universitas X yang diasuh oleh single mother.

7 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui gambaran Explanatory Style pada mahasiswa usia 18-23 tahun Fakultas Psikologi Universitas X yang diasuh oleh single mother. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe Explanatory Style pada mahasiswa usia 18-23 tahun di universitas X yang diasuh oleh single mother. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui tipe Explanatory Style mahasiswa usia 18-23 tahun Fakultas Psikologi universitas X yang diasuh oleh single mother serta faktor-faktor yang memengaruhinya. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Menjadi masukan bagi ilmu psikologi, khususnya dalam bidang ilmu Psikologi Positif dan Psikologi Perkembangan mengenai explanatory style mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X kota Bandung yang diasuh oleh single mother. 2. Menjadi sumbangan informasi dan pengetahuan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai explanatory style.

8 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberi informasi kepada pihak Fakultas Psikologi Universitas X mengenai explanatory style, terutama bagi mahasiswa yang diasuh oleh single mother yang memiliki pessimistic explanatory style, agar dapat diberikan bimbingan serta arahan yang tepat dalam bentuk konseling oleh dosen wali. 1.5 Kerangka Pikir Menurut Arnett (dalam Papalia, 2012), emerging adulthood merupakan masa di mana individu tidak lagi dikatakan remaja, namun juga belum dapat dikategorikan memiliki peran orang dewasa. Meskipun dalam banyak hal seperti belajar dan mengatur waktu luang, individu yang berada pada tahap emerging adulthood telah mandiri, namun mereka tetap membutuhkan penerimaan dari orangtua, empati, dan dukungan. Dukungan finansial dari orang tua, terutama dalam hal edukasi, dapat meningkatkan kemungkinan emerging adult untuk berhasil dalam menjalankan peran dewasanya nanti (Aquilino, 2006, dalam Papalia 2012). Pada umumnya, emerging adulthood yang sedang menempuh pendidikan masih bergantung kepada orangtua secara finansial (Schoeni & Ross, 2005, dalam Papalia, 2012). Peran orangtua dalam memenuhi setiap kebutuhan individu begitu penting, mengingat individu yang sedang menempuh pendidikan tinggi pada umumnya belum mampu untuk hidup mandiri secara penuh, seperti dalam hal finansial dan tempat tinggal. Peran dan dukungan orangtua sangat berarti bagi individu yang sedang berada pada tahap emerging adulthood, seberapa besar dukungan yang diberikan dapat berdampak pada kelancaran dalam bidang akademis. Dukungan yang diberikan dapat berupa arahan, biaya pendidikan tinggi, atau penyediaan fasilitas.

9 Menurut Arnett (dalam Papalia, 2012), terdapat tiga tahapan dalam emerging adulthood. Tahap pertama, individu masih lekat dengan keluarga, namun ekspektasi mengenai self-reliance dan self-directedness mulai meningkat. Tahap berikutnya, individu masih tetap terkoneksi dengan keluarganya (dan mungkin juga masih bergantung secara finansial), namun tidak lagi sepenuhnya lekat dengan keluarga. Komitmen dalam menentukan pekerjaan dan mulai menjalin hubungan yang intim menjadi salah satu tanda pada tahap ini. Tahap terakhir adalah masa di mana individu benar-benar memasuki masa dewasa, individu telah mandiri dan memiliki komitmen terhadap karir, pasangan hidup, dan mungkin juga anak. Responden adalah mahasiswa Fakultas Psikologi usia 18-23 tahun yang sedang berada pada tahap kedua di mana individu mulai banyak mengambil keputusan secara mandiri, namun dalam beberapa hal masih bergantung pada keluarganya, seperti dalam hal finansial, sandang, pangan, dan tempat tinggal. Keluarga, khususnya orangtua memiliki peranan yang penting dalam membantu dan memersiapkan individu untuk memasuki masa dewasa. Dalam hal ini, relasi anak dengan orangtua menjadi hal yang penting bagi kelangsungan hidup anak. Hill (1998) mendefinisikan keluarga sebagai rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan. Keluarga merupakan unit sosial pertama yang mengawasi perkembangan seorang anak. Dalam hal tersebut, peran kedua orang tua baik ayah maupun ibu memiliki pengaruh yang sangat besar. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa keluarga dapat memengaruhi dan memerhatikan tumbuh kembang seorang anak dalam keluarga. Secara umum, orangtua memiliki beberapa peran bagi anaknya. Peran-peran tersebut adalah pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, sebagai agen

10 sosialisasi, menyediakan pengalaman bagi anak, dan berperan serta dalam perkembangan konsep diri anak (Hoffman, Paris, Hall, 1994, dalam Anderson & Sabatelli, 2003). Dalam hal ini, baik ayah dan ibu memiliki peran masing-masing yang berbeda. Secara umum, ayah berperan sebagai pemimpin keluarga dan sebagai sumber penghasilan, sedangkan ibu berperan sebagai pembimbing bagi anak dan pengatur rumah tangga. Meskipun kedua orangtua baik ayah dan ibu memiliki peran masing-masing yang cukup penting, beberapa keluarga harus menghadapi kenyataan bahwa peran ayah dan ibu dalam suatu keluarga secara utuh tidak lagi dimungkinkan. Dalam kondisi seperti ini, orangtua terpaksa menjadi seorang single-parent. Menurut Hurlock (1999), orangtua tunggal (single-parent) adalah orangtua yang telah menduda atau menjanda entah bapak atau ibu, dan menerima tanggung jawab untuk mengasuh anak-anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau kelahiran anak di luar nikah. Hal ini merupakan akibat dari beberapa hal, seperti perceraian, kematian pasangan, atau orang yang tidak menikah dan kemudian mengadopsi anak. Single mother didefinisikan sebagai ibu tunggal yang terpaksa menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga, pengambilan keputusan, dan sebagai pencari nafkah (dalam Santrock, 1995). Di samping itu, perannya sebagai seorang ibu tetap harus dijalankan, seperti mengurus rumah tangga, membesarkan, membimbing, dan memenuhi kebutuhan psikis anak. Individu yang diasuh oleh single mother tidak bisa mendapatkan peran ayah secara utuh. Selain itu, individu yang hidup dan diasuh oleh single mother harus menghadapi restrukturisasi di dalam keluarga (Duvall, 1977, dalam Anderson & Sabatelli, 2003). Di dalam restrukturisasi keluarga ini, individu harus mampu menyesuaikan diri menghadapi struktur keluarga yang baru. Terkait dengan penelitian yang dilakukan, responden yang merupakan mahasiswa harus menjalankan perannya sebagai mahasiswa sekaligus menyesuaikan diri dengan struktur keluarga yang baru.

11 Ada beberapa hal yang harus dihadapi oleh keluarga dengan single-parent system, yang pertama merupakan hal yang terkait dengan tugas dasar. Hal ini juga meliputi pengaturan stres dalam keluarga. Tantangan yang paling signifikan bagi single-parent system adalah mengatur dan mengatasi kenaikan level stres dalam keluarga (Anderson, 1999). Stres tersebut dapat timbul karena keluarga dengan single-parent system harus mengatur kembali dan mengontrol tugas dalam perubahan rumah tangga. Salah satu hal yang paling berpotensi menjadi stressor dalam keluarga dengan single-parent system adalah masalah dalam keuangan. Keluarga dengan single-parent system harus mampu mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keuangan. Penghasilan yang mulanya berasal dari suami tidak lagi bisa diharapkan. (Rowe, 1991, dalam Anderson & Sabatelli, 2003). Hal berikutnya terkait dengan perubahan dalam rumah tangga adalah sumber pendapatan. Ibu yang awalnya bertugas sebagai ibu rumah tangga, harus bekerja untuk memertahankan kehidupan keluarga. Sedangkan untuk ibu yang memang pada awalnya telah bekerja, mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi keluarga mengingat sumber pemasukkan hanya berasal dari satu pihak. (Anderson, Sabatelli, 2003, h. 294) Penjelasan di atas mengenai banyaknya penyesuaian dan tugas dasar yang perlu dilakukan oleh keluarga single-parent menunjukkan bahwa tantangan yang harus dihadapi oleh individu yang tinggal dengan single mother lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu yang tinggal di dalam keluarga yang fungsional. Permasalahan yang sedang dihadapi oleh individu dapat menimbulkan belief yang negatif terhadap kehidupan, padahal individu dengan latar belakang keluarga seperti apapun tetap memiliki tuntutan dan harapan serupa dengan individu lainnya yang berasal dari keluarga yang fungsional. Belief yang negatif terhadap kehidupan dapat menurunkan minat dan usaha individu dalam mencapai tujuan hidupnya. Untuk memenuhi tuntutan dan tujuan yang ingin dicapai oleh individu terkait dengan belief, ada satu hal penting, yaitu explanatory style.

12 Cara pandang yang biasa digunakan seseorang dalam menjelaskan kepada diri sendiri mengapa suatu peristiwa baik atau buruk terjadi disebut dengan explanatory style. Terdapat dua jenis explanatory style, yakni optimistic explanatory style dan pessimistic explanatory style (Seligman, 1990). Explanatory style memiliki 3 dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Dimensi permanence membahas mengenai rentang waktu terjadinya suatu peristiwa baik atau buruk. Permanence bad adalah seberapa sering individu menghayati kejadian buruk sebagai suatu keadaan yang berlangsung menetap (permanent) atau hanya berlangsung sementara (temporer). Sedangkan permanence good adalah seberapa sering individu menghayati kejadian baik sebagai suatu keadaan yang berlangsung menetap (permanent) atau hanya berlangsung sementara (temporer). Individu dengan optimistic explanatory style memiliki pandangan bahwa suatu kejadian baik akan menetap, sedangkan kejadian buruk yang dialami hanya bersifat sementara. Sedangkan individu yang memiliki pessimistic explanatory style akan memandang kejadian baik bersifat sementara, sedangkan kejadian buruk akan menetap. Dimensi yang kedua adalah dimensi pervasiveness. Dimensi ini membahas mengenai keluasan atau besarnya dampak dari suatu peristiwa baik atau buruk. Pervasiveness bad adalah seberapa sering individu menghayati kejadian buruk sebagai suatu keadaan yang akan memengaruhi seluruh aspek kehidupannya (universal) atau hanya berpengaruh pada beberapa aspek saja (spesific). Sedangkan pervasiveness good adalah seberapa sering individu menghayati kejadian baik sebagai suatu keadaan yang akan memengaruhi seluruh aspek kehidupannya (universal) atau hanya berpengaruh pada beberapa aspek saja (spesific). Individu dapat dikatakan optimis bila individu tersebut memiliki pandangan bahwa suatu keberhasilan atau kebahagiaan akan berpengaruh luas pada berbagai aspek lain di dalam kehidupannya, sementara suatu kegagalan atau dukacita hanya akan berpengaruh pada sebagian kecil dari kehidupannya.

13 Dimensi yang terakhir adalah dimensi personalization. Dimensi ini membahas mengenai siapakah penyebab terjadinya suatu peristiwa baik atau buruk. Personalization bad adalah seberapa sering individu menghayati kejadian buruk sebagai suatu keadaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) atau oleh pihak lain (external). Sedangkan personalization good adalah seberapa sering individu menghayati kejadian baik sebagai suatu keadaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) atau oleh pihak lain (external). Individu yang optimis cenderung berpikir bahwa segala keberhasilan dan peristiwa yang menyenangkan terjadi karena kehadiran dirinya, sementara segala kegagalan dan peristiwa buruk terjadi karena pengaruh eksternal atau pengaruh orang lain. Individu yang tergolong memiliki optimistic explanatory style akan lebih cepat dan mampu mengatasi segala perasaan helplessness dan memotivasi diri untuk mengatasi kegagalan yang dialaminya. Individu yang optimis memiliki konsep yang positif terhadap masa depan, diri sendiri, dan dunia karena melihat peristiwa baik sebagai sesuatu yang menetap (permanent), berdampak luas (universal), dan terjadi karena diri sendiri (internal), dan melihat peristiwa buruk dengan cara sebaliknya (Seligman, 1990). Dengan berbagai pandangan positif di dalam setiap peristiwa, pada akhirnya individu menjadi lebih kuat dalam mencapai tujuan hidup serta potensi yang dimiliki akan lebih menonjol. Hal tersebut terjadi karena pikirannya didominasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang positif, sehingga individu yang memiliki optimistic explanatory style lebih berani dalam mengambil keputusan dan risiko. Berbeda dengan individu yang tergolong optimis, individu yang memiliki pessimistic explanatory style akan melakukan usaha yang minimum atau bahkan tidak melakukan apaapa saat menghadapi kegagalan. Pessimistic explanatory style adalah konsep yang negatif terhadap masa depan, diri sendiri, dan dunia karena melihat masalah sebagai sesuatu yang bersifat menetap (permanent), berdampak luas (universal), dan terjadi karena diri sendiri

14 (internal), dan melihat peristiwa baik dengan cara sebaliknya. Dengan begitu banyaknya pandangan negatif terhadap keberhasilan maupun kegagalan, individu tersebut akhirnya cenderung memilih untuk tidak melakukan apapun karena pemikiran bahwa kegagalan bersifat menetap. Selain itu, individu yang pesimis juga cenderung takut untuk mengambil suatu risiko, segala kemungkinan yang dipikirkannya didominasi oleh kemungkinankemungkinan buruk. (Seligman, 1990) Terkait dengan explanatory style, terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi explanatory style individu. Faktor yang pertama adalah explanatory style yang dimiliki oleh ibu (Seligman, 1990). Orang tua, terutama ibu yang mengasuh sejak kecil merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar mengenai explanatory style. Selain itu, umumnya anak hidup sehari-hari dalam pengasuhan dan didikan ibu, sehingga ibu memiliki peran yang penting dalam membentuk explanatory style anak. Explanatory Style akan dipelajari oleh anak melalui komunikasi dengan ibunya. Seorang anak akan memerhatikan dan meniru apa saja yang dilakukan oleh ibunya, mulai dari perkataan, pola pikir, dan tingkah laku. Karena begitu erat hubungan antara ibu dan anak, maka segala sesuatu yang dilakukan oleh ibu dalam kehidupan sehari-hari akan berpengaruh pada explanatory style anak. Jadi, explanatory style tidak diturunkan secara genetik, namun dipelajari dari lingkungan di sekitar individu tersebut hidup (Seligman, 1990). Demikian pula dengan mahasiswa yang diasuh oleh single mother. Ibu yang memiliki optimistic explanatory style akan memberi contoh dan mengarahkan anaknya untuk memiliki pandangan yang serupa, sehingga sejak dini anak terbiasa melihat pola tingkah laku dan pemikiran yang bersifat positif. Hal berikutnya yang dapat memengaruhi explanatory style individu adalah kritik dari orangtua dan orang dewasa yang signifikan (Seligman, 1990). Segala masukan dan pendapat dari orangtua yang disampaikan kepada individu, terutama pada saat mengalami kegagalan atau keberhasilan akan berpengaruh terhadap cara pandang anak terhadap suatu peristiwa.

15 Individu yang lebih banyak mendapat kritik negatif ketika mengalami kegagalan akan membuat cara pandang tertentu pada anak dalam menghadapi kegagalan. Sebagai contoh, saat mahasiswa gagal di dalam ujian, respon orangtua yang memberi semangat dan menanamkan keyakinan bahwa dirinya mampu jika mau belajar, akan menumbuhkan kepercayaan diri mahasiswa yang pada akhirnya akan berpengaruh pada explanatory style yang dimilikinya. Hal ini membuat pandangannya terhadap suatu permasalahan menjadi lebih positif. Sebaliknya, bila orangtua menyalahkan mahasiswa dan mengatakan bahwa mahasiswa tersebut tidak mampu, maka kemungkinan besar adalah perasaan takut dan keraguan yang akan berkembang. Ketiga, hal yang terjadi pada masa krisis anak akan memengaruhi cara pandang individu terhadap suatu peristiwa. Pengaruh lingkungan sangat kental terkait dengan hal ini. Seorang individu yang tidak segera menerima bantuan atau bahkan tidak menerima bantuan sama sekali ketika menghadapi suatu kejadian akan menumbuhkan suatu perasaan helplessness pada individu (Seligman, 1990). Individu yang mendapatkan pertolongan ketika menghadapi kesulitan akan merasa sangat terbantu, sehingga pandangannya terhadap kehidupan cenderung lebih positif ketimbang individu yang tidak pernah mendapatkan pertolongan dari orang lain. Salah satu masa krisis yang dapat terjadi pada anak adalah kondisi keluarga, perceraian merupakan salah satu kondisi krisis bagi anak. Ada begitu banyak perubahan yang terjadi secara mendadak dan anak dituntut untuk segera menyesuaikan diri. Berdasarkan dimensi dan faktor-faktor yang memengaruhinya, dapat diketahui explanatory style yang dimiliki oleh mahasiswa individu akhir fakultas Psikologi Universitas X yang tinggal dengan single mother. Ada dua kemungkinan explanatory style yang dimiliki, yaitu optimistic explanatory style dan pessimistic explanatory style.

16 Faktor yang memengaruhi Explanatory Style : -. Explanatory style Ibu -. Kritik orang dewasa -. Kejadian Traumatis Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X yang tinggal dengan Single mother Explanatory Style Dimensi Explanatory Style : 1. Permanence 2. Pervasiveness 3. Personalization Optimistic Explanatory Style Pessimistic Explanatory Style 1.5.1 Bagan Kerangka Pikir

17 1.6 Asumsi Mahasiswa yang diasuh oleh single mother memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memiliki pessimistic explanatory style. Explanatory style pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X yang diasuh oleh single mother dibentuk oleh tiga dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Explanatory style mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X yang diasuh oleh single mother dipengaruhi oleh explanatory style ibu, kritik dari orang dewasa yang signifikan, serta masa krisis anak.