4. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1. Wilayah Pesisir dan Laut Pulau Bintan Pulau Bintan terletak di Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi ini merupakan provinsi yang baru dibentuk, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2002. Namun pemerintahannya baru terbentuk sejak tanggal 1 Juli 2004 setelah Menteri Dalam Negeri melantik Penjabat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 2005, telah dilantik pula Gubernur Provinsi Kepulauan Riau hasil Pemilihan Kepala Daerah tahun 2005. Wilayah pulau Bintan saat ini terbagi menjadi dua, yaitu: (1) sebagian merupakan wilayah Kota Tanjungpinang (dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang) dan; (2) sebagian lagi merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Pengembangan pulau Bintan sesungguhnya telah mulai intensif dilakukan sejak tahun 1985 oleh Pemerintah Provinsi Riau (pada waktu itu) bersama dengan Pemerintah Pusat, dengan pertimbangan bahwa: 1) Letak pulau Bintan yang berdekatan dengan Singapura dan Johor; 2) Potensi lahan dan sumberdaya air yang tersedia dibandingkan dengan pulau Batam; 3) Terdapat peninggalan sejarah dari kerajaan Melayu Lingga Riau, makammakam keluarga Sultan, kelenteng kuno, dan sumber-sumber makanan laut (sea food) seperti udang, kepiting, kerang-kerangan, cumi, dan sebagainya; 4) Luasnya hampir 4 (empat) kali pulau Batam dan 3½ (tiga setengah) kali Singapura; 5) Telah berkembang industri (bauksit) yang dikelola oleh PT Aneka Tambang, garmen, mebel, dan lain sebagainya; 6) Telah berkembang peternakan, tambak udang, perkebunan nenas, serta lada yang kesemuanya merupakan komoditi ekspor ke Singapura; 7) Masih terbuka kawasan-kawasan pengembangan khususnya di bagian utara pulau Bintan yang masih jarang penduduknya; 8) Terdapat gudang-gudang minyak dan elpiji Pertamina yang masih berpeluang untuk terus dikembangkan.
67 Pulau Bintan merupakan sebuah pulau kecil, yaitu dengan luas daratan = 1,776.59 km2 (4,91%) dan luas laut = 34,410.02 km2 (95.09%) dan panjang garis pantai = 318.06 km. Letak geografis Pulau Bintan adalah pada 2 o 00 Lintang Utara, 1 o 20 Lintang Selatan, 104 o 00 Bujur Barat, serta 108 o 30 Bujur Timur (Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a). Pulau Bintan merupakan gugusan pulau yang langsung berbatasan dengan wilayah laut Singapura dan Malaysia (Selat Malaka dan Selat Singapura) dan Kabupaten Natuna pada bagian utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lingga, sebelah barat berbatasan dengan kawasan berikat Barelang (Batam-Rempang-Galang), dan sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat. 1) Pulau Bintan wilayah Kota Tanjung Pinang Pulau Bintan yang termasuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang adalah seluas 239.50 km2, terdiri atas luas daratan 131.54 km2 (54%) dan luas lautan 107.96 km2 (45%). Kota Tanjungpinang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang. Jumlah penduduk Kota Tanjung pinang pada tahun 2004 berjumlah = 162 788 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata = 679.70 jiwa/km2. (Pemerintah Kota Tanjungpinang, 2005a) 2) Pulau Bintan wilayah Kabupaten Kepulauan Riau Pulau Bintan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau terbagi ke dalam 5 (lima) kecamatan, yaitu: Kecamatan Bintan Timur, Bintan Utara, Teluk Sebong, Teluk Bintan, dan Kecamatan Gunung Kijang. Adapun Kecamatan Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau merupakan gugusan kepulauan tersendiri yang letaknya justru lebih dekat dengan wilayah laut Provinsi Kalimantan Barat. Luas pulau Bintan yang masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Riau adalah, wilayah daratan = 1 699 km2 ( 4.72%) dan wilayah lautan = 34 302.08 km2 (95.28%) (Gambar 19). Jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 1983 sebelum dibentuk Kota Batam berjumlah = 384 628 jiwa. Pada tahun 1984 wilayah ini dimekarkan (dipecah) menjadi empat kabupaten, dan pada tahun 1999 dibentuk Kota Tanjungpinang.
Gambar 19. Peta wilayah darat dan laut perairan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau: Pengecilan dari skala orisinal 1: 1.000.000 (Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a) 68
69 Selanjutnya pada tahun 2001 dibentuk lagi Kabupaten Lingga, sehingga jumlah penduduk sekarang adalah sekitar = 118 796 jiwa, atau dengan demikian kepadatan penduduk di kabupaten ini hanyalah sekitar 68 jiwa/km2 (Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2003b). 4.2. Arah Kebijakan dan Program Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau telah menetapkan visinya sebagai berikut: Terwujudnya masyarakat Kepulauan Riau yang damai, demokratis, bermoral, berbudaya, berdaya saing, maju, dan sejahtera dengan landasan ekonomi rakyat yang tangguh serta didukung sumberdaya manusia yang handal pada tahun 2006 Untuk melaksanakan visi dimaksud, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau mencanangkan misinya, yaitu: 1) Meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik; 2) Memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan; 3) Meningkatkan kualitas kehidupan beragama, kesejahteraan sosial, dan ketahanan budaya. Visi dan misi dimaksud dibangun berdasarkan analisis lingkungan strategis sebagai berikut: 1) Kekuatan lingkungan internal: Antara lain meliputi: kuatnya komitmen antara legislatif dan eksekutif dalam membangun Kepulauan Riau; tersedianya perangkat peraturan mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah; serta tersedianya kelembagaan pemerintah yang siap memberikan pelayanan sampai tingkat kelurahan; 2) Kelemahan lingkungan internal: Pelaksanaan otonomi daerah yang belum maksimal.
70 3) Kekuatan lingkungan eksternal: Antara lain meliputi: sumberdaya alam yang sangat potensial; letak geografis yang strategis; dan pertumbuhan ekonomi yang positif. 4) Kelemahan lingkungan eksternal: Antara lain meliputi: kurang stabilnya sistem penyelenggaraan pemerintahan secara nasional; rendahnya daya beli masyarakat; serta rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Berdasarkan visi, misi, dan hasil analisis lingkungan strategis tersebut di atas maka ditetapkanlah arah kebijakan dan program, sebagai berikut: 1) Umum a. Meningkatkan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah melalui kerjasama dengan pihak lain; b. Peningkatan ekonomi kerakyatan berbasis agraris; c. Komitmen bersama untuk peningkatan produktivitas masyarakat; d. Penggalian dan pemanfaatan sumberdaya alam; e. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparatur dan fungsi pelayanan pemerintah daerah; f. Peningkatan pemahaman dan pengamalan agama; g. Komitmen bersama untuk meningkatkan pendidikan masyarakat; h. Mendorong peran swasta terhadap percepatan pembangunan; i. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan daerah tentang pengelolaan potensi dan pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis agraris. 2) Khusus Berkaitan Dengan Pemanfaatan Ruang a. Peningkatan peranan swasta dalam pembangunan daerah, dengan indikator keberhasilan: (1) rasio kontribusi keuntungan BUMD terhadap PAD; (2) jumlah dan jenis usaha yang terbentuk; (c) penambahan keragaman usaha; dan (d) jumlah peraturan kegiatan usaha yang diregulasi; b. Optimalisasi tata ruang, dengan indikator keberhasilan: (1) tersedianya Peraturan Daerah tentang ibukota kabupaten dan RTRW kabupaten; dan (2) jumlah kasus pertanahan yang ditangani; c. Terlaksananya pembangunan pusat kemaritiman, dengan indikator keberhasilan: jumlah sarana dan prasarana kemaritiman yang dibangun;
71 d. Peningkatan ekonomi dan pendapatan masyarakat melalui sektor perikanan, dengan indikator keberhasilan: (1) jumlah sarana dan prasarana sektor perikanan; (2) tersedianya kawasan pengembangan usaha perikanan budidaya; (3) jumlah nelayan yang mengikuti pelatihan pasca panen; dan (4) peningkatan pendapatan nelayan; e. Menurunkan tingkat kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan sumberdaya alam, melalui program: (1) pengembangan tata ruang dan pertanahan; (2) peningkatan efektifitas pengelolaan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam; (3) pengendalian lingkungan hidup dan pengembangan kawasan pesisir dan kelautan; dan (4) peningkatan perananan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam. 4.3. Gambaran Umum Dampak Kebijakan Terhadap Sumberdaya Alam Pengelolaan sumberdaya dan wilayah pesisir dan lautan dilandasi oleh kebijakan publik yang ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sebagai contoh perihal rencana tata ruang wilayah (yang berisi arahan-arahan pemanfaatan dan pengelolaan ruang dan sumberdaya), di mana RTRW Kabupaten/Kota harus mengacu kepada RTRW Provinsi dan dituangkan dalam Peraturan Daerah (PERDA). Demikian pula RTRW Provinsi (dituangkan dalam PERDA) harus mengacu kepada RTRN (Rencana Tata Ruang Nasional) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bersumber dari rencana tata ruang dimaksud, Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya dan wilayahnya. Berikut ini adalah beberapa gambaran umum mengenai dampak kebijakan pengelolaan terhadap sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut Pulau Bintan. 1) Ekosistem laut: dampak kebijakan penambangan pasir laut Penambangan pasir telah berlangsung sejak tahun 1970 dan baru dihentikannya sementara pada tahun 2002 mencapai 275.5 juta meter kubik di perairan laut Pulau Bintan, belum termasuk hasil penambangan liar sekitar 56.7 juta meter kubik. Penambangan pasir laut dilakukan oleh para Kuasa
72 Penambangan (KP), yaitu sebanyak 19 (sembilan belas) KP dan ditambah lagi oleh belasan penambang-penambang liar di perairan laut pulau Bintan. Penambangan ini telah mengakibatkan kerusakan serius pada ekosistem laut dan pesisir, seperti kekeruhan air laut, kerusakan ekosistem bawah laut, migrasinya ikan tangkap ke lokasi lain, kerusakan pantai akibat lumpur dampak pengerukan pasir laut, rusaknya bagan-bagan ikan dan turunnya pendapatan masyarakat nelayan, dan sebagainya. 2) Sumberdaya mangrove: dampak kebijakan terhadap ekosistem mangrove Luas kawasan mangrove yang tersebar di wilayah Pulau Bintan diperkirakan sebanyak = 14 521 hektar. Namun sejak 30 tahun terakhir telah terjadi kerusakan kawasan dan ekosistem mangrove seluas = 10 600 hektar, atau mencapai rata-rata laju kerusakan sebesar 2.43 % per tahun. Situasi ini menggambarkan kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah, khususnya akibat kegagalan pengawasan dan penegakan hukum. Berdasarkan hasil penelitian Global Environment Facility / United Nations Development Program / International Maritime Organization (GEF/UNDP/ IMO) Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas di Selat Malaka, termasuk wilayah pesisir dan laut pulau Bintan (Chua, 1999), maka selama 30 tahun telah kehilangan sedikitnya 73 % (dan lebih besar lagi apabila diukur dampak sampingannya), yaitu: a. Nilai fungsi spawning dan nursery ground pada mangrove, b. Nilai fungsi sequestration carbon pada mangrove, c. Nilai fungsi pencegahan erosi pada mangrove, d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem mangrove, dan e. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem untuk mangrove. 3) Sumberdaya terumbu karang, akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum: Hal yang sama terjadi pula pada ekosistem terumbu karang yang selama 30 tahun telah kehilangan sedikitnya 73 % (dan lebih besar lagi apabila diukur dampak sampingannya), yaitu:
73 a. Nilai fungsi produksi organik dan sequestration carbon pada terumbu karang, b. Nilai fungsi perlindungan garis pantai oleh terumbu karang, c. Nilai biodiversity mangrove maupun terumbu karang, d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem pada terumbu karang e. Nilai ecotourism terumbu karang, dan f. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem terumbu karang. Besarnya nilai kerugian untuk masing-masing kerusakan, secara kuantitatif akan diuraikan dalam sub bagian pembahasan TEV, sesuai dengan tahapan analisis kebijakan publik melalui skema SPLL (Satu Prosedur Lima Langkah) yang akan diuraikan dalam bab berikutnya. 4.4. Faktor-Faktor Dominan Secara konsepsional, faktor-faktor dominan yang mempengaruhi penyelenggaraan suatu sistem marine cadastre, sebagaimana telah banyak diuraikan dalam bab sebelumnya, berkenaan dengan beberapa faktor yang bersifat multi dimensi. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 1) Faktor konsep dasar (filosofis) Faktor ini berkaitan dengan dipahaminya ruang dan sumberdaya pesisir dan laut sebagai warisan umat manusia yang harus dijaga dan dipelihara, dan oleh karena itu perlu adanya batasan-batasan (restrictions) pemanfaatannya, termasuk batas-batas (boundaries) wilayah, persil, atau zona pemanfaatannya; 2) Faktor kedaulatan negara dan sistem kepemilikan Faktor ini berkenaan dengan wilayah marine cadastre, yaitu berlaku di wilayah kedaulatan (laut teritorial) suatu negara, yang mana di dalamnya berlaku atau diakuinya pula sistem penguasaan (tenureships) atas ruang dan sumberdaya pesisir dan laut; 3) Faktor tuntutan dan kebutuhan Faktor ini berkaitan dengan adanya tuntutan dan kebutuhan perlunya penyelenggaraan suatu sistem marine cadastre, yang didorong oleh:
74 a. kondisi faktor-faktor geografis wilayah yang didominasi oleh bentangan alam pesisir, gugusan pulau-pulau kecil, dan laut; b. kondisi potensi sumberdaya pesisir dan lautan; c. kondisi potensi ekonomi pesisir dan lautan; Berkenaan dengan kondisi wilayah penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka dijumpai faktor-faktor dominan yang mempengaruhi penyelenggaraan marine cadastre di wilayah ini. Faktor-faktor tersebut antara lain, adalah: 1) Telah dipahaminya konsep the boundary of tenure melalui konsep penataan ruang pesisir dan laut; 2) Wilayah laut teritorial negara berada di wilayah ini, yaitu batas laut teritorial Republik Indonesia dengan negara-negara Singapura dan Malaysia; 3) Tuntutan dan kebutuhan penyelenggaraan marine cadastre di wilayah ini secara nyata dinyatakan oleh kondisi geografis, potensi sumberdaya alam dan potensi ekonomi pesisir dan kelautan yang dominan.