4. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB III KONDISI UMUM Geografis. Kondisi Umum 14. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau ARAH PRIORITAS PEMBANGUNAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2016

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

ISU STRATEGIS, PERMASALAHAN, DAN ARAH PEMBANGUNAN RPJMD

K A B U P A T E N B I N T A N MUSRENBANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2015 Rabu, 1 APRIL 2015

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

6. DESAIN KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG DENGAN KONSEP MARINE CADASTRE

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Program pembangunan di Indonesia telah berlangsung kurang lebih

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kota Tanjungpinang merupakan Ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Sesuai

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

7. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU 1 Oleh : Dr. Ir. Dedi M. M. Riyadi 2

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Dumai merupakan sebuah dusun kecil dipesisir timur propinsi Riau. Dumai merupakan

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau STUDI KASUS PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN PADA PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

GAMBARAN UMUM KABUPATEN LAMPUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Dan Sasaran C. Lingkup Kajian/Studi

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

Statistik Daerah Kabupaten Bintan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

SINOPSIS SEJARAH KABUPATEN KARIMUN

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

Statistik Daerah Kabupaten Bintan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

4.1. Sejarah Berdirinya Pemerintah Provinsi Riau

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB III DESKRIPSI WILAYAH KAJIAN

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana Kerja Tahunan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI BALI GUBERNUR BALI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ARAH KEBIJAKAN PROVINSI DALAM PEMETAAN DAN PEMANFAATAN POTENSI SDA KAWASAN PEDESAAN

KONFLIK NELAYAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG DENGAN NELAYAN TEMBELING KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

RGS Mitra 1 of 5 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PELALAWAN BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempercepat proses pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya upaya

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III DESKRIPSI WILAYAH. sebagai salah satu destinasi utama bisnis dan perdagangan. pembangunan infrastruktur dan properti di Kota Batam.

LAPORAN STUDI BANDING KARYASISWA BAPPENAS MPP-UNAND PADANG ANGKATAN IX KE PEMERINTAH PROVINSI KEPRI 27 S.D 29 MARET 2013

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

LAPORAN PENDAMPINGAN RZWP3K PROVINSI RIAU 2018

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

Transkripsi:

4. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1. Wilayah Pesisir dan Laut Pulau Bintan Pulau Bintan terletak di Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi ini merupakan provinsi yang baru dibentuk, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2002. Namun pemerintahannya baru terbentuk sejak tanggal 1 Juli 2004 setelah Menteri Dalam Negeri melantik Penjabat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 2005, telah dilantik pula Gubernur Provinsi Kepulauan Riau hasil Pemilihan Kepala Daerah tahun 2005. Wilayah pulau Bintan saat ini terbagi menjadi dua, yaitu: (1) sebagian merupakan wilayah Kota Tanjungpinang (dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang) dan; (2) sebagian lagi merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Pengembangan pulau Bintan sesungguhnya telah mulai intensif dilakukan sejak tahun 1985 oleh Pemerintah Provinsi Riau (pada waktu itu) bersama dengan Pemerintah Pusat, dengan pertimbangan bahwa: 1) Letak pulau Bintan yang berdekatan dengan Singapura dan Johor; 2) Potensi lahan dan sumberdaya air yang tersedia dibandingkan dengan pulau Batam; 3) Terdapat peninggalan sejarah dari kerajaan Melayu Lingga Riau, makammakam keluarga Sultan, kelenteng kuno, dan sumber-sumber makanan laut (sea food) seperti udang, kepiting, kerang-kerangan, cumi, dan sebagainya; 4) Luasnya hampir 4 (empat) kali pulau Batam dan 3½ (tiga setengah) kali Singapura; 5) Telah berkembang industri (bauksit) yang dikelola oleh PT Aneka Tambang, garmen, mebel, dan lain sebagainya; 6) Telah berkembang peternakan, tambak udang, perkebunan nenas, serta lada yang kesemuanya merupakan komoditi ekspor ke Singapura; 7) Masih terbuka kawasan-kawasan pengembangan khususnya di bagian utara pulau Bintan yang masih jarang penduduknya; 8) Terdapat gudang-gudang minyak dan elpiji Pertamina yang masih berpeluang untuk terus dikembangkan.

67 Pulau Bintan merupakan sebuah pulau kecil, yaitu dengan luas daratan = 1,776.59 km2 (4,91%) dan luas laut = 34,410.02 km2 (95.09%) dan panjang garis pantai = 318.06 km. Letak geografis Pulau Bintan adalah pada 2 o 00 Lintang Utara, 1 o 20 Lintang Selatan, 104 o 00 Bujur Barat, serta 108 o 30 Bujur Timur (Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a). Pulau Bintan merupakan gugusan pulau yang langsung berbatasan dengan wilayah laut Singapura dan Malaysia (Selat Malaka dan Selat Singapura) dan Kabupaten Natuna pada bagian utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lingga, sebelah barat berbatasan dengan kawasan berikat Barelang (Batam-Rempang-Galang), dan sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat. 1) Pulau Bintan wilayah Kota Tanjung Pinang Pulau Bintan yang termasuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang adalah seluas 239.50 km2, terdiri atas luas daratan 131.54 km2 (54%) dan luas lautan 107.96 km2 (45%). Kota Tanjungpinang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang. Jumlah penduduk Kota Tanjung pinang pada tahun 2004 berjumlah = 162 788 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata = 679.70 jiwa/km2. (Pemerintah Kota Tanjungpinang, 2005a) 2) Pulau Bintan wilayah Kabupaten Kepulauan Riau Pulau Bintan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau terbagi ke dalam 5 (lima) kecamatan, yaitu: Kecamatan Bintan Timur, Bintan Utara, Teluk Sebong, Teluk Bintan, dan Kecamatan Gunung Kijang. Adapun Kecamatan Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau merupakan gugusan kepulauan tersendiri yang letaknya justru lebih dekat dengan wilayah laut Provinsi Kalimantan Barat. Luas pulau Bintan yang masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Riau adalah, wilayah daratan = 1 699 km2 ( 4.72%) dan wilayah lautan = 34 302.08 km2 (95.28%) (Gambar 19). Jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 1983 sebelum dibentuk Kota Batam berjumlah = 384 628 jiwa. Pada tahun 1984 wilayah ini dimekarkan (dipecah) menjadi empat kabupaten, dan pada tahun 1999 dibentuk Kota Tanjungpinang.

Gambar 19. Peta wilayah darat dan laut perairan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau: Pengecilan dari skala orisinal 1: 1.000.000 (Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a) 68

69 Selanjutnya pada tahun 2001 dibentuk lagi Kabupaten Lingga, sehingga jumlah penduduk sekarang adalah sekitar = 118 796 jiwa, atau dengan demikian kepadatan penduduk di kabupaten ini hanyalah sekitar 68 jiwa/km2 (Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2003b). 4.2. Arah Kebijakan dan Program Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau telah menetapkan visinya sebagai berikut: Terwujudnya masyarakat Kepulauan Riau yang damai, demokratis, bermoral, berbudaya, berdaya saing, maju, dan sejahtera dengan landasan ekonomi rakyat yang tangguh serta didukung sumberdaya manusia yang handal pada tahun 2006 Untuk melaksanakan visi dimaksud, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau mencanangkan misinya, yaitu: 1) Meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik; 2) Memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan; 3) Meningkatkan kualitas kehidupan beragama, kesejahteraan sosial, dan ketahanan budaya. Visi dan misi dimaksud dibangun berdasarkan analisis lingkungan strategis sebagai berikut: 1) Kekuatan lingkungan internal: Antara lain meliputi: kuatnya komitmen antara legislatif dan eksekutif dalam membangun Kepulauan Riau; tersedianya perangkat peraturan mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah; serta tersedianya kelembagaan pemerintah yang siap memberikan pelayanan sampai tingkat kelurahan; 2) Kelemahan lingkungan internal: Pelaksanaan otonomi daerah yang belum maksimal.

70 3) Kekuatan lingkungan eksternal: Antara lain meliputi: sumberdaya alam yang sangat potensial; letak geografis yang strategis; dan pertumbuhan ekonomi yang positif. 4) Kelemahan lingkungan eksternal: Antara lain meliputi: kurang stabilnya sistem penyelenggaraan pemerintahan secara nasional; rendahnya daya beli masyarakat; serta rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Berdasarkan visi, misi, dan hasil analisis lingkungan strategis tersebut di atas maka ditetapkanlah arah kebijakan dan program, sebagai berikut: 1) Umum a. Meningkatkan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah melalui kerjasama dengan pihak lain; b. Peningkatan ekonomi kerakyatan berbasis agraris; c. Komitmen bersama untuk peningkatan produktivitas masyarakat; d. Penggalian dan pemanfaatan sumberdaya alam; e. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparatur dan fungsi pelayanan pemerintah daerah; f. Peningkatan pemahaman dan pengamalan agama; g. Komitmen bersama untuk meningkatkan pendidikan masyarakat; h. Mendorong peran swasta terhadap percepatan pembangunan; i. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan daerah tentang pengelolaan potensi dan pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis agraris. 2) Khusus Berkaitan Dengan Pemanfaatan Ruang a. Peningkatan peranan swasta dalam pembangunan daerah, dengan indikator keberhasilan: (1) rasio kontribusi keuntungan BUMD terhadap PAD; (2) jumlah dan jenis usaha yang terbentuk; (c) penambahan keragaman usaha; dan (d) jumlah peraturan kegiatan usaha yang diregulasi; b. Optimalisasi tata ruang, dengan indikator keberhasilan: (1) tersedianya Peraturan Daerah tentang ibukota kabupaten dan RTRW kabupaten; dan (2) jumlah kasus pertanahan yang ditangani; c. Terlaksananya pembangunan pusat kemaritiman, dengan indikator keberhasilan: jumlah sarana dan prasarana kemaritiman yang dibangun;

71 d. Peningkatan ekonomi dan pendapatan masyarakat melalui sektor perikanan, dengan indikator keberhasilan: (1) jumlah sarana dan prasarana sektor perikanan; (2) tersedianya kawasan pengembangan usaha perikanan budidaya; (3) jumlah nelayan yang mengikuti pelatihan pasca panen; dan (4) peningkatan pendapatan nelayan; e. Menurunkan tingkat kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan sumberdaya alam, melalui program: (1) pengembangan tata ruang dan pertanahan; (2) peningkatan efektifitas pengelolaan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam; (3) pengendalian lingkungan hidup dan pengembangan kawasan pesisir dan kelautan; dan (4) peningkatan perananan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam. 4.3. Gambaran Umum Dampak Kebijakan Terhadap Sumberdaya Alam Pengelolaan sumberdaya dan wilayah pesisir dan lautan dilandasi oleh kebijakan publik yang ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sebagai contoh perihal rencana tata ruang wilayah (yang berisi arahan-arahan pemanfaatan dan pengelolaan ruang dan sumberdaya), di mana RTRW Kabupaten/Kota harus mengacu kepada RTRW Provinsi dan dituangkan dalam Peraturan Daerah (PERDA). Demikian pula RTRW Provinsi (dituangkan dalam PERDA) harus mengacu kepada RTRN (Rencana Tata Ruang Nasional) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bersumber dari rencana tata ruang dimaksud, Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya dan wilayahnya. Berikut ini adalah beberapa gambaran umum mengenai dampak kebijakan pengelolaan terhadap sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut Pulau Bintan. 1) Ekosistem laut: dampak kebijakan penambangan pasir laut Penambangan pasir telah berlangsung sejak tahun 1970 dan baru dihentikannya sementara pada tahun 2002 mencapai 275.5 juta meter kubik di perairan laut Pulau Bintan, belum termasuk hasil penambangan liar sekitar 56.7 juta meter kubik. Penambangan pasir laut dilakukan oleh para Kuasa

72 Penambangan (KP), yaitu sebanyak 19 (sembilan belas) KP dan ditambah lagi oleh belasan penambang-penambang liar di perairan laut pulau Bintan. Penambangan ini telah mengakibatkan kerusakan serius pada ekosistem laut dan pesisir, seperti kekeruhan air laut, kerusakan ekosistem bawah laut, migrasinya ikan tangkap ke lokasi lain, kerusakan pantai akibat lumpur dampak pengerukan pasir laut, rusaknya bagan-bagan ikan dan turunnya pendapatan masyarakat nelayan, dan sebagainya. 2) Sumberdaya mangrove: dampak kebijakan terhadap ekosistem mangrove Luas kawasan mangrove yang tersebar di wilayah Pulau Bintan diperkirakan sebanyak = 14 521 hektar. Namun sejak 30 tahun terakhir telah terjadi kerusakan kawasan dan ekosistem mangrove seluas = 10 600 hektar, atau mencapai rata-rata laju kerusakan sebesar 2.43 % per tahun. Situasi ini menggambarkan kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah, khususnya akibat kegagalan pengawasan dan penegakan hukum. Berdasarkan hasil penelitian Global Environment Facility / United Nations Development Program / International Maritime Organization (GEF/UNDP/ IMO) Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas di Selat Malaka, termasuk wilayah pesisir dan laut pulau Bintan (Chua, 1999), maka selama 30 tahun telah kehilangan sedikitnya 73 % (dan lebih besar lagi apabila diukur dampak sampingannya), yaitu: a. Nilai fungsi spawning dan nursery ground pada mangrove, b. Nilai fungsi sequestration carbon pada mangrove, c. Nilai fungsi pencegahan erosi pada mangrove, d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem mangrove, dan e. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem untuk mangrove. 3) Sumberdaya terumbu karang, akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum: Hal yang sama terjadi pula pada ekosistem terumbu karang yang selama 30 tahun telah kehilangan sedikitnya 73 % (dan lebih besar lagi apabila diukur dampak sampingannya), yaitu:

73 a. Nilai fungsi produksi organik dan sequestration carbon pada terumbu karang, b. Nilai fungsi perlindungan garis pantai oleh terumbu karang, c. Nilai biodiversity mangrove maupun terumbu karang, d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem pada terumbu karang e. Nilai ecotourism terumbu karang, dan f. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem terumbu karang. Besarnya nilai kerugian untuk masing-masing kerusakan, secara kuantitatif akan diuraikan dalam sub bagian pembahasan TEV, sesuai dengan tahapan analisis kebijakan publik melalui skema SPLL (Satu Prosedur Lima Langkah) yang akan diuraikan dalam bab berikutnya. 4.4. Faktor-Faktor Dominan Secara konsepsional, faktor-faktor dominan yang mempengaruhi penyelenggaraan suatu sistem marine cadastre, sebagaimana telah banyak diuraikan dalam bab sebelumnya, berkenaan dengan beberapa faktor yang bersifat multi dimensi. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 1) Faktor konsep dasar (filosofis) Faktor ini berkaitan dengan dipahaminya ruang dan sumberdaya pesisir dan laut sebagai warisan umat manusia yang harus dijaga dan dipelihara, dan oleh karena itu perlu adanya batasan-batasan (restrictions) pemanfaatannya, termasuk batas-batas (boundaries) wilayah, persil, atau zona pemanfaatannya; 2) Faktor kedaulatan negara dan sistem kepemilikan Faktor ini berkenaan dengan wilayah marine cadastre, yaitu berlaku di wilayah kedaulatan (laut teritorial) suatu negara, yang mana di dalamnya berlaku atau diakuinya pula sistem penguasaan (tenureships) atas ruang dan sumberdaya pesisir dan laut; 3) Faktor tuntutan dan kebutuhan Faktor ini berkaitan dengan adanya tuntutan dan kebutuhan perlunya penyelenggaraan suatu sistem marine cadastre, yang didorong oleh:

74 a. kondisi faktor-faktor geografis wilayah yang didominasi oleh bentangan alam pesisir, gugusan pulau-pulau kecil, dan laut; b. kondisi potensi sumberdaya pesisir dan lautan; c. kondisi potensi ekonomi pesisir dan lautan; Berkenaan dengan kondisi wilayah penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka dijumpai faktor-faktor dominan yang mempengaruhi penyelenggaraan marine cadastre di wilayah ini. Faktor-faktor tersebut antara lain, adalah: 1) Telah dipahaminya konsep the boundary of tenure melalui konsep penataan ruang pesisir dan laut; 2) Wilayah laut teritorial negara berada di wilayah ini, yaitu batas laut teritorial Republik Indonesia dengan negara-negara Singapura dan Malaysia; 3) Tuntutan dan kebutuhan penyelenggaraan marine cadastre di wilayah ini secara nyata dinyatakan oleh kondisi geografis, potensi sumberdaya alam dan potensi ekonomi pesisir dan kelautan yang dominan.