MASALAH KESEHATAN JIWA DI INDONESIA DALAM BALUTAN PRAKTIK PUBLIC STIGMA DAN SELF STIGMA

dokumen-dokumen yang mirip
MENGIMPLEMENTASIKAN UPAYA KESEHATAN JIWA YANG TERINTEGRASI, KOMPREHENSIF,

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendidikan, pekerjaan dan pergaulan (Keliat, 2006). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. signifikan dengan perubahan sosial yang cepat dan stres negatif yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berpikir, gangguan perilaku, gangguan emosi dan gangguan persepsi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mendirikan masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan seseorang hidup secara produktif dan harmonis.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROGRAM DOKTER KECIL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT PADA SISWA SEKOLAH DASAR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keperawatan jiwa adalah proses interpesonal yang berupaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia memiliki tiga komponen utama sehingga disebut. makhluk yang utuh dan berbeda dengan mahkluk lainnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2014, No Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Den

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAMBI NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN KORBAN PASUNG PSIKOTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal. Kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai

B A B 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BEBAS PASUNG PUSKESMAS TELUK LUBUK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

2 ODGJ terhadap layanan kesehatan. Sedangkan secara hukum, peraturan perundang-undangan yang ada belum komprehensif sehingga menghambat pemenuhan hak

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan Nasional Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang. kebutuhan dasar manusia termasuk di bidang kesehatan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan ekonomis (Perpres no. 72 Tahun 2012). Menurut UU no. 36 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

BAB 1 PENDAHULUAN. setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Depkes, 2014). Hawkins dan Groves

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Evaluasi pelaksanaan..., Arivanda Jaya, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan suatu bisnis perusahaan membutuhkan berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang. mencerminkan kedewasaan kepribadiannya (WHO, 2011).

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. disabilitas di seluruh dunia (Prince et al, 2007). Meskipun penemuan terapi. mengakibatkan penderitaan yang besar pada individu,

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah orang dengan gangguan skizofrenia dewasa ini semakin. terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk kesejahteraan dan kesembuhan orang lain. Maka haruslah tergerak motifmotif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sehat adalah suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta

PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang utuh untuk kualitas hidup setiap orang dengan menyimak dari segi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas maka didapatkan rumusan masalah yaitu: 1. Apa pengertian dari keperawatan keluarga?

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki beberapa aspek yang saling berkaitan, yaitu jasmani,

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

MASALAH KESEHATAN JIWA DI INDONESIA DALAM BALUTAN PRAKTIK PUBLIC STIGMA DAN SELF STIGMA Bambang Dharwiyanto Putro Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana bdharwiyantoputro@yahoo.com ABSTRAK Dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Stigma masih melekat erat pada orang dengan gangguan jiwa dan seringkali menjadi korban dari ketidakadilan serta perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat. Seseorang dengan gangguan jiwa umumnya juga berhadapan dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa dimaksudkan untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa; menjamin setiap orang dapat mengembangkan potensi kecerdasan; memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa berdasarkan hak asasi manusia; memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif; menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa; meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan memberikan kesempatan kepada untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia. Berdasarkan atas fakta lapangan serta studi pustaka yang dilakukan, bentuk-bentuk stigma pada penderita gangguan jiwa yang masih terjadi dan secara tidak langsung merupakan bukti belum berjalannya undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa dapat disebutkan dalam dua hal, yakni public stigma (stigma berasal dari masyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita dan keluarganya sendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara lain penolakan, pengucilan, kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan serta kemarahan. Kata Kunci: Kesehatan Jiwa, Public Stigma dan Self Stigma 1

I. Pendahuluan Masalah kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan merupakan Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes RI. KMK No. 406, 2009: 1). Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya kesehatan termasuk upaya kesehatan jiwa dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan jiwa harus diselenggarakan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa dimaksudkan untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa (Undang-Undang No 18, 2014: 43). Lebih lanjut visi rencana pembanguan jangka panjang nasioal 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada empat misi pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam pencapaian visi dan misi di atas, maka salah satu strategi yang telah dijalankan Kementerian Kesehatan RI adalah meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif (SKN, PP Nomor 72 Tahun 2012). Tapi pada kenyataannya visi dan misi dalam rencana pembangunan tersebut kurang berjalan dengan lancar. Dari data yang ada dalam http://www.kemsos.go.id/ disebutkan bahwa di Indonesia baru ada sekitar 773 Psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), 451 Psikolog Klinis (0,15 per 100.000 penduduk), dan 6500 perawat jiwa (2 per 100.000 penduduk). Padahal kebutuhannya 1 orang tiap 10.000 jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia 247 juta, maka diperlukan 24.700 tenaga profesional. Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 2007 menunjukkan pula adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga dewasa di Indonesia, yaitu 2

185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT juga menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sedangkan pada rentang usia 5-14 tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, 1-2). Sementara itu lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan terhadap peningkatan stress (Sheewangisaw, 2012: 1-10). Penderita gangguan jiwa di Indonesia berdasarkan Riskedas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 menunjukkan data angka gangguan jiwa berat (skizofrenia) 4-6 per 1000 penduduk. Gangguan mental emosional hasil Riskedas 11,6%. Sebelumnya gangguan jiwa (neurosis) termasuk neurosis cemas, obsesif, hysteria, serta gangguan kesehatan jiwa psikosomatik/psikofisiologik sebagai akibat tekanan hidup berkisar antara 20-60 per 1000 penduduk (Departemen Kesehatan Republiik Indonesia, 2010: 2). Sementara itu Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil, artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat (Riskedas, 2013: XI). Dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu noda atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang diperbuat manusia, karena itu masyarakat menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap menghindar. Mereka menjadi marah, sangat tersinggung jika diperiksa atau menganggap bahwa dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya (Kartono, 1989: 25). Sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Masalah ini berakar dari adanya stigma dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat tentang gangguan jiwa (Irmansyah, 2009: 45-46). Stigma masih melekat erat pada penderita gangguan jiwa disamping diskriminasi dan marginalisasi yang dialami. II. Masalah Kesehatan Jiwa Di Indonesia, Antara Harapan dan Kenyataan Gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi emosi, pikiran atau tingkahlaku mereka, diluar kepercayaan budaya dan kepribadian mereka, dan 3

menimbulkan efek yang negative bagi kehidupan mereka atau kehidupan keluarga mereka (Maramis, 2005: 3). Pelayanan Kesehatan Jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa, belum dapat diwujudkan secara optimal. Hak mereka sering terabaikan, baik secara sosial maupun hukum. Secara sosial masih terdapat stigma di masyarakat sehingga keluarga menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Hal ini menyebabkan terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan. Sedangkan secara hukum, peraturan perundang-undangan yang ada belum komprehensif sehingga menghambat pemenuhan hak-hak mereka. Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran Pemerintahan dan juga seluruh masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi yang masih sering dialami oleh orang dengan gangguan jiwa, antara lain dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, ditelantarkan oleh keluarga bahkan dipasung. Stigma beroperasi layaknya penjara. Bukan penjara dalam pengertian fisik yang mengurung narapidana, melainkan penjara dalam relasi sosial. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme. Berdasarkan atas fakta lapangan serta studi pustaka yang dilakukan, bentuk-bentuk stigma pada penderita gangguan jiwa yang masih terjadi dan secara tidak langsung merupakan bukti belum berjalannya undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa dapat di lihat dalam dua hal, yakni public stigma (stigma berasal dari masyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita dan keluarganya sendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara lain penolakan, pengucilan, kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan serta kemarahan. III. Public Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa Ruang-ruang gerak orang dengan masalah kejiwaan sangat terbatas, ini terlihat dari sikap masyarakat/lingkungan sekitar yang terkesan memusuhi dengan cara melalukan penolakan secara halus dengan tidak melibatkan mereka (secara sengaja) dalam proses interaksi. Sikap penolakan terhadap penderita gangguan jiwa juga terlihat dari adanya kecenderungan 4

keluarga/masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Pengucilan sosial pada orang yang memiliki masalah gangguan jiwa memberi dampak bagi perilaku, kesembuhan dan partisipasi dalam masyarakat. Mereka juga memiliki pengalaman isolasi sosial yang berakibat pada semua jenis hubungan, baik dengan teman atau keluarga. Pengucilan ini menyebabkan juga mereka tidak mendapatkan keseimbangan akses informasi, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan peluang sosial lainnya yang dapat memperparah pengucilan sosial mereka, implikasinya menyebabkan mereka dihakimi, tidak dihargai bahkan dinyatakan sebagai orang yang berbahaya. Stigma yang masih melekat kuat dalam ranah masyarakat, menyebabkan para penderita gangguan jiwa yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan mendapatkan perlakuan seperti selalu harus berdiam diri di dalam kamar yang terkunci, tidak boleh keluar rumah, tangan atau kaki yang dirantai, bahkan dilakukan pembalokan di sepasang kakinya dengan alasan pembenaran supaya tidak mencederai dirinya ataupun menyakiti/melukai orang lain di sekitarnya. IV. Self Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa Adanya pandangan bahwa gangguan jiwa tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat menimbulkan kerumitan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi dan dihinakan, implikasinya menyebabkan penderita tidak mau mencari pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan. Adanya perasaan merasa bersalah dari pihak keluarga akhirnya menyebabkan perilaku pencarian bantuan terhadap penderita menjadi tertunda. Dengan adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa membuat keluarga seolah olah memiliki bibit yang buruk, sehingga keluarga merasa bersalah, merasa malu secara sosial dan kehilangan harga diri. Keluarga dalam hal ini sering menyalahkan diri sendiri atas sakit yang diderita anggota keluarganya. Rasa bersalah juga bisa berasal dalam diri pasien dalam bentuk keyakinan bahwa penyebab gangguan yang dialami karena lemahnya diri dalam cobaan/ujian hidup, hukuman dari Tuhan ataupun kesalahan masa lalu. 5

Stigma terhadap gangguan jiwa semakin memperparah keadaan penderita gangguan jiwa. Hal ini tentu saja menimbulkan kerumitan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi dan terhina. Masalah lain yang sering muncul pada penderita gangguan jiwa khususnya dengan kasus pada penderita gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan salah satunya adalah rasa marah/kemarahan yang berlebihan. Pengungkapan amarah atau kemarahan penderita gangguan jiwa merupakan suatu luapan perasaan emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan penderita sebagai ancaman, sekaligus dapat membuat perasaan lega. V. Kesimpulan Dalam implementasinya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Stigma masih melekat erat pada penderita gangguan jiwa dan seringkali menjadi korban ketidakadilan serta perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat. Mesin tubuh sosial masyarakatpun mengembangkan stigma sosialnya (public stigma) yang terdiri atas penolakan, pengucilan, serta kekerasan dan kuasa disiplin tubuhpun atas stigma membayangi penderita (self stigma) yang terdiri atas prasangka buruk, merasa bersalah, dan ketakutan serta kemarahan, yang semuanya melanggengkan proses reproduksi gangguan jiwa (kegilaan) yang merupakan konsekuensi berlakunya strategi kuasa dan regulasi sosial di masyarakat. Dalam hal ini pemberdayaan keberlanjutan menjadi hal yang sangat penting bagi para penderita gangguan jiwa. Semua daya upaya ini sangat ditentukan oleh sikap kepedulian anggota keluarga, masyarakat, pihak swasta (LSM), dan pemerintah. VI. Saran Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah, perlu partisipasi semua pihak. Namun penting untuk selalu berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya (destigmatisasi). Penanganan stigma tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individuindividu di masyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut dan tidak terbatas hanya wacana dalam undang-undang saja. 6

Bibliography Departemen Kesehatan Republik Indonesia. KMK (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 406, 2009. Tentang Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010. Tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Irmansyah, 2009. Pemberdayaan Masyarakat Berperan Penting Dalam Pemulihan Penderita Skizofrenia, dalam Jiwa, Indonesian Psychiatric Quarterly. Tahun XLII No. 1. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa. Kartono, Kartini, 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Maramis, w.f., 2005. Catatan Ilmu Kdokteran Jiwa. Edisi IX, Penerbit Airlangga Press. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72 tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional. Riskedas, 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI Sheewangisaw, Z., 2012. Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patient with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital. Congress on Public Health, 1(1). Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014. Tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta: Republik Indonesia. Source: Internet http://www.kemsos.go.id/ 7