1.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengertian pertumbuhan ekonomi seringkali dibedakan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Para peneliti membuat definisi sendiri karena tidak adanya definisi Fiscal

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dongori (2006) menyatakan bahwa dampak diberlakukannya undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

PENGARUH FISCAL STRESS TERHADAP PERTUMBUHAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. oleh rakyat (Halim dan Mujib 2009, 25). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya flypaper effect pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya ketergantungan Daerah terhadap Pusat. Pemerintah Daerah tidak mempunyai keleluasaan dalam menetapkan program-program pembangunan di daerahnya. Demikian juga dengan sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh Pusat. Beranjak dari kondisi tersebut mendorong timbulnya tuntutan agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan dari Pusat ke Daerah. Untuk mengatasi hal ini maka ditetapkanlah Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi Daerah. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 ini menitikberatkan otonomi pada daerah Kabupaten dan Kota, dengan tujuan untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain UU No.32 Tahun 2004 ditetapkan juga UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi. Undang undang ini menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. Konsekuensi dari kewenangan ototnomi yang luas ini adalah pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan 1

pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan atas keadilan dan kepatuhan. Masyarakat selaku stakeholder keuangan pemerintah daerah dapat memantau aliran dana yang ada dipemerintahan sehingga kecurangan dapat dihilangkan dapat dihilangkan. Salah satu instrumen untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah adalah dengan melakukan analisa rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan disahkan. Hasil rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolak ukur dalam: 1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membangun penyelenggaraan otonomi daerah. 2. Mengukur efektifitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah. 3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya. 4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah. 5. Melihat pertumbuhan atau perkiraan perolehan pendapatan dan pengelolaan yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

Penggunaan analisis rasio sebagai alat analisis keuangan secara luas sudah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh: 1. Keterbatasan penyajian laporan keuangan pada lembaga pemerintahan daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan penyajian laporan keuangan oleh lembaga perusahaan yang bersifat komersial, 2. Selama ini penyusunan APBD masih dilakukan berdasarkan pertimbangan incremental budget yaitu besarnya masing-masing komponen pendapatan dan pengeluaran dihitung dengan meningkatkan sejumlah persentase tertentu (biasanya berdasarkan tingkat inflasi). Karena disusun dengan pendekatan incremental maka sering kali mengabaikan bagaimana rasio keuangan dalam APBD. Misalkan adanya prinsip yang penting pendapatan naik meskipun untuk menaikkan itu diperlukan biaya yang tidak efisien. Menurut Pasal 20 Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, APBD seharusnya disusun dengan pendekatan kinerja (performance budget), 3. Penelitian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi ataupun struktur APBDnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan APBD ini adalah: 1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah, 2. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya,

3. Pemerintah pusat/propinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan pelaksanaan pengelolan keuangan daerah, 4. Masyarakat dan kreditor sebagai pihak yang akan turut memiliki saham pemerintah daerah, bersedia memberikan pinjaman ataupun membeli obligasi. Otonomi berujuan agar masyarakat dapat kembali merasakan pertumbuhan ekonomi yang pesat di daerah tersebut. Namun ditengah perjalanan otonomi, kita selaku masyarakat harus mengetahui apakah otonomi di Propinsi Sumatera Utara berjalan di jalur yang benar. Dengan otonomi maka daerah memperoleh banyak tambahan dana. Diharapkan dengan dana yang banyak ini maka kesejahteraan rakyat di Propinsi Sumatera Utara dapat naik ataupun menjadi lebih baik dari sebelumnya, diiringi dengan meningkatnya kinerja pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan tulang punggung pembiayaan daerah. Karena itu, kemampuan suatu daerah menggali PAD akan mempengaruhi perkembangan dan pembangunan daerah tersebut. Di samping itu semakin besar kontribusi PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka akan semakin kecil pula ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat. Sumber keuangan yang berasal dari PAD lebih penting dibanding dengan sumber yang berasal dari luar PAD. Hal ini karena PAD dapat dipergunakan sesuai dengan kehendak dan inisiatif pemerintah daerah demi kelancaran penyelenggaraan urusan daerahnya. Sementara sumber keuangan yang berasal dari bantuan pemerintah pusat, umumnya sudah ditentukan untuk pembiayaan tertentu yang sifatnya mengikat. Oleh karena itu sangat wajar jika pemerintah daerah berusaha bagaimana memperoleh PAD semaksimal mungkin agar bisa memperoleh pendapatan yang sebesar-

besarnya demi perkembangan dan pembangunan daerahnya, khususnya di Propinsi Sumatera Utara. Sebagai gambaran Pendapatan Asli Daerah yang dianggarkan Propinsi Sumatera Utara disajikan dalam tabel di bawah ini: Tabel 1.1 Anggaran dan Realisasi PAD No Tahun APBD Realisasi Kinerja Keuangan 1 2004 Rp.1.004.695.201.000,- Rp. 1.143.128.727.376.94-113,78% 2 2005 Rp.1.286.252.481.000,- Rp. 1.361.818.034.067.77,- 105,87% 3 2006 Rp. 1.451.767.221.000,- Rp. 1.502.145.595.787.42,- 103,47% 4 2007 Rp.1.594.015.781.604,- Rp. 1.708.296.297.382.99,- 107,17% 5 2008 Rp.1.897.496.352.000,- Rp.1.866.411.847.288.57,- 98,36% Dari gambaran ini dapat kita lihat kinerja keuangan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara dari tahun 2004-2008 terus meningkat. Hal ini menunjukkan kinerja keuangan pemerintah daerah Propinsi Sumatera Utara semakin maksimal untuk setiap tahunnya dalam merealisasikan target Anggaran Pendapatan Asli Daerahnya. Teori keagenan (Agency theory) Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal)

yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut nexus of contract.implikasi penerapan teori ini dapat menimbulkan perilaku efisiensi ataukah perilaku opportunistik bagi si Agen. Di organisasi publik, khususnya di pemerintahan daerah secara sadar atau tidak, teori keagenan ini telah dipraktikkan, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia. Apalagi sejak otonomi dan desentralisasi diberikan kepada pemerintah daerah sejak tahun 1999.Akhir-akhir ini, pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten sibuk dengan salah satu kegiatan utamanya yaitu menyusun anggaran APBD 2008.Dalam proses penyusunan dan perubahan anggaran daerah, ada dua perspektif yang dapat ditelaah dalam aplikasi teori keagenan, yaitu hubungan antara eksekutif dengan legislatif, dan legislatif dengan pemilih (voter) atau rakyat. Implikasi penerapan teori keagenan dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (opportunistic behaviour). Hal ini terjadi karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).

Masalah keagenan yang timbul di kalangan eksekutif adalah cenderung memaksimalkan utiliti (self-interest) dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD, karena memiliki keunggulan informasi (asimetri informasi).akibatnya eksekutif cenderung melakukan budgetary slack. Hal ini terjadi dikarenakan pihak eksekutif akan mengamankan posisinya dalam pemerintahan di mata legislatif dan masyarakat/rakyat, bahkan boleh jadi untuk kepentingan pilkada berikutnya. Namun demikian budgetary slack APBD lebih banyak untuk kepentingan pribadi kalangan eksekutif (self interest) ketimbang untuk kepentingan masyarakat. Masalah keagenan yang timbul di kalangan legislatif (anggota dewan) terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai prinsipal atas eksekutif dan sebagai agen dengan rakyat (pemilih). Masalah keagenan yang timbul dalam perspektif prinsipal akan cenderung melakukan kontrak semu dengan pihak eksekutif karena memiliki discretionary power. Dalam proses penyusunan anggaran, pihak legislatif cenderung melakukan titipan proyek/kegiatan, hal ini terjadi untuk kepentingan pribadi secara jangka panjang demi menjaga kesinambungan dan mengharumkan nama politisi/anggota dewan.masalah keagenan anggota legislatif sebagai agen, dimana posisi legislatif sebagai pihak agen dan rakyat/pemilih sebagai pihak prinsipal. Pihak legislatif sebagai agen akan membela kepentingan rakyat atau pemilihnya, namun seringkali ini tidak terjadi, karena pendelegasian kewenangan rakyat/pemilih terhadap legislatornya tidak memiliki kejelasan aturan konsekuensi kontrol keputusan yang disebut abdication. Akibatnya, legislator cenderung

menyusun anggaran untuk kepentingan pribadi atau golongannya dan kondisi sebagai political corruption dalam proses penyusunan anggaran, dan sekiranya anggaran tersebut dilaksanakan akan menimbulkan administration corruption. Kalau kondisi di atas terjadi, maka proses penyusunan/perubahan anggaran APBD yang semestiya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku opportunistik untuk kepentingan pribadi dan politisi. Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pendapatan Asli Daerah Penelitian sebelumnya yang dilakukan Bappenas (2003), serta Setiaji dan Adi (2007) tentang peta kemampuan daerah (propinsi, maupun kabupaten dan kota) dalam era otonomi menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pemerintah daerah berupaya mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah sebagai bagian utama dalam penyusunan APBD sebagai upaya meminimalkan ketergantungan penerimaan dari pemerintah pusat. Dalam kondisi fiscal stress, pemerintah daerah akan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah sebagai upaya meningkatkan pembiayaan daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Halim (2001) menunjukkan bahwa fiscal stress dapat mempengaruhi APBD suatu daerah. Hal tersebut dibuktikan dari adanya pergeseran (kenaikan/penurunan) dari komponen penerimaan dan pengeluaran APBD. Terkait dengan hal itu, penelitian Halim (2001) memberikan fakta empirik bahwa kondisi fiscal stress yang terjadi di tahun 1997 ternyata secara umum tidak menurunkan peran PAD

terhadap total anggaran penerimaan/pendapatan daerah. Komponen dari sektor penerimaan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang terpengaruh secara signifikan dengan kondisi fiscal stress adalah proporsi retribusi daerah, sedangkan proporsi pajak daerah relatif tidak terpengaruh, bahkan proporsinya sedikit naik dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penelitian lain yang dilakukan oleh Purnaninthesa (2006) membuktikan bahwa fiscal stress berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya guna mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Penelitian lain yang dilakukan Dongori (2006) menunjukkan fakta empirik bahwa fiscal stress mempunyai pengaruh negative terhadap tingkat ketergantungan daerah. Semakin tinggi tingkat fiscal stress maka ada terdapat upaya daerah untuk meningkatkan kemandiriannya, yaitu dengan cara mengoptimalkan potensi asli daerahnya, yang salah satunya tercermin pada pendapatan asli daerah. Fiscal Stress terhadap Dana Alokasi Umum Dongori (2006) menyatakan bahwa dampak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan dikeluarkannya undang-undang No. 34 tahun 2000 yang membatasi pungutan pajak daerah dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Ketersediaan sumber-sumber daya potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan daerah dalam era otonomi ini.

Keuangan daerah, terutama pada sisi penerimaan bisa menjadi tidak stabil dalam memasuki era otonomi ini. Sobel dan Holcombe (1996) dalam Andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan memasuki era otonomi bisa mengalami hal yang sama, tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Shamsub & Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1. Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan fiscal stress. Penyebab utama terjadinya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi. 2. Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran industri sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. Yu dan Korman (1987) dalam (Shamsub & Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran industri menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress. 3. Menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (Shamsub & Akoto, 2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscal stress.

Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerintah pusat dalam hal penerimaan daerah yang berasal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah seperti dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak. Dalam era ini, PAD idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Namun upaya pemerintah daerah ini mengalami hambatan karena diberlakukannya UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah. Keberadaan UU ini seringkali dinilai justru menjadi disinsentif bagi daerah, dikarenakan membatasi daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajak-pajak daerah. Pada saat fiscal strees tinggi, pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004). Oleh karena itu, tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi fiscal stress. Upaya Pajak (Tax Effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.

Fiscal Stress terhadap Kinerja Keuangan Seiring dengan penerapan otonomi daerah, pemerintah daerah harus lebih meningkatkan pelayanan publiknya. Upaya ini akan terus mengalami perbaikan sepanjang didukung oleh tingkat pembiayaan daerah yang memadai. Alokasi belanja yang memadai untuk peningkatan pelayanan publik diharapkan memberikan timbal balik berupa peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah, baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan lainnya. Penelitian Haryadi (2002) menunjukkan fiscal stress secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Timur sebelum dan sesudah krisis. Hasil dari penelitian tersebut adalah tingkat kemampuan pembiayaan daerah sebelum krisis relatif lebih besar dibandingkan sesudah krisis, dari segi kemampuan mobilisasi daerah relatif lebih baik sesudah krisis, dari segi tingkat ketergantungan secara relatif menunjukkan perkembangan yang positif sesudah krisis. Penelitian Andayani (2004) yang menguji fiscal stress pada saat krisis ekonomi dan sebelum krisis ekonomi menunjukkan bahwa disaat daerah mengalami fiscal stress yang tinggi (yaitu pada saat krisis ekonomi) maka terdapat kecenderungan peningkatan belanja daerah. Purnaninthesa (2006) dan Dongori (2006) menunjukkan fakta empiris yang hampir sama bahwa, fiscal stress mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pembiayaan daerah. Secara komprehensif, Dongori (2006) memberikan gambaran empirik bahwa dibandingkan dengan era sebelum otonomi daerah, pengaruh fiscal stress

terhadap tingkat pembiayaan sesudah otonomi lebih besar dibandingkan sebelum otonomi. Perubahan pembiayaan ini lebih banyak disebabkan adanya tuntutan peningkatan pelayanan publik yang ditunjukkan dengan peningkatan alokasi ataupun terjadi pergeseran belanja untuk kepentingan-kepentingan pelayanan publik secara langsung, dalam hal ini belanja pembangunan. Implementasi Undang-undang otonomi daerah diharapkan dapat memberikan motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Pemerintah diharapkan menggali potensi yang ada di daerahnya, sehingga pendapatan asli daerahnya dapat digunakan untuk membiayai belanja daerah, khususnya yang berkaitan langsung dengan pelayanan public ataupun peningkatan prasarana yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Pada gilirannya harapan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dapat terpenuhi. Berarti fiscal stress benar-benar memberikan pengaruh terhadap pembelanjaan daerah. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Fiscal Stress terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten dan Kota Propinsi Sumatera Utara?. 1.3 Tujuan Penelitian Bedasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi

Umum dan Fiscal Stress terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi yang berarti bagi daerah yang menjadi lokasi penelitian, yaitu: 1) Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam menganalisis tekanan fiskal (fiscal stress) di Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara sejak diberlakukannya otonomi daerah. 2) Bagi pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi lokasi penelitian, untuk dapat menganalisis kekuatan daerahnya, dilihat dari sisi pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan fiscal stress serta potensi pergerakan kinerja keuangan. 3) Bagi akademisi diharapkan dapat memberikan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama pada bidang penelitian yang sejenis. 1.5 Originalitas Penelitian Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian seperti ini pernah dilakukan. Penelitian yang peneliti lakukan ini, merupakan pengembangan ide dari penelitian yang dilakukan oleh Asha Florida (2007). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Asha Florida yaitu:

1. Variabel independen penelitian terdahulu adalah pendapatan asli daerah (PAD), sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi variabel independennya adalah pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU) dan fiscal stress. 2. Populasi penelitian terdahulu dan penelitian saat ini adalah seluruh Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Namun dalam pengambilan sampel mengalami perbedaan dikarenakan perbedaan kriteria pengambilan sampel penelitian. 3. Penelitian terdahulu memiliki tahun amatan antara tahun 2001-2005, sedangkan dalam penelitian ini memiliki tahun amatan antara tahun 2005-2008. 4. Metode penelitian terdahulu menggunakan regresi linier berganda, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan pooling least squre (PLS).