1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam, bahasa, dan budaya. Tercatat bahwa Papua memiliki kurang lebih 270 bahasa (lihat Warami, 2009:2). Hal ini menunjukkan bahwa Papua memiliki berbagai macam etnik atau suku dengan keanekaragaman tradisinya, dalam bentuk upacara - upacara ritual, tarian, cerita - cerita lisan, seperti dongeng (mitos, legenda, dan fabel) serta bentuk-bentuk lisan lainnya. Kabupaten Waropen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua terletak di daerah badan jika terlihat pada peta Pulau Papua seperti seekor burung. Kabupaten Waropen terletak di daerah pesisir Teluk Cenderawasih. Secara ekologi, Kabupaten Waropen terdiri atas daerah hutan mangrove, rawa, dan gunung. Jika dilihat daerah Waropen yang dipenuhi dengan daerah rawa dan mangrove sudahlah tentu berisi kekayaan alam. Suku yang berada di daerah Kabupaten Waropen disebut sebagai suku Waropen. Kata Waropen tidak hanya dipakai sebagai nama daerah dan suku tetapi juga merupakan nama bahasa. Kekayaan alam yang dimiliki daerah Waropen mempengaruhi mata pencaharian penduduknya. Sebagian besar masyarakat Waropen hidup dari hasil alam dengan cara berkebun, menokok sagu (mengambil sari sagu), dan mencari ikan di laut yang merupakan aktivitas sehari-hari. Kehidupan sebagai petani dan nelayan ini
2 membuat mereka tidak terlepas dari tradisi dan adat istiadat yang dilestarikan secara turun temurun, baik tradisi dalam pergaulan maupun dalam acara-acara adat. Salah satu tradisi yang masih bertahan hingga saat ini adalah tradisi lisan. Salah satu bentuk tradisi lisan adalah sastra lisan. Lord bersama Parry (1964:3 5), mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastra yang dipelajari, digubah, dan disebarkan secara lisan. Selanjutnya Amir (2013:78) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah seni bahasa yang diwujudkan dalam pertunjukan oleh seniman dan dinikmati secara lisan oleh khalayak, menggunakan bahasa dan ragam puitika masyarakatnya. Waropen memiliki beragam sastra lisan yaitu nyanyian rakyat, cerita prosa (mite, legenda, dongeng), bahasa rakyat, dan ungkapan-ungkapan tradisional. Salah satu sastra lisan yang menjadi pokok pembicaraan adalah nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat suku Waropen terdiri atas nyanyian kehidupan dan nyanyian ratapan kematian yang dikenal dengan sebutan muna. Muna secara harafiah berarti sifat, yang pada saat ini mengalami pergesaran dengan sebutan nyanyian karena memiliki ciri-ciri sebagai sebuah nyanyian tradisional. Muna terdiri atas muna kehidupan dan muna kematian. Muna kehidupan terdiri atas nyanyian-nyanyian yang dilantunkan secara individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari, seperti perjalanan dengan perahu di laut atau di sungai, membangun rumah, membuat perahu, menyirat jala atau pukat, membuat tikar dan aktivitas lainnya. Topik atau judulnya tidak ditentukan, dilantunkan sesuai dengan suasana hati yang sedang dirasakan, misalnya topik percintaan atau asmara, keindahan alam, kerinduan, harapan, dan penyesalan. Muna diciptakan secara
3 spontan. Muna kematian dan muna kehidupan dapat dibedakan ketika ditampilkan dalam bentuk pertunjukkan. Selain itu, dapat terlihat pula perbedaannya dari isinya ketika dilantunkan. Muna kematian terdiri atas muna dan munaba. Muna diperuntukkan bagi masyarakat umum. Munaba diperuntukkan bagi mereka yang memiliki status sosial tinggi seperti raja yang di dalam bahasa Waropen disebut dengan sera. Masyarakat Waropen sangat menghargai sistem strata sosial yang tertata hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat ketika melakukan ritual kematian yang disebut munaba. Munaba merupakan tradisi lisan yang digagas dan dimiliki oleh masyarakat Waropen. Menurut Held (1957:128), munaba merupakan sebuah ritual kematian, sedangkan menurut Dharmojo (2005:54) merupakan ratapan nyanyian besar. Masyarakat Waropen ketika mendengar kata munaba, tentu mengetahui bahwa ratapan dilantunkan bagi orang yang meninggal dari keturunan sera (raja) dalam ritual kematian. Masyarakat Waropen memandang munaba sebagai ritual kematian diperuntukkan bagi keturunan Sera (raja) atau mereka yang memiliki status sosial tinggi dalam masyarakat. Syair-syair yang disebut sebagai nyanyian besar dituturkan di dalam ritual kematian melibatkan pelantun/juru munaba. Menurut Dharmojo (2005:88), munaba merupakan nyanyian ratapan kematian dengan bentuk tuturannya syair-syair yang berisi mitos, sejarah keturunan, dan legenda yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat. Selain itu, munaba juga merupakan nyanyian kematian yang berisi cerita kehidupan dari jenazah yang sedang diritualkan. Jika
4 dilihat dari sisi puisi, munaba merupakan jenis puisi lisan dalam bentuk ratapan kematian. Munaba terdiri atas beberapa bait dan setiap bait terdapat dua hingga tiga larik. Jika ditinjau dari jenis puisi, munaba tergolong puisi lirik, yaitu elegi yang berisi ratapan namun juga dapat dikategorikan sebagai puisi naratif karena berisikan kisah kehidupan dan kematian seseorang. Berdasarkan penelitian Yenusi tahun 2007 tentang diksi, munaba memiliki elemen-elemen puisi seperti gaya bahasa, repetisi yang menimbulkan ritme dan rhyme yang indah jika didengar dan dilihat dalam bentuk tertulis. Hal senada dikuatkan oleh pendapat Crusted (2001:5) terdapat dua bentuk puisi, yaitu puisi bentuk lisan dan tulisan. Di dalamnya terdapat elemen penting dari puisi yaitu kata dan bunyi. Kata terdiri atas diksi, gaya bahasa, dan imageri. Sedangkan bunyi terdiri atas ritme dan rima. Munaba merupakan salah satu budaya Waropen dalam bentuk nyanyian ratapan kematian yang berisi pesan-pesan berdasarkan ungkapan yang keluar dari sang pelantun. Berdasarkan jenis, munaba terdiri atas dua jenis, yaitu: yanisa munaba dan owa munaba. Yanisa munaba dilantunkan pada saat jenazah masih berada di dalam rumah sedangkan owa munaba merupakan jenis munaba yang dilantunkan pada saat jenazah telah dikuburkan dan dibuatlah ritual kematian yang di dalamnya berisikan lantunan owa munaba. Yanisa munaba berisi kisah hidup jenazah, seperti kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh orang tersebut, sedangkan owa munaba berisi kisah hidup, kepahlawanan, kesuksesan dari nenek moyang orang yang telah meninggal sehingga kisah yang sama akan berada pada setiap orang yang meninggal,
5 bergantung pada keret (suatu pembagian sistem kekerabatan yaitu perhimpunan beberapa marga/fam. Sebagai contoh, di dalam keret Sawaki terdapat marga Sawaki, Refasi, Duwiri, Maniburi, Kandenafa, Aibini) setiap orang yang meninggal. Alasan pemilihan objek munaba dalam penelitian ini adalah karena munaba telah mengalami pergeseran misalnya dalam bentuk prosesi pemakaman mayat sehingga perlu diadakan penelitian dalam upaya menelusuri pergeseran nilai dari munaba. Dharmojo (2008:8) menyatakan bahwa munaba merupakan salah satu ritual kematian yang dilakukan oleh masyarakat etnik Waropen yang bermukim di wilayah Waropen Bawah. Eksistensi munaba dalam etnik Waropen masih tetap dipertahankan hingga saat ini, walaupun nilai dan fungsinya kini sedang mengalami pergeseran. Hal ini disebabkan adanya proses perpindahan penduduk dan membaurnya budaya baru dari daerah luar yang masuk ke dalam budaya etnik Waropen, serta masuknya ajaran agama yang turut mempengaruhi keberadaanya, khususnya agama Nasarani (Kristen) dalam membentuk pola pikir masyarakat Waropen dalam hal kematian lewat pengajarannya. Sebelum masuknya agama baru (Nasrani), terdapat kepercayaankepercayaan terhadap Tuhan, alam, seseorang yang memiliki kekuatan, hal-hal magis dan sebagainya yang tertuang di dalam mitos-mitos. Kekuatan-kekuatan ini dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan (Held 1957:162-226). Pergeseran yang terjadi ini hanyalah salah satu contoh. Terdapat hal lain yang membuat pergeseran nilai budaya di Waropen yaitu dengan masuknya era globalisasi dengan tawaran-tawaran modernitas yang menggiurkan generasi Waropen dan melupakan nilai-nilai dasar kehidupan yang telah
6 ada dari nenek moyang sebagai pandangan hidup dalam membangun akhlaknya. Kekhawatiran lainnya yaitu, penutur munaba hanyalah perempuan bangsawan yang dituakan dan mengenal budaya serta tata aturan dalam prosesi kematian masyarakat Waropen. Pada saat ini, penutur semakin berkurang dikarenakan usia penutur yang telah lanjut dan tidak ada lagi generasi penerus yang mampu menuturkan munaba khususnya jenis owa munaba. Semakin lama tradisi ini akan mengalami pergeseran dan hilang dikarenakan pergeseran-pergeseran yang terjadi dan dengan tidak adanya penggenerasian. Salah satu kenunikan yang tampak di dalam munaba yaitu munaba merupakan nyanyian ratapan tentang kematian dan hanya dimiliki oleh masyarakat Waropen. Munaba sebagai nyanyian ratapan kematian tidak hanya berisikan kisah kematian seseorang, namun juga tentang kisah hidup, kebaikan, kepahlawanan, kesuksesan, dan kebesarannya (terdapat dalam yanisa munaba) juga nenek moyangnya (terdapat dalam owa munaba). Munaba juga berisikan nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pandangan hidup dalam hal pengajaran moral dalam pembentukan karakter. Selain keunikan tersebut, juga terdapat keunikan lainnya yaitu munaba hanya dapat dilantunkan oleh kaum wanita yang merupakan keluarga dekat orang yang sedang meninggal ataupun wanita yang dituakan dalam lingkungan keret walaupun terdapat pula kaum pria yang dapat meratap. Hal ini memunculkan pemikiran tentang pandangan masyarakat Waropen yang terbangun di dalam upacara kematian, juga munaba yang terus berkembang dan menjadi salah satu tradisi yang diturunkan secara terus-menerus dalam kehidupan generasi Waropen. Munaba yang
7 berisi tentang kisah kehidupan orang yang telah meninggal, keperkasaan, kebesaran nenek moyangnya. Hal ini menimbulkan pemikiran bagi penulis untuk menelusuri penggunaan bahasa dalam merangkai bentuk/struktur dan fungsi munaba sebagai suatu sistem tanda yang memunculkan pandangan kehidupan dan kematian masyarakat Waropen. Pemilihan judul wacana puisi naratif munaba diambil berdasarkan pemikiran bahwa penelitian sebelumnya tentang munaba seperti yang dilakukan oleh Dharmojo yang mengkaji tentang sistem simbol dalam munaba dengan melihat munaba dari sisi simbol-simbol, baik simbol secara verbal maupun simbol nonverbal yang ditunjukkan melalui nyanyian munaba dan tarian hingga busana serta aksesoris yang digunakan dalam munaba. Munaba dalam penelitian Dharmojo lebih menekankan pada sistem simbol di dalam Owa munaba. Dalam penelitian ini munaba dikaji dari sisi wacana narasi munaba yang terungkap di dalam struktur munaba dengan melihat penggunaan bahasa sebagai media sastra yang membentuk struktur munaba hingga menemukan fungsi dan makna serta pandangan kehidupan masyarakat Waropen tentang kematian yang tertuang sebagai wacana. Penelitian ini lebih banyak mengambil data dalam prosesi kematian yaitu dalam nyanyian ratapan jenis Yanisa munaba walaupun terdapat juga dua sampel data Owa Munaba sebagai pelengkap kisah perjalanan dalam narasi munaba.
8 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka masalah yang dibahas dalam penulisan ini, dapat diuraikan dalam bentuk pertanyaan berikut. 1) Bagaimanakah bentuk wacana munaba sebagai salah satu sastra lisan etnik Waropen? 2) Bagaimanakah fungsi wacana munaba etnik Waropen? 3) Bagaimanakah makna yang terkandung di dalam wacana munaba berdasarkan struktur munaba? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini diharapkan memberikan inspirasi dalam mengembangkan salah satu aspek sastra lisan Indonesia sehingga dapat menimbulkan rasa memiliki dan kebersamaan untuk memperkuat rasa nasionalisme. Selain itu, juga diharapkan sebagai sumbangsih pengembangan proses pembelajaran yang dapat diperhatikan oleh pemerintah daerah Waropen dalam pelestarian budaya lisan, khususnya munaba. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah dengan menjawab setiap masalah untuk menemukan pandangan masyarakat Waropen tentang kematian di dalam wacana kematian munaba. Secara detil tujuan khusus adalah sebagai berikut:
9 1) Menemukan bentuk/struktur wacana dari munaba 2) Menemukan fungsi wacana munaba 3) Menemukan dan memaknai tanda yang terdapat di dalam wacana munaba 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi upaya pengembangan dan ber-kontribusi dalam memperkaya ilmu-ilmu humaniora tentang sastra lisan. Selain itu, juga dapat bermanfaat sebagai bahan ajar, khusus dalam pembelajaran tentang tradisi lisan Papua. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dan memperkaya khasanah kajian sastra lisan Waropen. Disamping itu, dapat memperkokoh identitas masyarakat Waropen dalam memasuki era globalisasi dan modernitas dengan tidak terlepas dari realitas masa lalu.