BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa memerlukan pola pengaturan pengolah sumber-sumber ekonomi yang tersedia secara terarah dan terpadu serta dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan utama lembaga perbankan, baik bank konvensional ataupun bank syariah adalah menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan kepada masyarakat yang memerlukan dana, baik untuk investasi, modal kerja maupun konsumsi. Salah satu sumber pendapatan bank, baik bank konvensional ataupun bank syariah adalah dari penyaluran kredit atau pembiayaan, dimana keuntungan tersebut berupa selisih antara bunga, bagi hasil atau margin dari sumber sumber dana dengan bunga, bagi hasil atau margin yang diterima dari alokasi dana tertentu. Kredit atau pembiayaan yang diberikan atau yang dicairkan oleh bank memperoleh jasa dari debitur sebagai keuntungan bank. Pihak yang menerima kredit atau pembiayaan diharapkan memperoleh nilai tambah serta dapat mengembangkan usaha agar lebih maju, dan yang paling diperhatikan oleh masyarakat ketika mau mengambil kredit atau pembiayaan adalah berupa bunga yang tinggi atau bagi hasil yang tidak berimbang atau juga margin yang terlalu tinggi. Analisis sistem pemberian kredit pada bank konvensional dan pembiayaan murabahah pada bank syariah memerlukan suatu standar analisis yang meliputi penilaian atas keseluruhan dari aspek-aspek yang perlu mendapatkan perhatian kelayakannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
calon debitur layak atau tidak layak untuk dibiayai. (Djohan, 2000 ; 109). Lembaga keuangan perbankan, baik bank konvensional ataupun bank syariah menjadi alternatif sumber kredit atau pembiayaan yang tepat, karena bank konvensional ataupun bank syariah adalah sebuah lembaga keuangan perbankan yang menyalurkan produk kredit atau pembiayaan berupa kredit konsumsi, modal kerja dan juga investasi. Jenis-jenis kredit pada PT. Bank BNI (Persero) Tbk, yakni kredit konsumsi, investasi dan juga modal kerja, sedangkan pada Bank Muamalat pembiayaan murabahah terdiri dari pembiayaan murabahah dengan pesanan dengan pembiayaan murabahah tanpa pesanan. Dalam pelaksanaan pemberian fasilitas kredit kepada nasabahnya bank konvensional dirasa tidak adil dan menimbulkan kondisi yang buruk terhadap perekonomian, tidak hanya menimpa Indonesia, namun juga menerpa banyak negara dan kelompok masyarakat. di berbagai belahan dunia, khususnya kawasan Asia. Hal itu sebagai dampak sistem ekonomi ribawi atau berbasis bunga. Sistem bunga menyebabkan negara-negara dan kelompok masyarakat miskin makin bertambah miskin karena dihisap oleh negara-negara dan kelompok masyarakat kaya. Penggunaan bunga menciptakan kesenjangan yang makin lebar antara masyarakat kaya dan miskin. Orang kaya makin kaya, orang miskin makin miskin. Akibatnya, daya beli menurun. Umer Chapra, dalam bukunya, Towards a Just Monetary System (1986), mengutip pernyataan mantan Kanselir Jerman Barat, Helmut Schmidt, pertengahan tahun 1970-an, Dunia ekonomi telah memasuki suatu fase ketidakstabilan yang luar biasa dan perjalanan masa depannya benar-benar tidak pasti. Nyatanya, hingga saat ini ketidakstabilan terus berlangsung dan
ketidakpastian berlanjut. Menurut Umer Chapra, krisis ini juga diperburuk oleh adanya kemiskinan di tengah-tengah orang kaya di semua negara, berbagai bentuk ketidakadilan sosioekonomi, defisit neraca pembayaran yang besar, dan ketidakmampuan sebagian negara-negara berkembang untuk mencicil utang mereka. Dr Setiawan Budi Utomo, menegaskan bahwa sebenarnya krisis ekonomi berangkat dari krisis ideologi dan falsafah kehidupan yang berakibat salah memilih sistem. Di antaranya sistem ekonomi kapitalis dan hukum kolonial yang justru menyengsarakan rakyat dan bukan membawa kepada kemakmuran hakiki, lahir dan batin. Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang berdampak pada krisis ekonomi adalah krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga sebagai sistem ribawi yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism. Bahkan, ia sendiri berpotensi menjadi economic trouble maker yang melahirkan tiga macam krisis, yaitu krisis keuangan dan moneter (financial crisis), krisis pasar saham, dan krisis perbankan yang semuanya itu berpengaruh negatif pada kehidupan sektor riil. Kalau kita perhatikan praktik-praktik yang terjadi di negara manapun, kredit berbasis bunga ternyata telah menimbulkan berbagai persoalan, baik kepada dunia usaha maupun perekonomian, serta masyarakat. Tarek El Dewany (1997), menyebutkan setiap tahun pemerintah Amerika Serikat membayar ratusan ribu sampai jutaan dolar AS bunga atas utang nasionalnya. Demikian pula, negaranegara yang dianggap kaya harus membayar bunga yang besar sekali atas utang nasional mereka. Umer Chapra (1986) menyebutkan, bunga yang tinggi telah berfungsi sebagai penghambat utama investasi dalam sistem kapitalis. Untuk
priode 1970-1978, pembayaran bunga mencapai sepertiga dari keuntungan pada modal sebelum pajak. Ini adalah tiga kali lipat pada dasawarsa 1960-an dan enam kali lipat pada dasawarsa 1950-an. Pemerintah Indonesia sendiri harus membayar cicilan pokok dan bunga rekap kepada bank-bank yang diselamatkan pada waktu krisis ekonomi sebesar hampir mencapai Rp.60 triliun dan baru akan berakhir pada tahun 2030 (Rakyat Merdeka, 25 Juli 2008). Pemberlakuan bunga di awal transaksi, yang tidak mempertimbangkan apakah peminjam akan untung atau rugi dalam usahanya, merupakan sebuah ketidakadilan. Bank konvensional, sebagai bagian dari sistem ekonomi kapitalis, hanya mau tahu berapa bunga yang dia terima dari nasabah peminjam terlepas dari apakah usaha debitur maju atau bangkrut. Kalau peminjam tidak dapat mengembalikan angsuran tepat pada waktunya, maka bank secara otomatis memberlakukan bunga tidak hanya terhadap cicilan yang masih harus dibayar, tapi juga terhadap bunga bulan sebelumnya. Jadi, bunga-berbunga. Sistem bunga sudah tidak adil, apalagi bunga-berbunga, jelas makin tidak adil. Itulah yang selama ini dilakukan oleh bank-bank konvensional. Dalam praktik bank konvensional, hubungan antara pihak bank dan nasabah menjadi tidak seimbang, karena bank selalu berada pada posisi tawar yang lebih tinggi dari pada nasabah. Hal itu mencerminkan ketidakseimbangan dalam hubungan tersebut. Sebetulnya istilah kreditur-debitur itu sendiri sudah mengandung konotasi bahwa hubungan kedua belah pihak tidak seimbang.
Penerapan bunga tadi mengakibatkan timbulnya ekonomi biaya tinggi karena adanya penggelembungan. Uang yang dipinjamkan ditambah bunga tapi tidak diikuti dengan tambahan barang dan jasa, sehingga jumlah uang beredar jauh tidak sebanding dengan barang dan jasa yang ada. Di sinilah terjadi kesenjangan. Menurut Umer Chapra, jumlah barang dan jasa yang beredar nilainya hanya 30 persen dari jumlah uang yang beredar. Hal ini akhirnya menyulitkan pengelolaan ekonomi itu sendiri. Muncul instrumen-instrumen canggih untuk mengatasi akibat yang timbul. Misalnya, hedging, forward dan lain-lain. Namun, hal ini pun menimbulkan persoalan-persoalan baru, karena dasarnya tetaplah ekonomi konvensional yang berbasiskan bunga dan adanya hubungan yang tidak seimbang. Ekonom Dr Didik J Rachbini pernah mengemukakan tentang transaksi keuangan global yang telah menyalahi fungsinya sebagai pendukung sektor riil untuk kegiatan produktif dalam rangka menunjang kesejahteraan umat manusia. Menurutnya, sekitar 92 persen keuangan global tersebut berupa komoditas yang diperdagangkan untuk spekulasi dan keuntungan. Dengan demikian, ekonomi global ini telah masuk ke dalam sistem riba yang parah (Kompas, 22/12/1998). Sistem bunga mengandung banyak kelemahan, oleh karena itu, tegas Umer Chapra (1986), sistem keuangan dan perbankan (konvensional) itu harus direformasi untuk menghapuskan ekses-ekses dan ketidakseimbangan yang mendorong adanya ketidakmerataan, perilaku konsumtif, dan ekspansi moneter yang tidak sehat yang menyebabkan kerugian bagi semua. Lalu, adakah jalan keluar untuk membebaskan masyarakat dunia, khususnya Indonesia, dari jeratan krisis yang disebabkan oleh sistem ekonomi konvensional? Jawabannya sudah
diwasiatkan oleh Nabi Muhammad 1.400 tahun silam. Yakni, sistem ekonomi Islam (muamalah) yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia. KH Abdullah Zaky Al Kaaf, dalam bukunya, Ekonomi Dalam Perspektif Islam (2002) mengutip Imam Ghazali, dalam kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin juz III, yang menyebutkan, ketika lahirnya agama Islam pada zaman Nabi Muhamamad Saw 14 abad lampau, Arabia sudah meninggalkan sistem barter (tukar-menukar barang), dan memakai sistem jual beli dan perdagangan. Tuhan memberikan peraturan yang lengkap mengenai muamalah, dengan mengadakan adanya peraturan bai dan tijarah, di samping peraturan lain yang meliputi seluruh transaksi ekonomi. Menurut Yusuf Al Qardhawi (2001), selain bercirikan ketuhanan dan moral, sistem ekonomi Islam juga berkarakter kemanusiaan. Tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan umat manusia yang aman dan sejahtera. Sesuai dengan prinsip rahmatan lil alamin, maka manusia yang dimaksudkan tidak hanya kaum Muslimin, melainkan umat manusia secara keseluruhan. Menurut Umer Chapra (1986), Islam menyediakan suatu sistem ekonomi yang meniscayakan penggunaan sumber-sumber daya yang diberikan Allah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok umat manusia dan memberikan kepada mereka kondisi kehidupan yang baik. Islam menganggap kekayaan adalah amanah dari Allah dan pemanfaatannya secara benar sebagai suatu ujian keimanan. Kekayaan sebenarnya bukanlah milik manusia. Ia adalah milik Allah dan apa yang dimiliki oleh manusia adalah suatu titipan, yang dipercayakan kepadanya untuk dipergunakan dalam merealisasikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah, dua di antaranya yang paling pokok adalah kesejahteraan umat manusia secara umum dan keadilan sosioekonomi.
Fakta sejarah membuktikan Islam datang untuk menghapuskan sistem riba yang diterapkan oleh para saudagar Arab pada masa Jahiliyah. Islam mengorganisasikan keseluruhan produksi dan perdagangan berdasarkan murabahah dan syirkah dengan prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan dan dibangun diatas landasan keadilan, kejujuran dan keterbukaan. Dengan terhapusnya bunga, kegiatan ekonomi dalam dunia Islam tidak mengalami kemerosotan, justru terjadi peningkatan kemakmuran. Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan melakukan pengkajian ilmiah terhadap Analisis Perbandingan Sistem Pemberian Kredit Pada Bank Konvensional dan Sistem Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syariah. B. Perumusan masalah Untuk mengarahkan dan memudahkan penelitian serta menghindar kesimpangsiuran dalam pembahasan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah kelemahan sistem pemberian kredit pada bank konvensional sehingga menjadikan sistem pembiayaan pada bank syariah sebagai solusi untuk keluar dari permasalahan yang disebabkan sistem ekonomi konvensional C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kelemahan pemberian kredit pada bank konvensional sehingga menjadikan pembiayaan pada
bank syariah sebagai solusi untuk keluar dari permasalahan yang disebabkan sistem ekonomi konvensional. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : a. tambahan informasi mengenai dampak bunga yang diberikan bank konvensional terhadap perekonomian dan masyarakat, b. khasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan pada Bank Syariah di Indonesia. c. bahan pertimbangan dan masukan bagi seluruh stake holder, khususnya perbankan syariah di Indonesia, serta sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat untuk mengkaji tentang analisis perbandingan pemberian kredit bank konvensional dengan pembiayaan murabahah pada bank syariah. D. Kerangka Konseptual Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam (debitur) untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit yang diberikan oleh bank berdasarkan tujuan dan kegunaannya yakni, kredit konsumtif, kredit modal kerja (kredit perdagangan), dan kredit investasi. Sedangkan pembiayaan murabahah terdiri dari murabahah berdasarkan pesanan dan murabahah tanpa pesanan. Baik bank konvensional maupun bank syariah mempunyai prinsip yang berbeda dalam segi sistem pemberian kredit dan
pembiayaan murabahah. Studi kelayakan yang diterapkan pada bank konvensional lebih berat dibandingkan dengan bank syariah, karena bank konvensional lebih mengedepankan aspek jaminan yang lengkap, sedangkan di bank syariah hanya pada aspek karakter dari nasabah itu sendiri, artinya bank syariah percaya bahwa nasabah itu bermaksud baik selama melakukan kredit atau pembiayaan dalam jangka waktu tertentu. Penentuan suku bunga pada bank konvensional dibuat berdasarkan perjanjian dan berpedoman harus selalu untung untuk pihak bank,sedangkan bank syariah pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik, sedangkan pada bank syariah tergantung pada kinerja usaha, bagi hasil meningkat sesuai peningkatan jumlah pendapatan. Intinya krdit pada bank konvensional menerapkan sistem bunga sedangkan bank syariah berdasarkan bagi hasil.
berikut : Berdasarkan penjelasan diatas maka diperoleh kerangka konseptual sebagai Analisis Perbandingan Bank Konvensional Prosedur Pemberian Kredit (Kredit Konvensional) 1. Kredit Konsumsi 2. Kredit Investasi 3. Kredit Modal Kerja Bank Syariah Prosedur Pemberian Pembiayaan (Pembiayaan Murabahah) 1. Murabahah tanpa pesanan 2. Murabahah dedeberdasarkan pesanan Perhitungan keuntungan berdasarkan sistem Bunga Perhitungan keuntungan menggunakan sistem Margin / bagi hasil Sumber : Pemikiran Sendiri Gambar. 1.1. Kerangka Konseptual