BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebiasaan merokok dipilih sebagai salah satu jenis aktivitas yang populer dilakukan untuk memanfaatkan waktu luang baik bagi laki laki ataupun wanita dengan presentase pria lebih mendominasi 64,80%. Masing-masing mempunyai alasan untuk merokok, bisa bermacam-macam dan bersifat pribadi. Pria membayangkan bahwa dengan merokok maka mereka dianggap dewasa tidak lagi sebagai anak kecil, sebagai simbol kejantanan, dan mereka bisa memasuki kelompok sebaya sekaligus kelompok yang mempunyai ciri tertentu, yaitu merokok. Lain halnya dengan wanita, merokok dianggap bukan sesuatu yang lazim dilakukan, wanita yang merokok dianggap mempunyai ciri khas yang akan membedakan mereka dari wanita-wanita lain yang tidak merokok, dan wanita merokok juga untuk menghindari kegemukan badan (Juliastuti, 2006). Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan jumlah perokok yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut survey dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) yang dirilis Kementrian Kesehatan, 11 September 2012. Faktanya, jumlah perokok aktif di Indonesia mengalami peningkatan dan tertinggi di antara 16 negara berpendapatan menengah ke bawah. Survey tersebut melaporkan bahwa prevalensi merokok mencapai 67,4% laki-laki dan 4,5% wanita. Perokok pria dan wanita ini mencapai 36,1% dari komposisi penduduk atau ada sekitar 61,4 juta penduduk yang mengkonsumsi tembakau. Ironisnya, prevalensi perokok menurut usia dan gender 1
2 pada kelompok usia 15 sampai 24 tahun, mencapai sebanyak 51,7% (GATS, 2011). Berdasarkan penelitian dari Listiana (2013), didapatkan hasil sebanyak 51% subjek mengkonsumsi rokok kretek dengan filter, rokok putih 33%, serta 16% mengkonsumsi rokok kretek nonfilter. Sehingga dapat dikatakan bahwa mayoritas remaja perokok memiliki tingkat ketergantungan sedang sampai berat sehingga remaja perokok ini cenderung lebih menyukai produk rokok dengan kadar tar dan nikotin yang lebih tinggi dari rokok putih seperti produk rokok kretek dengan filter. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia cenderung bertambah yaitu 31,5% dari penduduk Indonesia di tahun 2001, bahkan lebih dari 50% dengan sampel di suatu daerah, dan semakin dini dari segi usia memulai merokok. Perokok di perkotaan sedikit lebih tinggi dibandingkan perokok di pedesaan, namun kebiasaan untuk berhenti merokok lebih tinggi di perkotaan. Hal ini terkait erat dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pendidikan kesehatan di daerah yang jauh dari kota (Hasanah, 2011). Meningkatnya jumlah perokok di Indonesia juga disebabkan oleh mudahnya memperoleh rokok, tidak ada batasan umur yang melarang orang membeli rokok, kapan pun dan dimana pun mereka ingin membeli rokok selalu tersedia. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya orang tua yang justru tanpa sadar menjerumuskan anaknya untuk menjadi perokok. Dimulai dengan kebiasaan merokok di depan anak-anak hingga meminta anak-anak membelikan rokok di warung.
3 Usia pertama kali merokok pada umumnya berkisar antara usia 11-13 tahun dan pada umumnya merokok sebelum usia 18 tahun. Perokok usia muda di Indonesia semakin meningkat, dimana hasil survey sosial ekonomi memperlihatkan, terjadi peningkatan yang mengkhawatirkan perokok di kalangan di bawah usia 19 tahun, dari 69% tahun 2001 meningkat menjadi 78% di tahun 2004 yang lalu. Aktivitas merokok di kalangan pelajar khususnya pelajar di tingkat SMU bukan merupakan hal yang baru (Hasanah, 2011). Ada beberapa alasan yang membuat remaja merokok, antara lain adalah: 1) Mencontoh dari orang tua yang juga perokok, 2) Pengaruh teman, sebagian besar remaja ataupun orang yang merokok memiliki lingkungan pergaulan yang sebagian besar merokok, 3) Pengaruh diri sendiri, remaja merokok juga karena faktor ingin tahu serta coba coba, 4) Pengaruh iklan, banyaknya iklan rokok di media cetak, elektronik, dan media luar ruang telah mendorong rasa ingin tahu remaja tentang produk rokok (Hasanah, 2011). Perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari. Proses belajar dimulai dari sejak masa anak-anak, sedangkan proses menjadi perokok yaitu pada masa remaja. Proses belajar atau sosialisasi perilaku merokok tampaknya didapatkan melalui 2 transmisi yaitu transmisi vertikal (lingkungan keluarga) dan transmisi horizontal (lingkungan teman sebaya). Lingkungan keluarga dan lingkungan teman sebaya serta kepuasan psikologis merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja (Komasari, 2000). Remaja yang merokok jika bergaul dengan teman-teman yang merokok cenderung akan merokok juga, jika remaja yang merokok tanpa teman yang
4 merokok mereka cenderung tidak akan merokok. Pemilihan teman merupakan hal yang penting bagi remaja, karena interaksi teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang besar pada remaja. Selain itu yang tetap menjadi pengaruh penting pada remaja yang merokok yaitu keluarga, dengan orang tua yang merokok maka dapat meningkatkan perilaku merokok pada remaja serta pengasuhan dari waktu ke waktu memberikan efek perlindungan langsung dan tidak langsung terhadap pengaruh merokok pada remaja (Simons & Farhat, 2010). Berdasarkan penelitian dari Komasari (2000), bahwa sikap permisif orang tua dan lingkungan teman sebaya memberikan pengaruh sebesar 38,4% terhadap perilaku merokok remaja. Sedangkan kepuasan psikologis remaja memberikan sumbangan yang sangat tinggi terhadap perilaku merokok yaitu 40,9%. Seperti yang telah dikemukakan, bahwa remaja merokok merupakan upaya untuk dapat diterima di lingkungannya. Hampir 28% subjek menyatakan bahwa mereka mengkonsumsi rokok lebih banyak ketika sedang berkumpul dengan temantemannya. Pengaruh sosial muncul sebagai faktor kebiasaan merokok di kalangan remaja. Kontribusi pengaruh sosial dapat secara langsung dan tidak langsung, secara langsung yaitu melalui pengamatan perilaku orang lain dan berdampak pada kesehatan mereka dan visibilitas sosial mereka, sedangkan secara tidak langsung, yang berarti bahwa remaja menunggu orang lain untuk menentukan perilaku mereka. Teman memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan remaja (Vasipoulos & Roupa, 2015).
5 Perilaku merokok pada remaja berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami ketika masa perkembangannya, yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati diri (Mu tadin, 2002). Rasa kurang percaya diri pada remaja ditunjukkan dengan 2 cara yaitu cara positif dan cara negatif. Cara positif yang dilakukan untuk membangun rasa percaya diri yaitu dengan memperjuangkan keinginan yang dan mewujudkan dengan cara yang positif, dan mengatasi masalah dengan mengambil keputusan yang positif. Remaja yang sulit menerima keadaan diri, serta memandang rendah kemampuan yang dimiliki, namun ia memiliki keinginan yang mungkin tidak realistis terhadap dirinya sendiri, akan cenderung melakukan tindakan negatif untuk membangun rasa percaya diri, salah satunya dengan merokok (Haryono, 2007). Hasil penelitian dari Mulyani (2015), bahwa hubungan antar teman sebaya cenderung memberikan pengaruh terhadap perilaku merokok pada remaja. Pada awalnya perilaku merokok yang dirasakan secara fisik adalah rasa tidak enak seperti pahit, mual, pusing, tenggorokan kering, dan batuk-batuk, tetapi remaja masih memiliki keinginan untuk mencoba lebih lanjut. Hal ini disebabkan oleh ikatan kehidupan berkelompok yang lebih kuat dengan teman sebaya sebagai partner merokok, sehingga remaja merasakan perasaan nyaman, rileks, merasa lebih gaul, serta lebih percaya diri. Teman sebaya mungkin sangat menentukan cara berpakaian, berbicara, menggunakan zat terlarang, perilaku seksual, mengadopsi dan menerima kekerasan, mengadopsi perilaku kriminal dan anti-sosial dan di banyak bidang kehidupan remaja lainnya. Teman sebaya dapat dijadikan sebagai model dan
6 mempengaruhi perilaku dan sikap, sementara di sisi lain, hal itu dapat memberikan akses mudah, dorongan dan interaksi sosial yang sesuai bagi remaja (Tome, 2012). Perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu lingkungan, budaya, dan teman sebaya. Kebanyakan remaja beranggapan bahwa dirinya akan terlihat percaya diri jika mereka merokok. Menurut Sitepoe (2000) bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada remaja. Jika seseorang merokok maka mereka beranggapan akan memiliki banyak teman dan merasa lebih percaya diri. Lain halnya dengan remaja yang tidak merokok, mereka beranggapan bahwa remaja tersebut tidak akan memiliki banyak teman sebanyak remaja yang merokok (Mu tadin,2002). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalahnya adalah Apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dan interaksi teman sebaya dengan perilaku merokok pada remaja? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dan interaksi teman sebaya dengan perilaku merokok pada remaja.
7 D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu psikologi, yaitu pengetahuan tentang hubungan antara kepercayaan diri dan interaksi teman sebaya dengan perilaku merokok pada remaja. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi orang tua agar lebih memberikan pengarahan kepada anak-anaknya tentang bahaya merokok dan memberikan pengarahan untuk meningkatkan rasa percaya diri tanpa rokok, serta memilihkan lingkungan yang tepat untuk anak-anaknya.