Policy Brief KAJIAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK: HARGA, DISTRIBUSI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERMINTAAN PUPUK DAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN.

dokumen-dokumen yang mirip
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

WALIKOTA PROBOLINGGO

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

EFEKTIVITAS DISTRIBUSI PUPUK BERSUBSIDI (Studi Kasus di Desa Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang) PENDAHULUAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

WALIKOTA MAKASSAR, PROVINSI SULAWESI SELATAN. PERATURAN WALIKOTA MAKASSAR Nomor 1 Tahun 2016 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 11 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,

Kartu Tani Bawang. 05 Oktober PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor Wilayah Padang

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan RDKK Pupuk Bersubsidi

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014

I. PENDAHULUAN. cukup luas sangat menunjang untuk kegiatan pertanian. Sebagai negara agraris yang

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

D E N G A N R A H M A T T U H A N Y A N G M A H A E S A

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

Transkripsi:

Policy Brief KAJIAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK: HARGA, DISTRIBUSI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERMINTAAN PUPUK DAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN Adang Agustian Pendahuluan (1) Dalam rangka peningkatan produksi pertanian, diperlukan sejumlah alokasi dan kombinasi faktor-faktor produksi untuk menghasilkan produksi pertanian (output). Pupuk merupakan salah satu faktor produksi utama yang menentukan peningkatan produktivitas usahatani tanaman pangan. Dalam konteks itu, pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk yang efisien melalui kebijakan terkait penyediaan dan distribusi, dan harga melalui subsidi. (2) Kebijakan subsidi pupuk sampai saat ini dilakukan pemerintah, dengan tujuan agar harga yang beredar di pasar tidak memberatkan petani dalam meningkatkan produksi pertanian. Subsidi pupuk diberikan melalui mekanisme harga jual pupuk. Untuk meningkatkan efektivitas dan peningkatan manfaat secara optimal, maka faktor produksi utama tersebut harus sampai pada petani dengan prinsip enam tepat, yaitu: tepat jumlah, dosis, jenis, harga, mutu/kualitas, dan tepat waktu. Permasalahan (3) Kebijakan dan pelaksanaan subsidi pupuk masih menyisakan permasalahan, terkait dengan efisiensi dan efektifitasnya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa: (a) Terdapatnya dualisme harga pupuk di pasaran (harga subsidi vs non subsidi) memicu munculnya potensi penyelundupan pupuk, pengoplosan pupuk subsidi dan non subsidi, dan terjadinya pemalsuan pupuk bersubsidi, (b) panjangnya rantai distribusi sehingga melemahkan tingkat pengawasan dari pemerintah. (4) Selain itu, juga terdapat beberapa pertanyaan terkait subsidi pupuk yaitu: bagaimanakah kondisi terkini mengenai kebijakan subsidi pupuk untuk peningkatan produksi pangan?; bagaimanakah tingkat harga dan sistem distribusi pupuk bersubsidi saat ini sudah efektif?; bagaimanakah prospek dan kendala yang dihadapi dalam perubahan pola subsidi pupuk tidak langsung menjadi subsidi pupuk langsung yang telah diujicobakan dibeberapa provinsi saat ini?; bagaimana dampak perubahan besaran subsidi pupuk terhadap penggunaan pupuk dan terhadap peningkatan produksi tanaman pangan? Temuan-Temuan Pokok Review Kebijakan Subsidi Pupuk (5) Kebijakan pemberian subsidi pupuk telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1970-an. Kebijakan subsidi pupuk didasari dari posisi pupuk sebagai input penting dalam produksi pertanian sehingga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Subsidi tersebut diberikan langsung melalui

mekanisme harga jual pupuk, terutama pada kegiatan usahatani tanaman pangan. (6) Kebijakan pengenai sistem distribusi pupuk terjadi pada beberapa periode: (1) periode sebelum krisis ekonomi, (2) periode era pasar bebas, (3) periode pasca krisis ekonomi, dan (4) periode sistem distribusi tertutup. Pada perkembangan periode terakhir bahwa dengan keluarnya Permendag No. 15/2013, dimana mekanisme distribusi pupuk untuk sektor pertanian sesuai rayonisasi. Perkembangan Harga Pupuk di Tingkat Petani dan Pola Distribusinya (7) Sesuai Permentan No. 69 Tahun 2016, disebutkan bahwa pengecer/kios pupuk resmi wajib menjual pupuk bersubsidi kepada petani, petambak, dan atau kelompok tani sesuai HET yang sudah ditetapkan. HET berlaku bagi pupuk bersubsidi dalam kemasan 50 kg untuk pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK, serta kemasan 40 kg untuk pupuk organik. Dalam kurun waktu 2003-2016, HET pupuk bersubsidi untuk Urea, ZA, SP-36 dan NPK mengalami peningkatan antara 3,17-4,41%/tahun. Khusus untuk pupuk Urea, peningkatan HETnya sebesar 4,41%/tahun, sedangkan pupuk ZA peningkatan-nya 3,73%/tahun. (8) Harga pupuk eceran bersubsidi di lokasi penelitian Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Lampung sesuai dengan HET di tingkat pengecer/kios resmi. Biaya transportasi pupuk yang dibeli petani akan ditanggung oleh: (1) Pembeli (petani), jika petani mengangkut sendiri pupuk yang dibeli ke rumah atau lahan usahataninya, dan (2) Kios/pengecer resmi yang mengantarkan pupuk ke rumah atau lahan petani akan mengenakan biaya transportasi antar/kirim yang bervariasi tergantung jarak dari kios ke rumah petani. (9) Pada penyaluran subsidi pupuk, awalnya didahului oleh kegiatan penyusunan RDKK hingga petani atau kelompok tani memperoleh pupuk bersubsidi. Adapun tahapannya, yaitu: (1) Penyusunan RDKK; (2) Pengiriman RDKK; (3) Penyaluran pupuk; dan (4) Penerimaan pupuk oleh petani. Pada lokasi penelitian terdapat beberapa indikasi terjadinya kekurangan/kelangkaan pupuk sebagai akibat: (1) alokasi pupuk dari pusat biasanya kurang 10-20% dari usulan kebutuhan, (2) petani membeli tidak sesuai dengan alokasi pada RDKK yang sudah diusulkan, (3) terdapat beberapa kios yang menjual pupuk tidak memperhatikan alokasi RDKK, (4) terdapat pemilik lahan yang memiliki lahan diatas 2 ha, namun membeli pupuk bersubsidi, (5) beberapa komoditas di luar tanaman pangan sebagian tidak direncanakan masuk ke dalam RDKK, dan (6) terdapatnya gangguan transportasi pupuk dari produsen hingga pengecer. (10) Pada beberapa lokasi kajian yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Lampung diperoleh hasil analisis yaitu: (a) Pada aspek tepat jumlah, sekitar 90-100% petani menyatakan realisasi jumlah pupuk yang diterimanya hampir sesuai usulan kebutuhan atau dipandang masih sangat efektif dalam penyalurannya; (b) Pada aspek tepat waktu, dimana sekitar 80-100% petani menyatakan pupuk tersedia/ada ketika dibutuhkannya; (c) Untuk aspek tepat harga, dimana sekitar 90% petani menyatakan bahwa pupuk bersubsidi di lokasi penelitian dibeli sesuai HET; (d) Untuk aspek tepat tempat, dimana sekitar 90% petani menyatakan distribusi pupuk bersubsidi sesuai tempat yang telah ditentukan atau dikehendaki petani; (e) Untuk aspek kualitas, dimana 1

seluruh petani (100%) membeli pupuk dari kios resmi melalui mekanisme usulan RDKK yang terjamin kualitasnya, dan tidak ada pupuk palsu. Perspektif Perubahan Pola Subsidi Pupuk Tidak Langsung ke arah Subsidi Langsung Melalui Kartu Tani (11) Sejak tahun 2016, pemerintah tengah melakukan uji coba perbaikan subsidi pupuk melalui mekanisme kartu tani. Selain sebagai sarana penyaluran pupuk bersubsidi, kartu tani juga menjadi upaya dalam pendataan petani, sebagai kartu penebusan sarana produksi pertanian, kartu penerima pinjaman, bantuan dan tabungan, dan juga bisa berfungsi sebagai kartu penjualan hasil panen. Salah satu persyaratan untuk mendapatkan kartu tani adalah petani pemilik/petani penggarap dengan luas garapan tidak lebih dari dua hektar. Sekarang masih dilakukan tahap uji coba dan ditargetkan pada 2019 kartu tani bisa digunakan. (12) Adapun kegiatan ujicoba kartu tani oleh Kementerian Pertanian di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan di Kabupaten Indramayu, di Provinsi Jawa Tengah dilaksanakan di Kabupaten Batang, di Provinsi Jawa Timur dilaksanakan di Kabupaten Bojonegoro, dan di Provinsi NTB dilaksanakan di Kabupaten Lombok Tengah. Untuk program billing system dilaksanakan di Provinsi Lampung yaitu di Kabupaten Lampung Selatan (13) Khusus di lokasi penelitian Provinsi Jawa Barat, ujicoba dilakukan dengan memberikan kartu tani kepada para petani yang datanya sudah terpadankan yaitu petani yang namanya terdaftar di RDKK. Terkait uji coba tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang harus mendapat perhatian, diantaranya: (1) Terkait aturan alokasi pupuk di tingkat provinsi dan kabupaten untuk subsektor; (2) Kesiapan atas sumberdaya manusia (SDM) di masing-masing level (distributor, kios, dan kelompok tani); (3) Infrastruktur, sistem komputer yang terintegrasi dengan mesin EDC (Electronic Data Capture); dan (4) Data pola penguasaan lahan garapan. (14) Di Provinsi Jawa Tengah, untuk penerapan kartu tani kegiatan input data telah dilakukan pada Sistim Informasi Manajemen Pangan Indonesia (SIMPI). Beberapa informasi/jenis data dari petani yang dibutuhkan yaitu: nama, identitas Nomor Induk kependudukan (NIK), luas lahan milik dan atau garapan, serta data kebutuhan pupuk per petani per sub sektor yang dapat pupuk bersubsidi. Adapun permasalahan yang dihadapi terkait penerapan Kartu Tani antara lain: (1) sistem yang didesain pada SIMPI masih bersifat kaku, kurang bisa mengakomodir secara cepat jika terjadi realokasi kebutuhan pupuk, (2) kondisi sinyal antara wilayah kota dan desa relatif tidak sama, (3) kesulitan petani untuk melakukan aktivitas menabung untuk membeli pupuk, dan (4) kesulitan petani untuk mengingat 6 digit PIN yang diberikan pihak bank. (15) Di Jawa Timur, kemajuan program Kartu tani masih pada tahap memasukan data dengan target penyelesaiannya tahun 2017. Adapun permasalahan lambatnya serta belum tercetaknya Kartu Tani antara lain disebabkan oleh: (1) validitas data petani, (2) usia petani yang umumnya sudah tua sehingga respon terhadap pemilikan KTP dan atau Kartu tani relatif lambat, (3) masalah teknis lainnya: infrastruktur dan dukungan SDM pelaksana. Kendala yang 2

dihadapi terkait implementasi Kartu Tani di Jawa Timur: (1) masalah pendataan petani terkait NIK dan usia petani yang sudah tua, (2) masalah infrastruktur pada lokasi yang remote, misalnya terkait seperti sinyal EDC, SDM aparatur, (3) masalah realokasi pupuk yang semula relatif bebas antar wilayah, dan (4) persoalan terkait kepemilikan dan garapan lahan yang lebih dari 2 hektar baik dari milik, sewa, garap lahan hutan maupun lahan desa. (16) Pada Provinsi Nusa Tenggara Barat, posisi kesiapan kartu tani di Kecamatan Praya Timur masih dalam tahap proses pembenahan data, sementara pencetakan Kartu Tani masih sangat terbatas. Kegiatan sosialisasi dan uji coba masih terus dilakukan. Lambatnya perkembangan penerapan kartu tani di NTB disebabkan terdapatnya permasalahan validasi data nama petani yang ada di SIMLUHTAN, Disdukcapil dan RDKK yang masih memerlukan upaya yang sangat berat. Hal ini terjadi karena nama petani yang ditulis pada daftar anggota kelompoktani, pada KTP dan dokumen lain tidak konsisten. (17) Pada Provinsi Lampung dalam rangka meningkatkan kinerja sistem distribusi pupuk bersubsidi telah melakukan adopsi sistim kartu tani dengan modifikasi tertentu yakni melalui billing system. Mekanisme billing system dibangun yaitu: (1) ditujukan khusus untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas distribusi pupuk bersubsidi, (2) unit terkecil yang melakukan transaksi pupuk adalah kelompok tani, dan (3) aksesibilitas informasi kinerja pupuk (penyerapan, sisa kuota, besaran kuota dll) dengan menggunakan basis website (WEB). Pada billing system ini masih ada peluang kebocoran penggunaan pupuk yang akan terjadi saat: (1) petani menjual sebagian dari jatah pupuknya kepada petani lain yang belum masuk kedalam anggota kelompok, dan (2) bagi kelompoktani yang memiliki modal kuat, maka dapat menebus pupuk sekaligus untuk semua satu musim. Kelompok tani yang bisa menjadi penerima pupuk bersubsidi sudah terregristrasi dan tervalidasi berdasarkan data SIMLUHTAN. Registrasi dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten setempat. Dampak Perubahan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan Pupuk dan Peningkatan Produksi Tanaman Pangan (18) Hasil analisis menunjukan bahwa peubah selisih harga pupuk internasional (harga keekonomian) dan HET yang mencerminkan nilai subsidi baik pada pupuk urea maupun SP-36/TSP berpengaruh nyata masing-masing terhadap terhadap penggunaan pupuk urea dan SP-36/TSP. Untuk setiap kenaikan 10% besaran nilai subsidi harga (Rp/Kg) untuk pupuk Urea dan SP-36/TSP maka akan meningkatkan penggunaan pupuk Urea dan SP-36/TSP masing-masing sebesar 0,494% dan 0,122%. Seperti diketahui bahwa HET pupuk Urea pada tahun 2016 sebesar Rp 1.800/Kg, dan harga dunia (keekonomian) mencapai Rp 5.035/Kg, berarti terdapat subsidi harga sebesar Rp 3.255/Kg. Adapun HET pupuk SP-36/TSP sebesar Rp 2.000/Kg, dan harga dunia (keekonomian) mencapai Rp 5.500-6000/Kg, yang berarti terdapat subsidi harga berkisar antara Rp 3.500/Kg- Rp 4.000/Kg. Dengan analisis ini, dapat dikemukakan bahwa jika terdapat kebijakan penurunan subsidi pupuk yang mengakibatkan harga pupuk Urea dan SP-36/TSP bersubsidi misalnya mengalami penurunan sebesar 10%, maka akan menurunkan penggunaan pupuk tersebut masingmasing sebesar 0,494% dan 0,122%. 3

(19) Hasil analisis menunjukan bahwa peubah harga pupuk Urea dan SP-36/TSP berpengaruh negatif terhadap produktivitas padi. Jika terdapat kenaikan harga Urea dan SP-36/TSP masing-masing sebesar 10% maka akan menurunkan produktivitas padi masing-masing sebesar 0,145% dan 0,149%. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pada tingkat produktivitas padi nasional yang dicapai pada tahun 2016 jika terdapat kebijakan penurunan subsidi pupuk yang mengakibatkan harga pupuk Urea dan SP-36, misalnya naik sebesar 10%, maka akan menurunkan produktivitas padi masing-masing sebesar 7,63 Kg/ha dan 7,84 Kg/ha. Jika pada tahun 2016 terdapat luasan panen sebesar 15,045 juta, maka jika terjadi: 1) kenaikan harga Urea sebesar 10%, maka akan menurunkan produksi padi sebesar 114,793 ribu ton; dan 2) kenaikan harga SP-36 sebesar 10%, akan menurunkan produksi padi sebesar 117,953 ribu ton. IMPLIKASI KEBIJAKAN Review Kebijakan Subsidi Pupuk (20) Terkait dengan mekanisme distribusi pupuk bersubsidi, maka utamanya diharapkan akan lebih menjamin dari aspek ketersediaannya dibanding aspek lainnya. Untuk itu, diperlukan upaya perbaikan terkait beberapa hal berikut yaitu: (1) Sistem Rayonisasi wilayah pemasaran yang menjamin distribusi pupuk secara lancar; (2) Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten hingga pengecer secara terkoordinasi, dan (3) Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat agar distribusi pupuk efektif dan efisien. (21) Terkait dengan kebijakan subsidi pupuk, maka terdapat beberapa hal penting perbaikan yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan kedepan, yaitu: (1) Adanya perubahan pola pengusulan jumlah pupuk dari sistem RDKK manual ke e-rdkk dan Sistem Informasi Manajemen yang lebih baik; (2) Terdapatnya dukungan penuh dari pemerintah daerah dalam pelaksanaan Kartu Tani. (22) Dalam upaya meningkatkan efisiensi distribusi dan peningkatan ketersediaan pupuk di tingkat petani, pola dan pendekatan billing system yang dilakukan di Provinsi Lampung bisa saja dijadikan referensi dengan modifikasi sesuai kebutuhan dan spesifik lokasi mendukung program Kartu Tani (KT). Perkembangan Harga Pupuk di Tingkat Petani dan Pola Distribusinya (23) Pembelian pupuk sesuai Harga Eceran tertinggi dapat dilakukan oleh petani terhadap kios/pengecer resmi atau kelompoktani yang bertindak sebagai pengecer resmi. Dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan peningkatan program lainnya, maka kebijakan penyesuaian harga pupuk dimana sejak kurun waktu 2003-2016 yang cenderung tetap perlu dipertimbangkan, agar pemerintah juga memiliki pilihan lain untuk alokasi subsidi untuk bidang lainnya di sektor pertanian. (24) Perbaikan sistem distribusi pupuk diharapkan dapat memberi jaminan enam tepat yaitu tepat jumlah, tepat jenis, tepat harga, tepat waktu, tepat mutu, dan tepat kualitas. Dengan demikian, ada kepastian petani memperoleh pupuk bersubsidi yang telah dialokasikan. 4

Perspektif Perubahan Pola Subsidi Pupuk Tidak Langsung ke arah Subsidi Langsung melaui Kartu Tani (25) Dalam perubahan sistim pemberian subsidi pupuk dari tidak langsung menjadi langsung kepada petani melalui penerapan Kartu Tani, maka terdapat beberapa hal yang harus diantisipasi, diantaranya adalah: (1) Data petani yang lengkap sesuai kebutuhan, (2) Keseragaman infrastruktur perbankan sebagai penerbit Kartu Tani, (3) Kesiapan kios dan distributor pupuk yang ditunjuk, (4) Dukungan SDM yang memadai, terutama petugas untuk memverifikasi data erdkk, (5) Data dinamika sistim garapan di daerah, (6) Pengawasan penerapan subsidi pupuk langsung kepada petani, yaitu melalui penggunaan kartu tani, dan (7) infrastruktur pendukung, seperti jaringan telepon/internet dan sinyal internet. (26) Penggunaan Kartu Tani selain menjamin distribusi bersubsidi menjadi lebih tepat sasaran, juga ke depan dapat digunakan untuk penyaluran program pemerintah misalnya untuk program: benih bersubsidi, Kredit Usaha Rakyat (KUR), asuransi pertanian dan serta program lainnya. Selain itu, kartu tersebut bisa juga berfungsi sebagai kartu penjualan hasil panen. (27) Dalam konteks pelaksanaan perbaikan sistem distribusi pupuk melalui Kartu Tani, maka terdapat beberapa saran pemikiran kedepan antara lain: (1) Perlunya dibentuk tim khusus seperti halnya pada program UPSUS Pajale; (2) Perlunya sosialisasi agar penerapan Kartu Tani bisa lebih cepat; (3) Perlunya landasan hukum yang jelas, sehingga pelaksanaannya bisa cepat dan sistematis; dan (4) Hendaknya dilaksanakan secara bertahap, serta matangnya system programming khususnya yang terkait dengan perbankan. (28) Terkait dengan kebijakan perubahan subsidi pupuk, maka pola billing system memiliki tingkat penerapan yang cukup tinggi dibanding dengan sistem Kartu Tani pada lokasi ujicoba di Provinsi lokasi penelitian. Karena pada billing system prakteknya lebih sederhana dibanding Kartu Tani, karena unit terkecil basis program pada billing system adalah kelompoktani bukan individu petani. Dampak Perubahan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan Pupuk dan Peningkatan Produksi Tanaman Pangan (29) Subsidi input pertanian khususnya pupuk masih diperlukan oleh petani, sehingga yang perlu diperbaiki adalah mekanisme pemberian dan target yang jelas agar efektivitas dan efisiensi pengeluaran subsidi tersebut tercapai. Hasil analisis menunjukan bahwa perubahan subsidi pupuk berpengaruh terhadap penggunaan pupuk dan selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan produksi pangan nasional. Terdapatnya upaya mengurangi subsidi pupuk perlu disikapi dengan seksama agar tidak drastis dan perlu dilakukan secara bertahap. Seiring dengan itu, pengurangan subsidi tentu perlu dikompensasi dengan peningkatan program prasarana atau infrastruktur usahatani. (30) Saat ini, pemerintah melakukan subsidi pupuk ke produsen pupuk, dan harga jual pupuk yang disubsidi dijual dengan HET (Harga Eceran Tertinggi) di level kios/pengecer. Dengan kondisi secara dominan (80%) petani Indonesia adalah merupakan petani kecil dengan kemampuan permodalan yang lemah, maka jika terjadi kenaikan harga input termasuk pupuk akan mempengaruhi 5

kemampuan petani terhadap pembelian input pupuk tersebut. Akibatnya penurunan volume pupuk yang dibeli akan berdampak terhadap produktivitas padi yang dihasilkannya. Oleh karena itu, upaya dukungan permodalan usahatani menjadi sarana penting bagi peningkatan usahatani ke depan. 6