EXECUTIVE SUMMARY ISLAM SYARI AT DAN ISLAM MA RIFAT DI HATUHAHA, KECAMATAN HARUKU, MALUKU TENGAH I slam dengan dengan berbagai pemahaman maupun polanya yang masuk di berbagai wilayah Nusantara sejak abad ke-8 M. telah mempengaruhi bentuk praktik beragama Islam saat ini. Ada dua pola penerimaan Islam di Nusantara yaitu, pola integrasi dan dialog. Para ulama memadukan ajaran Islam dengan nilai dan tradisi setempat secara damai namun tetap dinamis yang disebut kontekstualisasi. Relasi antara Islam dengan tradisi atau kontekstualisasi itu terjadi dalam bentuk penyesuaian nilainilai yang melahirkan nilai baru hasil perpaduan tersebut. Keberhasilan kontekstualisasi ini dalam konteks Jawa menghasilkan masyarakat Islam Santri (taat syari at) dan masyarakat Islam Abangan (tidak taat syari at) tetapi samasama menghargai dan melaksanakan tradisi Islam. Di Hatuhaha, Islamisasi tidak dapat disebut kontekstualisasi, sebab seluruh tradisi keagamaan berakar dari Islam, bukan hasil kontekstualisasi. Islamisasi di Hatuhaha menghasilkan varian muslim Syari at (taat syari at) dan varian muslim Ma rifat (didominasi ajaran sufi dan tarekat). Tradisi keagamaannya sangat kental dengan tasawuf, magis dan sangat dipengaruhi Ahlulbait. Dalam kajian tasawuf, tahapan maqam spiritual Islam ada empat, yaitu syari at, tarekat, hakekat dan ma rifat, yang ~ 1 ~
tidak dapat dipisahkan. Transformasi muslim syari at kepada muslim ma rifat menghadapi masalah. Akhirnya muncullah konflik antara orang Islam syari at (OIS) dan orang Islam ma rifat (OIM) yang menyebabkan OIS terusir dan direlokasi di wilayah yang disebut kampung satelit Ori di tahun 1930- an. Akibat perbedaan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal OIM pecah menjadi 2 yaitu Orang islam Muka (OI-Muka) dan Orang Islam Belakang (OIB) dan terjadi konflik sejak 1980-an. OIB menyatakan jika 1 Ramadan dan 1 Syawal mengikuti pemerintah, berarti puasa masih di bulan Sya ban dan shalat Idzul Fitri masih di bulan Ramadhan. Jadi keduanya masih di hari kegelapan, karena dalam tradisi hitungan di Hatuhaha (hisab), belum jelas kemunculan bulanya, untuk dapat puasa Ramadan atau Idzul Fitri, yang berarti tidak dijinkan oleh para ruh Auliya penguasa dunia ghaib Hatuhaha. Islam ma rifat yang dipilih masyarakat Hatuhaha dan konflik berdarah antara OIM dan OIB sejak tahun 1980-an dan yang paling besar adalah konflik di tahun 2012 ini penting untuk dikaji, karena tidak masuk akal, bahwa ada sekelompok umat dengan mudah memilih tahapan maqam spiritual ma rifat tanpa syari at dan hanya perbedaan penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dapat saling menghancurkan, banyak yang tewas, luka-luka dan saling membakar rumah, rumah Soa (mata rumah) yang sama-sama mereka hormati. Bagaimana sesungguhnya Islam dipahami masyarakat Uli Hatuhaha, dan mengapa ma rifat tanpa syari at dan harus terjadi konflik berdarah. Atas dasar itulah, ~ 2 ~
Puslitbang Kehidupan Keagamaan merasa perlu melakukan kajian, hingga diketahui masalah keagamaan yang mendasari pilihannya sebagai muslim ma rifat dan konflik antar komunitas yang sama-sama muslim ma rifat dan bersaudara itu yang rumahnyapun hampir tanpa sekat itu. Untuk menjawab masalah itu, maka yang digali adalah bagaimana Islam dipahami komunitas muslim Hatuhaha, sehingga ruang lingkupnya adalah pokok ajaran dan sumbernya, ritual dan tradisi keagamaan, aktifitas keagamaan, cara mempertahankan eksistensinya, masa depan ajaran yang dipahami muslim Hatuhaha, interaksi antar tokoh, dan pemicu konflik horizontal. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus dengan model penggalian data kajian pustaka, observasi, dan wawancara mendalam. Dari penelitian dapat ditemukan kesimpulan 1. Pemeluk agama Islam di Hatuhaha dapat dibelah menjadi 3, yaitu orang Islam syari at (OIS) dan orang Islam ma rifat (OIM). Sementara OIM juga dapat dibelah menjadi dua, yaitu orang Islam muka (OI-muka) dan orang Islam belakang (OIB). 2. Ciri khas kelompok Islam syari at (OIS) adalah taat dengan ajaran Islam apapun yang tersurat dalam al Qur an dan as Sunnah. Mereka melaksanakan rukun iman dan rukun Islam yang sama dengan umat islam Indonesia umumnya. OIS juga menjalankan tradisi keagamaan ~ 3 ~
seperti upacara daur hidup mirip yang dilakukan kaum Nahdiyin. OIS tidak menjalankan sebagian besar tradisi yang di lakukan oleh OIM. Islam syari at dianut oleh masyarakat pesisir negeri Pelau (masyarakat keturunan Buton), masyarakat Kampung Ori, seluruh masyarakat Negeri Kailolo, sebagian masyarakat Negeri Kebau dan sedikit masyarakat Negeri Rohomoni. Di luar itu hampir separuhnya memilih jalan Islam ma rifat. 3. Ciri khas muslim ma rifat (OIM), baik yang OI-muka maupun OIB, memandang bahwa beragama Islam itu ada empat jalan, yaitu Islam syari at, Islam tarekat, Islam hakekat, dan Islam ma rifat. Pilihannya adalah jalan ma rifat. Konsekuensinya adalah, OIM tidak menjalankan syari at seperti kelompok OIS, tapi sebagian OI- Muka sudah melaksanakan syari at seperti OIS. Sementara OIB memang tidak atau belum menjalani syari at, karena pilihanya terhadap Islam ma rifat. OI-Muka ini dianut sebagian besar masyarakat negeri Pelau, Kabau dan Rohomoni. Hanya sedikit saja masyarakat Kailolo yang masih menganut Islam ma rifat. 4. Bedanya, tradisi ini oleh muslim Hatuhaha baik dari OIS maupun OIM diyakini berasal dari tradisi Syi ah, bukan dari Hindu seperti diyakini di Jawa misalnya, karena dalam agama di Hindu tidak ada tradisi seperti itu, yang ada adalah tradisi Ngaben. 5. Akibat perbedaan itu telah terjadi konflik besar intern Islam di Hatuhaha sebanyak 2 kali yaitu; ~ 4 ~
a. Konflik pertama adalah tersingkirnya komunitas Islam syari at (OIS) oleh komunitas masyarakat Islam ma rifat (OIM) di tahun 1930-an ke kampung satelit Ori, karena masyarakat Pelau waktu itu masih didominasi muslim ma rifat (OIM) tidak mau hidup berdampingan dengan muslim syari at. b. Konflik kedua adalah konflik kecil-kecilan mulai terjadi sejak tahun 1980-an dan kemudian menjadi konflik horizontal yang dahsyat di tahun 2012, dan masih terjadi lagi konflik kecil-kecilan di tahun 2015 ini. Dalam konflik di tahun 2012 telah membumihangsukan sekitar 500 rumah, 35 rumah soa (mata rumah) yang sama-sama mereka sakralkan dan hormati, puluhan orang tewas dan luka-luka berat maupun ringan. Dari OIB ini sebanyak hampir 3.500 jiwa harus mengungsi ke berbagai negeri tetangga atau wilayah Maluku lainya dan entah kapan bisa kembali hingga hari ini. 6. Penyebab konfliknya adalah penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal oleh Raja (OI-muka) dan pengikutnya mengikuti penetapan pemerintah. Sementara Orang Islam Belakang (OIB) yang umumnya dipelopori kaum intelektual Pelau, malah menghendaki menggunakan hisapnya para opu yang sudah mentradisi ratusan tahun. Biasanya 1 Ramadhan dan 1 Syawal 3 atau 4 hari setelah OIS dan OIM berpuasa dan berlebaran. ~ 5 ~
7. Dari eksplorasi data dan informasi berkaitan dengan kehidupan keagamaan kaum muslim di Hatuhaha, kiranya dapat diperediksikan bahwa pertarungan wacana keagamaan di masa depan akan dimenangkan oleh Islam syari at. Penyebanya sangat logis, yaitu a. Anak-anak Hatuhaha semakin banyak yang meneruskan pendidikan di luar Haruku (di IAIN, UIN, STAIN, atau universitas negeri maupun swasta di Ambon, Jawa, Sulawesi dan sebagainya). b. Berdirinya banyak TPA di Pelau atas, pesisir dan semakin banyaknya orang Islam Muka (OI-muka) yang berubah haluan menjadi OIS, bahkan beberapa diantaranya menjadi tokohnya. c. Jika memang ma rifat sudah menjadi pilihan, mana mungkin mereka bis saling membumihnaguskan perumuhan, rumah-rumah Soa, membunuh tetangga dan saudaranya itu. Jadi ma rifatnya di mana? d. Shalatnya hanya pada hari jum at dan perempuan tidak boleh shalat dan sebagainya semakin sulit dipahami anak-anak muda berpendidikan agama tinggi, karena setiap insan akan bertanggungjawab atas amal perbuatanya sendiri, tidak ada istilah suarga nunut neraka katut. Rekomendasi Dari kesimpulan di atas, maka rekomendasi yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut ~ 6 ~
1. Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah hendaknya melakukan mediasi untuk mengembalikan pengungsi kalangan Islam Belakang yang sudah empat tahun tinggal di pengungsian. 2. Kementerian Agama Kabupaten Maluku Tengah sebaiknya melakukan mediasi terus menerus berkaitan dengan wacana keagamaan antara OIS dan OIM, dan mendorong kehidupan beragama yang lebih baik sesuai ajaran agama Islam. 3. Kementerian Agama Wilayah/Kabupaten bekerjasama dengan Ormas keagamaan setempat untuk melakukan pembinaan kepada kedua belah pihak agar menyadari bahwa berma rifat harus melalui syari at ~ 7 ~