BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengalaman terbaik bagi siswa sehingga membuat siswa-siswanya merasa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan kehidupannya. Sekolah dipandang dapat memenuhi beberapa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam. Tak seorang pun bisa terhindarkan dari stres.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Helmi Rahmat, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena stres sekolah akhir-akhir ini meningkat intensitasnya pada siswasiswa

PEDOMAN WAWANCARA DAN OBSERVASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di masyarakat. Mahasiswa minimal harus menempuh tujuh semester untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

ITEM KECEMASAN WANITA MENGHADAPI MENOPAUSE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk belajar bagi setiap individu dengan mengembangkan dan mengasah keterampilan

Lampiran 1 Hasil uji reliabilitas variabel kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai, kemandirian total, penyesuaian diri, dan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya pada program strata satu (Kamus

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pengaruh besar pada perkembangan personal sosial anak.masuk

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA LANSIA MUSLIM NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jiwa, kepribadian serta mental yang sehat dan kuat. Selayaknya pula seorang

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP DOSEN PEMBIMBING DENGAN TINGKAT STRESS DALAM MENULIS SKRIPSI

#### SELAMAT MENGERJAKAN ####

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

2015 EFEKTIVITAS PROBLEM FOCUSED COPING DALAM MEREDUKSI STRES AKADEMIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu sumber penyebab kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Cita-cita untuk

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh karyawan lebih dari sekedar kegiatan yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

BAB I PENDAHULUAN. belajar sesungguhnya tidak ada pendidikan. Demikian pentingnya arti belajar,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahap perkembangannya, seperti pada tahap remaja.

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu di dunia ini melewati fase-fase perkembangan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia, sama seperti halnya dengan semua binatang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. prasarana, fisik sekolah, kualitas guru, pemutakhiran kurikulum,dan juga tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan yang memberi manfaat

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Perasaan tenang dan tentram merupakan keinginan yang ada dalam diri setiap

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Dalam pendidikan formal dan non- formal proses belajar menjadi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat, karena banyakdari kaum laki-laki maupun perempuan, tua

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

para1). BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera,

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk evaluasi yang sering di laksanakan oleh guru di sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bila dihadapkan pada hal-hal yang baru maupun adanya sebuah konflik.

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu interaksi atau hubungan timbal

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN PADA TEMAN SEBAYA DENGAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perusahaan yang tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia, sehingga

KUESIONER. Hubungan Beban Kerja dengan Stres Kerja Perawat Di IGD RSAB Harapan Kita

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB III ASSESSMENT DAN DIAGNOSA PSIKOLOGIS PADA REMAJA YANG HAMIL DI LUAR NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DAN KECERDASAN RUHANIAH DENGAN KECENDERUNGAN POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA TNI AU DI LANUD ISWAHJUDI MADIUN.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Secara psikologis masa remaja dikatakan sudah mencapai masa remaja

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEPRESI PASCA MELAHIRKAN PADA KELAHIRAN ANAK PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB IV HASL PENELITIAN DAN PEMBAHASN. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan diperoleh gambaran kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. perkembangan pada masa dewasa akhir. Kehidupan pada fase perkembangan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah yang baik adalah sekolah yang diharapkan mampu memberikan pengalaman terbaik bagi siswa sehingga membuat siswa-siswanya merasa sejahtera secara fisik maupun psikologis (well-being) karena kesejahteraan siswa mempengaruhi hampir seluruh aspek bagi optimalisasi fungsi siswa di sekolah (Smith. dkk, 2010). Well-being sering diartikan para peneliti sering sebagai sejahtera (Hartanti, 2010). Perasaan tenang dan tentram merupakan keinginan yang ada dalam individu setiap orang. Perasaan sejahtera secara psikologis menjadi salah satu hal yang memberikan dampak perasaan bahagia dan puas menjalani hidup dalam diri seseorang siswa di sekolah, kesejahteraan atau well being terdiri dari kepuasan hidup dan juga perasaaan yang positif seperti rasa senang, gembira dan puas (Headey dan Wooden, 2004). Seseorang yang ingin memiliki kualitas hidup yang baik idealnya juga memiliki kesejahteraan psikologis yang baik pula dalam dirinya. Menurut Ryff (1989) kesejahteraan psikologis atau psychological well being adalah sebuah istilah yang dapat digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu sesuai dengan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan seseorang siswa di sekolah menjadi sebuah unsur yang penting dalam melihat seberapa tinggi kesejahteraan psikologis seseorang siswa. 1

2 Salah satu lingkungan sosial yang berpengaruh bagi remaja adalah sekolah yang merupakan elemen penting dalam proses perkembangan individu karena berfungsi pemilihan karir di masa mendatang (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009) dan merupakan sarana pembelajaran mengenai pengetahuan tentang peran sosial dan batasan norma (Holander dalam Nantiasa, 2011). Di sisi lain, mengacu pada Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) yang dijadikan rujukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dalam mengevaluasi penyelenggaraan fungsi dan peran sekolah di Indonesia telah merekomendasikan adanya parameter kualitatif dalam evaluasi seperti di Inggris dan Wales, yaitu berupa aspek spiritual, moral, sosial budaya, dan kontribusi sekolah dalam pengembangan well being siswa (Faubert, 2009 dalam Nantiasa, 2011). Psychological well being atau kesejahteraan psikologis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi psikologis individu yang sehat ditandai dengan berfungsinya dimensi psikologis positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. Proses pengaktualisasi diri pada individu merupakan suatu potensi yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup atau yang disebut dengan kesejahteraan psikologis (Ryff, 1995). Ryff (1995) juga menambahkan bahwa individu yang kesejahteraan psikologisnya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya baik pada masa kini maupun masa lalu.

3 Penelitian Gusniati (2002) terhadap siswa SMU Plus Jakarta, juga menemukan adanya fenomena stres yang dialami siswa di sekolah. Sekitar 40,74% siswa merasa terbebani dengan keharusan mempertahankan peringkat sekolah, 62,96% siswa merasa cemas menghadapi ujian semester, 82,72% siswa merasa bingung menyelesaikan PR yang terlalu banyak dan 50,62% siswa merasa letih mengikuti perpanjangan waktu belajar di sekolah. Fenomena yang tak kalah menariknya adalah riset yang dilakukan Pranardji dan Nurlaela (2009), dilaporkan bahwa gejala stres yang sering kali dialami oleh anak sibuk adalah jantung berdebar kencang dan keras (46,7%) merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan kegiatan (43,3%) dan merasa sangat lemas, lesu, tidak memiliki tenaga (43,3%) mimpi buruk (33,3%) merasa sedih sekali dan ingin menangis (30,0%) merasa pegal-pegal pada leher, punggung, bahu (23,3%) merasa bingung, takut bila bertemu dengan orang lain (20,0%) merasa tidak tenang, tegang, cemas, terancam (20,0%) sering menjatuhkan, memecahkan barang, tersandung, atau terjatuh (20,0%) mengalami sulit tidur atau tidak dapat tidur nyenyak seperti biasanya (16,7%) merasa tidak memiliki harapan/putus asa (16,7%) merasa dipaksa dengan sangat oleh orang lain (tertekan) (16,7%) merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas (6,7%) mengalami perubahan nafsu makan (6,7%) dan merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab (6,7%). Hasil penelitian Putwain, (2008) menunjukkan bahwa 13% dari siswa di Inggris mengalami tingkat stres yang tinggi berhubungan dengan kecemasan yang melemahkan kesehatan, emosional dan efek dari tuntutan nilai akademis.

4 Penelitian yang dilakukan Al-Gelban (2007) di Saudi menunjukkan remaja laki-laki Saudi (38,2%) memiliki depresi, sedangkan 48,9% memiliki kecemasan dan 35,5% mengalami stres. Menurut Chavan (2009) siswa sekolah di kota Chandigarh India memiliki tingkat stres yang tinggi. Dari 2.402 siswa, 1.078 (45,8%) memiliki masalah psikologis, setengah (1.201 siswa) masalah yang dirasakan dalam peran mereka sebagai mahasiswa, 930 (45%) melaporkan penurunan akademik, 180 (8,82%) siswa melaporkan bahwa hidup adalah beban, 122 (6%) melaporkan ide bunuh diri dan 8 (0,39%) siswa dilaporkan bunuh diri. Fenomena lain seperti perilaku membolos di kalangan pelajar kiranya bukan hal yang baru bagi setiap siswa di sekolah. Tidak hanya terjadi pada siswa putera, siswa puteri pun juga kerap melakukan kegiatan ini. Ada yang melakukannya secara pribadi, tetapi cukup banyak juga yang melakukannya secara berkelompok, (www.google.co.id). Seolah-olah keadaan ini menjadi sebuah fenomena yang turun-temurun yang menyerupai lingkaran setan, yang tidak diketahui kapan akan berakhirnya. Fenomena membolos yang dilakukan para siswa di sekolah dapat dipahami sebagai tindakan perilaku salah atau tidak sesuai. Tindakan siswa tersebut dianggapnya kurang sejahtera dimana siswa menyelesaikan masalahnya melalui jalan pintas yang menurutnya sebagai solusi terbaik atas masalah yang dialami. Bagi pihak sekolah, tentu tindakan ini telah melanggar peraturan atau tata tertib yang berlaku. Menurut subjek yang berinisial I.K berjenis kelamin laki-laki berusia ± 15 tahun menyatakan: banyak siswa-siswi yang kesulitan memahami mata pelajaran sekolah, terutama mata pelajaran bahasa Inggris dan Matematika sehingga

5 mengganggu dalam meraih prestasi di sekolah. Subjek juga menyatakan kurangnya menjalin interaksi sosial antar siswa-siswi lainnya di sekolah membuat siswa tidak memahami satu sama lain yang membuat siswa satu dengan siswa lainnya kurang akur. Subjek yang berinisial R siswi SMA yang berumur ± 14 tahun menyatakan bahwa subjek mengalami masalah akademik dengan gejala sering pusing ketika mendengarkan materi di kelas, sering tidak mengerjakan PR, sering terlambat datang ke sekolah, mudah marah, prestasi buruk, dan merasa putus asa dengan masa depannya. Alasan-alasan tersebut yang membuat R teridikasi mengalami stress secara psikologis, dan menunjukan bahwa subjek memiliki kejahteraan yang rendah. Hasil wawancara dengan T (15 tahun) siswa SMP Muhamadiyah di Surakarta menyatakan bahwa subjek sekolah sambil bekerja membuat T terbebani karena terkadang sulit membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Lebih lanjut T mengungkap beban tersebut karena rasa lelah baik secara fisik karena pada pagi hari harus bekerja mengupas rajungan dan siang hari harus sekolah karena harus turut membantu keuangan keluarga yang kekurangan. T terkadang merasa iri dengan teman sebaya yang dapat bersekolah di SMP Reguler dan T kadang iri juga ingin dapat bermain seperti teman-teman seusianya, akan tetapi hal tersebut tidak mungkin karena waktu T habis untuk sekolah dan bekerja. Pernyataan siswa lainnya berinisial S.I menyatakan banyak siswa sekolah yang bolos karena tidak mau mengikuti mata pelajaran tertentu yang tidak disukainya, tidak suka pada salah satu guru, atau membolos karena diajak atau

6 mengikuti teman. Siswa malas mengerjakan tugas, mencontek atau mencari jalan pintas dalam mengerjakan tugas. Gejala stress lain seperti prestasi menurun, malas, cemas atau gelisah ketika menghadapi ujian dan tugas yang banyak, sulit berkonsentrasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis siswa rendah atau belum tercapainya kesejahteraan psikologis, seperti siswa yang menyatakan mengalami masalah akademik, mudah marah, prestasi buruk, banyak siswa yang membolos, tidak mengikuti mata pelajaran, malas mengerjakan tugas dan ada siswa yang sekolah sambil bekerja karena harus membantu orang tua. Kesejahteraan psikologis mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal yang meliputi fungsi dari otonomi diri, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan (Ryff, 1989). Dari faktor-faktor tersebut siswa merasa kurang bahagia dan kurang puas dengan hidunya. Konsepsi sejahtera psikologis mengacu pada evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap kehidupan siswa (Dienner, 2000). Siswa menginginkan kesejahteraan psikologis, seperti keadaan emosi yang positif yang diakibatkan oleh kecocokan antara faktor-faktor dengan kebutuhan personal siswa dan harapan terhadap sekolah. Siswa menginginkan kesejahteraan psikologis sebagai sikap, suasana hati, kesehatan, resiliensi, hidup tenang dan kepuasan siswa terhadap diri sendiri serta hubungan dengan orang lain dan pengalaman di sekolah (Noble.T, dkk, 2008). Kesejahteraan psikologis tidak didapat begitu saja dalam hidup, tetapi didapat dari bagaimana individu itu sendiri melakukan berbagai hal untuk

7 mendapatkannya. Kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: demografis (usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi (Ryff & Singer, 1996)), religiusitas (Comptom, 2005), kepribadian (Keyes, dkk. 2002), dan dukungan sosial (Ryff dalam Sari, 2010). Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata religiusitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Menurut Susilaningsih (dalam Okdinata, 2009) religiusitas atau keberagaman adalah kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai-nilai agama semenjak usia dini. Religiusitas akan terbentuk menjadi nilai pada akhir usia anak dan berfungsi pada awal remaja. Kristal nilai yang terbentuk akan berfungsi menjadi pengarah sikap dan perilaku dalam kehidupannya. Menurut Bastaman (dalam Liputo, 2009) individu yang mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi akan lebih dapat memaknai setiap kejadian dengan positif sehingga hidupnya lebih bermakna dan terhindar dari stress. Artinya semakin tinggi religiusitas individu maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis individu, begitu juga sebaliknya semakin rendah religiusitas individu maka semakin rendah pula kesejahteraan psikologis individu. Mengacu kepada pandangan Bastaman (2009) di atas, sebenarnya kejadian/peristiwa yang dialami siswa di sekolah seperti yang diuraikan di bagian terdahulu tidak akan terjadi, siswa tidak akan melakukan membolos hanya karena nilai rendah, siswa tidak akan jenuh, merasa tidak nyaman atau keluar dari sekolah karena berbagai aturan yang ada jika telah memiliki tingkat religiusitas yang tinggi.

8 Berdasarkan latar belakang di atas peniliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis Siswa di Sekolah? B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui hubungan antara Religiusitas dengan kesejahteraan psikologis pada siswa di sekolah. 2. Untuk mengetahui tingkat religiusitas dan tingkat kesejahteraan psikologis siswa-siswi SMP Muhammadiyah 2 Surakarata. 3. Untuk mengetahui peran Religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis siswasiswi di sekolah. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam dua jenis: 1. Manfaat Teoritis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi hasil penelitian sebelumnya di bidang psikologi pendidikan, khususnya mengenai Religiusitas dan kesejahteraan psikologis pada siswa. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para mahasiswa tentang kaitan kemampuan penyesuaian diri di lingkungan sekolah dan pemahaman kesejahteraan psikologis. Selain itu jika penelitian ini teruji diharapkan mampu memberikan informasi kepada pihak sekolah dalam usaha meningkatkan kesejahteraan psikologis dan tingkat religiusitas siswa- siswi di sekolah.