BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan multi-etnik terlihat jelas di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB VII RAGAM SIMPUL

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

I. PENDAHULUAN. oleh Indonesia adalah suku Cina atau sering disebut Suku Tionghoa.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. memberi makna kepada orang lain sesuai dengan konteks yang terjadi.

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki banyak pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu,

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya interaksi sosial disebabkan interkomunikasi. pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. antarbudaya yang tidak terselesaikan. Dan lanjutnya, Umumnya orang menaruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bantuan dari sesama di sekitarnya, dan untuk memudahkan proses interaksi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial, dimana kehidupan manusia ditandai dengan komunikasi

BAB 5 RINGKASAN. Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005).

I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. sistem religi/kepercayaan terhadap sesuatu menjadi suatu Kebudayaan. Sistem

Modul ke: TEORI INTERPRETIF 15FIKOM INTERAKSIONAL SIMBOLIK. Fakultas. Dr. Edison Hutapea, M.Si. Program Studi Public Relations

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi antarpersonalnya menjadi berbeda satu dengan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus penduduk terpadat di Kabupaten Langkat. Kecamatan ini dilalui oleh

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang kaya akan kebudayaan dimana

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

BAB I PENDAHULUAN. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah,

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki

BAB V PENUTUP di Bandung disimpulkan bahwa perayaan Imlek merupakan warisan leluhur

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU

BAB I PENDAHULUAN. juga multikultural, dimana dalam kehidupan tersebut terdapat berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan mahasiswa harus ikut bermigrasi ke berbagai daerah. Kadang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat besar untuk mempertaruhkan superioritas etni

BAB IV ANALISIS PROSES KOMUNIKASI ANTAR AGAMA ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS JAWA DI PECINAN DESA WELAHAN KEC. WELAHAN

I. PENDAHULUAN. Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk. apabila manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Indonesia memiliki banyak suku bangsa, di mana setiap suku bangsa yang. melahirkan satu sudut pandang dan pola pikir tersendiri pada masyarakatnya,

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang tersebar di berbagai pulau. Kondisi negara maritim dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. dan aturan yang harus di patuhi untuk setiap suami, istri, anak, menantu, cucu,

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I. PENDAHULUAN. hakikat suku bangsa, agama, ras dan golongan dalam masyarakat juga memiliki latar

sebagai penjembatan dalam berinteraksi dan berfungsi untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pelestarian budaya lokal oleh pemprov Bangka dan proses pewarisan nilai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. pandangan hidup bagi suatu kelompok masyarakat (Berry et al,1999). Pandangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan. keanekaragaman budaya, suku dan agama. Hal ini terjadi sejak jaman

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan. (Huvigurst dalam Hurlock, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetya dalam bukunya yang berjudulilmu

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Barongsai berasal dari kata Barong dan Sai, barong adalah kata dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyebar dari Sabang sampai Merauke. Termasuk daerah Sumatera Utara yang

BAB I PENDAHULUAN. dan tersebar di berbagai pulau. Setiap pulau memiliki ciri khas dan

PERSPEKTIF ETNIK SITUASIONAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK ANGGOTA DPRD PADA WILAYAH MULTI ETNIK

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang multi culture yang berarti didalamnya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan multi-etnik terlihat jelas di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban. Etnik Dawan yang mayoritasnya mendiami Pulau Timor pada umumnya merupakan penduduk asli mampu hidup berdampingan satu-sama lain dengan Etnik maupun suku-suku pendatang lainnya, mulai dari Etnik Tionghoa, Bugis, Sabu, Rote, Flores, Toraja, dan Jawa. Etnik masyarakat Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki sebagian besar sudah mampu berbaur, hal ini terlihat jelas dari posisi atau letak tempat tinggal mereka yang tidak berkelompok atau terkonsentrasi pada titik tertentu, selain itu disebabkan terjadinya perkawinan campuran diantara mereka yang telah kawin-mawin dengan masyarakat setempat atau Etnik pendatang lainnya, walaupun masih ada diantara masyarakat Etnik Tionghoa ini yang menikah dengan sesama Etnik mereka sendiri dengan tujuan melestarikan keturunan Etnik mereka sendiri. Masyarakat Etnik Tionghoa yang menetap di Kelurahan Niki-Niki pada umumnya masih menampilkan perilaku dan budaya nenek moyang mereka, misalnya cara mereka bersikap, sistem kepercayaan, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Dalam hal sistem kepercayaan, masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memeluk agama Katholik dan Protestan, dan Islam, walaupun ada sebagian dari mereka masih mempertahankan agama Khonghucu sebagai agama leluhur mereka. Demikian halnya dalam tradisi perayaan tahun 1

2 baru Cina atau biasanya disebut Imlek tetap dirayakan oleh masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki. Tradisi imlek yang dilakukan oleh mereka seperti misalnya membakar dupa, hiong, menyediakan sesajian, mengunjungi kuburan keluarga, serta upacara sakral lainnya. Hal yang masih membedakan antara Etnik Timor dengan Etnik Tionghoa adalah letak posisi makam etnik masing-masing, makam Etnik Tionghoa terletak pada bagian utara dari desa Faunan, kampung Baru. Sedangkan makam Etnik Timor Dawan serta makam Islam terletak pada bagian selatan desa Faunan. Makam Etnik Tionghoa memang terlihat lebih mencolok baik dari segi penampilan maupun letak, dari segi penampilan makam Etnik Tionghoa lebih menonjolkan corak kebudayaan khas Tionghoa seperti penggunaan warna, bentuk bangunan serta ukiran prasasti pada makam maupun dinding makam sehingga terkesan mewah. Dari segi letak, posisi makam Etnik Tionghoa terletak bukit yang mengarah pada pertemuan lembah dan dataran tinggi. Sehingga menambah kesan artistik dan sesuai dengan petunjuk Feng Shui. Selain perbedaan letak kuburan, yang membedakan adalah budaya tegur sapa yang berlaku dikalangan Etnik Tionghoa pada umumnya, sebagai contoh panggilan Kiu kepada saudara laki-laki dari ibu, Kung panggilan kepada kakek atau ayah dari orang tua. Dalam hal penggunan identitas, Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki masih menganut penggunaan dua identitas sekaligus dalam kehidupan sosial mereka, seperti penggunaan identitas nama Indonesia dan nama Tionghoa. Penggunaan identitas ini berlaku pada saat kondisi tertentu, misalnya

3 penggunaan identitas nama Tionghia jika mereka berinteraksi dengan sesama Etnik Tionghoa atau Etnik setempat yang sudah dikenal. Etnik Tionghoa yang kini bermukim di desa Niki-niki, Nenek Moyangnya rata-rata berasal dari suku bangsa Hokkien dari Provinsi Fukkien bagian selatan, kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang. Hal ini dapat dimaklumi sebab Provinsi Fukkien merupakan daerah pertumbuhan pedagangan orang Tionghoa ke negeri seberang lautan, sehingga tidaklah mengherankan bahwa mereka sangat pandai dalam melakukan transaksi dagang, sehingga kepandaian berdagang ini terendap selama berabad-abad dalam kebudayaan suku bangsa Hokkien dan terlihat jelas dalam pada orang Tionghoa di Indonesia. Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa Etnik Timor yang mendiami Niki-niki, kecamatan Amanuban Tengah tengah dikategorikan sebagai Etnik Timor Dawan atau Orang Atoni, mereka merupakan salah satu dari enam suku bangsa atau Etnik Timor. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai petani, peternak, maupun pengrajin, hanya sedikit dari mereka yang berprofesi dibidang Pemerintahan. Etnik Tionghoa yang bermukim selama empat generasi lamanya di Niki-niki merupakan suku bangsa Hokkien dan tidaklah mengherankan, rata-rata dari mereka yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi mampu berbaur atau berasimilasi dengan masyarakat Etnik Timor Dawan, bahkan kebanyakan dari mereka telah menikah dan berkeluarga dengan Etnik setempat. Hal ini menunjukan bahwa Etnik Timor Dawan dapat menerima dan terbuka terhadap kehadiran dan proses asimilasi Etnik Tionghoa di Niki-niki, namun tidak sedikit juga diantara para Etnik Tionghoa ini yang menjadi peranakan tetap

4 mempertahankan identitas Ketionghoaan mereka baik lewat penggunaan nama keluarga, adat istiadat, arsitektur, serta lain sebagainya ditengah-tengah beragamnya lingkungan sosial mereka terutama masyarakat Etnik Timor Dawan. Peneliti sempat melakukan survey pra-penelitian yang berlangsung selama 2 hari yakni dari tanggal 26 juni sampai dengan 27 juni 2011 di kalurahan niki-niki, dalam survey pra-penelitian, peneliti sempat mewawancarai tokoh masyarakat setempat, adalah John Errence Edward Litlelnoni atau nama Tionghoanya Lie Hok Chow, pria peranakan Tionghoa-Timor generasi ke 4, kelahiran Niki-Niki 7 september 1932. Ia pernah mejabat sebagai Kepala Kelurahan Niki-Niki periode dekade 1970an. Beliau menjelaskan bahwa perkawinan campuran antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Timor (Setempat) tidak dapat terelakan, hal ini sudah berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun lalu oleh nenek moyang mereka. Adanya perkawinan campur ini asal mulanya dimulai dari kedatangan para pedagang maupun para tenaga kerja dari Tiongkok khususnya dari daerah Nanyang dan Hokkian yang bermigrasi ke pulau Timor (Sekarang Kota Kupang) dan sekitarnya, kebanyakan dari mereka yang bermigrasi hanya sebagian kecil yang membawa serta keluarga mereka sedangkan sisanya adalah para bujangan. Itu... sejak awal orang tua datang kesini mereka datang untuk berdagang lilin dan cendana. Teknik disini adalah mereka melihat siapakah tokoh masyarakat yang berpengaruh di sini, kalo bisa ia mendapatkan atau menikahi anak perempuan tokoh tersebut. Sehingga dari awal masa tersebut tidak ada masalah, karena sudah ada kawin campur. Pengaruh kawin mawin ini lebih menonjol. 1 1 Wawancara dengan John Errence Edward Littlenoni (Lee Hok Chow), tanggal 26 juli 2011 di desa Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah tengah. Bealiau merupakan salah satu tokoh masyarakat Etnik Tionghoa di Niki-niki.

5 Untuk memperlancar transaksi dagang dengan tuan tanah setempat, para pedagang dari Etnik Tionghoa melakukan pendekatan dengan menikahi gadis dari tuan tanah setempat, sehingga mempermudah transaksi dagang sekaligus mempererat tali kekeluargaan dengan masyarakat setempat, namun disamping itu ada pula perkawinan dengan kaum ningrat dari kerajaan Amanuban Tengah tengah Selatan, hal ini dapat dilihat ada beberapa kaum peranakan Tionghoa setempat yang mempunyai gelar adat atau marga ningrat, seperti Nope, Nitbani, dan lainnya. Secara umum, gambaran hubungan sosial antara masyarakat Etnik Tionghoa peranakan dengan masyarakat setempat (Umumnya berasal dari mayoritas Etnik Timor) berjalan cukup baik, hal ini tidak dapat dipungkiri karena adanya perkawinan campur yang menjadi faktor utama, selain itu adanya pembinaan dari tokoh agama setempat baik Katolik, Kristen, Hindu dan Islam, sehingga unsur Etnisitas masing-masing tetap dipertahankan namun pergaulan secara sosial tetap berjalan seperti biasa. Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan keluarga terbaik dalam menjawab politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Littlenoni : Lee : marga keluarga, tenoni : tempat kejadian. Sebagai alat untuk mempermudah pengenalan identitas keluarga dan mencega terjadinya kawin-mawin dengan sesama marga Lee. 2 Itu tadi seperti yang saya katakan, 1 pengaruh kwin mawin, 2. Masyarakat sisni pada mereka semua memeluk agama sehingga mendapat bimbingan tiap2 agama, protestam, katholik, islam, dan toleransi bergama disini tidak ada masalah. Hal ini bisa dilihat apabila ada kedukaan, dari acara kedukaan, baik etnis apa saja, maka semua itu bergabung menjadi satu. Kalo dilihat etnis tionghoa di kerj.amanuban ini, raja disini sangat merangkul etnis Tionghoa, sehingga pas PP10, ada 79 orang cina 2 Ibid.

6 kembali/eksodus ke Cina. Ini akibat terjadinya salah perhitungan dari tokoh masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan eksodus tersebut. 3 Pada tahun 1960-an memasuki era orde baru, muncul kebijakan PP.10 dalam wujud peraturan ganti nama bagi masyarakat etnis Tionghoa sebagai bentuk asimilasi dan integrasi nasional secara total yang dilaksanakan oleh pemerintah pada waktu itu. Hal serupa juga terjadi di Niki-Niki, berdasarkan pengakuan bapak John bahwa pada waktu itu timbul perbedaan pandangan diantara kaum peranakan Tionghoa di Niki-niki yang mempermasalahkan masalah perubahan identitas mereka saat itu, akibatnya ada sejumlah kaum peranakan sekitar 79 orang saat itu memilih kembali ke Beijing dan mendapatkan kewarganegaraan dari Pemerintah RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan sisanya yakni kaum peranakan mengikuti kebijakan Pemerintah Indonesia dengan mengikuti peraturan ganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia serta mengukuti program integrasi nasional dan asimilasi. Beberapa tahun sebelumnya saat terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1965, isu ideologi komunis sempat merambat pada citra masyarakat Tionghoa di Indonesia, tidak sedikit pula dari mereka yang menjadi korban akibat stigam ataupun isu-isu yang berhubungan dengan komunis. Namun dalam pengakuan beliau bahwa pada saat itu, pergolakan tersebut terjadi hanya sebatas di Kupang (Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur) tidak sampai merambat ke Niki-Niki, namun yang terjadi di Niki-Niki adalah penangkapan beberapa masyarakat setempat yang terlibat PKI, 3 Ibid

7 sedangkan masyarakat peranakan Tionghoa tidak mendapat kekerasan maupun penangkapan oleh aparat keamanan waktu itu. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kuatnya hubungan silahturahmi dan pengaruh kawin campur antara masyarakat Etnik Tionghoa dengan Masyarakat setempat serta juga pengaruh diplomasi Raja Amanuban Tengah tengah Selatan saat itu. Hal yang sama juga dialami oleh Pak John Errence Edward Litlelnoni atau nama Tionghoanya Lie Hok Chow, keluarganya pada saat itu mengambil inisatif dengan mengganti identitas Tionghoanya dengan identitas nasional. Uniknya, dalam pergantian identitas tersebut keluarga beliau mengkombinasikan marga mereka menjadi Litelnoni dimana adalah kombinasi dari Li (Marga Lee), Telnoni (Tempat kejadian Noni) yang mengartikan bahwa marga Lee dari tempat kejadian desa Noni, salah satu tujuan dari kombinasi marga ini adalah untuk mencegah perkawinan sedarah atau sesama klan. Bahasa yang dipakai disini, bahasa etnis sendiri hampir punah, hanya segelintir orang yang menguasai bahasa mandarin, tetapi biasanya bahasa ibu itu adalah bahasa indonesia dan didukung oleh bahasa daerah. 4 Kalo dengan masyarakat sekitar, misalnya bahasa daerah bahasa timor, kalo dengan orang tertentu pake bahasa indonesia 5 Masih, jika teman masih menggunakan, kalo dengan istri sendiri juga bisa, atau masalah keluarga atau intern (pribadi) 6 4 Ibid. 5 Ibid. 6 Ibid.

8 Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dalam bidang budaya khususnya tutur kata dalam bahasa mandari dikalangan etnis Tionghoa di Niki-Niki hampir punah, sebab hanya dikuasai hanya oleh kalangan para tokoh masyarakat Tionghoa tertentu, hal lainnya disebabkan oleh hampir semua kaum peranakan di Niki-Niki mayoritasnya menggunakan bahasa daerah setempat yakni bahasa Tetun dan bahasa Indonesia. Bahasa Tetun digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa dan masyarakat setempat, sedangkan bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi dengan kaum pendatang dari luar daerah (diluar etnis Timor). Dalam komunitas masyarakat Tionghoa pada umumnya menggunakan bahasa Mandarin jika diperlukan untuk membahas masalah-masalah yang bersifat pribadi atau keluarga dalam hal ini persoalan rumah tangga atau masalah-masalah lain yang bersifat sangat pribadi. Iya, itu untuk kaum peranakan, karena mengingat sapaan dari etnis kita sendiri dapat memudahkan orang untuk mengenal atau mengetahui identitas orang. Contoh atau umpamanya : Ku, saudara perempuan dari pada ayah. Sedangkan kiu adalah saudara laki-laki dari mama. 7 Tetap, jadi misalnya Liong, disini ada beberapa liong, jadi mereka memanggil beberpa nama seperti Liong TM, sebagai nama perusahaan misalnya Toko Timor (Disingkat TM), jadi Liong TM 8 Dalam hal yang mendasar yang membedakan tentang identitas antara etnis Tionghoa dan Pribumi (Etnis Timor) adalah budaya tegur sapa yang berlaku dalam rumah tangga tiap keluarga. Sebagai contoh, disamping itu masyarakat 7 Ibid 8 Ibid

9 setempat atau etnis Timor pada umumnya selalu menyapa setiap masyarakat etnis Tionghoa dengan memanggil nama Tionghoa dari orang tersebut dan selalu dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Tetun yang merupakan bahasa tradisional masyarakat setempat. Sebagai contoh, seorang peranakan Tionghoa bernama Benny, nama Tionghoanya Tan Lai Kim, masyarakat setempat lebih akrab memanggilnya dengan nama Ako Kim (Abang Kim : dalam bahasa Indonesia) ketimbang nama Indonesianya Benny. Selain itu, misalnya dalam Kelurahan Niki-Niki ada 3 orang yang bernama Kim, makan masyarakat setempat lebih mengkombinasikan dengan ciri khas nama merek dagang atau perusahaan, misalnya Ako Kim Sinar Sejahtera (Abang Kim Sinar Sejahtera), nama sinar sejahtera merujuk pada nama merek dagang atau nama usaha orang tersebut. Itu tergantung dari pada kesepakatan 2 pihak, cara mana yang kita pakai...misalnya nessie, dia adalah etnis asli sini (Timor) keluarga ningrat dari Amanuban, maka ada tata cara tertentu yang dipakai seperti antaran. Itu sebagai sebuah penghormatan, ia dari etnis ini maka kami harus menghormati. 9 Kalo budaya, disini ada beberpa penganut atau paham, misalnya perkawinan anatar sesama etnis maka berjasan semestinya atau seperti biasanya, misalnya etnis Tionghoa seperti antar pasalin (lamaran), bugis beda, timor beda, rote beda juga. 10 Keunikan lain yang peneliti temukan dalam hal perkawinan antar etnik Tionghoa dan etnik Timor di Niki-niki, adalah penyesuaian acara perayaan 9 Ibid 10 Ibid

10 perkawinan yang menggabungkan budaya kedua etnik tersebut sekaligus dan terkesan budaya perkawinan etnik Tionghoa yang lebih mendominasi tata cara adat perkawinan tersebut, sebut saja Nessie 11 yang menikahi salah seorang perempuan keturunan etnik Tionghoa di Niki-Niki, dimana dalam prosesi adat pernikahan tersebut menggabungkan dua tata cara berbeda, seperti dalam adat Timor menggunakan istilah tradisi sirih pinang yakni semacam tata cara memberi hadiah perkawinan dari pihak mempelai laki-laki kepapda keluarga perempuan, disamping itu dari pihak mempelai perempuan menggunakan tradisi selamat sopi dan antar pasalin yakni semacam prosesi acara yang berlaku pada etnik Tionghoa yang menjamu keluarga mempelai laki-laki dengan suguhan minuman anggur. Dalam proses acara ini pihak keluarga kedia belah pihak sebelumnya telah melakukan musyawarah secara intensif dan mendapatkan kata sepakat. Hal seperti ini sudah menjadi fenomena tersendiri dan berlangsung selama bertahun-tahun. Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman masyarakat baik secara Etnik, suku maupun ras. Disamping itu, setiap Etnik, suku maupun ras yang terdapat mulai dari sabang sampai merauke memiliki kebudayaan yang khas masing-masing. Etnik Cina atau yang lebih dikenal dengan Etnik Tionghoa sudah bisa dideteksi keberadaannya sejak berabad-abad yang lalu berinteraksi dengan masyarakat Indonesia, baik melalui hubungan dagang maupun diplomasi politik dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Indonesia pada umumnya. Hubungan dagang dengan Indonesia ini telah terbina sejak abad ke 13. Selanjutnya 11 Nessie Nope, adalah salah satu putra Bangsawan dari Raja Nope, Amanuban. Ia adalah putra daerah Etnik Dawan yang menikahi salah seorang perempuan keuturunan Tionghoa di Niki-Niki pada medio Maret, tahun 2010.

11 pendatang-pendatang baru banyak yang datang pada waktu negara Cina diperintah oleh dinasti Ming (1368-1644). Pada 1412 sebuah armada Cina dibawah pimpinan Cheng Ho datang ke pulau Bangka, Biton, kepulauan Karimata, Pulau Jawa di Semarang dandi madura. (Hidayat, 1993 : 66) Disamping itu juga dapat dilihat bahwa kebanyakan dari Etnik Tionghoa yang datang merantau ke Indonesia pada umumnya berprofesi sebagai para pedagang atau pengusaha sekaligus sebagai para konektor hubungan dagang antara Indonesia dengan kerajaan-kerajaan lainnya, serta tidak dapat dipungkiri bahwa mereka dapat memainkan peran penting dalam bidang atau urat nadi kegiatan perekonomian masyarakat di Indonesia. Orang-orang Cina didaerah Asia Tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negaranegara Asia Tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang-orang Cina sejak permulaan merantau telah berfungsi sebagai perantara antara penduduk asli dengan para pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Cina menempati kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha bank, sebagai pedagang besar dan kecil dan ada juga sebagai artis. Hampir semu Industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan pengusaha Cina perantauan (Hidayat, 1993 : 56). Pada umumnya Etnik Tionghoa di Indonesia sudah mampu berbaur walaupun masih dalam tahapan yang bersifat terbatas, hal ini dapat dilihat dari realitas adanya fenomena kawin campur antara paran pendatang (Etnik Tionghoa) yang pada umumnya laki-laki yang menikah dengan para perempuan pribumi atau perempuan setempat. Para pendatang Etnik Tionghoa ini seperti yang sudah

12 disebutkan diatas berprofesi sebagai para pedagang maupun pengusaha, namun tidak sedikit dari mereka bekerja sebagai buruh, kedatangan mereka tidak selalu didampingi oleh pasangan mereka atau istri masing-masing, namun ada juga dari mereka yang datang dengan membawa keluarga mereka mulai dari istri dan anakanak mereka masing-masing. Disamping itu dapat dilihat bahwa para pendatang Tionghoa atau masyarakat Tionghoa ini telah menyatu atau berbaur dengan para masyarakat pribumi, namun seiring dengan kedatangan kaum Kolonial yakni penjajahan dari Belandan dan Portugis membuat proses pembauran mereka menjadi lambat, disisi lain kehidupan para masyarakat Tionghoa yang beagi menadi dua bagian, yakni mereka yang digolongkan sebagai para pendatang lama dan para pendatang baru. Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orangorang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan

13 keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat 12 Hal yang menarik disini ialah, orang-orang Cina yang datang ke Asia Tenggara ini umumnya tidak membawa keluarga mereka. Mereka kawin dengan wanita setempat, banyak yang berbaur dan menjadi satu dengan pribumi. Namun dengan datangnya orang-orang Barat menyebabkan pembauran ini tersendat. Masyarakat kolonial yang menonjolkan ras, akhirnya memisahkan orang Tionghoa dari Pribumi. Disamping itu, orang Tionghoa yang diimpor. Jadi, di Asia Tenggara terjadi dua kelompok yang hidup berdampingan, yaitu pendatang lama dan pendatang baru, Kebudayaan pendatang lama sudah lebih dipengaruhi oleh kultur setempat, tetapi pendatang baru lebih bersifat kecinaan. Banyak yang mengatakan bahwa pendatang bahwa pendatang lama, apa lagi yang sudah berbaur, tidak lagi berkebudayaan Konghucuisme, sedangkan pendatang baru masih dipengaruhi oleh etika Konghucuisme. (Suryadinata, 2002 : 199-200) Seiring perjalanan waktu, Etnik Tionghoa yang merupakan masyarakat pendatang telah berbaur dengan masyarakat setempat, seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Etnik Tionghoa yang menetap bahkan sudah kawin campur dengan Etnik setempat atau masyarakat setempat akhirnya mampu berbaur menjadi satu. Namun dalam perspektif kebudayaan Etnik Tionghoa ini sendiri terdapat dua golongan utama dalam Etnik mereka, yakni kaum Totok dan kaum Peranakan. Kedua golongan tersebut memiliki perbedaan yang cukup 12 http://web.budaya-tionghoa.net/home/901-kesukubangsaan-dan-posisi-orang-cina-dalammasyarakat-majemuk-indonesia, Supadi Suparlan.

14 mendasar, baik ditinjau dari segi proses pembauran dan dialek bahasa mereka masing-masing, tidak ketinggalan juga orientasi politik kedua golongan ini bertolak belakang satu sama lain. Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas homogen. Dari sudut pandang kebudayaan orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok. Peranakan adalah orang tionghoa yang sudah lama tingggal di Indonesia dan umunya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Totok adalah pendatang baru, umumnya baru satu samapai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa. Namun dengan terhentinya Imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah totok sudah menurun dan keturunan totok pun telah mengalami peranakanisasi. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan, apalagi yang di pulau Jawa. (Suryadinata, 2002 : 17) Masyarakat Tionghoa dalam perkembangannya mengalami pasang surut baik dalam bidang budaya, identitas sosial, masalah ekonomi dan lain sebagai sejak masa perang kemerdekaan di Indonesia. Pada masa orde lama dalam masa kepemimpian era Soekarno, masyarakat atau Etnik Tionghoa berhadapan dengan proses integrasi nasional maupun proses asimilasi dijalankan secara permanen, mulai dari pembatasan aktifitas masyarakat Tionghoa dalam kegiatan sehari-hari, larangan mendirikan sekolah Tionghoa, serta kebijakan ganti nama yang berbau Etnik Tionghoa menjadi Indonesia, namun kebijakan terakhir ini belum sepenuhnya berjalan. Pada masa era orde baru dalam masa kepemimpinan Soeharto kebijakan asimilasi tersebut baru dilaksanakan secara penuh, bahkan

15 kegiatan perayaan Imlek, Cap Go Meh dan pawai Barongsai pun dilarang, selain itu kebijakan yakni berupa himbauan pergantian nama yang berbau Tionghoa menjadi berbau Indonesia dijalankan, klenteng dirubah menjadi vihara, dan lain sebagainya. Seiring jatuhnya rezim orde baru, pada masa era reformasi dalam kepemimpinan Habibie dan KH.Abdulrahman Wahid, masyarakat Tionghoa Indonesia bisa menghirup udara segar dengan diperbolehkannya perayaan Imlek, Cap Go Meh, perunjukan Barongsai, dan kegiatan-kegiatan lainnya, bahkan dalam masa kepemimpian KH.Abdulrahman Wahid ditetapkan hari libur nasional bagi perayaan Imlek, agama Konghucu diakui sebagai agama nasional. Sebetulnya, sejak awal, Indonesia tidak memberlakukan kebijakan asimilasi. Pada zaman demokrasi liberal, kebijakan pluralisme diberlakukan. Pada zaman demokrasi terpimpin, kebijakan integrasi dan asimilasi dilaksanakan secara bertahap. Mula-mula warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan sekolahtionghoa, aktivitas orang Tionghoa asing pun mulai dibatasi. Namun, kebijakan asimilasi secara total baru diberlakukan sejak lahirnya orde baru. Tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang saya sebut diatas dihapus sama sekali. Peraturan ganti nama diumumkan. Warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dihimbau mengganti nama tionghoanya menjadi nama yang berbau Indonesia (Suryadinata, 2002 : 15-16) Dalam bidang budaya, pemerintah orde baru rupanya ingin mengikis habiskebudayaan Tionghoa, bukan saja tidak mengizinkan orang mengamalkan tradisi dan adat istiadatnya secara publik, misalnya tidak boleh merayakan tahun baru imlek dan cap go meh, tidak boleh main Barongsai, semua kelenteng harus

16 diubah menjadi wihara, agama Konghucu tidak diakui, belajar bahasa Tionghoa tidak diperbolehkan, koran dan publikasi bahasa Tionghoa tidak diizinkan, hanya sebuah koran setengah Tionghoa diasuh oleh militer diizinkan terbit, dan koran ini dikenal dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai koran iklan (Suryadinata, 2002 : 16) Identitas Etnik menunjukan tingkat keterpaduan (cohesiveness) di antara para anggota suatu kelompok Etnik (Yee dalam Rahoyo, 2010, hal 14). Ini berarti bahwa semakin tinggi kehosivitas anggota dari dari suatu kelompok Etnik maka semakin kuat pula identitas Etnik mereka; sebaliknya, kian rendahnya kohesivitas angggota suatu kelompok Etnikakan berujung pada kian lemahnya identitas Etnik mereka. Derajat keterpaduan atau kohesivitas tersebut secara konkret akan muncul dalam wujud fanatisme terhadap bahasa Etnik, upacara-upacara adat, pakaian adat, dan sebagainya; di samping juga dalam bentuk kebanggaan Etnik. Rasa bangga sebagai anggota Etnik tersebut menyangkut di antaranya persepsi (superioritas) mengenai Etniknya sendiri sekaligus persepsi (inferioritas) mengenai Etnik lain yang secara rill akan mewujud dalam kontak atau relasi sosial, baik kontak atau relasi dengan sesama Etnik maupun lintas Etnik. (Rahoyo, 2010 : 14) Menurut Liliweri (Liliweri, 2001 : 335-6) jadi istilah kelompok etnik merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat besar untuk mempertahankan superioritas etnik, dia berubah menjadi satu paham atau isme

17 sehingga superioritas etnik itu sering disebut etnosentrisme. Sedangkan Etnikistas merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan hubungan mereka dengan obyek yang diafliliasi dalam konteks tertentu. Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif (struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis) (Despress, 1975b; Cohen,1978; Isajiw, 1979; Royce, 1982; Phadnis, 1989). Perspektif objektif melihat sebuah kelompok etniksebagai kelompok yang bisa dibedakan lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan Etnikitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnik yang diteliti (Mulyana, 1996 : 152). Berdasarkan fakta diatas, peneliti ingin mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik pada Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki, seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat serta mengungkapkan pengalaman-pengalaman Etnik Tionghoa memaknai identitas etnik mereka ditengah-tengah keberadaan mereka sebagai kaum peranakan minoritas di Kelurahan Niki-Niki yang mayoritas masyarakatnya adalah Etnik Timor. Dalam hal identitas sosial misalnya, masyarakat Etnik Tionghoa menggunakan dua identitas sekaligus yakni nama Indonesia dan nama Tionghoa, namun yang lebih dominan adalah penggunaan identitas Tionghoa

18 dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat sekitar yang sudah dikenalnya, tetapi tidak dengan masyarakat atau orang-orang baru dalam lingkungannya. Peneliti beralasan bahwa, sebagian besar Etnik Tionghoa peranakan di Kelurahan Niki-Niki yang rata-ratanya sudah kawin campur dengan Etnik setempat tetap mempertahankan identitas Ketionghoaanya. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik antara etnik Tionghoa dengan etnik setempat dalam kegiatan sehari-hari dengan sesama etnik mereka sendiri maupun dengan etnik lokal setempat, seperti apa perilaku Etnik Tionghoa ketika mereka berinteraksi dengan etnik setempat serta mengungkapkan pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam memaknai identitas etnik mereka. 1.2. Maksud, Kegunaan dan Tujuan Penelitian 1.2.1. Maksud Penelitian Dengan adanya penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengetahui secara sistematis proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat Etnik Tionghoa yang selama ini terjalin dengan masyarakat setempat di Kelurahan Niki-Niki, seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat, serta mengungkap pengalaman-pengalaman Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki- Niki memaknai identitas etnik mereka sendiri.

19 1.2.2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru, baik yang berguna secara teoritis dan praktis. 1. Dari segi teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan teori komunikasi antar etnik, teori interaksi simbolik, teori identitas etnik dan teori-teori ilmu komunikasi lainnya yang berkaitan dengan makna identitas Etnik masyarakat Etnik Tionghoa dan juga sebagai tambahan informasi dan masukan bagi penelitian lanjutan dibidang ilmu sosial khususnya ilmu komunikasi. 2. Dari segi praktis hasil penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para tokoh budayawan, pemerhati ilmu sosial dan juga pengamat Etnisitas tentang makna identitas etnik dan komunikasi antar etnik. 1.2.3. Tujuan Penelitian Tujuan dengan adanya penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki. 2. Untuk mengetahui seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki.

20 3. Untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman masyarakat Etnik Tionghoa memaknai identitas etnik mereka.

21 1.3. Kajian Literatur 1.3.1. Penelitian Terdahulu 1. Judul : Makna Makam Etnik Tionghoa Sebagai Media Simbolik Representasi Identitas Etnik dan Penghargaan Terhadap Arwah Leluhur Uly Sophia (L2G04028) Penelitian ini bermaksud untuk menemukan penjelasan deskriptif melalui perspektif interpretif mengenai makam etnik Tionghoa yang melekat pada sistem ideologi dan sosial tertentu. Narasi identitas etnik tionghoa salah satunya terangkum pada makam. Tatanan dan sifat komunikasi simbolik yang dilaksanakan adalah berbentuk komunikasi budaya ; bersifat nonverbal-nonvokal (visual); berupa simbol yang mengandung makna dan diciptakan oleh para leluhur. Penelitian dilaksanakan dengan metode kualitatif, fenomenologi dengan analisis semiotika. Data diambil dari makam yang berada pada Blok a no 38 kab bandung. Melalui serangkaian wawancara mendalam dengan beberapa informan pokok dan informan kunci, observasi langsusng di saat upacara pemakaman etnik Tionghoa di TPU Hindu Budha Jl.Cikadut dalam kota Bandung, menghadiri perayaan ceng beng, penelaah dokumen, budaya dan instansi terkait. Temuan faktual menunjukan bahwa realitas bangunan makam etnik Tionghoa termasuk pada bentuk strategi budaya melalui presentasi etnik yang terjadi dalam proses komunikasi sosial dan direpresentasikan oleh kelompok masyarakat Tionghoa. Makam etnik Tionghoa pesan budaya masyarakat