BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Prevalensi anemia pada pasien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin cukup tinggi, yaitu 85.85% (SarithaU et al., 2013). Hal tersebut dapat terjadi akibat kekurangan hormon erythropoietin, oleh karena itu pasien diberikan erythropoietin-stimulating agents (ESA). Namun, pemberian ESA menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat. Peningkatan kebutuhan zat besi ini dapat menyebabkan defisiensi zat besi pada darah maupun penurunan simpanan zat besi (Maruyama et al., 2015). Di samping itu, pasien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin yang mendapatkan terapi ESA tanpa pemberian zat besi akan kehilangan ±2 gram zat besi per tahun akibat pengambilan sampel darah yang berulang untuk pemeriksaan laboratorium dan kehilangan darah saat hemodialisis (Schrier, 2015). Tindakan hemodialisis rutin juga dapat mengakibatkan perdarahan kronik akibat uremia-associated platelet dysfunction, phlebotomi berulang-ulang, dan blood trapping pada mesin dialisis. Gangguan absorpsi besi juga akan dialami oleh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin, sehingga pemberian suplementasi zat besi melalui oral tidak lebih efektif dibandingkan dengan plasebo. Terapi ESA intravena banyak didaptkan oleh pasien karena suplementasi oral tidak efektif, namun terapi ESA intravena mengakibatkan deplesi pada cadangan besi dengan meningkatkan eritropoiesis (Babitt & Lin, 2012). 1
2 Pada kasus di atas, pemberian terapi zat besi perlu diberikan untuk mencegah mortalitas dan morbiditas. Berdasarkan National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF KDOQI), terapi zat besi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis diberikan apabila kadar feritin serum <100 ng/ml dan saturasi transferin <20%. Defisiensi zat besi dapat muncul sewaktu-waktu, namun pemeriksaan kadar feritin dan saturasi transferin sebagai parameter status besi tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin. Parameter status besi juga dapat dilihat dengan pemeriksaan kadar besi serum, kadar transferin, soluble transferrin receptor, hypochromic red blood cell (HYPO), dan reticulocyte haemoglobin content (CHr)(von Haehling et al., 2015). Pemeriksaan parameter status besi di atas membutuhkan biaya yang cukup mahal dan tidak luas tersedia. Dengan demikian diperlukan pemeriksaan yang lebih murah dan lebih luas tersedia untuk melihat kebutuhan terapi zat besi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin. Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin akan dilakukan pemeriksaan darah lengkap setiap tiga bulan (KDIGO Clinical Practice Guideline, 2012). Pemeriksaan darah lengkap terdiri atas jumlah sel darah merah, hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit (Mean Corpuscular Volume/MCV, Mean Corpuscular Hemoglobin/MCH, dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration/MCHC), jumlah sel darah putih, hitung jenis sel darah putih, jumlah trombosit, dan laju endap darah. Pemeriksaan tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal dan ketersediannya luas.
3 Sejumlah parameter hematologi seperti indeks eritrosit dapat digunakan dalam menilai status besi. Penelitian mengenai korelasi antara parameter status besi dan parameter hematologi pernah dilakukan di beberapa negara dan beberapa populasi. Celada et al. (1982) menemukan korelasi antara serum feritin dengan hemoglobin, retikulosit, MCV, MCH, dan MCHC pada pasien dialisis di Malaga, Spanyol. Begitu juga dengan Lynn, Mitchell, & Shepperd (1981) menemukan korelasi antara serum feritin dengan indeks eritrosit (MCV dan MCH) pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di London. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis ingin mengetahui korelasi antara parameter status besi dengan parameter hematologi pasien hemodialisis di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Dalam hal ini penulis memilih kadar serum feritin sebagai parameter status besi dan indeks eritrosit sebagai parameter hematologi. B.Perumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC) dengan kadar feritin serum pada pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisis RSUP Dr. Sardjito? C.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya korelasi antara indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCH) dengan kadar feritin serum pada pasien gagal ginjal kronik di unit hemodialisis RSUP Dr. Sardjito.
4 D.Keaslian Penelitian Tabel 1. Daftar penelitian-penelitian sebelumnya No. Judul Hasil Perbedaan 1. Serum ferritin and iron stores in patients on maintenance dialysis (Celada et al., 1982) 2. Red cell indices and iron stores in patients undergoing hemodialysis (Lynn, Mitchell, & Shepperd, 1981) 3. Thresholds of iron markers for iron deficiency erythropoiesis finding of the Japanese nationwide dialysis registry (Hamano et al., 2015) Mengetahui hubungan antara serum feritin dengan kadar besi dalam serum, saturasi transferin, iron staining pada sum-sum tulang, dan parameter hematologi (Hb, angka eritrosit, retikulosit, MCV, MCH, MCHC) pada pasien peritoneal dialisis dan hemodialisis. Mengetahui korelasi antara MCV dan MCH dengan serum feritin pada pasien hemodialisis di London. Mengetahui hubungan antara feritin, TSAT, hemoglobin, dan ESA resistance index (ERI) pada pasien dialisis di Jepang untuk mengetahui threshold terendah dalam menentukan irondeficiency erythropoiesis. Threshold TSAT memiliki nilai klinis yang lebih tinggi dibandingkan dengan feritin. Populasi penelitian memiliki ras yang berbeda yaitu ras hispanic Korelasi MCHC dengan serum feritin tidak diteliti Populasi penelitian memiliki ras yang berbeda Penelitian ini hanya memeriksa hemoglobin bukan keseluruhan indeks eritrosit Penelitian ini dilakukan di Jepang
5 E.Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Peneliti Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai status besi dan parameter hematologi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis serta dapat memberikan pengalaman kepada peneliti dalam melakukan sebuah penelitian. 2. Klinisi Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk melihat kebutuhan terapi zat besi melalui pemeriksaan indeks eritrosit yang mana lebih murah biayanya dan lebih luas ketersediaannya dibandingkan pemeriksaan parameter status besi. 3. Pasien Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pasien mengenai status besi dan parameter hematologinya serta dapat mengetahui apakah pasien perlu diberikan terapi zat besi.