BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka itu sendiri didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit. (Cohen et al., 1999). Organ ini berperan sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain dengan mengatur keseimbangan air serta elektrolit, termoregulasi, dan berfungsi sebagai barier terhadap lingkungan luar termasuk mikroorganisme. Saat barier ini rusak karena berbagai penyebab seperti ulkus, luka bakar, trauma, atau neoplasma maka kulit tidak dapat melaksanakan fungsinya secara adekuat. Oleh karena itu sangat penting untuk mengembalikan integritasnya sesegera mungkin. (Cohen et al., 1999). Penyembuhan luka yang normal merupakan proses yang kompleks dan dinamis, namun mempunyai suatu pola yang dapat diprediksi. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga fase pokok, yaitu : 1) hemostasis dan inflamasi, 2) proliferasi, 3) maturasi dan remodelling. Fase-fase ini terjadi saling tumpang tindih (overlapping), dan berlangsung sejak terjadinya luka, sampai tercapainya resolusi luka. (Cohen et al., 1999; Wiksman et al., 2007). Penyembuhan luka ditandai dengan adanya reepitelisasi dan pemulihan jaringan ikat dibawahnya. Selama proses ini, keratinosit, sel-sel endothelial, fibroblas dan sel radang berproliferasi dan bermigrasi ke daerah yang mengalami luka, saling berinteraksi dengan matriks ekstraselular. Migrasi sel-sel dan pemulihan jaringan ikat tersebut dipengaruhi oleh degradasi matriks ekstraselular dan aktifasi dari faktor-faktor pertumbuhan. Proses ini dicapai oleh protease ekstraselular dan matriks metaloproteinase. (King et al., 2013). Bidang sitokin telah berkembang pesat selama 2 dekade terakhir. Awalnya, mereka dianggap produk dari sistem kekebalan tubuh sendiri yang memiliki fungsi kekebalan tubuh
dan hematologi saja. Namun, hal itu telah menjadi semakin jelas bahwa sitokin berpartisipasi dalam neuroendokrin dan sistem kekebalan tubuh. Interleukin-10 (IL 10) telah menarik banyak perhatian di bidang endokrin, karena IL-10 adalah endokrin antiinflamasi yang penting (King et al., 2013). Selain menghambat sitokin pro inflamasi seperti IL-6 dan IL-8, IL-10 juga menghambat migrasi sel-sel inflamasi ke tempat radang, termasuk monosit, neutrofil, makrofag, dengan cara menginhibisi chemokines seperti macrophage inflamatory protein 1a(MIP-1a) dan monocyte chemoattractant protein-1(mcp-1) (Peranteau et al., 2008) Interleukin 10 diproduksi oleh berbagai jenis sel, termasuk sel T,monosit, dan makrofag, yang menunjukkan kemampuan mengaktivasi fungsi makrofag atau monosit dan meregulasi sitokin fibrogenik, seperti Transforming growth factor β TGF-β, yang berfungsi dalam remodeling jaringan.(king et al., 2013) Investigasi peran IL-10 dalam penyembuhan luka telah dilakukan dalam berbagai penelitian. Salah satu penelitian eksperimental pada tikus dengan defisiensi IL-10 menunjukkan luka buatan pada tikus jenis ini lebih cepat terjadi kontraksi dan respon inflamasinya sangat meningkat diikuti dengan banyaknya jumlah makrofag yang menginfiltrasi luka dan terjadi pembentukan jaringan parut. (Liechty et al., 2000). Luka tersebut memiliki level sitokin proinflamasi yang sangat tinggi, seperti IL-6 dan IL-8. (Sato et al., 1999). Luka insisi buatan pada tikus jenis ini juga menunjukkan percepatan dalam reepitelisasi namun memiliki kekuatan mekanis yang kurang baik. (Eming et al., 2007). Tikus-tikus tersebut memiliki kolagen yang berlebih, lebih tebal dibandingkan dengan tikus kontrol. Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa peran IL-10 sangat penting dalam regulasi respon inflamasi luka dan juga IL-10 mempengaruhi organisasi dan maturasi dari matriks ekstraseluler. Di beberapa negara, lidah buaya (Aloe vera L.) seringkali digunakan sebagai langkah pertolongan pertama pada bagian tubuh yang terluka (luka sayat maupun luka bakar). Lidah
buaya mengandung banyak zat-zat aktif yang sangat bermanfaat dalam mempercepat penyembuhan luka karena mengandung antara lain glukomanan, lignin, vitamin A, vitamin C, enzim-enzim serta asam amino yang sangat penting untuk regenerasi sel-sel. Lidah buaya merupakan tumbuhan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Lidah buaya menstimulasi faktor pertumbuhan epidermis, meningkatkan fungsi fibroblas, dan pembentukan pembuluh darah baru sehingga dapat mempercepat penyembuhan dan penutupan luka. (Furnawathi., 2006; Cole dan Heard., 2007). Madu meningkatkan waktu penyembuhan pada luka bakar ringan dan sedang dibandingkan dengan penutupan luka yang konvensional dan telah diisarankan oleh review dari randomized controlled trial (RCTs) dengan total partisipan sebanyak 2554 (Jull et al., 2008). Sudah sejak lama banyak tulisan mengenai efek penyembuhan yang dikandung oleh madu. Madu dan pasta gula berhubungan dengan penyembuhan luka tanpa skar pada luka berongga. Dalam penelitian terdahulu dilaporkan bahwa luka pada kelinci yang diobati dengan madu topikal menunjukkan edema yang lebih sedikit, infiltrasi sel polimorfonuklear dan mononuklear yang lebih sedikit, nekrosis yang minimal, kontraksi luka yang lebih baik, epitelisasi yang lebih baik, dan konsentrasi glikosaminoglikan dan proteoglikan yang lebih rendah. Madu juga menstimulasi pertumbuhan jaringan, sintesis kolagen, dan pertumbuhan pembuluh darah baru pada dasar luka (Al-Waili et al., 2010). Saliva manusia terdiri dari protein myriad dan peptide yang melindungi dari serangan mikroba, luka mekanis, dan luka kimiawi. Saliva dan fraksi protein saliva dites dan dikembangkan dalam model in vitro untiuk penyembuhan luka menggunakan sel epitelial. Ini mengungkapkan bahwa histatin, seperti epidermal growth factor (EGF), dalam saliva manusia, adalah faktor utama dalam penutupan luka (Oudhoff et al., 2008). Pemanfaatan telur dalam penyembuhan luka belakangan kembali diteliti setelah sempat ditinggalkan karena ada metode pengobatan baru. Sebagian besar berhasil mengungkapkan
kemampuan antimikroba yang dimiliki ovalbumin dari putih telur. Selain mengandung albumin dalam jumlah besar, putih telur juga mengandung lipida yang mempunyai kemampuan seperti faktor pertumbuhan (Abdou et al., 2013; Nakane et al., 2013). Putih telur terdiri dari air sebesar 75%, protein sebesar 12%, lemak sebesar 12%, dan sejumlah kecil substansi lain seperti mineral dan vitamin. Protein pada putih telur termasuk di dalamnya adalah ovoalbumin, lysozime, ovomucin, ovomucoid, ovotransferrin dan lainnya.fungsi utama dari protein putih telur adalah melindungi kuning telur dari invasi patogen (Yoo et al., 2013). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Membandingkan pengaruh pemberian aloe vera, madu, saliva dan putih telur terhadap ekspresi IL-10 di jaringan sekitar luka kulit pasca insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) dengan kelompok kontrol yang diberikan NaCl 0,9% secara topikal. 2. Membandingkan antara aloe vera, madu, saliva, dan putih telur yang memberikan pengaruh paling besar terhadap ekspresi IL-10. C. Tujuan Penelitian 1. Mengamati ekspresi IL-10 dalam proses penyembuhan luka hewan coba yang diolesi aloe vera, madu, saliva, dan putih telur dalam proses penyembuhan luka dibandingkan dengan kelompok kontrol. 2. Menganalisis perbedaan ekspresi IL-10 dalam proses penyembuhan luka hewan coba yang diolesi aloe vera, madu, saliva, dan putih telur dalam proses penyembuhan luka.
D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai informasi ilmiah tentang pengaruh pemberian aloe vera, madu, saliva manusia, dan putih telur terhadap ekspresi IL-10 di jaringan sekitar luka kulit pasca insisi pada tikus sebagai salah satu indikator penyembuhan luka. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan teori untuk mengungkapkan mekanisme penyembuhan luka dengan pemberian topikal aloe vera, madu, saliva manusia, dan putih telur. 3. Sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk aplikasi klinis penggunaan aloe vera, madu, saliva manusia, dan putih telur untuk tujuan perawatan luka pada subyek manusia. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai perbandingan antara pengaruh pemberian aloe vera, madu, saliva manusia, putih telur terhadap ekspresi IL-10 di jaringan sekitar luka kulit pasca insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) belum pernah dilakukan berdasarkan sumber perpustakaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan, yaitu: 1. Penelitian oleh Balaji, et al., 2015 dengan judul The Role of Interleukin-10 and Hyaluronan in Murine Fetal Fibroblast Function In Vitro: Implications for Recapitulating Fetal Regenerative Wound Healing, dengan hasil IL-10 memediasi sintesis hialuronan yang meregulasi migrasi dan invasi dari fibroblas fetal pada kulit. Peran fungsional dari IL-10 ini diduga esensial dalam proses regenerasi. 2. Penelitian Leung, et al., 2012 dengan judul An in vitro and ex vivo study of fetal wound healing: a novel role for Il-10 as a regulator of the extracellular matrix,
dengan hasil IL-10 untuk mempertahankan keseimbangan dan regulasi matriks ekstraseluler. 3. Penelitian oleh Eming, et al., 2007, dengan judul Accelerated Wound Closure in Mice Deficient for Interleukin-10 dengan hasil penyembuhan luka pada tikus defisiensi IL-10 lebih cepat dibandingkan tikus normal. 4. Penelitian oleh Byeon, et al., 2003, dengan judul Aloe Barbadensis Extracts Reduce the Production of Interleukin-10, dengan hasil aplikasi aloe vera mengurangi produksi dan pelepasan sitokin dari keratinosit yang bersifat imunosupresif seperti Interleukin-10. 5. Penelitian oleh Liechty, et al., 2000, dengan judul Fetal wound repair results in scar formation in interleukin-10-deficient mice in a syngeneic murine model of scarless fetal wound repair, dengan hasil IL-10 merupakan sitokin anti-inflamasi yang sangat poten, IL-10 mendeaktifkan monosit dan makrofag, mengurangi produksi sitokin pro inflamasi. Peningkatan respon inflamasi yang diregulasi oleh IL-10 menghasilkan regenerasi penyembuhan luka yang mirip pada fetal dan berbekas minimal. 6. Penelitian oleh Sato Y, et al.,1999 dengan judul Regulatory Role of Endogenous Interleukin-10 in Cutaneous Inflammatory Response of Murine Wound Healing,dengan tingginya level sitokin proinflamasi seperti IL-6 dan IL-8 akibat kurangnya level IL-10. 7. Penelitian yang dilakukan oleh Nur dan Januarsih, 2009, dengan judul Perbedaan efek pemberian topikal gel lidah buaya (Aloe vera L.) dengan solusio povidone iodine terhadap penyembuhan luka sayat pada kulit mencit (Mus musculus), dengan hasil pemberian topikal gel lidah buaya pada luka sayat kulit mencit lebih baik daripada pemberian solusio povidone iodine.
8. Penelitian oleh Mahandaru D dan Dachlan I, 2012, dengan judul The Effect of Aloe vera on healing process of incision wound, dengan hasil perawatan luka menggunakan aloe vera terbukti lebih efektif dibandingkan kasa kering dan kasa lembab untuk meningkatkan kekuatan tautan luka. 9. Penelitian oleh Putro dan Dachlan, 2013, dengan judul Perbandingan pemberian saliva manusia, aloe vera dan moist dressing secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar derajat dua pada tikus putih (Rattus norvegicus), dengan hasil saliva manusia bisa mempercepat masa penyembuhan luka bakar derajat dua dibandingkan dengan NaCl sebagai kontrol dan aloe vera.