BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tika Rohayati, 2013

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta : Rineka Cipta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan keterampilan sepanjang hayat (Rustaman, 2006: 1). Sistem

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

PENGARUH METODE INKUIRI TERBIMBING PADA PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA DALAM PRAKTIKUM ANIMALIA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Strategi Literasi Pada Pembelajran Bertema Alat Ukur Pada Kendaraaan Bermotor Untuk Meningkatkan Literasi Fisika

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui. pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI DITINJAU DARI ASPEK-ASPEK LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Julia Artati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

I. PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

METODE DEMONSTRASI INTERAKTIF BERBASIS INKUIRI DALAM PEMBELAJARAN KONSEP METABOLISME PADA SISWA KELAS XII SMA ANGKASA BANDUNG.

2015 KONSTRUKSI DESAIN PEMBELAJARAN IKATAN KIMIA MENGGUNAKAN KONTEKS KERAMIK UNTUK MENCAPAI LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY-BASED SCIENCE PLUS READING (ISR) DAN KAITANNYA DENGAN PENINGKATAN PENGUASAAN KONTEN MATERI FISIKA SISWA

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN. menguji hipotesis melalui percobaan, serta mengkomunikasikan hasil

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran biologi di SMA menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

PENGARUH LEVELS OF INQUIRY-INTERACTIVE DEMONSTRATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS X

BABI PENDAHULUAN. sendiri dan alam sekitar. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SRIE MULYATI, 2015 KONSTRUKSI ALAT UKUR PENILAIAN LITERASI SAINS SISWA SMA PADA KONTEN SEL VOLTA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA TEMA PEMANASAN GLOBAL UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

BAB III PEMBAHASAN. pembelajaran yang semakin luas membawa banyak perubahan dalam dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. Literasi sains didefinisikan oleh The National Science Education Standards

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ismail, 2016

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Biologi merupakan suatu cabang ilmu yang banyak mengandung konsep

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan,

BAB I PENDAHULUAN. agar teori dapat diterapkan pada permasalahan yang nyata (kognitif), melatih

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Literasi sains (scientific literacy) merupakan hal yang penting untuk dikuasai karena aplikasinya yang luas dan hampir di segala bidang. Negara-negara maju terus berupaya meningkatkan kemampuan literasi sains generasi muda dengan harapan agar bisa lebih kompetitif terutama dalam dunia kerja global. Untuk mengetahui apakah suatu negara telah memiliki siswa dengan kualitas literasi sains yang baik sekaligus secara tidak langsung menguji kualitas pendidikan negara itu sendiri, maka diselenggarakan PISA (Program for International Student Assessment) oleh negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dan partisipannya. Setiap tiga tahun sekali PISA dilaksanakan dengan fokus kemampuan literasi sains, matematika dan membaca pada siswa usia 15-17 tahun (Ekohariadi, 2009). Indonesia telah menjadi partisipan PISA semenjak tahun 2000, namun hasil yang didapatkan masih kurang memuaskan. Pada evaluasi literasi sains, tahun 2000 Indonesia menduduki peringkat ke-38 dari 41 negara peserta, tahun 2003 menduduki peringkat ke-38 dari 40 negara peserta, pada tahun 2006 menduduki peringkat ke-50 dari 57 negara peserta dan pada tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat ke-57 dari 65 peserta (Balitbang, 2009). Dengan demikian bisa dikatakan secara umum kemampuan literasi sains siswa Indonesia usia 15-17 tahun belum memadai. Salah satu penyebab rendahnya pencapaian literasi sains siswa Indonesia dikarenakan kurangnya pembelajaran yang melibatkan proses sains, seperti memformulasikan pertanyaan ilmiah dalam penyelidikan, menggunakan pengetahauan yang dimiliki untuk menjelaskan fenomena alam serta menarik kesimpulan berdasarkan fakta yang diperoleh melalui penyelidikan (Firman, 2007). Usia SMP (13-15 tahun) merupakan usia yang tepat untuk memperkenalkan pembelajaran berbasis inkuiri (Widodo, 2011), namun penelitian pencapaian 1

2 literasi sains terkini seringkali hanya dilakukan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni usia 15-17 tahun (Zahara, 2012; Hadinugraha 2012; Humaira 2012). Beberapa penelitian dengan subjek siswa Sekoah Menengah Pertama (SMP) diantaranya dilakukan oleh Ekohariadi (2009) untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kemampuan literasi sains pada siswa SMP; serta Widodo (2011) mengenai pembelajaraan biologi berbasis masalah dengan pendekatan guided inquiry dan modified inquiry ditinjau dari keterampilan proses sains dan sikap ilmiah siswa. Karena itu, penelitian litrerasi sains pada siswa SMP termasuk belum sering dilakukan. Salah satu pendekatan yang bisa meningkatkan kemampuan literasi sains siswa adalah melalui pembelajaran dengan pendekatan inkuiri (Erniati, 2010). Dettrick dalam Rustaman, et al,. (2005) menyatakan pendekatan inkuiri dilakukan dengan membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik, yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli penelitian. Melalui pendekatan ini informasi atau pengetahuan yang diperoleh seolah-olah menjadi milik siswa karena itu akan tertanam kuat dalam memori jangka panjang. Balitbang (2006), menyarankan agar pembelajaran sains dilakukan melalui inkuiri ilmiah, agar terbentuk kemampuan berfikir ilmiah, bekerja ilmiah dan mengkomunikasikan hasil sebagai bentuk kecakapan hidup. Berdasarkan hal-hal tersebut, pengalaman belajar secara langsung, penggunaan dan pengembangan proses dan sikap ilmiah sangat dianjurkan penggunaannya. Wenning (2004), mengklasifikasikan level inkuiri berdasarkan sejauh mana dominansi antara guru dengan siswa dan kompleksitas pengalaman intelektual yang bisa didapat siswa dalam pembelajaran. Level yang paling rendah sekaligus yang paling fundamental adalah level discovery learning, diikuti oleh interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory (guided inquiry. bounded inquiry dan free inquiry) dan yang tertinggi adalah hypothetical inquiry. Dengan demikian, setiap kali siswa melewati level inkuiri yang baru maka siswa juga telah menguasai science process skill yang lebih kompleks. Dalam penelitian Erniati (2010), pendekatan dengan free

3 inquiry menunjukkan pencapaian kemampuan literasi sains siswa SMA yang lebih baik dibandingkan dengan guided inquiry dengan hasil yang tidak signifikan. Tetapi Humaira (2012) menyatakan aplikasi guided inquiry memiliki banyak hambatan dikarenakan faktor waktu serta kesiapan dan bekal guru dalam melaksanakan pembelajaran, sehingga kemampuan scientific inquiry literacy melalui discovery learning memiliki rata-rata pencapaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan guided inquiry. Dengan demikian perlu dilakukannya studi untuk mengetahui bagaimana pengaruh jenis pendekatan inkuiri lain yang levelnya lebih tinggi daripada discovery learning namun tidak lebih tinggi dari guided inquiry. Salah satu dari pendekatan tersebut adalah melalui interactive demonstration. Wenning (2012b) menyatakan dalam interactive demonstration siswa berinkuiri dengan cara mengaitkan penjelasan (explanation) dengan pembuatan prediksi (prediction-making) serta dalam level ini guru diperkenankan untuk memicu, mengidentifikasi, mengkonfrontasi dan memecahkan kembali konsepsi alternatif (addressing prior knowledge) yakni konsepsi yang diluar konsepsi yang diharapkan. Selain dapat meningkatkan kemampuan intelektual siswa dalam sains, pembelajaran berbasis inkuiri juga bisa memicu timbulnya sikap ilmiah pada siswa (Rupilu, 2012). Tidak semua materi dalam mata pelajaran biologi, berpotensi untuk dibelajarkan dalam pembelajaran berbasis inkuiri (misal sistem reproduksi). Salah satu materi yang dianjurkan adalah transportasi pada tumbuhan, misalnya osmosis dan difusi. Karakteristik materi ini meskipun konseptual dan abstrak tetapi dapat dibuktikan secara kongkrit pada tingkat organ secara kualitatif, sehingga banyak aspek yang bisa digali dalam pembelajaran yang berbasis inkuiri (Balitbang, 2006). Scientific attitude (sikap ilmiah) dianggap sebagai implikasi literasi sains (Rupilu, 2012). Sikap ilmiah menentukan pandangan siswa terhadap sains, motivasi karir di bidang sains dan penggunaan metode ilmiah dalam kehidupan sehari-hari (Zuriyani, 2012). Ekohariadi (2009) menyatakan literasi sains siswa berkorelasi positif dengan sikap siswa terhadap sains. Moore & Sutman dalam

4 Moore & Foy (1997) menyusun rangkaian tes yang dinamakan Scientific Attitude Inventory (SAI) untuk mengevaluasi sikap ilmiah siswa. Sampai saat ini SAI masih terus direvisi, terakhir adalah SAI II yang disusun oleh Moore & Foy (1997). Selain mengevaluasi literasi sains PISA juga ikut mengevaluasi sikap, yakni sikap siswa terhadap sains. Osbourne, et al., (2003) menyatakan attitude toward science (sikap terhadap sains) adalah adopsi dari scientific attitude (sikap ilmiah). Mengingat urgensi dan pentingnya upaya peningkatan literasi sains dan sikap ilmiah ke arah yang lebih baik pada siswa SMP, maka dilakukan penelitian yang mengukur dan menganalisis peningkatan dan pencapaian literasi sains dan sikap ilmiah melalui pembelajaran berbasis inkuiri dengan level interactive demonstration pada materi transportasi zat pada tumbuhan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pada bagian sebelumnya, berikut adalah rumusan masalah penelitian: Bagaimana perbedaan dan peningkatan pencapaian literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP antara kelompok eksperimen (pembelajaran interactive demonstration) dengan kelompok kontrol (pembelajaran konvensional)?. Berikut adalah pertanyaan ilmiah yang telah disusun: 1. Bagaimana keterlaksanaan model interactive demonstration pada kelompok eksperimen dengan materi transportasi pada tumbuhan? 2. Bagaimana peningkatan kemampuan literasi sains siswa SMP dengan pembelajaran interactive demonstration pada materi transportasi pada tumbuhan? 3. Bagaimana perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan pembelajaran interactive demonstration pada materi transportasi pada tumbuhan? 4. Bagaimana peningkatan sikap ilmiah siswa SMP dengan pembelajaran interactive demonstration pada materi transportasi pada tumbuhan?

5 5. Bagaimana perbedaan peningkatan sikap ilmiah antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan pembelajaran interactive demonstration pada materi transportasi pada tumbuhan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : Mengidentifikasi perbedaan dan peningkatan pencapaian literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP antara kelompok eksperimen (pembelajaran interactive demonstration) dengan kelompok kontrol (pembelajaran konvensional) D. Batasan Masalah 1. Pembelajaran interactive demonstration yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran dengan menggunakan model dan atau metode interactive demonstration terkait konsep osmosis dan difusi dengan media bawang daun. 2. Siswa SMP yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelompok VIII pada semester 2 yang berperan sebagai subjek penelitian, pemilihan disesuaikan dengan maksud penelitian dan standar isi KTSP 2006. 3. Materi transportasi zat yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada osmosis dan difusi pada tumbuhan. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi siswa dan Guru Biologi a. Capaian literasi sains dapat digunakan sebagai bagian dari evaluasi keberhasilan sains di bidang biologi. b. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan acuan atau dasar unuk meningkatkan pencapaian literasi sains dan sikap ilmiah siswa. 2. Bagi Sekolah

6 a. Hasil penelitian berupa capaian literasi sains dan sikap ilmiah siswa dapat menjadi masukan bagi sekolah dalam mengevaluasi pelaksanaan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). 3. Bagi Pemerintah a. Pemerintah melalui dinas pendidikan setempat dapat melakukan evaluasi pencapaian literasi sains bedasarkan hasil dan temuan pada penelitian ini. 4. Bagi Peneliti Lain a. Hasil dan temuan dalam penelitian ini bersama hasil penelitianpenelitian lain yang relevan dapat ditindak lanjuti pada penelitian lain yang lebih spesifik dan diharapkan dalam skala besar. F. Asumsi-asumsi Berikut adalah asumsi-asumsi yang telah dirumuskan: 1. Penerapan pembelajaran inkuiri secara sistematis menurut tingkatan inkuiri yaitu discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry lab, dan hypothetical inquiry, dapat mengembangkan kemampuan berfikir intelektual, pemahaman konseptual dan process skill siswa (Wenning, 2012a). 2. Metode pembelajaran interactive lecture demonstration dapat memberikan perubahan konseptual secara signifikan (Ashkenazi & Zimrot, 2007). 3. Siswa yang mendapatkan demonstrasi secara interaktif dapat lebih memahami konsep yang diajarkan dibandingkan dengan siswa yang mendapat demonstrasi secara pasif (Crouch, et al., 2004). 4. Pembelajaran berbasis inkuiri dapat menimbulkan kepercayaan diri dalam melakukan penyelidikan ilmiah dibandingkan metode tradisional (Brickman, et al., 2011). 5. Metode inkuiri melibatkan secara maksimal kemampuan menyelidiki secara cermat, sistematis dan kritis serta kepercayaan diri dalam mengungkapkan fenomena tersebut (Widodo, 2011).

7 G. Hipotesis Penelitian 1. (H 0 ) : Tidak terdapat perbedaan peningkatan literasi sains dan sikap ilmiah pada kelompok dengan pembelajaran interactive demonstration (eksperimen) dibandingkan dengan kelompok dengan pembelajaran konvensional (kontrol). 2. (H 1 ) : Terdapat perbedaan peningkatan literasi sains dan sikap ilmiah pada kelompok dengan pembelajaran interactive demonstration (eksperimen) dibandingkan dengan kelompok dengan pembelajaran konvensional (kontrol).