PEMBELAJARAN BERBASIS ALAM



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. budaya dalam bentuk pola pikir. Sebagai proses transformasi, sudah barang tentu

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu untuk. mengembangkan potensi diri dan sebagai katalisator bagi terjadinya

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendekatan Problem Based Learning untuk Pembelajaran Optimal

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang tersebut, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE (5E) TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS BIOLOGI SISWA KELAS X SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Rupert Evan merumuskan tujuan Pendidikan Kejuruan (SMK) : 1) memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat. Oleh karena itu maka setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. mereka sehingga terwujud keprofesionalan yang mantap. Seorang guru dituntut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa kini telah melahirkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ida Rosita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang

BAB I PENDAHULUAN. penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Hal ini karena mata pelajaran IPA khususnya, akan memiliki peranan

II. KERANGKA TEORETIS. pembelajaran fisika masalah dipandang sebagai suatu kondisi yang sengaja

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas salah satunya dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. andil yang cukup besar. Guru memang bukan satu-satunya penentu. itu, guru adalah bapak ruhani ( spiritual father) bagi siswa, yang

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu perlu dilakukan peningkatan mutu pendidikan. Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. penerus yang akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) yang

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. di tingkat dasar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam Ruang Lingkup IPA SD/MI

BAB I PENDAHULUAN. (beribadah) kepada penciptanya. Oleh karena itu Islam memandang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan nasional, pendidikan diartikan sebagai upaya

PENERAPAN MEDIA GAMBAR DALAM MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sangat banyak. Tuntutan tersebut diantaranya adalah anak membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

PENERAPAN PENDEKATAN CTL PADA PEMBELAJARAN IPA TENTANG STRUKTUR DAN FUNGSI BAGIAN PADA TUMBUHAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. kini, dan pendidikan berkualitas akan muncul ketika pendidikan di sekolah juga

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION

BAB I PENDAHULUAN. keluarga serta lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan

KETERAMPILAN-KETERAMPILAN MENGAJAR

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sains dan teknologi adalah suatu keniscayaan. Fisika adalah

Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI

NUR ENDAH APRILIYANI,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Menurut Muhaimin (2008: 333), kurikulum adalah seperangkat

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat, menyebabkan semakin derasnya arus informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan untuk kehidupan. (KTSP). Sesuai dengan amanat KTSP, model pembelajaran terpadu

BAB I PENDAHULUAN. tingkat menengah yang bertujuan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

Listiani dan Kusuma. Memperkenalkan Penerapan Strategi 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sangat berperan adalah lembaga pendidikan. Dalam mencapai tujuan

MODEL PEMBELAJARAN PBL ( PROBLEM BASED LEARNING)

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), yang meliputi: guru,

BAB I PENDAHULUAN. (pendidik), kurikulum (materi pelajaran), sarana (peralatan dan dana) serta murid

BAB I PENDAHULUAN. belajar dengan berbagai metode, sehingga peserta didik dapat melakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengembangkan pengetahuan dan kepribadiannya. Pendidikan ini

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

I. PENDAHULUAN. Dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang mengalami krisis, yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika proses-proses

BAB I PENDAHULUAN. teknologi informasi (TIK), dan lahirnya masyarakat berbasis ilmu pengetahuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan evaluasi. Untuk mendapat out-put belajar-mengajar yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. yang terpenting dalam meningkatkan kualitas maupun kompetensi manusia, agar

PEMBELAJARAN IPA SMP MENURUT KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan kompotensi dalam belajar mengajar (KBM) agar peserta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia. Seiring

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya pembelajaran kimia yang kreatif dan inovatif, Hidayati (2012: 4).

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat di era

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

Orientasi pada kinerja Individu dalam dunia kerja, 2) justifikasi khusus pada

Transkripsi:

PEMBELAJARAN BERBASIS ALAM Peni Susapti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga Abstract The natural-based learning appreciated well in societies is indicated by the apearance of outbond project everywhere whether this is conducted by schools, education institutions, government offices or private institutions. In Indonesia, outbond which is identical with natural-based learning approach is supported by the availibility of a great deal of natural resources and the appropriate geographical circumstances. However, education holders need to be serious to conduct the natural-based learning. Natural-based learning is a kind of learning processes integrating learning materials and environment. This makes students explore freely and interact immdiately with environment, so this is able to develop students knowledge. Using the approach, students will posses a strong attitude to affect other creatures and environment. They become accostomed to and are skillful to interact well with their environment, and are able to survive in any conditions. In addition, together with their teachers, they are able to construct new knowledge that continuosly develops based on their previous experience. The implementation of natural-based learning is not always out of classrooms, but learning resources available outside can be transmitted into the rooms with any models of learning approaches. The process of natural-based learning is a process by which students are the actors and not only the receivers. The range of the process is endless from farming through conflict resolution, from assessment (psychology) through adulthoodness, from skill training through theoretical models. The implementation of natural-based learning should be designed appropriately, even though to achieve the ideal learning model is not exactly easy. Therefore, there must be anticipative, adaptive, and aplicative curriculum model approprite with students needs and with the development of science and technology. Keywords: natural-based learning, outbond, learning approach Pendahuluan Akhir-akhir ini kegiatan outbond semakin marak dilakukan oleh sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pendidikan, kantor-kantor swasta maupun pemerintah. Bak jamur di musim penghujan, kegiatan ini bermunculan di mana-mana dan mendapat respon yang cukup bagus di masyarakat. Lalu timbul pertanyaan, sesungguhnya ada apakah dengan fenomena ini? Apakah mereka yang ikut program outbond tersebut memang bersungguh-sungguh atau sekedar mengikuti trend saja, agar dianggap tidak ketinggalan jaman. Kegiatan belajar mengajar di sekolah selama ini ebih banyak dilakukan di dalam kelas. Para guru lebih senang menerapkan pembelajaran di dalam kelas, maka ketika ditawarkan program outbond langsung mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak. Respon masyarakat yang begitu hangat, hendaknya menjadikan para penyelenggara pendidikan melirik dan menerapkan model pembelajaran ini. Outbond dipahami sebagai pembelajaran yang dilakukan di luar ruang atau lebih tepatnya belajar di alam bebas, walaupun sesungguhnya bisa diterapkan di dalam kelas. Artinya model pembelajaran di alam bebas bisa di bawa masuk ke dalam kelas, tergantung bagaimana mengatur dan mengolah metode yang akan digunakan, sehingga suasana kelas menjadi lebih semarak.

Pembelajaran di luar ruang akan membawa peserta didik dapat berintegrasi dengan alam. Alam akan membuka cakrawala pandang siswa lebih luas. Metode ini juga diharapkan dapat menjalin keselarasan antara materi pembelajaran dengan lingkungan sekitar. Tidak semua materi dapat menerapkan metode ini, namun alangkah baiknya apabila sesekali siswa/mahasiswa diajak langsung untuk terjun ke lapangan melihat dunia nyata/aktual. Para siswa diharapkan dapat menimba ilmu secara langsung dari pengalaman nyata yang ada, sehingga materi pembelajaran lebih mudah dipahami dan diingat untuk jangka panjang. Pepatah mengatakan bahwa apa yang dilihat apa yang diingat. Kebanyakan materi pembelajaran dapat didekati dengan model pembelajaran berbasis alam. bergantung bagaimana guru mengemasnya. Di sini dibutuhkan kejelian, ketajaman dan keuletan guru dalam mencari relasi antara materi ajar dengan kondisi konkrit yang terjadi di sekitar. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk dapat menerapkan model belajar berbasis alam dengan baik di awal kegaiatan ini dilaksanakan, tetapi apabila sudah terbiasa maka hal yang dirasa berat akan terasa ringan. Kebanyakan guru masih menyukai pembelajaran di dalam kelas, yang mana ruangan merupakan primadona bagi guru untuk melakukan proses pembelajaran. Tanpa ruangan kelas sepertinya guru kehilangan gairah ataupun sesuatu yang sangat berharga. Seolah ruangan merupakan sarana pembelajaran yang mutlak harus ada. Guru seperti mati langkah apabila tidak kebagian jatah ruangan/kelas. Padahal sesungguhnya proses pembelajaran dapat dilakukan di mana saja termasuk di luar ruangan/alam bebas. Lingkungan sekitar dapat dijadikan sebagai alternatif lain untuk menyiasati keterbatasan ruang kelas. Ruangan kelas selama ini memang merupakan salah satu unsur sarana pendidikan yang harus dipenuhi. Apalagi jika model pembelajaran menggunakan multimedia, ketergantungan akan ruang kelas sangat besar. Kalau sudah begini kita akan terjebak dengan keharusan adanya ruang/kelas untuk proses belajar mengajar dan bisa jadi dapat mundur selangkah ke belakang seperti periode sebelum diterapkannya KBK. Para guru merasa tidak afdhol apabila belajar di luar kelas, rasanya kurang sreg. Guru merasa kikuk ataupun canggung serta ribet untuk melakukannya. Penulis ingin mengupas penerapan belajar berbasis alam dalam makalah ini. Penulis berharap dapat membuka khasanah model pembelajaran berintegrasi dengan alam, yang dapat membuat suasana pembelajaran yang lebih segar, nyaman bagi pebelajar. Pembahasan Belajar berbasis alam Secara substansi sekolah berbasis alam merupakan sistem sekolah yang menawarkan bagaimana mengajak siswa untuk lebih akrab dengan alam, sekaligus menjadikannya spirit untuk melakukan kegiatan belajar mengajar (Anshori, 2008:2).

Pembelajaran berbasis alam sebetulnya dapat secara fleksibel dilakukan, tidak harus dengan bentuk outbond, tetapi dapat dilakukan di lingkungan sekitar sekolah yang terdekat. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk menerapkan model belajar berbasis alam. Santyasa (2009:2) menyebutkan salah satu contoh model belajar berbasis alam antara lain pendekatan belajar berbasis masalah. Melalui model pendekatan belajar berbasis masalah, akan membawa peserta didik pada alam nyata, yang dapat langsung diindera secara visual oleh peserta didik. Peserta didik akan memperoleh pengalaman nyata serta dapat memadukan antara teori dan kondisi nyata yang ada di lapangan, sehingga mudah diingat dan akan melekat kuat dan tahan lama dalam diri peserta didik. Di samping itu suasana akan lebih cair, segar, yang tentunya akan menarik peserta didik untuk terus mencari dan menemukan sesuatu. Model pembelajaran ini dapat juga dipadukan dengan pendekatan inkuiri, di mana peserta didik diajak untuk menemukan sesuatu dan menyimpulkan konsep sendiri. Diharapkan dengan model ini peserta didik akan menghargai proses pencarian dan penemuan, sehingga pembelajaran akan lebih berkualitas dan bermakna (Santyasa, 2009:2). Bay (2008:1) melaporkan bahwa kita wajib bersyukur apabila termasuk salah satu orang yang punya hobi bercengkerama dengan alam. Pengalaman yang dapat diambil dari alam terbuka ternyata dapat diterapkan sebagai konsep belajar dan membuka diri. Konsep inilah yang dianggap mumpuni untuk menstimulasi kegiatan sehari-hari. Kini kegiatan belajar di alam terbuka dalam bentuk outbound training kian marak ditawarkan. Meskipun istilah ini tidak dikenal dalam dunia pendidikan berbasis kegiatan di alam terbuka (outdoor education), tampaknya masyarakat terlanjur mengenalnya. Akibat salah kaprah tadi, masyarakat awam terlanjur rancu dengan istilah outbound training. Padahal pengertian outbound training sendiri masih tidak jelas. Banyak penyedia jasa berbasis aktivitas tali- temali (ropes course) menyebut kegiatannya sebagai outbound training. Sementara itu banyak pula yang menyebut kegiatan rekreasi (outing) dengan outbound, hanya karena beberapa jenis permainan yang biasa digunakan dalam pelatihan berbasis kegiatan di alam terbuka (outdoor-based) dimainkan pada acara itu. Di lain pihak, ada yang menyebut pelatihan berbasis kegiatan di alam terbuka sebagai outbond training. Apa yang disebut sebagai outbond training oleh mereka yang menggunakan alam terbuka sebagai media belajar, sebenarnya lebih tepat jika disebut pelatihan berbasis kegiatan di alam terbuka (outdoor-based training) dengan mengedepankan pendekatan belajar dari pengalaman (experiential learning). Selanjutnya Waseso mengatakan bahwa sesungguhnya tidak pernah dikenal outbond training, yang ada itu outdoor based training. Mungkin salah kaprah ini karena operator yang memasarkan pertama kali pelatihan model ini di Indonesia adalah Outward Bound Indonesia (OBI). Karena keseringan disebut akhirnya keluar istilah outbound training (http://gerbangtiga.blogspot.com). Definisi secara singkat menurut Claxton(1987)seperti yang dilansir oleh Bay (2008:3), yang disebut EL adalah proses belajar di mana subjek melakukan sesuatu -bukan hanya

memikirkan sesuatu. Ditinjau dari pengertian ini, maka apa yang dilakukan peserta belajar baik di dalam maupun di luar kelas dapat disebut sebagai EL. Confucius beberapa abad lalu mengatakan bahwa aku melakukan, maka aku memahami. Kegiatan EL itu tak terbatas belajar di alam terbuka. Cakupannya luas dari bercocok tanam sampai ke conflict resolution. Dari assessment (psikologis) sampai ke perkembangan remaja. Dari skill training sampai ke modelmodel teori. Malahan sebagian besar orang menyebut bahwa semua jenis pendidikan adalah EL. Ada empat pandangan tentang EL. Yang pertama, memandang pengalaman hidup dan kerja sebagai basis untuk mencapai tangga keberhasilan dalam mencapai pendidikan tinggi, pekerjaan, kesempatan mengikuti pelatihan dan menjadi anggota badan ias am onal. Kedua berfokus bahwa EL merupakan basis untuk berkembang dalam berbagai perubahan struktur (organisasi). Ketiga menekankan EL sebagai basis dalam meningkatkan kesadaran akan grup, perubahan ias a dan kegiatan kemasyarakatan. Terakhir menekankan perkembangan personal dan perkembangan efektifitas tim. (http://gerbangtiga.blogspot.com). Handriatno dalam Bay (2008:3) mengatakan bahwa EL lebih dari sekedar model belajar learning by doing. EL itu learning by doing reflection. Peran fasilitator dalam pelatihan akan membawa peserta kepada refleksi. Refleksi diri harus ditemukan pada saat berjalan-jalan di alam terbuka. Namun EL itu bukan kegaitan di luar ruang menurutnya, sebab bisa dilakukan di dalam ruang, tergantung media yang akan dipakai dan juga tak selalu melibatkan aktivitas fisik yang terlalu banyak. Berlatih di alam terbuka dengan pertimbangan orang akan lebih banyak berekspresi dan eksplorasi. Media yang lebih luas menyebabkan beban di pundak berkurang, yang akan membantu membuka pikiran diri sendiri. Di alam terbuka orang memasuki tahapan pengalaman emosional yang lebih kuat. Waktu kegiatan mereka banyak mengeluarkan aktivitas fisik. Rasa capek membaluti sisa tenaga yang masih tersisa. Biasanya orang-orang yang masih punya sisa tenaga selalu menyemangati teman-teman yang sudah capek (http://gerbangtiga.blogspot.com). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di sini fasilitator dituntut untuk bisa memainkan perannya dalam membantu peserta mengenali diri sendiri. Fasilitator harus mampu menggali dari pengalaman peserta, agar lebih deskriptif. Selain itu, fasilitator juga harus sanggup menstimulasi peserta dalam meyakini sesuatu. Fasilitator betul-betul harus mampu menjadi motivator bagi peserta didik. Sesungguhnya model pembelajaran out bond dalam Islam sudah dikenal dengan tafakur alam. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjadikan alam sebagai laboratorium, yang mana akan bermanfaat mengajak siswa untuk selalu mensyukuri nikmat serta mengagungkan kebesarannya (Susapti, 2009: 5). Pada tafakur alam siswa dibawa untuk mengenal alam lebih dekat, belajar mengenai makhluk-makhluk ciptaan Allah, mengenal dan mengerti tentang hakekat sesuatu dari alam langsung. Model ini akan lebih mengajak siswa kepada belajar yang penuh makna, siswa tidak sekedar menerima materi ajar dari guru, tetapi dapat mengamati secara langsung untuk

kemudian diterjemahkan dalam alam pikirnya, serta diolah dengan rasa. Di sinilah letak kebermaknaan itu. Siswa akan dapat mengkolaborasikan antara fakta, akal dan rasa kekaguman akan ke Maha Agungan Sang Khalik. Menilik paparan tersebut di atas, maka sesungguhnya kebanyakan materi ajar dapat didekati dengan model belajar berbasis alam. Karena selama ini yang terbersit di benak kebanyakan orang apabila menyebut belajar berbasis alam pasti langsung menghubungkannya dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Implementasi pembelajaran berbasis alam antara lain telah dilakukan oleh Sekolah Alam di Bogor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yusnar pada tahun 2009 menunjukkan hasil bahwa: 1) Pelaksanaan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Alam Bogor menggunakan model tema spider web yang menghubungkan mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain. 2) Pendekatan pembelajaran yang digunakan di Sekolah Alam Bogor adalah Pendekatan Lingkungan, Pengalaman, Pembiasaan dan Keteladanan. 3) Sekolah Alam Bogor menggunakan beberapa metode, diantaranya adalah metode Demonstrasi, Tanya Jawab, Diskusi, Ceramah, Sosio Drama, Bermain peranan dan Kerja Kelompok. 4) Hasil pembelajaran di Sekolah Alam Bogor yang dapat diungkap dalam skripsi ini meliputi: Pengetahuan (cognitive), Afektif dan Psikomotorik. Dengan suasana pembelajaran yang tidak ada dikotomi ilmu, menjadikan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh siswa bersifat integral. Sikap (Affective), Siswa memiliki sikap mental yang kuat. Ia menjadi penyayang terhadap tumbuhan, binatang dan juga alam sekitar. Siswa memiliki sikap yang baik terhadap alam. Keterampilan (psikomotorik). Mereka menjadi terbiasa dan terampil berinteraksi dengan alam disekitarnya dengan baik. Disamping itu keterampilan untuk bertahan hidup ketika dalam kondisi sempit dan keterampilan dalam hal talitemali ketika kemahpun mereka miliki. Pendekatan dalam Belajar Berbasis Alam (BBA) Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk diterapkan pada pembelajaran berbasis alam. Pendekatan tersebut antara lain dengan model inkuiri, pendekatan berbasis masalah, eksperimen, demonstrasi, menggambar, diskusi, tanya jawab, bermain peran, sosiodrama, ceramah, dan lainlain. Esensi sesungguhnya adalah untuk lebih mendekatkan siswa pada alam nyata, agar terdapat integrasi antara teori dan kenyataan. Dengan mendekatkan siswa pada alam bebas, maka kemampuannya akan lebih tereksplorasi secara bebas. Menurut Santyasa (2009:2) belajar paling efektif terjadi dalam suasana bebas. Inovasi adalah upaya untuk memperoleh percepatan proses dan keindahan hasil belajar berbasis pada kebebasan dan keberagaman. Mengajar adalah melayani agar percepatan dan keindahan itu diperoleh dalam suasana menggembirakan. Learning can be fun, but learners can make it so. Santyasa (2009:3) menambahkan bahwa pembelajaran berbasis masalah yang dalam bahasa Inggrisnya diistilahkan Problem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan

pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open-ended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: 1. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan 2. Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar 3. Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan seputar disiplin ilmu 4. Memberikan tanggung jawab sepenuhnya pada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri 5. Menggunakan kelompok kecil, dan 6. Menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance). Jonassen (1999) dalam Santyasa (2009: 3) mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning. Model tersebut memuat komponen-kompenen esensial yang meliputi: a. pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, b. kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain, c. sumber-sumber informasi, d. cognitive tools, e. pemodelan yang dinamis, f. percakapan dan kolaborasi, g. dukungan kontekstual/sosial. Lebih lanjut Santyasa menjelaskan masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined. Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objekobjek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan dapat memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas dapat menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi. Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu pebelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar konstruktivistik, kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu dengan memberikan scaffolding untuk membantu memori pebelajar dan dengan meningkatkan fleksibilitas kognisi pebelajar. Fleksibilitas kognisi mereprentasi isi dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas berfikir divergen dalam proses representasi masalah.

Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikontruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Cognitiv tools merupakan scaffolding bagi pebelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitiv tools membantu pembelajar untuk merepresentasikan apa yang diketahuinya dan apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas. Scaffolding merupakan suatu pendekatan yang sistematis yang difokuskan pada tugas dan lingkungan belajar, guru dan pebelajar. Sacaffolding memberikan dukungan temporal yang mengikuti kapasitas kemampuan pebelajar, yang mencakup penentuan tingkat kesulitan tugas, restrukturisasi tugas, dan memberikan penilaian alternatif Ansori (2008:2) mengatakan sejauh ini, sebagian besar sekolah hanya mengedepankan system belajar in-door saja yang cenderung statis dan membosankan. Akibatnya, tidak sedikit dari siswa yang patah semangat atau malas-malasan untuk belajar. Menyikapi fenomena tersebut muncul sebuah gagasan bagaimana menciptakan sebuah system belajar yang enjoy dan mengasyikkan tanpa mengurangi substansi materi pembelajaran. Oleh sebab itulah sekolah berbasis alam itu muncul di Jepang dengan menawarkan format yang seimbang antara kegiatan belajar in-door dan. out-door Kendala belajar di luar kelas Belajar di luar ruangan sering terkendala oleh banyak faktor yang menyebabkan keengganan para guru untuk melakukannya. Banyak kendala yang harus dihadapi ketika pembelajaran dilakukan di luar ruangan. Kendala-kendala tersebut antara lain: 1. Volume dan kekuatan suara harus lebih besar, agar dapat ditangkap oleh audiens. Di luar ruangan guru tentunya mau tidak mau harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk dapat lebih membesarkan volume suaranya. Hal ini karena gelombang bunyi akan terus menyebar, di mana tidak ada batas ruang. Selain itu banyak terdapat gangguan bunyi-bunyi lain yang ikut mengacaukan suara guru. Kondisi ini juga ikut mempengaruhi besaran volume suara yang dapat diterima audiens. 2. Guru/dosen harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk memusatkan perhatian audiens. Di luar kelas banyak pemecah konsentrasi yang tidak terduga, sehingga guru harus pandai menerapkan strategi pembelajaran. Sejak awal sebaiknya perencanaan sudah harus dibuat secara matang. Rencana pembelajaran sebaiknya dibuat secermat mungkin, sehingga siswa betul-betul terkonsentrasi pada materi yang hendak dipelajarinya. Oleh karena itu dengan pendekatan inkuiri serta strategi permainan kiranya lebih tepat diterapkan untuk hal ini. 3. Model pembelajaran harus dibuat menarik, variatif

Model pembelajaran yang konvensional dengan metode ceramah dirasa kurang tepat untuk diterapkan apabila belajar berbasis alam. Apabila guru memaksakan diri dengan metode tersebut, maka konsentrasi siswa akan terpecah oleh berbagai faktor penggangu yang lain. Ceramah masih perlu dilakukan, hanya diterapkan di awal saja, yaitu guru memberikan arahan-arahan berupa point-point pokok yang harus dikerjakan siswa, untuk langkah selanjutnya diserahkan mereka. Di samping itu guru dapat menerapkan berbagai metode yang menarik lain, sehingga siswa dapat memperoleh sesuatu yang baru sambil berekspresi secara bebas. Peran guru sebagai fasilitator akan nampak nyata di sini, misalnya sambil berkeliling guru harus tetap memantau hal-hal yang menjadi kesulitan dan dibutuhkan siswa. 4. Sangat tergantung cuaca Cuaca memegang kendali yang cukup besar dalam pembelajaran berbasis alam. Ada hal-hal yang sebaiknya menjadi perhatian guru. Apabila pembelajaran dilakukan di sekitar sekolah tentunya tidak banyak yang harus dipersiapkan, tetapi kalau pembelajaran dilakukan di luar lingkungan sekolah tentu lebih banyak yang harus dipersiapkan. Di samping itu guru juga harus mengantisipasi kondisi cuaca, apakah cerah atau hujan, karena tentunya kita tidak dapat membiarkan anak-anak basah kuyup terkena air hujan. Demikian pula ketika panas terik, anak-anak biasanya tidak mau berpanas-panas di bawah terik matahari. 5. Konsentrasi audiens kurang Seperti kita ketahui bersama bahwa di luar kelas banyak faktor pemecah konsentrasi, antara lain dari segi pendengaran maupun pandangan. Dari segi suara misalnya, deru kendaraan bermotor apabila pembelajaran dilakukan di tengah hiruk pikuk padatnya kota. Apabila pembelajaran dilakukan di kebun atau di sawah hal ini mungkin tidak terlalu berpengaruh. Dari segi pandangan konsentrasi akan terpecah apabila pembelajaran dilakukan di sekitar sekolah atau kampus sementara banyak lalu-lalang siswa atau mahasiswa lain. Namun demikian semua itu dapat diatasi, asalkan pembelajaran dilakukan dengan perencanaan yang matang dan tepat. Menemukan kembali arti belajar Ada banyak pengertian tentang belajar yang disusun oleh para ahli. Menurut Garnida (2002:72) secara umum belajar dapat diartikan sebagai suatu kegiatan individu atau kelompok individu dalam upaya mencapai perubahan yang positif dan bermanfaat bagi dirinya. Untuk mencapai perubahan itu kebanyakan orang langsung berpikir harus sekolah. Hal ini senada yang dikatakan Anshori (2008:2) bahwa banyak orang beranggapan belajar itu identik dengan sekolah. Jadi ketika berbicara wajib belajar mereka memaknainya dengan wajib sekolah. Dengan demikian belajar adalah urusan anak sekolahan, bukan urusan orang tua, orang dewasa, bukan pula urusan orang yang sudah bekerja, atau masyarakat pada umumnya. Maka belajar itu merupakan urusan anak-anak dan dunia persekolahan pada umumnya.

Tentu saja hal ini tidak benar, sebab apabila kita melihat lebih jauh tentang makna belajar yang dikemukakan beberapa tokoh pendidikan, kita mampu menyimpulkan bahwa belajar adalah proses pertumbuhan dan atau perubahan agar tahu (knowledge), agar mau (attitude), agar bisa (skills) dan agar berhasil (performance). Oleh karena manusia menempati posisi sentral dari proses pembelajaran, maka pengertian belajar juga bisa dipahami sebagai proses perubahan dan/atau pertumbuhan manusia dari keadaannya yang semula potensial (human being) menjadi actual (being human). Jadi kegiatan belajar merupakan proses berkesinambungan sejak manusia lahir hingga mati ( minal mahdi ilal lahdi (al-hadits). Oleh sebab itu sebagai seorang muslim kita dituntut untuk dapat lebih dalam menghayati makna belajar secara utuh, sehingga mampu mewujudkan cita-cita terbesar diutusnya manusia ke bumi, yaitu sebagai khalifah yang bertugas untuk menjaga dan memakmurkan bumi(anshori, 2008:20). Sarana dan prasarana belajar berbasis alam 1. Kondisi Geografis Indonesia Secara geografis Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra dengan sumber daya alam yang sangat luar biasa untuk mendukung proses pembelajaran berbasis alam. Apabila ditinjau dari khasanah budaya, Indonesia merupakan suatu negara yang kaya akan berbagai macam budaya. Alam negeri seribu pulau dengan berbagai panorama pemandangan yang indah dapat membantu peserta didik untuk lebih memaknai proses pembelajaran, apabila pendekatan yang digunakan para guru teritegrasi dengan alam. Akan lebih bermakna lagi apabila proses pembelajaran dapat mengintegrasikan antara teknologi, alam, serta budaya, sehingga apa yang dicita-citakan oleh pendidikan dalam menciptakan manusia seutuhnya dapat terwujud. Dalam penerapan pembelajaran sesungguhnya kita diharapkan untuk selalu menekankan hubungan yang baik secara lateral maupun horizontal, sehingga dapat tercipta keseimbangan antara jasmani dan rohani. Relasi yang seimbang ini sangat penting untuk dipupuk sejak dini, sehingga manusia yang sutuhnya (insan kamil) seperti yang dicita-citakan pendidikan Islam dapat terwujud. Menurut Arifin (2009: 120-121) ada tiga relasi fundamental manusia baik terhadap Tuhan maupun sesamanya. Pertama, relasi kooperatif, yaitu relasi manusia dengan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia satu dengan manusia yang lain berstatus sama dalam memanfaatkan potensi alam yang ada. Kedua, ralasi konsumtif, yaitu relasi manusia dengan alam lingkungannya. Ketiga relasi tanggung jawab (mustakhlif), yaitu relasi antara manusia dan Tuhan sebagai pertanggungjawaban dalam memanfaatkan alam. Relasi ini dibangun untuk menciptakan kemakmuran agar alam dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kehendak penguasa tunggalnya (Allah). Dari ketiga tipe di atas, maka makna belajar akan nyambung dengan hakekat manusia sebagai khalifah Allah harus lebih mengedepankan etika kesalehan terhadap lingkungan. Atas dasar etika ini, maka manusia semestinya tidak akan bertindak eksploitatif terhadap lingkungan,

namun justru mengedepankan nilai-nilai kebajikan terhadap lingkungan. Dengan demikian penerapan belajar berbasis lingkungan akan menjadi lebih bermakna, sehingga diharapkan kondisi kerusakan lingkungan yang kian parah dapat diminimalisir. Hal ini karena sesungguhnya manusialah pemegang kunci dari kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Seperti termaktub dalam firman Allah berikut ini: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (Q.S Al Baqarah: 30). Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.S. Ar-Rum: 41) Nukilan ayat di atas menunjukkan bahwa apabila manusia mampu memaknai perannya sebagai kholifah dengan benar dan tidak main-main, maka cita-cita untuk menciptakan manusia seutuhnya akan terwujud. Sebagai seorang kholifah di muka bumi manusia akan dapat memakmurkan dan mensejahterakan bumi. Kondisi bumi yang makmur dan sejahtera sudah barang tentu akan memiliki daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi pula, yang berdampak pada eksistensi manusia di muka bumi ini. Produk pendidikan yang dengan pendekatan belajar berbasis alam diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia yang sholeh, arif terhadap lingkungan. Manusia-manusia yang tidak tamak, sabar, penyayang, menjadi pemulia lingkungan, sehingga akan terjadi hubungan mutualisme antara manusia dan lingkungan. Selanjutnya Arifin mengatakan bahwa terma homo Islamicus merujuk pada perilaku individu yang dituntun oleh nilai-nilai Islam. Idealnya seorang muslim adalah homo islamicus yang sejati, atau potret dari nilai-nilai Islam yang terpraktekkan secara aktual yang selalu memandang alam sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, ramah dengannya, bukan sebaliknya. Dalam relasi ini manusia berstatus penguasa dalam memanfaatkan alam, sementara alam sebagai obyek kekuasaan manusia. Hubungan rasional ini tetap harus mencerminkan hubungan homo islamicus yang selalu menjunjung nilai-nilai keseimbangan. Sebagai bangsa yang dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa sudah semestinya untuk selalu mensyukuri nikmat-nya dan menjaga nilai-nilai keseimbangan relasi antara makhluk yang ada di bumi tercinta ini. Sudah semestinya dalam proses pembelajaran siswa dibimbing oleh seorang guru yang mampu mengarahkan siswanya untuk menjalin hubungan yang bermakna ini.

2. Guru Apabila kita mengacu pada pembelajaran dengan model Belajar Berbasis Alam (BBA) peran guru tidak lagi sebagai nara sumber, yang menjadikannya sebagai pusat pebelajar, namun lebih sebagai fasilitator. Pada paradigma pembelajaran absolutisme terjadi proses alih pengetahuan yang dilaksanakan oleh guru. Djumhana (2009: 40) mengatakan bahwa guru berfungsi sebagai pelaksana alih pengetahuan. Guru menjadi agen alih pengetahuan. Para ahli menyimpan ilmu pengetahuan yang disusunnya berupa buku teks, makalah, artikel, laporan penelitian dan sebagainya. Oleh guru ditulis sebagai buku ajar. Para guru mengolahnya dan menyampaikan kepada siswa. Guru mengatur seberapa luas dan dalam pengetahuan yang harus diteruskan kepada siswa. Sebagai agen alih pengetahuan, guru berfungsi sebagai pemutar keran yang menentukan seberapa banyak air yang dikucurkan, sehingga ia tidak punya hak untuk menetapkan ciri-ciri pengetahuan yang disampaikan. Pada pembelajaran BBA paradigma yang tepat diberlakukan adalah konstruktivisme. Di sini peran guru adalah sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai doktriner. Guru berperan membantu dalam membangun aktifitas siswa mengkonstruksi pengetahuan. Djumhana (2009: 42) mengatakan bahwa pada paradigma konstruktivisme pembelajaran dipahami sebagai proses membangun aktifitas siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan cara membuat hubungan/ keterkaitan antara pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan yang sedang dipelajari melalui interaksi dengan yang lain (kontekstual). Peran Guru pada pembelajaran berbasis alam tidak boleh terlalu dominan, bertindak diktator, atau semena-mena, sebaiknya lebih menghargai aktivitas, kreativitas, sikap, maupun motivasi siswa. Penilaian yang dapat dilakukan tidak hanya hanya kognitif, tetapi juga afektif maupun psikomotorik, sehingga nilai akhir merupakan perpaduan antara ketiganya bahkan lebih. Djumhana (2009: 37) menambahkan bahwa sosok seorang guru madrasah perlu juga memahami berbagai hal yang tidak dapat digolongkan ke dalam penyebab terjadinya suatu perubahan yang disebut kegiatan belajar. Masalah belajar pada siswa madrasah dapat terjadi dan bersumber dari siswanya sendiri, lingkungan keluarga dan lingkungan madrasah. 3. Siswa Siswa pada pembelajaran berbasis alam tidak di tempatkan hanya sekedar sebagai objek pebelajar, namun sebaliknya dapat menjadi subjek. Model pembelajaran ini menjadikan siswa untuk aktif membangun pengetahuan dengan cara mengkaitkan antara pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan yang sedang dipelajarinya melalui interaksi dengan alam. Model pembelajaran ini sesuai dengan paradigma konstruktivisme, terutama yang berhubungan dengan pembelajaran IPA dan mata pelajaran lain yang terkait. Menurut Djumhana (2009: 43) dalam paradigma konstruktivisme, materi tidak disusun dari atas tetapi ditetapkan bersama-sama antara siswa dan guru dengan fokus sesuai dengan kebutuha siswa. Pedagoginya berupa proses

fasilitasi agar konstruksi pengetahuan yang dilakukan siswa berlangsung. Guru berfungsi sebagai fasilitator yang membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara mereduksi konflik-konflik konseptual sesedikit mungkin. Evaluasi hasil belajar berupa assesmen unjuk kerja. Dengan demikian hasil belajar tidak sekedar pemberian tes tetapi kumpulan hasil kerja yang telah siswa lakukan yang disusun dalam suatu portofolio. Pembelajaran dengan paradigma konstruktivisme adalah pemberdayaan. 4. Model Kurikulum BBA Penerapan kurikulum berbasis kompetensi sesungguhnya sudah berlangsung beberapa tahun. Pada kurikulum ini para guru/dosen/pendidik dituntut untuk menerapkan berbagai model pembelajaran. Model pembelajaran yang diharapkan dapat lebih menyenangkan dan mempunyai dampak untuk jangka panjang yang lebih baik. Agar proses pembelajaran menyenangkan, tidak membosankan, serta bervariasi, sebaiknya para guru sudah harus mulai menerapkan pengembangan kurikulum yang inovatif. Untuk mengembangkan model kurikulum yang inovatif para guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menerapkan model pembelajaran. Menurut Dakir (2004: 11) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar-mengajar. Adapun fungsi kurikulum adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal senada diungkapkan oleh os2kangkung (2009:1) yang mengatakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat konsep yang mengatur tentang isi, tujuan, dan proses pendidikan yang akan dilaksanakan. Konsep yang diatur dalam kurikulum bersifat tidak kaku dan stagnan melainkan suatu gagasan yang dinamis dan progresif, terutama dalam memenuhi kebutuhan perkembangan anak pada berbagai aspek, kondisi perubahan sosio-antropologis dan ilmu pengetahuan serta teknologi, khususnya dalam bidang ilmu pendidikan dan/atau pembelajaran. Atas dasar itu, perlu diupayakan pemahaman dan sosialisasi perlunya pengembangan model kurikulum inovatif yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dan pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan pada berbagai lingkungan pendidikan keluarga (informal), masyarakat (nonformal) dan sekolah (formal). Pengembangan model kurikulum inovatif diarahkan untuk membantu pendidik dalam merancang model kurikulum, khususnya pada proses pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Melalui upaya ini diharapkan akan memberikan pencerahan pada pendidik untuk mengembangkan variasi proses pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan anak memperoleh sejumlah pengalaman belajar secara langsung (real learning), bermakna (meaningfull) dan konstruktif. Model pengembangan kurikulum inovatif, diharapkan dapat mengembangkan kreativitas anak. Kurikulum ini hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, misalanya pada anak usia dini belum dapat diajak untuk berfikir yang abstrak, karena mereka masih berada

dalam tahap perkembangan praoperasional. Pada tahap ini anak berada pada tahap menerima sesuatu yang konkret saja, untuk membayangkan sesuatu masih sulit. Oleh karena itu diperlukan kurikulum yang sesuai, sehingga dapat menunjang perkembangan jiwa dan berfikir anak dengan praktis dan tepat sasaran. Tujuan pengembangan model kurikulum inovatif dengan model pembelajaran berbasis alam disusun sebagai panduan praksis pembelajaran pada anak sesuai dengan karakteristik dan tahapan perkembangannya. Secara spesifik, tujuan tersebut diarahkan untuk: 1. Memberikan guideline bagi pendidik dan stakeholder lainnya dalam melaksanakan pendidikan pada anak khususnya dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis alam. 2. Memberikan panduan kepada guru dalam memahami konsep falsafah pendidikan yang menjadi dasar kerangka berpikir dan bertindak secara praksis dan professional. 3. Membantu pendidik dalam merancang dan mengembangkan proses pembelajaran pada anak yang memungkinkan tejadinya moving melalui sumber belajar yang berbasis alam. 4. Membantu guru menyesuaikan pratik pembelajaran pada anak sesuai dengan falsafah pendidikan yang mendasarinya (http://os2kangkung.blogspot.com). Sesungguhnya kurikulum inovatif dengan basis pembelajaran alam dirancang tidak hanya untuk anak usia dini saja, namun juga dapat diterapkan pada usia yang lebih tinggi yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan jiwanya. Di sini diperlukan guru yang kreatif, inovatif, dan cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik, karena waktu terus berjalan. Seiring dengan berjalannya waktu berkembang pula kebutuhan anak, akan pendidikan yang menjawab tantangan zaman. Peserta didik adalah manusia masa depan yang berkembang mengikuti perubahan arus kemajuan, sementara apabila guru stagnan tidak mengikuti arus perkembangan, maka akan terlindas zaman. Apabila guru tetap memaksakan kehendak untuk tetap tidak berubah, maka guru akan membawa siswa sebagai penonton saja di kancah kekinian yang semakin modern. Siswa akan menjadi kurang bisa berkembang, bukan sebagai manusia pembaharu yang siap menghadapi tantangan. Dakir (2004: 84) mengatakan bahwa pada dasarnya pengembangan kurikulum ialah mengarahkan kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri, dengan harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik. Oleh karena itu pengembangan kurikulum hendaknya bersifat antisipatif, adaptif, dan aplikatif. Antisipatif dalam pengembangan kurikulum dapat diarahkan ke hal-hal jangka pendek dan jangka panjang, seperti pada pengarahan pelita I, II, III dan seterusnya. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa situasi masyarakat sekarang dan yang akan datang dapat diantisipasi diantaranya sebagai berikut: perubahan dari masyarakat agraris ke industri, pengembangan IPTEKS, pengangguran intelek dan terbatasnya lapangan kerja, masyarakat yang

komplek tetapi bersifat individualistis, pengaruh globalisasi dan adanya revolusi arus informasi dan sebagainya. Pada era pembangunan seperti sekarang ini, pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan link and match antara out put dan lapangan kerja yang diperlukan. Untuk mencapai harapan terlaksananya tidaklah mudah. Kita harus mengetahui gap antara das Sein dan das Sollen, antara kenyataan dan harapan, antara saya dapat dan saya ingin. Kita ingin biasanya bersifat sangat ideal dan sangat sulit dicapai. Untuk dapat mencapai harapan yang mampu dicapai itupun perlu adanya berbagai faktor yang mendukung dan program yang aplikabel. Pada dasarnya kurikulum BBA sebaiknya dirancang dengan cermat. Dimulai dengan perencanaan yang ditunjukkan RPP yang jelas, model pembelajaran yang digunakan, alokasi waktu, tempat, biaya yang cermat. Dilanjutkan pelaksanaan yang sungguh-sungguh disertai sistem penilaian yang objektif, terkontrol. Diakhiri dengan pencapaian batas ketuntasan minimal yang ingin diwujudkan dan dilaksanakan, maka proses BBA akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Perlu diperhatikan pula bahwa sesuatu yang ideal itu sulit tercapai, oleh karena itu ditekankan hendaknya kurikulum dibuat yang antisipatif, adaptif, dan aplikabel. Hal ini terkait dengan proses pada BBA di mana terjadi interaksi dan eksplorasi siswa dengan lingkungan. Pada kondisi ini siswa dapat merefleksikan pengalaman belajar siswa, yang membentuk pengetahuan terus berkembang pada diri siswa. Hal selajutnya yang perlu diingat bahwa tujuan belajar adalah menjadikan siswa senang, bergembira, dan riang belajar, kreatif, mempunyai motivasi, serta mengembangkan etika moral yang dapat menumbuhkan kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar. Penerapan BBA akan menjadikan belajar terasa ringan, nyaman, menyenangkan serta penuh makna. Kesimpulan Belajar berbasis alam adalah proses belajar yang mengintegrasikan antara materi ajar dan lingkungan sekitar. Proses belajar ini akan membuat siswa bereksplorasi secara bebas dan berinteraksi langsung dengan alam, sehingga akan mengembangkan pengetahuan siswa. Siswa bersama guru bersama-sama mengkonstruksi pengetahuan yang baru yang terus berkembang. Di Indonesia, pendekatan belajar berbasis alam sesungguhnya tidak perlu disingkiri lagi, karena sangat didukung oleh kekayaan sumber daya alam yang luar biasa dan kondisi geografis yang cocok. Dibutuhkan keseriusan para penyelenggara pendidikan untuk segera melakukan proses belajar berbasis alam. Implementasi belajar berbasis alam tidak harus berada di luar ruang, namun demikian apa yang ada di luar ruang dapat dialihkan di dalam ruangan/kelas, dengan berbagai macam model pendekatan pembelajaran. Proses belajar berbasis alam adalah proses belajar di mana subjek

melakukan sesuatu -bukan hanya memikirkan sesuatu. Cakupannya luas dari bercocok tanam sampai ke conflict resolution, dari assessment (psikologis) sampai ke perkembangan remaja, dari skill training sampai ke model-model teori. BBA menjadikan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh siswa bersifat integral. Siswa memiliki sikap mental yang kuat, ia menjadi penyayang terhadap tumbuhan, binatang dan juga alam sekitar, siswa memiliki sikap yang baik dan ramah terhadap alam. Mereka menjadi terbiasa dan terampil berinteraksi dengan alam di sekitarnya dengan baik, serta mempunyai keterampilan untuk bertahan hidup ketika dalam kondisi sempit. Di akhir tulisan ini penulis ingin menekankan bahwa penerapan BBA sebaiknya dirancang dengan cermat. Untuk mencapai pembelajaran yang ideal memang tidak mudah, oleh karena itu ditekankan hendaknya kurikulum dibuat yang antisipatif, adaptif, dan aplikabel sesuai dengan kebutuhan siswa serta tuntutan perkembangan zaman. Daftar Pustaka Arifin, S. Kesalehan homo islamicus menjawab krisis lingkungan hidup. Jurnal Ijtihad Vol. 9, No. 2, Desember 2009. Salatiga. STAIN Salatiga Press. Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Rineka Cipta. Djumhana, N. 2009. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia. Garnida, D. 2002. Belajar dan Proses Berpikir dalam Buku Pedoman Guru Mata Pelajaran Pendidikan IPA Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta. Departemen Agama RI. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. http://gerbangtiga.blogspot.com/2008/08/belajar-berbasis-alam/html, diakses tanggal 28 Pebruari 2010. http://os2kangkung.blogspot.com/2009/08/kurikulum-inovatif-pendidikan-anak-usia.html, diakses tanggal 7 Maret 2010. Santyasa, I.W. Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Kooperatif. Departemen Pendidikan Nasional. Universitas Pendidikan Ganesha. Disajikan dalam Pelatihan tentang Pembelajaran dan Asesmen Inovatif bagi Guru-guru Sekolah Menengah Kecamatan Nusa Penida tanggal 22-24 Agustus 2008 di Nusa Penida. Susapti, P. 2009. Pembelajaran Biologi Berbasis Lingkungan di MI. Workshop Internasional Pendidikan Sains Berbasis Lingkungan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 6-8 Agustus 2009. Yusnar, M. 2009. Pendidikan Agama Islam Berbasis Alam Pada Sekolah Alam Bogor Kelurahan Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor Jawa Barat. Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Yogyakarta.