2014 ANALISIS SELF-EFFICACY DAN KESALAHAN DALAM MENGERJAKAN SOAL PENALARAN MATEMATIS SISWA SMA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup dalam. dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

I. PENDAHULUAN. dengan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu sasaran

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. berperan penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Purnama Adek, 2014

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laswadi, 2015

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang secara pesat sehingga cara berpikir

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia, karena

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

(universal) sehingga dapat dipahami oleh orang lain.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

Desain Disaktis Persamaan Garis Lurus pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama

BAB 1 PENDAHULUAN. individu. Karena dalam pendidikan mengandung transformasi pengetahuan, nilainilai,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Trends In International Mathematics And Science Study (TIMSS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. didiknya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan berusaha secara terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusiamanusia

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hella Jusra, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut. Kurikulum 2004, adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Pendidikan matematika berperan penting bagi setiap individu karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Belajar dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Trianto (2009:16) belajar

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Intan Cahyaningrum, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Contoh Penalaran Induktif dan Deduktif Menggunakan Kegiatan Bermain-main dengan Bilangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

2014 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DI SEKOLAH DASAR

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu dasar sangat erat kaitannya dengan kehidupan dan ilmu lain. Matematika diajarkan untuk mengembangkan keterampilan dasar, membiasakan siswa untuk berpikir secara logis, menyiapkan siswa agar dapat hidup dan bekerja secara baik dan mengembangkan warga negara yang cerdas trampil dan berkualitas (NCTM, 1999). Sehingga matematika menjadi mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh setiap kaum akademis pada setiap jenjang pendidikan dari sekolah rendah sampai menengah dan jurusan pada pendidikan tinggi. Matematika sebagai mata pelajaran yang dipelajari sejak sekolah rendah (taman kanak-kanak) sampai pada perguruan tinggi. Tujuan pendidikan matematika di dalam peraturan menteri pendidikan nasional nomor 20 tahun 2006 tentang standar isi (2006, hlm. 388) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan agar peserta didik memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, meyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

2 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari tujuan pembelajaran matematika di atas dapat dilihat bahwa penalaran matematis merupakan salah satu yang dianggap penting dalam pembelajaran matematika. Siswa harus memiliki penalaran matematis untuk dapat memahami matematika dan menyelesaikan permasalahan matematika. NCTM (2000) melaporkan bahwa mampu bernalar adalah penting untuk memahami matematika. Dengan mengembangkan ide, mengeksplorasi fenomena, membenarkan hasil, dan menggunakan dugaan matematika di semua bidang konten dan harapan yang berbeda dalam pengalaman di semua tingkatan kelas, siswa harus melihat dan berharap bahwa matematika membuat pengembangan makna pada keterampilan penalaran yang cukup dibawa anak ke sekolah, guru dapat membantu siswa belajar matematika yang memerlukan penalaran. Pada akhir sekolah menengah, siswa harus mampu memahami dan menghasilkan bukti matematika -argumen yang tepat kesimpulan deduktif pemotongan logis ketat kesimpulan dari hipotesis dan harus menghargai nilai argumen tersebut. Depdiknas (2002, hlm. 6) menyatakan bahwa Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Pernyataan ini menunjukkan pentingnya penalaran matematis bagi siswa untuk memiliki kemampuan yang memadai dalam belajar matematika atau dapat memenuhi kriteria kompetensi matematika. Selanjutnya dalam kurikulum 2013 untuk jenjang SMA dipandang perlunya meningkatkan tingkat abstraksi mata pelajaran matematika dan penilaian hasil belajar menekankan kepada kemampuan berpikir dan melakukan. Meningkatnya tingkat abstrak pada mata pelajaran matematika membutuhkan tingkat penalaran matematis yang tinggi pada siswa sehingga bisa mencapai setiap kompetensi pada mata pelajaran matematika. Hal yang sama juga pada penilaian yang menekankan kepada kemampuan berpikir menuntut siswa memiliki tingkat penalaran yang memadai pada pembelajaran matematika.

3 Menurut Sa dijah (dalam Nizar, 2007), pelajaran matematika perlu diorentasikan ke penalaran dari hanya sekedar mementingkan pemahaman kosep dan pemecahan masalah. Reorientasi ini dinilai penting mengingat kekuatan siswa bernalar dalam memecahkan masalah dapat mengurangi tekanan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang hanya bersifat procedural. Uraian di atas mengindikasikan bahwa matematika seharusnya dikuasai oleh setiap kaum akademis khususnya siswa pada tingkat SMA dengan tingkat penalaran matematis yang memadai. Namun yang terjadi di dalam pelaksanaan pendidikan adalah ditemukannya kemampuan maatematika siswa masi rendah khususnya penalaran matematis dan self-efficacy. Hal ini diperkuat dari temuan para pemerhati pendidikan. Dari hasil temuan TIMSS (Trends International Mathematics and Science Study) pada tahun 2011 (dalam Rosnawati, 2013) diperoleh informasi bahwa capaian rata-rata kemampuan matematika siswa Indonesia menurut Benchmark International secara umum berada pada level rendah (Low International Benchmark) di bawah median internasional. Kemampuan rata-rata siswa Indonesia pada tiap domain masih jauh di bawah negara tetangga Malaysia, Thailand dan Singapura. Rata-rata persentase yang paling rendah yang dicapaioleh siswa Indonesia adalah pada domain kognitif pada level penalaran (reasoning) yaitu 17%. Hasil temuan PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2012 diketahui bahwa Indonesia berada pada ranking 64 dari 65 negara peserta untuk literasi matematika yang mengindikasikan kemampuan penalaran matematis siswa Indonesia rendah. (http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results.htm). Kemampuan matematika siswa pada domain penalaran adalah yang paling rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa siswa Indonesia untuk jenjang SMP belum dapat bersaing secara internasional khususnya pada bagian penalaran matematis. Dan dapat disimpulkan bahwa siswa untuk tingkat SMP masih mengalami kesulitan mengembangkan penalaran matematis.

4 Hasil survey IMSTEP-JICA (1999) untuk sekolah tingkat SMA di Bandung, diperoleh bahwa dalam pembelajaran matematika masih berkonsentrarasi pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik, pembelajaran berpusat pada guru, konsep matematika sering disampaikan secara informatif, dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam. Subakti (2009) pada studi pendahuluan yang dilakukan di salah satu SMU di Kabupaten Bandung, dimana tingkat penalaran matematis siswa rendah pada keseluruhan sampel penelitian dengan rata-rata skor 5,568 dari 30 skor maksimal. Rendahnya tingkat penalaran matematis siswa yang jauh dari yang diharapkan pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa sulitnya siswa mengembangkan penalaran matematis. Dari studi pendahuluan yang dilakukan di SMA 15 dengan teknik wawancara kepada guru mata pelajaran matematika. Diperoleh informasi bahwa sebagian besar siswa masih sulit mengembangkan penalaran matematis saat mengerjakan soal-soal yang diberikan guru. Hal ini terjadi pada sebagian besar topik matematika yaitu aljabar, geometri dan bilangan. Faktor-faktor penyebabnya adalah dasar-dasar matematika yang kurang yang dimiliki siswa, maksud dari penyelesaian soal tidak diketahui siswa dan siswa kurang menyediakan waktu untuk belajar matematika. Dalam pembelajaran guru menyatakan kurang memfasilitasi siswa dalam pengembangan penalaran matematis, karena guru kurang menindaklanjuti kurangnya penalaran siswa. Pembelajaran yang dilakukan masih berpusat pada guru dan guru cenderung memberikan bantuan kepada siswa saat siswa tidak memahami penyelesaian soal penalaran sehingga kurang mampu mengembangkan penalaran matematis siswa. Selanjutnya peneliti memberikan tes penalaran matematis kepada siswa. Berdasarkan hasil tes penalaran yang diberikan kepada siswa diperoleh gambaran bahwa siswa mengalami kesulitan dalam melakukan penalaran matematis seperti gambar di bawah.

5 Gambar 1.1. Contoh Hasil Kerja Siswa A dari Studi Pendahuluan Berdasarkan hasil kerja siswa pada Gambar 1.1. dapat disimpulkan bahwa siswa tidak memahami soal dan konsep sistem persamaan linier. Hal ini dapat terlihat pada bagian diketahui dan ditanya yang dituliskan siswa yang tidak lengkap sedangkan di bagian jawaban siswa menuliskan apa yang diketahui dan langsung pada jawaban tanpa ada suatu proses penyelesaian yang mengindikasikan bahwa siswa melalukan penalaran intuisi saja dan pada akhirnya hasil yang diperoleh adalah salah. Gambar 1.2. Contoh Hasil Kerja Siswa B dari Studi Pendahuluan Berdasarkan hasil kerja siswa pada Gambar 1.2. dapat disimpulkan bahwa siswa menduga-duga jawaban. Siswa tidak mengunakan rumus dalam bentuk variabel karena kesulitan siswa dalam membentuk pemodelan matematika. Siswa mencoba-coba nilai-nilai yang mungkin sesuai ke dalam kedua bentuk persamaan tersebut sehigga pada ahirnya siswa memperoleh bilangan 7 dan 4. Sedangkan

6 nilai 7 sebagai panjang dan 4 sebagai lebar dipilih siswa karna dalam pembelajaran di kelas yang diperoleh siswa bahwa panjang biasanya lebih besar nilai nya dibanding lebar dari suatu persegi panjang. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat penalaran matematis siswa di SMA 15 masih rendah. Hal ini mengindikasikan sulitnya siswa mengembangkan penalaran matematis untuk memperoleh suatu kesimpulan logis dalam pemecahan masalah matematika. Selanjutnya Numedal (dalam Matlin, 1994, hlm. 379) menyatakan bahwa secara empirik siswa-siswa sekolah menengah atas (high school) dan perguruan tinggi (college) mengalami kesukaran dalam menggunakan strategi dan kekonsistenan penalaran (logical reasoning). Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa di perguruan tinggi juga mengalami kesulitan dalam mengembangkan penalaran matematis. Berdasarkan uraian di atas diperoleh gambaran bahwa penalaran matematis masih menjadi masalah untuk jenjang pendidikan SMP, SMA dan perguruan tinggi. Dan secara khusus dapat dilihat bahwa kemampuan penalaran matematis siswa untuk jenjang SMA di Bandung masih rendah. Rendahnya penalaran matematis menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan mengembangkan penalaran matematis saat mengerjakan soal-soal yang diberikan guru. Hal ini mengakibatkan siswa tidak mengalami ketuntasan belajar pada topik-topik matematika dan prestasi matematika siswa yang rendah. Selain itu ditemukan informasi bahwa salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat penalaran matematis adalah model pembelajaran yang digunakan guru. Penggunaan model pembelajaran yang kurang tepat dari guru dengan tidak memfasilitasi pengembangan penalaran matematis siswa mengakibatkan siswa kurang mampu bernalar dalam pengerjaan soal-soal matematika. Guru seringkali melakukan pembelajaran yang masi berpusat pada guru dengan siswa hanya sebagai pendengar tanpa turut berpartisipasi bernalar dlm pembelajaran. Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy memiliki efek yang kuat pada perilaku, motivasi dan pada akhirnya keberhasilan atau kegagalan nya.

7 Bandura (1977) menyatakan bahwa self-efficacy dalam hal pemikiran, memfasilitasi proses kognitif dan kinerja dalam berbagai setting, termasuk kualitas pengambilan keputusan dan prestasi akademik. Dalam hal perilaku, selfefficacy dapat mempengaruhi pilihan tindakan seseorang. Selanjutnya Betz dan Hacket (1983) (dalam Pajares, 2002, hlm. 11) melaporkan bahwa dengan self-efficacy yang tinggi, pada umumnya seorang siswa akan lebih mudah dan berhasil melampaui latihan-latihan matematika yang diberikan kepadanya, sehingga hasil akhir dari pembelajaran tersebut yang tercermin dalam prestasi akademiknya juga cenderung akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang memiliki self-efficacy rendah. Hal yang senada dinyatakan Hacket (1985) dan Reyes (1984) (dalam Pajares, 2002, hlm. 10) bahwa self-efficacy juga dapat membuat seseorang lebih mudah dan lebih merasa mampu untuk mengerjakan soal-soal matematika yang dihadapinya, bahkan soal matematika yang lebih rumit atau spesifik sekalipun. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy akan mempengaruhi motivasi siswa, artinya semakin tinggi tingkat self-efficacy siswa dalam belajar matematika akan berbanding lurus dengan motivasi siswa dan hal itu juga akan berpengaruh pada semakin baiknya prestasi matematis siswa. Namun dalam kenyataanya siswa secara umum siswa di Indonesia masih memiliki tingkat self-efficacy yang rendah. Hal ini didukung oleh pernyataan Ruseffendi (1991) bahwa Terdapat banyak orang yang setelah belajar matematika bagian yang sederhanapun banyak yang tidak dipahaminya, bahkan banyak konsep yang dipahami secara keliru. Matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar, ruwet dan banyak memperdayakan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat self-efficacy siswa masih rendah dalam pembelajaran matematika. Hal yang serupa juga dialami peneliti saat mengajar mata pelajaran matematika pada lembaga bimbingan belajar Ganesha Operation di Bandung. Dari hasil observasi atau wawancara tidak langsung yang dilakukan kepada siswa SMA diperoleh bahwa sebagian besar siswa menganggap matematika adalah pelajaran yang sulit, tidak menarik dan hanya membuat siswa pusing. Jika siswa diminta untuk mengerjakan soal ke depan mereka akan segera mengatakan bahwa dia

8 tidak mampu dan soal tersebut terlalu sulit untuk dikerjakan bahkan sebelum memulai untuk mencoba mengerjakan. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum siswa masih memiliki self-efficacy yang rendah dalam pembelajaran matematika atau dapat dikatakan bahwa siswa sulit mengembangkan self-efficacy pada pembelajaran matematika. Dari studi pendahuluan yang peneliti lakukan di SMA 15 dengan melakukan wawancara pada guru matapelajaran matematika diperoleh informasi bahwa siswa masih memiliki self-efficacy yang rendah dan siswa juga kesulitan dalam mengembangkan self-efficacy hal ini disebabkan oleh kurangnya siswa memberi kesempatan diri dan pola pikir siswa yang menganggap matematika sulit. Dan hal ini diperkuat oleh pengakuan dari para siswa saat guru menanyakan siapa saja yang menyukai matematika dan dari per kelasnya hanya rata-rata 7 orang yang menyukai matematika. Sedangkan pembelajaran yang dilakukan di kelas, guru menyatakan telah memfasilitasi siswa untuk mengembangkan self-efficacy siswa. Hal ini dilakukan dengan memberikan motivasi agar siswa meyakini kemampuan yang dimilikinya. Seperti mengungkapkan kalimat-kalimat motivasi dan pemberian reward bagi siswa yang berani menjawab pertanyaan guru juga dilakukan agar siswa. Tingkat penalaran matematis dan self-efficacy yang masih rendah dan tidak menemukan titik akar permasalahan kenapa siswa sulit mengembangkan penalaran matematis dan self-efficacy merupakan isu penting pendidikan matematika. Hal ini membutuhkan perhatian untuk segera di atasi sehingga perlu diketahui kondisi secara mendalam penyebab atau faktor-faktor yang menyebabkan siswa sulit mengembangkan penalaran matematis dan self-efficacy. Penggalian ini dapat dilakukan dengan melakukan penelitian mendalam. Berdasarkan hal di atas dipandang perlu mendalami lebih lanjut faktorfaktor yang mempengaruhi ataupun alasan siswa sulit mengembangkan penalaran matematis dan self-efficacy. Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Analisis Self-Efficacy dan Kesalahan dalam Mengerjakan Soal Penalaran Matematis Siswa SMA.

9 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah deskripsi kesalahan siswa dalam mengerjakan soal penalaran matematis siswa? 2. Bagaimanakah deskripsi self-efficacy matematis siswa? 3. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan siswa kesulitan dalam mengembangkan penalaran matematis? 4. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan siswa kesulitan dalam mengembangkan self- efficacy matematis? 5. Apakah pembelajaran yang digunakan guru dapat mengembangkan penalaran dan self-efficacy matematis siswa? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis deskripsi kesalahan siswa dalam mengerjakan soal penalaran matematis siswa. 2. Menganalisis deskripsi self-efficacy matematis siswa. 3. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan siswa kesulitan dalam mengembangkan penalaran matematis. 4. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan siswa kesulitan dalam mengembangkan self efficacy matematis. 6. Menganalisis pembelajaran yang digunakan guru apakah dapat mengembangkan penalaran dan self-efficacy matematis siswa. 1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis 1. Untuk menambah pengetahuan bagi pembaca secara teori tentang kesulitan siswa dalam pengembangan penalaran matematis dan selfefficacy. 2. Sebagai bahan perbandingan untuk memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian yang relevan dikemudian hari.

10 b. Manfaat Praktis 1. Bagi guru, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan kontribusi dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran di kelas. 2. Bagi sekolah, penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi dan melihat kesiapan tenaga pengajar/guru matematika. 3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian/pertimbangan bagi para pemegang kebijakan dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Sehingga meningkatkan kualitas guru baik dari segi kesiapan tenaga pengajar, sarana prasarana, metode pengajaran, serta kendala yang diperoleh.