DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina OLEH BAKTERI DAN FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Y U N A S F I

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina OLEH BAKTERI DAN FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Y U N A S F I"

Transkripsi

1 DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina OLEH BAKTERI DAN FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Y U N A S F I SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina OLEH BAKTERI DAN FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Y U N A S F I Disertasi Sebagai satu di antara beberapa syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

3 Judul Disertasi : DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina OLEH BAKTERI DAN FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Nama : Y U N A S F I NRP : Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M. Sc.F. Ketua Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Anggota Dr. Ir. Lisdar A. Manaf I. Sudirman Anggota Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 23 Juni 2006 Tanggal Lulus :

4 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 19 November 1967, sebagai anak pertama dari enam bersaudara, pasangan Djamhar (Alm) dan Yusiar. Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Lubuk Alung Padang Pariaman. Pada tahun 1991, penulis memperoleh gelar sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian, Universitas Andalas di Padang. Pada tahun 1998 penulis mendapat gelar Magister Sains dari Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sejak Februari 1999 penulis mengikuti Program Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis tahun 1991 pernah bekerja sebagai staf planning PT. Minas Pagai Lumber Corporation, daerah operasi Pagai Utara-Pagai Selatan dan tahun 1993 sebagai staf planning PT. Inhutani III, kantor Unit Sampit Kalimantan Tengah. Sejak tahun 2000 penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian Unversitas Sumatera Utara, Medan. Pada tanggal 6 Agustus 1993 penulis menikah dengan Dra. Herlina Mesta dan dikaruniai satu orang anak yaitu Firdha Sekar Rahayu.

5 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata ala, atas segala rahmat dan ridho-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah, penelitian dan penyusunan Disertasi yang berjudul : Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas. Dengan selesainya perkuliahan, penelitian dan penyusunan disertasi ini, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M.Sc.F., Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman dan Dr. Ir. Budi Tjahjono, M. Agr. atas segala bimbingannya dan arahannya sejak perkuliahan, penelitian sampai penyusunan disertasi ini. 2. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dana perkuliahan dan penelitian selama mengikuti pendidikan Doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 3. Prof. Dr. Ir. T.M. Hanafiah Oeliem selaku Ketua Program Ilmu Kehutanan USU sebelum bergabung dengan Fakultas Pertanian, yang telah mengusahakan berbagai bantuan dana perkuliahan dan penelitian. 4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan yang telah memberi kesempatan penulis untuk mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor beserta stafnya yang telah menyediakan sarana pendidikan (kuliah, praktikum, dan rapat-rapat komisi) dalam rangka pnyelesaian studi ini. 6. Pimpinan dan staf program Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) atas sebagian beasiswa yang diberikan kepada penulis 7. Yayasan Beasiswa Universitas Bung Hatta yang telah memberikan bantuan sebagian biaya hidup. 8. Yayasan Toyota dan Astra yang telah memberikan bantuan sebagian biaya penelitian. 9. Direktur Perum Perhutani beserta stafnya yang telah memberi izin penggunaan lokasi penelitian di KPH Purwakarta. 10. Kepala Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Pusat Studi Ilmu Hayati IPB, Kepala Laboratorium Bakteriologi Depatemen Proteksi Hama, Fakultas

6 Pertanian IPB, Kepala Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Kepala Laboratorium Ilmu Pakan dan Nutrisi Ternak, Kepala Laboratorium Kimia Tanah Departemen Tanah IPB dan Kepala Laboratorium Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian, yang telah memberikan fasilitas dan membantu analisis serasah selama penelitian. 11. Kepada teman-teman Dr. Ir. Abdurrani Muin, MS, Dr.Ir. Hamzah, M.Si, Dr. Delvian, SP, MP, Dr. Endang Hilmi, S.Hut, M.Si, Dr. Tati Rostiwati, MS, Dr. Ir. Ervayenri, M.Si. dan teman-teman lainnya atas kerjasama dalam berbagai kegiatan selama studi Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. 12. Bapak Dalban yang telah membantu kegiatan penelitian di lapangan sejak dari persiapan sampai selesainya penelitian. 13. Bapanda Djamhar (Alm) dan Ibunda Yusiar yang telah memberikan bantuan sebagian biaya perkuliahan dan dorongan semangat yang tidak hentihentinya kepada penulis. 14. Ayahanda Drs. H. Helmi Muchtar dan Ibunda Hj. Rasimah Taher yang telah memberikan bantuan sebagian biaya perkuliahan. 15. Isteri tercinta Dra. Herlina Mesta dan Ananda tersayang Firdha Sekar Rahayu yang telah memberikan dorongan dan kasih sayangnya kepada penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis berharap, semoga berbagai pihak yang telah memberikan semua bentuk bantuan yang telah penulis terima mendapat balasan dari Allah SWT atas amal shalehnya tersebut. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Juni 2006 Yunasfi

7 SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan acuannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juni 2006 Y u n a s f i NRP

8 ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembatasan dan Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 8 III. IV Pengertian dan Peran Mangrove Proses Dekomposisi serasah Peran Mikroorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah 13 LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN A. marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Pengumpulan Serasah Daun A. marina Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Hasil Pembahasan Kesimpulan 34 KOLONISASI BAKTERI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Pendahuluan 35 xv xvi xix

9 Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Pengumpulan Serasah Daun A. marina Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan Isolasi Bakteri dari Serasah Daun A. marina Identifikasi Bakteri Pengumpulan Data Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Bakteri Hasil Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi di Lapangan Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas < 10 ppt Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas > 30 ppt Perbandingan Antara Jumlah Jenis Bakteri pada Berbagai Tingkat Salinitas Perbandingan Populasi Bakteri pada Berbagai Tingkat Salinitas Perbandingan Keanekaragaman Jenis Bakteri pada Berbagai Tingkat Salinitas Frekuensi Kolonisasi Tiap Jenis Bakteri pada Serasah Daun A. marina Pembahasan Kesimpulan 59 V. KOLONISASI FUNGI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN A. marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

10 5.1. Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Pengumpulan Serasah Daun A. marina Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan Isolasi Fungi dari Serasah Daun A. marina Identifikasi Fungi Pengumpulan Data Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi Hasil Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat salinitas < 10 ppt Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas > 30 ppt Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas Indeks Keanekargaman Jenis Fungi Frekuensi Kolonisasi Fungi VI Pembahasan Kesimpulan 97 KADAR UNSUR HARA N, P DAN C SERASAH DAUN A. marina YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS 98

11 VII. VIII Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan Percobaan Penentuan Kadar Unsur Hara N, P dan C Serasah Daun A. marina Hasil Kadar Unsur Hara N Kadar Unsur Hara P Kadar Unsur Hara C Pembahasan Kesimpulan 110 KADAR SELULOSA DAN LIGNIN SERASAH DAUN Avicennia marina YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan Percobaan Penentuan Kadar Selulosa dan Lignin Hasil Pembahasan Kesimpulan 126 KADAR KARBOHIDRAT DAN PROTEIN SERASAH DAUN Avicennia marina YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis 128

12 8.2. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan Percobaan Penentuan Kadar Karbohidrat Total Penentuan Kadar Protein Hasil Kadar Karbohidrat Total Kadar Protein Pembahasan Kesimpulan 135 IX PEMBAHASAN UMUM 136 X KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Saran 145 PUSTAKA ACUAN 147 LAMPIRAN 158

13 DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Suksesi jenis-jenis fungi yang menghancurkan (breakdown) anakan Rhizophora mangle di Florida menurut waktu dan kondisi anakan Suksesi beberapa jenis fungi pada Pteridium aquilinum (Garet, 1963 diacu oleh Frankland, 1974) Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah terdapat di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Jumlah koloni rata-rata x 10 7 (cfu/ml) tiap jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) Jumlah koloni rata-rata x 10 7 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas < 10 ppt Jumlah koloni rata-rata x 10 7 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata x 10 6 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata x 10 6 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt Jenis-jenis fungi yang terdapat pada mangrove dan penelitinya Jumlah koloni rata-rata x 10 2 (cfu/ml) tiap jenis fungi pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) Jumlah koloni rata-rata x 10 2 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas 0 < 10 ppt Jumlah koloni rata-rata x 10 2 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata x 10 2 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata x 10 2 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt 90

14 DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian 6 2. Bentuk dan ukuran kantong serasah yang terbuat dari nilon yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas Lokasi petak untuk penempatan kantong berisi serasah di lapangan berdasarkan tingkat salinitas Petak-petak penempatan kantong berisi serasah daun A. marina Bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Persentase sisa serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Bentuk serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari pada tingkat salinitas ppt Cacing yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 45 hari pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt, ppt dan > 30 ppt Siput-siput yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi Cara pengenceran serasah daun A. marina untuk isolasi bakteri pada media biakan dalam cawan Petri Bentuk koloni berbagai jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan 12. Bentuk koloni berbagai jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dalam lingkungan dengan salinitas < 10 ppt, yang tidak terdapat pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan Jumlah jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Aspergillus sp Aspergillus sp Aspergillus sp

15 18. Curvularia lunata Fungi tidak teridentifikasi Fusarium sp Aspergillus sp Trichoderma sp Fungi tidak teridentifikasi Fusarium sp Penicillium sp Trichoderma sp Penicillium sp Aspergillus sp Fusarium sp Penicillium sp Penicillium sp Trichoderma sp Aspergillus sp Penicillium sp Trichoderma sp Aspergillus sp Penicillium sp Fungi tidak teridentifikasi Jumlah jenis fungi pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar unsur hara N rata-rata serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 42. Kadar unsur hara N rata-rata pada berbagai lama masa dekomposisi serasah daun A. marina pada berbagai tingkat salinitas Kadar unsur hara P rata-rata serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 44. Kadar unsur hara P rata-rata pada berbagai lama masa dekomposisi serasah daun A. marina pada berbagai tingkat salinitas Kadar unsur hara C serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

16 46. Kadar unsur hara C rata-rata pada berbagai lama masa dekomposisi serasah daun A. marina pada berbagai tingkat salinitas Mekanisme enzim mendegradasi selulosa Phanerochaete chrysosporium Reaksi tahap pertama dan tahap kedua dekomposisi selulosa Dekomposisi selulosa (Moore-Landecker, 1990) Kadar selulosa rata-rata serasah daun A.marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar selulosa rata-rata serasah daun A. marina mulai dari sebelum serasah ditempatkan di lapangan sampai mengalami proses dekomposisi selama 105 hari, pada berbagai tingkat salinitas Kadar lignin rata-rata serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar lignin rata-rata serasah daun A. marina dengan berbagai lama masa dekomposisi Kadar karbohidrat rata-rata serasah daun A. marina yang mangalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar karbohidrat rata-rata serasah daun A. marina setelah mengalami berbagai lama masa dekomposisi dalam lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar protein rata-rata serasah daun A. marina yang mangalami dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar protein rata-rata serasah daun A. marina pada beberapa lama masa dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) dan berbagai jenis fungi (C) pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan tingkat salinitas < 10 ppt Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) dan cacing (D) pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan tingkat salinitas ppt Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) cacing (D) dan siput (E) pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi di lingkungan dengan tingkat salinitas ppt Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) cacing (D) pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi di lingkungan dengan tingkat salinitas > 30 ppt 143

17 DAFTAR LAMPIRAN No. Teks Halaman 1. Bobot kering (g) sisa serasah daun A. marina tiap ulangan pada berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi 2. Persentase bobot kering serasah daun A. marina tiap ulangan pada berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi Ciri-ciri morfologi dan fisiologi jenis-jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dalam lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Jumlah koloni x 10 7 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi (kontrol) Jumlah koloni x 10 7 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 0 < 10 ppt Rangkuman ciri-ciri morfologi dan fisiologi berbagai jenis bakteri (pada media NA) yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Jumlah koloni x 10 7 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt 8. Jumlah koloni x 10 7 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt Jumlah koloni x 10 6 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt Matriks hubungan pengaruh berbagai tingkat salinitas terhadap jumlah koloni rata-rata (cfu/ml) berbagai jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses dekomposisi selama 165 hari Jumlah koloni x 10 2 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi (kontrol) Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik fungi yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Jumlah koloni x 10 2 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 0 < 10 ppt

18 14. Jumlah koloni x 10 2 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt Jumlah koloni x 10 2 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt Jumlah koloni x 10 2 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt Rangkuman ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik berbagai jenis fungi yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Matriks hubungan pengaruh berbagai tingkat salinitas terhadap jumlah koloni rata-rata x 10 2 (cfu/ml) berbagai jenis fungi pada serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses dekomposisi selama 165 hari Kadar unsur hara N (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar unsur hara P (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar unsur hara C (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Nilai absolut kadar unsur hara C (g) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar selulosa (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari dalam lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Nilai absolut kadar selulosa (g) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar lignin (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Nilai absolut kadar lignin (g) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar karbohidrat (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 199

19 28. Nilai absolut kadar karbohidrat (g) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Kadar protein (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Nilai absolut kadar protein (g) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Analisis ragam 203

20 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa meter sampai puluhan kilo meter. Menurut Sukardjo (1984), Indonesia terdiri atas pulau yang mempunyai garis pantai sekitar km, dan di kawasan tersebut terdapat berbagai tipe vegetasi yang tumbuh, yang di antaranya adalah mangrove. Selain di kawasan pesisir, ekosistem mangrove juga terdapat di muara-muara sungai dan lahan drainase yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Menurut Yamada (1997), di Papua New Guinea mangrove terdapat sampai 300 km ke arah hulu sungai, sedang di Palembang sampai 100 km. Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (1993) menyatakan bahwa luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan 3,7 juta ha, sedang menurut Bengen (2000), luasnya diperkirakan sekitar 2,3 juta ha. Dari data luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1993 dan tahun 2000 yang ditampilkan di atas terlihat adanya penurunan luas hutan mangrove selama tujuh tahun yang sangat nyata. Hal ini karena terjadi konversi hutan mangrove menjadi kawasan pemukiman, kawasan industri, tambak dan peruntukan lain yang berlangsung secara tidak terkendali. Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan organisme yang terdapat di dalamnya. Adapun fungsi hutan mangrove menurut Kusmana dkk. (2005) dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik, fungsi ekonomi dan fungsi biologi seperti yang berikut. 1. Fungsi fisik : - Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil - Mempercepat perluasan lahan - Mengendalikan intrusi air laut - Melindungi daerah belakang mangrove/pantai dari hempasan gelombang dan angin kencang - Menjadi kawasan penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi) - Mengolah bahan limbah organik

21 2 2. Fungsi ekonomi : - Merupakan penghasil kayu sebagai sumber bahan bakar (arang, kayu bakar), bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar) - Memberikan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman serta makanan, tanin dan lain-lain. - Merupakan lahan untuk produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain) 3. Fungsi biologi : - Merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya. - Menjadi tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung - Merupakan sumber plasma nutfah. Dari semua fungsi ini yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh bentuk ekosistem lain adalah kedudukan hutan mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem daratan. Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi udang, kepiting, ikan, zooplankton, invertebrata kecil dan hewan pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Bahan-bahan hasil pelapukan mangrove berasal dari berbagai organ pohon mangrove yaitu daun, bunga, cabang, ranting dan sejumlah bagian pohon lain yang jatuh ke lantai hutan yang lazim disebut serasah. Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut. Faktorfaktor yang berperan dalam dekomposisi serasah adalah iklim, kondisi lingkungan tempat tumbuh, dan organisme. Faktor iklim mencakup curah hujan, kelembaban nisbi, intensitas cahaya matahari, suhu udara dan lain-lain. Faktor kondisi lingkungan tempat tumbuh yang berperan adalah suhu air, ph air, salinitas air dan lain-lain. Adapun jenis organisme yang terdapat dalam ekosistem mangrove terdiri atas organisme baik yang cukup besar seperti kepiting, serangga maupun yang kecil seperti bakteri dan fungi. Dalam proses dekomposisi, semua faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Menurut Aksornkoae dan Khemnark (1984) dalam proses dekomposisi serasah

22 3 terjadi asosiasi antara faktor-faktor fisik dan faktor-faktor biologis dan di antara kedua faktor ini, faktor biologis mempunyai peran yang lebih besar dibanding faktor fisik. Sebagian serasah mangrove diuraikan oleh bakteri dan fungi menjadi unsur hara anorganik terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton ataupun oleh tumbuhan mangrove itu sendiri. Sebagian lagi diubah menjadi detritus yang dapat dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai bahan makanannya. Bakteri dan fungi merupakan mikroorganisme primer yang berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah, yang terdiri atas daun, bunga, cabang, ranting dan berbagai bagian tumbuhan lainnya. Di Indonesia banyak terdapat jenis mangrove Avicennia marina, yang merupakan satu di antara berbagai jenis mangrove yang toleran terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis mangrove lainnya. Menurut Mac Nae (1968), A. marina mampu tumbuh pada kawasan dengan kisaran kondisi mendekati tawar sampai dengan salinitas kawasan 90 ppt. A. marina menghasilkan banyak serasah terutama yang berasal dari daun yang berperan sebagai penyedia unsur hara yang penting bagi produktivitas perairan pesisir. Menurut Clarke (1994) A. marina dapat menghasilkan serasah daun sebanyak 310 g/m 2 tiap bulan. Penelitian untuk mengetahui jenis bakteri dan jenis fungi yang berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina, yang dihubungkan dengan tingkat salinitas khususnya di Indonesia, belum pernah dilakukan Pembatasan dan Perumusan Masalah Serasah pada hutan mangrove merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove. Selain itu serasah tersebut juga merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus unsur hara dan dinamika ekosistem mangrove. Untuk dapat berperan dan dimanfaatkan oleh berbagai organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove, maka serasah yang dihasilkan oleh berbagai jenis pohon mangrove perlu terurai dulu menjadi detritus dan unsur-unsur hara anorganik. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), serasah yang berasal dari daun, ranting dan bagian-bagian pohon mangrove lainnya yang telah mengalami dekomposisi merupakan sumber utama detritus.

23 4 Penelitian tentang dekomposisi di hutan mangrove ini akan dibatasi pada serasah daun A. marina. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, serasah daun merupakan komponen terbesar dibanding komponen serasah lainnya. Adapun A. marina dipilih sebagai jenis mangrove yang diteliti karena jenis ini merupakan jenis pionir dan merupakan vegetasi penentu kualitas ekosistem mangrove pada tahap awal pertumbuhannya. Dalam proses dekomposisi serasah daun mangrove terdapat beberapa faktor dan tahapan yang secara alami dilalui yaitu, setelah daun jatuh di lantai hutan mangrove, serasah akan dirusak oleh organisme seperti kepiting, cacing siput dan lain-lain yang mengakibatkan terjadinya luka pada serasah daun mangrove tersebut. Akibat luka pada serasah daun ini komponen-komponen penyusun serasah daun tersebut menjadi lebih mudah mengalami penguraian. Adapun proses penguraian serasah daun mangrove dilakukan oleh mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi yang merupakan mikroorganisme yang berperan penting dalam proses dekomposisi serasah. Pada penelitian ini dari sekian banyak faktor lingkungan yang berpengaruh dalam proses dekomposisi serasah daun mangrove, hanya faktor salinitas air yang akan dipelajari pengaruhnya terhadap dekomposisi serasah daun A. marina. Hal ini didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa kehidupan mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang bersifat salin. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu : 1. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis bakteri dan jumlah jenis fungi pada serasah daun A. marina? 2. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap populasi bakteri dan populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina? 3. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina? 4. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap frekuensi kolonisasi bakteri dan frekuensi kolonisasi fungi pada serasah daun A. marina?

24 5 5. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina 6. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap kadar unsur hara N, P dan C, lignin, selulosa, karbohidrat total dan protein, yang terdapat pada serasah daun A. marina? 1.3. Kerangka Pemikiran Pada ekosistem mangrove terdapat jenis-jenis pohon mangrove seperti A. marina, Bruguiera sp., Rhizophora sp. dan lain-lain. Satu di antara berbagai jenis yang banyak terdapat di Indonesia adalah A. marina. Jenis pohon ini banyak menghasilkan serasah terutama yang berasal dari daun. Serasah merupakan sumber utama detritus yang terdapat pada ekosistem mangrove yang mempunyai peran penting dalam pemeliharaan kelangsungan siklus ekosistem tersebut. Hasil akhir dekomposisi serasah adalah unsur-unsur hara dan bahanbahan organik yang sangat diperlukan oleh flora dan fauna akuatik sebagai bahan makanan, sehingga kelangsungan keberadaan ekosistem mangrove dapat tetap terjamin. Secara skematis, kerangka berpikir di atas dapat digambarkan seperti yang terlihat pada Gambar Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi terhadap : 1. Jumlah jenis bakteri dan jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi. 2. Populasi bakteri dan populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi. 3. Keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi. 4. Frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri dan berbagai jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi 5. Laju dekomposisi serasah daun A. marina. 6. Kadar unsur hara C, N dan P, lignin dan selulosa serta karbohidrat total dan protein yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mangalami dekomposisi.

25 6 Hutan Mangrove Serasah Daun Dekomposisi Serasah Daun Iklim - Curah hujan - Kelembaban nisbi - Intensitas cahaya matahari - Suhu udara -Kepiting -Serangga Biologi Mikroorganisme -Bakteri -Fungi Kondisi Lingkungan tempat tumbuh -Sifat fisik dan kimia tanah -Salinitas air -ph air Ketersediaan bahanbahan organik sebagai makanan fauna akuatik Ketersediaan unsur-unsur hara Produktivitas biologis perairan ekosistem mangrove Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian = Hubungan antar faktor-faktor yang berperan dalam dekomposisi serasah = Faktor-faktor dekomposisi serasah yang diamati dalam penelilitian

26 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Mempercepat proses dekomposisi serasah yaitu dengan pemberian jenis bakteri dan jenis fungi yang sudah diketahui sesuai untuk kawasan mangrove dengan tingkat salinitas yang ada. 2. Dapat digunakan sebagai satu acuan untuk penentu lokasi yang sesuai untuk budidaya ikan dan udang. 3. Sebagai satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus unsur hara pada ekosistem mangrove. 4. Dapat digunakan sebagai satu acuan dalam pengelolaan ekosistem mangrove untuk menentukan zonasi pemanfaatan kawasan mangrove. 5. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang berhubungan dengan pengelolaan mangrove Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis bakteri dan jumlah jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 2. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap populasi bakteri dan populasi fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 3. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 4. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap frekuensi kolonisasi jenis bakteri dan frekuensi kolonisasi jenis fungi, pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 5. Tingkat salinitas berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina. 6. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap kadar unsur hara C, N dan P, lignin dan selulosa serta karbohidrat total dan protein yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mangalami proses dekomposisi.

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Peran Mangrove Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang berada di daerah jangkauan pasang-surut air laut maupun individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Adapun dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedang kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Mangrove terdapat di daerah yang relatif terlindung, sepanjang muara, laguna, pantai dan tempat-tempat dengan aliran pasang dan surut air laut yang menyebabkan tercampurnya air tawar dari hujan dan saluran sungai dengan air laut. Mangrove dan berbagai komponen ekosistem yang terdapat di sekitarnya seperti rumput laut, terumbu karang dan pantai adalah ekosistem yang paling produktif di dunia (Soesanto dan Sudomo,1994). Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove terbentuk oleh kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi anaerobik. Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian permukaan rata-rata air laut. Menurut Kusmana dkk., (2005) hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove. Hutan mangrove adalah satu di antara bentuk berbagai tipe hutan dengan sifat tetentu dan merupakan ekosistem tersendiri yang berbeda dari tipe hutan lainnya di dunia. Tipe hutan ini terbentuk di sepanjang pantai berlumpur dan

28 9 umumnya terdapat pada delta di muara sungai. Pembentukannya mengikuti pola sedimentasi tanah yang dibawa oleh aliran sungai ke sepanjang pesisir pantai. Di pantai yang baru terbentuk dari tanah timbul terdapat jenis-jenis tumbuhan seperti perepat (Sonneratia alba), api-api hitam (Avicennia alba) atau api-api merah (A. marina) yang tumbuh sebagai pionir. Jenis-jenis pohon tersebut membentuk sistem perakaran yang memiliki banyak akar pasak (pneumatophore) yang berkemampuan menahan benih jenis-jenis tumbuhan lainnya yang hanyut pada waktu surut. Hutan mangrove berkembang baik pada pesisir-pesisir yang mendapatkan endapan lumpur (Wirakusumah dan Sutisna, 1980). Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut (Duke, 1992). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbos dan hutan payau (Kusmana dkk., 2005) yang terletak di perbatasan antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan di sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sumaharni, 1994). Hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh proses kehidupan organisme yang saling berkaitan baik yang terdapat di daratan maupun di lautan. Selain itu hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya, karena hutan mangrove berperan sebagai penghasil bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian organisme (Heald dan Odum, 1972 diacu oleh Djamali, 1994). Keberadaan, produktivitas dan stabilitas hutan mangrove mempengaruhi geomorfologi garis pantai (shoreline), produksi ikan untuk kehidupan masyarakat setempat, sedimentasi dan aliran karbon ke komunitas-komunitas karang dan rumput laut di sekitarnya (FAO 1994). Chapman (1976) mengemukakan bahwa prasyarat pokok untuk keberadaan mangrove adalah : (1) suhu udara yang sesuai, (2) ketersediaan media lumpur, (3) proteksi, (4) air yang mengandung garam, (5) kejadian pasang surut, (6) terjadi arus laut dan (7) pantai yang dangkal. Secara ekologis susunan sebaran jenis pohon di hutan mangrove mulai dari laut ke arah daratan berturut-turut adalah jenis-jenis Sonneratia, Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera dan Xylocarpus dengan batas sebar

29 10 yang tidak jelas. Pada umumnya hutan mangrove didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops yang kayunya mempunyai nilai ekonomi tinggi. Frekuensi genangan oleh air laut sangat menentukan ragam jenis vegetasi yang dapat tumbuh dan pada umumnya jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) tumbuh terbanyak (Perum Perhutani, 1994). Menurut Bengen (2000), hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 marga tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitis, Sneda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan suku. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Menurut Noor dkk., (1999) dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (di antaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) yang disebut sebagai jenis mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain yang ditemukan di sekitar mangrove disebut sebagai jenis mangrove ikutan (associate mangrove). Chapman (1976) membedakan flora mangrove ke dalam dua kelompok yaitu : 1. Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove ; sebagai contoh : Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, Smythea dan Dolichandrone. 2. Flora mangrove pinggiran (peripheral) yakni flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi flora tersebut juga berperan penting dalam formasi hutan lain ; sebagai contoh : Excoecaria, Acrostichum, Cerbera, Heritiera, Hibiscus dan lain-lain. Adapun Tomlinson (1986) memisahkan flora mangrove menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya) yakni flora yang banyak terdapat pada habitat mangrove, kelompok ini mempunyai kemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas. Secara morfologi jenis kelompok flora ini mempunyai bentuk adaptasi khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora,

30 11 Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa. 2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas mangrove. Sebagai contoh adalah Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras, Aegilitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera. 3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan lain-lain. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat satu di antara berbagai jenis tumbuhan mangrove sejati yang termasuk ke dalam empat suku yaitu : Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen, 2000). Ekosistem mangrove dengan mudah dapat dilihat dan dibedakan dari ekosistem lainnya, karena bentukan suatu pemandangan yang khas pada garis pantai atau di kiri kanan bagian muara sungai. Di dalam ekosistem mangrove terdapat beberapa jenis flora dan fauna baik terestrial maupun akuatik yang khas, yang merupakan bagian penting ekosistem mangrove, seperti Rhizophora spp., Avicennia spp., Bruguiera spp., dan lain-lain serta beberapa jenis udang, moluska, ikan, amfibi, reptilia, burung dan mamalia. Menurut Soesanto dan Sudomo (1994) ekosistem mangrove juga merupakan tempat tinggal berbagai jenis kera seperti Prebystis cristata, Macaca fascicularis dan Nasalis larvatus. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri. Ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi, dan oleh karenanya mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran akan dimanfaatkan oleh fungi, protozoa dan bakteri serta diuraikan menjadi komponen bahan-bahan organik yang lebih sederhana (Dinas Perikanan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur, 1994).

31 Proses Dekomposisi Serasah Menurut Hornby dkk., (1987), dekomposisi adalah kegiatan atau proses penguraian, pemisahan atau resolusi (dari sesuatu) menjadi bagian-bagian kecil (constituent elements) ; hancuran (disintegration) ; busuk (putrescence). Menurut Satchell (1974) dekomposisi adalah kegiatan atau proses penguraian (decomposing) dan pemisahan (separation) bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian hancur, busuk. Dekomposisi bisa berarti mekanisme penghancuran struktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan struktur sel yang kasar menjadi bentuk yang hancur (no longer recognizable). Mason (1977) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin, es dan pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan-pecahan detritus bahan organik secara bertahap oleh mahluk hidup. Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer, pengurai atau saproba. Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu (1) lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan (2) bahanbahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan hidup. Daun-daun mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976) sebagai bobot materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Brown (1984) mendefinisikan serasah sebagai guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang jatuh disebabkan oleh faktor ketuaan (senescence), stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), kombinasi antara keduanya, kematian serta kerusakan seluruh bagian tumbuhan oleh iklim. Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi. Serasah atau detritus organik yang berasal dari bahan tumbuhan yang telah mati setelah mengalami beberapa tahapan dekomposisi dapat

32 13 menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan dalam ekosistem perairan (Mason, 1977). Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan suatu bahan dasar nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan (enrichment) mikroba (Odum, 1971). Fell dan Masters (1973) yang mempelajari proses degradasi daun mangrove, mendapatkan 66 marga fungi dan melihat adanya suatu urutan infestasi. Pada minggu pertama setelah daun gugur, serasah kebanyakan diserang oleh Phycomycetes yang terdiri atas Thraustochytrium, Schizochytrium, Phytophthora vesicola, P. bahamensis, P. epistomium, P. mycoparasitica dan P. spinosa. Penyerang lainnya adalah Aspergillus, Penicillium, Trichoderma, Fusarium, Curvularia dan Drechslera. Setelah minggu kedua penyerangan dan dekomposisi serasah dilakukan oleh Lulworthia dan setelah tiga minggu terdapat Zalerion varium. Newel (1976) mendapatkan urutan infestasi pada anakan Rhizophora mangle (Tabel 1). Jika dibandingkan penyerangan jenis fungi pada semai, daun dan kayu terlihat perbedaan dalam kemampuan dan jumlah jenis fungi yang melakukan penyerangan Peran Mikroorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah Bakteri bersama fungi merupakan komponen penting dalam komunitas mangrove dan berperan sebagai pengurai dalam ekosistem mangrove. Bakteri laut umumnya lebih kecil dibanding bakteri non laut, dan proporsi terbesar terdiri atas bakteri Gram negatif berbentuk batang, serta pada umumnya aktivitas pergerakan dilakukan dengan bantuan flagella. Bakteri bentuk kokus (cocci) umumnya lebih sedikit dibanding bakteri yang berbentuk batang. Kebanyakan bakteri laut terikat, atau bergabung sesamanya untuk membentuk permukaan yang kuat (solid) karena adanya bahan berlendir yang terbentuk pada permukaan sel, sehingga sel-sel saling terikat. Dengan cara ini bakteri dapat membentuk lapisan permukaan yang mengakibatkan bakteri dapat hidup pada alga, rumput laut dan tumbuhan mangrove (Hutching dan Saenger, 1987). Daya tahan hidup dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh kelembaban nisbi,

33 14 suhu, cahaya matahari dan populasi bakteri yang berubah dari satu musim ke musim berikutnya (Bell, 1974). Fungi memainkan peran penting dalam ekosistem mangrove terutama dalam hubungannya dengan bakteri untuk mempercepat dekomposisi serasah daun (Fell dkk., 1975). Fungi merupakan pengurai utama daun-daun mangrove karena mempunyai kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Seperti diketahui selulosa dan lignin ini secara bersama merupakan komponen utama penyusun dinding sel di daun. Kohlmeyer (1969) meneliti asosiasi fungi dengan mangrove, dan mendapatkan 31 jenis fungi laut dan 44 jenis fungi terestrial. Umumnya jenis fungi terestrial berasosiasi dengan daun, sedang jenis fungi laut berasosiasi dengan akar mangrove. Hutching dan Saenger (1987) menyatakan bahwa jenisjenis fungi dapat dikelompokkan berdasarkan mikrohabitat yang ditempatinya pada pohon mangrove dan terdapat kelompok jenis fungi yang terdapat pada lebih dari satu mikrohabitat. Dapat dibedakan tiga mikrohabitat utama yaitu (1) daun mangrove, (2) batang dan akar, serta (3) tanah. Fungi parasitik dan saprobik sebagian besar terdapat pada daun mangrove, penyebarannya cukup luas serta sering hidup bersama dengan jenis patogen pada sejumlah inang. Sebagai contoh adalah marga Pestalotia, Phyllosticta, Cladosporium, Nigrospora dan Cercospora; yang semua jenisnya mempengaruhi kehidupan jenis tumbuhan terestrial. Beberapa jenis di samping mempengaruhi pertumbuhan mangrove juga mempengaruhi perkembangan tumbuhan terestrial. Sebagai contoh adalah Nigrospora sphaerica penyebab busuk daun pada Rhizophora mangle dan penyebab penyakit squirter pada pisang. Jenis fungi tanah mangrove bisa dibagi ke dalam dua kelompok yaitu yang berada di tanah dan yang berasosiasi dengan daun-daun mangrove yang hancur di permukaan tanah. Kedua kelompok ini sangat bergantung pada bahanbahan organik yang terdapat di tanah (Hutching dan Saenger, 1987).

34 15

35 8 Tabel 1. Suksesi jenis-jenis fungi yang menghancurkan (breakdown) anakan Rhizophora mangle di Florida menurut waktu dan kondisi anakan Waktu Pengamatan Data Nov Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Juni Juli Agus. Sep. Okt. Nov. Des Lokasi anakan Pra-absisi Setelah - absisi, lingkungan estuaria di bahwah permukaan (sub surface) Kondisi anakan Matang, sehat Semua tumbuh tumbuh-senescence-mati senescence-mati mati Jenis fungi Cladosporium cladosporioides Pestalotia sp. Cladosporium sp. Alternaria alternata Zygosporium masonii Aureobasidium pullulans Pestalotia sp. C. cladosporioides Septonema sp. Penicillium steckii A. alternata Aspergillus repens Thraustochytrium sp. Anakan yang mangalami senescence mati Lulworthia grandispora Zalerion varium Flagellospora sp. L. medusa var. biscaynia Pestalotia sp. Labyrinthula sp. Thraustochytrium sp. Anakan yang hidup (viable) mengalami senescence Keissleriella blepharospora Cytosporina sp. Cytospora rhizophorae Pestalotia sp. Thraustochytrium sp. Trichoderma viride Penicillium Roseopurpureum Papulospora halima Phytophthora vesicula Tahap penyerangan fungi Pra-absisi Penyerang Superfisial Setelah-absisi Penyerang Superfisial Penyerang bagian bawah epidermis, pada bagian mati dan jaringan hidup Penyerang pelapuk jaringan Tahap analog Parasit lemah + umum Dan saprobik utama terbatas Sumber : Newel (1976) Saprobik sekunder tahap II : Ascomycetes dan Deuteromycetes Saprobik sekunder tahap III : Fungi tanah

36 III. LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS 3.1. Pendahuluan Latar Belakang Dekomposisi adalah proses penghancuran tumbuhan mati secara bertahap yang menyebabkan terurainya struktur organisme yang semula kompleks menjadi bentuk-bentuk yang sederhana seperti air, karbondioksida dan unsurunsur hara mineral. Penghancuran serasah dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan dalam proses dekomposisi, yang menyebabkan terjadi kehilangan bobot materi (organik). Hal tersebut seringkali dapat diukur dalam percobaan dekomposisi serasah (misalnya kehilangan bobot daun) dan umumnya juga terjadi penghancuran bagian-bagian serasah yang berukuran besar menjadi partikelpartikel berukuran kecil (Mason, 1974 ; Mason, 1977) Dekomposisi juga dapat diartikan sebagai pemisahan secara mekanik struktur tumbuhan mati mulai dari tahap masih terikat pada tumbuhan hidup sampai menjadi humus yang struktur selnya tidak berbentuk, karena terjadi pemecahan molekul-molekul organik kompleks menjadi karbondioksida, air dan komponen-komponen mineral (Satchell, 1974). Menurut Dix dan Webster (1995) serasah tumbuhan dapat terdekomposisi menjadi enam kategori, yaitu : (1) selulosa, (2) hemiselulosa, (3) lignin, (4) gula terlarut, asam amino dan asam alifatik, (5) larutan eter dan alkohol, lemak, minyak, lilin, resin dan pigmen-pigmen, serta (6) protein. Dekomposisi serasah dipengaruhi oleh urutan reaksi spesifik dan dengan bantuan sistem enzim-enzim tertentu yang dipunyai oleh jenis-jenis organisme tertentu. Karakteristik penguraian serasah beragam, hal ini dipengaruhi oleh jenis dan bagian organ tumbuhan. Kecepatan penguraian dan pengurangan kandungan bahan organik dan anorganik pada serasah ditentukan oleh kekuatan pencucian (leaching). Dari beberapa hasil penelitian tentang penguraian serasah melalui pencucian antara lain, yang dilakukan secara in-situ dengan menggunakan serasah daun, dapat diketahui bahwa pemecahan gula terjadi pada hari ke-14 dan tanin pada hari ke-24. Hasil penelitian secara mikroskopis

37 17 dengan menggunakan daun Rhizophora sp. menunjukkan bahwa jenis fungi yang hadir sejak awal berpengaruh besar terhadap proses pencucian dan terhadap kolonisasi oleh jenis mikroorganisme lainnya serta terhadap kehadiran invertebrata pemakan serasah (Mason, 1977). Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah yang tidak dapat dimasuki oleh makrofauna pemakan serasah daun, seperti Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya ditempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu tertentu. Tiap kali pengamatan sisa serasah yang terdapat dalam kantong tersebut ditimbang (Hogarth, 1999). Pada hutan mangrove, pasokan serasah daun yang berasal dari berbagai jenis pohon mangrove tersebut dapat terjadi secara berkelanjutan. Serasah daun merupakan substrat yang baik bagi berbagai jenis fungi, bakteri dan mikroorganisme lainnya. Serasah daun mangrove pada air payau terdekomposisi menjadi potongan-potongan kecil dalam waktu 2 sampai 3 bulan (Nakagiri dkk.,1996) Keadaan lingkungan yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan, 1978). Menurut Sutedjo dkk., (1991) proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara. Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Anderson dan Swift (1979) adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik), (2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia (iklim makro dan tanah). Dengan demikian proses dekomposisi (D) merupakan fungsi organisme penghancur (O), kualitas serasah (Q) dan lingkungan (P) atau D = f (O,Q,P). Menurut Whitmore (1984), peran makrofauna sebagai organisme penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah menjadi partikel-partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan akibatnya penguraian serasah tersebut oleh bakteri dan fungi menjadi lebih mudah.

38 18 Kecepatan dekomposisi bahan-bahan organik secara umum bergantung pada kualitas dan umur bahan organik itu sendiri (Godshalk dan Wetzel 1978; Westrich dan Berner, 1984). Kebanyakan bahan-bahan organik yang dihasilkan di daerah estuarin dan kawasan pesisir didekomposisi oleh mikrorganisme yang hudup secara aerobik dan anaeobik (Smith 1974). Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh jenis serasah, jenis pohon, dan penggenangan lantai hutan mangrove oleh air laut (Day, 1982 diacu oleh Alrasjid, 1986). Dekomposisi sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan ada pula yang sampai bertahun-tahun (Spurr dan Barnes, 1980) Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot serasah daun terjadi oleh proses fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30 sampai 50 persen bahanbahan organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu karbohidrat seperti selulosa yang tidak larut. Bahan-bahan ini selanjutnya diuraikan dengan bantuan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri atau fungi. Satu di antara berbagai macam substrat yang banyak terurai di awal proses dekomposisi adalah tanin. Keberadaan tanin pada serasah daun dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil enzim ekstraseluler. Diperkirakan invasi oleh bakteri pada serasah daun yang mengalami dekomposisi, terjadi setelah kandungan taninnya berkurang (Gonzales-Farias dan Mee, 1988). Daun-daun senescence jatuh di permukaan tanah, dan selanjutnya mengalami pembusukan, melepaskan unsur hara dan secara perlahan menyatu ke dalam struktur tanah. Fungi berperan penting pada saat ini, tetapi relatif masih sedikit jenis-jenis fungi yang berperan. Dekomposisi berbagai macam tipe serasah suatu tumbuhan setelah dikolonisasi fungi sekunder, biasanya berlangsung satu tahun. Pada tahap ini juga berlangsung sejumlah proses fisika dan kimia. Serasah tumbuhan berada di permukaan tanah selama beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum terdekomposisi sempurna dan akhirnya menyatu ke dalam tanah mineral (Dix dan Webster, 1995). Menurut Fisher dan Binkley (2000), proses dekomposisi sudah dimulai sebelum serasah lepas dari pohon. Pada saat melekat, daun menghasilkan eksudat yang dapat menarik dan memungkinkan diinvasi oleh patogen. Selanjutnya serasah yang sudah jatuh, pada minggu-minggu awal diinvasi oleh fungi. Serasah daun yang mulai hancur ini banyak mengandung larutan gula, asam organik dan polifenol yang tercuci selama priode ini. Setelah cairan fenol

39 19 tercuci, serasah ini dapat dimanfaatkan oleh Arthropoda dan cacing. Selanjutnya serasah dihancurkan oleh mikroorganisme dengan populasi yang besar. Tanpa adanya fragmentasi yang dilakukan oleh hewan tanah tersebut terlebih dahulu, maka proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme akan berlangsung lambat. Kecepatan dekomposisi berbagai macam serasah, terutama yang berasal dari pohon bergantung pada kecepatan serasah tersebut terpecah-pecah (fragmented). Proses penghancuran ini sebagian besar dilakukan oleh banyak hewan tanah kecil yang memakan serasah di antaranya siput, cacing kecil (millipedes) beberapa kutu (mites), Collembola, larva serangga, serangga dan hewan-hewan tanah yang lebih besar seperti Lumbricus terrestris dan Allolobophora longa. Berbagai jenis serangga penting pemakan daun meliputi ordo Hymenoptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Diptera dan Hemiptera (Franklin, 1970 diacu oleh Jensen, 1974). Pemecahan daun-daun menjadi komponen-komponen serasah yang lebih kecil ukurannya mempercepat terjadi dekomposisi serasah karena peningkatan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme yang disebabkan oleh dua cara. Pertama, pecahan serasah yang kompak menyebabkan kemudahan dalam kapasitas pemegangan air serasah. Kedua, fragmentasi atau pemecahan serasah oleh hewan pemakan serasah dapat meningkatkan luas permukaan untuk penyerangan oleh mikroorganisme. Hal ini terutama penting untuk dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri yang tidak mempunyai hifa seperti fungi yang dapat mempenetrasi jaringan. Pertumbuhan bakteri sebagian besar terbatas pada permukaan serasah dan sangat bergantung pada luas jaringan yang terbuka. Pada pecahan serasah daun ini fungi berperan kecil. Ketika hewan tanah tidak mungkin masuk (exclude) untuk menyerang serasah, maka pada saat ini proses fisika akan lebih banyak berperan (Dix dan Webster, 1995). Menurut Wagener dan Davidson (1954, diacu oleh Manion dan Zabel, 1979), tiga faktor yang mempengaruhi keberadaan mikroorganisme pionir dan fungi pelapuk pada bahan tumbuhan yaitu : 1. Faktor vital yang berhubungan dengan respons sel parenkim, pada bahan tumbuhan yang berperan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pionir dan fungi pelapuk. 2. Faktor preservatif yang disebabkan oleh kandungan fenol pada jaringan yang terdiskolorasi. Pembentukan bahan-bahan preservatif

40 20 secara alami dapat mengurangi kecepatan hancurnya bagian tumbuhan yang mati. 3. Faktor solubilitas, yang berperan untuk peningkatan penghancuran dinding sel ; bila penghancuran berlangsung terus, dinding sel menjadi berkurang. Dalam hal ini fungi pelapuk mempunyai keamampuan besar untuk menghancurkan dinding sel. Kecepatan dekomposisi serasah daun dan proses menyatu ke dalam tanah mineral bergantung pada kondisi fisik dan jenis tumbuhan. Pada komunitas tumbuhan tertentu produksi serasah tinggi dan kecepatan pelapukan lambat. Dalam hal ini serasah dapat terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa sentimeter (Dix dan Webster, 1995). Hasil penelitian Sediadi dan Pramudji (1986) di Teluk Ambon menunjukkan bahwa serasah jenis A. marina dalam 65 hari telah mengalami dekomposisi sebesar % dan untuk terurai sempurna (100 %) membutuhkan waktu 182 hari. Adapun Brotonegoro dan Abdulkadir (1978) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa selama 75 hari, daun A. marina telah mengalami dekomposisi 77,64 %. Untuk jenis R. apiculata dalam 54 hari daun telah terdekomposisi 47,68 % dan terdekomposisi sempurna selama 132 hari (Soerojo, 1986). Hasil penelitian yang dilakukan Boonruang (1984) di pulau Phuket Thailand menunjukkan bahwa serasah A. marina lebih cepat terdekomposisi dibandingkan dengan serasah Rhizophora apiculata. Serasah daun A. marina separoh bobot keringnya hilang dalam 20 hari, sedang serasah daun R. mucronata hilang dalam 40 hari. Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan kandungan fenol yang besar dan nisbah C : N yang besar sehingga membuat serasah tidak disukai dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh hewan tanah. Pada percobaan bahan makanan, cacing tanah (earthworm) ternyata lebih menyukai daun-daun dengan tingkat polifenol kecil dan nisbah C : N kecil. Pada daun ini tekstur lebih halus dan lebih kuat (Dix dan Webster, 1995) Dekomposisi maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah berlimpah (Waksman, 1952 diacu Moore-Landecker, 1990). Produk akhir yang dihasilkan oleh mikroorganisme pelapuk (microbial decay) daun adalah humus yang secara perlahan menyatu dengan tanah mineral pada horizon A di bawah lapisan fermentasi. Humus adalah campuran kompleks sisa-sisa polimer

41 21 fenol yang berasal dari tumbuhan berkombinasi dengan karbohidrat dan bahanbahan nitrogen tumbuhan, hewan dan mikroba (microbial origin). Kandungan nitrogen adalah sekitar 5 % dan sekitar 30 % kandungan karbohidrat yang dapat diuraikan menjadi gula C6 dan C5. Humus yang stabil mempunyai kandungan fenol yang besar, yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Dix dan Webster, 1995) Dekomposisi menjadi sempurna ketika campuran bahan organik dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk anorganik atau bentuk mineral, yaitu karbon dalam bentuk karbondioksida, nitrogen dalam bentuk amonia dan fosfor dalam bentuk fosfat (Moore-Landecker, 1990). Garrett (1963 diacu oleh Frankland, 1974) menjelaskan tahap suksesi fungi pada Pteridium aquilinum seperti yang diuraikan pada Tabel 2. Adapun Bell (1974) mengemukakan bahwa jaringan tua (senescence) dan jaringan mati berpengaruh terhadap keberadaan jenis parasit, saprofit primer dan sekunder yang menggunakan karbohidrat sederhana terutama selulosa dan lignin sebagai makanan. Organisme yang aktif dalam proses dekomposisi berdasarkan taksonomi dan ekologinya dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok atau komponen. Di dalamya termasuk bakteri, fungi, protozoa, nematoda, oligochaeta, makro dan mikro arthropoda serta jenis-jenis hewan lainnya. Kitazawa (1971) membagi fauna tanah ke dalam (1) Mesofauna yang terdiri atas Nematoda, Enchytraeidae, Acari dan Collembola, dan (2) Makrofauna yang terdiri atas organismeorganisme lebih besar. Aktivitas mikroorganisme dalam dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh (1) transpor spora, (2) eliminasi mikostasis dan bakteriostasis, (3) pengkayaan unsur hara dengan pemisahan bahan-bahan serasah dan (4) koloni pada daun yang tua (senescence) (Satchell, 1974). Bagi mikroorganisme proses-proses penguraian semata-mata untuk memperoleh unsur hara dengan cara mencernanya. Bakteri, Actinomycetes dan fungi mengeluarkan enzim ke dalam lingkungan untuk membantu penguraian molekul-molekul senyawa kompleks menjadi komponen-komponen sederhana yang lebih kecil. Bahan yang diuraikan selanjutnya digunakan dalam proses metabolisme atau dilepaskan sebagai metabolit (Moore-Landecker, 1990).

42 22 Tabel 2. Suksesi beberapa jenis fungi pada Pteridium aquilinum (Garrett, 1963 diacu oleh Frankland, 1974) HIDUP -TUA (SENESCENCE) MATI (TAHUN) ph 5.2 ph C : N C : N 30 - Larutan mineral dan karbohidrat hilang dengan cepat - Holoselulosa hilang < 50% - Lignin hilang < 50% - Penyerangan oleh fungi parasit lemah - Lesio oleh fungi pada bagian luar korteks dipenetrasi oleh hifa hialin PARASIT Rhopographus pteridis Aurebasidium pullulans - Floem hancur - Sel yang mengandung lignin diserang oleh Basidiomycota SAPROFIT PRIMER Sphaeropsidales - Epidermis hancur SAPROFIT SEKUNDER - Kolonisasi fungi ekstensif pada bahanbahan xilem dan serat - sisa bahan organik kering> 20% - Aktivitas fungi berkurang, hewan tanah dominan FUNGI TANAH DAN PREDACIOUS SPP. Cladosporium herbarum Cylindricarpon destructans Epicoccum nigrum Basidiomycota Trichoderma spp. Pestalotiopsis neglecta Chloridium sp. Lemalis sp. Volutella ciliata Penicilium spp. Gliomastix murorum Dactylella megalospora Phycomycota

43 23 Kelembaban tanah berperan penting dalam proses dekomposisi serasah karena dapat meningkatkan kecepatan dekomposisi serasah. Kemampuan serasah untuk menyimpan air dan mengurangi evaporasi dapat meningkatkan keberadaan mikrorganisme dan aktivitasnya (Van Der Drift dan Witkamp,1959 diacu oleh Satchell, 1974). Proses dekomposisi sebagian besar adalah proses biologi yang dilakukan oleh organisme dan mikroorganisme, sehingga kecepatan dekomposisi sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme dan mikroorganisme tersebut (Fisher dan Binkley, 2000). Aspergillus dan Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa. Hal ini dibuktikan oleh Lindberg (1947 diacu oleh Bell, 1974) pada percobaan dekomposisi daun Glyceria maxima. Jenis Clytocybe berperan dalam menguraikan serasah yang dapat menyebabkan bahan kering hilang 30 % dan 75% lignin, karena terdekomposisi. Empat jenis lain dari marga ini juga dapat menguraikan selulosa hingga 50% dari yang ada dalam serasah. Perkembangan bakteri pada serasah dimulai dengan terjadi peningkatan populasi bakteri. Ini terjadi pada bakteri yang sudah ada pada saat daun mengalami senescence. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar air serasah tanpa disertai perubahan komposisi kimia. Pada serasah yang mudah terdekomposisi populasi bakteri menjadi besar dalam waktu yang pendek, tetapi pada tahap selanjutnya jumlah bakteri makin berkurang. Pada serasah yang sulit terdekomposisi perkembangan populasi bakteri pada tahap awal berlangsung lambat, tetapi populasi makin meningkat pada tahap-tahap berikutnya. Selanjutnya serasah diserang oleh jenis-jenis bakteri tanah yang umumnya tidak terdapat pada permukaan daun (phylloplane), terutama Actinomycetes dan jenisjenis bakteri pembentuk spora lainnya. Bakteri permukaan daun (phylloplane) tidak menyerang jaringan tumbuhan yang sehat tetapi dapat hidup karena tersedia eksudat daun, kotoran hewan (faecal) dan produk metabolit fungi daun (Jensen, 1974) Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina.

44 Hipotesis Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Perum Perhutani Desa Blanakan Kec. Blanakan BKPH Pamanukan KPH Purwakarta, serta di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2003 sampai bulan Desember Pengumpulan Serasah Daun A. marina Serasah daun dikumpulkan dengan menggunakan 5 sampai 10 kain kasa/nilon berukuran 3 x 4 m, yang diletakkan dengan cara mengikatkannya di antara dua pohon pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Serasah daun A. marina yang dikumpulkan sekitar 6600 g Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan Serasah daun A. marina sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam kantong serasah (litter-bag) yang berukuran 40 x 30 cm terbuat dari nilon dengan mesh 1 x 1 mm seperti pada Gambar 2. Jumlah kantong serasah yang diperlukan sebanyak 132 buah (11kali pengamatan x 3 ulangan x 4 tingkat salinitas). Penempatan kantong serasah yang sudah berisi serasah daun di lapangan dilakukan berdasarkan tingkat salinitas yang telah diukur dengan hand refractometer. Pada lokasi dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan di atas dibuat satu petak berukuran 440 cm x 40 cm, dengan jumlah petak keseluruhan sebanyak empat petak (Gambar 3). Kantong serasah yang berisi serasah daun A. marina ditempatkan secara acak pada petak-petak ini (Gambar 4). Agar tidak dihanyutkan oleh pasang air laut keempat ujung kantong serasah ini diikatkan pada potongan pancang yang dibuat dari bambu dengan panjang 50 cm dan diameter 1,5 cm. Keempat potogan bambu yang sudah diikatkan dengan kantong serasah, selanjutnya ditancapkan di tanah sampai pada kedalaman 40 cm. Adapun cara lain yang

45 25 digunakan adalah pengikatan ke-empat sudut kantong serasah, bila ada, pada akar atau pangkal batang pohon terdekat. Sebanyak 3 kantong berisi serasah diambil dari tiap tingkat salinitas sekali lima belas hari dan pengambilan kantong berisi serasah dilakukan sampai hari ke-165 (11 kali pengambilan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Pada hari ke-165 tersebut diperkirakan semua serasah telah mengalami dekomposisi dengan sempurna. Nilon 40 cm 30 cm Gambar 2. Bentuk dan ukuran kantong serasah yang terbuat dari nilon yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas

46 26 L a u t J a w a Jalur pasang surut U 0 m 100 m Salinitas >30 ppt Lokasi Plot 150 m ppt 300 m 600 m ppt 1000 m 1600 m 0 10 ppt 1600 m Kali Malang Gambar 3. Lokasi petak untuk penempatan kantong berisi serasah di lapangan berdasarkan tingkat salinitas

47 27 A B C D Gambar 4. Petak-petak penempatan kantong berisi serasah daun A. marina dengan tingkat salinitas < 10 ppt (A), ppt (B), ppt (C) dan > 30 ppt (D) Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan Rumus (1) (Olson, 1963) : X t = X o. e k t (1) ln (X t /X 0 ) = -k t Adapun penentuan lama masa serasah terdapat (resiedence time) di lantai hutan digunakan Rumus (2) : 1/k (2) dengan pengertian : X t X 0 = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke t (g) = bobot serasah awal (g) e = bilangan logaritma natural (2,72) k = laju dekomposisi serasah t = waktu pengamatan (hari)

48 Hasil Bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas dapat dilihat pada Gambar 5. Data dasar tiap 15 hari bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mangalami proses dekomposisi selama 165 hari dapat dilihat pada Lampiran 1. Bobot kering sisa serasah (Gram) <10 ppt ppt ppt >30 ppt Tingkat Salinitas Gambar 5. Bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Berdasarkan data pada Gambar 5 dapat diketahui bahwa sisa serasah daun A. marina terbanyak terdapat pada salinitas > 30 ppt yaitu sebesar 8,44 g bobot kering. Antar bobot kering sisa serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas yang lebih kecil dari 30 ppt tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Adapun sisa bobot kering serasah daun A. marina terkecil (hilangnya terbesar), yaitu sebesar 2.34 g didapatkan pada serasah daun yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas ppt. Persentase sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai dengan 165 hari pada berbagai tingkat salinitas dapat dilihat pada Gambar 6. Adapun persentase sisa serasah daun A. marina tiap ulangan pada berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi disajikan pada Lampiran 2.

49 29 <10ppt ppt ppt >30 ppt Sisa serasah (%) Lama masa dekomposisi (hari) Gambar 6. Persentase sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Dari Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa kehilangan bobot kering serasah yang besar terjadi setelah serasah mengalami proses dekomposisi selama 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 hari. Kehilangan bobot kering serasah yang mengalami proses dekomposisi dari 105, 120 sampai dengan 135 hari adalah konstan. Selanjutnya setelah serasah terdekomposisi selama 150 dan 165 hari terjadi kehilangan bobot kering yang relatif besar. Kehilangan bobot kering serasah tersebut lebih besar dibandingkan dengan sisa bobot kering serasah daun yang mengalami dekomposisi selama 105, 120 dan 135 hari. Penyusutan bobot kering serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada semua tingkat salinitas menunjukkan pola yang sama. Perubahan bentuk serasah daun A. marina dari yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan, dan perubahan bentuk yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 hari sampai 165 hari pada tingkat salinitas ppt disajikan pada Gambar 7. Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah daun A. marina terdapat di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas disajikan pada Tabel 3. Dapat dijelaskan bahwa laju dekomposisi terbesar terjadi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt dengan nilai k sebesar 6.8/ tahun. Hal ini juga ditunjukkan oleh lama masa serasah terdapat di lingkungan dengan tingkat salinitas ppt, yaitu 0.15 tahun.

50 30 Tabel 3. Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah terdapat di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas k Lama masa serasah No. Tingkat Salinitas (tahun -1 ) terdapat (tahun) 1. < 10 ppt ppt ppt > 30 ppt A B C D E F G H I J K L Gambar 7. Bentuk serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai dengan 165 hari pada tingkat salinitas ppt. Kontrol (A), 15 hari (B), 30 hari (C), 45 hari (D), 60 hari (E), 75 hari (F), 90 hari (G), 105 hari (H), 120 hari (I), 135 hari (J), 150 hari (K) dan 165 hari (L)

51 Pembahasan Pada tingkat salinitas > 30 ppt didapatkan sisa serasah daun A. marina terbesar dibanding dengan sisa serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt dan ppt. Hal ini dapat disebabkan oleh populasi bakteri pada serasah daun A. marina yang terdapat pada tingkat salinitas > 30 ppt yang lebih kecil (8,22 x 10 7 cfu/ ml) dibanding dengan populasi bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt (51,08 x 10 7 cfu/ml), ppt (77,90 x 10 7 cfu/ml) dan (8.23 x 10 7 cfu/ ml). Karena populasi bakteri yang kecil pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas > 30 maka kemampuan bakteri untuk manguraikan serasah daun A. marina juga lebih kecil. Akibatnya sisa serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt lebih banyak dibanding sisa serasah yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas yang lebih kecil. Populasi bakteri yang kecil pada tingkat salinitas > 30 ppt diduga karena tingkat salinitas ini bukanlah merupakan kondisi optimal yang dapat mendukung bakteri untuk dapat tumbuh dan berkembang. Diperkirakan jenisjenis bakteri tertentu saja yang dapat hidup pada kondisi seperti ini. Jenis bakteri yang kecil diduga juga berpengaruh terhadap populasi bakteri yang terdapat pada tingkat salinitas > 30 ppt. Diasumsikan bahwa dengan makin kecil jumlah jenis bakteri yang ada pada tingkat salinitas > 30 ppt maka populasi bakteri juga akan makin kecil. Laju dekomposisi serasah dapat dilihat berdasarkan kecepatan penyusutan bobot kering serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 15 sampai dengan 165 hari pada semua tingkat salinitas, ini disebabkan oleh proses-proses fisik berupa kehancuran serasah yang besar. Selain itu faktor yang menyebabkan terjadi penurunan bobot kering serasah yang besar diperkirakan juga disebabkan oleh jenis organisme lain yang hidup pada lokasi tempat serasah mengalami dekomposisi. Jenis organisme yang ditemui dan yang diperkirakan ikut berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina adalah cacing (Nereis sp.) (Gambar 8), yang dijumpai pada serasah daun A. marina yang telah mengalami dekomposisi selama 45 hari pada semua lokasi dengan berbagai tingkat salinitas yang dipelajari. Pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt terdapat rata-rata

52 32 15 cacing, pada ppt terdapat rata-rata 4 cacing, pada ppt ratarata 18 cacing, dan pada tingkat salinitas > 30 ppt terdapat rata-rata 9 cacing. Diperkirakan cacing-cacing ini sudah ada sejak serasah daun A. marina mengalami dekomposisi selama hari, karena cacing-cacing yang ditemukan relatif besar yaitu panjangnya 5 sampai 6 cm dengan diameter badan 3 sampai 4 mm. Cacing-cacing ini diperkirakan untuk hidupnya memerlukan serasah daun A. marina sebagai bahan makanannya. Adapun pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 60 hari pada semua tingkat salinitas tidak ditemukan lagi cacing. Menurut Dix dan Webster (1995) kecepatan dekomposisi serasah dipengaruhi oleh kecepatan serasah tersebut terpecah-pecah (fragmented). Pemecahan ini sebagain besar dilakukan oleh banyak hewan tanah seperti siput, cacing, larva serangga dan lain-lain. Selanjutnya Kuter (1986) mengemukakan bahwa keberadaan cacing pada serasah daun menyebabkan pemecahan (fragmented) serasah daun tersebut lebih cepat berlangsung. Selain itu Benner dkk., (1986 diacu oleh Twiley dkk., 1997), menyatakan bahwa kecepatan dekomposisi serasah daun pada perairan mangrove berhubungan dengan kualitas kimia serasah daun. Selain cacing, jenis organisme lain yang ditemukan pada serasah daun A. marina adalah siput (Gambar 9). Jenis siput besar (Gambar 9A) ditemukan hanya pada serasah yang mengalami dekomposisi selama 75 sampai 165 hari 10 mm Gambar 8. Cacing yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami dekomposisi selama 45 hari pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt, ppt dan > 30 ppt pada salinitas ppt. Diperkirakan siput-siput ini juga ikut berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina. Hal ini dapat dilihat dari hasil

53 33 penelitian yang menunjukkan bahwa sisa serasah daun yang berada pada salinitas ppt lebih sedikit dibanding dengan sisa serasah yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt dan > 30 ppt. Pada tingkat salinitas ppt ditemukan siput besar pada serasah daun yang telah mengalami dekomposisi selama 75, 90, 105, 120, 135, 150 dan 165 hari berturut-turut dengan jumlah rata-rata 7, 29, 52, 92, 65, 81 dan 162 siput. Pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada salinitas < 10 ppt, dan > 30 ppt juga ditemukan siput yang tubuhnya lebih kecil (Gambar 9 B), dibanding tubuh siput yang didapatkan pada serasah yang mengalami dekomposisi pada salinitas ppt. Dalam hal ini jumlah tiap jenis siput tersebut tidak dicatat. Diperkirakan siput ini juga ikut berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina. Dengan makin berkurangnya ukuran-ukuran partikel serasah atau bahan tumbuhan maka kehilangan bobot kering makin cepat karena diikuti penyerangan oleh fungi (Asiedu dan Smith, 1973). Makin luas lingkungan daerah pasang surut makin besar keheterogenan faktor-faktor seperti salinitas, cahaya (celah kanopi) dan sedimen (unsur hara dan ruang), yang semuanya akan berpengaruh terhadap keberadaan dan ketahanan organisme (Clarke dan Allaway, 1993). A B Gambar 9. Siput yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi. Siput yang besar ditemukan pada serasah yang mengalami dekomposisi selama 75 hari sampai 165 hari (A) pada salinitas ppt dan siput kecil yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada salinitas < 10 ppt, ppt dan > 30 ppt (B)

54 34 Peningkatan salinitas dapat menyebabkan terjadi penghambatan aktivitas mikroorganisme tanah yang direfleksikan dalam bentuk perubahan kandungan CO 2, aktivitas selulase dan humifikasi residu tumbuhan (Malik dkk., 1979). Kecepatan dekomposisi dipengaruhi oleh tipe daun, aktivitas mikroorganisme, kecepatan air (water velocity) dan lama masa terendam di bawah permukaan air (Eichem dkk., 1993). Kecepatan degradasi serasah daun berhubungan dengan frekuensi pasang surut air laut dan kualitas bahan kimia serasah daun tersebut (Benner dkk., 1986 diacu Twiley dkk., 1997). Selain itu menurut Jensen (1974), konsentrasi unsur-unsur hara yang terdapat pada serasah berpengaruh terhadap kecepatan proses dekomposisi serasah dan jumlah unsur hara yang terlepas selama proses dekomposisi Kesimpulan Laju proses dekomposisi serasah daun A. marina terbesar didapatkan pada serasah daun A. marina yang berada pada tingkat salinitas ppt. Hal ini dapat diketahui dari bobot kering sisa serasah daun yang tertinggal pada kantong serasah yaitu rata-rata 2,34 g. Adapun bobot kering sisa serasah terbesar didapatkan pada lingkungan dengan tingkat salinitas > 30 ppt, yaitu rata-rata 8.44 g. Nilai laju dekomposisi serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi dalam lingkungan dengan tingkat salinitas > 30 ppt, adalah 3.95/th (residence time = 0.25 th). Nilai laju dekomposisi ini lebih kecil dibanding dengan nilai laju dekomposisi serasah yang ditempatkan pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt dan ppt, yang berturut turut adalah, 4.98, 5.89, dan 6.80 dengan residence time berturut-turut 0.20 th, 0,16 th dan 0.15 th. Dengan demikian dapat diketahui bahwa proses dekomposisi serasah berlangsung lebih lambat pada tingkat salinitas > 30 ppt dibanding dengan pada tingkat salinitas yang lebih kecil.

55 IV. KOLONISASI BAKTERI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS 4.1. Pendahuluan Latar Belakang Bakteri memainkan peran penting dalam sejumlah proses yang terjadi di lingkungan mangrove. Beberapa jenis bakteri dapat hidup bersimbiosis dengan organisme lainnya. Sebagai contoh bakteri bentuk batang umumnya terdapat pada usus detrivor mangrove (Harris, 1993) dan pada cabang serta batang mangrove terdapat bakteri pengoksidasi yang hidup sebagai endosimbion dengan suku Lucinacea yang tumbuh pada lumpur mangrove. Bauer-Nebelsick dkk., (1996) dan Ott dkk., (1998) menemukan bakteri pengoksidasi sulfur hidup sebagai ektosimbion obligat pada Zoothamnium niveum yang hidup di hutan mangrove Belizian. Bakteri memainkan peran penting dalam penguraian serasah mangrove. Juga diketahui bahwa sedimen bakteri merupakan bahan penting dalam proses aliran karbon pada hutan mangrove. Pada bagian atas sedimen mangrove dengan ketebalan 2 cm dapat ditemukan 3,6 x sel bakteri/gram bobot kering sedimen (Hogarth, 1999). Sebagian besar peran bakteri dalam proses dekomposisi serasah secara langsung sebagai pengurai bagian-bagian serasah dan sebagian lagi secara tidak langsung pada bahan-bahan organik yang terakumulasi sebagai hasil dekomposisi serasah. Dalam peran tidak langsung ini bakteri dikenal sebagai agens mikolitik (mycolytic agent) (Gyllenberg dan Eklund, 1974). Mangrove adalah suatu lingkungan ekologi yang unik sebagai tempat berkembang komunitas bakteri. Bakteri mengisi sejumlah relung (niche) dan merupakan komponen dasar fungsi lingkungan ini. Bakteri terutama penting untuk mengontrol bahan-bahan kimia di lingkungan mangrove. Sebagai contoh bakteri pereduksi sulfat Desulfovibrio, Desulfotomaculu, Desulfosarcina dan Desulfococcus (Chandrika dkk., 1990) adalah pengurai utama pada sedimen mangrove. Berbagai jenis bakteri ini berperan dalam perubahan bentuk senyawa Besi, Fosfor dan Sulfur dan berkontribusi dalam pelepasan senyawa-senyawa ini

56 36 ke dalam tanah, serta dalam penentuan pola vegetasi (Sherman dkk., 1998). Jumlah bakteri metanogenik berlimpah pada sedimen yang didominasi oleh jenis mangrove Avicennia (Ramamurthy dkk., 1990 ; Mohanraju dan Natarajan,1992). Data taksonomi beberapa jenis bakteri pada komunitas mangrove sudah umum diketahui walau masih terbatas Chou dkk., (1980 diacu oleh Hutching dan Saenger, 1987) mendapatkan 10 jenis bakteri pada mangrove di Singapura. Pada mangrove di Australia tidak terdapat bakteri, namun pada sistem estuarin danau Maquarie di New South Wales terdapat 20 jenis yang terdiri atas bakteri belerang autotrof dan bakteri besi. Jenis-jenis bakteri diperkirakan terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun seperti dalam penguraian selulosa dan juga beperan dalam pengurai bahan-bahan fisik serasah daun (Hogarth, 1999). Komunitas bakteri yang hidup di bawah permukaan air dapat menguraikan unsur hara di dalam lumpur mangrove yang mengandung unsur-unsur hara yang terbatas (Alongi dkk., 1993). Kerapatan populasi bakteri yang terdapat pada permukaan serasah daun yang mengalami dekomposisi pada umur enam hari dapat mencapai 6 x 10 8 sel/cm 2 dengan kecepatan produksi 8 x 10 6 sel/cm 2 /jam (Benner dkk., 1988). Bakteri juga merupakan penentu dalam siklus nitrogen pada lingkungan mangrove. Cyanobacteria laut adalah komponen mikrobiota penting yang berperan dalam penyusunan sumber nitrogen pada ekosistem mangrove (Kathiresan dan Bingham, 2001). Fiksasi N 2 oleh Cyanobacteria yang diisolasi dari akar pasak (pneumatophora) Avicennia di Beachwood Mangrove Reserve Afrika Selatan mampu menyediakan 24,3% nitrogen yang diperlukan lingkungan payau tersebut. Kecepatan fiksasi N ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan suhu (Mann dan Steinke, 1993). Kecepatan fiksasi bakteri lebih tinggi pada lingkungan mangrove dibanding dengan di media pertumbuhan buatan (Toledo dkk, 1995). Bakteri fiksasi efisien dalam menggunakan berbagai macam substrat mangrove yang berbeda kandungan karbon dan konsentrasi fenolnya (Pelegri dan Twilley, 1998). Akan tetapi jumlah individu yang berlimpah bergantung pada kondisi fisik dan komposisi komunitas mangrove. Azobacter yang memfiksasi N 2 berpotensi sebagai biofertilizer. Jumlah individu Azobacter berlimpah pada habitat mangrove Pichavaram, India Selatan. Sengupta dan Choudri (1991) mempelajari bakteri pemfiksasi N 2 di kawasan komunitas mangrove sungai Gangga. Berbagai jenis bakteri ini terdapat dalam jumlah besar pada rizosfer tumbuhan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut secara teratur, sedang

57 37 tumbuhan yang kadang-kadang saja dikenai oleh pasang surut air laut dan pada daerah yang terdegradasi, bakteri rizosfernya lebih kecil populasinya. Jenis bakteri mangrove ada yang bersifat parasit dan yang patogenik. Bdellovibrio mempunyai kemampuan memparasit Vibrio spp. yang umumnya terdapat pada habitat mangrove Australia. Populasi bakteri ini berlimpah yaitu sekitar 36,6 cfu/ml lebih banyak dibanding dengan populasi bakteri yang terdapat pada kawasan Great Barrier Reef yang berjumlah 9,5 cfu/ml. Di Australia juga ditemukan Bacillus thuringiensis yang menunjukkan aktivitas sebagai insektisida terhadap larva nyamuk Anopheles maculatus, Aedes aegypty dan Culex quinquefasciatus yang diisolasi dari sedimen mangrove (Lee dan Seleena, 1990). Populasi bakteri juga dapat menunjukkan pola distribusi spasial tertentu. Banyak jenis bakteri yang hidup sebagai epifit pada permukaan batang mangrove, tetapi jenis-jenis yang berbeda terdapat pada bagian-bagian pohon yang berbeda. Pada daun-daun A. marina dan Sesuvium portulacastrum sejumlah besar terdapat Flavobacterium sedang pada akar dan pada batang banyak ditemukan Vibrio spp. (Abhaykumar dan Dube, 1991). Shome dkk., (1995) mengisolasi 38 jenis bakteri dari serasah daun mangrove dan sedimen mangrove di Andaman Selatan. Isolat terbanyak terdiri atas bakteri-bakteri yang mempunyai sifat fisiologi sebagai berikut, Gram Positif (76,3%), motil (87%), fermentasi (6,9 82,1%), pigmen (31%) dan antibiotik (100%). Bakteri fotosintesis meliputi bakteri belerang ungu (Chromatium spp.) dan bakteri ungu nonsulfur (Rhodopseudomonas spp.) yang diisolasi dari mangrove di Pichavaram, India Selatan (Vethanayagam, 1991). Sembilan jenis bakteri ungu nonsulfur terdapat pada mangrove Mesir. Pertumbuhan bakteri sulfur ungu di habitat ini dibatasi oleh cahaya dan sulfid yang sedikit. Pada tempat banyak cahaya dan sulfid pertumbuhan bakteri sulfur hijau terbatas (Chandrika dkk., 1990). Aktivitas bakteri pada karbon organik adalah memineralisasi dan juga memisahkan karbon organik menjadi bentuk biomassa bakteri (Boulton dan Boon, 1991). Aktivitas bakteri dalam siklus unsur hara pada sedimen adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Aktivitas bakteri tersebut bergantung pada ketersediaan karbon-karbon organik yang dioksidasi (Cole dkk, 1988 diacu oleh Pollard dan Kogure, 1993).

58 38 Didasari oleh hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka telah dicoba dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi terhadap perkembangan jenis-jenis bakteri yang terlibat dalam dekomposisi serasah daun A. marina. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan berkut : 1. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A.marina yang mengalami proses dekomposisi? 2. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap perkembangan populasi bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi? 3. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekompsisi berpengaruh terhadap perkembangan keanekaragaman jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi? 4. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap frekuensi kolonisasi jenis-jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh salinitas dan lama masa dekomposisi terhadap : 1. Perkembangan jumlah jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 2. Perkembangan populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 3. Perkembaangan keanekaragaman jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 4. Frekuensi kolonisasi jenis-jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

59 39 1. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap perkembangan jumlah jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 2. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap perkembangan populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 3. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap perkembangan keanekaragaman jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mangalami proses dekomposisi. 4. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap frekuensi kolonisasi jenis-jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Perum Perhutani Desa Blanakan Kec. Blanakan BKPH Pamanukan KPH Purwakarta, di Laboratorium Bakteri Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Bakteri Fakultas Kedokteran Hewan. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2003 sampai bulan Januari Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : jumlah jenis bakteri, populasi bakteri, keanekaragaman jenis bakteri dan frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri pada serasah daun A. marina Pengumpulan Serasah Daun A. marina Serasah daun dikumpulkan dengan menggunakan 5 sampai 10 kain kasa/nilon berukuran 3 x 4 m, yang diletakkan dengan cara mengikatkannya di antara dua pohon pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Serasah daun A. marina yang dikumpulkan sebanyak 6600 g (50 g serasah x 11 perlakuan x 3 ulangan x 4 tingkat salinitas) Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan Untuk tiap contoh uji, serasah daun A. marina sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam kantong serasah (litter-bag) yang berukuran 40 x 30 cm dan terbuat

60 40 dari nilon dengan mesh 1 x 1 mm. Jumlah kantong berisi serasah yang disiapkan sebanyak 132 buah (11 kali pengamatan x 3 ulangan x 4 tingkat salinitas). Kantong serasah yang sudah berisi serasah daun A. marina ditempatkan di lapangan yang memiliki berbagai tingkat salinitas. Pada lokasi dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan dibuat empat plot yang masing-masing berukuran 430 cm x 50 cm. Sebanyak 33 kantong serasah yang masing-masing berisi 50 g serasah daun A. marina diletakkan secara acak dalam tiap plot. Agar tidak dihanyutkan oleh pasang air laut keempat ujung kantong serasah ini diikatkan pada kayu pancang yang dibuat dari bambu dengan panjang masing-masing 50 cm dan diameter 1,5 cm. Ke-empat kayu tempat kantong serasah diikatkan, selanjutnya ditancapkan di tanah sampai pada kedalaman 40 cm. Adapun cara lain yang dapat digunakan adalah pengikatan ke-empat sudut kantong serasah pada akar atau pangkal batang pohon terdekat. Sebanyak 3 kantong (ulangan) serasah diambil untuk dianalisis dari tiap tingkat salinitas tiap lima belas hari sampai hari ke-165 (11 kali pengamatan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Sebagai kontrol adalah serasah yang belum mengalami dekomposisi (belum diletakkan di lapangan) Isolasi Bakteri dari Serasah Daun A. marina Isolasi bakteri dari serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan (hari ke-0), dilakukan dengan lebih dahulu menumbuk secara perlahan 10 gram serasah daun A. marina dalam mortar. Penentuan populasi bakteri dilakukan melalui metode pengenceran dengan membuat suatu seri pengenceran (dilution series) contoh. Cara pengenceran serasah daun A. marina dan isolasi bakteri pada media dalam cawan Petri dijelaskan pada Gambar 10. Adapun tahapan kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Sebanyak 10 gram serasah daun A. marina yang telah dihancurkan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Selanjunya dibuat suspensi dengan cara menambahkan air yang berasal dari lingkungan serasah mengalami dekomposisi yang telah disterilkan, sampai mencapai volume 100 ml. Setelah pengenceran serasah daun A. marina ini mencapai tingkat yang optimal yaitu 10-7, kemudian sebanyak 0,1 ml diambil dari tiap tingkat pengenceran untuk dibiakkan pada media agar

61 41 nutrisi dalam cawan Petri. Untuk tiap tingkat pengenceran pekerjaan diulang 2 kali. 2. Untuk pembiakan seperti yang disebut pada langkah satu, lebih dulu suspensi bakteri sebanyak 0.1 ml diambil dengan pipet mikro dan ditempatkan pada media biakan. Selanjutnya dengan spatula steril suspensi bakteri disebar merata pada media hingga suspensi kering. Selanjutnya suspensi bakteri pada media biakan dalam cawan Petri tersebut diinkubasi selama jam. Koloni bakteri yang berkembang dimurnikan dengan membuat sub-biakan ke media Agar Nutrisi (NA) dan Agar Sukrosa Pepton (SPA) miring dalam tabung reaksi, serta kemudian diinkubasi selama 48 jam. Kemudian dari biakan tersebut dibuat sub-biakan lagi ke media yang sama dalam tabung reaksi yang lain untuk mendapatkan biakan murni, yang digunakan sebagai bahan untuk identifikasi bakteri. 10 gram serasah daun A. marina 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml Akuades 9ml 9 ml 9ml 9 ml 9 ml 9 ml 100 ml Gambar 10. Cara pengenceran serasah daun A. marina untuk isolasi bakteri pada media biakan dalam cawan Petri 3. Pengamatan terhadap koloni yang muncul dilakukan 1 sampai 12 hari setelah masa inkubasi. Penghitungan koloni bakteri dilakukan terhadap cawan yang mempunyai 30 sampai 300 koloni bakteri (Kiraly, Klement, Solymosy dan Voros, 1974 ; Hadioetomo, 1990). Jumlah koloni per ml

62 42 dihitung dengan cara mengalikan jumlah koloni yang terhitung dengan faktor pengencerannya. Penentuan populasi bakteri dari serasah daun A. marina yang telah memperoleh berbagai perlakuan dalam proses dekomposisi, dilakukan juga dengan membuat suatu seri pengenceran (dilution series) seperti metode pengenceran serasah daun yang belum mengalami dekomposisi Identifikasi Bakteri Biakan murni bakteri hasil isolasi dari serasah yang telah mengalami berbagai perlakuan kemudian diidentifikasi. Untuk identifikasi tersebut, sebelumnya biakan murni ditumbuhkan pada media PSA dalam 2 cawan Petri untuk tiap isolat. Selanjutnya biakan murni bakteri ini diinkubasi pada 37 0 C selama 24 jam. Pengamatan makroskopik dilakukan untuk mengetahui bentuk morfologi koloni bakteri. Dicatat sifat-sifat umum koloni yaitu : (a) ukuran koloni (berupa titik atau melebar menutupi media), (b) bentuk koloni (bulat atau memanjang dan tepi yang rata atau tidak rata), (c) kenaikan permukaan koloni (rata atau muncul di atas permukaan media), (d) halus-kasar permukaan koloni, (e) wajah permukaan koloni (mengkilat atau suram), dan (f) warna koloni (keputihan, kekuningan, kemerahan, coklat, jingga, biru, hijau atau ungu). Sifat fisiologi isolat tertentu bakteri diuji yang meliputi sifat-sifat berikut : (a) Isolat bakteri bersifat Gram positif atau Gram negatif dengan pewarnaan atau dengan menggunakan KOH 3% ; bakteri bersifat Gram positif terlihat ungu, sedang bakteri Gram negatif terlihat merah atau jika terjadi suspensi berlendir dan terlihat seperti benang bila terangkat (b) kemampuan isolat memanfaatkan sumber karbon, (c) kemampuan isolat memproduksi katalase, (d) kemampuan isolat melakukan fermentasi/oksidasi, (e) toleransi isolat terhadap Sodium klorida, (f) suhu-suhu yang sesuai untuk pertumbuhan isolat (Sands, 1990) Pengumpulan Data Data tentang identitas, populasi tiap jenis, keanekaragaman jenis dan frekuensi kolonisasi tiap jenis bakteri dikumpulkan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas air laut, serta pengaruh lama dekomposisi terhadap parameterparameter tersebut. Adapun serasah daun A. marina ditempatkan pada lokasi di lapangan dengan tingkat salinitas sebagai berikut :

63 43 A. Tingkat salinitas < 10 ppt B. Tingkat salinitas ppt C. Tingkat salinitas ppt D. Tingkat salinitas > 30 ppt Pengumpulan data lama masa dekomposisi dilakukan setelah serasah ditempatkan di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas, selama waktu sebagai berikut : A. Hari ke 0 (belum mengalami dekomposisi) G. Hari ke 90 B. Hari ke 15 H. Hari ke 105 C. Hari ke 30 I. Hari ke 120 D. Hari ke 45 J. Hari ke 135 E. Hari ke 60 K. Hari ke 150 F. Hari ke 75 L. Hari ke 165 Untuk tiap kali pengamatan diambil contoh uji berupa serasah dalam kantong sampai 165 hari, dan tiap kali pengamatan dilakukan dalam 3 ulangan Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Bakteri Indeks Keanekaragaman Jenis bakteri dihitung menggunakan Shannon s Index (Shannon dan Weaver, 1949 diacu oleh Ludwig dan Reynolds,1988) dengan Rumus (3). dengan pengertian : H = ni Pi = N s i= 1 ( PilnPi) (3) H = Keanekaragaman jenis s = Jumlah jenis Pi = Proporsi total contoh uji ni = Jumlah jenis ke i N = Jumlah total semua jenis

64 Hasil Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi di Lapangan Jenis-jenis bakteri yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan adalah, Serratia mercescens (Gambar 11 a) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3a), Listeria denitrificans (Gambar 11 b) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3b), Kurthia gibsonii (Gambar 11 c) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3c), Bacillus subtilis (Gambar 11 d) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3d), Micrococcus varians (Gambar 11 e) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3e), Bacillus mycoides (Gambar 11 f) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3f), Bacillus laterosporus (Gambar 11 g) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3 g), Flavobacterium multivorum (Gambar 11 h) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3h) dan Planococcus citreus (Gambar 11 i) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3i). Jumlah koloni bakteri tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi (kontrol) dapat dilihat pada Lampiran 4. Adapun jumlah koloni rata-rata tiap jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi di lapangan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah koloni rata- rata x 10 7 (cfu/ml) tiap jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) No. Jenis bakteri Jumlah koloni ratarata x 10 7 (cfu/ml) 1. Serratia marcescens 9,33 2. Listeria denitrificans 3,33 3. Kurthia gibsonii 1,33 4. Bacillus subtilis 2 5. Micrococcus varians 1,33 6. Bacillus mycoides Bacillus laterosporus 4,67 8. Flavobacterium multivorum 0,33 9. Planococcus citreus 15,33 Jumlah seluruh koloni rata-rata 50,65

65 45 a b c d e f g h i Gambar 11. Bentuk koloni berbagai jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan. Serratia marcescens (a), Listeria denitrificans (b), Kurthia gibsonii (c), Bacillus subtilis (d), Micrococcus varians (e), B. mycoides (f), B. Laterosporus (g), Flavobacterium multivorum (h), dan Planococcus citreus (i) Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas < 10 ppt Jumlah koloni rata-rata tiap jenis bakteri tiap kali pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan tingkat salinitas < 10 ppt, dapat dilihat pada Tabel 5. Adapun jumlah koloni tiap jenis bakteri pada serasah daun A. marina tiap kali pengamatan, dapat dilihat pada Lampiran 5. Dapat dijelaskan bahwa pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt yang merupakan daerah payau terdapat 11 jenis bakteri yang dapat diisolasi yaitu : 1. Bacillus subtilis ; jumlah koloni bakteri ini rata-rata 2.06 x 10 8 cfu/ ml. Kolonikoloni jenis bakteri ini berhasil diisolasi pada serasah daun yang telah mengalami proses dekomposisi selama 30, 45, 60, 75, 90, 150 dan 165 hari. 2. Kurthia gibsonii ; koloni jenis bakteri ini menempati posisi terbanyak kedua setelah B. subtilis dengan jumlah koloni rata-rata 1,05 x 10 8 cfu/ml. Jenis bak-

66 46

67 47 teri ini ditemukan pada tiap kali pengamatan. Pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt frekuensi kolonisasi jenis bakteri ini adalah 100 %. 3. Bacillus licheniformis (Gambar 12 a), adalah jenis bakteri yang berhasil diisolasi pada serasah A. marina yang mangalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt dengan jumlah koloni rata-rata 7.09 x 10 7 cfu/ml. Pada Lampiran 3 j dapat dilihat ciri-ciri morfologi dan fisiologi bakteri B. licheniformis. Jenis bakteri ini berhasil diisolasi pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 90, 105, 120, 135, 150 dan 165 hari. Frekuensi kolonisasi jenis bakteri ini pada serasah daun A. marina adalah 63.6%. 4. Bacillus pasteurii (Gambar 12 b), dengan frekuensi kolonisasi sebesar 27.3% mempunyai jumlah koloni rata-rata 4.12 x 10 7 cfu/ ml. Jenis bakteri ini muncul pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15, 105 dan 150 hari, sedang ciri-ciri morfologi dan fisiologinya dapat dilihat pada Lampiran 3 k. 5. Pseudomonas diminuta (Gambar 12 c) ; jumlah koloninya pada serasah A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt adalah rata-rata 3.27 x 10 7 cfu/ml. Jenis bakteri ini didapatkan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 45, 60,90 dan 150 hari, dengan frekuensi kolonisasinya 36.4%. Ciri-ciri morfologi dan fisiologi P. diminuta diuraikan pada Lampiran 3 l. 6. Bacillus mycoides ; terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 30 dan 165 hari. Frekuensi koloni jenis bakteri ini selama proses dekomposisi serasah daun A. marina pada tingkat salinitas < 10 ppt adalah sebesar 18.2%. Jumlah koloni yang berhasil disolasi adalah rata-rata 2.03 x 10 7 cfu/ml. 7. Listeria denitrificans, dengan jumlah koloni rata-rata 1,30 x 10 7 cfu/ml. Kolonikoloni jenis bakteri ini terdapat pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15, 45 dan 150 hari. Adapun frekuensi kolonisasinya adalah 27.3%. 8. Bacillus laterosporus, bakteri ini terutama didapatkan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 30, 45, 60, 90 dan 150 hari. Jumlah koloni yang berhasil diisolasi adalah rata-rata 0.88 x 10 7 / ml.

68 48 Adapun frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 165 hari adalah 45.5%. 9. Micrococcus varians ; jumlah koloni bakteri ini pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt adalah rata-rata 0.54 x 10 7 cfu/ml. Jenis bakteri ini terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 75, 90, 105, 150 dan 165 hari. Frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina adalah 36.4 %. 10. Bacillus megaterium ; (Gambar 12 d) (ciri-ciri morfologi dan fisiologi, Lampiran 3 m). Jenis bakteri ini terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 105 dan 120 hari dengan jumlah koloni rata-rata 0.39 x 10 7 cfu/ml. 11. Listeria innocua (Gambar 12 e) ; jenis bakteri ini ditemukan pada serasah daun A. marina dengan jumlah koloni paling sedikit dibanding jenis bakteri lainnya. Jumlah koloninya rata-rata 0.36 x 10 7 cfu/ml, dengan nilai frekuensi kolonisasi 9.1%. Ciri-ciri morfologi dan fisiologi L. innocua dapat dilihat pada Lampiran 3 n. Secara keseluruhan rangkuman ciri-ciri morfologi dan fisiologi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas, disajikan pada Lampiran 6. a b c d e Gambar 12. Bentuk koloni berbagai jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan salinitas < 10 ppt, yang tidak terdapat pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan. B. licheniformis (a), B. pasteurii (b), Pseudomonas diminuta (c), B. megaterium (d) dan Listeria innocua (e)

69 Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata tiap jenis bakteri tiap kali pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat ppt dapat dilihat pada Tabel 6. Adapun jumlah koloni bakteri tiap pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 7. Dapat dijelaskan bahwa pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt terdapat 12 jenis bakteri. Jenis-jenis bakteri tersebut terdiri atas : B. subtilis, P. diminuta, B. licheniformis, B. pasteurii, L. inocua, K. gibsonii, B. laterosporus, B. megaterium, M. varians, L. denitrificans, B. mycoides, F. multivorum. Enam jenis bakteri yang disebutkan di muka merupakan jenis bakteri yang koloninya terbanyak pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt. Jumlah koloni jenis-jenis bakteri ini berkisar dari rata-rata 3,49 x 10 7 cfu/ml (K. gibsonii) sampai 2,02 x 10 8 cfu/ml (B. subtilis). Adapun enam jenis berikutnya yang memiliki jumlah koloni yang lebih kecil dibanding enam jenis bakteri pertama dengan kisaran jumlah koloni rata-rata 0.72 x 10 7 cfu/ml (F. multivorum) sampai 2,70 x 10 7 cfu/ml (B. laterosporus) Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata tiap jenis bakteri tiap kali pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah koloni tiap jenis bakteri tiap kali pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas ppt dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari Tabel 6 terlihat bahwa pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt, jenis-jenis bakteri yang didapatkan pada serasah daun yang mangalami dekomposisi selama 15 sampai 165 hari adalah B. laterosporus, B. licheniformis, B. mycoides, B. pasteurii, B. subtilis, K. gibsonii, L. denitrificans, P. diminuta, S. marcescens, M. varians. Bacillus subtilis mempunyai koloni terbanyak dibanding koloni jenis bakteri lain pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada salinitas ppt. Koloni jenis bakteri ini didapatkan pada serasah yang mengalami proses dekomposisi selama 30, 60, 75, 120 dan 135 hari dengan jumlah koloni rata-rata 2,80 x 10 7 cfu/ml.

70 50

71 51

72 Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas >30 ppt Jenis-jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari pada tingkat salinitas > 30 ppt, adalah : B. laterosporus, B. licheniformis, B. megaterium, B. mycoides, B. pasteurii, B. subtilis, K. gibsonii, L. denitrificans, P. diminuta, M. varians. Jumlah koloni rata-rata tiap jenis bakteri tiap kali pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt dapat dilihat pada Tabel 8. Jumlah koloni tiap jenis bakteri tiap kali pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt dapat dilihat pada Lampiran Perbandingan Antara Jumlah Jenis Bakteri pada Berbagai Tingkat Salinitas Jumlah jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama hari pada berbagai tingkat salinitas lapangan lebih besar dari jumlah jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi. Jumlah jenis bakteri terbesar didapatkan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt dan ppt, yaitu masingmasing 11 jenis, yang diikuti oleh jumlah jenis bakteri pada serasah yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salintas < 10 ppt, yaitu 10 jenis. Jumlah jenis bakteri ini lebih besar dari jumlah jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt dan pada serasah daun yang belum mengalami dekomposisi, secara berturutturut 10 dan 5 jenis. Perbedaan jumlah jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt, ppt dan >30 ppt serta yang belum mengalami proses dekomposisi disajikan pada Gambar Perbandingan Populasi Bakteri pada Berbagai Tingkat salinitas Pengaruh tingkat salinitas terhadap populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama hari dapat dilihat pada Gambar 14.

73 53

74 54 Jumlah jenis bakteri Kontrol <10ppt 10-20ppt 20-30ppt >30ppt Tingkat salinitas Gambar 13. Jumlah jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Populasi bakteri x 10 7 (cfu/ml) Kontrol <10 ppt ppt ppt > 30 ppt Tingkat salinitas Gambar 14. Populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Data pada Gambar 14 menunjukkan bahwa populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi (ratarata 5.07 x 10 8 cfu/ml) dan yang telah mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt (5.11 x 10 8 cfu/ml) lebih kecil dibandingkan dengan populasi bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt, yaitu rata-rata 7.79 x 10 8 cfu/ml.

75 55 Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt, > 30 ppt, yaitu berturut-turut 8.23 x 10 7 cfu/ml, 8.22 x 10 7 cfu/ml Perbandingan Indeks Keanekaragaman Jenis Bakteri pada Berbagai Tingkat Salinitas Nilai rata-rata Indeks Shannon untuk Keanekaragaman Jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang yang telah mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas, berkisar dari rendah sampai sedang. Indeks Keanekaragaman Jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada lingkungan dengan salinitas < 10 ppt, ppt, ppt dan > 30 ppt secara berturut-turut adalah 1.76, 1.99, 1.92 dan Indeks Keanekaragaman Jenis ini lebih besar dibandingkan dengan Indeks Keanekaragaman Jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi, yaitu Frekuensi Kolonisasi tiap Jenis Bakteri pada Serasah Daun A.marina Pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama hari pada salinitas < 10 ppt frekuensi kolonisasi terbesar ditempati oleh K. gibsonii dengan nilai 100% yang berarti jenis bakteri ini ditemukan (sebelas kali) selama 165 hari pengamatan. Frekuensi kolonisasi jenis bakteri ini diikuti oleh frekuensi jenis B. subtilis dan B. licheniformis, yaitu masing-masing 63,6 %. Adapun nilai frekuensi terkecil ditunjukkan oleh L. innocua dengan nilai 9.1% yang berarti jenis bakteri ini hanya muncul satu kali yaitu pada hari ke-120 dari sebelas kali pengamatan selama 165 hari. Secara rinci frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas < 10 ppt dapat dilihat pada Tabel 5. Frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas ppt dapat dilihat pada Tabel 6. Frekuensi kolonisasi terbesar ditunjukkan oleh B. subtilis, P. diminuta dan B. licheniformis dengan nilai masingmasingnya 63.6%. Frekuensi kolonisasi paling kecil adalah F. multivorum yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi

76 56 pada tingkat salinitas ppt. Jenis bakteri ini tidak ditemukan pada serasah daun A. marina, yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt. Adapun nilai frekuensi jenis bakteri ini adalah 18.2%. Nilai frekuensi kolonisasi terbesar adalah yang ditunjukkan oleh P. diminuta pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas ppt. Koloni jenis bakteri ini muncul tujuh kali pengamatan dari sebelas kali pengamatan yang dilakukan dengan nilai ferkuensi 63,6 %. Adapun nilai frekuensi terkecil ditunjukkan oleh L. inocua, B. pasteurii, S. marcescens dan L. denitrificans dengan nilai masing-masing 9,1%. Secara rinci frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina pada salinitas ppt, dapat dilihat pada Tabel 7. Pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas > 30 ppt, frekuensi kolonisasi bakteri terbesar dimiliki oleh B. subtilis dengan nilai 63,6 % yang berarti jenis bakteri ini teramati sebanyak tujuh kali dari sebelas kali pengamatan yang dilakukan. Adapun frekuensi kolonisasi terkecil didapatkan pada B. pasteurii, B. megaterium dan B. laterosporus dengan nilai masing-masing 18,2 %. Secara rinci frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas > 30 ppt, disajikan pada Tabel Pembahasan Dari sebelas kali pengamatan yang dilakukan selama proses dekomposisi serasah daun A. marina pada salinitas < 10 ppt terinventarisasi sebanyak 11 jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah tersebut. Adapun pada serasah yang ada di lingkungan dengan salinitas 10 20ppt, ppt dan > 30 ppt dan pada serasah yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan, terlihat berturut-turut 12, 12, 10 dan 9 jenis. Jenis-jenis bakteri yang didapatkan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada ke-empat tingkat salinitas dan pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi adalah : B. subtilis, K. gibsoni, B. licheniformis, B. pasteurii, P. diminuta, B. mycoides, L. denitrificans, B. laterosporus, M. varians, B.megaterium dan L. innocua, F. multivorum, S. marcescens dan P. citreus. Semua jenis bakteri ini ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada ke-empat tingkat salinitas yang dicobakan, kecuali Planococcus citreus yang ditemukan hanya pada kontrol. Penamaan jenis-jenis

77 57 bakteri ini bersifat sementara, karena diperlukan berbagai jenis uji lainnya yang lebih kompleks dari uji-uji yang telah dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri yang didapat. Namun demikian berdasarkan uji yang telah dilakukan ada kecenderungan nama-nama jenis bakteri yang didapatkan seperti jenis-jenis yang telah diuraikan. Di antara jenis-jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi tersebut tiga jenis yang dominan dengan jumlah koloni yang terbesar, adalah B.subtilis, P. diminuta dan B. licheniformis. Jumlah koloni jenis bakteri ini pada berbagai tingkat salinitas yang diuji berkisar dari rata-rata 2,02 x 10 8 sampai 4,01 x 10 8 cfu/ml (B. subtilis), 3,27 x 10 7 sampai 18,82 x 10 7 cfu/ml (P. diminuta) dan 7,09 x 10 7 sampai 1,56 x 10 8 cfu/ml (B. licheniformis). Jumlah koloni ketiga jenis bakteri ini lebih kecil dibanding dengan jumlah koloni jenis bakteri yang ditemukan oleh Bavor dan Millis (1976) pada lumpur mangrove, yaitu 10 9 /ml lumpur. Adapun Bavor (1978) mendapatkan koloni jenis bakteri sejumlah 2.4 x 10 9 /ml lumpur Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat salinitas > 30 ppt dengan kadar garamnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt dan ppt, tidak terdapat bakteri S. marcescens, L. innocua, F. multivorum dan P. citreus. Dari hal ini juga dapat dijelaskan bahwa suatu jenis organisme dapat hidup dan berkembang baik jika kondisi lingkungan tempat hidupnya berada pada keadaan yang optimal bagi jenis organisme tersebut. Air laut yang mengandung unsur-unsur seperti Klorida, Natrium, Sulfat, Mangnesium dibutuhkan oleh bakteri untuk kehidupannya, tetapi diperkirakan bahwa pada tingkat salinitas > 30 unsur-unsur tersebut sudah melebihi batas ambang toleransi untuk kehidupan jenis-jenis tertentu bakteri, sehingga jenisjenis tersebut tidak dapat bertahan hidup atau berkembang pada serasah daun yang terdapat pada tingkat salinitas > 30 ppt. Chester (1989) mengemukakan bahwa NaCl dengan ion Cl terlarut rata-rata sebanyak 55% garam, adalah garam yang terbanyak dalam air laut. Komposisi ion-ion garam dalam air laut dengan salinitas 35 ppt adalah CL - 2- ( ppt), SO 4 (2.271ppt), Br - (0.067 ppt), F - (0.001 ppt), B - (0.005 ppt), Na + ( ppt), Mg 2- (1.290 ppt), Ca 2+ (0.412 ppt), K + (0.399 ppt) dan Sr 2- (0.08 ppt). Selain itu Huckle dkk., (2000) mengemukakan bahwa zonasi komunitas tumbuhan berpengaruh terhadap tahap-tahap suksesinya. Kalau dilihat dari jumlah jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina, yang menunjukkan perbedaan yang besar

78 58 antara serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas dan kontrol. Terlihat kecenderungan jumlah jenis bakteri lebih besar pada serasah yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas ppt dan ppt dibanding pada salinitas < 10 ppt. Tetapi populasi tidak berkorelasi positif dengan jumlah jenis bakteri pada serasah daun A. marina. Walaupun terdapat jumlah jenis bakteri yang lebih besar yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt, tetapi populasi bakteri di tingkat salinitas tersebut jauh lebih kecil dibanding dengan populasinya pada serasah daun yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt dan ppt. Menurut Makemson, Fulayil dan Basson (1992), perbedaan tingkat salinitas bepengaruh terhadap jumlah jenis-jenis bakteri laut. Komposisi dan distribusi komunitas tumbuhan di daerah payau berhubungan dengan toleransi individu jenis terhadap kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Huckle dkk., 2000). Menurut Schut dkk., (1993), populasi bakteri laut berkisar dari 0,11 x 10 9 sampai 1,07 x 10 9 sel bakteri per liter. Berdasarkan hasil penelitian Hunter dkk., (1986), jumlah jenis dan keanekaragam jenis bakteri berkurang dengan peningkatan salinitas. Pielou (1975) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis (species diversity) dipengaruhi oleh kemerataan jenis (species evennes) dan kekayaan jenis (species richness). Dari hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa indeks kekayaan jenis dan kemerataan jenis bakteri lebih besar dibanding dengan kekayaan jenis dan kemerataan jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt, ppt dan ppt. Indeks Kekayaan Jenis dan Indeks Kemerataan Jenis bakteri lebih besar dibanding dengan Indeks Kekayaan Jenis dan Indeks Kemerataan Jenis pada serasah daun yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas >30 ppt. Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa Indeks Keanekaragaman Jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas termasuk kriteria sedang. Adapun untuk kontrol Indeks Keanekaragaman Jenis bakteri sebesar 1.78 termasuk kriteria kecil. Nilai Indeks Keanekaragaman yang tergolong kriteria tinggi adalah sama atau lebih besar dari 3. Indeks Keanekaragaman Jenis dikelompokkan menjadi 3 kriteria yaitu : yang bernilai 1 untuk Indeks Keanekaragaman Jenis kecil, 2 untuk Indeks

79 59 Keanekaragaman Jenis sedang dan 3 untuk Indeks Keanekaragaman Jenis besar (Kusmana, komunikasi pribadi). Dari pengamatan terhadap serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari pada berbagai tingkat salinitas didapatkan hasil bahwa frekuensi kolonisasi bakteri berkisar dari 9.1% sampai 100%. Frekuensi 100% ditempati oleh K. gibsonii, yaitu jenis bakteri yang mengkolonisasi serasah daun sejak hari ke-15 sampai hari ke-165 pada tingkat salinitas < 10 ppt (Tabel 5). Menurut Bell (1974) jumlah jenis bakteri berubah dari satu waktu ke waktu berikutnya karena daya tahan hidup dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh kelembaban, suhu dan cahaya matahari. Hubungan jumlah koloni bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina dengan berbagai tingkat salinitas disajikan pada Lampiran 10. Dari data pada Lampiran 10 diketahui terdapat perbedaan jenis-jenis bakteri yang terdapat pada serasah daun yang belum dan telah mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Pada serasah daun yang tidak mengalami proses dekomposisi di lapangan jenis-jenis bakteri yang mempunyai koloni terbesar, yaitu P. citreus, S. marcescens dan L. denitrificans. Adapun pada serasah daun yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan empat jenis bakteri yang mempunyai jumlah koloni terbesar, yaitu B. subtilis, B. licheniformis, P. diminuta dan K. gibsonii Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan pengaruh tingkat salinitas terhadap jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina, yaitu : (1) tingkat salinitas berpengaruh terhadap jumlah jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina ; jumlah jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas < 10 ppt, dan ppt relatif lebih besar dibanding dengan yang terlibat pada salinitas > 30 ppt dan kontrol, (2) populasi bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina yang dijadikan kontrol dan yang telah mengalami proses dekomposisi, pada salinitas < 10 ppt dan ppt lebih besar dibanding dengan populasi bakteri pada serasah daun A. marina pada salinitas ppt dan > 30 ppt, (3) Indeks Keanekaragaman Jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah

80 60 daun A. marina pada salinitas < 10 ppt, ppt dan ppt lebih besar dibanding dengan Indeks Keanekaragaman Jenis bakteri yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina pada salinitas >30 ppt, dan (4) frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas berkisar 9.1% sampai 100%.

81 Tabel 5. Jumlah koloni rata-rata x 10 7 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas < 10 ppt No. Jenis bakteri Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah seluruh koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah pengamatan (kali) Jumlah kemunculan koloni (kali) 1. Kurthia gibsonii 0,33 1,67 10, ,33 2 2,33 41,33 5,67 12, ,51 10, Bacillus licheniformis 0,33 0 7, , ,67 36, , Bacillus pasteurii 42,6 7 Frekuensi koloni sasi (%) a 0 4, , , , Listeria denitrificans 0,33 0 1, ,63 1, Bacillus subtilis ,58 32,33 106,67 25, ,33 0,67 221,91 20, Bacillus mycoides 0 1,67 2, ,67 24,37 2, Bacillus laterosporus 0 4,33 0,88 0,67 0 0, , , Pseudomonas diminuta 0 0 3,27 0, , , Micrococcus varians , ,33 0 0,67 0,67 5,97 0, Bacillus megaterium , ,33 0, Listeria innocua , a : Jumlah kemunculan koloni (kali)/ Jumlah pengamatan x 100 % 579,92 51,63

82 Tabel 6. Jumlah koloni rata-rata x10 7 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt No. Jenis bakteri Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah seluruh koloni Jumlah koloni ratarata Jumlah pengamatan (kali) Jumlah kemunculan koloni (kali) 1. Pseudomonas diminuta 14, , , Bacillus licheniformis 10, ,33 46, ,67 9,33 156,67 14, Bacillus pasteurii 54, , ,66 7, Bacillus subtilis 0 48, , , , ,99 20, Bacillus laterosporus , ,67 2, Bacillus mycoides 0 0, ,33 13,66 1, Kurthia gibsonii 0 0 0,33 0 5,33 0,67 0 0,33 15,67 12,67 3,33 38,33 3, Micrococcus varians ,33 1,33 4, ,3 16,63 1, Flavobacterium multivorum , Bacillus megaterium ,3 26,3 2, Listeria innocua ,33 23, ,66 3, Listeria denitrificans , ,67 1, Frekuensi koloni sasi (%) a a : kemunculan koloni (kali)/ Jumlah pengamatan x 100 % 857,24 77,93

83 Tabel 7. Jumlah koloni rata-rata x 10 6 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas ppt. No. Jenis bakteri Lama masa dekomposisi (hari) Total Jumlah koloni ratarata Jumlah pengamatan (kali) Jumlah kemunculan koloni (kali) 1. Bacillus licheniformis ,33 13,67 6,67 115,67 10, Bacillus pasteurii , Bacillus subtilis 0 40, ,33 68, ,67 87, ,33 28, Bacillus mycoides 0 0, ,67 34,67 47,67 91,68 8, Kurthia gibsonii 0 1 1, , , Bacillus megaterium 0 5, , ,34 0, Pseudomonas diminuta ,67 1, ,67 162,67 14, Serratia marcescens , ,33 3, Micrococcus varians , , ,67 3,67 7,34 0, Bacillus laterosporus ,33 0, ,66 0, Listeria innocua , Listeria denitrificans ,67 0,67 0, a : Jumlah kemunculan koloni (kali)/ Jumlah pengamatan x 100 % 911,69 82,88 Frekuensi kolonisasi (%) a

84 Tabel 8. Jumlah koloni rata-rata x 10 6 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt No. Jenis bakteri Lama masa dekomposisi (hari) Total Jumlah koloni ratarata Jumlah pengamatan (kali) Jumlah kemunculan koloni (kali) 1. Bacillus licheniformis 0, , ,67 171,01 15, Pseudomonas diminuta 0, , , , ,66 10, Bacillus pasteurii 13, , ,66 2, Bacillus subtilis 0 42, ,33 43,67 30, ,33 92, ,34 40, Bacillus mycoides 0 3, , ,33 31,33 2, Bacillus laterosporus 0 1,67 0 0, , Kurthia gibsonii 0 0 1,33 0,67 25,67 5, ,33 7, ,66 4, Listeria denitrificans , , , Micrococcus varians , ,33 19,33 3 4, ,32 2, Bacillus megaterium , ,33 3 0, a : Jumlah kemunculan koloni (kali)/ Jumlah pengamatan x 100 % 903,98 82,17 Frekuensi kolonisasi (%) a

85 V. KOLONISASI FUNGI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS 5.1. Pendahuluan Latar Belakang Fungi merupakan satu di antara berbagai kelompok mikroorganisme yang memainkan peran sangat penting dalam proses dekomposisi serasah bahanbahan tumbuhan. Selain fungi, kelompok mikroorganisme dan organisme lain seperti bakteri, cacing, kepiting dan lain-lain, serta faktor lingkungan juga ikut mengambil bagian dalam proses dekomposisi serasah tersebut. Fungi memainkan peran penting dalam ekosistem mangrove terutama dalam hubungannya dengan bakteri untuk mempercepat dekomposisi serasah daun (Fell dkk., 1975). Fungi merupakan pengurai utama dalam dekomposisi daundaun mangrove karena mempunyai kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Seperti diketahui selulosa dan lignin secara bersama merupakan komponen utama penyusun dinding sel di daun. Nakagiri dkk., (1996) mengemukakan bahwa dalam ekosistem mangrove terdapat beranekaragam jenis fungi yang meliputi suku Ascomycotina, Basidomycotina, Deuteromycotina dan Mastigomycotina. Di antara bermacam kelompok jenis fungi ini, ada yang mempunyai kemampuan mendekomposisi ranting, akar tunjang (prop root), serasah daun, dan bagian-bagian pohon lainnya. Selain itu jenis-jenis fungi tersebut juga berperan dalam kelangsungan ekosistem mangrove. Dari hasil penelitian Ito dan Nakagiri (1997) diketahui bahwa pada rizosfer Sonneratia alba terdapat 9 jenis fungi yang terdiri atas : Acremonium sp., Alternaria alternata, Cylindrocarpon destractans, Fusarium moniliforme, Pestalotiopsis sp.1 Pencillium sp. 1, Trichoderma harzianum, dan 2 jenis tidak teridentifikasi. Adapun pada rizosfer A. marina ditemukan 10 jenis fungi, yaitu : Aspergillus aculeatus, Engyodontium album, Gliomastix murorum, Pencillium sp. 2, Pencillium sp. 3, Pencillium sp. 4, Trichoderma aureoviride, Trichoderma harzianum, Virgaria nigra, dan 1 jenis tidak teridentifikasi. Kuthubutheen (1984) menggunakan teknik pencucian dan observasi langsung, untuk mengetahui fungi yang terdapat pada daun mangrove A. alba

86 62 dan R. mucronata. Dengan teknik pencucian didapatkan marga-marga fungi sebagai berikut : Aspergillus, Choanephora, Cladosporium, Curvularia, Fusarium, Nigrospora, Penicillium, Pestalotiopsis, Trichoderma dan Zygisporium. Adapun marga dan jenis-jenis fungi yang didapatkan dengan cara observasi langsung jumlahnya lebih kecil dibanding marga-marga fungi yang didapatkan dengan teknik pencucian, antara lain : Cladosporium oxysporum, Corynespora cassicolla, Fusarium, Penicillium, Pestalotiopsis guepini dan Zygosporium masonii. Jenisjenis dan marga fungi tersebut dapat tumbuh pada kedua permukaan daun tumbuhan mangrove tersebut. Selain meneliti marga dan bebagai jenis fungi yang terdapat pada kedua jenis daun mangrove tersebut Kuthubutheen (1984) juga melihat hubungan antara kandungan tanin daun-daun mangrove dengan jumlah jenis fungi. Diketahui bahwa jenis fungi yang terdapat pada daun Rhizophora yang mempunyai kandungan tanin lebih tinggi daripada daun Avicennia adalah Pestalotiopsis guepini dan P. versicolor. Adapun pada daun Avicennia ditemukan Fusarium. Habitat mangrove adalah rumah bagi kelompok jenis fungi yang disebut manglicolous fungi. Kelompok organisme ini berperan dalam siklus unsur hara pada habitat mangrove (Kohlmeyer dkk., 1995). Kohlmeyer dan Kohlmeyer (1979) menemukan 43 jenis fungi yang terdiri atas 23 Ascomycotina, 17 Deuteromycotina dan 3 Basidiomycotina. Ravikumar dan Vittal (1996) mendapatkan 48 jenis fungi pada dekomposisi pohon Rhizophora di Pichavaram, India Selatan. Di kawasan pesisir laut Indian Afrika Selatan, Steinke dan Jones (1993) mendapatkan 93 jenis fungi laut, 55 jenis di antaranya berasal dari kayu mangrove Avicennia marina. Kathiresan dan Bingham (2001) menyajikan daftar jenis-jenis fungi mangrove yang diidentifikasi oleh beberapa peneliti yang dapat dilihat pada Tabel 9. Berbagai jenis fungi yang dominan pada permukaan daun (phylloplane) mangrove adalah Alternaria alternata, Rhizopus nigricans, Aspergillus dan Penicillium spp. Jumlah koloni berbagai jenis fungi ini berkorelasi negatif dengan kandungan tanin daun. Berbagai jenis fungi ini dapat hidup pada serasah daun mangrove yang banyak mengandung asam amino dan pada daun segar mangrove yang banyak mengandung tanin dan gula. Dua jenis fungi parasit, yaitu Pestalotiopsis agallochae dan Cladosporium marinum didapatkan pada daun Excoecaria agallocha dan A. marina. Kedua jenis fungi ini menyebabkan

87 63 penyakit dieback pada tegakan Rhizophora mangle di Costa Rica (Tattar dkk., 1994 diacu oleh Kathiresan dan Bingham, 2001). Tabel 9. Jenis-jenis fungi yang terdapat pada mangrove dan penelitinya Jenis-jenis fungi Peneliti Aigialus striatispora Hyde (1992) Aniptodera longispora Hyde (1990) A. salsuginosa Nakagiri dan Ito (1994) Calathella mangrovei Jones dan Agerer (1992) Cryptovalsa halosarceicola Hyde (1993) Eutypa bathurstensis Hyde dan Rappaz (1993) Falciformispora lignatilis Hyde (1992) Halophytophthora kandeliae Ho dkk., (1991) H. kandeliae Newel dan Fell (1992) H. vesicula Newel dan Fell (1992) H. spinosa Newel dan Fell (1992) Halosarpheia minuta Leong dkk., (1991) Hapsidascus hadrus Kohlmeyer dan Kohlmeyer (1991) Hypoxylon oceanicum Whalley dkk., (1994) Julella avicenniae Hyde (1992) Khuskia oryzae Pal dan Purkayastha (1992) Lophiostoma asiana Hyde (1995) Massarina ramunculicola Hyde (1991) M. armatispora Hyde dkk., (1992) M. velatospora Hyde (1991) Payosphaeria minuta Leona dkk., (1990) Pedumispora Hyde dan Jones (1992) Phomopsis mangrovei Hyde (1991) Saccardoella Hyde (1992) Trtematospaeria lineolatispora Hyde (1992) Sumber : Kathiresan dan Bingham (2001) Sengupta dan Chhoundri (1994) mendapatkan Rhizoctonia dan Fungi Mikoriza Arbuskula pada komunitas mangrove Sunderbans. Fungi Mikoriza Arbuskula dapat meningkatkan pertumbuhan anakan Cajanas yang tumbuh pada kondisi lingkungan miskin hara. Dari 43 jenis fungi yang dicoba pada tegakan Rhizophora hanya 7 jenis fungi yang dapat tumbuh dan berkembang, dan beberapa jenis lainnya hanya dapat hidup pada lingkungan yang spesifik. Selain itu pada percobaan dengan 48 jenis fungi yang dicoba pada akar tunjang, hanya 44 jenis fungi yang dapat hidup, sedang pada anakan dan kayu mangrove secara berturut-turut hanya 18 dan 16 jenis fungi yang dapat hidup. Perubahan keadaan fisik lingkungan dan perubahan genetik dapat menyebabkan terjadi perubahan morfologi dan fisiologi fungi. Sebagai contoh, Pestalotiopsis versicolor yang didapat dari Ceriops

88 64 decandra ketika ditumbuhkan pada kawasan yang berbeda kondisi lingkungannya, menyebabkan terjadi perubahan tekstur miselia, perbedaan kecepatan tumbuh dan intensitas sporulasi (Bera dan Purkayastha, 1992 diacu oleh Kathiresan dan Bingham, 2001). Distribusi jenis fungi dalam habitat mangrove dapat merefleksikan keadaan fisik habitat mangrove. Kohlmeyer dan Kohlmeyer (1993) di Belize Amerika Tengah mendapatkan, bahwa keanekaragaman jenis fungi dipengaruhi oleh umur tegakan mangove. Hyde (1990) menemukan 57 jenis fungi yang terdapat pada Rhizophora apiculata di hutan mangrove Brunei. Kebanyakan jenis-jenis fungi ini tumbuh di atas ketinggian pasang air laut rata-rata. Hasil pengamatan Sadaba dkk., (1995) yang dilakukan di Mai Po, Hongkong pada Acanthus ilicifolius yang mengalami senescen bagian atas (apical) banyak dikoloni oleh jenis-jenis fungi terestrial, sedang bagian bawahnya banyak dikoloni oleh jenis-jenis fungi laut. Jenis substrat dan frekuensi pasang surut air laut, juga berpengaruh terhadap keberadaan berbagai jenis fungi yang tumbuh pada habitat mangrove. Sebagai contoh, kayu-kayu mangrove yang mengalami dekomposisi merupakan tempat tumbuh yang baik bagi fungi. Pada hutan mangrove Malaysia terdapat 30 jenis fungi lignocolous. Jenisjenis fungi tersebut di antaranya adalah Halosarpheia marina, Lulworthia sp. Lignicola laevis, Halosarpheia retorquens, Eutypa sp., Kallichroma tethys, Marinosphaera mangrovei, Phoma sp. dan Julelia avicenniae. Keanekaragaman jenis dan kelimpahan terbesar berbagai jenis fungi tersebut terdapat pada kayu A. marina (Tan dan Leong, 1992 ; Alias dkk., 1995). Frekuensi Fusarium pada permukaan daun R. mucronata cenderung menurun dari waktu ke waktu. Kecuali Pestalotiopsis, pada semua bagian daun R. mucronata yang mengalami dekomposisi, beberapa jenis fungi menunjukkan keberadaannya dengan frekuensi yang kecil. Pada serasah daun A. alba Cladosporium oxysporum menunjukkan populasi dengan frekuensi yang meningkat. Adapun Z. masonii dan Codinaea simplex tidak terdapat pada serasah daun A. alba dan lebih sering terdapat pada serasah daun R. mucronata (Kuthubutheen, 1984). Menurut Nakagiri dkk., (1996) Halophytophthora adalah jenis fungi zoosporik yang hidup terutama di air payau mangrove dan mengolonisasi serasah daun mangrove yang terdapat di bawah permukaan air. Halophytophtora

89 65 dapat tumbuh dan bereproduksi pada kisaran salinitas dan suhu yang luas, tetapi kondisi optimumnya untuk tumbuh berbeda antara satu jenis dengan jenis lainnya. Jenis fungi ini paling sering didapatkan pada serasah daun berbagai macam jenis mangrove yang terdapat di bawah permukaan air di kawasan Asia- Pasifik. Fungi-fungi ini dengan keanekaragaman jenis, bentuk morfologi, sifat fisiologi dan selama siklus hidupnya diperkirakan ikut berperan dalam proses dekomposisi serasah daun mangrove dan kelangsungan ekosistem mangrove. Kerapatan populasi fungi tanah pada rizosfer adalah 7.8 x 10 3 cfu/g bobot kering tanah dan beberapa jenis fungi yang ditemukan pada permukaan akar (rhizoplane) Salicornia europaea adalah Acremonium strictum, Alternaria alternata dan Cladosporium cladosporiodes. Rata-rata populasi fungi pada rizosfer S. europae adalah 7.8 x 10 3 cfu/g bobot kering tanah. Jumlah ini lebih tinggi dibanding pada tanah mangrove (1.2 x 10 3 cfu/g). Hal ini diperkirakan terjadi karena keadaan anaerobik dan kandungan yang tinggi logam berat pada tanah mangrove (Ito dkk., 1999). Fungi dengan berbagai macam jenis enzim yang diproduksinya dapat mempercepat proses dekomposisi serasah. Untuk dapat hidup dan berperan dalam proses dekomposisi serasah, mikroorganisme memerlukan beberapa persyaratan antara lain ketersediaan unsur hara, ketersediaan bahan ekstraktif, suhu, ph, O2, CO2 yang optimum dan air yang cukup. Bakteri dan fungi memperoleh energi untuk metabolismenya berasal dari hasil penguraian karbohidrat (Waring dan Schlesinger, 1985). Faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam penguraian bahan organik tumbuhan, yaitu jenis tumbuhan dan iklim setempat. Pengaruh jenis tumbuhan terhadap mikroorganisme biasanya dalam bentuk sifat fisik dan kimia daun yang keduanya tercermin dalam perbandingan unsur Karbon (C) dan unsur Nitrogen (N) yang dinyatakan sebagai nisbah C :N (Thaiutsa dan Granger, 1979). Mikroorganisme terestrial pada rizosfer tumbuhan tingkat tinggi selain mendekomposisi bagian-bagian tumbuhan tersebut, juga tumbuh menggunakan jaringan akar mati atau sekresi jaringan akar untuk kelangsungan hidupnya pada akar dan tanah sekitarnya (Ito dkk., 1999). Dalam proses dekomposisi serasah diperlukan waktu dan tahap-tahap yang harus dilewati sampai serasah terurai sempurna. Diperkirakan pada tiap tahap tersebut ditemukan jenis-jenis bakteri dan fungi yang berbeda. Faktor lingkungan juga merupakan satu di antara berbagai komponen yang ikut

90 66 berperan dalam proses dekomposisi serasah. Pada ekosistem mangrove, satu faktor lingkungan yang berperan khas adalah salinitas air laut yang dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut, topografi, masukan air tawar dari sungai dari daratan, evaporasi serta musim hujan dan panas. Pada ekosistem mangrove banyak ditemui jenis-jenis mangrove, seperti Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorrhiza dan lain-lain. Dari sekian banyak jenis yang tumbuh pada ekosistem mangrove A. marina merupakan jenis pionir yang banyak tumbuh di estuaria, muara sungai, dan di pinggir pantai di dekat muara sungai. A. marina banyak menghasilkan serasah berupa daun. Didasari oleh hal-hal yang telah diuraikan di atas maka penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi serasah daun A. marina terhadap jenis-jenis fungi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan berikut : 1. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A.marina yang proses mengalami dekomposisi? 2. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap populasi fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi? 3. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi? 4. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap frekuensi kolonisasi jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi terhadap : 1. Perkembangan jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 2. Perkembangan populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi.

91 67 3. Perkembangan keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 4. Frekuensi kolonisasi berbagai jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap perkembangan jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 2. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap perkembangan jumlah populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 3. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap perkembangan keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. 4. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap frekuensi kolonisasi jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Perum Perhutani Desa Ciasem Kec. Blanakan BKPH Pamanukan KPH Purwakarta, dan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan mulai Juli 2003 sampai dengan Januari Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : jumlah jenis fungi, populasi fungi, keanekaragaman jenis fungi dan frekuensi kolonisasi berbagai jenis fungi pada serasah daun A. marina Pengumpulan Serasah Daun A. marina Serasah daun dikumpulkan dengan menggunakan 5 sampai 10 kain kasa/nilon berukuran 3 x 4 m, yang diletakkan dengan cara mengikatkannya di antara dua pohon pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Serasah daun

92 68 A. marina yang dikumpulkan sebanyak 6600 g (50 g serasah x 11 perlakuan x 3 ulangan x 4 tingkat salinitas) Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan Serasah daun A. marina sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam kantong serasah (litter bag) yang berukuran 40 x 30 cm dan terbuat dari nilon dengan mesh 1 x 1 mm. Jumlah kantong berisi serasah yang disiapkan sebanyak 132 buah (11 kali pengambilan x 3 ulangan x 4 tingkat salinitas). Kantong serasah yang sudah berisi serasah daun A. marina ditempatkan di lapangan yang memiliki berbagai tingkat salinitas, sesuai dengan perlakuan. Salinitas yang telah diukur dengan hand refractometer. Pada lokasi dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan dibuat empat plot yang masing-masing berukuran 430 cm x 50 cm. Sebanyak 33 kantong serasah yang masing-masing berisi 50 g serasah daun A. marina ditempatkan secara acak dalam tiap plot. Agar tidak dihanyutkan oleh pasang air laut ke-empat ujung kantong serasah ini diikatkan pada kayu pancang yang dibuat dari bambu dengan panjang masing-masing 50 cm dan diameter 1,5 cm. Ke-empat kayu yang sudah diikatkan dengan kantong serasah, selanjutnya ditancapkan di tanah sampai pada kedalaman 40 cm. Adapun cara lain yang bisa digunakan adalah pengikatan keempat sudut kantong serasah pada akar atau pangkal batang pohon terdekat. Sebanyak 3 kantong berisi serasah diambil dari tiap tingkat salinitas sekali lima belas hari dan pengambilan kantong berisi serasah dilakukan sampai hari ke-165 (11 kali pengambilan) setelah serasah diletakkan di lapangan Isolasi Fungi dari Serasah Daun A. marina Penentuan populasi fungi dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran dengan membuat suatu seri pengenceran (dilution series) suspensi contoh. Pengenceran serasah daun A. marina dan isolasi fungi pada media dalam cawan Petri (Gambar 10) dilakukan melalui tahapan kerja sebagai berikut: 1. Sebanyak 10 gram contoh serasah daun A. marina yang telah dihancurkan dalam mortar dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Selanjutnya ditambahkan air yang berasal dari lingkungan serasah ditempatkan yang telah disterilkan sampai volume mencapai 100 ml. Setelah pengenceran serasah daun A. marina ini mencapai tingkat yang optimal yaitu 10-7 kemudian sebanyak 0,1 ml suspensi hasil pengenceran diambil dari tiap

93 69 tingkat pengenceran. Selanjutnya suspensi dibiakkan dalam media cawan Petri dengan media PDA yang telah diberi antibiotik Kemicetine dengan takaran 0.1 gr/l dan ditempatkan pada suhu ruang. Untuk tiap tingkat pengenceran, pekerjaan diulang 2 kali. 2. Pengamatan terhadap koloni yang muncul dilakukan 1 sampai 12 hari setelah masa inkubasi. Untuk mendapatkan jumlah populasi fungi per ml larutan contoh serasah daun A. marina dilakukan juga seperti metode penghitungan bakteri. Penentuan populasi fungi dari serasah daun A. marina yang telah memperoleh berbagai perlakuan dilakukan juga dengan menggunakan metode pengenceran dengan membuat suatu seri pengenceran (dilution series) serasah daun A. marina seperti metode pengenceran serasah daun yang belum mengalami dekomposisi Identifikasi Fungi Biakan murni fungi diremajakan pada media PDA, dan diinkubasi selama 5 7 hari pada suhu ruang. Isolat fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopiknya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna dan diameter koloni dan warna massa spora atau konidia. Isolat fungi juga ditumbuhkan pada kaca obyek (slide culture), yaitu dengan cara meletakkan potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm yang telah ditumbuhi fungi pada kaca obyek, yang kemudian ditutup dengan kaca penutup. Isolat pada kaca obyek ini ditempatkan dalam kotak plastik berukuran 30 x 20 x 6 cm, yang telah diberi pelembab berupa kapas basah. Isolat fungi pada kaca obyek ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai isolat fungi tumbuh cukup berkembang. Ketika isolat fungi telah berkembang dilakukan pengangkatan kaca penutup yang telah ditumbuhi fungi dengan hati-hati untuk membuang potongan agar. Selanjutnya pada bekas potongan agar ditetesi 1 tetes larutan Lactofenol untuk membuat kultur permanen. Kaca penutup yang juga telah ditumbuhi fungi selanjutnya ditempatkan di atas larutan Lactofenol di atas kaca objek. Kultur kaca ini diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk mengetahui ciri mikroskopik fungi yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, tipe percabangan hifa, konidiofor, konidiogenesis, serta ciri-ciri konidia atau spora (bentuk dan rangkaian) dan ukuran spora. Ciri-ciri yang didapatkan ditabulasi, kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi (Rifai, 1969, Gams dan

94 70 Lacey,1972, Gams, 1975a dan 1975b, Samuels, 1976 ; 1990, Sutton, 1980, Bisset, 1983; 1991, White, 1987, Singh dkk., 1991, Ellis, 1993 dan Lowen, 1995). Setelah fungi diidentifikasi dicatat, jumlah jenis, populasi, keanekaragaman jenis dan frekuensi kolonisasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina. Kegiatan ini dilakukan pada tiap kali pengambilan serasah dari lapangan selama masa proses dekomposisi, yaitu mulai dari hari ke-0 (kontrol) sampai hari ke Pengumpulan Data Data tentang identitas, jumlah jenis, populasi, keanekaragaman jenis dan frekuensi kolonisasi tiap jenis fungi dikumpulkan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas air laut, serta lama dekomposisi terhadap parameter-parameter tersebut. Adapun serasah daun A. marina ditempatkan pada lokasi dengan tingkat salinitas sebagai berikut : A. Tingkat salinitas < 10 ppt B. Tingkat salinitas ppt C. Tingkat salinitas ppt D. Tingkat salinitas > 30 ppt Pengumpulan data dilakukan setelah serasah ditempatkan di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas, selama waktu sebagai berikut : A. Tanpa penempatan serasah (kontrol) G. Hari ke 90 B. Hari ke 15 H. Hari ke 105 C. Hari ke 30 I. Hari ke 120 D. Hari ke 45 J. Hari ke 135 E. Hari ke 60 K. Hari ke 150 F. Hari ke 75 L. Hari ke 165 Tiap kali pengamatan dilakukan dalam 3 ulangan selama 165 hari, yang untuk masing-masing diambil kantong yang awalnya berisi serasah sebanyak 50 g Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi Indeks Keanekaragaman Jenis fungi dihitung menggunakan Shannon s Index (Shannon dan Weaver, 1949 diacu oleh Ludwig dan Reynolds, 1988) dengan Rumus (3).

95 Hasil Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi Pada kontrol yaitu serasah yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan didapatkan 6 jenis fungi. Jumlah koloni berbagai jenis fungi dari tiap ulangan yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi (kontrol) dapat dilihat pada Lampiran 11. Adapun jumlah koloni rata-rata dan jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi di lapangan dapat dilihat pada Tabel 10. Dari Tabel 10 dapat dijelaskan bahwa jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi di lapangan adalah sebagai berikut : Aspergillus sp. 1 (Gambar 15) bentuk koloni jenis fungi ini Tabel 10. Jumlah koloni rata-rata x 10 2 (cfu/ml) tiap jenis fungi pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi (kontrol) No. Jenis fungi Jumlah koloni ratarata x 10 2 (cfu/ml) 1. Aspergillus sp Aspergillus sp. 2 6,33 3. Aspergillus sp. 3 1,33 4. Curvularia lunata 0,67 5. Fungi tidak teridentifikasi Fusarium sp. 1 8,67 Jumlah seluruh koloni rata-rata 18,33 dapat dilihat pada Gambar 15 A sedang bentuk mikroskopik disajikan pada Gambar 15 B. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik Aspergillus sp. 1 diuraikan pada Lampiran 12 a. Populasi jenis fungi ini pada serasah daun rata-rata 1 x 10 2 cfu/ml, Aspergillus sp. 2 (Gambar 16) didapatkan dengan jumlah koloni rata-rata 6.33 x 10 2 cfu/ml bentuk koloni (Gambar 16 A), bentuk mikroskopik Aspergillus sp. 2 (Gambar 16 B). Adapun ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik fungi ini disajikan pada Lampiran 12 b. Pada Gambar 17 dapat dilihat Aspergillus sp. 3 yang merupakan juga satu jenis fungi terdapat pada serasah daun yang belum mengalami dekomposisi di lapangan. Bentuk koloni jenis fungi ini dapat dilihat pada Gambar 17 A sedang bentuk mikroskopik Aspergillus sp. 3 (Gambar 17 B),

96 72 c a e d b A B 10 mm Gambar 15. Aspergillus sp. 1. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Vesikel (b), Fialid (c), Konidia (d) dan Hifa (e) adapun ciri-ciri makroskopik dan mikroskopiknya dapat dilihat pada Lampiran 12 c. Koloni Aspergillus sp. 3 yang terdapat pada serasah daun adalah sebanyak rata- rata 1.33 x 10 2 cfu/ml. Curvularia lunata (Gambar 18) dengan bentuk koloni yang dapat dilihat pada Gambar 18 A dan bentuk mikroskopik pada Gambar 18 B. Jenis fungi ini ditemukan pada serasah dengan jumlah koloni ratarata 0.67 x 10 2 cfu/ml. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik Curvularia lunata dapat dilihat pada Lampiran 12 d. Satu jenis fungi yang tidak teridentifikasi 1 (Gambar 19) juga terdapat pada serasah daun yang belum ditempatkan di lapangan. Bentuk koloni fungi ini dapat dilihat pada Gambar 19 A, sedang bentuk mikroskopik jenis fungi ini disajikan pada Gambar 19 B. Jumlah koloni fungi ini e b c a d A B 10 mm Gambar 16. Aspergillus sp. 2. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), Dinding konidiofor (b), Vesikel (c), Fialid (d) dan Konidia (e)

97 73 c b d a A B 10 mm Gambar 17. Aspergillus sp. 3. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Vesikel (b), Konidia (c) dan Hifa (d) 10 mm b a c A B Gambar 18. Curvularia lunata. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidia (a), Hifa (b) dan Septa (c). A B 10 µm Gambar 19. Jenis fungi tidak teridentifikasi 1. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B)

98 74 pada serasah daun rata-rata 0.33 x 10 2 cfu /ml. Adapun ciri-ciri makroskopik jenis fungi ini disajikan pada Lampiran 12 e. Jenis fungi lain yang ditemukan adalah Fusarium sp. 1 (Gambar 20) dengan jumlah koloni rata-rata 8.7 x 10 2 cfu/ml. Bentuk koloni dapat dilihat pada Gambar 20 A sedang bentuk mikroskopik Fusarium sp. 1 disajikan pada Gambar 20 B. Adapun ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik fungi ini diuraikan pada Lampiran 12 f. c d b a A B 10 mm Gambar 20. Fusarium sp. 1. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Konidia (b), Hifa (c) dan Septa (d) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt Pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt ditemukan 18 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata dan jenis-jenis fungi yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami beberapa lama masa dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt dapat dilihat pada Tabel 11. Adapun jumlah koloni fungi tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt dapat dilihat pada Lampiran 13. Dari data padatabel 11 dapat dijelaskan bahwa terdapat 18 jenis fungi yang mengkolonisasi serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi mulai 15 hari sampai 165 hari. Adapun jumlah tiap jenis fungi bervariasi dari satu waktu ke waktu berikutnya selama masa dekomposisi. Selama masa dekomposisi tersebut tidak selalu ke-18 jenis fungi tersebut ada. Hanya dua jenis fungi yang ditemukan pada hampir tiap lama masa dekomposisi, yaitu Aspergillus sp. 2 kecuali pada serasah yang telah mengalami

99 75

100 76 proses dekomposisi selama 15 hari. Jenis fungi kedua yang hampir selalu ada adalah Aspergillus sp. 1, kecuali pada serasah yang mengalami proses dekomposisi selama 30,45,75 dan 90 hari. Koloni fungi yang paling banyak didapatkan adalah Aspergillus sp. 2, yaitu 5,79 x 10 2 cfu/ml. Jenis fungi ini mengolonisasi serasah yang telah mengalami proses dekomposisi mulai 30 hari sampai 165 hari atau dengan frekuensi kolonisasinya 90.9%. Koloni terbanyak Aspergillus sp. 2 didapatkan pada serasah daun yang mengalami proses dekomposisi selama 120 hari, yaitu sebanyak rata-rata 3,77 x 10 3 cfu/ ml. Aspergillus sp. 4 adalah koloni fungi terbanyak kedua (Gambar 21) dengan bentuk koloni seperti pada Gambar 21 A, mengolonisasi serasah mulai 15 hari sampai 165 hari. Jumlah koloni fungi ini adalah rata-rata 2,91 x 10 2 cfu/ml dengan frekuensi 27.3%. Bentuk mikroskopik Aspergillus sp. 4 dapat dilihat pada Gambar 21 B dan ciri-ciri makroskopik dan mikroskopiknya disajikan pada Lampiran 12 g. Kolonisasi serasah oleh jenis fungi ini terjadi setelah serasah mengalami proses dekomposisi selama 30, 75 dan 90 hari. Koloni terbanyak, yaitu rata-rata 2,90 x 10 3 cfu/ml didapatkan pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 30 hari. Koloni fungi terbanyak ke-tiga yang didapat pada serasah daun adalah Aspergillus sp. 1 dengan jumlah rata-rata 2.64 x 10 2 cfu/ml. Jenis fungi ini mengolonisasi serasah yang telah mengalami dekomposisi selama 15, 60, 105, 120, 135, 150 dan 165 hari. Frekuensi kolonisasi jenis fungi ini lebih besar dibanding frekuensi kolonisasi Aspergillus sp. 4, yaitu 63,6%. e a b A B c d 10 mm Gambar 21. Aspergillus sp. 4. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Vesikel (b), Fialid (c), Konidia (d) dan Hifa (e)

101 77 Trichoderma sp. 1 (Gambar 22) mengolonisasi serasah yang telah mengalami dekomposisi selama 105 hari dengan frekuensi kolonisasi hanya sebesar 9.1%. Adapun jumlah koloni yang berhasil diisolasi adalah rata-rata 2.03 x 10 3 cfu/ml. Pada Gambar 22 A disajikan bentuk koloni Trichoderma sp.1. Adapun pada Gambar 22 B dapat dilihat bentuk miroskopik Trichoderma sp. 1. Ciri-ciri makroskopik serta mikroskopiknya dapat dilihat pada Lampiran 12 h. d a c A B b 10 mm Gambar 22. Trichoderma sp. 1. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Fialid (b), Konidia (c) dan Hifa (d) Pada tingkat salinitas < 10 ppt ini juga ditemukan isolat fungi tidak teridentifikasi 2 (Gambar 23) dengan jumlah koloni rata-rata 0,88 x 10 2 cfu/ml. Jenis fungi ini berhasil diisolasi pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 45 dan 75 hari dengan frekuensi kolonisasinya sebesar 18.2%. Bentuk koloni fungi ini disajikan pada Gambar 23 A sedang bentuk mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 23 B. Ciri-ciri makroskopik disajikan pada Lampiran 12 i. Jenis fungi yang juga mengolonisasi serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dalam lingkungan dengan salinitas < 10 ppt adalah Fusarium sp. 2 (Gambar 24). Jenis fungi ini muncul dan berhasil diisolasi pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 75, 135 dan 165 hari. Jumlah koloni jenis fungi ini adalah rata-rata 0.76 x 10 2 cfu / ml dengan frekuensi kolonisasinya sebesar 27.3%. Bentuk koloni Fusarium sp. 2 disajikan pada Gambar 24 A. Adapun bentuk mikroskopik fungi ini dapat dilihat pada Gambar 24 B, sedang ciri-ciri makroskopik dan mikrospiknya disajikan pada Lampiran 12 j.

102 78 A B 10 µm Gambar 23. Jenis Fungi tidak teridentifikasi 2. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B) c a b A B 10 mm Gambar 24. Fusarium sp. 2. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Konidia (b) dan Hifa (c) Penicillium sp. 1 (Gambar 25) berhasil diisolasi sebanyak rata-rata 0.46 x 10 2 cfu / ml pada serasah yang mengalami proses dekomposisi selama 60 hari. Frekuensi kolonisasi jenis fungi ini sebesar 9.1% dari sebelas kali pengamatan. Bentuk koloni Penicillium sp. 1 disajikan pada Gambar 25 A sedang bentuk mikroskopik fungi ini dapat dilihat pada Gambar 25 B. Adapun ciri-ciri makroskopik dan mikroskopiknya pada Lampiran 12 k. Trichoderma sp. 2 (Gambar 26) dan Aspergillus sp. 3 berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina dengan frekuensi kolonisasi masing-masing yang sama yaitu sebesar 18.2% dengan jumlah koloni rata-rata 0,27 x 10 2 cfu/ ml. Trichoderma sp. 2 didapatkan pada serasah daun yang telah mengalami proses dekomposisi 45 dan 120 hari. Bentuk koloni Trichoderma sp. 2 disajikan pada

103 79 Gambar 26 A sedang bentuk mikroskopiknya dapat dilihat pada Gambar 26 B. Ciri-ciri makroskopik serta mikroskopiknya disajikan pada Lampiran 12 l. Adapun Aspergillus sp. 3 didapatkan pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 150 dan 165 hari. Jenis-jenis fungi lain yang masingmasing ditemukan satu kali dari sebelas kali waktu pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi adalah sebagai berikut : i) Penicillium sp. 2 (Gambar 27) dengan bentuk koloni seperti yang disajikan pada Gambar 27 A, sedang bentuk mikroskopik pada Gambar 27 B. d c a b e A B 10 mm Gambar 25. Penicillium sp. 1. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Metula (b), Fialid (c), Konidia (d) dan Hifa (e) c a A B b 10 mm Gambar 26. Trichoderma sp. 2. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Hifa (b) dan Konidia (c)

104 80 d a b c e A B 10 mm Gambar 27. Penicillium sp. 2. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Metula (b), Fialid (c), Konidia (d) dan Hifa (e) Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik yang disajikan pada Lampiran 12 m, ii) Aspergillus sp. 5 (Gambar 28) dengan bentuk koloni dapat dilihat pada Gambar 28 A, sedang bentuk mikroskopik disajikan pada Gambar 28 B. Ciri-ciri mikroskopik dan makroskopiknya pada Lampiran 12 n, iii) Fusarium sp. 3 (Gambar 29) dengan bentuk koloni (Gambar 29 A) sedang bentuk mikroskopik yang disajikan pada Gambar 29 B. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik Fusarium sp. 3 disajikan pada Lampiran 12 o, iv) Penicillium sp. 3 (Gambar 30) dengan bentuk koloni pada Gambar 30 A, serta bentuk mikroskopik pada Gambar 30 B, ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik Penicillium sp. 3 disajikan pada Lampiran 12 p, v) Penicillium sp. 4 (Gambar 31) dengan bentuk koloni (Gambar 31 A) sedang bentuk mikroskopik yang disajikan pada Gambar 31 B. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik pada Lampiran 12 q, vi) Curvularia lunata, vii) Trichoderma sp.3 (Gambar 32) dengan bentuk koloni seperti yang terlihat pada Gambar 32 A sedang bentuk mikroskopik ditampilkan pada Gambar 32 B. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik disajikan pada Lampiran 12 r, viii) Aspergillus sp. 6 (Gambar 33) dengan bentuk koloni disajikan pada Gambar 33 A, sedang bentuk mikroskopik ditampilkan pada Gambar 33 B. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik disajikan pada Lampiran 12 s, dan ix) Penicillium sp. 5 (Gambar 34) dengan bentuk koloni pada Gambar (Gambar 34 A), dan bentuk mikroskopik disajikan pada Gambar 34 B ; ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik Penicillium sp. 5 disajikan pada Lampiran 12 t.

105 81 e f a b d c A B 10 mm Gambar 28. Aspergillus sp. 5. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Dinding konidiofor (b), Vesikel (c), Fialid (d), Konidia (e) dan Hifa (f) c a d b A B 10 mm Gambar 29. Fusarium sp. 3. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Konidia (b), Hifa (c) dan Septa (d) c b a A B d 10 mm Gambar 30. Penicillium sp. 3. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Fialid (b), Konidia (c) dan Hifa (d)

106 82 c b d a e A B 10 mm Gambar 31. Penicillium sp. 4. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Metula (b), Fialid (c), Konidia (d) dan Hifa (e) a c d b A B 10 mm Gambar 32. Trichoderma sp. 3. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B) Konidiofor (a), Fialid (b), Konidia (c) dan Hifa (d) c d a b A B 10mm Gambar 33. Aspergillus sp. 6. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B) Konidiofor (a), Fialid (b), Konidia (c), dan Hifa (d)

107 83 a c b d A B 10 mm Gambar 34. Penicillium sp. 5. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Fialid (b), Konidia (c) dan Hifa (d) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata dan jenis-jenis fungi yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt dapat dilihat pada Tabel 12. Jumlah koloni fungi tiap ulangan dapat dilihat pada Lampiran 14. Dari Tabel 12 dapat dijelaskan bahwa fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas ppt adalah sebanyak 12 jenis. Jenis fungi yang paling banyak terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi adalah Aspergillus sp. 2 dengan jumlah koloni rata-rata 2,0 x 10 2 cfu/ ml. Aspergillus sp. 2 ditemukan pada serasah daun yang telah mengalami dekomposisi selama 15, 45, 60, 105, 120, 135, 150 dan 165 hari serta tidak ditemukan pada hari ke-30, 75 dan 90. Frekuensi ditemukannya fungi ini adalah sebesar 72.7%. Adapun jumlah koloni terbanyak yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina adalah pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 hari dengan jumlah koloni rata-rata 8 x 10 2 cfu/ ml. Aspergillus sp. 4 ditemukan pada serasah yang telah mengalami dekomposisi selama 30, 75, 90, 135, 150 dan 165 hari dengan jumlah koloni rata-rata 1.76 x 10 2 cfu/ ml. Jumlah koloni ini menempati jumlah terbesar ke-dua setelah Aspergillus sp. 2 dengan frekuensi kolonisasi 54.6%. Aspergillus sp. 3 dan Penicillium sp. 1 menempati posisi ketiga dengan jumlah koloni rata-rata 0.46 x 10 2 cfu/ml untuk masing-masing jenis. Aspergillus

108 84

109 85 sp. 3 berhasil diisolasi pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15, 150 dan 165 hari. Adapun Penicillium sp. 1 berhasil diisolasi dari serasah yang telah 60 hari mengalami proses dekomposisi. Frekuensi kolonisasi masing-masing jenis fungi tersebut berturut-turut adalah sebesar 27.3% dan 9.1%. Selanjutnya jenis fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas ppt, adalah Aspergillus sp. 1 dengan frekuensi kolonisasi sebesar 36.4% yang berhasil diisolasi dari serasah daun yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15, 60, 90 dan 105 hari dengan jumlah koloni sebesar 0.39 x 10 2 cfu/ ml. Dari serasah daun A. marina ini juga berhasil diisolasi Aspergillus sp. 5 dengan jumlah koloni rata-rata selama 165 hari dekomposisi 0,27 x 10 2 cfu/ ml. Frekuensi kolonisasi jenis fungi ini adalah 18.2 % yang berhasil diisolasi dari serasah daun yang mengalami proses dekomposisi selama 45 dan 105 hari. Jenis-jenis fungi lain yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina pada tingkat salinitas ppt yang masing-masingnya mempunyai frekuensi kolonisasi sebesar 9.1% adalah sebagai berikut : i) Jenis fungi tidak teridentifikasi (2) dengan koloni rata-rata sebanyak 0,25 x 10 2 / ml. ii)trichoderma sp. 1 jumlah koloni rata-rata 0,18 x 10 2 cfu/ ml, iii) Trichoderma sp. 4 (Gambar 35), dengan bentuk koloni ditampilkan pada Gambar 35 A sedang bentuk mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 35 B. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopiknya disajikan pada Lampiran 12 u ; Jumlah koloni jenis fungi ini pada serasah daun adalah d a c b A B 10 mm Gambar 35. Trichoderma sp. 4. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Fialid (b), Konidia (c) dan Hifa (d)

110 86 rata-rata 0,12 x 10 2 cfu/ ml, iv) Fusarium sp. 2 dengan koloni sebanyak ratarata 0,09 x 10 2 cfu/ ml yang berhasil diisolasi dari serasah daun yang telah mengalami dekomposisi selama 75 hari, v) Penicillium sp. 3 dan vi) Penicillium sp Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas ppt Jumlah koloni rata-rata dan jenis-jenis fungi yang ditemukan tiap pengamatan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt dapat dilihat pada Tabel 13. jumlah koloni fungi tiap ulangan yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt dapat dilihat pada Lampiran 15. Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa dari serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt berhasil diisolasi sebanyak 12 jenis fungi. Jumlah koloni jenis fungi ini menurut lama masa dekomposisi berkisar dari 0,03 x 10 2 cfu/ ml sampai 1,52 x 10 2 cfu/ ml. Jumlah terbanyak adalah koloni Aspergillus sp. 2 yaitu rata-rata 1,52 x 10 2 cfu/ ml. Jenis fungi ini berhasil diisolasi dari serasah daun yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15, 30,45,60,105, 120, dan 135 hari dengan frekuensi kolonisasinya sebesar 54,6%. Aspergillus sp. 4 terdapat pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 30, 75, 105, 135, 150 dan 165 hari dengan jumlah koloni rata-rata 1.15 x 10 2 cfu/ ml. Frekuensi kolonisasi jenis fungi ini pada serasah daun A. marina adalah 45.5% dengan jumlah koloni terbanyak didapatkan setelah serasah mengalami 165 hari masa dekomposisi. Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa Trichoderma sp. 4 menempati urutan ke-tiga dengan jumlah koloni rata-rata 0.73 x 10 2 cfu/ ml. Adapun frekuensi jenis fungi ini mengkolonisasi serasah adalah 36.4% dari sebelas kali waktu pengamatan. Jenis fungi ini berhasil diisolasi dari serasah daun yang telah mengalami proses dekomposisi selama 30, 45, 105 dan 165 hari. Selanjutnya pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 165 hari pada tingkat salinitas ppt, juga ditemukan Aspergillus sp. 3 dengan koloni rata-rata sebanyak 0.64 x 10 2 cfu/ ml.

111 87

112 88 Frekuensi kolonisasi jenis fungi ini selama proses dekomposisi serasah daun A. marina adalah 81.8 %. Jenis fungi ini didapatkan pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15, 30, 45, 75, 90, 105, 135, 150, 165 hari. Dapat diketahui pula bahwa Aspergillus sp. 3, mengkolonisasi pada hampir selama waktu pengamatan dekomposisi, kecuali setelah 60 dan 120 hari masa dekomposisi. Seperti pada serasah daun A. marina yang berada pada tingkat salinitas < 10 dan ppt, maka pada tingkat salinitas ppt juga ditemukan Aspergillus sp. 1. Jumlah koloni jenis fungi ini 0.46 x 10 2 cfu/ ml. Jenis fungi ini ditemukan 15 hari setelah masa dekomposisi dengan frekuensi kolonisasinya sebesar 9.1%. Penicillium sp. 1 berhasil diisolasi dari serasah setelah 60 dan 90 hari mengalami dekomposisi dengan jumlah koloni rata-rata 0.36 x 10 2 cfu/ ml. Ferkuensi kolonisasi jenis fungi ini pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi adalah 18.2% dari semua jumlah pengamatan. Enam jenis fungi, yaitu Aspergillus sp. 5, Penicillium sp. 3, Trichoderma sp. 1, Fusarium sp. 3, Aspergillus sp. 7, Aspergillus sp. 6 mempunyai frekuensi kolonisasi yang sama (9,1%) pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas ppt. Aspergillus sp. 5 dapat diisolasi dari serasah yang telah 150 hari mengalami proses dekomposisi dengan jumlah koloni rata-rata 0,27 x 10 2 cfu/ ml. Koloni Penicillium sp. 3 berhasil diisolasi sebanyak 0,06 x 10 2 cfu/ ml, sedang Trichoderma sp. 1 dengan koloni rata-rata sebanyak 0,06 x 10 2 / ml, didapatkan pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 150 hari. Adapun Fusarium sp. 3 dengan jumlah koloni rata-rata 0,03 x 10 2 / ml dapat diisolasi setelah serasah mengalami proses dekomposisi selama 165 hari. Aspergillus sp. 7 (Gambar 36) dengan jumlah koloni rata rata 0,03 x 10 2 / ml dapat diisolasi dari serasah yang telah mengalami 75 hari proses dekomposisi. Pada Gambar 36A ditampilkan bentuk koloni Aspergillus sp. 7 sedang bentuk mikroskopiknya disajikan pada Gambar 36 B. Adapun ciri-ciri makroskopik dan miroskopiknya dapat dilihat pada Lampiran 12 v. Aspergillus sp. 6 berhasil diisolasi dari serasah setelah mengalami 60 hari proses dekomposisi. Frekuensi kolonisasi fungi ini adalah 9.1%.

113 89 f d e a A B b c 10 mm Gambar 36. Aspergillus sp. 7. Koloni umur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Dinding konidiofor (b), Vesikel (c), Fialid (d), Konidia (e) dan Hifa (f) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Tingkat Salinitas >30 ppt Jumlah koloni rata-rata dan jenis-jenis fungi tiap pengamatan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt dapat dilihat pada Tabel 14. Jumlah koloni fungi tiap ulangan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30, disajikan pada Lampiran 16. Dari Tabel 14 dapat dijelaskan bahwa fungi pada serasah daun A.marina yang telah mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt adalah 15 jenis. Jenis fungi yang jumlah rata-rata koloninya terbanyak 1,21 x 10 2 cfu/ ml dijumpai pada serasah daun yang telah mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt ini adalah Penicillium sp. 6 (Gambar 37). Jenis fungi tersebut berhasil diisolasi pada serasah yang telah mengalami proses dekomposisi selama 30, 45, 120 dan 165 hari. Frekuensi kolonisasi jenis fungi ini pada serasah daun A. marina sebesar 36.4% dari sebelas kali pengamatan yang dilakukan. Bentuk koloni Penicillium sp. 6 disajikan pada Gambar 37 A sedang bentuk mikroskopik jenis fungi ini dapat dilihat pada Gambar 37 B. Ciriciri makroskopik dan mikroskopiknya diuraikan pada Lampiran 12 w. Jenis fungi yang menempati posisi terbanyak kedua dengan rata-rata koloninya, yaitu 1,03 x 10 2 cfu/ml pada serasah daun yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt, adalah Fusarium sp. 2. Jenis fungi ini berhasil diisolasi dari serasah yang telah mengalami proses dekomposisi

114 90

115 91 selama 15 hari, dengan frekuensi kolonisasinya sebesar 9.1%. Aspergillus sp. 2 mempunyai frekuensi kolonisasi terbesar, yaitu 72.7% pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas >30 ppt. Jenis fungi ini ditemukan pada 30, 60, 90, 105, 120, 135, 150 dan 165 hari setelah serasah mengalami proses dekomposisi. Jumlah koloni rata-rata, jenis fungi tersebut adalah 0.94 x 10 2 cfu/ ml. Trichoderma sp. 4 berhasil diisolasi dari serasah daun yang telah mengalami proses dekomposisi selama 30, 45, 105, 120, 135, 150 dan 165 hari. Frekuensi kolonisasi jenis fungi ini adalah 63.6%. Adapun jumlah koloni rata-rata yang dapt diisolasi 0.88 x 10 2 cfu/ ml. Jenis fungi tidak teridentifikasi 3 (Gambar 38) berhasil diisolasi 30 hari setelah serasah mengalami proses dekomposisi, dengan koloni rata-rata 0,06 x 10 2 cfu/ml. Ciriciri makroskopik jenis fungi ini disajikan pada Lampiran 12 x. c d a b A B 10 mm Gambar 37. Penicillium sp. 6. Koloni umur 14 hari pada media PDA (A) dan Bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), Fialid (b), Konidia (c) dan Hifa (d) Gambar 38. Jenis fungi tidak teridentifikasi 3, koloni berumur 14 hari pada media PDA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memilkiki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1. Definisi. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai 5 TINJAUAN PUSTAKA Mangrove merupakan suatu formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, lantai hutannya tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut perpaduan antara air sungai dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan antara habitat-habitat yang bertentangan. Untuk menghadapi lingkungan yang unik ini maka makhluk

Lebih terperinci

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI Oleh : NURITA DEWI 051202011/BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Peran Ekosistem Mangrove Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Mangrove Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil 1. Keanekaragaman vegetasi mangrove Berdasarkan hasil penelitian Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta terdapat 10 jenis mangrove. Kesepuluh jenis mangrove tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.) Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut; Filum: Arthropoda Sub Filum: Mandibulata Kelas:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas yang hidup didalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas yang hidup didalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah Pohon- pohon yang tumbuh didaerah pantai, yang memiliki ciri yaitu tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi oleh pasang surut, tanah terus tergenang air

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

coastal woodland, mangrove swamp forest, dan dalam bahasa Indonesia juga

coastal woodland, mangrove swamp forest, dan dalam bahasa Indonesia juga 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove dikenal dengan berbagai istilah seperti tidal forest, coastal woodland, mangrove swamp forest, dan dalam bahasa Indonesia juga dikenal dengan istilah hutan payau. Kusmana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh 15 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan di wilayah pesisir dan antara makhluk hidup

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH: Widya Kurniawan Putra Budidaya Hutan

SKRIPSI OLEH: Widya Kurniawan Putra Budidaya Hutan LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata SETELAH APLIKASI FUNGI Penicillium sp., Aspergillus sp., DAN Curvularia sp. PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: Widya Kurniawan Putra 061202003

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di kawasan pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi

TINJAUAN PUSTAKA. khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas marin. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan

TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas marin. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan 5 TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir Daerah pantai atau pesisir adalah suatu daratan beserta perairannya dimana pada daerah tersebut masih dipengaruhi baik oleh aktivitas darat maupun oleh aktivitas marin.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh

TINJAUAN PUSTAKA. pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Mangrove Mangrove berasal dari kata mangue (Portugis) yang berarti bakau dan kata

TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Mangrove Mangrove berasal dari kata mangue (Portugis) yang berarti bakau dan kata TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Mangrove berasal dari kata mangue (Portugis) yang berarti bakau dan kata grove (Inggris) yang berarti belukar. Kata mangrove juga berasal dari bahasa Melayu kuno yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Menurut Mac Nae (1968), pada mulanya hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kawasan ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang cukup luas dimana sebagian wilayahnya merupakan wilayah perairan. Wilayah pesisir menjadi penting karena merupakan

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Etnobotani Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani adalah studi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumber daya pesisir

Lebih terperinci

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekitar 75% dari luas wilayah nasional berupa lautan. Salah satu bagian penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai, dan

Lebih terperinci