SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Transkripsi

1 DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP PENGELOLAAN PESISIR CAGAR ALAM PULAU DUA DAN KETERKAITAN DENGAN KAWASAN PENYANGGA DI KECAMATAN KASEMEN KOTA SERANG PROVINSI BANTEN ITA SUALIA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya, menyatakan bahwa tesis Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Pesisir Cagar Alam Pulau Dua dan Keterkaitan dengan Kawasan Penyangga di Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2011 Ita Sualia NRP C

3 ABSTRACT ITA SUALIA. Impact of Sea Level Rise on Coastal Management of Pulau Dua Nature Reserve In Relation to Its Buffer Area in Kasemen Sub District, Serang Municipality of Banten Province. Under supervision of FREDINAN YULIANDA and ACHMAD FAHRUDIN Pulau Dua Nature Reserve (CAPD) is located in Banten Bay on 06 o o South and 106 o o East under administrative area of Sawah Luhur village of Serang municipality. The function of CPAD is very important for about 108 species of birds where 38 species of its categorized as protected by national and or international convention. An area of 28,6 hectares mangrove as the main vegetation of 30 hectares CAPD leads important role as well as natural protection for 515 hectares of fish ponds, 2910 families and also support rice production of Serang and its surrounding. Topography of CAPD and its surrounding ecosystem are a gently sloping low land area with the highest contour is 4m above MSL. Due to this topography condition and located directly faced Java Sea, caused this area is very vulnerable to the impacts of sea level rise. Simulation models of sea level rise for scenario 25cm, 50cm and 100cm combining with contour map are able to predict the changes of ecological landscape of land inundation and economic losses incurred. Calculation of economic losses in this study carried out by using economic valuation method of mangrove ecosystem, as mangrove e is the main vegetation of CAPD. Sea level rise on scenario 25cm shown taht 427, 22 ha of fish ponds will permanently inundate and no more operates or about IDR will be losses. On scenario of 50cm shown 535,60 ha fish ponds and 10ha CAPD will be loss with economic value losses is IDR On scenario 100cm, about 569,54 ha area will be loss namely all of area of fish pond, 28ha of CAPD, village road and settlement. Area management strategy to answer this problem was developed through SWOT analysis on vulnerability level of natural, human resource and socio economic conditions. Through this analysis can be recommend an ecological planning method as the strategy of coastal management of Sawah Luhur village. Keywords: Cagar Alam Pulau Dua, sea level rise, economic valuation, SWOT analysis, ecological planning method.

4 RINGKASAN ITA SUALIA. Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Pesisir Cagar Alam Pulau Dua dan Keterkaitan dengan Kawasan Penyangga di Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ACHMAD FAHRUDIN Cagar Alam Pulau Dua (CPAD) merupakan kawasan lindung yang didominasi oleh vegetasi mangrove, terletak di Teluk Banten (berhadapan langsung dengan Laut Jawa) dan berada dalam wilayah administrasi Kelurahan Sawah Luhur Kecamatan Kasemen Kota Serang. Secara ekologi, keberadaan CAPD sangat penting setidaknya bagi 108 jenis burung yang tiga puluh delapan diantaranya merupakan jenis yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Secara ekonomi, keberadaan vegetasi mangrove di CAPD merupakan benteng alami bagi 515 hektar areal pertambakan dan pemukiman dari 2190 keluarga Kelurahan Sawah Luhur. Selain itu, keberadaan CAPD juga mendukung keberhasilan produksi beras Kota Serang dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh burung-burung yang hidup di CAPD merupakan penyeimbang populasi hama padi terutama serangga. Topografi berupa dataran pesisir yang landai dengan ketinggian maksimal punggung pulau 4m di atas permukaan laut serta posisi yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa menyebabkan CAPD sangat rentan terhadap dinamika pantai Penelitian simulasi dampak kenaikan muka laut skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm yang dilakukan di wilayah CAPD dan tambak sekitarnya dimaksudkan untuk : 1) Memperkirakan perubahan ekologi (bentang alam) CAPD dan tambak sekitarnya; 2) Menghitung kerugian ekonomi atas perubahan bentang alam yang ditimbulkan; 3) Mengidentifikasi upaya peningkatan resiliensi dan mitigasi yang telah ada; 4) Memberikan rekomendasi strategi pengelolaan pesisir Kelurahan Sawah Luhur dalam kerangka peningkatan resiliensi ekosistem dan masyarakat terhadap kenaikan muka laut. Pegumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada Agustus 2009 sampai dengan Maret Analisis perubahan bentang alam dilakukan dengan memadukan (overlay) peta kontur CAPD dan tambak sekitarnya dengan skenario kenaikan muka laut setinggi 25cm, 50cm dan 100cm. Penghitungan kerugian ekonomi dari perubahan bentang alam akibat kenaikan muka laut dilakukan dengan menghitung nilai ekonomi total ekosistem mangrove. Hasil simulasi skenario kenaikan 25cm meununjukkan bahwa 427, 22 ha areal tambak akan tergenang permanen dan tidak dapat dioperasikan sehingga menyebabkan kehilangan nilai ekonomi sebesar Rp /hektar/tahun. Skenario kenaikan 50cm menunjukkan 535,60 ha areal tambak dan 10 ha wilayah CAPD akan tergenang permanen dengan total nilai kerugian Rp /hektar/tahun dan pada skenario kenaikan 100cm, total area yang akan terendam yaitu 569,54 ha terdiri dari 515 areal pertambakan, 28 ha kawasan CAPD dan 26,54 ha jalan desa dan pemukiman. Total kerugian ekonomi yang ditimbulkan Rp

5 Pengembangan strategi pengelolaan ekosistem pesisir Kelurahan Sawah Luhur menggunakan pendekatan ecological planning method yaitu pemaduan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kawasan. Selanjutnya, informasi tersebut disusun dengan mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang terdapat di lokasi penelitian, khususnya pada enam modal utama dalam pengurangan risiko bencana yaitu modal sumberdaya alam (natural capital), modal ekonomi/ finansial (economic/financial capital), modal sumberdaya manusia (human capital), modal sosial (social capital) dan modal politik (political capital). Hasil pengkajian informasi biofisik dan sosial ekonomi tersebut diatas dapat diketahui bahwa kawasan pertambakan CAPD dengan luas 515 ha memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada CAPD. Kerusakan kawasan CAPD bisa berdampak langsung pada kondisi sosial ekonomi Kota Serang dan disekitarnya dan memiliki dampak tidak langsung pada kondisi ekologi secara global. Berdasarkan hal tersebut, maka fokus strategi pengelolaan ekosistem pesisir Kelurahan Sawah Luhur dilakukan dengan menjadikan CAPD sebagai prioritas dengan dua strategi utama yaitu: (1). Menurunkan tingkat ancaman, mengurangi kejadian abrasi dengan mempertahankan garis pantai saat ini. Terdapat dua pilihan yang bisa dilakukan yaitu dengan hard engineering (rekayasa fisik) berupa pemasangan tanggul laut dan soft engineering (rekayasa biologi) dengan penanaman mangrove. Pilihan soft engineering sebaiknya dilakukan sehingga diperoleh biaya investasi dan perawatan yang lebih murah. Disamping itu, ekosistem mangrove yang terbentuk akan memberikan dampak ekologis yang lebih baik bagi lingkungan lokal maupun global; (2) Menurunkan tingkat kelemahan, fokus strategi adalah dengan mengupayakan peningkatan kapasitas finansial, sumberdaya manusia, dan politik masyarakat agar mengarus-utamakan upaya-upaya adaptasi perubahan iklim dalam kegiatan sehari-hari. Matapencaharian masyarakat, terutama perikanan agar diperkuat dengan dukungan finansial dan teknis sehingga bisa mengubah pola budidaya pertambakan konvensional saat ini menjadi pertambakan model silvofishery. Kata kunci: Cagar Alam Pulau Dua, kenaikan muka laut, SWOT, ecological planning method

6 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

7 DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP PENGELOLAAN PESISIR CAGAR ALAM PULAU DUA DAN KETERKAITAN DENGAN KAWASAN PENYANGGA DI KECAMATAN KASEMEN KOTA SERANG PROVINSI BANTEN ITA SUALIA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc

10 Judul Penelitian : Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Pesisir Cagar Alam Pulau Dua dan Keterkaitan dengan Kawasan Penyangga di Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten Nama : Ita Sualia NRP : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 28 September 2011 Tanggal Lulus:

11 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas selesainya penulisan tesis dengan judul Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah Pesisir di Cagar Alam Pulau Dua dan Sekitarnya, Provinsi Banten. Kenaikan muka laut akibat pemanasan global diprediksikan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi wilayah pesisir. Penelitian ini memprediksi dampak ekologi dan ekonomi kenaikan muka laut pada skenario kenaikan 25cm, 50 cm dan 100 cm yang didasarkan pada kecenderungan kenaikan muka air laut Indonesia akibat pemanasan global berkisar cm dari tahun 2001 hingga 2100 (IPCC, 2001). Pesan yang ingin disampaikan oleh penulis melalui penelitian ini adalah perlunya suatu perencanaan wilayah pesisir yang memperhatikan aspek antisipasi dampak dari perubahan iklim. Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fachrudin, MSi atas motivasi yang diberikan dan kesabarannya dalam membimbing penyelesaian penelitian dan penulisan tesis. 2. Bapak Yus Rusila Noor, Senior Programme Manager Wetlands International Indonesia Programme (WIIP) atas informasi mengenai CAPD serta pinjaman literatur-literatur terkait perubahan iklim 3. Bapak I Nyoman Ngurah Suryadiputra, Programme Director WIIP dan rekanrekan kerja di Wetlands International atas suasana kerja yang mendukung. 4. Muhammad ILMAN (suami) dan Auliya Muhammad Yanggi (anak) atas kerjasamnya dalam membagi waktu serta dukungan doa. 5. Keluarga besar di Bangka dan di Majene yang telah turut merawat Yanggi dan dukungan doanya. 6. Semua rekan SPL angkatan 14 atas kerjasama dan persahabatannya yang tulus. Bogor, September 2011 Ita Sualia

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungailiat Bangka, sebuah kota kecil di Selatan Sumatera yang dikenal sebagai daerah penghasil timah dan lada putih, merupakan anak terakhir dari enam bersaudara pasangan Bapak H. Idi Suryadi, M.Si dan Ibu Hj. Nafsiah. Pendidikan dasar dimulai di TK Pertiwi Sungailiat, SDN 366 Sungailiat, SMPN 1 Menes Pandeglang (Provinsi Banten), dan SMAN 1 Sungailiat lulus tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S1 di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan IPB dan lulus pada tahun Karir pekerjaan penulis dimulai sebagai Asisten Dosen Mata Kuliah Limnologi Perairan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB antara tahun 2003 hingga Sejak tahun 2005 hingga saat ini penulis bekerja di Wetlands International, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan kegiatannya pada pemanfaatan secara bijaksana ekosistem-ekosistem lahan basah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Karir di Wetlands International dimulai dengan posisi sebagai Technical Officer untuk Green Coast Project antara tahun 2005 hingga 2009, sebuah uapaya rehabilitasi ekosistem lahan basah pesisir khususnya ekosistem mangrove pasca tsunami. Sejak tahun 2009 hingga sekarang penulis ditugaskan sebagai Wetlands Management Officer, dimana sebagian besar pekerjaan penulis berhubungan langsung dengan upaya pengelolaan lahan basah secara terpadu baik sebagai fasilitator masyarakat dalam pengelolaan lahan basah di tingkat desa maupun sebagai wakil Wetlands International dalam berbagai kelompok kerja pengembangan kebijakan dalam pengelolaan lahan basah di tingkat nasional.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian dan Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Definisi Ekosistem Mangrove Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Manfaat Ekonomis dan Ekologis Mangrove Kawasan Konservasi dan Fungsinya Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Effect on Production Perubahan Iklim dan Pemanasan Global Definisi Perubahan Iklim Perubahan Iklim di Indonesia Analisis SWOT METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Analisis Analisis Perubahan Bentang Alam Analisis Kerugian Ekonomi Analisis Solusi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Posisi Geografis dan Batas Wilayah Aksesibilitas dan Transportasi Kondisi Klimatologi Nilai Penting Cagar Alam Pulau Dua HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Potensi, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Potensi Kelemahan xii

14 xiii Peluang Ancaman Valuasi Sumberdaya Pesisir Nilai Manfaat (Use Value) Nilai Bukan Pemanfaatan (Non Use Value) Total Nilai Ekonomi Pengaruh Penggenangan Terhadap Total Nilai Ekonomi Strategi Pengelolaan Ekosistem Pesisir KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 79

15 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kategori kawasan konservasi dan status perlindungan Tabel 2. Kategori kawasan konservasi berdasarkan tujuan pengelolaan Tabel 3. Nilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove yang dihitung dalam penelitian Tabel 4. Jenis dan kebutuhan data yang diperlukan dalam Effect on Production Tabel 5. Lima modal uatana indikator kapasitas pengurangan risiko bencana Tabel 6. Jenis dan persentase penggunaan lahan Tabel 7. Hasil analisis stakeholder Kelurahan Sawah Luhur Tabel 8. Tingkat kerentanan enam modal utama pengurangan risiko bencana Tabel 9. Perubahan bentang alam CAPD dan tambak sekitarnya Tabel 10. Biaya produksi dan pendapatan kotor budidaya perikanan dan di CAPD dan tambak sekitarnya Tabel 11. Total nilai ekonomi manfaat langsung mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya Tabel 12. Nilai manfaat tidak langsung jasa lingkungan mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya Tabel 13. Total nilai ekonomi mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya Tabel 14. Total nilai kerugian per skenario kenaikan muka laut Tabel 15. Analisis stakeholder dan potensi keterlibatan dalam kegiatan Tabel 16. Hasil analisis SWOT lokasi terhadap kenaikan muka laut xiv

16 xv

17 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Alur kerangka pemikiran penelitian... 6 Gambar 2. Pendekatan penghitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove Gambar 3. Gambar 4. Konsep valuasi ekonomi SDA dengan pendekatan effect on production Ilustrasi perubahan iklim yang ditunjukkan oleh perubahan rata-rata dan keragaman suhu Gambar 5. Variasi perbedaan suhu rata-rata permukaan bumi Gambar 6. Gambar 7. Perubahan suhu udara dan konsentrasi GRK di udara selama 1000 tahun Kecenderungan kenaikan suhu udara Kota Jakarta dan Semarang Gambar 8. Perubahan pola curah hujan sebagai indikator perubahan iklim 29 Gambar 9. Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun Gambar 10. Simulasi kenaikan muka laut rata-rata antara tahun 1990 dan 2100 akibat pemanasan masa air dan es yang mencair Gambar 11. Perubahan tinggi muka laut tahun Gambar 12. Peta penggunaan lahan di Provinsi Banten Gambar 13. Peta area cakupan penelitian Gambar 14. Peta wilayah Kelurahan Sawah Luhur Gambar 15. Sebaran vegetasi dominan di CAPD Gambar 16. Ilustrasi kondisi vegetasi di Kelurahan Sawah Luhur Gambar 17. Mangrove yang tumbuh di dalam badan air Gambar 18. Kondisi umum vegetasi di pematang tambak Gambar 19. Stakeholder pemanfaatan ekosistem mangrove CAPD Gambar 20. Peta abrasi di kawasan Cagar Alam Pulau Dua Gambar 21. Kegiatan pengambilan kayu bakar di CAPD Gambar 22. Peta situasi CAPD dan tambak sekitarnya pada kondisi normal 58 Gambar 22. Peta penggenangan CAPD dan tambak sekitarnya kenaikan muka laut 25cm Gambar 23. Peta penggenangan CAPD dan tambak sekitarnya kenaikan muka laut 50cm xvi

18 xvii Gambar 24. Peta penggenangan CAPD dan tambak sekitarnya kenaikan muka laut 100cm Gambar 25. Skenario 1 pengembangan geen belt 100m secara intensif Gambar 26. Skenario 2 pengembangan geen belt dan tambak silvofishery Gambar 27. Model tambak silvofishery... 75

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Daftar jenis burung yang tercatat di CAPD tahun Lampiran 2. Dasar hukum kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove Lampiran 3. Beberapa strategi nasional pengelolaan lahan basah Lampiran 4. Kuisioner survei Valuasi Ekonomi xviii

20 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun 1800 hingga tahun 2000 (seperti variasi suhu permukaan bumi, konsentrasi gas rumah kaca di udara dan tinggi rata-rata muka laut) serta prediksi dampak yang akan ditimbulkan pada masa mendatang menjadikan isu perubahan iklim terus diperbincangkan, bahkan sampai mempengaruhi kebijakan global dunia, tidak terkecuali kebijakan politik dan ekonomi Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Perancanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS 2010) telah mengeluarkan suatu buku Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap yaitu arahan pembangunan sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir,sumber daya air, limbah, dan kesehatan kaitan dengan perubahan iklim. Pada tahap implementasi untuk mengintegrasikan perubahan iklim dalam perencanaan pengembangan suatu kawasan maupun program pembangunan pada berbagai sektor masih relatif sulit. Hal tersebut dikarenakan masih minimnya informasi mengenai perubahan iklim, dampak yang akan ditimbulkan serta ketidakpastian waktu kapan dampak tersebut akan terjadi. IPCC (2001) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pada unsur-unsur iklim dari waktu ke waktu, baik karena variabilitas alam atau akibat aktivitas manusia dalam kurun waktu yang panjang. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2007) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan sistem iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara lima puluh sampai seratus tahun yang disebabkan oleh kegiatan antropogenik, khususnya pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Perubahan yang disebabkan oleh faktor alami seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim. Masalah utama dalam isu perubahan iklim adalah naiknya suhu rata-rata (dekat) permukaan bumi yang disebabkan efek rumah kaca dari gas-gas seperti CO 2 (karbondioksida) dan CH 4 (metana) atau dikenal dengan istilah pemanasan global. Konsentrasi gas rumah

21 2 kaca di atmosfer diketahui telah naik secara drastis akibat aktivitas industri, terutama pasca revolusi indutri pada awal tahun 1980-an.. Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan signifikan pada sistem biologi dan fisik bumi, seperti peningkatan intensitas siklon tropis, perubahan pola curah hujan, salinitas laut, pola angin, masa reproduksi hewan dan tumbuhan, distribusi spesies dan populasi, epidemi suatu penyakit. Kesemua hal tersebut tentu akan mempengaruhi suatu keseimbangan ekologi bahkan dapat menghilangkan suatu ekosistem tertentu. Dampak dari pemanasan global yang akan sangat di rasakan oleh masyarakat pesisir adalah kenaikan muka laut rata-rata (sea level rise) baik yang disebabkan oleh peningkatan suhu perairan sehingga massa air laut memuai maupun mencairnya es di kutub sehingga menambah volume air di lautan. Dampak lebih lanjut dari kenaikan muka laut diantaranya (1) pemunduran garis pantai; (2) terendamnya secara terus menerus suatu daratan; (3) meningkatnya potensi banjir dan erosi di rawa lumpur; (4) meningkatnya potensi dampak banjir dan bencana alam di dataran pesisir yang landai; (5) meningkatnya salinitas di estuari, rawa lumpur, sungai dan lahan basah pesisir lainnya. Kelima dampak tersebut harus dihadapai oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia terlebih lagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Prediksi dampak perubahan iklim perlu diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan pesisir karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis pantai dan berakibat pada berkurangnya daratan sehingga dapat mengganggu pengaturan aset-aset penduduk, perkembangan ekonomi bahkan menyebabkan perpindahan penduduk (relokasi) dari wilayah pesisir yang terendam akibat kenaikan muka laut rata-rata (Dahuri et al. 2004). Cagar Alam Pulau Dua (CPAD) merupakan kawasan lindung seluas tiga puluh hektar, terletak di Teluk Banten (Selat Sunda) bagian timur dengan vegetasi mangrove sebagai penyusun utama ekosistem. Pulau Dua sebenarnya merupakan pulau atol (karang) yang terpisah dari Pulau Jawa oleh selat selebar sekitar 300m. Proses sedimentasi yang terjadi secara terus menerus telah menyebabkan area yang sebelumnya berupa selat berubah menjadi daratan yang ditumbuhi oleh vegetasi mengrove dan menyebabkan Pulau Dua menjadi tersambung dengan

22 3 Pulau Jawa. Secara ekologi, CAPD merupakan habitat penting bagi burung air dan burung migran. Noor (2004) menyatakan terdapat sekitar 108 jenis burung ditemukan di CPAD dimana tiga puluh delapan jenis diantaranya merupakan burung yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Dari sisi ekonomi, CPAD merupakan benteng alami setidaknya bagi 515 hektar areal pertambakan dan pemukiman dari 2190 keluarga warga Kelurahan Sawah Luhur (desa yang berbatasan langsung dengan bagian selatan CAPD). Keberadaan CAPD juga mendukung keberhasilan produksi beras Kota Serang dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh burung-burung yang hidup di CAPD pada umumnya adalah pemangsa hama padi terutama serangga sehingga dapat berperan sebagai penyeimbang populasi hama tersebut. Topografi dataran pesisir yang landai dan berhadapan langsung dengan Selat Sunda menyebabkan pesisir Kelurahan Sawah Luhur sangat rentan terhadap dinamika pantai (Sukarningsih 2007). Hingga saat ini garis pantai wilayah CAPD di bagian utara telah mundur sekitar tiga meter ke arah darat akibat abrasi. Informasi dari Polisi Hutan setempat dan bukti penggenangan wilayah yang dulunya daratan masih terlihat jelas yaitu pohon-pohon yang tumbang maupun tergenang. Penelitian prediksi penggenangan daratan akibat kenaikan muka laut dengan skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm yang dipadukan (overlay) dengan peta topografi dan peta tataguna lahan saat ini dapat memprediksi dampak ekologi dan ekonomi yang mungkin ditimbulkan. Informasi ini juga dapat digunakan sebagai landasan untuk memilih kebijakan pengelolaan suatu kawasan pesisir dalam mengadaptasi perubahan iklim serta mengurangi risiko bencana akibat kanaikan muka laut maupun proses hidrodinamika pantai lainnya. 1.2 Perumusan Masalah Pemanasan global menyebabkan pemuaian massa air laut dan mencairnya es di kutub sehingga akan menyebabkan kenaikan muka laut. IPCC (2007) menyebutkan dalam periode tahun 1961 hingga 2003 kenaikan pertahun muka laut global rata-rata adalah 1,8 mm (dari kisaran nilai antara 1,3 hingga 3,0 mm). Dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 laju kenaikan muka laut lebih tinggi yaitu 3,1 mm (dari kisaran nilai antara 2,4 hingga 3,8 mm) pertahun. Prediksi

23 4 kenaikan muka laut dari tahun 2000 hingga 2100 diprediksikan pada rentang 0,2cm hingga 1cm dengan laju kenaikan tahunan 0,6cm/ tahun (IPCC 2007). UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009) memprediksi kenaikan tinggi ratarata permukaan laut Kota Jakarta dan Semarang adalah 0,5 sampai dengan 0,8 cm per tahun. Pemilihan angka skenario kenaikan muka laut pada penelitian ini didasarkan pada proyeksi dari kedua lembaga tersebut serta alasan kepraktisan terutama bagi pemegang kebijakan dalam memahami dampak perubahan iklim. Merujuk pada nilai penting keberadaan Cagar Alam Pulau Dua baik secara ekologi dan ekonomi, maka kajian prediksi penggenangan daratan akibat kenaikan muka air laut dengan skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm berusaha menjawab permasalahan 1. Luas penggenangan atau kehilangan daratan akibat kenaikan muka air laut pada skenario kenaikan 25cm, 50 cm dan 100cm. 2. Nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari dampak penggenangan tersebut baik pada kawasan CAPD maupun kawasan penyangga sekitarnya. 3. Alternatif strategi pengelolaan kawasan pesisir untuk mitigasi dan adaptasi dampak kenaikan muka laut, khususnya pada upaya peningkatan kapasitas adaptasi ekosistem dan masyarakat. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini didesain agar dapat membantu para pemangku kepentingan (stakeholders) pengelolaan pesisir Teluk Banten dalam menentukan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada kebijakan di tingkat desa dan tingkat provinsi. Secara spesisfik penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memperkirakan perubahan bentang alam CAPD dan kawasan penyangga akibat kenaikan muka laut skanrio kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm. 2. Menghitung kerugian ekonomi perubahan status ekologi atau perubahan bentang alam CPAD dan kawasan penyangga akibat kenaikan muka laut 3. Memberikan rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem pesisir kawasan CAPD dan kawasan penyangganya dalam kerangka peningkatan resiliensi ekosistem dan masyarakat terhadap kenaikan muka laut.

24 5 1.4 Hipotesis Penelitian dan Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil sintesis dari perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat disusun hipotesis kerja penelitian sebagai berikut. 1. Kenaikan muka laut akan menyebabkan perubahan ekologi berupa perubahan bentang alam akibat pemunduran garis pantai dan penggenangan lahan. 2. Pengenangan lahan akibat kenaikan muka air laut dapat menyebabkan depresiasi nilai ekonomi CPAD dan pertambakan di sekitarnya. Simulasi model kenaikan muka laut setinggi 25cm, 50cm dan 100cm yang dikombinasikan dengan peta topografi wilayah dan peta tata guna lahan area CAPD dan kawasan penyangga dilakukan guna memprediksi dampak ekologi dan ekonomi yang mungkin muncul akibat pemanasan global dan proses dinamika pantai lainnya. Informasi tingkat kapasitas adaptasi masyarakat jika bencana akibat kenaikan muka air laut terjadi akan digali dalam penelitian ini sehingga startegi pengelolaan wilayah pesisir yang dihasilkan tidak hanya berdasarkan kondisi ekologi tapi juga berdasarkan hasil analisis pada kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Alur kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ditujukan untuk menghitung luasan daratan yang akan hilang atau tergenang akibat kenaikan muka laut melalui pendekatan topografi wilayah serta menghitung kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena hilan atau tergenangnya suatu lahan. Penghitungan kerugian ekonomi dilakukan dengan dengan pendekatan valuasi ekonomi. Penelitian ini dibatasi pada dampak penggenangan akibat kenaikan muka laut eustasis (global) yang disebabkan oleh perubahan iklim dengan menggunakan skenario kenaikan muka laut 25cm, 50cm dan 100cm. Proses hidrooseanografi seperti arus, pasang surut dan perubahan fluvial (sedimentasi) yang juga dapat menyebabkan kenaikan muka laut secara lokal tidak dikaji secara khusus dalam penelitian ini, namun tetap dimasukkan dalam deskripsi kondisi wilayah penelitian dan dijadikan dasar pertimbangan dalam menghasilkan strategi pengelolaan wilayah pesisir lokasi penelitian.

25 6 Cagar Alam Nilai konservasi Topografi Pertambakan Nilai produksi Topografi Dinamika Pantai Sekitar Cagar Alam Pemunduran Garis Pantai, Penggenangan, Abrasi Kenaikan Muka Laut Analisis Perubahan Ekologi (Bentang Alam) Akibat Kenaikan Muka Laut, Skenario 25cm, 50cm dan 100cm Analisis Perubahan Nilai Ekonomi Analisis Startegi Pengelolaan Pada Aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi Skenario Solusi Pembangunan Tanggul (sea wall) Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Strategi Pengelolaan Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian

26 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Mangrove Definisi Ekosistem Mangrove Secara umum kata mangrove mempunyai dua arti, pertama mangrove sebagai komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua mangrove sebagai individu spesies (Macnae 1968 in Supriharyono 2000). Macnae menggunakan istilah mangal apabila berkaitan dengan komunitas atau hutan dan istilah mangrove untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau, namun menurut Giesen (2006), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Berdasarkan dua pendapat tersebut mengenai definisi dasar mangrove, sehingga definisi ekosistem mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso 2004). IUCN (1994) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik ekosistem mangrove tergantung pada faktor iklim, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar dan jenis substart. Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pesisisr dengan kondisi teluk yang dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung dengan kondisi gelombang dan arus tidak terlalu deras. Karakteristik habitat ekosistem mangrove pada umumnya yaitu : Tumbuh pada daerah intertidal dengan jenis substrat berlumpur, berlempung dan berpasir. Tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

27 8 Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat yaitu dari aliran sungai sehingga pada umumnya digenangi oleh air bersalinitas payau (0,5-17 ppt). Terlindung dari gelombang dan arus pasang surut yang kuat. Ekosistem Mangrove Bagian dari Ekosistem Lahan Basah Definisi ekosistem lahan basah sendiri memiliki banyak definisi yang bisa dibuat oleh pakar di bidang lahan basah untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, bisa juga oleh para pembuat kebijakan untuk tujuan pengelolaan. Hampir setiap negara maju bahkan memiliki definisi sendiri mengenai lahan basah menyesuaikan sistim hukum dan kebiasaan pengelolaan yang berkembang di negara masing-masing. Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar. Definisi tersebut adalah: Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut. Lahan basah dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah pesisir di sekitar lahan basah, dan pulau-pulau atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada surut terendah tetapi terletak di tengah lahan basah (Keppres No 48 Tahun 1991). Menurut definisi Konvensi Ramsar, salah satu bagian dari tipe ekosistem lahan basah adalah lahan basah pesisir dan laut yang terdiri dari dua belas jenis atau tipe ekosistem. Keduabelas jenis tersebut dapat ditemukan di Indonesia antara lain dataran lumpur, gumuk pasir, rawa air asin, mangrove, padang lamun, laguna dan terumbu karang. Beberapa produk kebijakan dan kajian ilmiah mengenai lahan basah pesisir memberi batasan yang lebih luas yaitu mencakup semua jenis lahan basah yang terletak dipesisir, termasuk rawa gambut pesisir (NWC 2004). Sebagai salah satu tipe ekosistem lahan basah pesisir, ekosistem mangrove memiliki keunikan tersendiri yaitu ditumbuhi vegetasi mangrove yang keberadaannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan memiliki kemampuan beradaptasi dari penggennagan air payau (salinitas > 0,5 ppt hingga 17 ppt) hingga air laut atau salinitas > 17ppt (Nybakken 1992).

28 9 Kaitan Mangrove dengan Ekosistem Lahan Basah Pesisir lainnya Tipe ekosistem lahan basah yang pada umumnya dijumpai di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Namun tidak selalu ketiga-tiganya dijumpai dalam satu wilayah, namun demikian apabila ketigatiganya dijumpai pada suatu wilayah, maka hubungan saling menguntungkan antara ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut (Kaswadji 2001). a. Sifat Fisik Air Ekosistem mangrove sebagai ekosistem yang berada pada daerah peralihan antara daratan dan lautan menerima air dari daratan melalui aliran sungan dan pasokan air laut melalui proses pasang surut. Air dari sungai akan disaring oleh sistem perakaran mangrove, lalu menuju ekosistem padang lamun. Daun-daun pada tumbuhan lamun dapat memperlambat aliran air dan menyaring endapan yang diangkutnya sehingga kondisi perairan pada ekosistem lamun air cenderung lebih tenang dan bersih sehingga air yang akan mengalir ke ekosistem terumbu karang relatif lebih jernih dibanding kedua ekosistem sebelumnya sehingga tidak menganggu kehidupan terumbu karang. Sebaliknya, ekosistem terumbu karang sebagai pelindung bagi ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove dari hempasan gelombang dan arus yang datang dari laut lepas. b. Migrasi Fauna Migrasi fauna dapat disebabkan oleh meningkatnya predator pada suatu ekosistem sehingga mencari tempat untuk berlindung, mencari tempat untuk reproduksi dan persaingan dalam memperbutkan makanan maupun ruang. Ketika ekosistem mangrove dalam keadaan rusak atau terganggu oleh aktivitas manusia maupun oleh pengaruh alam, maka fauna yang hidupnya di sekitar mangrove akan beralih ke ekositem lamun maupun terumbu karang untuk memperoleh perlindungan. Apabila dalam ekosistem lamun, terjadi persaingan yang ketat dalam memperbutkan makanan, maka fauna-fauna disekitarnya akan bermigrasi ke darerah mangrove untuk memperoleh makanan. Ketika terjadi kekeruhan di ekosistem lamun oleh pengaruh sedimentasi, maka fauna-fauna yang hidup disekitarnya khususnya ikan akan menghindari daerah tersebut dan menempati ekosistem terumbu karang yang tidak kecerahan lebih baik.

29 10 c. Dampak Akibat Kegiatan Manusia Penebangan hutan mangrove untuk pemukiman, pebukaan lahan pertanian dan pertambakan dapat mengakibatkan abrasi sehingga mengeruhkan perairan. Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem lamun dan terumbu karang yang ada disekitarnya, proses fotosintesis akan yang berjalan akan terhambat. Selain pemanfaatan mangrove yang merusak lingkungan, pemanfaatan lamun dengan cara yang sama akan menyebabkan sedimentasi, mengingat bahwa lamun mempunyai rhizoma yang saling melintang, berfungsi untuk mengikat sedimen di dasar. Pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan akan mengancam ekosistem mangrove. Mengingat bahwa secara ekologis terumbu karang berfungsi untuk menahan gelombang dan arus yang kuat, sehingga tanpa keberadaan terumbu karang, akan mengancam ekosistem mangrove dari ombak dan arus yang kuat. Ikan di daerah terumbu karang yang memakan suatu spesies ikan di sekitar daerah lamun lama kelamaan akan habis apabila terus menerus dieksploitasi secara besar-besaran oleh manusia sehingga akan terjadi ketidak seimbangan dalam rantai makanan dan ekosistem (Lawrence 1998) Daya Adaptasi Ekosistem Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp, Xylocarpus sp, dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : a. Memiliki sel-sel khusus di daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. b. Berdaun kuat, tebal dan mengandung banyak air guna mengatur keseimbangan garam. c. Daun memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.

30 11 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen Manfaat Ekonomis dan Ekologis Ekosistem Mangrove Menurut Giesen (2006) dan Santoso (2004), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut. 1. Habitat satwa langka Ekosistem mangrove merupakan habitat jenis-jenis satwa seperti burung, mamalia, reptil, dan serangga. Lebih dari 100 jenis burung hidup di ekosistem mangrove. Pada umumnya burung migran memanfaatkan dataran lumpur (mud flat) yang berbatasan dengan hutan bakau sebagai tempat mencari makan (feeding ground). 2. Pelindung terhadap bencana alam Vegetasi mangrove dapat berfungsi sebagai pelindung garis pantai dari abrasi melaui kemampuan akar mangrove untuk memerangkap sedimen maupun fungsi fisik pohon dan akar mangrove dalam meredam gelombang dari laut. 3. Pengendapan lumpur Bentuk akar mangrove yang melebar dan rapat antar tiap cabang akar satu sama lain, secara fisik dapat membantu proses pengendapan lumpur sehingga dapat mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air karena bahan-bahan tersebut dapat terikat pada partikel lumpur. 4. Penambah unsur hara Sifat fisik ekosistem mangrove cenderung memperlambat aliran air sehingga memungkinkan terjadinya proses pengendapan padatan tersuspensi yang mengandung bahan organik.

31 12 5. Transportasi Transportasi air melalaui hutan mangrove pada beberapa daerah di Indonesia memungkinkan para nelayan untuk mengakses sumberdaya alam di perairan. Hutan mangrove juga di beberapa tempat sering dijadikan tempat untuk menyimpan/ parkir perahu. 6. Sumber plasma nutfah Sifat perairan ekosistem mangrove dengan tenang banyak dimanfaatkan oleh biota akuatik pesisir sebagai tempat memijah, sehingga ekosistem mangrove merupakan tempat penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenisjenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar. 7. Rekreasi dan pariwisata Ekosistem mangrove memiliki nilai estetika, baik alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Ekosistem mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata. 8. Sarana pendidikan dan penelitian Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang untuk kegiatan penelitian dan pendidikan. 9. Memelihara proses-proses dan sistem alami Ekosistem mangrove berperan dalam proses ekologi karena mangrove dijadikan habitat, daerah pemijahan dan mencari makanan, dalam proses geomorfologi, mangrove berperan dalam menghambat abrasi dan memeprcepat laju sedimentasi. Pada proses geologi, akar mangrove dapat membantu menstabilkan substart.

32 Memelihara iklim mikro Evapotranspirasi dari tanaman mangrove mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga. 11. Penyerapan karbon Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C0 2 ) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi seperti kayu dan daun. Pada sebagian besar ekosistem, bahan vegetasi yang sudah mati akan membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai C0 2, namun tidak demikian dengan mangrove, serasah dari hasil pembusukan akan tersimpan didalam substrat tidak lepas ke atmosfir sehingga ekosistem mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon. 12. Penyokong kelangsungan sumberdaya perikanan Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah partikel bahan organik atau detritus yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove. Fauna akuatik yang memanfaatkan detritus seperti moluska, kepiting dan cacing selanjutnya akan dikonsumsi oleh konsumen tingkat dua yang biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil. Ikan-ikan kecil tersebut selanjutnya akan dikonsumsi konsumen tingkat tiga dan seterusnya. Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya. 13. Penghasil keperluan rumah tangga Kayu mangrove dimanfaatkan sebagai kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan tradisional. 14. Penghasil keperluan industri Mangrove dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit dan pewarna

33 Kawasan Konservasi dan Fungsinya International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) 1994 mendefinisikan kawasan dilindungi (proected area) adalah suatu areal, baik darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya dan dikelola melalui upayaupaya legal atau suatu upaya yang efektif. Terdapat lebih dari 140 kategori kawasan konservasi yang dipakai di berbagai negara sehingga terdapat kesulitan dalam mengkomunikasikannya dari satu negara ke negara lain. Berdasarkan hasil proses diskusi yang panjang, sejak diperkenalkannya definisi Taman Nasional (National Park) pada tahun 1969, IUCN berhasil mengelompokkan kawasan konservasi menjadi enam kategori seperti disajikan pada Tabel 1 dan lebih lanjut, pengkategorian tersebut dikaji kembali dalam konvensi IUCN pada tahun Tabel 1 Kategori kawasan konservasi dan status perlindungan Kategori Status perlindungan I. Strict Nature Reserve/Wilderness Area, Ia = strict nature reserva; Ib = wilderness area II. National Park III. Natural Monument IV. Habitat/Spesies Management Area V. Protected Landscape/Seascape VI. Managed Resource Protected Area Sumber : (IUCN 1994) Kategori I Suatu area baik daratan maupun laut memiliki atau mewakili beberapa tipe ekosistem, karakteristik geologi, fisiologis dan / atau keberadaan suatu spesies utama yang dapat digunakan untuk penelitian dan / atau pemantauan lingkungan. Karakteristik keaslian wilayah yang dimaksud tidak dimodifikasi atau dapat dimodifikasi sedikit namun mempertahankan karakter keasliannya dan modifikasi yang dilakukan tidak megaggu proses kehidupan alami di dalamnya. Kategori II Sebuah wilayah alami baik berupa daratan dan / atau laut yang ditetapkan untuk (a) melindungi integritas ekologi satu atau lebih jenis ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang; (b) menghentikan eksploitasi atau pengalihfungsian lahan, dan (c) memberikan fasilitasi akses bagi kegiatan spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi yang berwawasan lingkungan.

34 15 Kategori III Suatu daerah yang memiliki satu atau lebih komponen alam atau budaya yang khas dan unik tertentu, memiliki nilai kelangkaan atau estetika kualitas atau signifikansi budaya. Kategori IV Suatu area berupa daratan dan atau laut yang mmeperbolehkan adanya intervensi pengelolaan aktif untuk tujuan pemeliharaan habitat dan / atau untuk memenuhi persyaratan kondisi habitat bagi suatu spesies tertentu. Kategori V Suatu wilayah pesisir (pantai dan laut), di mana interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu telah menghasilkan suatu keunikan secara estetika tertentu mencakup nilai ekologi dan budaya dan juga terkadang suatu estetika yan berkaitan dengan pemeliharaan keanekaragaman hayati. Kategori VI Suatu area yang mayoritas wilayahnya masih alami (tidak dimodifikasi) untuk memastikan perlindungan jangka panjang dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan pada saat yang bersamaan juga dapat menyediakan produk-produk alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pengelompokan kategori kawasan berdasarkan tujuan pengelolaan masing-masing kawasan bisa dijelaskan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Kategori kawasan konservasi berdasarkan tujuan pengelolaan Tujuan Pengelolaan Kategori Kawasan Ia Ib II III IV V VI Penelitian ilmiah Perlindungan satwa liar Pemeliharaan keanekaragaman spesies dan genetik Pemeliharaan jasa lingkungan Perlindungan sumberdaya alam spesifik dan perkembangan budaya Wisata dan rekreasi Pendidikan Kelestarian sumberdaya alam dalam sistem alami Memelihara sifat tradisional Keterangan: 1 = tujuan primer 2 = tujuan sekunder 3 = berpotensi menjadi sebuah tujuan dan - = tidak relevan

35 16 Istilah kawasan konservasi yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada kawasan pelestarian alam yang tercantum dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan Undangundang tersebut dapat dibuat batasan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memelihara proses alami antara unsur hayati dan non hayati yang merupakan sistem penyangga kehidupan. Kawasan konservasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) kawasan pelestarian alam dan (2) kawasan suaka alam. Secara detail pembagian tersebut berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 bisa dijelaskan sebagai berikut. 1. Kawasan Suaka Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ada dua macam yaitu (1) Cagar Alam dan (2) Suaka Margasatwa yang biasanya lebih ditujukan untuk perlindungan satwa. 2. Kawasan Pelestarian Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam ada tiga macam yaitu: (1) Taman Nasional; (2) Taman Hutan Raya; dan (3) Taman Wisata Alam. Ketentuan mengenai kawasan konservasi cukup detil dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tetapi beberapa peraturan perundangundangan lain membuat klasifikasi atau istilah yang berbeda. Hal tersebut misalnya terlihat dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah kawasan lindung dan membaginya dalam 4 jenis yaitu: (1) Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya; (2) Kawasan perlindungan setempat; (3) Kawasan rawan bencana alam; dan (4) Kawasan suaka alam dan cagar budaya. Undang-Undang No 41 tahun 1999 menggunakan istilah

36 17 kawasan hutan konservasi yang dibagi dalam tiga jenis kawasan yaitu: hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undang-Undang No 24 Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan yaitu (1) Kawasan Lindung; (2) Kawasan Budidaya; dan (3) Kawasan dengan Peruntukan Khusus. Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi diturunkan dari kriteria fungsi kawasan yang terdapat dalam Undang-Undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut adalah: 1. Terwujudnya kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan kelestarian. 2. Terjaganya fungsi kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran masyarakat di dalam dan di sekitarnya, 3. Terkendalinya keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan prosesproses alami di dalam maupun di luar kawasan konservasi. 4. Terkendalinya pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan lingkungan secara bijaksana dan berkelanjutan untuk kepentingan pembangunan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. 5. Terwujudnya pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang terdapat di dalam kawasan konservasi.

37 18 Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan besar-besaran dalam paradigma pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini antara lain dipicu oleh munculnya issu pengelolaan yang baru maupun penemuan-penemuan ilmiah berkaitan dengan sifat biosfisik seperti perubahan iklim. Perubahan tersebut terjadi di semua tingkat pengelolaan, internasional, regional, nasional, dan daerah (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah 2004). Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi. 2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Konsep valuasi ekonomi mulai muncul pada dekade tujuh puluhan yang diinisiasi oleh kalangan economic environmentalist dengan mengembangkan suatu kerangka fikir dalam menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara holistik. Kerangka fikir tersebut dimaksudkan untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan agar tetap tersedia dan bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi mendatang atau dikenal dengan istilah sustainable development concept (Adrianto 2006). Konsep nilai (value) adalah harga yang diberikan seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang atau uang yang dikorbankan sesorang untuk dan atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa. Kajian valuasi ekonomi lingkungan membahas masalah nilai lingkungan (valuating the environment) atau harga (pricing the environment) (Fauzi 2004).

38 19 Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Menurut Thampapillai in Alfian (2004) tujuan utama dari valuasi ekonomi barang-banrang dan jasa lingungan (environmental goods and services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi ekonomi lingkungan hidup harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas dalam mendeterminasi keseimbangan pembangunan dan konservasi Menurut Fauzi (2004) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Tiga ciri sumberdaya yaitu: 1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan,maka kecenderungannya akan musnah. 2. Adanya ketidakpastian, misalnya ekosistem mangrove rusak atau hilang. Akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut mengalami kepunahan. 3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Barton (1994) menyatakan bahwa untuk mengukur nilai sumberdaya maka

39 20 digunakan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values. Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi potensial dari suatu sumberdaya. Lebih lanjut Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value). Sementara nilai non use value meliputi nilai keberadaan existence values dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values). Nilai guna langsung (direct value) meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya. Nilai guna tidak langsung (indirect value) terdiri dari manfaat - manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi kepada masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh ekosistem mangrove terus menerus memberikan perlindungan kepada pantai, serta peranannya dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan terkait dengan fungsinya sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground. Nilai pilihan (optional value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity. Nilai keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan masyarakat kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai guna ini tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik untuk sekarang maupun masa datang namun semata-mata sebagai bentuk kepedulian atas keberadaan sumberdaya sebagai obyek. Contohnya nilai yang diberikan atas keberadaan karang penghalang di Taman Nasional Laut Takabonerate.

40 21 Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi selanjutnya.nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove Penilaian ekonom ekosistem mangrove sebagai pensuplai barang dan jasa di wilayah pesisir penting dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat ancaman konversi hutan mangrove untuk tujuan pemanfaatan lain. Penilaian bisa dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai yang mempunyai nilai pasar. Terdapat tiga kategori penilaian ekonomi yang digunakan dalam memecahkan masalah-masalah kebijakan wilayah pesisir (Barbier 1993) yakni : 1. Impact analysis, yaitu menilai tingkat kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh suatu kegiatan pada sistem pesisir. Misalnya penilaian kerusakan lingkungan pesisir karena tumpahan minyak. 2. Partial valuation, yaitu menilai tingkat kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh suatu yaitu penilaian alternatif alokasi sumberdaya yang menggunakan sistem atau sumberdaya pesisir. Misalnya pemilihan alternatif pemanfaatan kolom air untuk budidaya periakanan atau pariwisata bawah air. 3. Total valuation, yaitu penilaian ekonomi secara keseluruhan dari sistem pesisir. Pendekatan ini dilakukan dalam menentukan nilai ekonomi total dari ekosistem pesisir. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem mangrove merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk mangrove sebagai sumber makanan dan penyedia jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem mangrove dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/ TEV) sebagaimana disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 2.

41 22 PKSPL-IPB in Santoso et al. (2004) mendapatkan nilai manfaat total ekosistem hutan mangrove Total Economic Value (TEV), di Pulau Madura yang sebesar Rp 49 trilyun untuk wilayah madura, sebesar Rp. 329 trilyun untuk Papua, Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jawa Barat Rp. 1,36 trilyun. Perhitungan mencakup nilai pemanfaatan (use value) maupun bukan pemanfaatan (non use value). Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun. Nilai TEV ekosistem mangrove Indonesia tersebut terancam jauh berkurang akibat tingginya tingkat kehilangan luasan hutan mangrove Indonesia. Giesen (1993) menunjukkan bahwa luas mangrove Indonesia pada tahun 1992 adalah 4,13 juta hektar. Bakosurtanal (2009) mendapatkan bahwa luas mangrove Indonesia pada tahun 2009 adalah 3,2 juta hektar. Berdasarkan kedua data tersebut dapat ditarik kesimpulan selama enam belas tahun terdapat pengurangan luasan hutan mangrove Indonesia sekitar satu juta hektar. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove Nilai Manfaat Nilai Bukan Manfaat Nilai Manfaat Langsung Nilai Manfaat Tidak Langsung Nilai Pilihan Nilai Warisan Nilai Keberadaan Output yang dapat dikonsumsi langsung Manfaatmanfaat fungsional Nilai guna langsung dan tidak langsung masa datang Nilai warisan kepada generasi mendatang Nilai dari pengetahu an terhadap keberadaa Tegakan mangrove Perikanan Satwa liar Sumber pangan Bahan obatobatan Pencegah abrasi Penyedia nutrien Penyerap karbon Wisata alam Kenaekaragam an hayati Konservasi habitat Habitat Habitat Spesies langka Gambar 2 Pendekatan penghitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove Diadaptasi dari Millenium Ecosystem Assessment (2005)

42 Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Effect on Production Setiap ekosistem memiliki jasa dan produk yang dihasilkan berbeda-beda. Sebagai contoh, ekosistem mangrove mampu menyediakan jasa perlindungan dari angin laut dan abrasi serta produk akhir berupa ikan, udang, kepiting, satwa liar, kayu bakar, dan sebagainya. Dalam konteks valuasi ekonomi, jasa dan produkproduk akhir tersebut merupakan produktivitas ekosistem mangrove. Sehingga penghitungan nilai manfaat ekonomi (valuasi ekonomi) dari ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan pendekatan metode effect on production atau Brabier (1993) mengisitilahkan dengan pendekatan impact analysis. Konsep dasar dari metode valusi dengan menggunakan metode effect on production adalah pendekatan produktivitas yang dilatar belekaangi pemikiran bahwa apabila ada gangguan terhadap sistem sumberdaya alam (misal polusi), maka kemampuan sumberdaya alam untuk menghasilkan aliran barang atau jasa menjadi terganggu (injured). Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut sehingga akan mengubah pola pemanfaatannya, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006). Lebih jelas konsep valuasi ekonomi melalui pendekatan effect on production dijelaskan dalam bentuk diagram pada Gambar 3. Gangguan terhadap SDA Fungsi sistem SDA tergangu Aliran produksi barang dan jasa terganggu Perubahan produksi barang dan jasa Perubahan perilaku pemanfaatan SDA Perubahan nilai manfaat SDA Gambar 3 Konsep valuasi ekonomi SDA dengan pendekatan effect on production Sumber : Adrianto (2005)

43 24 Pendekatan produktivitas memandang sumberdaya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, langkah pertama dari pendekatan ini adalah menentukan aliran jasa dari sumberdaya alam yang dinilai kemudian dianalisis hubungannya dengan produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat. Menurut Grigalunas and Congar (1995) in Adrianto (2006), pendekatan produktivitas dapat digunakan apabila tersedia informasi mengenai aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh SDA tersebut. namun demikian, terkadang konsumen tidak terlalu perhatian terhadap aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, sehingga informasi aliran produk suatu SDA menjadi bagian yang terpenting dalam proses valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan 2.4 Perubahan Iklim dan Pemanasan Global Definisi Perubahan Iklim Terdapat banyak definisi yang telah dikembangakan baik oleh lembaga penelitian maupun pembuat kebijakan untuk untuk menyatakan perubahan iklim sebagai suatu permasalahan yang terjadi secara global dan dalam kurun waktu yang tidak singkat. Beberapa definisi perubahan iklim yang dibuat oleh badan dunia dan umum digunakan di Indonesia yaitu : a. IPCC (2001) mendefinisikan perubahan iklim sebagai any change in climate over time, whether due to natural variability or as a result of human activity. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai setiap perubahan pada iklim dari waktu ke waktu, baik karena variabilitas alam atau akibat aktivitas manusia. b. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC 2001), perubahan iklim didefinisikan sebagai a change of climate that is attributed directly or indirectly to human activity that alters the composition of the global atmosphere and that is in addition to natural climate variability observed over comparable time periods. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak

44 25 langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer global, mempengaruhi variabilitas iklim alami serta diamati selama periode waktu yang dapat dibandingkan. c. Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2007), perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial). Perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim, termasuk fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat terjadi di dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan iklim global. d. Mudiayarso (2010), pakar iklim Institut Pertanian Bogor mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka waktu panjang (lima puluh sampai seratus tahun) yang dipengaruhi kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Ilustrasi yang diberikan yaitu hangatnya suhu udara pada pertengahan Oktober 2008 di Surabaya, Jakarta bukan termasuk perubahan iklim. Hal tersebut dikarenakan pada masa itu jarak anatara matahari dan bumi paling dekat dibandingkan dengan periode lainnya. Periode terdekat inilah yang mangakibatkan suhu permukaan bumi di berbagai wilayah tropis mengalami kenaikan tajam. Ketika bumi menjauhi matahari maka suhu permukaan bumi akan menurun lagi. Dari ilustrasi tersebut diketahui bahwa kejadiannya bersifat temporer dan alami dan tidak dipengaruhi oleh gas rumah kaca di atmosfer. Fenomena tersebut lebih tepat disebut sebagai penyimpangan atau anomali iklim, demikian juga halnya dengan fenomena El Nino (musim kemarau yang berkepanjangan)

45 26 Pada penelitian ini definisi perubahan iklim yang digunakan mengacu pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2007) yaitu perubahan variabilitas unsur iklim dalam kurun waktu panjang (lima puluh hingga seratus tahun) yang disebabkan oleh aktivitas antropogenik. Apabila dalam periode waktu yang panjang (lima puluh hingga seratus tahun) terlihat adanya kecenderungan perubahan nilai dari unsur iklim (seperti suhu udara, curah hujan) dari waktu ke waktu dengan fluktuasi yang semakin membesar atau kejadian anomali iklim semakin sering jika dibanding periode waktu sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa perubahan iklim sudah terjadi sebagaiamana diilustrasikan pada Gambar 4. Gambar 4 Ilustrasi perubahan iklim yang ditunjukkan oleh perubahan rata-rata dan keragaman suhu dari dua periode waktu yang panjang Sumber : Diposaptono et al.( 2009) Salah satu unsur iklim yang berfungsi sebagai pengendali cuaca adalah suhu udara. Fakta menunjukkan temperatur udara rata-rata pada tahun 1850 jauh berubah jika dibandingkan dengan situasi saat ini. Bolin et al. (1986) in Diposaptono (2009) menunjukkan perubahan suhu udara antara tahun 1900 sampai dengan 1940, telah terjadi terjadi kenaikan suhu udara, walaupun pada tahun 1940 sampai dengan 1970 pernah mengalami penurunan dan kemudian naik lagi. Model yang dikembangkan IPCC untuk menduga anomali suhu setelah tahun 2000 dikembangkan dengan memasukkan faktor tekanan alam dan aktivitas manusia (antropogenik) sebagaiamana ditunjukkan pada Gambar 5.

46 27 Gambar 5 Variasi perbedaan suhu rata-rata permukaan bumi Sumber : IPCC (2007) Menurut UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009), kenaikan suhu udara rata-rata dipicu semakin tingginya konsentrasi GRK di atmosfer diantaranya adalah karbon dioksida (CO 2 ). Hasil penilitian UNESCO, 1992 menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara konsentrasi CO 2 di udara dengan suhu udara. Semakin tiggi konsentrasi CO 2 di atmosfer kian tinggi pula suhu udara rata-rata sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6 Perubahan suhu udara dan konsetrasi GRK di udara selama 1000 tahun Sumber : (diunduh Januari 2011)

47 Perubahan Iklim di Indonesia Sebagaimana definisi dari perubahan iklim, berikut ini akan dijelaskan kondisi dari beberapa unsur iklim di Indonesia yang dapat dijadikan indikasi telah terjadi perubahan iklim. a. Perubahan Suhu Hasil studi UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009) di beberapa kota pesisir di Indonesia, mendapatkan bahwa Indonesia tidak luput dari perubahan iklim. Hasil studi menunjukkan bahwa suhu udara di Jakarta dan Semarang terus mengalami kenaikan tajam sejak tahun Pada tahun 1865 rata-rata suhu udara bulanan di dua kota tersebut adalah 25,7 o C. Namun pada tahun 2000 suhu rata-rata udara bulanan mencapai 27,5 o C. Dalam waktu sekitar 135 tahun terdapat kenaikan suhu rata-rata bulanan sebesar 2 o C. Hasil kajian tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian dari NOAA (2008) yang mengkaji data kenaikan suhu permukaan air laut di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 1950 sampai dengan tahun Gambar 7 Kecenderungan kenaikan suhu udara di Jakarta dan Semarang Sumber : UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009)

48 29 b. Perubahan Curah Hujan Selain kenaikan suhu permukaan bumi, indikator lainnya dalam perubahan iklim adalah perubahan pola curah hujan. Namun demikian secara global data curah hujan tidak terdokumentasi dengan baik sehingga publikasi ilmiah mengenai tren perubahan curah hujan dunia tidak dapat ditampilkan pada Bab ini. Naylor et al. (2006) in Diposaptono et al. (2009) mengemukakan bahwa perubahan iklim mengakibatkan perubahan pola curah hujan. Perubahan tersebut ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan. Sedangkan akhir musim hujan terjadi lebih cepat. Di sisi lain, walaupun musim hujan itu berlangsung singkat namun memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Dengan demikian pendeknya periode musim hujan membuat periode musim kemarau lebih panjang. Hal ini terutama terjadi di kawasan selatan khatulistiwa. Gambar 8 Perubahan pola curah hujan sebagai indikator perubahan iklim Sumber : Naylor et al.(2006) in Diposaptono et al. (2009) Informasi dari BMG Serang (2010) menyebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat anomali curah hujan di daerah Pantai Utara Banten. Curah hujan semakin tinggi namun lamanya musim penghujan semakin pendek dan lama musim kemarau semakin panjang.

49 30 c. Kenaikan Muka Laut dan Pemunduran Garis Pantai Indikator perubahan iklim lainnya adalah kenaikan muka laut. Walaupun masih menjadi perdebatan antara ilmuwan mengenai penyebab kenaikan muka laut, namun demikian disepakati bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan paras muka laut secara eustasis melalui pemuaian massa air karena suhu permukaan laut yang meningkat serta mencairnya es di kutub. Kenaikan paras muka laut yang bersifat lokal dapat disebabkan oleh lima faktor berikut. 1. Penurunan kerak bumi (crustal subsidence) atau naiknya permukaan tanah akibat aktivitas tektonik (neotectonic). Contoh gempa dasar laut yang terjadi di Pulau Simeulue, Pulau Nias dan Mentawai mengakibatkan dasar laut menjadi naik, sehingga seolah-olah air laut menjadi dangkal (penurunan muka laut). 2. Penurunan seismik permukaan tanah akibat adanya gempa bumi. Contoh terjadi di Pantai Barat NAD, yang mengalami pemurunan permukaan tanah akibat gempa bumi 26 Desember Tanah yang turun menyebabkan seolah-olah muka air laut naik. 3. Penurunan yang terjadi secara alami akibat adanya konsolidasi atau pemampatan tanah yang masih labil atau sedimen lunak di bawah permukaan. Contoh di pantai utara Jawa seperti di DKI Jakarta dan Semarang, tanahnya turun (land subsidence) maka seolah-olah air laut naik. 4. Penurunan tanah akibat aktivitas manusia seperti beban bangunan, pengambilan air tanah berlebihan serta ekstasi minyak dan gas bumi. Contoh terjadi di Jakarta. Karena adanya struktur bangunan dan pengambilan air tanah yang berlebihan mangakibatkan tanah turun tidak kuat menaggung beban bangunan sehingga solah-olah air laut naik. 5. Variasi yang disebabkan fluktuasi iklim sebagai konsekuensi faktor samudera seperti La Nina. Diduga La Nina akan membawa aliran masa air ke wilayah Indonesia. Aliran air hangat menyebabkan pemuaian air laut dan juga dengan barasosiasi dengan tekanan rendah menyebabkan mudahnya proses penguapan atau konveksi. Namun demikian faktor La Nina ini masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

50 31 Hasil kajian NASA (2001) dapat memprediksikan tren kenaikan muka laut global dari tahunn 2000 hingga tahun Prediksi ini didasarkan pada hasil pengukuran sejak tahun 1990 hingga Adapun proyeksi kenaikan muka laut mengikuti skenario yang dikembangkan oleh IPCC (2007) pada Gambar 9. Hasil pengukuran prediksi kenaikan muka laut sangat bervariasi tergantung pada metode simulasi yang digunakan. Skenario yang dianggap paling mungkin terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata akan mencapai 60 sentimeter pada tahun 2100 dengan rentang nilai kenaikan muka laut 23cm hingga 96cm (Gambar 10). Gambar 9 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Sumber : (diunduh 2009) Gambar 10 Simulasi kenaikan muka laut rata-rata tahun 2000 dan 2100 Sumber : IPCC (2001)

51 32 Sebagian besar wilayah pesisir Indonesia akan terpengaruh oleh kenaikan muka air laut (lihat Gambar 11). Hal ini terutama disebabkan karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang dan beberapa daerah memiliki topografi wilayah pesisir yang landai. Kenaikan muka laut antara lain akan menyebabkan kerusakan ekologis wilayah pesisir, kehilangan lahan, intrusi air laut, dan kerusakan sektor-sektor produktif seperti konstruksi jalan, jembatan, bangunan, dan lahan pertanian. Publikasi Kelompok Kerja (Working Group) II IPCC tahun 2001 mengungkapkan bahwa kenaikan muka laut hingga 60 sentimeter akan menyebabkan Indonesia kehilangan sekitar km2 wilayah dan mengancam kehidupan sekitar 2 juta penduduk. Hal ini menyebabkan isu penaikan muka laut menjadi salah satu isu utama dalam perubahan iklim global karena memiliki dampak ekonomi nasional yang sangat besar. Gambar 11 Perubahan tinggi muka laut tahun Sumber : IPCC (2001) Beberapa penelitian telah membuktikan adanya dampak dari naiknya muka laut terhadap pemunduran garis pantai baik kenaikan muka air laut yang bersifat global maupun lokal kejadiannya. Trident Engineering (1979) in Sutrisno (2005) menjelaskan bahwa hasil penelitian di Ocean City Maryland USA menunjukan

52 33 pada wilayah ini telah terjadi pemunduran garis pantai sebesar 0,58m per tahun (pada pengamatan selama 130 tahun) yang disebabkan oleh naiknya muka air laut. Akan tetapi pemunduran garis pantai tidaklah sama pada setiap tahunnya. Pada periode tahun 1850 sampai dengan 1965 terjadi pemunduran garis pantai yang ekstrim dibandingkan dengan laju pemunduran yang terjadi pada tahun-tahun lainnya. Ren (1993) in Sutrisno (2005) dalam penelitiannya di Delta Sungai Kuning Cina juga membuktikan adanya pemunduran garis pantai sejaun 20km dan hilangnya lahan pantai seluas 1400km 2 selama 137 tahun ( ) yang disebabkan oleh fenomena kenaikan muka laut. 2.5 Analisis SWOT Menurut Salusu (1996) analisis SWOT adalah analisis yang mencoba mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Lebih lanjut Salusu (1996) menyatakan bahwa analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matrik yaitu: MATRIK SWOT atau MATRIK TOWS. Dalam penelitian ini digunakan Matriks SWOT dengan mendahulukan menaggulangi permasalahan baik faktor internal yaitu maupun eksternal yaitu ancaman. Rangkuti (2004) menyatakan bahwa matriks SWOT menghasilkan 4 strategi yaitu: 1). Strategi SO (Strategi kekuatan-peluang), menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, 2). Strategi WO (Strategi kelemahan-peluang), menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang yang ada, 3). Strategi ST (Strategi kekuatan-ancaman), menciptakan strategi dengan memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal, dan 4). Strategi WT (strategi kelemahan-ancaman), didasarkan pada kegiatan yang bersifat Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi

53 34 dan kebijakan (Marimin 2004). Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi suatu institusi melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal. Selanjutnya Marimin (2004) menjelaskan proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matrik SWOT. 3. Tahap pengambilan keputusan.

54 35 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian prediksi dampak kenaikan muka lauit ini dilakukan di Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) dan kawasan penyangga di sekitarnya dengan batasan wilayah studi adalah Kelurahan Sawah Luhur Kecamatan Kasemen Kota Serang Banten, yaitu desa yang berbatasan langsung dengan CAPD. Pegumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada Agustus 2009 sampai dengan Maret Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Citra Ikonos resolusi pixel 3 x3 m, perekaman tahun 2009 Peta topografi wilayah studi skala 1 : , interval kontur 25 cm. Peta topografi didapatkann melalui pengukuran lapangan secara langsung dengan menggunakan theodolit. Peta tata guna lahan saat ini Kuisioner Alat yang digunakan : Software GIS ER Mapper versi 6.4 Global Positioning System (GPS) untuk menentukan titik koordinat Kamera Binokuler Meteran gulung Tali Recorder Tongkat skala untuk mengukur tinggi pasang surut 3.3 Metode Analisis Terdapat tiga hal utama yang menjadi perhatian dalam penelitian ini yaitu: 1. Perubahan ekologi sebagai dampak kenaikan muka laut terhadap CAPD dan tambak sekitarnya

55 36 2. Menghitung kerugian ekonomi perubahan ekologi CPAD dan tambak sekitarnya akibat kenaikan muka laut 3. Mengidentifikasi upaya peningkatan resiliensi dan mitigasi yang telah ada Ketiga informasi di atas sangat dibutuhkan untuk membantu semua pihak dalam merencanakan strategi yang sesuai dalam menghadapi perubahan iklim dan degradasi lingkungan lainnya. 3.4 Analisis Perubahan Bentang Alam Kondisi status ekologi atau bentang alam yang menjadi fokus kajian adalah pemunduran garis pantai dan wilayah-wilayah yang tergenang permanen akibat kenaikan muka air laut. Data yang dibutuhkan untuk menganalisis perubahan bentang alam di lokasi kajian adalah: Citra Ikonos resolusi pixel 3 x3 m, perekaman tahun 2009 Peta topografi wilayah studi skala 1 : , dengan interval kontur 25 cm Peta tata guna lahan saat ini Profil melintang vegetasi Keanekaragamanjenis fauna di lokasi kajian Analisis penggenangan daratan dilakukan dengan cara menumpuk (overlay) peta kontur, tata guna lahan dan skenario penggenangan untuk selanjutnya dilanjutkan dengan analsis kerugian ekonomi. 3.5 Analisis Kerugian Ekonomi Analisis kerugian ekonomi merupakan suatu alat untuk menghitung kerugian sebanarnya dengan menghitung nilai moneter dari suatu barang atau jasa yang disediakan. Konsep 'nilai' value, dan 'penilaian' valuation memiliki makna dan interpretasi yang berbeda. Sebuah nilai dapat didefinisikan berdasarkan nilai tukarnya (harga pasar, market price), nilai utilitas (nilai guna, use value) atau nilai penting (apresiasi, appreciation) sedangkan penilaian adalah proses mengungkapkan nilai untuk barang atau jasa yang dapat dihitung dengan uang (Farber et al, 2002).

56 37 Jasa ekosistem adalah " manfaat dari ekosistem yang dapat dirasakan ayau dimanfaatkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (Millennium Ecosystem Assessment 2005). Fungsi ekosistem didefinisikan sebagai "kapasitas ekosistem dan komponen-komponen baik biotik maupun abiotik di dalamnya untuk menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia baik secara langsung atau tidak langsung (de Groot et al, 2002). Total nilai suatu ekosistem dapat ditentukan melalui nilai ekologis, sosial budaya dan ekonomis. Penghitungan nilai ekologis dilakukan melihat peran suatu spesies, misalnya peran hutan dalam mencegah erosi, mengatur sistem iklim global. Nilai sosial-budaya dihitung dengan melihat suatu sistem sosial dapat memberikan manfaat non-materi yang berkontribusi terhadap kesejahteraan manusia seperti kesehatan fisik dan mental. Nilai ekonomi dihitung dengan melihat kontribusi suatu sistem ekonomi terhadap kemakmuran materi dan kekayaan, diukur melalui produktivitas, ketenagakerjaan, dan pendapatan (de Groot et al, 2006) Teknik Valuasi Ekonomi Teknik valuasi ekonomi terdiri dari tiga tahap yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya; (2) melakukan kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi sumberdaya dan (3) penjabaran pilihan alternatif pengelolaan. Ilustrasi penilaian nilai ekonomi total ditunjukan pada Gambar 2. Dampak ekologis yang berlanjut pada kerugian ekonomis terhadap keberadaan hutan mangrove sebagai komposisi utama dari CPAD dihitung dengan mengguakan nilai ekonomi total hutan mangrove yang perhitungannya didasarkan pada TEV (Total Economic Value). Hasil simulasi wilayah yang terendam juga akan menggambarkan luas tambak yang tidak dapat berproduksi lagi akibat kenaikan paras laut. Kerugian kegiatan perikanan budidaya yang timbul dikonversi menjadi nilai ekonomi dengan menghitung luas tambak yang hilang dikalikan potensi produksi rata-rata. Data potensi produksi didapatkan dari Dinas Kelautan dan Perikana setempat dan hasil wawancara.

57 38 Kusumastanto (2000) menyatakan perhitungan TEV hutan mangrove dapat dihitung melalui persamaan dapat dihitung dengan menjumlahkan semua nilai pemanfaatan dan nilai bukan pemanfaatan dari ekosistem mangrove melalui persamaan berikut. TEV = UV+ NUV keterangan TEV : Total Economic Value, nilai ekonomi total hutan mangrove UV : Use Value, nilai pemanfaatan baik langsung (secara langsung dapat dimanfaatkan seperti ikan, kayu, kepiting) maupun tidak langsung (barang dan jasa yang berada dalam hutan mangrove dan tidak secara langsung dapat dimanfaatkan seperti sumber pakan, pelindung ekosistem) NUV : Non Use Value, nilai bukan manfat berupa nilai keberadaan dan nilai warisan Tidak semua nilai pemanfaatan dan bukan pemanfaatan dihitung dalam penelitian ini, hanya beberapa pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan langsung dan akan terpengaruh dari akibat kenaikan muka laut saja yang dihitung sebagaiaman disajikan pada Tabel 3. Konsekuensi yang paling mungkin dari nilai kerugian ekonomi yang dihasilkan pada setiap skenario kenaikan muka laut adalah lebih rendah dari nilai yang sebenarnya atau under estimate. a. Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam menghitung kerugian ekonomi dalam penelitian ini mencakup data primer yang didapatkan dari hasil wawancara, pencatatan hasil produksi petambak dan pencatatan langsung jumlah dan jenis hasil perikanan tangkap baik yang dilakukan di pantai maupun penangkapan ikan dengan menggunakan bubu yang di pasang di pintu air tambak. Data sekunder berupa data monografi desa dan produksi perikanan yang didapatkan dari pemerintah Kelurahan Sawah Luhur dan Dinas-dinas terkait di Kota Serang. Detil klasifikasi data yang dibutuhkan dalam menghitung TEV disajikan pada Tabel 4.

58 39 Tabel 3 Kategori Jasa Lingkungan Nilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove yang dihitung dalam penelitian Contoh produk & jasa lingkungan 1. Nilai Manfaat (Use Value) Indikator Biofisik Indikator pengukuran Teknik Valuasi Nilai manfaat langsung (Direct use) Hasil perikanan Biomassa Jumlah dipanen per tahun Metode harga pasar (market price method) Hasil kehutanan Biomassa Jumlah panen per tahun Metode harga pasar (market price method) Nilai manfaat tidak langsung (Indirect use services) Kontrol abrasi Penyerap karbon Tutupan vegetasi Biomassa vegetasi Luas lahan tersisa Ton CO 2 yang diserap Replacement cost method Factor income method Wisata alam - Travel cost Pendidikan dan penelitian 2. Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) Nilai pilihan (Option value) Nilai warisan & nilai keberadaan Keanekaragaman hayati & Konservasi habitat burung migran Budaya dan agama - Travel cost Nilai perhektar mangrove untuk fungsi keanekaragaman hayati (IUCN 1994) Capturable biodiversity Willingness to Pay Tabel 4 Jenis data yang diperlukan dalam menghitung kerugian ekonomi dengan pendekatan effect on Production No Kebutuhan Data Jenis Data Teknik Pengumpulan 1 Hasil (produk) pemanfaatan : ikan, Primer Survei kepiting, satwa liar, udang, dsb. 2 Harga produk Primer Survei 3 Pendapatan Primer Survei 4 Tipologi Sosek Responden Primer Survei 5 Frekuensi atau upaya penangkapan (effort) Primer dan Survei dan Koleksi per tahun Sekunder 6 Produksi total kawasan per tahun (ikan, udang, kepiting, produksi padi, dsb) Sekunder Koleksi 7 Jumlah pemanfaat ekosistem (nelayan, Primer dan Survei dan Koleksi pencari kayu, penangkap satwa liar, dsb) Sekunder

59 40 b. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk menghitung kerugian ekonomi melalui pendekatan valuasi ekonomi dalam penelitian ini diawali dengan studi literatur terhadap beberapa data statistik yaitu monografi desa, produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap yang relevan dengan studi. Beberapa laporan hasil studi lain yang berkaitan dengan tujuan dan isi dari studi ini antara lain data keanekaragaman hayati. Penilaian singkat atau Rapid Rural Appraisal (RRA) dilakukan sebelum melakukan pengukuran secara mendalam di lapangan. Penilaian singkat ditujukan untuk mengetahui secara umum potensi dan bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir di lokasi penelitian, menentukan target responden dan penyesuaian isi kuisioner. Pengumpulan data primer dengan cara pengukuran secara langsung ditujukan untuk analisis vegetasi guna menentukan jumlah kerapatan dan jenis mangrove per hektar. Pengumpulan data melalui wawancara ditujukan untuk menggali informasi nilai manfaat dan biaya yang dikeluarkan dari pemanfaatan ekosistem mangrove. Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan untuk menjaring informasi yang lebih detil dan akurat dengan daftar pertanyaan telah ditentukan sebelumnya sebagaimana kuisioner Lampiran 3. Responden juga diberikan kesempatan untuk menjelaskan hal-hal lain yang relevan misalnya informasi yang terkait dengan analisis pemangku kepentingan (stakeholder). Penentuan responden dilakukan berdasarkan jenis pekerjaan dan pola pemanfaatan terhadap ekosistem mangrove di CAPD dan kawasan penyangga di sekitarnya. Individu responden untuk setiap mata pencahariannya ditentukan secara insidentil yaitu tergantung siapa yang dapat ditemui dan diwawancara pada saat itu, selain itu individu responded juga ditentukan oleh informasi dari responden sebelumnya (snow bowling method). Hal ini dimaksudkan agar terjadi keterkaitan yang lebih mendalam mengenai status dan karakteristik responden yang satu dengan yang lainnya. Total jumlah responden pemanfaat ekosistem mangrove sebanyak tiga puluh orang, terdiri dari nelayan, petambak (pekerja dan pemilik tambak), pencari satwa, ibu rumah tangga, aparat desa dan pemanfaat kayu (pengumpul kayu bakar). Masing-masing untuk setiap jenis bentuk pemanfaatan diwakili oleh lima orang responden.

60 41 c. Penyusunan Kuisioner Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini, mengacu pada modul valuasi ekonomi yang dikembangkan oleh Adrianto (2006). Secara umum kuisioner ditujukan untuk menggali informasi jenis pemanfaatan ekosistem mangrove, berapa nilai rupiah yang didapatkan atau dikeluarkan dari pemanfaatan tersebut serta penghargaan yang diberikan terhadap keberadaan ekosistem mangrove. Lembar kuisioner disajikan pada Lampiran Analisis Solusi a. Kapasitas Adaptasi Masyarakat Kemampuan adaptasi masyarakat adalah kemampuan masyarakat dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menurunkan tingkat kerentanan, mengurangi kerusakan, memanfaatkan peluang, dan kesanggupan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. UNDP (2004) mengelompokkan lima indikator untuk menilai kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim suatu wilayah. Indikator tersebut meliputi kemampuan ekonomi, kemampuan teknologi, keahlian dan pengetahuan yang tersedia, infrastruktur, kelembagaan, modal sosial, sumberdaya manusia, dan perencanaan. Informasi setiap indikator tersebut umumnya diperoleh dari wawancara dan sebagian dari data-data demografi yang bisa diperoleh dikantor BPS setempat. Tabel 5 Enam modal utama indikator kapasitas pengurangan risiko bencana No Jenis aset Keterangan 1 Sumberdaya Alam (Natural Capital) Perlindungan oleh alam (natural protection) terhadap becana yang mungkin ditimbulkan oleh keniakan muka laut 2 Modal Ekonomi/ Pendanaan (Financial Capital) 3 Modal Sumberdaya Manusia (Human Resources) Kemampuan serta akses finansial masyarakat dan pemerintah setempat ketika terhadap becana yang mungkin ditimbulkan oleh keniakan muka laut Kapasitas masyarakat setempat dalam mengurangi risiko bencana dan menghadapi bencana 4 Modal Sosial (Social Capital) Tingkat kepedulian dan kebersamaan antar sesama masyarakat di suatu desa atau hubungan dengan masyarakat di desa sekitar 5 Modal Politik (Political Capital) Arah kebijakan pemerintah dalam antisipasi kebencanaan yang disebabkan perubahan iklim secara umum dan kenaikan muka laut secara khusus. Keterangan : dimodifikasi dari UNDP, 2004

61 42 b. Strategi Pengelolaan Model pengelolaam ekosistem pesisir yang dikembangkan menggunakan pendekatan ekologi dan sosial atau dikenal dengan ecological planning method. Model ini merupakan suatu bentuk perencanaan yang memanfaatkan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kawasan. Untuk membantu memahami kekompleksan informasi biofisik dan sosial yang dikaji dalam penelitian ini, maka digunakan alat analisis SWOT.

62 43 4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Batas Wilayah Penelitian dilakukan di kawasan Cagar Alam Pulau Dua dan kawasan penyangga sekitarnya yang secara administratif terletak di Kelurahan Sawah Luhur, Kota Serang, Provinsi Banten. Namun dikarenakan statusnya merupakan suatu kawasan lindung dengan status Cagar Alam, maka pengelolaan CAPD langsung oleh Departemen Kehutanan melalui Seksi Konservasi Wilayah I Serang, Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam. Gambar 12 Peta Penggunaan Lahan di Provinsi Banten keterangan : tanda panah menunjukkan lokasi penelitian (Sumber : PKSPL IPB, 2009) Secara geografis, Pulau Dua terletak pada 06 o o LS dan 106 o o dan masuk dalam wilayah administratif Kelurahan Sawah Luhur. Kelurahan Sawah Luhur berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Cagar Alam Pulau Dua di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Banten dan Margaluyu, Kelurahan Kilasih di sebelah barat daya, dan Kelurahan Terumbu di sebelah tenggara.

63 44 Pulau dua merupakan pulau atol (karang) yang terpisah dari Pulau Jawa oleh selat selebar sekitar 300m. Proses sedimentasi yang terjadi secara terus menerus sejak tahun 1885 sampai dengan 1995 (Hoitink et al. 2011) telah menyebabkan area yang sebelumnya berupa selat berubah menjadi daratan yang ditumbuhi oleh vegetasi mengrove dan menyebabkan Pulau Dua menjadi tersambung dengan Pulau Jawa. Sejak tahun 1995 suplai sedimen ke arah CAPD yang terjadi akibat abrasi di bagian timur CAPD terhenti karena daratan tersebut cenderung stabil. Proses sedimentasi di CAPD berubah menjadi abrasi selain karena sedikitnya suplai sedimen juga keberadaan mengrove sebagai perangkap sedimen (sediment trap) sudah sangat minim akibat konversi menjadi lahan tambak. Gambar 13 Peta area cakupan penelitian Sumber : Modifikasi Google Earth (2009) Gambar 14 Peta wilayah Kelurahan Sawah Luhur Sumber : Pemerintah Kelurahan Sawah Luhur

64 45 Total luas wilayah Kelurahan Sawah Luhur adalah hektar, didominasi oleh peruntukan sebagai areal pertanian (sawah dan ladang) 900 ha (47,52%), areal pertambakan 515 ha (27,19%) dan Cagar Alam Pulau Dua 30 ha. Jenis dan persentase penggunaan lahan Kelurahan Sawah Luhur disajikan pada Tabel 5. Terdapat sedikit perbedaan dalam luasan tambak. Berdasarkan hasil analisis citra didapatkan luasan tambak adalah 535,60 ha. Hal ini dapat ditoleransi karena data dari pemerintah Kelurahan Sawah Luhur merupakan data tahun 2009 dan kemungkinan besar belum perbarui melalui pengukuran secara langsung, sehingga dalam penelitian ini luasan tambak yang digunakan adalah luasan berdasarkan hasil analisis citra yaitu 535,60ha. Tabel 6 Jenis dan persentase penggunaan lahan No Jenis Penggunaan Lahan Luas Areal Persentase (Ha) (%) 1. Tanah Desa 41,3 2,18 2. Kantor Desa 0,5 0,03 3. Areal Pertanian (Sawah & Ladang) ,52 4. Areal Tambak ,19 5. Cagar Alam 30 1,58 6. Lain-lain 407,2 21,49 Jumlah Sumber: Monografi Kelurahan Sawah Luhur, Aksesibilitas dan Transportasi Perjalanan menuju Kelurahan Sawah Luhur dapat ditempuh melalui jalur darat dengan kendaraan roda empat, dengan waktu tempuh sekitar satu jam dari Kota Serang. Sebagaimana layaknya desa-desa yang berada di pinggiran kota, akses transportasi menuju Kelurahan Sawah Luhur tidaklah menjadi suatu kendala karena juga dilengkapi dengan fasilitas angkutan umum dengan kualitas jalan raya berupa aspal. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat aksesibilitas dalam menjangkau Kelurahan Sawah Luhur tergolong ringan. Perjalanan menuju Pulau Dua dapat dilakukan melalui perjalanan darat melewati Kelurahan Sawah Luhur terlebih dahulu lalu melewati areal pertambakan. dapat dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda dua atau berjalan kaki dengan jarak sekitar 2km. Perjalanan melalui laut dengan menggunakan sampan ataupun perahu mesin dapat dilakukan dengan menyusuri

65 46 Laut Jawa melalui Pelabuhan Karang Hantu dengan jarak tempuh laut sekitar 7km ataupun dermaga Kelurahan Kemayungan dengan jarak tempuh laut sekitar 5km. Biaya sewa kapal yang dikeluarkan baik dari Karang Hantu maupun Kemayungan tidak jauh berbeda yaitu sekitar Rp untuk satu kali trip pulang dan pergi. 4.3 Kondisi Klimatologi Iklim di wilayah Kota Serang termasuk tropis dengan musim hujan antara November April dan musim kemarau antara Mei Oktober. Curah hujan ratarata 3,92 mm/hari. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 25,8º C 27,6º C. Temperatur udara minimum 20,90º C dan maksimum 33,8º C. Tekanan udara dan kelembaban nisbi rata-rata 81,00 mb/bulan. Kecepatan arah angin rata-rata adalah 2,80 knot, dengan arah terbanyak adalah dari barat 4.4 Nilai Penting Cagar Alam Pulau Dua Hasil pengamatan Wetlands International sejak tahun 1996 mendapatkan bahwa CAPD merupakan habitat penting kedua bagi koloni burung air dan burung migran setelah Pulau Rambut untuk wilayah pesisir Jakarta dan Banten. Perannya yang begitu penting tersebut telah menjadi perhatian sejak pemerintahan Kolonial Belanda melalui ditetapkannya kawasan Pulau Dua sebagai kawasan lindung. Sejarah penetapan Pulau Dua sebagai Cagar Alam dimulai pada tahun 1931 dengan perincian sebagai berikut: Tahun 1931, ditetapkan sebagai Cagar Alam oleh Pemerintah Hindia Belanda Tahun 1937, ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa seluas 8 Ha melalui KepGub Jenderal Hindia Belanda 30 Juli 1937 No. 21 Stbl 474. Saat penetapan tersebut, Pulau Dua dan Pulau Jawa masih dipisahkan oleh selat sempit selebar 300 m (Sulaeman 1995). Tahun 1984, SK Menteri Kehutanan No. 253/Kpts-II/1984 penetapan Pulau Dua sebagai Cagar Alam dengan luas 30 Ha, mencakup areal Suaka Margasatwa 8 Ha dan tanah timbul yang ditumbuhi Avicennia.

66 47 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Potensi, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Deskripsi potensi, peluang dan ancaman yang akan dibahas terkait dengan topik penelitian meliputi aspek ekologi dan sosial ekonomi Potensi a. Profil vegetasi di kawasan CAPD dan Kelurahan Sawah Luhur Sebagian besar tipologi pesisir Kelurahan Sawah Luhur merupakan pantai lumpur, lumpur berpasir dan pantai berpasir. Berdasarkan sisa-sisa vegetasi yang dijumpai di lokasi kajian dan informasi masyarakat setempat diketahui bahwa mulai dari Kelurahan Sawah Luhur ke arah barat sampai dengan Pelabuhan Karang Hantu merupakan ekosistem mangrove yang bervegetasi cukup rapat dari jenis Api-api Avicennia marina, Aviceniaa spp, Bakau Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, tengal Ceriops decandra, Bruguiera spp, dan berembang Sonneratia spp. Total jenis tumbuhan yang ditemui di CAPD dan areal tambak sekitarnya adalah 85 jenis dengan jenis yang dominan adalah api-api (Avicennia marina), bakau (Rhizopora apiculata), dan kayu hitam Diospyros maritime (Noor 2001) Sebaran jenis vegetasi dominan di CAPD disajikan pada Gambar 15. Gambar 15 Sebaran vegetasi dominan di CAPD

67 48 Sejarah kerusakan hutan mangrove di Kelurahan Sawah Luhur diawali konversi lahan secara besar-besaran menjadi tambak udang pada awal tahun an. Hal ini merupakan bagian dari euphoria pembangunan tambak udang yang terjadi hampir di seluruh pesisir utara Jawa. Di Kelurahan Sawah Luhur sendiri sampai dengan tahun 2001 masih beroperasi tiga perusahaan budidaya udang windu secara intensif. Serangan virus white spot secara besar-besaran serta faktor keamanan saat panen menjadi penyebab utama terhentinya industri budidaya udang windu tersebut. Saat ini sebagian besar tambak udang yang ada di Kelurahan Sawah Luhur dimanfaatkan untuk budidaya bandeng, karena bandeng lebih toleran terhadap kondisi perubahan kualitas air dan modal yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan usaha budidaya udang. Konversi ekosistem mangrove manjadi tambak telah merubah profil serta kondisi vegetasi pesisir Kelurahan Sawah Luhur. Pada umumnya mangrove yang tersisa hanya di CAPD dan beberapa koloni kecil di zona depan areal pertambakan yang berbatasan dengan jalan raya. Berdasarkan informasi penduduk setempat beberapa tahun setelah konversi hutan mangrove menjadi tambak terjadi suksesi alami, yaitu tumbuhnya bibit mangrove baru di dalam petakan tambak, khususnya jenis Api-api. Namun demikian petambak merasa terganggu dengan kehadiran permudaan alami mangrove tersebut karena dianggap dapat mengurangi luasan area budidaya dan menyulitkan saat pemanenan ikan. Pengamatan vegetasi di bagian barat CAPD yang dilakukan pada bulan Oktober 2009 dan teridentifikasi bahwa pada pesisir Kelurahan Sawah Luhur setidaknya terdapat empat (4) tipe/formasi vegetasi yaitu 1) Mangrove alami; 2) Mangrove kagiatan rehabiltasi, 3) Vegetasi areal pertambakan (mangrove dan tanaman pantai); dan 4) Vegetasi di sekitar desa. Ilustrasi kondisi vegetasi di Kelurahan Sawah Luhur sebelum dan sesudah konversi menjadi pertambakan berdasarkan hasil pengamatan langsung dilapangan, analisis substart dan wawancara penduduk disajikan pada Gambar 16. Formasi vegetasi di pesisir Kelurahan Sawah Luhur bagian terdepan dalam gambar bawah diberikan notasi B (berbatasan langsung dengan CAPD) atau dibagian utara yang sebagian besar jenis substratnya merupakan pantai lumpur berpasir adalah formasi mangrove yang didominasi oleh jenis api-api Avicennia

68 49 marina. Jenis mangrove ini tumbuh subur dengan kerapatan tinggi, dalam plot 10m x 10m dijumpai 53 tegakan jenis Api-api. Jenis mangrove lainnya sangat jarang dijumpai di zona depan, hanya beberapa batang Ceriops decandra dan Rhizophora stylosa yang dijumpai di tengah-tengah dominasi api-api. 1,2 km Keterangan: A : Formasi mangrove (alami) B : Areal rehabilitasi 900m C D : Vegetasi disekitar tambak : Vegetasi disekitar desa Gambar 16 Ilustrasi kondisi vegetasi di Kelurahan Sawah Luhur sebelum (atas) dan sesudah konversi lahan menjadi tambak (bawah) Zona di belakang zona B memiliki substrat lebih cenderung berlumpur dimana kandungan pasir menurun dratis. Pada zona ini (zona A), keanekaragaman jenis mengrove meningkat, mengikuti penuruan domiasi api-api. Beberapa jenis mangrove yang dijumpai di lapangan antara lain Api-api Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera parvifolia, Bruguiera spp, Ceriops decandra, Rhizophora spp. dan lain-lain. Vegetasi di sekitar tambak Vegetasi disekitar tambak dinotasikan dengan zona C. Tipe vegetasi ini mengacu pada seluruh jenis tumbuhan yang dijumpai di areal pertambakan baik di dalam maupun di pematang tambak. Beberapa jenis tumbuhan yang umum dijumpai di dalam tambak antara lain Api-api Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata. Pada beberapa tambak terdapat tegakan Api-api

69 50 Avicennia marina yang telah berukuran tiang dan pohon. Bibit mangrove yang tumbuh di areal pertambakan diduga kuat berasal dari CAPD yang hanyut ke lokasi pertambakan lalu berkecambah dan tumbuh. Gambar 17 Mangrove yang tumbuh di dalam badan air tambak Berbeda dengan yang ada di dalam tambak, jenis tumbuhan yang dijumpai di pematang tabak merupakan jenis tumbuhan pantai terrestrial. Beberapa jenis pohon yang sesekali dijumpai di pamatang antara lain Rukem Flacourtia rukam, Waru lot Thespesia populnea, Waru laut Hibiscus tilaceus, dan Lamtoro Leucana leucochepala. Sementara untuk jenis herba dan semak yang umum dijumpai antara lain Beluntas Pluchea spp., Dalbergia spp., Sesuvium portulacum, Krokot kecil Suaeeda maritima, dan beberapa jenis rumput. Hal menarik yaitu dijumpainya koloni tumbuhan kaktus (tumbuhan berduri) di beberapa pematang tambak. Informasi penduduk setempat menyebutkan bahwa kaktus sengaja ditanam pada saat menjamurnya usaha budidaya udang windu. Penanaman kaktus berfungsi sebagai kawat duri alami karena bentuknya yang berduri sehingga dimaksudkan dapat menghindari pencurian udang di malam hari karena besar kemungkinan pencuri akan menginjak duri kaktus dan menimbulkan efek jera sehingga mengurungkan niatnya untuk mencuri. Vegetasi di sekitar desa Analisis vegetasi di sekitar perumahan penduduk dalam Gambar 16 dinotasikan dengan zona D. Tipe vegetasi ini mengacu pada semua jenis tumbuhan yang dijumpai di sekitar desa. Secara sederhana, jenis tumbuhan ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (kategor)i yaitu 1) tumbuhan

70 51 alami dan 2) ditanam. Beberapa jenis pohon yang tumbuh alami yang paling umum dijumpai di sekitar desa antara lain Kepuh Sterculia spp., dan Beringin Ficus spp.. Sementara untuk jenis semak yang tumbuh secara alami diantaranya adalah Biduri Calatropis gigantea, Putri malu Mimosa pudica, Ki kebo Mimosa pigra. Sementara untuk jenis tanaman budidaya antara lain kalapa Cocos nucifera, Mengkudu Morinda citrifolia, Pisang Musa spp., Nangka Artocarpus heterophyllus, Kemiri Aleurites moluccana, Mangga Mangifera indica, Pepaya Carica papaya, Kedondong Spondias pinnata, dan beberapa jenis tanaman budidaya lainnya. Gambar 18 Kondisi umum vegetasi di pematang tambak b. Keanekaragaman Jenis Fauna (Burung) Noor (2004) mencatat bahwa dari tahun 1996 hingga 2004 di kawasan CAPD dan sekitarnya ditemukan sekitar 108 jenis burung dari 39 famili di CPAD merupakan 7% dari jumlah jenis burung di seluruh Indonesia atau sekitar 20% dari jumlah jenis burung di Jawa. Sekitar 57 jenis burung tersebut merupakan burung air, 30% dari jumlah jenis burung air di seluruh Indonesia atau 50% dari jumlah jenis burung air di Jawa. Dari segi perlindungan, 38 jenis burung di CAPD dan kawasan penyangga sekitarnya merupakan burung yang dilindungi, satu jenis diantaranya masuk dalam kategori endangered (langka dan terancan kepunahan) IUCN, satu jenis masuk dalam ketegori vulnerable (rentan) dan tiga jenis masuk dalam CITES Appendix II.

71 52 c. Eksistensi Para Pemangku Kepentingan Utama (potential stake holders) Hasil kajian sosial ekonomi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan (stakeholder) yang berperan dalam kehidupan sosial ekonomi, pembuatan kesepakatan dan pengambilan keputusan, serta diduga kuat akan berperan pening dalam upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim baik yang berada dalam pengelolaan kawasan CAPD dalam hal ini Departemen Kehutanan maupun di luar kawasan CAPD yang masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Sawah Luhur disajikan pada Gambar 19. Departemen Kehutanan, dengan pelaksana Seksi Wilayah II Serang Pemerintah (Dinas Teknis) Kawasan Cagar Alam Pulau Dua Kawasan Penyangga: areal pertambakan, persawahan, pemukiman penduduk Pemerintah Desa Akademisi dan Peneliti Sektor Swasta Masyarakat Adat/Lokal Gambar 19 Stakeholder pemanfaatan ekosistem mangrove di CAPD dan kawasan penyangga Hasil identifikasi stakeholder juga memperlihatkan bahwa di sekeliling kawasan konservasi (CAPD) terdapat berbagai pemangku kepentingan lain yang juga melakukan kegiatan pengelolaan misalnya: masyarakat lokal yang memungut hasil hutan mangrove mengkonversi mangrove menjadi tambak, pemerintah daerah yang mengatur perizinan dan jual beli lahan dan departemen atau dinas

72 53 teknis maupun swasta yang membangun di daerah pesisir Kelurahan Sawah Luhur Keseluruhan kegiatan tersebut akan berpengaruh baik langsung maupun tidak ke dalam kawasan konservasi, oleh sebab itu, pengelolaan terpadu menjadi hal yang mutlak untuk mencapai keseimbangan antara kegiatan konservasi dan pemanfaatan oleh semua pemangku kepentingan Secara khusus peran dari masing-masing stakeholder yang diilustrasikan pada Gambar 19 akan berpengaruh terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil analisis stakeholder Kelurahan Sawah Luhur No Stakeholder Peran Stakeholder 1. Pemerintah Kelurahan Sawahluhur 2. LSM Padepokan Macan Kikik 3. Kelompok Penghijauan Pesisir 4. Pengelola Cagar Alam Pulau Dua 5. Masyarakat Kelurahan Sawahluhur Menjalankan Pemerintahan dalam bentuk pelayanan, pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat. Menjadi perpanjangan Pemerintah yang lebih tinggi dalam menjalankan program pembangunan Kelurahan Sawahluhur Koordinasi dalam pelayanan, pembinaan dan pengawasan Berperan seperti LSM dalam pemenuhan dan kerjasama pembangunan sarana-prasarana atau infrastruktur desa Koordinasi pengadaan sarana-prasarana atau infrastruktur Menerima pendanaan dan impelemntasi upayaupaya rehabilitasi pesisir sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim Dapat dilibatkan lebih lanjut dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Menjalankan pengelolaan Cagar Alam Pulau Dua dalam bentuk pelayanan, pembinaan dan pengawasan terhadap kelestarian Cagar Alam Pulau Dua Menjadi perpanjangan Pemerintah yang lebih tinggi dalam menjalankan program pengelolaan Cagar Alam Pulau Dua Berperan dalam kegiatan pembangunan untuk keluarga pada khususnya dan Kelurahan Sawahluhur pada umumnya Menjadi peserta dalam upaya mitigasi adaptasi

73 Kelemahan Hasil analisis tingkat kerentanan dari lima unsur utama Pengurangan Risiko Bencana didapatkan bahwa baik kondisi sumberdaya manusia, sumber daya alam dan arah kebijakan pemerintah Kelurahan Sawah Luhur masih sangat lemah dalam mengantisipasi dampak dari perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Tingkat kerentanan enam modal utama Pengurangan Risiko Bencana Aset Natural Capital Economic/Financial Capital Human Capital Social Capital Political Capital Deskripsi tingkat kerentanan Berdasarkan peta topografi dan hasil simulasi kenaikan muka air laut diketahui bahwa CAPD dan tambak sekitarnya sangat rentan terjadi perubahan bentang alam berupa penggenangan akibat kenaikan muka air laut Tingkat pendapatan rata-rata nelayan dan petambak di Kelurahan Sawah Luhur relatif rendah yaitu berkisar Rp Rp perbulan, dengan perbandingan UMR Kota Serang adalah Rp Kemampuan menabung sangat rendah dan merupakan salah satu indikasi tingkat kerentanan dimana masyarakat tidak memiliki simpanan uang maupun harta yang bisa diakses ketika bencana terjadi. Pendidikan masyarakat pada umumnya adalah lulusan SD dengan pengetahuan tentang kebencanaan yang masih rendah Modal sosial berupa semangat gotong royong masih tinggi Arah kebijakan pemerintah desa masih belum sepenuhnya mendukung pada pelestarian ekosistem Peluang a. Ketersediaan bibit mangrove untuk upaya rehabilitasi pesisir Potensi lain yang teridentifikasi selama pengamatan lapangan dilakukan adalah kemudahan dalam memperoleh benih atau bibit mangrove untuk kegiatan penanaman di lokasi-lokasi yang terkena abrasi. Potensi benih/bibit yang paling melimpah adalah Api-api Avicennia marina dan Bakau kecil Rhizophora stylosa. Sementara untuk jenis Rhizophora mucronata, pohon induk relatif terbatas sehingga perlu dipikirkan pengadaan bibit/propagul jenis ini dari daerah lain.

74 55 b. Kebijakan nasional pengurangan emisi Komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi hingga 26% pada tahun 2020 merupakan suatu langkah awal yang kondusif sekaligus memberikan lampu hijau bagi berbagai pihak untuk ikut memberikan kontribusinya dalam upaya global memerangi perubahan iklim. Gerakan nasional penghijauan dan rehabilitasi merupakan kegiatan yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai target pengurangan emisi tersebut. c. Kondisi tambak yang memungkinkan untuk penanaman Berdasarkan pengukuran di lapangan, teridentifikasi bahwa tambak-tambak di Kelurahan Sawah Luhur memiliki peluang untuk ditanami mangrove sebagai sabuk hijau pelindung desa dari proses hidrodinamika laut dan pengaruh perubahan iklim. Substrat berlumpur serta pengaruh pasang surut merupakan dua syarat utama penanaman mangrove. salinitas yang terlalu tinggi di beberapa tambak. Namun demikian faktor pembatas yaitu d. Kolaborasi dengan Dinas Kehutanan dan Pengelola Cagar Alam Visi dan misi dalam konservasi dan rehabilitasi merupakan upaya utama dalam mitigasi perubahan iklim. Perlindungan CAPD oleh pengelola CAPD merupakan upaya utama untuk mempertahankan keberadaan mangrove Ancaman Posisi yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa dengan kondisi kerapatan mangrove 450 pohon per hektar dan ketebalan sekitar 76m menjadikan CAPD merupakan benteng bagi areal pertambakan dan perumahan di sekitarnya dari potensi bahaya akibat dinamika hidro oseanografi. Kawasan Cagar Alam Pulau Dua Ancaman di sekitar a. Abrasi Ombak yang menggerus bagian utara Pulau Dua diduga dapat menyebabkan terjadinya penciutan luas pulau dan berkurangnya jumlah tumbuhan. Informasi verbal dari Jagawana setempat menyebutkan bahwa pada tahun 1996, di lokasi yang berdekatan dengan areal gerusan masih terdapat beberapa batang pohon yang berdiri tegak. Namun pada tahun 2000, pohon-pohon tersebut sudah tergerus karena abrasi sebagaimana disajikan pada Gambar 14.

75 56 b. Pengambilan kayu bakar Kegiatan pengambilan kayu bakar biasanya dilakukan oleh ibu-ibu dari desa yang berdekatan dengan kawasan. Mereka umumnya mengambil ranting-ranting pohon bakau yang sudah kering dan menebangi pohon bakau yang runtuh di luar kawasan dan di dalam kawasan Cagar Alam Pulau Dua. Kegiatan ini sebenarnya tidak boleh dilakukan di dalam suatu kawasan Cagar Alam. Petugas Jagawana juga telah memberikan pemberitahuan bahwa tidak boleh mengambil kayu bakar, akan tetapi karena alasan harga minyak tanah yang mahal membuat petugas menjadi agak sulit melarangnya. Aktivitas pengambilan kayu bakar yang terekam oleh penulis disajikan pada Gambar 20.. Gambar 20 Peta abrasi di kawasan Cagar Alam Pulau Dua Gambar 20 Kegiatan pengambilan kayu bakar di Cagar Alam Pualu Dua

76 57 a. Banjir pasang (Rob) Fenomena alam ini merupakan salah satu kendala yang dihadapi oleh masyarakat Kelurahan Sawah Luhur, terutama pada pemilik tambak. Beberapa kali pemiliki tambak harus mangalami kerugian karena air pasang ini. Kejadian terakhir terjadi pada Juni 2008 lalu, dimana air pasang masuk ke tambak udang/ikan milik masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan rusaknya beberapa pematang tambak sehingga ikan terbawa keluar tambak. a. Pengaruh penggenangan terhadap bentang alam Estimasi luasan penggenangan akibat kenaikan muka laut dilakukan dengan cara memadukan antara peta topografi dengan skenario kenaikan muka air laut setinggi 25cm, 50cm dan 100cm. Angka skenario tersebut mengacu pada IPCC (2001) estimasi kenaikan muka air laut untuk perairan Indonesia secara umum sampai dengan tahun 2100 adalah 23cm hingga 96cm. Diposaptono (2009) yang menyatakan prediksi kenaikan muka air laut di pesisir utara Kota Semarang adalah 87cm. Hasil simulasi kenaikan muka air laut per skenario menunjukkan akan terjadi perubahan kondisi bentang alam sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 21 sampai dengan Gambar 24. Tabel 8 Perubahan bentang alam CAPD dan Tambak sekitarnya pada berbagai skenario penggenanagan Tinggi kenaikan muka air laut Areal terendam (ha) 25 cm Tambak ha Tipe lahan yang terendam 50 cm Tambak 535,60 dan CAPD (10ha) Perumahan dan jalan raya, (13 ha) CAPD 100 cm (10 ha), Tambak 5.2 Valuasi Sumberdaya Pesisir Tidak diragukan lagi bahwa ekosistem Pulau Dua memiliki kondisi ekologi yang cukup unik yaitu dominasi ekosistem mangrove, pantai berpasir serta fungsinya sebagai habitat bagi burung-burung migran. Hal ini juga dapat terlihat dari ditetapkannya ekosistem Pulau Dua sebagai Cagar Alam.

77 58 Gambar 21 Peta siatuasi CAPD dan tambak sekitarnya pada kondisi normal (citra landsat perkaman tahun 2009)

78 59 Gambar 22 Peta penggenanagn CAPD dan tambak sekitarnya skenario kenaikan muka laut setinggi 25cm

79 60 Gambar 23 Peta penggenanagn CAPD dan tambak sekitarnya skenario kenaikan muka laut setinggi 50cm

80 61 Gambar 24 Peta penggenanagn CAPD dan tambak sekitarnya skenario kenaikan muka laut setinggi 25, 50 dan 100cm

81 Nilai Manfaat 1. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) b. Produksi Perikanan (Budidaya dan Tangkap) Komoditas perikanan yang dibudidayakan pada di lokasi penelitian pada umumnya adalah ikan bandeng (Chanos chanos) dan sebagian kecil (0,1 %) petambak membudiayakan rumput. Panen bandeng dilakukan dua sampai tiga kali dalam setahun sedangkan untuk rumput laut dipanen lima kali dalam setahun, sehingga pendapatan harian petambak didapatkan dari hasil tangkapan alami berupa windu (Penaeus monodon), udang putih (P.merguienis); udang jari (Acetes indicus) dan kepiting bakau (Scylla cerata). Budidaya Ikan Bandeng Budidaya bandeng di Kelurahan Sawah Luhur sudah banyak dilakukan sejak tahuan 1970-an. Seiring dengan menjamurnya tambak udang pada akhir tahun 1980-an, banyak tambak-tambak di Kelurahan Sawah Luhur beralih membudidayakan udang windu baik dengan pola tradisional (tanpa input pakan buatan dan kincir air) maupun pola intensif yang dikelola oleh suatu industri besar (dengan input pakan buatan dan menggunakan kincir). Namun demikian merebaknya penyakit udang (white spot) membuat tambak-tambak udang tersebut merugi hingga mulai tahun 2000-an banyak petambak dan pemilik tambak memutuskan untuk beralih kembali membudidayakan bandeng dengan sistem tradisional. Masyarakat Kelurahan Sawah Luhur berasumsi budidaya bandeng jauh lebih aman dibandingkan dengan udang dari sisi finansial, karena bandeng lebih toleran terhadap perubahan lingkungan dan biaya operasional jauh lebih kecil karena bandeng dapat dibudidayakan tanpa input pakan dan harga bibit ikan bandeng (nener) dua kali lipat lebih murah dari pada bibit udang (benur). Dalam satu siklus produksi, panen dilakukan dua hingga tiga kali. Panen secara parsial atau sedikit-sedikit tersebut dikenal dengan istilah oyos. Panen Oyos dilakukan agar petambak segera mendapat pendapatan guna memenuhi kebutuhan harian. Jumlah ikan bandeng yang diambil saat panen oyos berkisar 25% dari ikan yang

82 63 dibudidayakan sedangkan 75% lainnya akan terus dirawat hingga mencapai ukuran empat ekor bandeng dalam 1kg atau dikenal dengan istilah size 4. Perikanan Tangkap Penangkapan udang alam dilakukan dengan menggunakan bubu yang dipasang pada pintu air tambak. Metode ini sangat mengandalkan pasang surut air laut. Bubu dipasang ketika air pasang dengan posisi mulut bubu menghadap ke arah dalam tambak. Ketika air surut aliran air akan keluar masuk kedalam bubu meninggalkan tambak. Dalam satu bulan, efektif udang alam dapat dipanen untuk dijual hanya selama empat belas malam. Jenis udang yang didapat dari bubu meliputi Udang windu (Penaeus monodon), udang putih (P.merguienis), udang jari (Acetes indicus), dan jenis kepiting bakau (Scylla cerata). Rumput Laut Rumput laut di Kelurahan Sawah Luhur mulai dibudidayakan di beberapa tambak pada tahun Panen rumput laut per hektar dapat mencapai 2 ton, dipanen sebulan sekali dan dalam setahun rata-rata dapat dilakukan lima kali pemanenan. Rumput laut yang dipanen dijual kepada pedagang pengumpul di Kelurahan Kemayungan yang berjarak sekitar 5km. Budidaya bandeng dan rumput laut dalam satu petak tambak memberikan dampak yang saling menguntungkan karena bandeng akan membersihkan rumput laut dari alga-alga yang menempel dengan cara memakannya sedangkan rumput laut pada siang hari dapat berfotosintesis dan menghasilkan oksigen terlarut di air yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bandeng dan fauna akuatik lainnya. Pada perhitungan valuasi ekonomi, nilai budidaya rumput laut tidak dimasukkan ke dalam perhitungan, karena secara general tidak secara signifikan berpengaruh terhadap sebagian besar pendapatan petambak di Kelurahan Sawah Luhur karena baru sekitar 1% saja dari total petambak yang membudidayakan rumput laut. Padahal bila dilihat dari pendapatan yang dihasilkan cukup besar yaitu pendapatan kotor dapat mencapai Rp /tahun/hektar atau berkisar Rp /bulan/hektar..

83 64 Tabel 9 Biaya Produksi dan Pendapatan Kotor Budidaya Perikanan dan Perikanan Tangkap di CAPD dan Tambak sekitarnya Pendapatan Kotor Panen (kg/ha/panen) Frekuensi panen pertahun (kali) Harga(Rp) Pendapatan kotor (Rp/ tahun/hektar) Budidaya bandeng 270 2, Kepiting bakau (Scylla cerata) Udang windu (Penaeus monodon), 0, Udang jari (Acetes indicus) & udang putih Pendapatan Kotor budidaya bandeng & perikanan tangkap Biaya Produksi budidaya bandeng Biaya (Rp)/ ha/ siklus Biaya (Rp)/ ha/ tahun variable costs Upah kerja : ([Gross income-modal]/3) * 2,6 (Pekerja mendapat upah 1/3 dari keuntungan yang didapat) ([ ]/3) = Agro input (benih ikan, pupuk, pakan) Perlengkapan fixed costs Sewa tambak PBB Pondok Total Biaya Produksi Budidaya Bandeng & biaya operasional tangkapan alami Pendapatan bersih per tahun (Rp)/ha c. Nilai Tegakan Kayu Mangrove Perkiraan nilai tegakan mangrove diperoleh dari transfer nilai dari pemanfaatan tegakan kayu sebagai kayu bakar. Tidak digunakannya sebagai bahan bangunan karena pasti membutuhkan volume yang besar sehingga tidak bisa dilakukan mengingat ketatnya penjaagaan Cagar Alam jika untuk pemanfaatan dalam skala besar. Walaupun demikian tetap saja pencurian kayu baik hanya berupa kayu kering maupun penebangan ranting vegetasi yang masih hidup sering dilakukan di dalam kawasan terutama oleh ibu-ibu dengan alasan untuk dijadikan kayu bakar. Polisi jagawana sulit untuk melarang dengan kasar karena alasan rasa iba, namun hal tersebut dapat disiasati bahwa tidak boleh menebang namun bisa mengambil dahan-dahan kayu/ pohon yang sudah mati dan kering.

84 65 Kepadatan rata-rata mangrove di dalam kawasan CAPD dihitung dengan menggunakan transek dengan ukuran 20x20m, sehingga didapatkan jumlah mangrove adalah 430 individu per hektar. Penampang melintang rata-rata dari mangrove yang ada di semua transek pengamatan adalah 231,12cm2 dengan ketinggian rata-rata dari pohon adalah 881,73cm. Volume kayu dihitung dengan cara mengalikan luas penampang melintang rata-rata dengan tinggi rata-rata, dikalikan kepadatan pohon per hektar. Volume kayu = (Luas penampang melintang rata-rata) x (tinggi rata-rata) x (kepadatan pohon per hektar) Didapatkan nilai volume kayu 87, 63m 3 untuk setiap hektar mangrove. Hasil interpretasi citra didapatkan bahwa luas mangrove di Cagar Alam Pulau Dua 28,6 hektar, sehingga total potensi volume kayu yang dapat diusahakan adalah sebanyak m 3. Untuk mendapatkan kekonsistenan dalam penghitungan digunakan satuan waktu selama satu tahun. Jika diasumsikan kayu mangrove baru dapat dipanen setelah sepuluh tahun, maka nilai total volume kayu per hektar dibagi sepuluh tahun. Harga kayu bakar rata-rata di Kelurahan Sawah Luhur adalah Rp /m 3. Mangrove digunakan untuk tujuan subsisten dan tidak dijual secara komersial sehingga upah bayangan untuk mengumpulkan kayu bakau tidak termasuk dalam penghitungan. Total Nilai Ekonomi Manfaat Langsung (Direct Use Value) Valuasi ekonomi produk perikanan budidaya dan tangkapan alami bandeng mencakup baik variabel dan biaya tetap sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Biaya variabel dalam penelitian ini mencakup biaya tenaga agro input yaitu bibit, pakan, pupuk, pestisida, biaya peralatan, yang meliputi pemeliharaan dan pembaruan peralatan. Sedangkan biaya tetap (fixed cost) mencakup sewa tambak, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayarkan setiap tahunnya kepada pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pajak dan biaya penyusutan lahan (Menkveld and Firmenich 2009). Penghitungan total Nilai Pendapatan Bersih Net Present Value (NPV) dari manfaat ekosistem mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya dari semua produk akuakultur dan tangkapan alami rata-rata tahunan serta potensi tegakan kayu disajikan pada Tabel 10.

85 66 Tabel 10 Total Nilai Ekonomi Manfaat Langsung Mangrove di CAPD dan Tambak Unit Nilai Pendapatan Bersih (NPV) (Rp/ha/tahun) Budidaya bandeng & Perikanan tangkap Tegakan kayu Total Nilai Manfaat Tidak Langsung (In Direct Use Value) a. Pelindung Pantai dari Abrasi Penilaian nilai manfaat tidak langsung dari fungsi mangrove dalam meredam abrasi pantai dihitung melalui pendekatan replacement cost dengan mengkuantifikasi biaya yang harus dikeluarkan jika harus menggunakan pendekatan hard enginering seperti tembok laut (sea wall) ataupun pemecah obak (break water). Penanggulangan abrasi pantai tentu sangat tergantung dari karakteristik hidrooseanografi dari gelombang maupun arus menyusur pantai itu sendiri, bisa jadi tidak hanya cukup dengan keberadaan mangrove saja untuk menanggulangi abrasi, kemungkinan harus menggunakan dua pendekatan hard enginering dengan keberadaan mangrove juga dapat dilakukan. Akar mangrove yang mencuat dan berada di atas permukaan substart dapat mengikat atau menjebak sedimen (sediment trap) sehingga menambah luasan daratan. Morfologi perakaran, dan batang mangrove yang kokoh dapat meredam hempasan gelombang dan gerusan air laut. Menurut Aprilwati (2001) untuk membangun breakwater berukuran 1x10mx 2m dengan penyusutan 7.16 % pertahun adalah Rp , 81. Sehingga jika membangun pelindung pantai di Kelurahan Sawah Luhur sepanjang 3,5km guna menghadapi abrasi dengan umur ketahanan selama 10 tahun diperlukan biaya sebesar Rp , sedangkan untuk panjang pantai 1000m (1km) dibutuhkan biaya Rp b. Penyerap Karbon Estimasi cadangan karbon pada vegetasi mangrove di CAPD digunakan referensi digunakan acuan penelitian Donate (2011) pada berbagai ekosistem mangrove di Indo Pasifik. Donate (2011) menghitung stok karbon pada ekosistem mangrove above dan below ground (pohon, understorey, serasah, nekromasa) didapatkan nilai 1023 Mg karbon (C) per hektar. Hasil interpretasi citra

86 67 didapatkan luasan vegetasi mangrove di CAPD 28,6 hektar sehingga dapat diestimasi total cadangan karbon di CAPD adalah Mg karbon. Terdapat harga yang sangat bervariasi mengenai harga karbon yang diperdagangkan di pasar voluntary market saat ini, mulai dari USD 0,1/Ton yang diperdagangkan oleh Chicago Market Exchange, hingga sekitar USD 31/ton untuk karbon yang diperdagangkan di voluntary market Australia. Di pasar volutary Selandia Baru sendiri harganya adalah sekitar USD 17/Ton karbon ( Berdasarkan informasi tersebut maka pendugaan nilai pasar stok karbon di CAPD, menggunakan asumsi bahwa harga karbon di pasar voluntary adalah sekitar USD 15/Ton, sehingga harga cadangan total karbon CAPD adalah sekitar USD atau setara dengan Rp (kurs 1 USD setara dengan Rp 9000). Estimasi umur mangrove di CAPD dari tahun 1972 (mulai ditanam atau tumbuh secara alami) hingga dengan saat pengukuran (2009) adalah 37 tahun. Sehingga nilai moneter potensi penyerapan karbon pertahun hasil perhitungan cadangan karbon dibagi umur pohon, didapatkan nilai 27,65 Mg karbon (C) per hektar/ tahun. Nilai uang dari cadangan karbon tersebut per hektar/tahun adalah 414,75 USD atau setara dengan Rp /hektar/tahun Tabel 11 Nilai Manfaat Tidak Langsung Jasa Lingkungan Mangrove di CAPD dan Tambak Sekitarnya Jasa lingkungan Metode penghitungan Nilai ekonomi (Rp/ha) Kontrol abrasi replacement cost Penyerap karbon factor income Total Nilai Bukan Pemanfaatan (Non Use Value) 1. Manfaat Pilihan Penghitungan nilai manfaat berupa kenakeragaman hayati mengacu pada Ruitenbeek (1991) yang melakukan penelitian di Teluk Bintuni, Papua diketahui bahwa manfaat pilihan untuk mangrove di Indonesia nilainya adalah 15 USD per hektar atau setara dengan Rp Hasil interpretasi citra mendapatkan bahwa luasan mangrove di CAPD seluas 28,6 hektar sehingga manfaat pilihan

87 68 yang adalah sebesar 429 USD (dengan kurs 1USD setara dengan Rp 9000) didapatkan nilai Rp Manfaat Warisan dan Keberadaan Penghitungan nilai keberadaan dilakukan melalui wawancara responden berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat umur dan pendidikan dengan menggunakan nilai kesanggupan untuk membayar (Willingness to Pay/ WTP). Pada umumnya responden menghargai keberadaan CAPD sebagai pelindung tambak dari abrasi pantai dan melimpahnya biota bernilai ekonomis dengan adanya keberadaan ekosistem mangrove (CAPD). Sebagian kecil responden yang tidak berinteraksi langsung secara keseharian dan mata pencaharian dengan CAPD menganggap keberadaan CAPD sari sisi nilai budaya dan agama, yaitu dengan adanya keberadaan makam tokoh yang dianggap keramat yang berada di kawasan CAPD. Tingkat pendapatan responden bervariasi mulai dari Rp / bulan hingga / bulan, sehingga digunakan nilai median dari kesanggupan membayar yaitu Rp /hektar/tahun. Dengan luasan mangrove yang ada di CAPD seluas 28,6ha, maka didapatkan nilai manfaat keberadaan hutan mangrove sebesar Rp / hektar/ tahun Total Nilai Ekonomi Total Nilai Ekonomi ekosistem mangrove di Kelurahan Sawah Luhur mencakup Cagar Alam Pulau Dua dan areal pertambakan di sekitarnya dihitung dengan menggabung nilai pemnafaatan (use value) dan nilai non pemenfaatan (non use value) sehingga didapatkan nilai dapat dilihat pada Tabel 12.

88 69 Tabel 12 Total Nilai Ekonomi Mangrove di CAPD dan Tambak Sekitarnya Pemanfaatan Lokasi Nilai ekonomi (Rp/hektar/tahun) 1.Nilai Manfaat (Use Value) Manfaat Budidaya bandeng & perikanan Areal tambak langsung tangkap Tegakan kayu CAPD Manfaat Tidak Kontrol abrasi CAPD Langsung Penyerap karbon CAPD Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) Nilai pilihan Keanekaragaman hayati Konservasi habitat burung migran Nilai Warisan Budaya dan agama dan Keberadaan Total Pengaruh Penggenangan terhadap Total Nilai Ekonomi Prediksi kenaikan muka laut pada penelitian ini menggunakan kisaran nilai yang telah ditetapkan oleh IPCC yaitu pada tahun 2100 diperkiraan kenaikan muka air laut yang terjadi di Indonesia berkisar anatara cm. Pada penelitian ini prediksi penggenangan lahan akibat kenaikan muka air laut dihitung dengan menggunakan skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm sebagaimana disajikan pada Gambar 16 sampai dengan Gambar 20 di bawah ini. Nilai kerugina ekonomi dihitung dengan mengalikan luasan areal yang tergennag dengan nilai TEV masih-masing jenis pemanfaatan lahan tersebut apakah berupa tambak atau CAPD. Tabel 13 Total Nilai Kerugian per Skenario Kenaikan Muka Air LautEkonomi Tinggi kenaikan muka air laut Areal Terendam (ha) Tipe lahan yang terendam Jumlah kerugian 25 cm 427,22 Tambak cm 545,60 Tambak (535,60) dan CAPD (10ha) 11,261,056, Perumahan dan jalan raya (13 ha) 100 cm 569,54 dan CAPD (10 ha) & tambak >

89 Strategi Pengelolaan Ekosistem Pesisir Metode perencanaan secara ekologis atau dikenal dengan ecological planning methode merupakan suatu bentuk perencanaan yang memanfaatkan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai penatagunaan lahan. Selain aspek biofisik dan sosiokultur juga akan dimasukkan aspek tingkat kerentanan ekosistem maupun sosial masyarakat terhadap prediksi dampak perubahan iklim juga mempertimbangkan potensi ancaman bahaya (hazard) sampingan yang mungkin akan muncul akibat penggenangan daratan akibat kenaikan muka air laut. Hasil analisis stakeholder akan digunakan untuk menentukan aktor yang akan terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan ekosistem pesisir serta peran dalam kegiatan sebagaiaman. Dari hasil analisis tabel di atas, beberap aktor yang memegang peran penting dalam pengelolaan yaitu Pemerintah Kelurahan Sawahluhur, Kelompok Penghijauan Pesisir, Pengelola CAPD, Masyarakat Kelurahan Sawah Luhur, Nelayan, Petambak. Tabel 14 Analisis stakholder dan potensi keterlibatan dalam kegiatan No Stakeholder Peran Kuat Lemah Langsung Tidak Langsung 1. Pemerintah Kelurahan Sawahluhur LSM Padepokan Macan Kikik Kelompok Penghijauan Pesisir Pengelola CAPD Masyarakat Kelurahan Sawahluhur Nelayan Petambak - - Model pengelolaan ekosistem pesisir yang dikembangkan menggunakan pendekatan ekologi dan sosial atau dikenal dengan ecological planning method, merupakan suatu bentuk perencanaan yang memanfaatkan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kawasan, untuk membantu memahami kekompleksan informasi biofisik dan sosial yang dikaji dalam penelitian ini, maka digunakan alat analisis SWOT seperti berikut.

90 71 Tabel 15 Hasil analisis SWOT terhadap kenaikan muka laut STRENGHTS Modal sumberdaya alam : Keberadaan CAPD Ketersediaan bibit mangrove Keanekaragaman jenis burung yang tinggi WEAKNES Modal Finansial : masuk dalam kategori desa miskin Modal Sumberdaya Manusia: kapasitas adaptasi terhadap kenaikan muka air laut masih sangat rendah Modal Politik : belum ada kebijakan lokal untuk mengantisipasi kenaikan mukalaut OPPORTUNITIES Kebijakan nasional pengurangan emisi Kolaborasi dengan Dinas Kehutanan dan Pengelola Cagar Alam Kondisi tambak yang memungkinkan untuk penanaman Modal sosial berupa semangat gotong royong masyarakat yang masih kuat THREATS Abrasi Pengambilan Kayu Bakar Banjir Rob Kenaikan Muka Laut Hasil pengkajian informasi biofisik dan sosial ekonomi tersebut diatas dapat diketahui bahwa kawasan pertambakan CAPD seluas 515 ha memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada kawasan konservasi CAPD. Kerusakan kawasan CAPD bisa berdampak langsung pada kondisi sosial ekonomi Serang dan disekitarnya dan memiliki dampak tidak langsung pada kondisi ekologi secara global. Saat ini CAPD menghadapi ancaman yang sangat nyata berupa hilangnya lahan akibat kenaikan muka laut, oleh sebab itu fokus strategi pengelolaan ekosistem pertambakan CAPD dilakukan dengan menjadikan CAPD sebagai prioritas, sedang strategi dan komponen lain sebagai pendukung. Strategi yang dikembangkan harus ditekankan pada upaya menurunkan tingkat ancaman dan mengurangi kelemahan. Berdasarkan hasil analisis SWOT di atas diperoleh indikasi strategi pengelolaan ekosistem pesisir Kelurahan Sawah Luhur sebagai berikut: 1. Menurunkan tingkat ancaman: Fokus strategi adalah upaya-upaya mengurangi kejadian abrasi dengan mempertahankan garis pantai saat ini. Terdapat dua pilihan yang bisa dilakukan yaitu dengan hard engineering (rekayasa fisik) berupa pemasangan tanggul laut dan soft engineering (rekayasa biologi) dengan penanaman mangrove. Pilihan soft engineering sebaiknya dilakukan sehingga diperoleh biaya investasi dan perawatan yang lebih murah. Disamping itu, ekosistem

91 72 mangrove yang terbentuk akan memberikan dampak ekologis yang lebih baik bagi lingkungan lokal maupun globa (Leatherman 2001). 2. Menurunkan tingkat kelemahan: Fokus strategi adalah dengan mengupayakan peningkatan kapasitas finansial, sumberdaya manusia, dan politik masyarakat agar mengarus-utamakan upaya adaptasi perubahan iklim dalam kegiatan sehari-hari. Mata-pencaharian masyarakat, terutama perikanan agar diperkuat dengan dukungan finansial dan teknis sehingga bisa mengubah pola budidaya pertambakan konvensional saat ini menjadi model silvofishery. Pertambakan silvofishery akan memberikan dampak ganda yaitu manfaat ekonomi berupa hasil panen dan manfaat fisik berupa pertahanan garis pantai. Hal ini dapat terwujud dengan kondisi politik lokal yang kodusif antara lain dengan penerapan secara ketat peraturan sabuk hijau nasional yang diadopsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten tahun Berdasarkan RTRW tersebut diketahui bahwa lebar green belt Provinsi Banten adalah berkisar antara m mengacu pada Kepres No. 32/1990. Berdasarkan dua strategi prioritas diatas, pengelolaan ekosistem mangrove dan pertambakan CAPD dalam upaya menghadapi kenaikan muka laut dapat dijabarkan dalam 2 model skenario seperti sebagai berikut: Skenario meter LAUT Green Belt yang ada < 100 meter Tambak ditanam Mangrove 100 % Tambak ditanam sehingga lebar green belt 100m Gambar 25 Skenario 1 pengembangan green belt 100m secara intensif Pada skenario 1 diketahui bahwa lebar green belt yang ada saat ini kurang dari 100m, sehingga pembuatan green belt yang dilakukan dengan menanam secara intensif petakan tambak dengan mangrove sehingga didapatkan lebar green belt 100m.

92 73 Skenario 2 LAUT GREEN BELT 100 meter Tambak (40 %) PENANAMAN MANGROVE 60 % Gambar 26 Skenario 2 kombinasi green belt dan tambak silvofishery Pada skenario 2 dikarenakan saat ini status kepemilikan lahan tambak didaerah sabuk hijau telah bersertifikat, maka langkah pembentukan sabuk hijau dapat dilakukan dengan memadukan langsung antara areal tambak dengan penanaman mangrove dengan proporsi 60% mangrove dan 40% areal tambak yang masih dapat dibudidayakan. Berdasarkan wawancara dengan petambak, skenario 2 yang paling disukai atau dikenal dengan istilah tambak silvofishery. Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu sylvo yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan fishery yang berarti perikanan (mina). Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sesuai dengan konsep keterpaduan antara hutan dan perikanan, maka sistem ini akan serta merta ikut menciptakan atau mempertahankan jalur hijau (mangrove) pinggir pantai. Teknologi yang diterapkan pada model tambak ini sepatutnya menerapkan sistem tambak ekstensif (tradisional) berteknologi sederhana, disesuaikan dengan daya dukung kawasan mangrove yang, saat ini, hanya mampu menopang kebutuhan tersebut. Hal ini dikarenakan kawasan mangrove tidak cocok untuk sistem budidaya intensif dikarenakan faktor elevasi (kontur) yang tidak sesuai untuk sistem drainase, kandungan bahan organik yang tinggi serta keberadaan tanah sulfat masam atau pyrit. Namun, sistem tradisional yang diterapkan, jika menggunakan kaidah budidaya yang baik, akan mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi dan berharga lebih mahal akibat proses produksi yang

93 74 meniadakan bahan berbahaya serta dengan memperhatikan faktor lingkungan. Di sisi lain, konsep tambak ini dapat diintegrasikan dengan pengembangan ekonomi lainnya seperti ekowisata, pelestarian keaneka ragaman hayati, serta peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam. Sehingga model tambak sylvofishery dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara langsung. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu: a. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akarakar mangrove dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove b. Petambak dapat mengunakan daun tanaman mangrove sebagai pakan ternak, terutama kambing (ternak ini sebaiknya dikandangkan agar bibit mangrove yang masih muda tidak mati dimakan kambing) c. Keanekaragaman hayati akan meningkat (termasuk bibit ikan alami dan kepiting) dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan. d. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan e. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat (sequester) CO2 dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut. f. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan g. Dalam pengembangannya, tambak silvofishery telah banyak dimodifikasi, namun secara umum terdapat (tiga) model tambak silvofishery, yaitu: model empang parit, komplangan, dan jalur (Gambar 27).

94 75 (A) (B) (C) (D) Gambar 27 Silvofishery: (a) empang parit, (b) komplangan, (c) jalur, (d) tanggul Sumber : PMD Mahakam & Fakultas Perikanan UNMUL, 2009 Pengembangan sistem tambak sylvofishery tidak hanya akan menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan, akan tetapi juga sejalan dengan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan jalur hijau, sehingga mampu menghindari konflik dengan pemerintah daerah setempat. Kebijakan Pemerintah RI mengenai pengelolaan sabuk hijau (green belt) yang terkait dengan pengembangan tambak di wilayah pesisir telah dimulai sejak tahun 1975 dengan dikeluarkannnya SK Dirjen Perikanan No H.I/4/2/18/1975 tentang lebar green belt selebar 400m yang didasarkan dari rata rata perbedaan pasang tertinggi dan surut. SK Dirjen Kehutanan No 60/KPTS/DJ/I/1978 tentang tambak silvofishery dimana mengharuskan adanya sabuk hijau selebar 10m di sepanjang sungai dan lebar 50m di sepanjang pantai.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

36 2. Menghitung kerugian ekonomi perubahan ekologi CPAD dan tambak sekitarnya akibat kenaikan muka laut 3. Mengidentifikasi upaya peningkatan resilie

36 2. Menghitung kerugian ekonomi perubahan ekologi CPAD dan tambak sekitarnya akibat kenaikan muka laut 3. Mengidentifikasi upaya peningkatan resilie 35 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian prediksi dampak kenaikan muka lauit ini dilakukan di Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) dan kawasan penyangga di sekitarnya dengan batasan wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

8 Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat yaitu dari aliran sungai sehingga pada umumnya digenangi oleh air bersalinitas payau (0,5-17 ppt).

8 Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat yaitu dari aliran sungai sehingga pada umumnya digenangi oleh air bersalinitas payau (0,5-17 ppt). 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Mangrove 2.1.1 Definisi Ekosistem Mangrove Secara umum kata mangrove mempunyai dua arti, pertama mangrove sebagai komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ciri-Ciri Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air laut baik. Mangrove juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan lain, keunikannya diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

Yeyen Noviana & Putri Auliza

Yeyen Noviana & Putri Auliza 1 Pemanfaatan Hutan Bakau di Derah Pesisir Mengingat betapa pentingnya arti kelestarian hutan bakau ini bagi kelangsungan hidup ekosistem kelautan maka sudah selayaknya dan sewajarnya lah apabila pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci