Oleh MERCY BIENTRI YUNINDANOVA A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh MERCY BIENTRI YUNINDANOVA A"

Transkripsi

1 TINGKAT KEMATANGAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DAN PENGGUNAAN BERBAGAI JENIS MULSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN TOMAT ( Lycopersicon esculentum Mill.) DAN CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh MERCY BIENTRI YUNINDANOVA A PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 ii RINGKASAN MERCY BIENTRI YUNINDANOVA. Tingkat Kematangan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Penggunaan Berbagai Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tomat (Licopersicon esculentum Mill.) dan Cabai (Capsicum annuum L.). Di Bawah Bimbingan HERDHATA AGUSTA dan DWI ASMONO Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh tingkat kematangan kompos tandan kosong sawit dan penggunaan berbagai jenis mulsa limbah pabrik kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Licopersicon esculentum Mill.) dan cabai (Capsicum annuum). Penelitian dilakukan pada bulan April 2008 hingga Oktober 2008 di Kebun Surya Adi. PT Sampoerna Agro Tbk., Palembang, Sumatra Selatan. Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan jenis mulsa sebagai petak utama dan tingkat kematangan kompos sebagai anak petaknya. Mulsa terdiri dari empat jenis yaitu tanpa mulsa, cangkang, fiber, dan cacahan TKKS. Sedangkan tingkat kematangan kompos terdiri dari 5 taraf yaitu tanpa kompos, kompos 4 minggu, kompos 6 minggu, kompos 8 minggu dan kompos 10 minggu. Percobaan ini menggunakan 3 ulangan, dengan 20 petak pada setiap ulangan, sehingga secara keseluruhan terdapat 60 satuan percobaan. Bahan yang digunakan dalam kegiatan percobaan ini adalah benih sayuran tomat (Lycipersicon esculentum Mill.) varietas Ratna, benih cabai genotipe 35C2, kompos TKKS, cangkang kelapa sawit, fiber, cacahan TKKS, pupuk Urea, pupuk RP (35 % P 2 O 5 ), pupuk MOP, pupuk gandasil, pupuk majemuk NPK mutiara (16:16:16), serta insektisida (Decis), bakterisida (Agrep WP) dan fungisida (Dithane). Benih ditanam pada polibag berukuran 40 cm x 50 cm, dengan jarak tanam 90 cm x 90 cm x 90 cm. Tanaman tomat tiap petak terdiri dari 20 tanaman, sedangkan tanaman cabai terdiri dari 16 tanaman. Total tanaman yang digunakan sebanyak 2160 tanaman dengan rincian tanam tomat 1200 tanaman dan cabai 960 tanaman. Hasil percobaan menunjukan kompos umur 8 minggu memberikan nilai C/N ratio terendah dibandingkan umur 4, 6, dan 10 minggu yaitu Kompos umur 8 minggu menghasilkan nilai N-total, P, Mg, Fe, Mn, B dan Cu terbesar dibandingkan 3 kompos lainnya yaitu 1.34 %, 0.08 %, 0.25 %, 0.24 %, 89.7 ppm,

3 iii 10.7 ppm, dan 24.8 ppm. Penggunaanya aman bagi tanaman tomat tetapi bukan pada tanaman cabai. Kompos 8 minggu dan mulsa fiber menghasilkan bobot panen dan jumlah buah terbanyak pada tanaman tomat yaitu gram dengan 16 buah. Bila dibandingkan tanpa kompos, penggunaan kompos 8 minggu meningkatkan bobot buah % dan jumlah buah sebesar %. Penggunaan mulsa dan perlakuan umur kompos tidak berpengaruh terhadap produksi cabai. Penggunaan kompos pada tanaman cabai menimbulkan kejadian defisiensi hara N dan Mg % sedangkan pada media tanpa kompos %, sehingga terjadi peningkatan hingga 62.2 % dibanding kontrol. Bobot buah, jumlah buah dan bobot buah cabai yang dihasilkan dari perlakuan umur kompos tidak berbeda dari kontrol bahkan lebih rendah yaitu gram, 35 buah dan 1.21 gram. Pada kontrol menghasilkan bobot gram, 42 buah dan bobot per buah 1.17 gram. Bobot buah, jumlah buah dan bobot buah cabai yang dihasilkan dari perlakuan mulsa tidak berbeda dari kontrol yaitu gram, 35 buah dan 1.21 gram. Sedangkan pada kontrol gram, 40 buah dan bobot per buah 1.17 gram. Penggunaan mulsa cangkang menunjukan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat dan cabai.

4 iv TINGKAT KEMATANGAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DAN PENGGUNAAN BERBAGAI JENIS MULSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN TOMAT ( Lycopersicon esculentum Mill.) DAN CABAI (Capsicum annuum L.) Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : MERCY BIENTRI YUNINDANOVA A PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 v LEMBAR PENGESAHAN Judul : TINGKAT KEMATANGAN KOMPOS TANDAN KOSONG SAWIT DAN PENGGUNAAN BERBAGAI MULSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) dan CABAI (Capsicum annuum L. ) Nama : Mercy Bientri Yunindanova Nomor Induk Mahasiswa : A Program Studi : Agronomi Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Herdhata Agusta NIP Dr. Dwi Asmono APU Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Soepandie, Magr NIP : Tanggal lulus:

6 vi RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Mercy Bientri Yunindanova, dilahirkan di Tegal pada tanggal 22 Juni 1987 dari keluarga pasangan Satudi (Alm) dan Suwarsih M.Pd. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar penulis ditempuh pada tahun di SD Kramat 2 Kabupaten Tegal. Tahun penulis melanjutkan pendidikan di SLTP 1 Purwodadi. Tahun penulis menempuh pendidikan di SMU 1 Purwodadi. Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program studi Agronomi, Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Umum, asisten Dasar-dasar Agronomi, Ekologi Tanaman dan Tanaman Pangan Utama. Pada bidang non-akademis penulis pernah menjadi staf Departemen PSDM HIMAGRON pada tahun 2006 dan Ketua Depertemen Internal HIMAGRON pada tahun Penulis juga aktif di organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Tegal dan Purwodadi.

7 vii KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar yang berjudul Tingkat Kematangan Kompos Tandan Kosong Sawit dan Penggunaan Berbagai Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) dan Cabai (Capsicum annuum L.). Penelitian ini didasari oleh pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) sebagai salah satu usaha mewujudkan nir limbah (Zero waste) pada PKS. Limbah yang digunakan adalah limbah padat hasil pengempaan tandan buah segar (TBS). Pemanfaatan limbah PKS selama ini masih pada tanaman kelapa sawit, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memperluas penggunaan limbah kelapa sawit. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Program Studi Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Januari 2009 Penulis

8 viii UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyalesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW. Pada kesempatan ini, dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak (Alm) dan Ibu tercinta, atas segala doa, kasih sayang dan dukungan yang tak terhingga. Tak lupa adikku Helena Permanasari dan Arzte Lusia Roseana atas semangat yang diberikan. 2. Prof. Dr. Ir. H. M. Ahmad Chozin, M. Agr selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama di IPB. 3. Dr. Herdhata Agusta dan Dr. Dwi Asmono APU selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. 4. Juang Gema Kartika, S. P selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan bagi perbaikan skripsi ini. 5. Ir. Gatot Abdul R. selaku pembimbing lapangan atas arahan dan masukan yang diberikan 6. PT. Sampoerna Agro Tbk. atas segala bantuan yang telah diberikan. 7. Manajer dan seluruh karyawan PT Binasawit Makmur, Kebun Surya Adi atas bantuan dan dukungannya. 8. Manajer dan seluruh karyawan PKS Mutiara Bunda Jaya atas bantuan dan dukungannya. 9. Bapak Saiful Rodhian A, Bapak Edwin Yosef S., Bapak Nur Cahyo I, Ibu Niken R. P., Ibu Dinda A. J. atas bantuan yang diberikan. 10. Seluruh pegawai dan staf pengajar departemen Agronomi dan Hortikultura atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan selama ini. 11. Seluruh teman-teman Agronomi 41, Restu Puji M, Desty Dwi S, Triwidiyati, Via Y, Ichan Fauzi atas dukungan, kebersamaan dan keceriaan yang selalu diberikan.

9 ix 12. Anak-anak Sapi`ers atas kebersamaan dan persaudaraan yang selama ini terjalin. 13. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Bogor, Januari 2009 Penulis

10 x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii PENDAHULAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat... 4 Syarat Tumbuh Tomat... 5 Botani Tanaman Cabai... 5 Syarat Tumbuh Cabai... 6 Limbah Padat Kelapa Sawit... 6 Bahan Organik... 7 Dekomposisi... 8 Kompos TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit)... 9 Mulsa... 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Pelaksanaan Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Hasil Kriteria Sekunder Kematangan Kompos... 21

11 xi Kriteria Kematangan Kompos dari Pertumbuhan Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Cabai (Capsicum annuum L.) Pembahasan Kondisi Pengomposan Pertumbuhan Tanaman KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 64

12 xii DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Hasil Analisis Kompos Tinggi Tanaman Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Diameter Batang Tanaman Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Jumlah Daun, Panjang Akar, Diameter Buah dan Tinggi Buah Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Bobot Tajuk Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Bobot Akar dan Volume Akar Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Bobot Panen Tomat pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Jumlah Buah Tomat pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Daya Hidup Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Bobot Buah Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Tinggi Tanaman Cabai pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umut Kompos Jumlah Daun Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Diameter Batang Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Diameter Tajuk pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Bobot Basah Tajuk Cabai pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan

13 xiii Umur Kompos Bobot Kering Tajuk Cabai pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Bobot Akar Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Volume Akar Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Daya Hidup, Panjang Akar, Bobot Panen, Jumlah Buah dan Bobot Buah Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Lampiran 1. Data Curah Hujan Kebun Surya Adi Hasil Analisis Tanah Awal Data Pengukuran Suhu Kompos Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam Berbagai Peubah Pengamatan Tomat Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam Berbagai Peubah Pengamatan Cabai Persentase Serangan Hama Trips pada Cabai Persentase Gejala Defisiensi Hara pada Cabai SNI Kompos

14 xiv Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman Teks 1.Kondisi Pengomposan Cara Pengukuran Buah Tomat Kondisi Pertanaman Tomat Kondisi Pertanaman Cabai Daun yang Mengalami Defisiensi Hara Daun yang Terkena Trips Perubahan Warna Kompos Jamur yang Membentuk Tubuh Buah Perkembangan Suhu Kompos Kondisi Penutupan yang Kurang Sempurna Miselium Cendawan (Warna Putih) Perakaran Tomat Perakaran Cabai Lampiran 1.Tanaman dan Buah Cabai Genotipe 35C Denah Penelitian Tomat dan Cabai Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Mesin Pembuatan Kompos Larutan Promi Jamur yang Tampak pada Kompos Metode Pengukuran Suhu Kompos Macam Mulsa yang Digunakan Perbedaan Tinggi pada Tanaman Tomat Perbedaan Tinggi pada Tanaman Cabai Hasil Panen Tanaman Tomat dan Cabai Gejala Serangan Hama dan Penyakit pada Tanaman Tomat dan Cabai

15 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Teks Halaman 1.Diskripsi Genotipe cabai 35C Deskripsi Tomat Varietas Ratna (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 100/Kpts/Um/2/1980)... 65

16

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) merupakan tanaman perkebunan yang memegang peranan penting dalam menambah devisa negara. Proses pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi crude palm oil (CPO) menghasilkan biomassa produk samping yang jumlahnya sangat besar. Tahun 2004 volume produk samping sawit sebesar juta ton tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan juta ton cangkang dan serat (Mahajoeno, 2005). Cangkang dan serat kelapa sawit merupakan bagian buah kelapa sawit. Limbah berupa cangkang dan serat diperoleh setelah proses pengempaan buah. Limbah berupa cangkang sebesar 5 % dari TBS. Limbah ini biasanya dipakai sebagai bahan bakar ketel. Limbah serat pada PKS sebanyak 15 % dari TBS. Bentuknya halus dan memiliki kadar air yang cukup rendah. Serat memiliki kadar zat kering 62 % (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005). Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah yang dihasilkan sebanyak 23 % dari tandan buah segar (TBS) (Darnoko, 2005). TKKS merupakan bahan organik yang mengandung unsur N, P, K dan Mg. Pemanfaatan TKKS selama ini diaplikasikan sebagai mulsa yang langsung ditempatkan pada gawangan maupun piringan kelapa sawit. Namun, hal tersebut dapat menimbulkan munculnya hama kumbang yang merusak kelapa sawit. Salah satu pemanfaatan TKKS adalah pemanfaatan TKKS sebagai pupuk kompos. Kompos atau humus adalah bahan organik asal hewan dan atau tumbuhan yang telah mengalami proses pembusukan atau dekomposisi. Tujuan utama pengomposan adalah untuk menghasilkan humus berkualitas sebanyak mungkin. Dalam proses pembusukan terjadi perubahan fisik dan kimia dari sisa-sisa tanaman dan atau hewan menjadi bahan organik matang. Unsur utama yang berperan dalam proses ini adalah mikroorganisme atau mikroba yang terdiri dari jamur, bakteri dan aktinomycetes. Ketepatan pemberian kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan. Tingkat kematangan yang tepat akan menghindari terjadinya proses imobilisasi hara. Respon tanaman merupakan indikator utama dari kualitas kompos. Menurut

18 2 Schuchard, et al. (1998) tingkat kematangan kompos dapat dilihat dari kriteria primer maupun sekunder. Ratio C/N, suhu, kadar air, warna, dan struktur bahan merupakan kriteria sekunder. Sedangkan kriteria utama dari tingkat kematangan kompos adalah pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh pemberian kompos tersebut. Untuk mengetahui kematangan kompos, utamanya diperlukan pengujian langsung terhadap tanaman. Penggunaan kompos pada tanaman sangat bermanfaat untuk menambah hara tanaman. Penambahan pupuk organik yang telah matang dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisis, kimia dan biologi tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian Suryani (2007) bahwa penggunaan kompos jerami padi meningkatkan kadar fosfor dari 32.6 ppm menjadi ppm setelah tiga bulan pertama. Begitu juga dengan kadar kalium meningkat menjadi 1.20 me/100g dari 0.31 me/100g. Sedangkan terhadap sifat biologi tanah, penggunaan kompos jerami padi dapat meningkatkan jumlah cacing tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian Suryani (2007) bahwa penggunaan kompos jerami padi memberikan jumlah cacing tanah 906 ekor/m 2 sedangkan kontrol hanya 437 ekor/m 2. Dengan mengetahui tingkat kematangan yang tepat, diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan efisien dalam penggunaan waktu. Begitu juga dengan pemanfaatan limbah padat lainnya. Limbah padat seperti cangkang dan fiber kelapa sawit sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai mulsa pada pembibitan kelapa sawit. Selama ini pembibitan kelapa sawit menggunakan mulsa cangkang. Selanjutnya diharapkan dapat digunakan bahan lain sebagai mulsa. Mulsa berguna untuk mereduksi evaporasi dan aliran permukaan, menjaga kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan gulma. Selain bermanfaat bagi tanaman, hal ini juga dapat mengurangi limbah pabrik kelapa sawit. Tomat merupakan komoditi sayuran buah yang penting di Indonesia karena banyak dibutuhkan masyarakat untuk berbagai keperluan baik untuk konsumsi segar maupun sebagai bahan olahan dan di samping itu tomat diketahui memiliki nilai gizi yang tinggi. Menurut Kartapradja dan Djuariah (1992), buah tomat saat ini merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi dan masih memerlukan penanganan serius, terutama dalam hal

19 3 peningkatan hasilnya dan kualitas buahnya. Cabai adalah tanaman yang paling populer digunakan secara luas sebagai bumbu di seluruh dunia. Selain sebagai bumbu dan penggugah selera, cabai juga banyak digunakan pada terapi kesehatan ( Poulos, 1994). Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dan pengaruh penggunaan beberapa jenis mulsa yang berasal dari limbah padat kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dan Cabai (Capsicum annuum L. ) Hipotesis 1. Kompos TKKS dengan C/N ratio terendah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dan cabai. 2. Penggunaan mulsa limbah padat kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dan cabai. 3. Terdapat interaksi tingkat kematangan kompos dan penggunaan berbagai jenis mulsa terhadap pertumbuhan dan serapan hara tanaman tomat dan cabai.

20 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) memiliki klasifikasi tanaman sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Lycopersicon(Lycopersicum) Species : Lycopersicon esculentum Mill. Tanaman tomat termasuk tanaman setahun (annual) yang berarti umur tanaman ini hanya satu kali periode panen. Setelah berproduksi kemudian mati. Menurut Ashari (2006) tanaman tomat merupakan herba semusim, bunganya hermafrodit dan bersifat self-compatible pada daerah yang lebih dingin. Penyerbukan sendiri sangat tinggi persentasenya. Namun demikian, di daerah tropik 24 % buah terjadi melalui penyerbukan silang oleh serangga penyerbuk. Tanaman tomat tingginya dapat mencapai 1 meter, batangnya tegak atau menjalar, padat dan berambut. Duduk daunnya teratur secara spiral dengan filotaksis 2/5. Ada dua golongan tanaman tomat yaitu tipe determinate dan indeterminate (Ashari, 2006). Tomat mempunyai akar tunggang, tumbuh dengan baik secara horisontal maupun vertikal. Daerah perakarannya dapat mencapai 1.5 m sedangkan ujung akarnya dapat mencapai kedalaman 0.5 m pada kondisi lingkungan yang optimum. Batang tanaman tomat berbentuk silinder, diametr batang dapat mencapai 4 cm dan ditutupi oleh bulu-bulu halus. Batang tanaman tomat lunak, sedikit berkayu sehingga mudah patah, serta mempunyai banyak cabang. Daun tanaman tomat termasuk majemuk dan bercelah menyirip (Jaya, 1997). Sedikitnya terdapat 600 varietas, penggolongan varietas tersebut didasarkan atas cara tumbuh dan habitus tanaman (determinate dan indeterminate), bentuk buah, besar buah, metode penanaman (rumah kaca atau lahan), dan tujuan memproduksi (sayuran segar atau untuk olahan).

21 5 Syarat TumbuhTomat Tanaman tomat tergolong warm season crop dengan suhu optimum o C, namun menghendaki suhu silih berganti siang panas dan malam dingin untuk pembungaannya yang terbaik (25 o /18 o C) (Harjadi, 1989). Menurut Ashari (2006) apabila suhu melebihi 26 o C, di daerah tropik, hujan lebat dan mendung menyebabkan dominasi pertumbuhan vegetatif di samping masalah serangan penyakit tanaman. Sedangkan pada daerah kering, suhu tinggi, kelembaban rendah dapat menyebabkan hambatan pembungaan dan pembentukan buah. Tanaman tomat menghendaki sinar yang cerah sedikitnya 6 jam lama penyinaran. Syarat tanah yang dikehendaki tidak terlalu sukar, karena dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah (Harjadi, 1989). Untuk pertumbuhan yang baik, tanaman tomat membutuhkan tanah yang gembur, tanah sedikit mengandung pasir dan banyak mengandung humus serta pengairan yang teratur dan cukup mulai tanam sampai waktu tanaman dapat dipanen. Tanaman tomat tidak senang pada tanah yang tergenang air atau tanah yang becek. Hidayat (1997) menambahkan bahwa kemasaman tanah yang baik untuk tanaman tomat adalah kisaran antara 5.5 sampai dengan 6,5. Botani Tanaman Cabai Dalam taksonomi, tanaman cabai diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Sympetale Ordo : Tubiflorae (Solanales) Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Spesies : Capsicum annuum L. Cabai merupakan tanaman terna tahunan yang tumbuh tegak dengan batang berkayu, banyak cabang serta ukuran yang mencapai tinggi 120 cm dan lebar tajuk tanaman hingga 90 cm. Daun cabai berbentuk bulat telur, lonjong

22 6 dengan ujung yang meruncing, tergantung spesies dan varietasnya. Bunga cabai keluar dari ketiak daun dan berbentuk seperti terompet. Cabai berakar tunggang, terdiri atas akar utama dan akar lateral yang mengeluarkan serabut dan mampu menembus ke dalam tanah hingga 50 cm dan melebar hingga 45 cm (Topan, 2008). Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, dari tanah berpasir sampai tanah berliat. Tanah jenis lempung berpasir dengan kandungan bahan organik tinggi dan drainase baik, sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman cabai. Tanaman cabai cukup toleran terhadap tanaah masam, tetapi produktivitasnya akan turun pada ph kurang dari 5 (Thompson dan Kelly, 1957). Tanaman cabai mempunyai kebutuhan air yang sama dengan tanaman tomat. Air merupakan faktor pembatas yang sangat penting untuk mendapatkan hasil panen cabai yang baik. Topan (2008) menambahkan bahwa intensitas curah hujan yang baik untuk pertumbuhan cabai merah adalah 1000 mm/tahun. Perkecambahan biji yang baik pada tanaman cabai adalah pada suhu C. Suhu optimal untuk produktivitas yang baik adalah C. Buah tidak akan terbentuk pada suhu di bawah 16 0 C atau di atas 32 0 C. Namun demikian bunga akan gugur apabila suhu malam di atas 24 0 C. Perkecambahan serbuk sari akan optimum pada suhu antara C. Serbuk sari akan rusak bila di atas 30 0 C (Bosland dan Votava, 2000). Limbah Padat Kelapa Sawit Limbah padat kelapa sawit terdiri dari tandan buah kosong, serat, cangkang biji, batang pohon dan pelepah daun. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah yang dihasilkan sebanyak 23 % dari tandan buah segar (TBS) (Darnoko, 2005). TKKS adalah limbah padat yang terbuang dari proses penebahan setelah tandan rebus dipisahkan dari buahnya, banyaknya lebih kurang 25 % dari TBS (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005). Ketersedian TKKS cukup besar sejalan dengan peningkatan jumlah dan kapasitas pabrik kelapa sawit (PKS) untuk menyerap TBS yang dihasilkan (Tobing, 2002). Salah

23 7 satu potensi TKKS yang cukup besar adalah sebagai bahan pembenah tanah dan sumber hara bagi tanaman. Potensi ini didasarkan pada materi TKKS yang merupakan bahan organik dengan kandungan hara yang cukup tinggi. Tandan kosong sawit mengandung 42,8 % C, 2,90 % K 2 O, 0,80 % N, 0,22 % P 2 O 5, 0,30 % MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu, dan 51 ppm Zn (Singh et al., 1990). Pemanfaatan TKS sebahai bahan pembenah tanah dapat dilakukan dengan cara aplikasi langsung sebaagai mulsa dan kompos TKS (Tobing, 2002). Cangkang sawit merupakan salah satu bahan sisa industri pengolahan kelapa sawit yang cukup besar jumlahnya. Diperkirakan terdapat 3 juta ton cangkang sawit setiap tahunnya dari pengolahan tersebut (Anonim, 2003). Cangkang buah kelapa sawit merupakan hasil pecahan tempurung biji sawit. Limbah berupa cangkang sebesar 5 % dari TBS. Limbah ini biasanya dipakai sebagai bahan bakar ketel. Biasanya cangkang dipakai sebagai tambahan pada bahan bakar serabut sampai 15 %. Cangkang mempunyai kelebihan karena dapat dipakai sebagai bahan pelapis dan pengeras permukaan badan jalan di kebun. Cangkang juga dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan arang yang selanjutnya digunakan untuk pembuatan karbon aktif (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005). Serat (serabut) kelapa sawit merupakan salah satu limbah padat PKS. Limbah serat pada PKS sebanyak 15 % dari TBS. Serat sawit diperoleh setelah pemisahan biji dari serabut. Bentuknya halus dan memiliki kadar air yang cukup rendah. Banyaknya adalah 15 % dari TBS dengan kadar zat kering 62 % (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005). Bahan Organik Bahan organik adalah semua fraksi bukan mineral yang ditemukan sebagai komponen penyusun tanah. Bahan organik berasal dari jaringan tumbuhan dan hewan. Jaringan tumbuhan tersebut bisa berasal dari sisa panen, gulma, serasah maupun tumbuhan air. Bahan organik di dalam tanah secara terus-menerus akan mengalami perubahan sehingga harus selalu diberikan agar produktivitas tanah tetap terjaga.

24 8 Pemberian bahan organik juga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui sumbangan unsur-unsur hara seperti N, P, K, Ca, dan Mg baik dalam bentuk organik maupun anorganik setelah termineralisasi. Pemberian bahan organik dapat memperbaiki sifat tanah dan pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hafif, Suhardjo, dan Erfandi (1993) yang menunjukan bahwa pemberian bahan organik dalam bentuk pupuk kandang 3 ton/ha ke dalam tanah disertai pemberian mulsa jerami 6 ton/ha pada lahan kering di Lampung memberikan pertumbuhan dan produksi kedelai yang baik. Dekomposisi Dekomposisi bahan organik merupakan perubahan fisik dan kimia bahan organik menjadi komponen sederhana oleh mikroba pada kondisi kelembaban dan aerasi baik. Proses dekomposisi dimulai dengan aktivitas mikroba menggunakan bahan organik untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pada proses dekomposisi dibebaskan CO 2, energi dan pembentukan senyawa-senyawa antara. Akhirnya energi dan makanan mikroba habis sehingga banyak mikroba yang mati dan diikuti dengan berakhirnya proses dekomposisi. Pada akhir proses - dekomposisi dijumpai senyawa-senyawa antara NO 3 dan SO - 4. Kompos atau humus adalah bahan organik asal hewan dan atau tumbuhan yang telah mengalami proses pembusukan atau dekomposisi. Tujuan utama pengomposan adalah untuk menghasilkan humus berkualitas sebanyak mungkin. Dalam proses pembusukan terjadi perubahan fisik dan kimia dari sisa-sisa tanaman dan atau hewan menjadi bahan organik matang. Unsur utama yang berperan dalam proses ini adalah mikroorganisme atau mikroba yang menyukai bahan organik mentah sebagai sumber makanannya. Proses pengomposan akan membutuhkan waktu lebih lama dengan semakin tingginya nisbah C/N bahan. Kecepatan dekomposisi bahan organik ditentukan oleh sifat bahan (C/N ratio, komposisi bahan, ukuran) maupun kondisi lingkungan yang meliputi kemasaman, suhu, dan aerasi.

25 9 Kompos TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) Kompos adalah bahan organik mentah yang telah mengalami proses dekomposisi secara alami. Proses pengomposan memerlukan waktu yang panjang tergantung jenis biomassanya. Percepatan masa pengomposan ini dapat ditempuh melalui kombinasi pencacahan bahan baku dan pemberian aktivator dekomposisi (Goenadi, 1997). Teknologi produksi kompos dari tandan kosong sawit (TKKS) merupakan satu teknologi pengolahan limbah yang sekaligus dapat mengatasi masalah limbah padat dan limbah cair di PKS. Teknologi ini memungkinkan PKS dapat mencapai zero waste (Darnoko dan Sembiring, 2005). Menurut Sutarta et al., (2005) TKKS mempunyai kadar C/N yang tinggi yaitu lebih dari 45 yang dapat menurunkan ketersediaan N pada tanah karena N terimobilisasi dalam proses perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pengomposan untuk menurunkan kadar C/N hingga mendekati kadar C/N tanah (± 15). Proses pengomposan TKKS yang dilakukan oleh Goenadi dan Away (1995) selama empat minggu dengan Orgadect menghasilkan kompos bioaktif TKKS yang mengandung 1.5 % N, 0.8 % P 2 O 5, 2.5 % K 2 O, 1.0 % CaO, dan 0.9 % MgO. Penggunaan kompos TKKS ini sebanyak 25 % volume polibag dapat mengurangi dosis pupuk kimia hingga tinggal 25 % saja. Mulsa Mulsa diartikan sebagai bahan atau material yang dihamparkan di permukaan tanah (Rowe-Dutton dan Woods, 1957). Penggunaan mulsa berhubungan dengan iklim mikro tanah dan tanaman. Mulsa berguna untuk mereduksi evaporasi dan aliran permukaan, menjaga kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan gulma. Mulsa akan mencegah erosi dengan menghindarkan pengaruh langsung curah hujan terhadap tanah. Penelitian yang dilakukan oleh Sinukaban (1990), menunjukan bahwa pemberian mulsa jerami pada latosol Coklat Kemerahan Darmaga dapat mengurangi besarnya erosi melalui pengukuran sedimen yaitu dari 8.7 g/l pada perlakuan tanpa mulsa menjadi 2.4 g/l pada pemberian mulsa 3.8 ton/ha, disamping itu menurunkan jumlah hara yang hilang melalui erosi.

26 10 Mulsa sebagai sumber energi akan meningkatkan kegiatan biologi tanah sehingga kemantapan struktur tanah akan meningkat, aerasi tanah menjadi lebih baik dan permeabilitas tanah tetap terpelihara. Hasil penelitian Suganda, Abas dan Suwardjo (1993) menunjukan bahwa pengolahan tanah diikuti dengan pemberian mulsa jerami padi 6 ton/ha dapat menurunkan ketahanan tanah lapisan atas menjadi kurang dari 10 kg F/cm 2. Tindakan penggunaan mulsa juga dimaksudkan untuk mengurangi fluktuasi suhu yang terlalu tinggi. Suwardjo (1981) dari penelitiannya pada tanah Latosol menunjukan bahwa dengan penggunaan mulsa, suhu maksimum pada kedalaman 5 cm turun 6 o sampai 12 o C dan pada kedalaman 10 cm turun 4 o sampai 6 o C, sedangkan suhu minimun naik rata-rata satu derajat celcius. Mulsa di samping berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah, juga berpengaruh terhadap produksi tanaman karena terciptanya kondisi tanah yang baik untuk perkembangan akar tanaman dan dapat menekan pertumbuhan gulma sehingga mengurangi persaingan dalam memanfaatkan unsur hara dan air dari tanah. Hasil tanaman akan lebih tinggi bila digunakan mulsa dibanding tanpa mulsa. Penelitian Suganda et al. (1993) memperlihatkan bahwa kombinasi pengolahan tanah dengan pemberian mulsa jerami 6 ton/ha meningkatkan tinggi tanaman umur 2 MST-4 MST 1.5 kali dan dapat meningkatkan produksi kacang hijau sekitar ku/ha. Penggunaan mulsa secara umum dapat menekan kehilangan air dari dalam tanah karena mengurangi evaporasi. Hasil penelitian Suganda et al. (1993) memperlihatkan bahwa penggunaan mulsa jerami padi 6 ton/ha dapat menekan jumlah penggunaan air hujan maupuan air irigasi sehingga menjadi lebih hemat yaitu 120 mm dengan efisiensi penggunaan air terhadap produksi biji lebih dari 6.13 kg/ha/mm air. Hal ini sejalan dengan penelitian Kemper, Nicks dan Corey (1994) bahwa penggunaan mulsa kerikil dengan ketebalan 5 cm dapat meningkatkan jumlah air di dalam tanah sekitar 80 sampai 85 % dari curah hujan tahunan. Hasil penelitian Leomo (1995) mengenai manfaat pemakaian mulsa pada tingkat penutupan tanah 30 sampai 60 % dapat menurunkan ketahanan penetrasi tanah sebesar % (kedalaman 0-10 cm ) dan % (kedalaman cm).

27 11 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Surya Adi, PT. Bina Sawit Makmur PT. Sampoerna Agro Tbk. Palembang Sumatra Selatan. Analisis tanah dan jaringan tanaman dilakukan di Balai Bioteknologi Perkebunan, Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga Oktober Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) varietas Ratna, benih cabai genotipe 35C2, kompos TKKS, cangkang kelapa sawit, fiber, cacahan TKKS, pupuk Urea, pupuk RP (Ca 3 (PO 4 ) 2 ) (30 % P 2 O 5 ), pupuk MOP, pupuk gandasil, pupuk majemuk NPK mutiara (16:16:16), polibag ukuran 40 cm x 50 cm, insektisida (Decis), bakterisida (Agrep WP) dan fungisida (Dithane). Sedangkan alat yang digunakan adalah alat budidaya pertanian, tray, meteran, timbangan, jangka sorong, ajir, gunting dan oven. Metode Penelitian ini menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Sebagai petak utama adalah penggunaan mulsa yaitu : 1. Tanpa mulsa (M0) 2. Mulsa cangkang (M1) 3. Mulsa fiber (M2) 4. Mulsa cacahan TKKS (M3) Sedangkan anak petaknya adalah tingkat kematangan kompos dengan lima taraf perlakuan yaitu 1. Tanpa kompos (K0) 2. Umur 4 minggu (K1) 3. Umur 6 minggu (K2) 4. Umur 8 minggu (K3) 5. Umur 10 minggu (K4)

28 12 Penelitian ini dilakukan di polibag dan terdapat 20 kombinasi perlakuan dimana tiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali sehingga diperlukan 60 satuan percobaan. Pada penanaman tomat, setiap satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman. Total tanaman tomat yang digunakan adalah 1200 tanaman. Pada penanaman cabai, setiap satuan percobaan terdiri dari 16 tanaman. Total tanaman cabai yang digunakan adalah 960 tanaman. Model rancangan linier yang digunakan adalah sebagai berikut : Y ijk = µ + α i + β j + δ ij + τ k + (αβ) jk + ε ijk Keterangan : Y ijk = Nilai pengamatan pada ulangan ke-i, mulsa ke-j dan tingkat kematangan kompos ke-k µ = Nilai rataan umum α i β j τ k δ ij = Pengaruh ulangan ke-i (i=1,2,3..) = Pengaruh mulsa ke-j (j=1,2,3,..) = Pengaruh kematangan kompos ke-k (k=1,2,3,..) = Pengaruh galat yang muncul pada petak utama (αβ) ik = Nilai interaksi antara mulsa dan tingkat kematangan kompos ε ijk = galat percobaan Analisis data hasil penelitian menggunakan uji-f. Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada 5 %. Pelaksanaan Pembuatan Kompos Pembuatan kompos TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) dilakukan di PKS Mutiara Bunda Jaya. Pembuatan kompos diawali dengan pencacahan TKKS dengan mesin pencacah kompos. Selanjutnya cacahan tersebut diberi aktivator. Pembuatan Kompos ini menggunakan aktivator Promi dengan dosis digunakan 0,5 kg untuk setiap 1 ton cacahan TKKS atau 25 kg Promi untuk 50 ton cacahan TKKS. Aktivator dilarutkan ke dalam air dengan ukuran 200 L setiap 25 kg Promi. TKKS yang telah dicampur Promi selanjutnya dibawa ke lapangan untuk

29 13 dibentuk composting pile. Composting pile berukuran ukuran lebar 4 m, tinggi 1.5 m dan panjang 50 m dan ditutup dengan terpal. Selanjutnya diinkubasi sesuai waktu perlakuan. Mekanisme pengomposan yang digunakan yaitu pengomposan secara aerob. Pada proses pengomposan ini tidak dilakukan pembalikan. Gambar 1. Kondisi Pengomposan Persemaian Benih tanaman tomat dan cabai disemai di dalam tray dengan kedalaman ± 0.5 cm. Media tanam yang digunakan pada proses penyemaian adalah campuran tanah top soil dan kascing (kotoran cacing). Setelah 14 hari dipindah tanamkan. Selama penyemaian dilakukan pula pemupukan gandasil atau pupuk daun untuk menambah hara. Persiapan Media Tanam Media tanah yang digunakan adalah campuran tanah dan kompos sesuai perlakuan dengan perbandingan 2 : 1 (v/v). Selanjutnya tanah dan kompos dicampur dan didiamkan selama 1 minggu agar merata. Pada bagian permukaan media, ditambahkan tanah setebal 5 cm untuk mempermudah penanaman agar bibit tidak rebah. Selanjutnya media terlebih dahulu diberi pupuk RP sebanyak 20 g/polibag. Penggunaan pupuk RP dikarenakan kondisi tanah yang masam sehingga diperlukan pemberian pupuk RP (Ca 3 (PO 4 ) 2 ) yang mengandung Ca.

30 14 Penanaman Penanaman dilakukan dalam polibag dengan ukuran 40 cm x 40 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 90 cm x 90 cm x 90 cm. Alasan jarak tanam ini adalah untuk menyesuaikan dengan lubang pada selang penyiraman sehingga mempermudah penyiraman. Pada saat penanaman diberikan pupuk Urea 5 g/tanaman dan MOP 10 g/tanaman. Pupuk diberikan dengan cara membuat alur melingkar di sekitar tanaman. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah penanaman. Pemasangan mulsa Pemasangan mulsa dilakukan masing-masing dengan ketebalan 3-5 cm. Pemasangan mulsa dilakukan 1 minggu setelah tanam. Pemberian mulsa rata-rata sebanyak 200 gram untuk cangkang dan 100 gram masing-masing untuk fiber dan cacahan TKKS. Pemupukan Selain dilakukan pemupukan dasar, dilakukan pula pemupukan susulan dengan penggunaan pupuk majemuk NPK (16:16:16). Proses pemupukan dilakukan dengan cara melarutkan pupuk dalam air dengan konsentrasi 20 g/liter. Dosis per tanaman 150 cc/tanaman dan dilakukan 10 hari sekali mulai 20 hari setelah tanam. Pemeliharaan Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman, pewiwilan, pengajiran, dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengajiran dilakukan tiga minggu setelah tanam. Penyemprotan hama dan penyakit dilakukan seminggu sekali secara bergantian.

31 15 Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap kompos dan pertumbuhan tanaman. Pengamatan pada kompos meliputi : 1. Warna Warna diamati secara visual dengan melihat perubahan warna dari setiap perlakuan kompos. 2. Struktur Berusaha melihat secara perubahan tingkat keremahan atau kelunakan kompos dari sesuai tingkat kematangan. 3. Perubahan suhu Perubahan suhu dilihat setiap minggu dengan cara sampling yaitu pada 3 kedalaman kompos yaitu 0-40 cm, cm dan cm dengan alat termometer dengan bantuan gancu. 4. Kandungan kimia Kandungan kimia diuji di laboratorium untuk mengetahui kandungan N, P, K, Ca, Mg, Na, C-Org, C/N Ratio, Fe, Mn, B, Cu, logam berat Pb, Cd, Hg dan As, ph dan Kadar Abu. 5. Kadar Air Pengamatan kadar air juga dilakukan di laboratorium, dengan cara mencari perubahan bobot kompos setelah dan sebelum dioven. Pengamatan pada tanaman tomat dan cabai meliputi : Pengamatan vegetatif Pengamatan peubah vegetatif dilakukan terhadap 16 tanaman contoh dari setiap satuan percobaan yang meliputi : 1. Tinggi Tanaman (cm) Pengamatan dilakukan satu minggu sekali. Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari pangkal hingga titik tumbuh. Dilakukan mulai 2 MST hingga 9 MST pada tomat. Pada cabai 2 MST hingga 12 MST. 2. Diameter Batang (mm) Pengamatan dilakukan bersamaan dengan pengamatan tinggi tanaman.

32 16 3. Jumlah Daun Jumlah daun pada tanaman tomat diamati mulai 2 MST hingga sebelum diwiwil atau dipangkas tunas sampingnya, yaitu umur 5 MST pada tomat. Sedangkan pada tanaman cabai hingga 6 MST. 4. Diameter Tajuk Diameter tajuk khusus diamati pada tanaman cabai. Pengamatan dilakukan pada 10 MST dan 12 MST. 5. Bobot Basah Tajuk dan Akar Pengamatan dilakukan setelah panen. 6. Bobot Kering Tajuk dan Akar Setelah ditimbang bobot basah, kemudian dioven kemudian ditimbang bobot keringnya. 7. Panjang Akar Pengamatan dilakukan setelah tanaman berakhir dengan melihat panjang akar terpanjang. 8. Volume akar Volume akar dihitung dengan cara memasukan akar ke dalam gelas ukur yang berisi air kemudian dilihat pertambahan tingginya. Pengamatan Generatif 1. Diameter Buah dan Tinggi Buah Pengamatan ini khusus dilakukan pada buah tomat untuk mengetahui ukuran buah. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Tinggi Buah Diameter Buah Gambar 2. Cara Pengukuran Buah Tomat

33 17 2. Jumlah Buah Jumlah buah merupakan jumlah buah yang dihasilkan dari panen pertama hingga terakhir dari tiap tanaman. 3. Bobot Panen Bobot panen diperoleh dari total bobot buah yang didapat. 4. Bobot per Buah Dilakukan dengan membagi bobot panen dengan total buah yang dihasilkan.

34 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Penanaman tomat dan cabai pada penelitian ini dilakukan pada tanah ultisol pada ketinggian tempat 100 meter di atas permukaan laut (m dpl). Selama penelitian berlangsung suhu udara rata-rata berkisar 30 0 C. Curah hujan pada saat penelitian berkisar 38 mm/bulan 274 mm/bulan. Dengan hari hujan antara 2 hari - 14 hari (Tabel Lampiran 1). Berdasarkan analisis tanah pada awal penelitian menunjukkan bahwa tanah pada lokasi penelitian memiliki tekstur liat dengan kandungan liat %. Sifat tanah sangat masam dengan ph Kandungan C-Organik, N-total dan KTK tergolong rendah yaitu 0.57 %, % dan 7.04 me/100g. Pada jenis tanah ultisol biasanya ketersediaan haranya rendah seperti N, P dan K. Bentuk P umumnya didominasi oleh bentuk reduction soluble Fe-P, Al-P dan Al-P terselubung (Leiwakabessy et al, 1972). Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Persentase daya tubuh tanaman pada minggu pertama di lapangan rata-rata %. Penyulaman tanaman dilakukan 1 minggu setelah tanaman (MST). Tanaman tomat mulai berbunga pada umur hss. Pembungaan 50% pada tanaman tomat berlangsung serempak pada semua perlakuan. Waktu berbunga ini 20 hari lebih cepat dari waktu pembungaan pada umumnya. Mulai berbuah umur hss (hari setelah semai) dan panen pertama pada umur 70 hss. Hal ini kemungkinan karena kondisi tanah yang memiliki kesuburan rendah, masam dan suhu lingkungan sekitar yang tinggi sehingga tanaman beradaptasi dengan cara membentuk bunga lebih cepat. Gambar 3. Kondisi Pertanaman Tomat

35 19 Selama proses pertumbuhan tanaman, terjadi serangan hama dan penyakit. Hama yang menyerang terdiri dari belalang, semut, penggerek daun (Liriomyza sp.), dan ulat. Serangan hama mulai 3 MST. Serangan belalang, semut dan penggerek daun tidak menyebabkan banyak kerusakan. Hal ini karena pengendalian hama dilakukan secara rutin. Ulat yang menyerang adalah Helicoverpa armigera yang menyerang buah hingga timbul lubang-lubang yang tidak beraturan pada buah. Buah yang terserang menjadi busuk dan jatuh ke tanah. Kerusakan yang ditimbulkan dapat merusak buah hingga 20%. Penyakit yang menyerang tanaman tomat antara lain penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum. Bakteri ini menyerang bagian akar. Bila suhu tinggi, tanah lembab dan pembuangan air kurang lancar, biasanya penyakit ini sering muncul dengan cepat. Tanaman yang terserang penyakit ini layu mendadak dan mati dalam beberapa hari. Usaha pengendalian yang dilakukan adalah dengan penyemprotan bakterisida Agrep 20WP. Penyakit ini menyebabkan kematian tanaman hingga 25% dari total populasi. Cabai (Capsicum annuum L.) Pada awal pertumbuhan, daya tumbuh tanaman rata-rata mencapai 98.64%. Namun pada 1 MST dilakukan penyulaman. Selama proses pertumbuhan, terjadi serangan hama dan penyakit. Hama-hama yang menyerang antara lain kutu daun (Myzus persicae), trips dan ulat grayak (Spodoptera litura). Ulat grayak hanya menyerang 1 plot percobaan terhadap 2-3 tanaman dan hanya berlangsung cepat karena langsung dilakukan penyemprotan. Hama yang paling parah menyerang adalah kutu daun. Serangannya menyebabkan daun-daun melengkung, keriting, belang kekuningan sehingga produksinya menurun. Serangan kutu daun tampak meluas mulai tanaman berbunga, hampir 80% populasi mengalami gejala daun yang belang dan keriting. Pada beberapa plot, ditemukan beberapa tanaman yang menunjukkan gejala kerdil. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah. Tingginya kemasaman menyebabkan beberapa unsur hara tidak tersedia dengan baik sehingga tanaman tumbuh kerdil. Sedangkan penyakit yang menyerang adalah dumping off atau rebah kecambah. Penyakit ini disebabkan oleh Rhizoctonia sp dan Phytium sp.

36 20 Setelah tanaman mulai berbuah, tanaman juga menunjukkan gejala kekurangan hara. Kekurangan hara ini tampak pada daun-daun bagian bawah. Hal ini kemungkinan adanya gejala kekurangan Mg karena daun-daun tampak menguning tetapi tulang daun tetap hijau. Terdapat juga daun-daun tua yang menguning. Gejala kekurangan N ditandai dengan tajuk tanaman tetap hijau tetapi dedaunan tua menguning secara merata kemudian mengering (Hanafiah, 2005). Gejala kekurangan Mg terlihat pada daun-daun tua. Warna daun berubah menjadi kuning dan bercak-bercak merah coklat sedangkan tulang daun tetap hijau (Suriatna, 1988). a b Gambar 4. Kondisi Pertanaman Cabai Gambar 5. Daun yang Mengalami Gejala Defisiensi Hara a. N, b. Mg Gambar 6. Daun yang Terkena Trips

37 21 HASIL Tingkat kematangan kompos dapat dilihat dari kriteria primer maupun sekunder. Ratio C/N, suhu, kadar air, warna, dan struktur bahan merupakan kriteria sekunder. Sedangkan kriteria utama dari tingkat kematangan kompos adalah pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh pemberian kompos tersebut. ( Schuchard, et al., 1998). Respon tanaman merupakan indikator utama dari kualitas kompos. Kriteria Sekunder Kematangan Kompos Warna TKKS Segar 4 minggu 6 minggu 8 minggu 10 minggu Gambar 7. Perubahan Warna Kompos Sebelum pengomposan, warna yang tampak adalah warna TKKS segar yang berwarma coklat muda. Setelah terjadi proses pengomposan, terjadi perubahan warna menjadi lebih tua. Pada umur 4 minggu, warna berubah menjadi lebih coklat tua. Pada umur kehitaman. Tingkat warna kompos TKKS Kompos 4 Minggu Kompos 6 Minggu : X : XXX : XXXX 8 minggu hingga 10 minggu, kompos tampak Kompos 8 Minggu : XXXX Kompos 10 Minggu : XXXXX Keterangan: x : tingkat warna coklat Kompos umur 8 dan 10 minggu memiliki warna kehitaman. Hal ini sudah sesuai dengan kriteria kematangan kompos berdasarkan standar SNI.

38 22 Stuktur Sebelum proses pengomposan, dilakukan proses pencacahan untuk memperluas permukaan dengan tujuan mempercepat laju reaksi. Hasil pencacahan menghasilkan serat TKKS yang berukuran 6-8 cm. Struktur serat tersebut, dari awal pencacahan hingga umur 10 minggu tidak banyak merubah, hanya memasuki 6 minggu, serat lebih lunak. Semakin lama waktu pengomposan, serat yang dihasilkan menjadi lebih lunak. Tingkat kekerasan kompos TKKS : XXXX Kompos 4 Minggu : XXXX Kompos 6 Minggu : XXX Kompos 8 Minggu : XX Kompos 10 Minggu : X Keterangan: x : tingkat kekerasan coklat Pada struktur kompos ditemukan miselium putih yang menunjukkan adanya aktivitas jamur. Terdapat juga jamur yang membentuk tubuh buah, atau tergolong dalam Basidiomycetes. Gambar 8. Jamur yang Membentuk Tubuh Buah Perubahan Suhu Perubahan suhu merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme pada proses pengomposan. Mikroorganisme yang hidup pada kompos tergantung pada suhu dan terbagi menjadi tiga kategori yaitu Cryophiles ( C), Mesophiles ( C) dan Thermophiles (>45 0 C) (Epstein, 1997; Stofella and Kahn, 2001).

39 23 Perkembangan SuhuKompos S u h u Minggu Gambar 9. Perkembangan Suhu Kompos Pada pengamatan suhu kompos, terlihat adanya peningkatan suhu kompos hingga umur 4 minggu, kemudian berangsur-angsur turun hingga mencapai suhu terendah pada umur 10 minggu yaitu C. Pada awal pengomposan, mikroorganisme mulai aktif dengan banyak mengkonsumsi energi panas, sehingga suhu tumpukan kompos naik. Menurut Susilawati (1998), suhu di atas 60 0 C sangat dibutuhkan dalam pengomposan karena dapat mematikan mikroorganisme-mikroorganisme patogen serta hama lainnya yang tidak diinginkan dan berbahaya baik bagi tanaman, manusia dan hewan. Selanjutnya suhu berangsur turun sejalan dengan penurunan jumlah makanan dan penurunan aktivitas mikroba. Namun, pada proses pengoposan ini terlihat bahwa suhu awal hingga umur 10 minggu, temperatur > 45 0 C. Hal ini menunjukan bahwa pada proses ini lebih dominan memanfaatkan bakteri termofiles. Namun terlihat bahwa secara umum suhu tidak banyak berubah. Dari perubahan suhu tersebut dapat dikatakan bahwa pengomposan belum banyak terlihat. Kadar Air Air adalah bahan yang penting untuk aktivitas bakteri pada proses komposting. Unsur hara harus dipecah dalam air sebelum diasimilasi. Kadar air pada kompos berasal dari dua sumber yaitu kandungan air dari asal bahan dan hasil metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme.

40 24 Nilai kelembaban optimum untuk bahan organik dikemukakan oleh Jeris dan Regan (1973) dengan nilai diantara 25-80%. Sedangkan menurut Yang (1997) kadar air yang optimal untuk memulai pengomposan adalah sekitar %. Kadar air optimal yang dibutuhkan tergantung pada jenis mikroorganisme yang diinginkan dan jenis bahan yang digunakan untuk pengomposan (Susilowati, 1998). Hasil penelitian menunjukan bahwa pada proses pengomposan nilai kelembaban masih dalam batas yang menguntungkan bagi perkembangan mikroorganisme. Nilai yang ditunjukkan tidak banyak berbeda antar perlakuan umur kompos. Kandungan kimia Tabel 1. Hasil Analisis Kompos Hasil Analisis Umur C- Kompos N P K Ca Mg Na Org C/N Fe Mn (minggu) % % % % % ppm % % ppm Hasil Analisis Umur K. K. Kompos B Cu Pb Cd Hg As ph Abu Air (minggu) ppm ppm Ppm ppm ppm ppm H 2 O % % Ttd ttd Ttd ttd Ttd ttd Ttd ttd Sifat-sifat kompos hasil analisis dapat menunjukkan pengaruh kualitas kompos terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman yang diuji. Pengomposan pada tandan kosong kelapa sawit ialah menurunkan C/N ratio TKKS yang awalnya dapat mencapai > 50. Pada pengamatan C/N ratio, terlihat bahwa hingga umur 8 minggu terjadi reduksi C/N ratio. Reduksi terlihat lebih cepat pada umur 4 hingga 6 minggu. Nilai C/N ratio yang diamati pada percobaan menunjukkan bahwa nilai terkecil pada kompos 8 minggu yaitu Nisbah C/N akan mempengaruhi serapan hara. Tisdale dan Nelson (1975)

41 25 menyatakan bahwa bahan organik dengan nisbah C/N <20 akan terjadi mineralisasi N, dan bila nisbah tersebut >30 akan terjadi immobilisasi N, dan bila nilainya antara 20-30, tidak terjadi mineralisasi dan immobilisasi N. Nilai ph kompos umur 4, 6, 8 dan 10 menunjukkan nilai >7. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kompos dapat memperbaiki tingkat kemasaman tanah. Pada proses pengomposan terlihat adanya penurunan nilai ph mulai minggu ke 4 hingga minggu 10 yaitu 8.66, 8.58 dan Hal ini dikarenakan pada tahap tersebut dihasilkan asam-asam organik sehingga menurunkan ph. Hasil pengomposan hingga 8 minggu menunjukkan hasil terbaik yang ditunjukan oleh C/N ratio yang lebih rendah, kandungan N-total, P, Mg, Fe, Mn, B dan Cu terbesar dibandingkan 3 kompos lainnya. Akan tetapi nilai C/N ratio kompos 8 minggu masih tergolong tinggi karena >30. Berdasarkan SNI , kompos 4, 6, 8 dan10 minggu memiliki kandungan N yang lebih tinggi dari standar minimum (0.4 %), P 2 O 5 lebih rendah dari standar (0.1 %), K 2 O lebih besar dari standar (0.2 %), C-Org lebih tinggi dari standar (32%), C/N Ratio lebih tinggi dari standar (20), ph lebih besar dari standar 7.49, dan kadar air lebih besar dari standar (50 %). Kandungan logam berat masih dalam batas yang ditentukan. Apabila diihat berdasarkan SNI, hara yang dihasilkan cukup baik terlihat dari tingginya kandungan K dan N. Tingginya kandungan K dikarenakan bahan asal yaitu TKKS yang memang tinggi kandungan Kalium. Namun, dari C/N ratio terlihat bahwa seluruh kompos belum matang karena C/N ratio lebih tinggi dari 20.

42 26 Kriteria Kematangan Kompos Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Mulsa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, diameter batang, jumlah buah dan daya tumbuh. Tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, tinggi tanaman, diameter batang, bobot panen, jumlah buah, dan bobot buah. Pengaruh mulsa dan tingkat kematangan kompos terlihat pada bobot panen dan jumlah buah. Tinggi Tanaman Mulsa cacahan meningkatkan tinggi tanaman tomat. Penggunaan kompos meningkatkan tinggi tanaman tomat. Tabel 2. Tinggi Tanaman Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Tinggi Tanaman Mulsa...cm... Tanpa mulsa a Cangkang a Fiber a Cacahan b Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos a 4 Minggu c 6 Minggu b 8 Minggu c 10 Minggu c Interaksi tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Mulsa cacahan memberikan tinggi tanaman tertinggi yaitu sebesar cm. Penggunaan mulsa cacahan meningkatkan tinggi tanaman tomat hingga 8.3 %. Umur kompos 4, 8, dan 10 minggu memberikan pengaruh yang sama terhadap tinggi tanaman tomat. Nilai tertinggi ditunjukkan pada umur kompos 10 minggu dengan nilai cm.

43 27 Diameter Batang Mulsa berpengaruh terhadap diameter batang. Tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap diameter batang. Adanya kompos meningkatkan diameter batang. Tabel 3. Diameter Batang Tanaman Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Diameter Batang Mulsa...mm... Tanpa mulsa b Cangkang 9.93 a Fiber b Cacahan b Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos 9.55 a 4 Minggu c 6 Minggu b 8 Minggu c 10 Minggu bc Interaksi tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Perlakuan mulsa memperlihatkan tanpa mulsa, fiber, dan cacahan berpengaruh sama terhadap diameter. Namun, cacahan menghasilkan diameter terbesar yaitu m. Mulsa cangkang menghasilkan diameter batang terkecil yaitu 9.93 mm. Kompos 4, 8 dan 10 minggu berpengaruh sama. Nilai terbesar terdapat pada kompos 8 minggu yaitu mm atau % lebih besar dibanding tanpa kompos. Diameter batang terkecil didapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 9.55 mm.

44 28 Jumlah Daun, Panjang Akar, Diameter Buah dan Tinggi Buah Tomat Mulsa maupun tingkat kematangan kompos tidak berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang akar, diameter buah dan tinggi buah tomat. Tabel 4. Jumlah Daun, Panjang Akar, Diameter Buah dan Tinggi Buah Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Jumlah Daun Panjang Akar Diameter Buah Tinggi Buah Mulsa...helai......cm......inci......inci... Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos Minggu Minggu Minggu Minggu Interaksi tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Jumlah daun pada tanaman tomat pada umur 5 MST berkisar antara Jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan kompos 8 minggu dan penggunaan mulsa fiber. Panjang akar tomat berkisar antara cm. Akar tomat terpanjang terdapat pada perlakuan mulsa fiber dan penggunaan kompos umur 8 minggu. Mulsa fiber menghasilkan akar dengan panjang cm, sedangkan kompos 8 minggu menghasilkan panjang akar cm. Diameter buah berkisar antara inci. Sedangkan tinggi buah inci.

45 29 Bobot Tajuk Mulsa tidak berpengaruh terhadap bobot basah dan bobot kering tajuk. Tingkat kematangan kompos mempengaruhi bobot basah dan bobot kering tajuk. Tabel 5. Bobot Tajuk Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Bobot tajuk Bobot Basah Bobot Kering Mulsa...g... Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos a 9.64 a 4 Minggu bc b 6 Minggu ab 9.93 a 8 Minggu c b 10 Minggu c b Interaksi tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Mulsa cangkang memberikan bobot basah tajuk tertinggi. Namun pada bobot kering, nilai tertinggi didapat oleh mulsa fiber. Umur kompos 4, 8 dan 10 minggu memberikan hasil yang sama pada bobot basah dengan nilai tertinggi pada umur kompos 10 minggu yaitu gram. Sementara pada bobot kering, umur kompos 4, 8 dan 10 memberikan hasil yang sama, dengan nilai tertinggi pada umur kompos 8 minggu yaitu gram.

46 30 Bobot Basah Akar, Bobot Kering Akar dan Volume Akar Penggunaan mulsa maupun tingkat kematangan kompos tidak berpengaruh terhadap bobot basah akar, bobot kering akar dan volume akar. Tabel 6. Bobot Akar dan Volume Akar Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Bobot Akar Basah Bobot Akar Kering Volume Akar Mulsa...g......ml... Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos Minggu Minggu Minggu Minggu Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Bobot Panen per Tanaman Kombinasi jenis mulsa dan tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap bobot panen per tanaman. Tabel 7. Bobot Panen Tomat pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Umur Kompos Mulsa Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan...gram... Tanpa Kompos ab abc abcd abcd 4 minggu abcde abcde abcd cde 6 minggu abcd abc abcde abcde 8 minggu abcde a e bcde 10 minggu abcd de abcd abcde Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5 %

47 31 Perlakuan M2K3, kombinasi mulsa fiber dan kompos umur 8 minggu memberikan bobot panen tertinggi yaitu gram. Namun, perlakuan M2K3 tidak berbeda dengan perlakuan M0K1, M0K3, M1K1, M1K4, M2K2, M3K1, M3K2, M3K3, dan M3K4. Perlakuan M1K3, kombinasi mulsa cangkang dan kompos 8 minggu, memberikan bobot panen terendah yaitu gram. Jumlah Buah Kombinasi jenis mulsa dan tingkat kematangan kompos mempengaruhi jumlah buah. Tabel 8. Jumlah Buah Tomat pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Umur Kompos Mulsa Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tanpa Kompos 7.8 a 8.5 abc 9.6 abcd 9.6 abcd 4 minggu 11.3 abcd 12.2 cde 11.4 abcd 12.9 def 6 minggu 9.7 abcd 8.1 ab 11.8 bcde 10.8 abcd 8 minggu 11.3 abcd 9.6 abcd 16.2 f 12.3 cde 10 minggu 10.6 abcd 15.2 ef 11.4 abcd 12.3 cde Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5 % Jumlah buah terbanyak terdapat pada perlakuan M2K3, kombinasi mulsa fiber dan kompos 8 minggu, yaitu 16.2 buah. Namun tidak berbeda dengan perlakuan M1K4 dan M3K1. Jumlah buah terendah terdapat pada perlakuan M0K0, kombinasi tanpa mulsa dan tanpa kompos yaitu 7.8 buah.

48 32 Daya Hidup Mulsa berpengaruh terhadap daya hidup tanaman. Tingkat kematangan kompos tidak berpengaruh terhadap daya hidup tanaman. Tabel 9. Daya Hidup Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Daya Hidup Mulsa...%... Tanpa mulsa b Cangkang a Fiber ab Cacahan b Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos Minggu Minggu Minggu Minggu Interaksi tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Penggunaan mulsa cacahan dan mulsa fiber, memiliki pengaruh yang sama dengan tanpa mulsa. Daya hidup tertinggi justru didapat pada perlakuan tanpa mulsa yaitu sebesar %. Nilai terendah terdapat pada mulsa cangkang sebesar %.

49 33 Bobot Buah Mulsa tidak berpengaruh terhadap bobot buah. Tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap bobot buah. Tabel 10. Bobot Buah Tomat pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Bobot Buah Mulsa...gram... Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos c 4 Minggu ab 6 Minggu bc 8 Minggu a 10 Minggu a Interaksi tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Penggunaan kompos umur 6 minggu menghasilkan bobot buah yang sama dengan perlakuan tanpa kompos. Nilai bobot buah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa kompos yaitu gram.

50 34 Cabai (Capsicum annuum L.) Mulsa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, diameter tajuk, bobot basah tajuk, dan bobot kering tajuk. Tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap tinggi tanaman, bobot basah akar, dan volume akar, diameter batang, bobot basah tajuk, dan bobot kering tajuk. Pengaruh ganda mulsa dan tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap tinggi tanaman, diameter tajuk, bobot tajuk basah dan bobot kering tajuk. Tinggi Tanaman Kombinasi jenis mulsa dan tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap tinggi tanaman cabai. Tabel 11. Tinggi Tanaman Cabai pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Umur Kompos Mulsa Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan...cm... Tanpa Kompos bcdef a bcdefg bcdefg 4 minggu efgh abc fgh bcdefg 6 minggu gh abcd bcdefg bcdefg 8 minggu gh gh ab defgh 10 minggu h abcde cdefgh bcdefgh Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Kombinasi perlakuan M0K4, tanpa mulsa dan kompos umur 10 minggu, memberikan pengaruh tertinggi terhadap tinggi tanaman cabai yaitu cm. Namun, perlakuan M0K4 tidak berbeda dengan perlakuan M0K1, M0K2, M0K3, M1K3, M2K1, M2K4, M3K3 dan M3K4. Tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan M1K0, mulsa cangkang dan tanpa kompos yaitu cm.

51 35 Jumlah Daun Jenis mulsa berpengaruh terhadap jumlah daun. Tingkat kematangan kompos tidak berpengaruh terhadap jumlah daun. Tabel 12. Jumlah Daun Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Jumlah Daun Mulsa...helai... Tanpa mulsa 43.9 b Cangkang 23.9 a Fiber 39.9 b Cacahan 46.7 b Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos Minggu Minggu Minggu Minggu 32.9 Interaksi tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Penggunaan mulsa cacahan dan fiber memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan tanpa mulsa. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan cacahan dengan jumlah daun 46.7 helai, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan cangkang dengan jumlah daun 23.9 helai. Hal ini menunjukkan mulsa cangkang berpengaruh negatif terhadap jumlah daun. Tingkat kematangan kompos tidak memberikan pengaruh, namun pada perlakuan terlihat bahwa kompos umur 8 minggu memberikan jumlah daun terbanyak yaitu 50.8 helai. Jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan kompos umur 10 minggu yaitu 32.9 helai.

52 36 Diameter Batang Jenis mulsa berpengaruh terhadap diameter batang. Tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap diameter batang. Tabel 13. Diameter Batang Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Diameter Batang Mulsa...mm... Tanpa mulsa 9.49 b Cangkang 8.62 a Fiber 9.36 b Cacahan 9.36 b Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos 8.76 a 4 Minggu 9.23 ab 6 Minggu 8.91 a 8 Minggu 9.68 b 10 Minggu 9.48 b Interaksi tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Penggunaan mulsa fiber dan cacahan berpengaruh sama dengan perlakuan tanpa mulsa. Diameter batang terbesar terdapat pada perlakuan tanpa mulsa yaitu sebesar 9.49 mm. Diameter batang terkecil terdapat pada penggunaan mulsa cangkang yaitu 8.62 mm. Penggunaan kompos 4, 8 dan 10 minggu berpengaruh sama. Nilai diameter batang terbesar yaitu 9.67 mm pada kompos 8 minggu.

53 37 Diameter Tajuk Kombinasi mulsa dan tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap diameter tajuk tanaman cabai. Tabel 14. Diameter Tajuk pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Umur Kompos Mulsa Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan...cm... Tanpa Kompos bcde a bcde bcde 4 minggu cde ab bcde abcd 6 minggu bcde a abc abcde 8 minggu e de abc abc 10 minggu e a bcde abcde Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5 % Diameter tajuk terbesar terdapat pada perlakuan M0K4 yaitu sebesar cm. Namun, perlakuan M0K4 tidak berbeda dengan perlakuan MOKO, MOK1, MOK2, MOK3, M1K3, M2K0, M2K1, M2K4, M3K0, M3K2, dan M3K4. Perlakuan M1K0 menghasilkan diameter tajuk terkecil yaitu cm.

54 38 Bobot Tajuk Basah dan Kering Kombinasi jenis mulsa dan tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk tanaman cabai. Tabel 15. Bobot Basah Tajuk Cabai pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Umur Kompos Mulsa Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan...gram... Tanpa Kompos abcd abc bcde abcde 4 minggu abcde a abcde abc 6 minggu cdef acb ab abcde 8 minggu ef def abcd abcde 10 minggu f abcde def cde Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5 % Perlakuan M0K4 memberikan bobot basah tajuk tertinggi yaitu gram. Perlakuan M0K4 memiliki pengaruh yang sama dengan perlakuan MOK2, MOK3, M1K3, dan M2K4. Nilai terendah terdapat pada perlakuan M1K1, mulsa cangkang dan kompos 4 minggu yaitu gram. Tabel 16. Bobot Kering Tajuk Cabai pada Kombinasi Perlakuan Mulsa dan Umur Kompos Umur Kompos Mulsa Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan...gram... Tanpa Kompos ab a bcd bcd 4 minggu abc a ab ab 6 minggu d a a ab 8 minggu cd cd ab bcd 10 minggu e bcd cd cd Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5 %

55 39 Perlakuan M0K4 memberikan bobot tajuk kering tertinggi yaitu gram. Sedangkan perlakuan M1K0 memberikan bobot terendah yaitu gram. Bobot Akar Basah dan Kering Jenis mulsa tidak berpengaruh terhadap bobot basah maupun bobot kering akar. Tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap bobot basah akar namun tidak berpengaruh terhadap bobot kering akar. Tabel 17. Bobot Akar Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Bobot Akar Basah Kering Mulsa...gram... Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos ab Minggu a Minggu a Minggu ab Minggu b 4.20 Interaksi tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Penggunaan kompos 10 dan 8 minggu memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan tanpa kompos. Bobot basah akar terbesar terdapat pada perlakuan kompos 10 minggu yaitu gram.

56 40 Volume Akar Mulsa tidak berpengaruh terhadap volume akar. Tingkat kematangan kompos berpengaruh terhadap volume akar. Tabel 18. Volume Akar Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Volume akar Mulsa...ml... Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos c 4 Minggu 9.58 a 6 Minggu ab 8 Minggu abc 10 Minggu c Interaksi tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5 % Penggunaan kompos 8 minggu memberikan pengaruh yang sama dengan kompos 10 minggu dan perlakuan tanpa kompos, namun volume akar terbesar terdapat pada perlakuan 10 minggu yaitu ml.

57 41 Daya Hidup, Panjang Akar, Bobot Panen, Jumlah Buah, dan Bobot Buah Jenis mulsa maupun tingkat kematangan kompos tidak berpengaruh terhadap daya hidup, panjang akar, bobot panen, jumlah buah, dan bobot buah. Tabel 19. Daya Hidup, Panjang Akar, Bobot Panen, Jumlah Buah dan Bobot Buah Cabai pada Perlakuan Mulsa dan Perlakuan Umur Kompos Perlakuan Daya Hidup Panjang akar Bobot Panen Jumlah Buah Bobot Buah Mulsa...%......cm......gram....buah.....gram.. Tanpa mulsa Cangkang Fiber Cacahan Tingkat Kematangan Kompos Tanpa Kompos Minggu Minggu Minggu Minggu Interaksi tn tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Penggunaan mulsa dan kompos tidak mempengaruhi daya hidup tanaman cabai. Begitu juga dengan panjang akar, kompos dan mulsa tidak mempengaruhi. Akar terpanjang terdapat pada perlakuan mulsa cacahan yaitu sebesar 28 cm. Sedangkan akar terpendek terdapat pada perlakuan mulsa cangkang. Penggunaan kompos maupun mulsa menghasilkan bobot panen, jumlah buah dan bobot per buah yang tidak berbeda dibandingkan kontrol. Bobot panen pada penggunaan kompos yaitu gram sedangkan kontrol gram. Jumlah buah pada penggunaan kompos 35 buah sedangkan kontrol 42 buah.

58 42 PEMBAHASAN Kondisi Pengomposan Proses pengomposan adalah proses dekomposisi bahan organik untuk mengubahnya menjadi bahan-bahan anorganik yang tersedia bagi tanaman. Proses pengomposan dipengaruhi banyak faktor diantaranya mikroorganisme yang terlibat dan iklim mikro yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Proses pengomposan TKKS yang telah dilaksanakan menggunakan mikroba diantaranya cendawan Tricoderma harzianum, Tricoderma pseudokoningii, Aspergillus sp dan pelapuk putih yang berasal dari aktivator yang digunakan. TKKS merupakan limbah lignoselulosa dengan kandungan selulosa sebesar %, hemiselulosa sebesar % dan lignin % dari berat kering bahan (Haug, 1981). Oleh karena itu diperlukan mikroorganisme yang mampu mendegradasi kandungan tersebut. Fungi yang berperan dalam menguraikan bahan yang mengandung lignoselulosa dapat dikategorikan sebagai fungi pelapuk lunak (Soft-rot fungi), fungi pelapuk putih (White-rot fungi), dan fungi pelapuk coklat (Brown-rot fungi). Dari ketiga jenis fungi tersebut, fungi pelapuk putih (FPP) secara cepat dan ekstensif menguraikan lignin dibandingkan dengan kedua kelompok fungi lainnya. FPP yang banyak digunakan antara lain Phanerochaete chrysosporium, Coriclus versicolor, Dichomitus squalens yang tergolong dalm kelas Basidiomisetes (Bratasida, 1992; Singh dan Roymoulik, 1992). Jenis Tricoderma pseudokoningii terbukti memiliki kemampuan yang tinggi dalam melapukkan TKKS. Fungsi dari mikroba jenis ini adalah menghancurkan senyawa lignin dan selulosa dan mengubahnya menjadi senyawa air dan karbondioksida plus air. (Goenadi, 1998). Sedangkan Aspergillus fumigatus merupakan fungi selulotik termofilik yang mempunyai aktifitas selulotik tinggi (Basuki et al., 1995). Fungi memanfaatkan hemiselulosa, selulosa, dan lignin sebagai sumber karbon. Untuk memanfaatkan komponen tersebut, fungi harus mensekresikan enzim-enzim yang dapat merombak hemiselulosa, selulosa dan lignin menjadi unsur-unsur yang lebih kecil dan sederhana yang dapat diserap oleh dinding

59 43 selnya. Fungi yang hanya merombak lignin dikenal sebagai fungi lignolitik, fungi yang merombak selulosa dikenal dengan fungi selulolitik, sedangkan fungi yang merombak sekaligus lignin dan selulosa disebut sebagai fungi lignoselulolitik. Penguraian dan kerusakan pada TKKS dimulai pada saat disekresikannya enzim yang dapat mengubah substansi dalam TKKS yang tidak larut menjadi bentuk yang dapat larut. Akibatnya hifa fungi akan menembus ke dalam dinding sel melalui lubang-lubang kecil yang terbentuk. Lignin dapat diuraikan tanpa terjadinya kehilangan selulosa, tetapi secara simultan hemiselolosa juga akan diuraikan. Enzim tersebut antara lain ligninase, Mn-peroksidase, enzim pengoksidasi fenol, enzim pembentuk hidrogen peroksida dan xylanase (Singh dan Roymoulik, 1992). Kadar kelembaban yang dibutuhkan dalam proses pengomposan mencapai 60 % untuk perkembangan mikroorganisme yang terlibat yaitu cendawan Tricoderma harzianum, Tricoderma pseudokoningii dan Aspergillus sp yang berasal dari aktivator yang digunakan. Hal ini seperti dinyatakan oleh Away, Goenadi dan Faturachim (1997) bahwa faktor utama yang harus diperhatikan agar proses pengomposan berlangsung sempurna dan pertumbuhan T. Pseudokoningii dapat dipertahankan optimum adalah kadar air tumpukan tetap terpelihara dan dipertahankan sekitar %. Selain itu, temperatur juga sangat mempengaruhi. Untuk proses dekomposisi TKKS dibutuhkan temperatur yang cukup tinggi hingga > 60 0 C. Hal ini sesuai dengan golongan cendawan yang terlibat yaitu golongan termofilik (45 o C). Seperti yang dikemukakan oleh Goenadi (1998) bahwa dalam aktivitasnya, T pseudokoningii tergolong dalam mikroba yang tahan suhu tinggi (termofilik ). Untuk mewujudkan iklim mikro yang diharapkan dalam proses pengomposan sangat diperlukan pengaturan proses pengomposan. Kondisi penutupan merupakan faktor penting yang wajib diperhatikan. Suhu dan kelembaban yang tinggi hanya diperoleh apabila penutupan rapat. Penutupan yang kurang rapat dapat menyebabkan hilangnya uap air dari composting pile yang berakibat pada penurunan kadar air. Selain itu, apabila penutupan tidak rapat dan memungkinkan penutup terkena angin maka akan mengakibatkan turunnya

60 44 temperatur pada composting pile. Apabila kelembaban dan temperatur tidak optimum, maka pengomposan tidak akan optimum. Gambar 10. Kondisi Penutupan yang Kurang Sempurna Ketiga jenis cendawan ini merupakan organisme aerob yang membutuhkan oksigen. Dengan metode pengomposan windrow yang relatif sederhana, cara pengomposan ini tidak memerlukan pembalikan. Kebutuhan oksigen untuk menyuplai mikroorganisme didapat dari oksigen yang ada pada composting pile. Adanya proses pembalikan justru akan menurunkan suhu dan mengakibatkan putusnya miselium cendawan. Gambar 11. Miselium Cendawan (Warna Putih)

61 45 Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tanaman yang baik dan produksi yang tinggi selain dapat dicapai dengan memperhatikan syarat-syarat tumbuh juga dengan melakukan pemeliharaan yang baik. Salah satu cara pemeliharaan tanaman yang baik adalah dengan memperhatikan kondisi lingkungan mikro dan juga unsur hara yang dibutuhkan. Unsur hara merupakan salah satu faktor penunjang pertumbuhan tanaman. Kompos berperan dalam meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman karena komposisi haranya yang lengkap baik mikro maupun makro dibandingkan pupuk organik. Pengaruh Umur Kompos Pengamatan Vegetatif Pengamatan pada parameter vegetatif tanaman tomat tampak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan diameter batang. Kompos 4, 8, dan 10 minggu memberikan nilai yang sama pada tinggi tanaman. Tinggi tanaman oleh kompos 4, 8 dan 10 minggu berturut-turut cm, cm dan cm. Apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kompos terjadi peningkatan berturut-turut sebesar %, %, dan %. Sementara itu pada nilai diameter batang, kompos 4, 8 dan 10 minggu juga menunjukan nilai yang sama. Diameter batang berturut-turut mm, mm, dan mm dengan peningkatan sebesar %, %, dan %. Pada tanaman cabai, kompos 4, 8 dan 10 minggu memberikan pengaruh yang sama terhadap diameter batang cabai. Masing-masing menghasilkan diameter berturut-turut 9.23 mm, 9.67 mm, dan 9.48 mm dengan peningkatan sebesar 5.39 %, % dan 8.32%. Sedangkan pada tinggi tanaman, tinggi cabai tidak berbeda antara perlakuan kompos. Namun, pada pengaruh kombinasi penggunaan mulsa dan umur kompos terlihat bahwa umur kompos 10 minggu memberikan tinggi tanaman tertinggi yaitu cm namun tidak berbeda dengan kompos 8 minggu. Pengamatan terhadap diameter tajuk, pengaruh mulsa dan umur kompos menunjukan kompos 8 minggu dan 10 minggu tidak berbeda dengan hasil sebesar 46.43cm dan cm.

62 46 Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa kompos umur 4, 8 dan 10 memberikan hasil yang sama. Namun, pada beberapa pengamatan terlihat bahwa kompos 8 minggu memberikan nilai tertinggi. Hal ini dikarenakan pada kompos 8 minggu mengandung unsur N tertinggi yaitu 1.34 %. Nilai N-total yang lebih tinggi berkorelasi positif dengan peningkatan parameter pertumbuhan vegetatif yang terlihat dari tinggi tanaman tomat, diameter batang tomat dan cabai. Hal ini dikarenakan fungsi unsur N yang merupakan motor penggerak dalam pertumbuhan tanaman, unsur penting dalam penyusunan protein, dan ikut berperan dalam proses pertumbuhan dan pembentukan hasil. Pertumbuhan vegetatif yang baik pada kompos umur 8 minggu sejalan dengan nilai C/N ratio. Selama proses pengomposan, mikroorganisme memerlukan karbon sebagai sumber energi dan bahan untuk membentuk sel-sel baru. Selain itu juga memerlukan nitrogen untuk mensintesis protein sel. Agar keperluan karbon dan nitrogen ini dapat terpenuhi secara berimbang, maka nilai C/N ratio bahan kompos harus berada pada kisaran yang tepat. Kriteria C/N ratio dinyatakan tepat apabila kompos yang diberikan ke tanah sudah tidak menimbulkan proses immobilisasi nitrogen oleh mikroorganisme yang dapat mengakibatkan ketersediaan nitrogen bagi tanaman berkurang (Basuki, 1994). Penurunan C/N ratio disebabkan karena senyawa karbon dalam bahan kompos tersebut digunakan sebagai sumber energi oleh mikroorganisme perombak melalui proses oksidasi dan selanjutnya dibebaskan ke udara dalam bentuk CO 2. Hal ini mengakibatkan kandungan karbon pada bahan organik terus mengalami penurunan. Semakin rendah C/N ratio, maka akan semakin mudah disediakan N bagi tanaman yang dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada kompos 8 minggu memiliki nilai C/N ratio yang paling rendah yaitu Hamoda et al. (1998) menyatakan bahwa nilai C/N ratio antara masih merupakan nilai C/N ratio yang layak. Hal ini dapat dipahami karena pada penelitian di lapangan terhadap tanaman tomat, walaupun nilai C/N ratio masih di atas 30 tetapi tidak menimbulkan defisiensi hara. Namun, hal ini berbeda dengan tanaman cabai, sebanyak % tanaman menunjukan gejala defisiensi hara setelah berbunga. Kemungkinan karena nilai C/N ratio kompos yang masih terlalu tinggi bagi

63 47 tanaman cabai. Seperti yang dikemukakan oleh Prawiranata et al. (1995) bahwa jenis tanaman menyebabkan perbedaan dalam kemampuan mengabsorbsi hara. Sehingga berbeda dengan tanaman tomat, tanaman cabai membutuhan C/N ratio yang lebih rendah. Rendahnya C/N ratio menyebabkan tanaman lebih mudah menyerap N (Meinira, 1993). Sudarman (1995) menambahkan bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman sangat membutuhkan unsur hara terutama N yang tersedia. Ketersediaan N tergantung pada C/N ratio. Bila C/N ratio dibawah 20 maka tanaman akan mampu menyerap N dengan baik karena pada keadaan tersebut N dalam bentuk tersedia. Hal ini sejalan dengan Tisdale dan Nelson (1975) bahwa bahan organik dengan C/N ratio< 20, akan terjadi mineralisasi N, bila nisbah tersebut >30 akan terjadi immobilisasi N. Bobot Biomassa Selain pertumbuhan vegetatif, pengaruh kompos juga terlihat dari biomassa tanaman tomat dan cabai. Pada tanaman tomat pengaruhnya tampak pada bobot basah dan kering tajuk. Umur kompos 4, 8 dan 10 minggu memberikan hasil yang sama pada bobot basah tajuk. Kompos 4 minggu menghasilkan bobot tajuk gram atau meningkatkan 21 % dari media tanpa kompos. Kompos 8 minggu menghasilkan bobot basah tajuk gram atau meningkat %, sementara kompos 10 minggu yaitu gram, meningkatkan bobot tajuk sebesar %. Begitu juga pada bobot kering tajuk, umur kompos 4, 8 dan 10 minggu memberikan hasil yang sama. Kompos 4, 8 dan 10 minggu menghasilkan bobot kering berturut-turut sebesar 12.20, 13.34, dan gram dengan peningkatan sebesar %, %, dan %. Pada tanaman cabai, bobot tajuk basah dan kering juga dipengaruhi oleh umur kompos. Perlakuan kombinasi penggunaan mulsa dan umur kompos menunjukan bahwa umur kompos 10 minggu memberikan bobot tajuk basah dan kering tanaman cabai yang tertinggi yaitu gram dan gram. Pada bobot basah tidak berbeda dengan kompos 8 minggu. Perlakuan kompos juga berpengaruh terhadap bobot basah akar. Akan tetapi, perlakuan umur 8 dan 10 tidak berbeda dengan perlakuan tanpa kompos.

64 48 Bobot basah akar terbesar terdapat pada perlakuan kompos 10 minggu yaitu gram. Pada pengamatan volume akar, kompos 8 dan 10 minggu memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan tanpa kompos. Namun, volume akar terbesar terdapat pada perlakuan 10 minggu yaitu gram. Pengamatan Generatif Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Pengaruh perlakuan terhadap pengamatan panen terlihat pada tanaman tomat. Pada kompos 4, 8 dan 10 minggu memberikan nilai yang sama terhadap bobot panen dan jumlah buah. Namun, pada hasil kombinasi umur kompos dan mulsa terlihat bahwa kompos 8 minggu mempunyai bobot panen dan jumlah buah terbesar yaitu gram dengan jumlah buah buah. Penggunaan kompos dengan kematangan 8 minggu meningkatkan bobot panen % dibandingkan tanpa penggunaan kompos. Sedangkan pada jumlah buah, terjadi peningkatan sebesar % dibandingkan tanpa penggunaan kompos. Pada pengamatan bobot buah, justru perlakuan tanpa kompos menghasilkan bobot buah terbesar yaitu gram yang tidak berbeda dengan kompos umur 6 minggu yaitu gram. Sedangkan bobot buah terendah terdapat pada kompos 8 minggu yang tidak berbeda dengan kompos 10 minggu yaitu gram dan gram. Pada tanaman cabai, hasil penggunaan kompos dan kontrol tidak berbeda, Bobot panen cabai rata-rata yang dihasilkan adalah gram per tanaman. Begitu juga dengan jumlah buah dan ukuran buah. Jumlah buah rata-rata yang dihasilkan hanya sebanyak 39 buah. Sedangkan pada bobot per buah, penggunaan kompos dan kontrol menghasilkan rata-rata bobot buah cabai sebesar 1.19 gram. Pada kompos 8 minggu memberikan hasil yang baik dikarenakan memiliki C/N ratio terendah. C/N ratio yang rendah atau kompos yang relatif matang memiliki kandungan hara yang lebih tinggi. Seperti yang dikemukakan oleh Basuki (1995) bahwa selain kation-kation basa (K, Ca, Mg), kandungan unsur hara lain seperti N, P dan hara mikro (Fe, Mn, Zn dan Cu) juga meningkat setelah pengomposan. Peningkatan hara ini memungkinkan peningkatan produksi tanaman.

65 49 Pertumbuhan vegetatif yang baik akan mendukung produksi yang baik pula. Namun, pada perkembangan buah tidak hanya dipengaruhi unsur N tetapi juga unsur P dan K. Hasil penelitian beberapa peneliti menunjukan bahwa unsur hara yang menentukan produksi dan kualitas buah tomat diantaranya adalah unsur N, P dan K (Crinszky, 1984). Unsur P banyak berpengaruh pada pembungaan dan perkembangannya, kekerasan buah, warna buah, kandungan vitamin C dan mempercepat pematangan buah. Terlihat pada kompos 8 minggu memiliki kandungan P terbesar yaitu 0.08 %, sehingga hal ini memungkinkan pada perlakuan kompos 8 minggu menghasilkan bobot panen terbesar. Penggunaan pupuk K menurut Cuthberson (1966) meningkatkan kandungan gula, kandungan vitamin C, kandungan asam total serta menambah buah yang dipanen. Pada hasil percobaan terlihat bahwa umur 8 minggu memiliki jumlah buah terbesar. Hal ini kemungkinan karena kandungan K yang memang termasuk tinggi yaitu 1.22 %. Penggunaan kompos tidak berpengaruh terhadap ukuran buah tomat. Hal ini terlihat pada pengamatan tinggi dan diameter buah. Adanya perbedaan ukuran dan bobot buah disebabkan oleh adanya perbedaan dalam pembelahan dan perbesaran bakal buah (Sugiyana dan Coto, 1956). Penggunaan kompos juga tidak mempengaruhi bobot buah. Penggunaan kompos 8 minggu menghasilkan jumlah buah dan bobot panen yang lebih besar namun dengan bobot per buah yang lebih kecil. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi suhu yang panas sehingga mempercepat pematangan buah dengan kondisi buah yang kecil. Hal ini sesuai dengan penelitian Prima (2004) bahwa penggunaan bahan organik meningkatkan jumlah buah dan bobot buah panen namun tidak terhadap bobot tiap buah. Cabai (Capsicum annuum L.) Pengaruh penggunaan kompos tidak terlihat pada hasil tanaman cabai. Hal ini kemungkinan karena adanya serangan hama yaitu trips dan kutu daun (Myzus persicae) yang menyebabkan daun belang dan keriting hingga 80 % populasi. Selain itu pengaruh adanya kekurangan hara N dan Mg mulai tanaman berbuah yang menurunkan poduktivitas tanaman. Penggunaan kompos menghasilkan

66 50 bobot panen dan jumlah buah yang lebih kecil karena adanya kekurangan hara hingga % populasi sedangkan pada kontrol hanya % atau meningkat hingga 62.2 % dibanding kontrol. Kekurangan N dan Mg dapat meghambat pertumbuhan vegetatif dan proses fotosintesis sehingga menghambat produksi tanaman. Gejala kekurangan hara pada tanaman cabai mulai terlihat setelah tanaman berbuah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dua faktor yaitu kondisi tanaman dan media. Kondisi tanaman yang mempengaruhi yaitu tipe pertumbuhan dan kondisi perakaran. Tanaman tomat varietas Ratna yang digunakan memiliki tipe pertumbuhan determinate. Setelah proses pembentukan buah, maka proses pertumbuhan vegetatif akan terhenti. Berbeda dengan tanaman cabai. Tanaman cabai memiliki tipe pertumbuhan indeterminate. Setelah proses pembentukan buah, pertumbuhan pucuk dan pembentukan bunga terus berlangsung. Hal ini mengakibatkan kebutuhan hara menjadi lebih tinggi. Gambar 12. Perakaran Tomat

67 51 Gambar 13. Perakaran Cabai Perakaran tanaman tomat tumbuh lebih baik. Pertumbuhan memanjang ke bawah sangat baik. Hal ini memungkinan penyerapan hara yang lebih baik. Berbeda dengan tanaman cabai, perakaran lebih banyak tumbuh menyamping. Hal ini mengabitkan penyerapan hara lebih banyak terkonsentrasi di permukaan atas. Kondisi perakaran juga menunjukan ketahanan tanaman pada media yang digunakan. Sistem perakaran tanaman dipengaruhi media tumbuh. Menurut Lakitan (1993) faktor yang mempengaruhi pola penyebaran akar antara lain adalah penghalang mekanis, suhu tanah, aerasi, ketersediaan air dan ketersediaan hara. Berdasarkan kondisi C/N ratio > 35 kemungkinan kurang baik terhadap tanaman cabai karena dengan kondisi perakaran yang cenderung menyebar. Hal dimungkinkan ketahanan perakaran cabai yang digunakan kurang dapat menembus lapisan kompos dan terpengaruh dengan dekomposisi kompos yang diduga masih terjadi. Sedangkan pada tanaman tomat, lebih tahan dan lebih kuat dengan kondisi media. Secara umum, produksi tomat dan cabai tergolong rendah. Hal ini salah satunya dikarenakan kondisi tanah yang kurang subur bagi tanaman tomat dan cabai. Sesuai dengan percobaan Purwanto (2005) yang menunjukan bahwa hasil tomat pada tanah ultisol berkisar antara gram per tanaman atau sekitar ton/ha. Padahal produksi optimum variatas Ratna adalah 24 ton/ha (Sunarjono, 1976). Pada tanaman cabai, hasil hanya berkisar 900 kg kg/ha dengan jumlah buah per tanaman Hal ini sesuai dengan penelitian Purnomo (2008) bahwa penanaman cabai pada tanah ultisol dapat menurunkan tinggi

68 52 tanaman, bobot buah, panjang buah dan jumlah buah cabai. Bahkan penurunan jumlah buah mencapai %. Hal ini ditunjang oleh sifat tanah ultisol dengan ph rendah sehingga ketersediaan haranya rendah. Padahal kadar keasaman (ph) tanah yang cocok untuk penanaman cabai secara intensif adalah 6-7 (Topan, 2008). Menurut Trude dan Osbun (1971) ketersediaan hara yang rendah dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan hasil. Ketersediaan hara yang rendah dapat menghambat proses metabolisme tanaman. Metabolisme tanaman yang mencakup proses fotosintesis dan respirasi aktif dipengaruhi tersedianya unsur hara tertentu yang berperan dalam proses penentuan kualitas buah di samping faktor-faktor lainnya. Rendahnya daya hasil yang merupakan akibat kecilnya jumlah dan ukuran buah tersebut diduga oleh rendahnya ketersediaan hara di dalam tanah yang mempengaruhi ketersediaan hara di dalam tanaman (Purwanto, 2005). Hal ini sesuai dengan pendapat Edmond et al. (1975) dan Black (1965) bahwa tersedianya K yang rendah yaitu 2.23 ppm dapat menghambat metabolisme karena unsur K diperlukan untuk metabolisme karbohidrat, reduksi N, pembelahan sel dan sebagai kofaktor enzim. Dengan terhambatnya metabolisme menyebabkan pertumbuhan buah generatif terhambat dan daya hasil menurun. Pengaruh Mulsa Pengamatan Vegetatif Pada tanaman tomat, pengaruh mulsa terlihat pada tinggi tanaman, diameter batang dan daya tumbuh. Mulsa cacahan memberikan nilai tertinggi yaitu sebesar cm atau meningkatkan tinggi tanaman 8.30 % dibanding perlakuan tanpa mulsa. Pengamatan diameter batang menunjukkan bahwa perlakuan tanpa mulsa tidak berbeda dengan perlakuan mulsa fiber dan cacahan. Nilainya berturut-turut mm, mm, dan mm. Namun, mulsa cangkang menunjukan nilai diameter batang terendah yaitu 9.94 mm. Daya tumbuh tanaman justru menunjukkan perlakuan tanpa mulsa tidak berbeda dengan penggunaan mulsa fiber dan cacahan dengan persentase daya hidup berturut-turut %, %, dan %. Mulsa cangkang menunjukkan nilai daya hidup terendah yaitu sebesar %.

69 53 Pada tanaman cabai pada pengamatan tinggi tanaman, kombinasi penggunaan mulsa dan umur kompos menunjukkan bahwa perlakuan tanpa mulsa memberikan tinggi tanaman tertinggi yaitu cm. Sedangkan tinggi tanaman terendah tampak pada penggunaan mulsa cangkang yaitu cm. Jumlah daun dan diameter batang menunjukkan bahwa perlakuan tanpa mulsa tidak berbeda dengan penggunaan mulsa fiber dan cacahan. Jumlah daun tersebut berturut-turut 43.9, 39.9, dan 46.7 helai per tanaman. Sedangkan diameter batang sebesar 9.50 mm, 9.36 mm, dan 9.36 mm. Jumlah daun dan diameter batang terendah ditunjukkan oleh mulsa cangkang yaitu 23.9 helai dan 8.62 mm. Pengamatan terhadap diameter tajuk menunjukkan perlakuan tanpa mulsa memiliki nilai tertinggi yaitu cm yang terlihat pada pengaruh kombinasi dengan penggunaan kompos. Diameter tajuk terendah terdapat pada penggunaan mulsa cangkang yaitu sebesar mm. Secara umum, perlakuan tanpa mulsa, fiber dan cacahan tidak berbeda terhadap pertumbuhan vegetatif tomat dan cabai. Hal yang terlihat jelas adalah bahwa penggunaan cangkang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman dan daya hidup tanaman hingga panen. Daya hidup dimaksudkan kemampuan tanaman bertahan hingga umur panen. Tingkat ketahanan tanaman terlihat dari persentase tanaman yang hidup pada akhir pengamataan. Kematian tanaman khususnya tomat pada pelaksanaan di lapangan banyak disebabkan oleh adanya penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum. Pada tanaman dengan penggunaan mulsa cangkang lebih banyak terserang layu bakteri. Bakteri ini menyerang bagian akar. Bila suhu tinggi, tanah lembab dan pembuangan air kurang lancar, biasanya penyakit ini sering muncul dengan cepat. Kemungkinan adanya cangkang meningkatkan suhu tanah menjadi lebih tinggi dibanding penggunaan mulsa lainya sehingga meningkatkan penyakit ini. Bobot Biomassa Pada tanaman cabai, bobot tajuk basah dan kering juga dipengaruhi oleh mulsa. Hasil kombinasi penggunaan mulsa dan umur kompos menunjukkan bahwa perlakuan tanpa mulsa memberikan bobot tajuk basah dan kering tanaman

70 54 cabai yang tertinggi yaitu gram dan gram. Bobot tajuk terendah ditunjukan oleh penggunaan mulsa cangkang yaitu gram dan gram. Pertumbuhan vegetatif yang kurang baik berkorelasi dengan bobot tajuk yang diperoleh. Pada mulsa cangkang, pertumbuhan vegetatif yang rendah menjadikan bobot tajuk yang rendah pula. Pada tanaman cabai, perlakuan tanpa mulsa justru menunjukkan bobot tajuk tertinggi hal ini kemungkinan karena pada tanah yang diberi mulsa fiber atau cangkang dapat menjadi sarang semut yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Pengamatan Generatif Pengaruh pada peubah generatif terlihat pada tanaman tomat. Pengaruh kombinasi mulsa dan umur kompos menunjukan bahwa penggunaan mulsa fiber memberikan bobot panen dan jumlah buah tertinggi yaitu gram dan 16.2 buah. Pengaruh negatif terlihat oleh mulsa cangkang. Hal ini terlihat pada hasil kombinasi dengan perlakuan kompos bahwa penggunaan mulsa cangkang menghasilkan bobot panen terendah yaitu gram. Pada tanaman cabai tidak terlihat pengaruh mulsa. Hal ini karena adanya serangan hama dan defisiensi hara yang menjadikan turunnya produksi. Pada penggunaan mulsa dan kontrol rata-rata menghasilkan bobot panen gram. Jumlah buah yang dihasilkan rata-rata 38 buah dengan bobot per buah rata-rata 1.19 gram. Hasil yang lebih tinggi pada penggunaan mulsa dikarenakan adanya mulsa dapat memperbaiki kondisi tanah dengan meningkatkan infiltrasi air. Hal ini sangat bermanfaat mengingat tanah yang digunakan adalah tanah ultisol. Tanah ini memiliki kandungan liat yang tinggi lebih dari 50 % sehingga bertekstur liat dengan agregat tanah yang mantap. Penggunaan mulsa memungkinkan agregat dan struktur menjadi lebih baik sehingga air dapat terserap masuk. Hal ini sejalan dengan penelitian Kemper, Nicks dan Corey (1994) bahwa penggunaan mulsa kerikil dengan ketebalan 5 cm dapat meningkatkan jumlah air di dalam tanah sekitar 80 sampai 85 % dari curah hujan tahunan. Penggunaan mulsa juga berpengaruh baik terhadap hasil tanaman karena dapat meningkatkan kelembaban tanah dan mengurangi fluktuasi suhu permukaan

71 55 tanah. Hal ini memungkinkan lebih banyak air yang dapat tersimpan dalam tanah. Lokasi penelitian memiliki curah hujan yang rendah dan kondisi cuaca yang panas dengan suhu rata-rata 30 O C sehingga adanya mulsa sangat bermanfaat. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Suwardjo (1981) dari penelitiannya pada tanah Latosol menunjukan bahwa dengan penggunaan mulsa, suhu maksimum pada kedalaman 5 cm turun 6 o sampai 12 o C dan pada kedalaman 10 cm turun 4 o sampai 6 o C, sedangkan suhu minimun naik rata-rata satu derajat celcius. Selain itu, penggunaan mulsa organik juga menguntungkan bagi tanah. Hamidy (1999) menyatakan bahwa tanah yang diberi mulsa organik dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah, keadaan tersebut dapat menaikan KTK, KB, kapasitas jerapan partikel tanah, ph tanah dan jangka panjang dapat meningkatkan daya serap tanaman terhadap hara serta mengurangi pencucian hara. Penggunaan mulsa fiber lebih baik. Hal ini kemungkinan karena struktur fiber yang lebih halus. Hal ini memungkinkan penutupan lebih merata dan tidak menghasilkan suhu yang terlalu panas seperti pada cangkang. Sedangkan pada cacahan kemungkinan masih terdapat sisa minyak sehingga dapat menarik hama semut.

72 56 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Kompos umur 8 minggu memberikan nilai C/N ratio terendah dibandingkan umur 4, 6, dan 10 minggu yaitu Penggunaanya aman bagi tanaman tomat tetapi bukan pada tanaman cabai. 2. Kompos umur 8 minggu menghasilkan nilai N-total, P, Mg, Fe, Mn, B dan Cu terbesar dibandingkan 3 kompos lainnya yaitu 1.34 %, 0.08 %, 0.25 %, 0.24 %, 89.7 ppm, 10.7 ppm, dan 24.8 ppm. 3. Kompos 8 minggu dan mulsa fiber menghasilkan bobot panen dan jumlah buah terbanyak pada tanaman tomat yaitu gram dengan 16 buah. 4. Penggunaan kompos pada tanaman cabai menimbulkan kejadian defisiensi hara N dan Mg % dari populasi sedangkan pada kontrol % dari populasi. 5. Penggunaan mulsa dan perlakuan umur kompos tidak berpengaruh terhadap produksi cabai. 6. Bobot buah, jumlah buah dan bobot buah cabai yang dihasilkan dari perlakuan umur kompos tidak berbeda dari kontrol yaitu gram, 39 buah dan 1.19 gram. 7. Bobot buah, jumlah buah dan bobot buah cabai yang dihasilkan dari perlakuan mulsa tidak berbeda dari kontrol yaitu gram, 38 buah dan 1.19 gram. 8. Penggunaan mulsa cangkang menunjukkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat dan cabai.

73 57 Rekomendasi Penggunaan kompos relatif aman untuk tanaman kelapa sawit TM atau TBM. Namun, untuk tanaman hortikultura, akan lebih baik bila memperkecil C/N ratio hingga kisaran < 20 dengan cara: 1. Pelaksanaan pengomposan secara optimum. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penutupan terpal secara rapat diseluruh tepi terpal kompos. Penutupan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan penimbunan tanah secara merata pada seluruh tepi terpal. 2. Melakukan penutupan pada composting pile walaupun tumpukan belum mencapai 50 m. Hal ini untuk menghindari pencucian Promi dari permukaan kompos. 3. Melakukan penumpukan kompos-kompos yang telah matang. Apabila kompos telah matang dan terpal akan digunakan untuk pengomposan yang lain, maka kompos-kompos tersebut digabungkan untuk memperkecil permukaan yang bersentuhan dengan udara luar. Sehingga kelembaban kompos dapat terjaga. 4. Pelarutan Promi diusahakan untuk sekali pakai dan masih berupa larutan yang baru ketika diaplikasikan. Hal ini karena Promi yang telah dilarutkan dalam selang waktu yang lama sebelum pengomposan, akan menyebabkan aktifitas mikroorganisme berkurang sehingga kurang efektif untuk pengomposan. 5. Penentuan waktu pengomposan belum dapat dinyatakan dengan tepat. Sehingga sangat diperlukan penelitian mengenai tingkat kematangan kompos dengan penggunaan kompos yang dibuat dengan optimum. Disarankan adanya penggunaan tanaman pangan berumur pendek (misal: jagung) untuk menghindari kendala lingkungan dan hama penyakit yang besar serta lebih mudah dan ekonomis dalam penanganannya.

74 58 DAFTAR PUSTAKA Ashari, S Hortikultura : Aspek Budidaya. UI-Press. Jakarta. Away, Y., Goenadi, D. H., dan Feturachim, P Pemanfaatan sampah pangkasan tanaman teh sebagai bahan baku kompos bioaktif. Warta Puslit Biotek Perkebunan. III (1), Basuki, A. Iswandi, R. S. Hadioetomo dan T. Purwadaria Pengomposan tandan kosong kelapa sawit dengan pemberian nitrogen, fosfor, dan inokulum fungi selulotik. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. No 13/1995 : Basuki, A. Iswandi, R. S. Hadioetomo dan T. Purwadaria Isolasi dan seleksi kapang termotoleran penghasil selulose untuk pemngomposan tandan kosong kelapa sawit. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 3 : Black, C. A Soil and Plant Relationship. John Wiley and Sons. Inc. New York. Bosland, P. W. and Votava, E. J Peppers : Vegetables and Spice Capsicums. CABI Publ. London, U. K. 204 p. Bratasida, L. (1982). Pengaruh substrat jamur pelapuk pada penyimpanan kayu bahan baku pulp. Berita selulosa, XVIII (2) : 33-37, 44. Chang, Jen-Hu Climate and Agriculture. Adine Publising Company. Chicago. 123p. Crinzsky, A. A. and D. J. Schuten A sand culture system for simultaning plant respons to phosporous in soil. J. Amer. Soc. Hort.Sci. 110 (4). Cuthberson, D. F Significance of potassium in the mineral and magnesium on tomatoes. J. Amer. Hort. Sci.3: Darnoko, D dan T. Sembiring Sinergi antara perkebunan kelapa sawit dan pertanian tanaman pangan melalui aplikasi kompos TKS untuk tanaman padi. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005: Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Melalui Pemupukan dan Pemanfaatan Limbah PKS. Medan April. Djauhariyah, E dan Sudirman Pengaruh beberapa jenis mulsa terhadap pertumbuhan jahe, gulma dan hasil rimpang jahe. Dalam Prosiding I Konferensi Nasional Himpunan Ilmu Gulma Indonesia XV. Surakarta Juli Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Buku II Vol XV :

75 59 Edmond, J. B., A. N. Musser and F. S. Andrew Fundamental of Horticulture. McGraw Hill Book. Co. Inc. New York. Epstein, E The Science of Composting. Technomic Publising Inc., Lancaster, Pennsylvania. 83 p. Guntoro, D., Purwono, dan Sarwono Pengaruh Pemberian Kompos Bagase terhadap Serapan Hara dan Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). Buletin Agronomi. (31) (3) : Goenadi, D. H dan Away Cytophaga sp. And Trichoderma sp. As activators for composting. Proc. Int. Cong. On Soil of Trop. Forest Ecosystems. 3 rd Conf. on Forest Soil (ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8 : Goenadi, D. H Kompos bioaktif dari tandan kosong kelapa sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Biotek. Perk. Untuk Praktek. Bogor, 1 Mei Hal : Goenadi, D. H. et al Teknologi produksi kompos bioaktif tandan kosong kelapa sawit. Pertemuan Teknis Bioteknologi Perkebunan untuk Praktek. Bogor 6-7 Mei. Hafif, B., M. Suhardjo dan D. Erfandi Pengaruh mulsa jerami dan beberapa teknik konservasi tanah terhadap produksi kedelai di lahan kering Lampung. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, Agroklimat. Bogor, Februari Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hamoda, M. F., H. A. Abu Qdais, and J. Newham Evaluation of municipal solid waste composting kinetics. Resources, Conservation and Recycling 23 : Hamidy, S Manipulasi Permukaan Tanah dan Pemupukan NPKMg pada Pertanaman Lada Perdu. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 92 hal. Hanafiah, K. A Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 358 hal. Harjadi, S. S Dasar-Dasar Hortikultura.Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Haug, R. T. (1981). Compost engineering. Principle and practice. Ann Arbor Science Publ. 234p.

76 60 Hidayat, A Ekologi Tanaman Tomat. Hal Dalam Duriat, A. S, et al. (Eds.) Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang-Bandung. Jaya, B Botani Tanaman Tomat. Hal Dalam Duriat, A. S, et al. (Eds.) Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang-Bandung. Jeris, J. S. and R. W. Regan Controlling environmental parameters for optimum composting. Compost Science 14(1) : Kartapradja, R. dan D. Djuariyah Pengaruh tingkat kematangan buah tomat terhadap daya kecambah, pertumbuhan dan hasil tomat. Buletin Penelitian Hortikultura Vol XXIV/2. Kemper, W. D., A. D. Nicks, and A. T. Corey Accumulation of water in soil gravel and sand mulches. Soil Sci. Soc. Am. J. 58 ; Lakitan, B Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 204 hal. Leiwakabessy, F. M Kesuburan Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Peranian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 299 hal. Leomo, S Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Mulsa terhadap Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Ultisol serta Produksi kedelai. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Lubis, A. U Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat-Bandar Kuala. Mahajoeno, E Energi Alternatif Pengganti BBM: Potensi Limbah Biomassa Sawit sebagai Sumber Energi Terbarukan. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Mangoensoekardjo dan Semangun Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit. UGM Press. Yogyakarta. Meinira, S Pengaruh Pemberian Kompos Sampah Kota terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Latosol Darmaga serta pertumbuhan Vegetatif Jagung (Zea mays L.) dan Rumput Karpet (Axonopus compressus Swartz Beauv.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nazaruddin Budi Daya dan Pengaturan Panen : Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta. 142 hal.

77 61 Nikamasari, H Evaluasi Karakter Vegetatif ddan Generatif serta Daya hasil 11 Genotipe Cabai (Capsicum annuum L. ) di Kebun Percobaan IPB Tajur. Skripsi. Fakultas Pertanian.. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Poulos, J. M Capsicum L. p In : J. S. Siemonsma and K. Piluek (Eds). Vegetable Plant Resources of South Asia 8 th ed. Pudoc-DLO, Wageningen, Netherland. Prawiranata, W., S. Harran dan P. Tjondronegoro Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Departemen Botani. Fakultas Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 247 hal. Prima, T. D Optimalisasi Penggunaan Bahan Organik dan Pupuk Daun untuk Stimulasi Pertumbuhan dan Produksi Cabai Merah (Capsicum annuum L. ). Skripsi. Fakultas Pertanian. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purnomo, D. W., B. S. Purwoko, S. Yahya, S. Sujiprihati dan I. Mansyur Evaluasi pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe cabai (Capsicum annuum L. ) untuk toleransi terhadap cekaman aluminium. Buletin Agronomi Vol 35 (3) : Purwanto Pengaruh pupuk majemuk NPK dan bahan pemantap tanah terhadap hasil dan kualitas tomat varietas Intan. Jurnal Penelitian UNIB, Vol.XI, No 1, Maret 2005: Ramainas, A. dan Z. Lamid Pengaruh pemberian mulsa alang-alang segar terhadap pertumbuhan gulma dan hasil kacang tanah. Dalam prosiding I Konferensi Nasional Himpunan Ilmu Gulma Indonesia XIV. Medan. Hal Rowe-Dutton, P and Woods, J.J The Mulching of Vegetable. Commonwealth Agricultural Boreaux. England. Schuchardt, F., E. Susilawati, dan P. Guritno Influence of C/N ratio and inoculum upon rotting characteristics of oil palm empty fruit bunc. Proc International Oil Palm Conference. Bali, Indonesia Singh, G., S. Manoharan, dan T. S. Toh United`s plantation approach to oil plam mill by-product management and utilization. In J. Sukaimi et al. (Eds) Proceddind of 1989 International Oil Plam Development Converence Agriculture. Palm Oil Reseach Institute of Malaysia, Kuala Lumpur. P Singh, S. P. dan Roymoulik, S. K. (1992). Role of biotecnology in the pulp and paper industri. A review. Part 1 : Biopulping. IPPTA, 4 (4) :

78 62 Sinukaban, N Pengaruh pengelolaan tahan konservasi dan pemberian mulsa terhadap produksi tanaman pangan dan erosi hara. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9 : Subhan Jenis mulsa dan dosis pupuk nitrogen terhadap pertumbuhan dan produksi kubis XY Cross di dataran rendah. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran, Lembang, Bandung. Sudarman, M Pemanfaatan Limbah Sagu (Metroxilon sagu ) dengan Kotoran Sapi sebagai Media Tanam Pembibitan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal. Suganda, H., Abas, A., dan H. Suwardjo Pengaruh kombinasi pengelolaan tanah, mulsa jerami dan irigasi terhadap sifat fisik tanah, pertumbuhan dan produksi kacang hijau. Risalah Hasil penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang pertanian, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal Sugiyana, T dan Y. Coto Physiological role of potassium in the carbonat metabolism of plant. Symposium Potassium. Sukirno Pengaruh manipulasi permukaan tanah terhadap pertumbuhan iklim mikro. Bul. Perhimpi. I (1) : Sullivan, D. M., and Robert O. Miller Compost quality Attributes, Measurement, and Variability. In Compost Utilization in Horticultural Cropping Systems. Peter J. S. and Brian A. K. (Eds). Lewis Publisers. Washington D. C. Sunarjono, H Tomat di daerah dataran rendah di Indonesia. Warta Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Suriatna, S Pupuk dan Pemupukan. Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta. 63 hal. Suryani, A Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk Dengan Berbagai Bahan Organik Dalam Bentuk Kompos. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 142 hal. Susilawati, E Potensi dan teknik pengomposan tandan kosong sawit. Warta PPKS. Vol. 6(2):77-82.

79 63 Sutarta, A. S., Winarna dan N. H. Darlan Peningkatan efektivitas pemupukan melalui aplikasi kompos TKS pada pembibitan kelapa sawit. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005: Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Melalui Pemupukan dan Pemanfaatan Limbah PKS. Medan April. Suwardjo Peranan sisa-sisa tanaman dalam konservasi tanah dan air pada lahan usahatani tanaman semusim. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suwardjo, H., A. Abdurrachman dan S. Abujamin The use of crop residu mulch to minimize tillage frequancy. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Pemberitaan Penelitian Tahan dan Pupuk 8 : Stoffella, P. J., and B. A. Kahn Compost Utilization in Horticultural Cropping Systems. Lewis Publisers. Washington D. C. Thompson, H. C. And W. C. Kelly Vegetable Crops. Fifth. McGraw Hill Book Co. Inc., New York. 661p. Tisdale, S. L. And W. L. Nelson Soil Fertility and Fertilizers, 3 nd ed. Mac. Millon, Inc. New York. Tobing, P. L. et al Pengelolaan limbah PKS. Dalam Buana, L., D. Siahaan, dan Adiputra S. (Eds.) Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Indonesia. Medan Topan, M Panduan Lengkap Budi Daya dan Bisnis Cabai. Agromedia Pustaka. Jakarta. 190 hal. Trisnawati, Y. dan Setiawan, A. I Tomat : Pembudidayaan Secara Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta. 123 hal. Trude, M. J. dan J. L. Osbun Influence of potassium on carotenoid content of tomatoes. J. of Amer. Soc. Hort. Sci. 96: Umboh, A. H Petunjuk Penggunaan Mulsa. Penebar Swadaya. Jakarta. 89 hal. Yang, S. S Preparetion of compost and evaluating its maturuty. Foot and Fertilizer Technology Center, Extension Bulletin 445, 23 p.

80 64 Lampiran 1. Diskripsi Genotipe cabai 35C2 Bentuk daun : Lanset Warna daun : Hijau tua Bentuk batang : Silindris Warna batang : Hijau Habitus tanaman : Kompak Jumlah helai mahkota : 5 Warna mahkota bunga : Ungu dengan dasar putih Warna anther : Ungu Warna kepala putik : Kuning Posisi bunga : Erect Warna buah muda : Hijau Warna buah masak : Merah Permukaan kulit buah : Keriting Bentuk buah : Memanjang Irisan melintang : Intermediate Tinggi tanaman (cm) : ± 8.78 Lebar kanopi (cm) : ± 8.75 Tinggi dikotomus (cm) : ± 0.54 Diameter batang (cm) : 1.41 ± 0.10 Bobot 1000 biji (gram) : 4.85 ± 0.03 Umur berbunga (HST) : 37 ± 4.60 Umur panen (HST) : ± 3.21 Panjang daun (cm) : 8.59 ± 1.92 Lebar daun (cm) : 2.90 ± 0.27 Panjang buah (cm) : ± 1.35 Diameter buah (cm) : 1.11 ± 0.07 Tebal kulit buah (cm) : 0.11 ± 0.02 Bobot buah (gram) : 4.95 ± 0.75 Bobot buah layak pasar (gram) : ± Bobot buah per tanaman (gram) : ± Bobot segar biomassa (gram) : ± Gambar Lampiran 1. Tanaman dan Buah Cabai Genotipe 35C2 Sumber : Nikamasari (2009)

81 65 Lampiran 2. Deskripsi Tomat Varietas Ratna (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 100/Kpts/Um/2/1980) Asal : Persilangan Nagcalran/ Anahu (Introduksi dari BPI Filipina) Nomor asal : VC-11-1 Umur : Mulai berbunga hss, mulai berbuah hss, panen seluruhnya hss Tinggi tanaman berbunga : cm Bentuk tanaman : Determinate Bentuk percabangan : Horisontal Bentuk penampang : Bulat Bentuk daun : Lebar dengan ujung meruncing Buah : Berbentuk apel Permukaan buah : Halus dan sedikit bergelombang Warna batang : Hijau tua Warna daun : Hijau tua Permukaan bawah daun : Berbulu Warna urat utama daun : Hijau Warna helai bunga : Kuning Warna benang sari : Kuning Warna putik : Putih Warna buah muda : Putih polos Warna uah tua : Jingga hingga merah Jumlah tandan bunga : buah Jumlah bunga per tandan : 4-9 buah Jumlah rongga buah : 2-5 buah Jumlah buah per pohon : 54 buah Bobot per buah : g Potensi hasil : 12 (5-20) ton per ha Kualitas buah : Cukup baik Ketahanan terhadap penyakit : Tahan terhadap layu bakteri (Pseudomonas solanasearum) Ketahanan terhadap penyakit : Rentan terhadap busuk daun ( Phytopthora infestans) Sesuai untuk : Dataran rendah/ tinggi

82 66 Tabel Lampiran1. Data Curah Hujan Kebun Surya Adi Tanggal Jan Feb March Apr May June July Agust Sept Oct Nov Dec (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)

83 67 Lanjutan Total CH (mm) Total Hari Hujan (hari) s.d Bln ini CH ( mm) , , , , , , , , , ,332.0 s.d Bln ini HH ( hari) Keterangan : Data curah hujan diambil hingga bulan september sesuai dengan waktu yang digunakan selama penelitian. 67

84 68 Tabel Lampiran 2. Hasil Analisis Tanah Awal Sifat Tanah Nilai Uji Tanah Keterangan Tekstur Liat Pasir (%) Debu (%) Liat (%) ph H2O 4.64 Masam ph KCl KTK (meq/100 g) 7.04 Rendah Fe (%) B (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) 14 - P 2 O 5 (%) Tinggi K 2 O (%) Tinggi MgO CaO Na (ppm) Ttd - N (%) Sangat Rendah C-Org 0.57 Sangat Rendah Pb (ppm) Cd (ppm) Hg (ppm) Ttd - As (ppm) Ttd - Keterangan : Kriteria berdasarkan Kriteria Sifat sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983). Tabel Lampiran 3. Data Pengukuran Suhu Kompos Minggu Suhu Rata-rata ( o C) Ratarata Atas Tengah Bawah

85 69 Tabel Lampiran 4. Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam Berbagai Peubah Pengamatan Tomat Peubah M K M*K Tinggi tanaman ** ** tn Jumlah daun tn tn tn Diameter batang ** ** tn Bobot basah tajuk tn ** tn Bobot kering tajuk tn ** tn Bobot basah akar tn tn tn Bobot kering akar tn tn tn Volume akar tn tn tn Panjang akar tn tn tn Diameter buah tn tn tn Tinggi buah tn tn tn Bobot panen tn * ** Jumlah buah * ** * Bobot buah tn ** tn Daya tumbuh * tn tn Keterangan : tn : tidak berpengatuh nyata * : berpengaruh nyata pada taraf 5 % ** : berpengaruh nyata pada taraf 1 % Tabel Lampiran 5. Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam Berbagai Peubah Pengamatan Cabai Peubah M K M*K Tinggi Tanaman ** * ** Jumlah Daun ** tn tn Diameter Batang ** ** tn Diameter Tajuk ** tn * Daya Tumbuh tn tn tn Bobot Tajuk Basah ** ** * Bobot Akar Basah tn * tn Volume Akar tn * tn Bobot Tajuk Kering ** ** ** Bobot Akar Kering tn tn tn Panjang Akar tn tn tn Bobot Buah Per tanaman tn tn tn Jumlah Buah tn tn tn Bobot Buah Rata-rata tn tn tn Keterangan : tn : tidak berpengatuh nyata * : berpengaruh nyata pada taraf 5 % ** : berpengaruh nyata pada taraf 1 %

86 70 Tabel Lampiran 6. Persentase Serangan Hama Trips pada Cabai PLOT Serangan Hama (%) UL I UL II UL III MOKO MOKI MOK MOK MOK MIKO MIK MIK MIK MIK M2KO M2KI M2K M2K M2K M3KO M3KI M3K M3K M3K Keterangan : Penentuan serangan apabila dalam 1 tanaman terdapat minimal 5 pucuk daun terserang trips.

87 71 Tabel Lampiran 7. Persentase Gejala Defisiensi Hara pada Cabai PLOT Gejala Kekurangan Hara UL I UL II UL III MOKO MOKI MOK MOK MOK MIKO MIK MIK MIK MIK M2KO M2KI M2K M2K M2K M3KO M3KI M3K M3K M3K

88 72 Tabel Lampiran 8. SNI Kompos No Parameter Sat Min Maks No Parameter Satuan Min Maks 1 Kadar Air Kadmium (Cd) mg/kg * 3 % o 2 Temperatur suhu air 17 Kobal (Co ) mg/kg * 34 C tanah 3 Warna kehitaman 18 Kromium (Cr) mg/kg * Bau berbau 19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100 tanah 5 Ukuran partikel m 0, Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8 m 6 Kemampuan ikat air % Nikel (Ni) mg/kg * 62 7 ph 6,80 7,49 22 Timbal (Pb) mg/kg * Bahan asing % * 1,5 23 Selenium (Se) mg/kg * 2 24 Seng (Zn) mg/kg * 500 Unsur makro 9 Bahan organik % Unsur lain 10 Nitrogen % 0,40-25 Kalsium % * Karbon % 9, Magnesium % * 0.60 (Mg) 12 Phosfor (P 2 O 5 ) % Besi (Fe ) % * C/N-rasio Aluminium ( Al) % * Kalium (K 2 O) % 0,20 * 29 Mangan (Mn) % * 0.10 Bakteri Unsur mikro 15 Arsen mg /kg * Fecal Coli MPN/ gr 31 Salmonella sp. MPN/ 4 gr Keterangan : * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum

89 73 Keterangan : ULANGAN 2 M1K2 M1K0 M1K3 M1K1 M1K4 M3K1 M3K2 M3K4 M3K0 M3K3 M2K0 M2K4 M2K2 M2K3 M2K1 M0K3 M0K2 M0K1 M0K0 M0K4 ULANGAN 3 M0K2 M0K0 M0K4 M0K1 M0K3 M3K1 M3K3 M3K2 M3K4 M3K0 M1K1 M1K4 M1K0 M1K2 M1K3 M2K4 M2K2 M2K1 M2K0 M2K3 ULANGAN 1 M3KO M3K1 M3K4 M3K2 M3K3 M0K1 M0K2 M0K3 M0K0 M0K4 M2K4 M2K1 M2K2 M2K3 M2K0 M1K3 M1K0 M1K4 M1K1 M1K2 U1 : Ulangan I U2 : Ulangan II U3 : Ulangan III M0 : Tanpa Mulsa M1 : Mulsa Cangkang M2 : Mulsa Fiber M3 : Mulsa Cacahan K0 : Tanpa Kompos K1 : Kompos 4 Minggu K2 : Kompos 6 Minggu K3 : Kompos 8 Minggu K4 : Kompos 10 Minggu Gambar Lampiran 2. Denah Penelitian Tomat dan Cabai

90 74 Gambar Lampiran 3. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) a Keterangan: a. Mesin Pencacah TKKS yang terdapat pada mesin pembuatan kompos, b. Mesin Pembuat Kompos b Gambar Lampiran 4. Mesin Pembuatan Kompos Gambar Lampiran 5. Larutan Promi

91 75 Gambar Lampiran 6. Jamur yang Tampak pada Kompos Gambar Lampiran 7. Metode Pengukuran Suhu Kompos a b c Keterangan: a. Mulsa Cangkang, b. Mulsa Fiber, c. Mulsa Cacahan TKKS Gambar Lampiran 8. Macam Mulsa yang Digunakan

92 76 KO K2 K1 K3 K4 Gambar Lampiran 9. Perbedaan Tinggi pada Tanaman Tomat K4 K3 K1 K2 KO Gambar Lampiran 10. Perbedaan Tinggi pada Tanaman Cabai

93 77 Gambar Lampiran 11. Hasil Panen Tanaman Tomat dan Cabai a b c Keterangan : a. Serangan dumping off pada cabai, b. Serangan Semut pada Tomat, c. Serangan Helicoverpa armigera pada buah tomat. Gambar Lampiran 12. Gejala Serangan Hama dan Penyakit pada Tanaman Tomat dan Cabai

Oleh MERCY BIENTRI YUNINDANOVA A

Oleh MERCY BIENTRI YUNINDANOVA A TINGKAT KEMATANGAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DAN PENGGUNAAN BERBAGAI JENIS MULSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN TOMAT ( Lycopersicon esculentum Mill.) DAN CABAI (Capsicum annuum L.)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikarawang, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Februari 2011.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat Tanaman tomat diduga berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan terutama Peru dan Ekuador, kemudian menyebar ke Italia, Jerman dan negaranegara Eropa lainnya. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. produksi dan mutu kelapa sawit mengingat tanaman kelapa sawit baru akan

TINJAUAN PUSTAKA. produksi dan mutu kelapa sawit mengingat tanaman kelapa sawit baru akan TINJAUAN PUSTAKA Bahan Tanaman (Bibit ) Faktor bibit memegang peranan penting dalam upaya peningkatan produksi dan mutu kelapa sawit mengingat tanaman kelapa sawit baru akan menghasilkan pada 3 4 tahun

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Analisis tanah dan hara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Jahe Iklim Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian 200-600 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata berkisar 2500-4000 mm/ tahun. Sebagai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Darmaga, Bogor, pada bulan Januari sampai April 2008. Lokasi percobaan terletak pada ketinggian 220 m di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB, Darmaga Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan elevasi 250 m dpl dan curah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAHAN METODE PENELITIAN

BAHAN METODE PENELITIAN BAHAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan penelitian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl, dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran dan Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan di desa Cengkeh Turi dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember sampai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Februari-Agustus 2009 dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan jenis tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung Manis. Tanaman jagung manis diklasifikasikan ke dalam Kingdom Plantae (Tumbuhan),

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung Manis. Tanaman jagung manis diklasifikasikan ke dalam Kingdom Plantae (Tumbuhan), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung Manis Tanaman jagung manis diklasifikasikan ke dalam Kingdom Plantae (Tumbuhan), Divisi Spermatophyta (Tumbuhan berbiji), Subdivisi Angiospermae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Panjang akarnya dapat mencapai 2 m. Daun kacang tanah merupakan daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Panjang akarnya dapat mencapai 2 m. Daun kacang tanah merupakan daun 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Kacang Tanah Tanaman kacang tanah memiliki perakaran yang banyak, dalam, dan berbintil. Panjang akarnya dapat mencapai 2 m. Daun kacang tanah merupakan daun majemuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Limbah Pertanian. menjadi material baru seperti humus yang relatif stabil dan lazim disebut kompos.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Limbah Pertanian. menjadi material baru seperti humus yang relatif stabil dan lazim disebut kompos. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kompos Limbah Pertanian Pengomposan merupakan salah satu metode pengelolaan sampah organik menjadi material baru seperti humus yang relatif stabil dan lazim disebut kompos. Pengomposan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemupukan pada Tanaman Tomat 2.1.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Kimia Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada tanaman tomat tertinggi terlihat pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanaan di kebun percobaan IPB, Leuwikopo, Dramaga dengan jenis tanah latosol Dramaga. Percobaan dilaksanakan pada tanggal 26 September 2010 sampai dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah Dramaga, keadaan iklim secara umum selama penelitian (Maret Mei 2011) ditunjukkan dengan curah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, Bandar lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Famili ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Botani Tanaman Sawi Sendok. Tanaman sawi sendok termasuk family Brassicaceae, berasal dari daerah pantai Mediteranea yang telah dikembangkan di berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Tomat Tanaman tomat termasuk tanaman semusim yang berumur sekitar 4 bulan (Pudjiatmoko, 2008). Klasifikasi tanaman tomat adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Bawang Merah Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman cabai Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis tanaman hortikultura penting yang dibudidayakan secara komersial, hal ini disebabkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Suka Banjar Kecamatan Gedong Tataan

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Suka Banjar Kecamatan Gedong Tataan I. BAHAN DAN METODE 1.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Suka Banjar Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran pada bulan Mei sampai September 2011. 1.2 Bahan dan Alat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempatdan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, JalanH.R. Soebrantas No.155

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama

TINJAUAN PUSTAKA. (brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi Tanaman sawi (Brassica juncea L.) masih satu keluarga dengan kubis-krop, kubis bunga, broccoli dan lobak atau rades, yakni famili cruciferae (brassicaceae) olek karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom: Plantae,

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom: Plantae, TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kacang tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Rosales, Famili: Leguminosea,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai April sampai Juni 2010 di Vegetable Garden, Unit Lapangan Darmaga, University Farm, IPB Darmaga, Bogor. Lokasi penelitian berada pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai arti penting bagi masyarakat. Meskipun disadari bawang merah bukan merupakan kebutuhan pokok, akan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 yang bertempat di Greenhouse Fakultas Pertanian dan Laboratorium Penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Penelitian terdiri dari percobaan lapangan dan analisis tanah dan tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Pengembangan Teknologi Lahan Kering Desa Singabraja, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian mulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam klasifikasi tumbuhan, tanaman tomat termasuk kelas Dicotyledonae

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam klasifikasi tumbuhan, tanaman tomat termasuk kelas Dicotyledonae BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tomat 1) Botani dan morfologi tanaman tomat Dalam klasifikasi tumbuhan, tanaman tomat termasuk kelas Dicotyledonae (berkeping dua). Secara lengkap ahli botani mengklasifikasikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Menurut Fachruddin (2000) tanaman kacang panjang termasuk famili leguminoceae. Klasifikasi tanaman kacang panjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Pada saat jagung berkecambah, akar tumbuh dari calon akar yang berada dekat ujung biji yang menempel pada janggel, kemudian memanjang dengan diikuti oleh akar-akar samping.

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK DENGAN MENGGUNAKAN BIOAKTIVATOR SUPERDEC DAN ORGADEC

PETUNJUK TEKNIS PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK DENGAN MENGGUNAKAN BIOAKTIVATOR SUPERDEC DAN ORGADEC PETUNJUK TEKNIS PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK DENGAN MENGGUNAKAN BIOAKTIVATOR SUPERDEC DAN ORGADEC Petunjuk Teknis Pembuatan Kompos LIMBAH PADAT ORGANIK PERKEBUNAN TEBU DAN KELOMPOK GRAMINEAE LAINNYA dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan tanaman gladiol dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan tanaman gladiol dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman Gladiol 2.1.1 Taksonomi Tanaman Gladiol Kedudukan tanaman gladiol dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut : Divisi : Tracheophyta Subdivisi : Pteropsida

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Rancangan Percobaan Yijk ijk

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Rancangan Percobaan Yijk ijk BAHAN DAN METODE 9 Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2007 sampai Juni 2007 di rumah kaca Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu, Bogor, Jawa Barat. Rumah kaca berukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas hortikultura terutama jenis sayur-sayuran dan buah-buahan sangat diminati oleh konsumen. Sayuran diminati konsumen karena kandungan gizinya baik dan dapat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor. Lokasi ini memiliki ketinggian tempat 240 m di atas permukaan laut.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Paprika Tanaman paprika (Capsicum annum var. grossum L.) termasuk ke dalam kelas Dicotyledonae, ordo Solanales, famili Solanaceae dan genus Capsicum. Tanaman paprika merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Tanaman Cabai Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1400

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Sistem perakaran tanaman bawang merah adalah akar serabut dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Sistem perakaran tanaman bawang merah adalah akar serabut dengan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Rukmana (2005), klasifikasi tanaman bawang merah adalah sebagai berikut: Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik, pertumbuhan akar tunggang lurus masuk kedalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang. Pada akar-akar cabang banyak terdapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Industri Tempe Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih di kenal sebagai sampah, yang kehadiranya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Vegetatif Dosis pupuk kandang berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman (Lampiran 5). Pada umur 2-9 MST, pemberian pupuk kandang menghasilkan nilai lebih

Lebih terperinci

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Papilionaceae; genus Arachis; dan spesies Arachis hypogaea L. Kacang tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Seledri Kedudukan tanaman seledri dalam taksonomi tumbuhan, diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub-Divisi Kelas Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu pembibitan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, dan penanaman dilakukan di

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor pada ketinggian 240 m dpl. Uji kandungan amilosa dilakukan di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kacang Tanah Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika, khususnya dari daerah Brizilia (Amerika Selatan). Awalnya kacang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Caisim diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Asia Timur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Caisim diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Asia Timur. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4.1 Sejarah Tanaman Caisim Tanaman Caisim diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Asia Timur. Konon di daerah Cina, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 2.500 tahun yang lalu,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Caulifloris. Adapun sistimatika tanaman kakao menurut (Hadi, 2004) sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Caulifloris. Adapun sistimatika tanaman kakao menurut (Hadi, 2004) sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kakao Kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Karena itu tanaman ini digolongkan kedalam kelompok tanaman Caulifloris. Adapun sistimatika

Lebih terperinci

Agro inovasi. Inovasi Praktis Atasi Masalah Perkebunan Rakyat

Agro inovasi. Inovasi Praktis Atasi Masalah Perkebunan Rakyat Agro inovasi Inovasi Praktis Atasi Masalah Perkebunan Rakyat 2 AgroinovasI PENANAMAN LADA DI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH Lahan bekas tambang timah berupa hamparan pasir kwarsa, yang luasnya terus bertambah,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan September 2011 di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan, IPB Darmaga Bogor. Analisis tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicon esculentum mill) merupakan tanaman yang berasal dari

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicon esculentum mill) merupakan tanaman yang berasal dari 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicon esculentum mill) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin, seperti Peru, Ekuador, dan Meksiko. Selanjutnya, tomat menyebar ke seluruh Amerika,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah di laksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Fakultas Pertanian, Jalan Bina Widya KM 12,5 Simpang Baru Kecamatan Tampan Pekanbaru yang berada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan hasil analisis tanah di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor, tanah yang digunakan sebagai media tumbuh dikategorikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Menurut Haryanto, Suhartini dan Rahayu (1996), klasifikasi tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Menurut Haryanto, Suhartini dan Rahayu (1996), klasifikasi tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Haryanto, Suhartini dan Rahayu (1996), klasifikasi tanaman selada adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus :Plantae :Spermatophyta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Unit Pelayanan Teknis (UPT), Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pelaksanaannya dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika tanaman sawi dalam Sharma (2007) adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika tanaman sawi dalam Sharma (2007) adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sistematika tanaman sawi dalam Sharma (2007) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang

Lebih terperinci

METODE PELAKSANAAN. Yogyakarta dan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas. Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan April-Agustus 2017.

METODE PELAKSANAAN. Yogyakarta dan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas. Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan April-Agustus 2017. III. METODE PELAKSANAAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan di Green House Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lahan pertanian milik masyarakat Jl. Swadaya. Desa Sidodadi, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Selada Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), khususnya dalam bentuk daunnya. Daun selada bentuknya bulat panjang, daun sering berjumlah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan Juni sampai bulan Oktober 2011. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari 2011 di lahan sawah yang berlokasi di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Elevasi/GPS

Lebih terperinci