BAB I PENDAHULUAN. dan militansi terhadap paham radikal agama memusnahkan banyak situs dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dan militansi terhadap paham radikal agama memusnahkan banyak situs dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pluralisme budaya masyarakat dunia terusik ketika semangat propaganda dan militansi terhadap paham radikal agama memusnahkan banyak situs dan artefak bersejarah yang menjadi saksi dari kayanya sejarah peradaban Dunia. Pada tanggal 26 Februari 2001, Mullah Mohammed Omar, pimpinan Taliban yang merupakan Rezim berkuasa di Afganistan pada waktu itu memutuskan untuk menghancurkan semua patung di Afganistan karena telah atau dapat menjadi berhala. 1 Puncaknya, dua patung Buddha terbesar di dunia yang dipahat di atas dinding berbatu di Lembah Bamiyan berukuran 55 dan 37 meter, secara membabi buta dibombardir dan dihancurkan setelah satu bulan lamanya upaya tersebut dilakukan oleh Taliban yang dimulai pada tanggal 1 Maret Patung itu merupakan peninggalan Agama Buddha yang pernah berkembang di Afganisthan dari era kerajaan Gandhara pada abad ke-tiga dan ke-lima yang terletak sekitar 90 mil sebelah barat kota Kabul. 2 Penghancuran terhadap patung Buddha Bamiyan Afganistan tersebut membangkitkan kesadaran masyarakat dunia akan keberlangsungan objek benda 1 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, 2003, "The Destruction of the Buddhas of Bamiyan and International Law" dalam European Journal of International Law, Oxford University Press, London, h Artikel Berita berjudul "Giant Afghan Buddhas destroyed, Taleban says" diposting pada tanggal 11 Maret 2001, diakses dalam laman web: ml pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul WITA. 1

2 2 budaya dunia yang juga bisa terancam oleh rezim atau penguasa yang sewenangwenang. Kasus ini menyita perhatian masyarakat dunia dan mencetuskan adanya istilah crimes against cultural heritage of mankind (kejahatan terhadap kekayaan budaya umat manusia), seperti yang diungkapkan oleh Koichiro Matsura, Direktur Jenderal UNESCO yang ketika itu menyatakan: one of the things we should look into in the future is how to set up a new legal framework with credible punishment for crimes against culture. 3 Penghancuran dengan kekerasan terhadap patung Buddha Bamiyan oleh pasukan militer dan pemerintah Taliban Afghanistan bisa dilihat sebagai contoh nyata dalam sejarah dari keterpurukan pelestarian benda budaya. 4 Berbeda halnya dengan kerusakan perang konvensional terhadap warisan budaya yang mempengaruhi properti musuh, penghancuran patung Buddha Bamiyan menyangkut warisan budaya bangsa Afghanistan. Patung-patung itu berada di wilayahnya dan menjadi milik masa lalu peradaban pra-islam kuno masyarakat Afghanistan. 5 Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Taliban di tahun 2001, dunia juga dikejutkan dengan tindakan vandalisme brutal yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sejak pertengahan tahun 2014 hingga Maret 2015 lalu ISIS melakukan tindakan penghancuran terhadap tempat-tempat 3 Artikel Berita berjudul "UNESCO Demands New Laws After Taliban Destruction", yang ditulis oleh Bureau, diposting pada tanggal 14 Maret 2001, dalam laman web: 30.html, diakses pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul WITA 4 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Loc.Cit 5 Ibid,h.620

3 3 bersejarah serta benda-benda arkeologis lainnya di Irak dan Suriah. Pada tanggal 6 Maret 2015 ISIS telah menghancurkan situs arkeologi kuno Nimrud di kota Mosul yang merupakan kota kedua terbesar di Irak. ISIS juga meratakan beberapa situs yang terletak di sebelah utara Irak tersebut. Pada tanggal 23 Juni 2014 Kelompok militan ISIS menghancurkan museum arkeologi di Kota Mosul yang menyimpan koleksi benda-benda bersejarah berusia tahun. 6 ISIS juga menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi saksi kejayaan perkembangan Islam di Suriah. Pada tanggal 19 Agustus 2014 ISIS menghancurkan Kompleks Masjid Jirjis yang dibangun di atas pemakaman Quraisy di Mosul pada akhir abad ke-14, termasuk biara kecil yang didedikasikan untuk Nabi Jerjis, atau disebut juga Nabi George. 7 Tidak hanya itu, mereka juga menghancurkan Makam Nabi Yunus dan Masjid Nabi Daniel dari abad ke-11 di Kota Mosul pada tanggal 24 Juli ISIS menganggap bahwa selama ini ritual dan doa yang dilakukan di sekitar makam sebagai perbuatan dosa sehingga mereka merusak tempat itu. ISIS juga telah merusak sebuah Masjid Al-Askari yang terletak di Kota Samara, Irak pada tanggal 30 Juni Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO telah mengeluarkan pernyataan mengecam aksi brutal ISIS yang sengaja menghancurkan kota kuno Nimrud seraya menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan perang. UNESCO kemudian membicarakan hal tersebut dengan Ketua Dewan Keamanan 6 Akses Internet dalam artikel berita berjudul UNESCO Kecam Penghancuran Kota Kuno di Irak oleh ISIS dalam website : diakses pada tanggal 07 April Akses Internet dalam artikel berita berjudul Situs-situs Bersejarah yang Dihancurkan oleh ISIS dalam website : diakses pada tanggal 07 April 2015, Pukul WITA. 8 Ibid

4 4 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC). 9 Tindakan-tindakan tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai iconoclast yang mengancam pluralitas masyarakat serta hilangnya identitas budaya dan sejarah masyarakat. Tindakan iconoclast dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk agresi terhadap gambar, patung, ataupun benda budaya lainnya yang merefleksikan ikon atau simbol tertentu. Di dalamnya terdapat tindakan vandalisme (termasuk tindakan agresi perang, kekerasan patologis atau psikologis, dan perusakan atau mutilasi benda budaya karena alasan prinsip politik atau agama); tetapi dalam prakteknya, motif dilakukannya perbuatan ini jauh lebih jelas dan lebih sulit terurai. Dalam beberapa kasus terjadi akumulasi antara banyak tindakan tersebut yang dilakukan secara spontan dalam bentuk kekerasan individu dan atau secara bersama-sama dengan terorganisir di antara kelompok yang bermusuhan. 10 Dalam motif umum atau teologis yang dikemukakan untuk menentukan alasan dilakukannya kejahatan iconoclastic, motif psikologis individu mungkin muncul untuk menerima semacam legitimasi dalam domain sosial, hukum, teologi atau filsafat merujuk pada tindakan kekerasan fisik terhadap gambar/ikon, baik yang bersifat dua atau tiga dimensi, dan kadang-kadang juga mengincar bangunanbangunan. 11 Di Indonesia, tindakan iconoclast terhadap benda budaya bersejarah pernah menimpa peninggalan Candi Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 21 9 Ibid 10 David Freedberg, 1985, Iconoclasts and Their Motives, Masrssen, Schwartz, h Ibid

5 5 Januari Beberapa ledakan yang cukup dahsyat menghancurkan tujuh stupa pada candi (tujuh stupa yang rusak terkena ledakan terletak di sisi timur, tiga stupa di lantai 8, dua stupa di lantai 9, dan empat stupa di lantai 10). Otak peristiwa pemboman ini diketahui sebagai "Ibrahim" alias Mohammad Jawad alias "Kresna" yang oleh kepolisian penyidik peristiwa pemboman ini disebut sebagai dalang pengeboman. 13 Walaupun begitu, sosok Mohammad Jawad, otak peristiwa peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum berhasil diringkus oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini. Setelah penyelidikan, Polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini. 14 Dalam contoh kasus kejadian iconoclast yang dilakukan oleh Taliban dan ISIS, tindakan iconoclast dilakukan secara sewenang-wenang oleh kelompok militan atau rezim otoriter yang berkuasa secara terorganisir. Tujuan penghancuran itu tidak terkait dengan cara apapun untuk tujuan militer, tetapi terinspirasi oleh kehendak belaka untuk memberantas setiap manifestasi budaya kreatif dengan didasari oleh paham radikal bahwa kepercayaan suatu komunitas masyarakat yang berkembang pada zaman dahulu maupun yang masih berkembang pada zaman kini bertentangan dengan pemahaman religius, sosial, dan budaya yang mereka yakini Akses Internet dalam artikel berjudul Pengeboman Borobudur, Ikhwanul Muslimin dan PKS" dalam website : diakses pada tanggal 07 April Ibid 14 Ibid 15 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit, h.620

6 6 Upaya tersebut dilakukan sebagai sebuah aksi kekerasan dan teror untuk menciptakan masyarakat yang monoculture (penyeragaman budaya), serta pengekangan hak-hak asasi manusia salah satunya hak-hak sosial budaya masyarakat dengan tindakan-tindakan intoleran. Pendapat Meskel seperti yang dikutip oleh Silverman dan Ruggles, dengan tegas menyatakan bahwa, hilangnya kebudayaan dapat secara mudah diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak pada banyak generasi, menghapus ingatan budaya, dan menghilangkan jejak dengan kehidupan masyarakat di masa lalu yang terjalin dalam membentuk dan menjaga identitas kekinian masyarakat dunia. Tindakan ini dapat merujuk pada genosida, sejak tindakan yang dilakukan itu tidak dalam batas kewajaran. 16 Piagam Venice 1964 dalam pembukaannya, menyebutkan properti budaya milik masyarakat merupakan harta budaya umat manusia, karena setiap masyarakat memberi kontribusi pada kebudayaan di seluruh dunia. 17 Monumen bersejarah dari beberapa generasi masyarakat mengingatkan pada kehidupan masa kini sebagai saksi hidup dari tradisi kuno mereka. Orang-orang menjadi lebih sadar akan kesatuan nilai-nilai kemanusiaan dan menganggap monumen kuno sebagai warisan bersama. Hal ini merupakan tanggung jawab masyarakat untuk melindungi mereka bagi generasi masa depan. Ini adalah tugas kita secara penuh untuk menjaga mereka dalam bentuk keasliannya. 18 Padahal kebebasan dalam mengekspresikan dan mengembangkan nilainilai sosial budaya telah dijamin melalui ketentuan yang fundamental di dalam 16 Helaine Silverman dan D. Fairchild Ruggles, 2007, Cultural Heritage and Human Rights, Spinger, New York, h.5 17 The Venice Charter: International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. ICOMOS and UNESCO, May 1964, Preamble. 18 Ibid

7 7 sejumlah instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR), 19 International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), serta Universal Declaration on Cultural Diversity (UDCD) 20 yang dikeluarkan oleh PBB melalui UNESCO. Setiap masyarakat dan individu memiliki hak-hak sosial dan budaya untuk hidup dalam keberagaman. Menurut Jean-Marie Henckaerts, terdapat dua aliran Hukum Humaniter Internasional/ International Humanitarian Law (HHI) menyangkut perlindungan benda budaya. Aliran yang pertama berasal dari Regulasi Den Haag. Aliran ini menyatakan bahwa diharuskannya sifat kehati-hatian yang khusus dalam pelaksanaan operasi militer juga larangan melakukan perampasan, penghancuran, atau perusakan dengan sengaja terhadap gedung-gedung dan bangunan-bangunan semacam itu. 21 Aliran yang kedua yaitu berasal dari beberapa aturan spesifik dalam Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya, yang melindungi "benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa" dan memberlakukan sebuah tanda pembeda spesifik untuk mengenali benda-benda semacam itu. Hal ini agar benda-benda budaya tersebut tidak diserang atau ada pada resiko kehancuran atau kerusakan. HI Kebiasaan juga melarang setiap bentuk pencurian, penjarahan, atau penyalahgunaan dan setiap tindakan vandalisme yang diarahkan terhadap benda-benda semacam itu Pasal 27 ayat (1) dan (2) Universal Declaration of Human Rights 20 Pasal 1 Universal Declaration on Cultural Diversity 21 Jean-Marie Henckaerts dalam artikel berjudul "Study on Customary International Humanitarian Law," dalam International Review of Red Cross, Volume 87. No. 857, Maret h Ibid.

8 8 Protokol II Konvensi Den Haag 1954 tahun 1999 mengenalkan sistem perlindungan baru: enhanced protection (peningkatan perlindungan). 23 Dalam Pasal 28 Second Protocol 1999, dikatakan bahwa negara anggota harus mengambil semua langkah penting untuk memastikan adanya sanksi pada orang yang melakukan pelanggaran ketentuan Protokol II tahun 1999 dan Konvensi Den Haag Pasal 15 Second Protocol 1999, memberi pengaturan bahwa setiap negara anggota harus mempunyai peraturan dalam yurisdiksi negerinya sendiri untuk memberi hukuman pada pelaku perusakan benda budaya yang telah didaftarkan dalam teritorial negara tersebut. Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai perlindungan terhadap Benda Budaya telah diundangkan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Poin menimbang pada undang-undang ini, huruf (b) menyatakan bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Serta tindakan-tindakan pengrusakan benda budaya/ cagar budaya tersebut diatur secara khusus dalam Bab XI mengenai Ketentuan Pidana yang didalamnya terdapat aturan pemidanaan terhadap tindakan-tindakan yang mengancam 23 Terdapat tiga syarat properti budaya yang layak dimasukan dalam kategori enhanced protection, yakni: a. Benda cagar budaya tersebut merupakan benda warisan budaya yang memiliki nilai yang sangat penting bagi umat manusia b. Benda cagar budaya tersebut memperoleh tindakan hukum dan administrasi yang mengakui nilai sejarah dan budaya dan mendapatkan tingkat perlindungan yang paling tinggi c. Benda cagar budaya tersebut tidak digunakan untuk kepentingan militer atau perlindungan militer yang harus dideklarasikan oleh para negara peserta Bab 3 Pasal 10 Second Protocol to the 1954 Convention

9 9 keselamatan benda cagar budaya, salah satunya tindakan pengrusakan (Pasal 105) 24 dan pencurian (Pasal 106). 25 Dalam contoh kasus Taliban dan ISIS, tindakan iconoclast tersebut justru dilakukan oleh negara atau pihak rezim penguasa yang semestinya bertanggung jawab terhadap benda-benda budaya yang ada di wilayahnya sesuai dengan Pasal 28, Second Protocol Tindakan-tindakan iconoclast yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis Taliban dan ISIS tersebut jauh dari upaya perlindungan benda budaya dan telah mengancam hak-hak hidup, hak-hak sosial, hak-hak ekonomi, serta hak-hak budaya masyarakat. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menjadi lembaga yang memiliki potensi kekuatan hukum untuk mengadili kasus tersebut. Pasal 8 Statuta ICC memungkinkan pengadilan atas kejahatan hukum perang, penyerangan secara sengaja institusi agama dan budaya, dan juga rumah sakit. 26 Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut maka sangat menarik 24 "Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah)." Pasal 105, UU No.11 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Cagar Budaya. 25 Ayat (1) : "Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Ayat (2): "Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah)." Pasal 106, ibid 26 Intentionally directing attacks against buildings dedicated to religion, education, art, science or charitable purposes, historic monuments, hospitals and places where the sick and wounded are collected, provided they are not military objectives (Terjemahan penulis: Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan

10 10 dikaji secara lebih mendalam dan dituangkan dalam sebuah penulisan karya ilmiah yang berjudul: Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Penghancuran Benda Budaya (Iconoclast) Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dikemukakan dua rumusan masalah yang penting untuk dikaji, yaitu : 1) Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran benda budaya (Iconoclast)? 2) Bagaimanakah upaya pertanggungjawaban kejahatan Iconoclast dalam perspektif hukum pidana internasional? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar penulisan karya ilmiah ini tidak jauh menyimpang dari pokok permasalahan maka perlu pembatasan ruang lingkup dalam pembahasannya. Dalam skripsi ini akan ditinjau mengenai pengaturan hukum internasional tindakan penghancuran benda budaya Iconoclast terhadap objek sipil yang memiliki nilai budaya dan historis bagi umat manusia. Dalam pokok pembahasan pertama akan dibatasi pada pengaturan HAM dan Hukum Humaniter terhadap pelanggaran Iconoclast dalam norma-norma tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka tidak menjadi target tujuan militer) Rome Statute of International Criminal Court yang diadopsi di Roma, 17 Juli 1998, Pasal 8 Ayat (2) Huruf (e) Point (iv).

11 11 hukum tertulis Internasional yang terkait dengan pelanggaran hak-hak asasi masyarakat dan pelanggaran terhadap upaya perlindungan/ pelestarian bendabenda budaya baik dalam masa damai maupun dalam masa konflik bersenjata. Dalam pokok bahasan kedua selanjutnya akan dibahas mengenai upaya penegakan hukum internasional yang dapat dilakukan untuk mengadili kejahatan Iconoclast dalam norma-norma hukum internasional. Selanjutnya diuraikan upaya-upaya yang bisa dilakukan dari segi hukum untuk menegakkan hukum internasional berkaitan dengan tindakan Iconoclast tersebut. 1.4 Originalitas Penelitian Untuk memperhatikan originalitas skripsi ini maka dalam penelitian ini digunakan berbagai sumber pustaka/ literatur seperti jurnal, skripsi, maupun karya ilmiah hukum lainnya serta berbagai sumber peraturan perundang-undangan, konvensi, perjanjian, maupun deklarasi Internasional. Sumber pustaka tersebut digunakan sebagai sumber pendukung, pedoman, dan acuan dalam menjawab masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu literatur ini juga digunakan untuk memperkaya wawasan yang dipetik secara selektif yang berhubungan langsung dengan kajian mengenai iconoclast sebagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari pengamatan penulis, dalam perpustakaan skripsi yang ada di Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun di universitas lain yang penulis lacak melalui media internet, belum ada penelitian skripsi yang sama dengan tulisan ini, namun terdapat beberapa skripsi yang terkait dengan tulisan ini. Berikut adalah

12 12 judul skripsi, identitas penulis, serta rumusan masalah yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis No Judul Penulis Rumusan Masalah 1. Perlindungan Terhadap Sasha Izni 1. Bagaimanakah sejarah Benda Budaya Pada perkembangan konsep Masa Konflik Bersenjata perlindungan terhadap Menurut Hukum Humaniter Internasional: Penerapannya oleh International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia Dalam Kasus-Kasus Dubrovnik. 2. Eksistensi Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property (1970) Terhadap Perlindungan Benda-Benda Cagar Budaya Dalam Menangani Perdagangan Shadrina, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2012 Fenni Pratama Bassi, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Makasar, 2014 benda budaya pada masa konflik bersenjata? 2. Bagaimanakah Hukum Humaniter Internasional mengatur perihal perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata? 3. Bagaimanakah penerapan ketentuanketentuan dalam hukum internasional terkait perlindungan terhadap benda budaya oleh International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia dalam kasus-kasus Dubrovnik? 1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya menurut Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of

13 13 Ilegal di Tingkat Internasional. Ownership of Cultural Property 1970? 2. Bagaimana bentukbentuk perlindungan benda-benda cagar budaya menurut Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property 1970? 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengkaji, menelusuri dan menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Dari rumusan masalah tersebut dapat dibagi dalam dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuanketentuan hukum internasional yang berhubungan dengan tindakan Iconoclast sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan serta untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap tindak kejahatan ini Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk menganalisa pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran benda budaya iconoclast.

14 14 2. Untuk menganalisa upaya pertanggungjawaban dalam menindak kejahatan iconoclast dalam perspektif hukum pidana internasional. 1.6 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum mengenai ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tindakan iconoclast sebagai kejahtan terhadap kemanusiaan Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada berbagai pihak terkait dengan perlindungan benda budaya, khususnya di Indonesia, yaitu: 1. Bagi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yakni dapat menjadi rujukan untuk menyusun peraturan dan kebijakan dalam mengantisipasi tindakan-tindakan Iconoclast dan vandalisme benda-benda arkeologis yang ada di Indonesia dalam situasi damai maupun dalam keadaan konflik bersenjata. 2. Bagi Tentara Nasional Indonesia, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aturan hukum humaniter dalam upaya

15 15 perlindungan benda-benda budaya baik dalam situasi damai maupun dalam konflik bersenjata. 3. Bagi Arkeolog, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai dukungan hukum internasional dalam upaya perlindungan bendabenda budaya bernilai sejarah yang ada di Indonesia agar tidak terjadi kejadian serupa serta membantu para arkeolog dalam menelaah dasar hukum yang dapat digunakan apabila di kemudian hari ditemukan kejadian semacam ini. 1.7 Kerangka Teori Salah satu unsur terpenting dalam penelitian yang memiliki peran sangat besar adalah teori. Menurut Neumen, seperti yang dikutip oleh Sugiono, teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antara variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. 27 Dalam membahas permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan Teori Relativisme Budaya dan Teori Prinsip Pembedaan Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory) Relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Relativisme dapat dibahas dalam berbagai bidang. Kesamaan yang dimiliki oleh semua bentuk atau sub-bentuk relativisme adalah keyakinan bahwa sesuatu bersifat relatif terhadap prinsip tertentu dan 27 Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kwalitatif Dan R & D, Cv. Alfa Beta, Bandung, h.52

16 16 penolakan bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling sahih. 28 Perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang. 29 Sehingga perbedaan yang terbentuk diantara budaya-budaya yang ada terjadi akibat adanya bentuk perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusia, dan kondisi lingkungan fisiknya. Teori relativisme budaya (cultural relativist theory) memandang teori hakhak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism). 30 Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya serta tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized). 31 Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya, 28 Mohammad A. Shomali, 2005, Relativisme Etika, Serambi, Jakarta, h Koentjara Ningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. h Todung Mulya Lubis,1993, In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia s New Order, , Gramedia, Jakarta, h Ibid

17 17 karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Relativisme budaya menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya Teori Prinsip Pembedaan (Distinction Principle Theory) Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) terdapat beberapa prinsip. Salah satu prinsip yang penting dalam Hukum Humaniter Internasional adalah pembagian penduduk (warga negara) yang sedang berperang maupun yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata (armed conflict). Kombatan adalah golongan orang yang turut serta secara aktif dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan orang yang tidak turut serta dalam permusuhan. 33 Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), prinsip pembedaan ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori, yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives). 34 Dalam Daftar Aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan, 35 bagian pertama menjelaskan mengenai Pembedaan antara Objek Sipil dan Sasaran Militer. Pada Aturan 7 disebutkan: "Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap 32 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 1998, Komunikasi Antarbudaya. Remaja Rosdakarya, Bandung, h Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, h Ibid 35 Mengenai Daftar Aturan-Aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan ini, penulis kutip dalam bagian Lampiran tulisan Jean-Marie Henckaerts, Op.Cit., h.26-44

18 18 saat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer. Penyerangan hanya boleh diarahkan kepada sasaran militer. Penyerangan tidak boleh diarahkan kepada objek sipil". Dalam situasi konflik, pihak-pihak yang terlibat diwajibkan untuk membedakan antara objek-objek militer yang boleh diserang dan objek-objek sipil yang harus dilindungi. Mengenai pengertian tentang Objek Sipil dijelaskan dalam Aturan 9 yang menyebutkan: "Objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan sasaran militer". Sehingga objek sipil tersebut sama sekali tidak terkait dengan militer termasuk Benda Budaya. Penghormatan terhadap Benda Budaya sebagai objek sipil yang harus dilindungi ditegaskan juga dalam Aturan 38 yang terdiri dari poin (A) dan (B) yang menyebutkan: "Masing-masing pihak yang terlibat konflik harus menghormati bendabenda budaya: A. Dalam pelaksanaan operasi militer, kehati-hatian khusus harus dilakukan untuk menghindari timbulnya kerusakan terhadap bangunan-bangunan yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, seni, ilmu pengetahuan, pendidikan, atau amal dan terhadap monumen-monumen bersejarah, kecuali jika bangunan-bangunan tersebut merupakan sasaran militer. B. Benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa tidak boleh dijadikan objek penyerangan, kecuali jika penyerangannya harus dilakukan demi kepentingan militer yang imperatif. Sebagai Objek Sipil, para pihak yang berkonflik diwajibkan untuk melindunginya dari penghancuran, pencurian, penjarahan, dan setiap tindakan perusakan pada benda-benda budaya dan lembaga-lembaga lainnya yang didedikasikan untuk kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut dijelaskan dalam Aturan 40 yang berbunyi:

19 19 Masing-masing pihak yang berkonflik harus melindungi benda-benda budaya: A. Merebut, menghancurkan, atau dengan sengaja merusak lembagalembaga yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, amal, pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen-monumen bersejarah, karya-karya seni, dan karya-karya ilmu pengetahuan adalah dilarang B. Setiap tindakan pencurian, penjarahan, atau perebutan dan setiap tindakan perusakan yang diarahkan kepada benda-benda yang mempunyai nilai penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa adalah dilarang. 1.8 Metode Penelitian Jenis Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 36 Penelitian ini ditujukan pada penelitian yang mengkaji peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Untuk lebih lanjut, yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian jenis ini adalah: Bahan Hukum Primer yang merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma-norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan bahan-bahan hukum lainnya yang hingga kini masih berlaku; 36 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, h Ibid, h.52

20 20 2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum; 3. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum Primer maupun Sekunder. Contohnya: kamus, ensiklopedia, artikel berita, dan sebagainya Jenis Pendekatan Dalam Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan untuk mengkaji setiap permasalahan. Jenis-jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua instrumen hukum internasional yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani; Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang tertulis dalam sumbersumber literatur yang dikutip. Doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. 39 Ada beberapa konsep yang penting dan relevan dengan persoalan dalam penelitian ini, antara lain konsep relativisme budaya (Cultural Relativist) dan konsep prinsip pembedaan (Distinction Principle); 38 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Kencana, Jakarta, h Ibid,. h.95

21 21 3. Pendekatan Studi Kasus (Case Study Aproach), Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan mengenai kejahatan Iconoclastyang telah memiliki kekuatan hukum tetap Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif normatif. Penelitian deskriptif normatif ini memaparkan mengenai aspek-aspek yang diteliti yakni bagaimana hukum internasional mengatur mengenai perlindungan benda budaya terhadap tindakan iconoclast dalam perspektif HAM dan Hukum Humaniter serta upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kasuskasus iconoclast yang menghancurkan banyak situs-situs bersejarah serta bendabenda arkeologis dalam perspektif hukum pidana internasional Sumber Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga data-data yang digunakan sebagai sumber data adalah bahan-bahan hukum primer (bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer) dan bahan hukum tersier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder). 41 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari: 1. Bahan-bahan hukum primer didapatkan dari peraturan-peraturan deklarasi, konvensi-konvensi internasional. Pengaturan mengenai HAM yang dikaji meliputi: Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International 40 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit,. h.13

22 22 Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Universal Declaration on Cultural Diversity (UDCD), Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief (DEDR), serta International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Adapun pangaturan mengenai HHI dalam peraturan hukum internasional yang dikaji meliputi: Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land (1907), Convention IV Relative to Civilian Persons in Time of War (1949), Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954), Protocols Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 (1977), Rekomendasi pada Meeting of the Intergovernmental Group of Experts for the Protection of War Victims Geneva (1995), UNESCO Declaration Concerning The Intentional Destruction of Cultural Heritage (2003). 2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 42 Antara lain yang diperoleh dari hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum mengenai perlindungan benda-benda budaya pada masa konflik bersenjata. 3. Bahan hukum tersier yang menunjang penelitian ini seperti kamus hukum dan ensiklopedia, dan sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian guna memperluas wawasan/ memperkaya sudut pandang didalam melakukan penelitian. 42 Ibid, h.29

23 Teknik Pengumpulan Data Dalam penyusunan skripsi ini metode pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi pada buku-buku, literatur, atau kepustakaan lainnya sebagai bahan bacaan. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakuan untuk memperoleh data skunder dengan cara membaca literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, jurnal dan dokumen yang relevan dengan topik penelitian Teknik Analisis Teknik analisis data adalah suatu metode pengolahan data (bahan hukum) dengan jalan menganalisa untuk memperoleh kesimpulan umum, setelah memperoleh data. 43 Dalam studi terhadap kasus hukum, metode analisis yang banyak digunakan adalah content analysis method yang menguraikan materi peristiwa hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan. 44 Hasil penelitian kemudian dipaparkan dengan menggunakan metode deskriptif argumentatif yaitu dengan cara memberikan gambaran terhadap permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dengan mengedepankan pemikiran yang logis dan sistematis. 43 Riduan, 2004, Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, Alfabeta Cataka Pratama, Bandung. h Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.42

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Gita Wanandi I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penilitian menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa penelitian hukum sebagai suatu proses yang menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM Oleh : Risa Sandhi Surya I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana dan pemidanaan) karya Cesare Beccaria pada tahun 1764 yang menjadi argumen moderen pertama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap

III METODE PENELITIAN. melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan untuk skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research) 63 yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini negara-negara enggan mendeklarasikan keterlibatannya secara terus terang dalam situasi konflik bersenjata sehingga sulit mendefinisikan negara tersebut

Lebih terperinci

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA Dewa Ayu Tika Pramanasari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan untuk skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif (normative legal research) 79 yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DEFINISI, TEORI, DAN RUANG LINGKUP HAK AZASI MANUSIA

DEFINISI, TEORI, DAN RUANG LINGKUP HAK AZASI MANUSIA DEFINISI, TEORI, DAN RUANG LINGKUP HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Hukum dan HAM ke-1 FH Unsri DEFINISI HAK ASASI MANUSIA Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 41 III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR Oleh Yelischa Felysia Sabrina Pane Ida Bagus Sutama Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah 59 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Menurut ketentuan dalam Hukum Humaniter Internasional tentang prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) berhak

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. lazim digunakan untuk meneliti ketentuan-ketentuan hukum positif sebagaimana

III. METODE PENELITIAN. lazim digunakan untuk meneliti ketentuan-ketentuan hukum positif sebagaimana III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif lazim digunakan untuk meneliti ketentuan-ketentuan hukum positif sebagaimana

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang sedang berlaku. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hukum positif (Ius

BAB III METODE PENELITIAN. yang sedang berlaku. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hukum positif (Ius 50 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini merupakan penelitian ilmu hukum normatif yang meneliti dan mengkaji hukum tertulis dan kaidah hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website : ASPEK-ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN SITUS BUDAYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (STUDI KASUS PERUSAKAN KOTA KUNO PALMYRA OLEH ISIS). Fadil Hidayat*, Joko Setiyono, Nuswantoro Dwiwarno Program

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website : PERANAN UNITED NATIONS EDUCATIONAL SCIENTIFIC AND CULTURAL ORGANIZATION (UNESCO) DALAM PERLINDUNGAN BENDA-BENDA BERSEJARAH YANG HANCUR AKIBAT KONFLIK BERSENJATA (Studi Kasus Perlindungan Benda-Benda Bersejarah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang angkasa merupakan sebuah tempat baru bagi manusia, sebelumnya ruang angkasa merupakan wilayah yang asing dan tidak tersentuh oleh peradaban manusia. Potensi ruang

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, dan mensejahterakan warga negara. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban negara menciptakan suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang sangat indah dan beragam, yang terlihat pada setiap penjuru pulau di Indonesia banyak

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.170, 2008 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Perang merupakan suatu peristiwa yang memiliki umur yang sama tua nya dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Dimana perang itu lahir dari hubungan-hubungan yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penyusunan skripsi ini yang berjudul Tindakan Amerika Serikat dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penyusunan skripsi ini yang berjudul Tindakan Amerika Serikat dalam BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penyusunan skripsi ini yang berjudul Tindakan Amerika Serikat dalam Memerangi Terorisme di Afghanistan dan Hubungannya Dengan Prinsip Non Intervensi agar

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Oleh: Made Arik Tamaja I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Hukum

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi internasional merupakan salah satu hal yang masih menimbulkan permasalahan dunia internasional, terlebih bagi negara tuan rumah. Negara tuan rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan hak-hak warga negara oleh negara serta mengatur kewajiban-kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas isu hukum yang muncul sebagai rumusan masalah dalam bab pertama (Supra 1.2.). Ide-ide yang penulis simpulkan didasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Suatu penelitian agar dapat dipercaya kebenarannya, harus disusun dengan menggunakan metode yang tepat. Sebuah penelitian, untuk memperoleh data yang akurat dan valid diperlukan

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu penelitian hukum dengan mengkaji bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang adalah suatu istilah yang tidak asing lagi bagi manusia yang ada di dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat

Lebih terperinci

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Sakti Prasetiya Dharmapati I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

POTENSI PELANGGARAN HAK CIPTA MELALUI FILE SHARING

POTENSI PELANGGARAN HAK CIPTA MELALUI FILE SHARING POTENSI PELANGGARAN HAK CIPTA MELALUI FILE SHARING Oleh : Tarsisius Maxmilian Tambunan I Gusti Agung Ayu Ari Krisnawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper is titled

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme. TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013 SEBAGAI TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI (TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME) 1 Oleh: Edwin Fernando Rantung 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK- HAK SIPIL DAN POLITIK Oleh: I Made Juli Untung Pratama I Gede Pasek

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Pencurian Benda Purba Dikaitkan dengan Pasal 362 KUHP JO Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya 1 Tubagus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

terhadap penelitian normatif (penelitian yuridis normatif), maka penting sekali

terhadap penelitian normatif (penelitian yuridis normatif), maka penting sekali BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Sebagai ilmu normatif, ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas sui generis. 73 Penelitian ini merupakan penelitian hukum (penelitian yuridis) yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem

BAB III METODE PENELITIAN. sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem BAB III METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Palestina merupakan daerah yang seolah tidak pernah aman, senantiasa bergejolak dan terjadi pertumpahan darah akibat dari perebutan kekuasaan. 1 Sengketa

Lebih terperinci

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA Pengertian Hak Azazi Manusia Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal Dasar-dasar HAM tertuang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia telah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) 1 TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Oleh Ni Made Deby Anita Sari I Gusti Ngurah Wairocana Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci