Strategi Penghematan Pajak Melalui Pemilihan Bentuk Usaha

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Strategi Penghematan Pajak Melalui Pemilihan Bentuk Usaha"

Transkripsi

1 Modul ke: Strategi Penghematan Pajak Melalui Pemilihan Bentuk Usaha Pertemuan 2 Fakultas EKONOMI Manajemen Perpajakan Program Studi AKUNTANSI

2 Daftar Isi Pertimbangan dalam Pemilihan Bentuk Usaha Usaha Perseroan Terbatas Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi) Usaha Perseorangan Usaha Koperasi Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan)

3 Pertimbangan dalam Pemilihan Bentuk Usaha Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk usaha (Mohammad Zain, 2003: 97), adalah: 1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak penghasilan wajib pajak, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu. 2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya. 3. Kesempatan untuk menunda pengenaan pajak pada tarif pajak penghasilan lebih kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak penghasilan akumulasi penghasilan perusahaan. (ex: pengurangan angsuran PPh pasal 25) 4. Adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu. Liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind. (PMK-83/PMK.03/ Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja)

4 Fasilitas Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Yang Menanamkan Modal Pada Bidang Tertentu atau Daerah Tertentu (PP No 1 Tahun 2007) Fasilitas PPh ini dapat diberikan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri yang berbentuk : Perseroan terbatas; atau Koperasi, baik yang baru berdiri maupun yang telah ada, yang melakukan penanaman modal baik untuk : Penanaman modal baru, maupun Perluasan dari usaha yang telah ada, pada bidang usaha tertentu atau pada bidang tertentu dan daerah tertentu.

5 Fasilitas Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Yang Menanamkan Modal Pada Bidang Tertentu atau Daerah Tertentu (PP No 1 Tahun 2007) Penanaman modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha. Bidang-bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional. (ex: Industri makanan, tekstil, kertas, bahan kimia industri) Daerah-daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan. (ex: Industri pengolahan SDA berbasis Agro, minyak goreng dan minyak kelapa pada Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo)

6 Kepada Wajib Pajak tersebut dapat diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan dalam bentuk : 1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun. Contoh: PT ABC melakukan penanaman modal sebesar Rp 100 milyar berupa pembelian aktiva tetap berupa tanah, bangunan dan mesin. Terhadap PT ABC dapat diberikan fasilitas pengurangan penghasilan neto (investment allowance) sebesar 5% x Rp 100 milyar = Rp Rp 5 milyar setiap tahunnya selama 6 tahun yang dimulai sejak tahun pemberian fasilitas.

7 Kepada Wajib Pajak tersebut dapat diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan dalam bentuk : 2. Penyusutan dan amortisasi dipercepat, sebagai berikut : Kelompok Aktiva Tetap Berwujud Masa Manfaat Tarif Amortisasi Berdasarkan Penyusutan Berdasarkan Metode A. Bukan Bangunan Garis Lurus Saldo Menurun Kelompok I 2 tahun 50% 100% (dibebankan sekaligus) Kelompok II 4 tahun 25% 50% Kelompok III 8 tahun 12,5% 25% Kelompok IV 10 tahun 10% 20% B. Bangunan Permanen 10 tahun 10% - C. Tidak Permanen 5 tahun 20% -

8 Kepada Wajib Pajak tersebut dapat diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan dalam bentuk : Penyusutan dan amortisasi dalam Pasal 11 UU PPh sbb:

9 Kepada Wajib Pajak tersebut dapat diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan dalam bentuk : 3. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. (Tarif normal PPh Pasal 26 sebesar 20% dari penghasilan bruto) Contoh : Investor dari negara X memperoleh dividen dari Wajib Pajak (WP) badan dalam negeri yang telah ditetapkan untuk memperoleh fasilitas berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP62/2008. Apabila investor X tersebut bertempat kedudukan di negara yang belum memiliki Persetujuan Penghindar Pajak Berganda (P3B) dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI), atau bertempat kedudukan di negara yang telah memiliki P3B dengan Pemerintah RI dengan tarif pajak dividen untuk WP luar negeri 10% atau lebih, maka atas dividen hanya akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia sebesar 10%. Namun apabila investor X tersebut bertempat kedudukan di suatu negara yang telah memiliki P3B dengan Pemerintah RI dengan tarif pajak dividen tersebut dikenakan PPh di Indonesia sesuai tarif yang diatur dalam P3B tersebut.

10 Kepada Wajib Pajak tersebut dapat diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan dalam bentuk : 4. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut :tambahan 1 tahun : Apabila penanaman modal baru pada bidang usaha tertentu yang dilakukan di kawasan industri dan kawasan berikat. tambahan 1 tahun : Apabila memperkerjakan sekurang-kurangnya 500 orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut; tambahan 1 tahun : Apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/pengeluaran untuk insfrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp 10 milyar tambahan 1 tahun : Apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% dari investasi dalam jangka waktu 5 tahun; dan/atau tambahan 1 tahun : Apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% sejak tahun ke 4.

11 PMK-83/PMK.03/ Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja Sebagai pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (1) huruf e UU nomor 36 Tahun 2008, maka diterbitkan PMK-83/PMK.03/2009. Bunyi Pasal 9 ayat (1) huruf e : Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

12 PMK-83/PMK.03/ Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja Pasal 2 Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah : a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.

13 PMK-83/PMK.03/2009 Pasal 3 Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi: a. pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau b. pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainny

14 PMK-83/PMK.03/2009 Pasal 4 (1) Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk : a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya; b. pelayanan kesehatan; c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya; d. peribadatan; e. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya; f. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.

15 PMK-83/PMK.03/2009 Pasal 4 (2) Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral. (3) Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

16 PMK-83/PMK.03/2009 Pasal 5 Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.

17 Usaha Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU serta peraturan pelaksanaannya. Perseroan Terbuka (Tbk.) adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham sesuai dengan ketentuan UU di bidang pasar modal.

18 Usaha Perseroan Terbatas Untuk mendirikan sebuah perusahaan berbentuk PT, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada direksi bukan pemegang saham. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Tanggung jawab pemegang saham terbatas pada nilai saham yang diambilnya.

19 Usaha Perseroan Terbatas Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pengenaan pajak PT dikenakan pada level net income sebelum pembagian dividen perusahaan kepada pemegang saham. Contoh: PT X memiliki peredaran usaha Rp2 Miliar, HPP Rp800Juta, Biaya operasional dan administrasi Rp500Juta, Tarif PPh Badan 25%. i. Berapa Penghasilan brutonya? ii. Berapa Penghasilan Netto sebelum pajak? iii. Berapa Penghasilan Netto Sesudah pajak?

20 Usaha Perseroan Terbatas Income Tahun 2011 COGS Gross Income Operating Expenses Net Income before tax Corporate Tax (PPh badan) 25% Net Income after tax Rp (Rp ) Rp (Rp ) Rp (Rp ) Rp

21 Usaha Perseroan Terbatas Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai deviden, maka atas pembagian tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar 10% (PPh Final Pasal 4 ayat 2 untuk WPOP) Contoh: i. Melanjutkan kasus PT X, berapa pajak atas devidennya? ii. Berapa return yang diterima pemegang saham? iii. Berapa Persentase Beban Pajak Keseluruhan?

22 Usaha Perseroan Terbatas Net Income before tax Corporate Tax (PPh Badan) 25% Net Income after Tax Pajak atas Deviden 10% (PPh Final) Return yang diterima pemegang saham Rp Rp Rp Rp Rp % Beban pajak (total tax/net income) (Rp Rp ): Rp x 100% = 32,5%

23 Usaha Persekutuan (CV, Firma) Persekutuan Perdata, Firma, dan CV. Pendirian sebuah Firma (Fa), walaupun didirikan dengan akte notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, tidak diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Demikian pula halnya dengan pendirian sebuah CV, karena pada dasarnya CV merupakan firma dengan bentuk khusus.

24 Usaha Persekutuan (CV, Firma) Perbedaan antara persekutuan dengan PT terletak pada tanggung jawab persero (shareholder). Pasal 18 dan 19 buku 1 KHUD mengatur tanggung jawab renteng pemilik/ persero terhadap semua operasional atau tuntutan dari pihak lain apabila terjadi suatu perkara. Apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit, dan apabila harta benda CV tidak mencukupi untuk pelunasan utang-utangnya, maka harta benda pribadi persero pengurus (sekutu aktif) dapat dipertanggungjawabkan untuk melunasi utang perusahaan. Sebaliknya harta benda para Sekutu PAsif(sleeping partner) tidak dapat diganggu gugat.

25 Usaha Persekutuan (CV, Firma) Pasal 4 ayat 3 huruf i UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, menegaskan, Yang dikecualikan dari obyek pajak yakni bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Pengaturan pajak CV diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 4 ayat 3 huruf i Undang-Undang PPh. Berbeda dengan PT, pengenaan pajak CV hanya dikenakan sekali pada level net income Perseroan. Ketika didistribusikan kepada pemegang saham tidak dikenakan pajak dividen lagi

26 Usaha Persekutuan (CV, Firma) Pasal 4 ayat 3 huruf i UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, menegaskan, Yang dikecualikan dari obyek pajak yakni bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Pengaturan pajak CV diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 4 ayat 3 huruf i Undang-Undang PPh. Berbeda dengan PT, pengenaan pajak CV hanya dikenakan sekali pada level net income Perseroan. Ketika didistribusikan kepada pemegang saham tidak dikenakan pajak dividen lagi

27 Usaha Persekutuan (CV, Firma) Jika menggunakan kasus sebelumnya, yang diasumsikan bentuk usahanya adalah menjadi CV X maka berapa besarnya return yang diterima oleh investor? Dan berapa persentase beban pajak keseluruhan? Income Tahun 2011 COGS Gross Income Operating Expenses Net Income before tax Corporate Tax (PPh badan) 25% Net Income after tax Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp

28 Usaha Persekutuan (CV, Firma) Net Income before tax Corporate Tax (PPh Badan) 25% Net Income after Tax Pajak atas Deviden 0% Return yang diterima pemegang saham Rp Rp Rp Rp0 Rp % Beban pajak (total tax/net income) Rp :Rp x100% = 25%

29 Usaha Persekutuan (CV, Firma) Bila dibandingkan dengan badan usaha PT, persentase beban pajak investor Firma/CV dengan payung hukum UU PPH No.36 Tahun 2008 ternyata lebih rendah dari PT, dimana badan usaha PT tersebut, sebagaimana diuraikan sebelumnya sebesar 32,5%. Begitu juga secara nominal keuntungan (return) yang diberikan kepada pemegang saham adalah lebih besar yang diterima oleh pemegang saham Persekutuan (=Rp525 juta) disbanding dengan pemegang saham PT (=Rp472,5 juta)

30 Usaha Perseorangan Alasan memilih Usaha perseorangan, tidak terikat dengan badan usaha yang lebih formal, tanpa akte notaris fleksibel terhadap kewajiban yang harus dipenuhi, namun tetap memiliki NPWP untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Bentuk badan usaha perseorangan dapat berupa wartel, salon, rumah makan, usaha dagang (UD), waralaba dan masih banyak lagi.

31 Usaha Perseorangan Perbedaan dalam menghitung pajak usaha antara pajak perseorangan dengan pajak Perseroan, antara lain: Dalam perhitungan pajak perseorangan, ada beberapa faktor pengurang seperti Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan biaya jabatan (hanya untuk pegawai tetap), yang dalam perhitungan pajak Perseroan faktor tersebut tidak ada dalam ketentuannya. Terdapat pembedaan tax rate dan lapisan penghasilan kena pajak (taxable income bracket) antara PPh Perseorangan dengan Pajak Penghasilan badan, di mana PPh Perseorangan menggunakan tarif progresif dari lapisan tarif 5% hingga tariff maksimum 30%, sedangkan Pajak Penghasilan Badan menggunakan tarif tunggal 25% ( tarif 25% berlaku sejak awal Tahun 2010, sedangkan Tahun 2009 tarifnya 28%).

32 Usaha Perseorangan Contoh: Mr X dengan status K/3 memiliki sebuah bengkel dengan peredaran usaha Rp2 Miliar, HPP Rp800Juta, Biaya operasional dan administrasi Rp500Juta berapa PPh Pasal 21 terutang yang harus dibayar Mr X? PTKP tahun 2011 : TK Rp Tiap tanggungan Rp Tarif PPh Pasal 17: s.d. Rp % Diatas Rp s.d Rp % Diatas Rp sd Rp % Diatas Rp %

33 Usaha Perseorangan Income Tahun 2011 COGS Gross Income Operating Expenses Net Income before tax PTKP (Kawin 3 anak atau K/3)*) Taxable Income Tax: PPh Pasal 21 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp *) (4* ) =

34 Usaha Perseorangan Net Income before tax Tax: PPh Pasal 21 Net Income after Tax Pajak atas Deviden 0% Return yang diterima pemegang saham Rp Rp Rp Rp0 Rp % Beban pajak (total tax/net income) Rp : 700 juta x 100% = 21,23%

35 Perbandingan PT, Persekutuan dan Perseorangan Secara komparatif, beban pajak yang harus ditanggung investor dari ketiga entitas bisnis tersebut adalah: PT Persekutuan (Fa/CV) Perseorangan Net Income Rp Rp Rp Beban Pajak (Rp) Rp Rp Rp Beban Pajak (%) 32,5% 25% 21,23%

36 Analisis Beban pajak yang di tanggung investor melalui persekutuan ternyata, lebih kecil daripada usaha berbentuk PT. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak yang jauh lebih besar dari pada dibentuk badan usaha lainnya. Pemilihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan oleh para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-satunya.

37 Usaha Perseorangan Investor konvensional lebih sering mengandalkan instuisi (naluri) bisnisnya daripada perhitungan di atas kertas. Dalam proses pengambilan keputusan bisnis modern, harus juga diakomodasi masalah: permodalan, advis management risk, lingkungan hidup, tanggung jawab persero bila terjadi klaim pihak ketiga, business dan market development, serta hak dan kewajiban lainnya yang timbul dari pemilihan bentuk usaha tersebut.

38 Usaha Koperasi Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip-prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan soko guru perekonomian nasional (PSAK No. 27), (IAI, SAK per 1 Juli 2009)

39 Usaha Koperasi Dasar pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk koperasi adalah pada akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI serta disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dalam koperasi, tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada pengurus, bukan kepada anggota koperasi.

40 Usaha Koperasi Jenis-Jenis Koperasi: Koperasi Konsumen (misalnya koperasi warung serba ada atau supermarket) Koperasi Produsen (misalnya koperasi koperasi perajin tahu dan tempe (Kopti) dan koperasi pengrajin barang-barang seni/kerajinan (koprinka)) Koperasi Simpan Pinjam Koperasi Pemasaran

41 Usaha Koperasi Perlakuan Perpajakan Koperasi Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya koperasi dapat melakukan kegiatan di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan koperasi yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenai tarif PPh Badan, dengan tarif tunggal 28% (Tahun 2008), dan tarif 25% (Tahun 2009 dan seterusnya).

42 Insentif Pajak Koperasi Pada dasarnya, apa pun insentif pajak yang diberikan kepada badan usaha (PT, Firma,CV) juga berlaku bagi koperasi. Beberapa fasilitas insentif pajak penghasilan dan yang dikecualikan dari pajak dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku bagi koperasi, antara lain: A. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah harta hibah dan bantuan atau sumbangan kepada koperasi(pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh No. 36 Tahun 2008). B. Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya, tidak dipotong PPh Pasal 23 (Pasal 23 ayat 4 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008).

43 Insentif Pajak Koperasi C. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan. Dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh No. 36 Tahun Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: Dividen tersebut berasal dari cadangan laba ditahan; dan Bagi Perseroan Terbatas, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

44 Insentif Pajak Koperasi d. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2009 PPh tentang Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi perorangan. Besarnya Pajak Penghasilan (final) adalah: 0 % (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240 ribu per bulan; atau 10 % (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240 ribu per bulan.

45 Insentif Pajak Koperasi e. Tarif baru bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Insentif ini khusus untuk UMKM berbadan hukum yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun atau Rp 400 juta per bulan. Diberi insentif pemotongan tarif PPh sebesar 50% dari tarif pajak normal sebesar 25% oleh pemerintah. f. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan. Untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerahdaerah tertentu.

46 Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan) Karakteristik organisasi atau lembaga nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para penyumbang yang tidak mengharapkan imbalan apa pun dari organisasi tersebut (IAI, SAK per 1 Juli 2009). Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. (UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan)

47 Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan) Pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk yayasan, didasarkan pada akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Dalam yayasan, tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada pengurus. Pengurus yayasan adalah organ yayasan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan.

48 Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan) Ada beberapa macam jenis yayasan (penjelasan Pasal 8 UU Yayasan), diantaranya: Yayasan Pendidikan (dari TK hingga universitas) Yayasankeagamaandansosial(misalnyaYayasanmesjiddan Yayasan Panti Asuhan Yatim Piatu) Yayasan Kesehatan (misalnya: poliklinik dan rumah sakit) Yayasan bidang perlindungan konsumen Yayasan bidang lingkungan hidup Yayasan bidang ilmu pengetahuan (litbang)

49 Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan) Perlakuan Perpajakan Yayasan Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya yayasan dapat melakukan kegiatan di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan yayasan yang disebut juga dengan Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenai tarif PPh Badan, dengan tarif tunggal 28% (Tahun 2008), dan tarif 25% (Tahun 2009 dan seterusnya). Pengakuan penghasilan maupun biaya pada yayasan sama dengan badan usaha lainnya

50 Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan khusus dalam hal perpajakan 1. Mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan cukai dengan mengajukan permohonan untuk dapat ditetapkan sebagai badan atau lembaga yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 144/KMK.05/1997 tentang Pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial dan kebudayaan (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK. 04/2006, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.04/2006). Dalam hal ini yayasan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas tersebut setiap saat dibutuhkan.

51 Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan khusus dalam hal perpajakan 2. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, yakni orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan (PER- 30/PJ/2009 dan SE-48/PJ./2009).

52 Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan khusus dalam hal perpajakan 3. Yayasan keagamaan dan sosial lainnya Sesuai Pasal 2 UU Pajak Penghasilan, yayasan tetap digolongkan sebagai subjek pajak penghasilan. Objek pajaknya terbagi dua, sesuai orientasi bidang usaha yayasan. Bila yayasan bermotif mencari keuntungan (misalnya yayasan universitas), maka penerimaannya merupakan objek pajak penghasilan, namun sebaliknya bila penerimaan yayasan bukan bermotif mencari keuntungan (misalnya sumbangan untuk panti asuhan yatim piatu), maka atas penerimaan tersebut tidak terutang PPh. Sebagaimana badan usaha lainnya, yayasan juga harus melaksanakan kewajiban pemotongan pajak penghasilan dalam hal yayasan tersebut melakukan transaksi pembayaran berbagai jasa, seperti sewa, dividen, royalti dan gaji karyawan.

53 Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan khusus dalam hal perpajakan 4. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-44/PJ./2009 dan Peraturan Menkeu No.80/PMK.03/2009 tentang Pelaksanaan pengakuan sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Pasal 2 ayat 1: Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan. (Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba)

54 Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan khusus dalam hal perpajakan Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala KPP; tempat wajib pajak terdaftar. Pemberitahuan disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT PPh tahun pajak yang diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana dimulai, dalam jangka waktu 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. Apabila setelah lewat dari jangka waktu 4 (empat) tahun, badan atau lembaga nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana n dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

55 Terima Kasih

83/PMK.03/2009 PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DA

83/PMK.03/2009 PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DA 83/PMK.03/2009 PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DA Contributed by Administrator Wednesday, 22 April 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL A. Adanya Pengeluaran atau Beban yang Tidak Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto akan Dilakukan KOREKSI FISKAL POSITIF. 1. Pembagian laba dengan

Lebih terperinci

Manajemen Perpajakan. Suhirman Madjid, SE.,MS.i.,Ak., CA. HP : Modul ke: Fakultas EKONOMI

Manajemen Perpajakan. Suhirman Madjid, SE.,MS.i.,Ak., CA. HP : Modul ke: Fakultas EKONOMI Manajemen Perpajakan Modul ke: 02 Fakultas EKONOMI Program Studi S1 AKUNTANSI (D3) Suhirman Madjid, SE.,MS.i.,Ak., CA. HP : 08121888801 Email : suhirmanmadjid@ymail.com Apakah saya perlu mendirikan PT?,

Lebih terperinci

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Kelompok 3 Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Pajak penghasilan, subjek, objek pajak dan objek pajak BUT Tata cara dasar pengenaan pajak Kompensasi Kerugian PTKP, Tarif pajak dan cara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang KUP No. 16 Tahun 2009 Pasal 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo, (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

Modul ke: Manajemen Perpajakan. Samsuri, SH, MM. Fakultas FEB. Program Studi Akuntansi

Modul ke: Manajemen Perpajakan. Samsuri, SH, MM. Fakultas FEB. Program Studi Akuntansi Modul ke: 02 Manajemen Perpajakan Samsuri, SH, MM Fakultas FEB Program Studi Akuntansi Perencanaan Pajak Aspek Manajemen Pajak Dalam Pemilihan Bentuk Usaha Pada hakekatnya pengambilan keputusan merupakan

Lebih terperinci

Account Representative

Account Representative Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi : Account Representative FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memiliki dimensi atau pengertian yang berbeda-beda menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) menyatakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 50, 1983 FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue) BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue) Maupun keuntungan ( gain ). Definisi penghasilan

Lebih terperinci

Penghasilan dari usaha di luar profesi dokter *) Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan

Penghasilan dari usaha di luar profesi dokter *) Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan Penghasilan dari usaha di luar profesi dokter *) Misalnya: a. Usaha apotek; b. Rumah makan; c. Toko *) dapat bersifat final apabila memiliki peredaran bruto tertentu (PP No. 46 Tahun 2013) Penghasilan

Lebih terperinci

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu : Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu : 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Pendapatan dan Beban Menurut Akuntansi 1. Pendapatan Menurut Akuntansi Suatu perusahaan didirikan untuk memperoleh pendapatan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak menurut Soemitro (Resmi, 2016:1) merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PAJAK PENGHASILAN (PPh) PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengaturan PPh UU No. 7/1983 UU No. 7/1991 UU No. 10/1994 UU No. 17/2000 UU No. 36/2008 tentang PPh Subjek Pajak Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif (berdomisili

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1. Aturan Perbankan II.1.1. Pengertian Bank Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perbankan adalah: Bank adalah bidang

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) 5 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Teori 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan

Lebih terperinci

KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK

KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG Pajak Terutang = Tarif PPh X Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak ====> Penghasilan Netto Penghasilan Netto = Penghasilan - Biaya Perhitungan

Lebih terperinci

Perpustakaan LAFAI

Perpustakaan LAFAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 7-1983 lihat: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1991 PAJAK. Warga Negara. UU. No. 7 Tahun 1983. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Yang termasuk subjek pajak Orang pribadi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

Lebih terperinci

Repositori STIE Ekuitas

Repositori STIE Ekuitas Repositori STIE Ekuitas STIE Ekuitas Repository Final Assignment - Diploma 3 (D3) http://repository.ekuitas.ac.id Final Assignment of Accounting 2015-12-22 Tinjauan Atas Penerapan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Koperasi 1. Definisi Koperasi a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi: Koperasi adalah badan usaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan penerimaan negara yang paling utama, untuk itu pajak merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan pelaksanaan

Lebih terperinci

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Penghitungan PPh diakhir tahun bagi WP Badan didasarkan atas LK Fiskal (Laba Rugi Fiskal) Laba rugi fiskal disusun berdasarkan Laba Rugi Komersial yang telah disesuaikan

Lebih terperinci

2 b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 te

2 b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 te LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.77, 2015 KEUANGAN. Pajak Penghasilan. Penanaman Modal. Fasilitas. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5688) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia,

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember 1983 Presiden Republik Indonesia, Menimbang: Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dengan Undang-undang

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

2 Ayat (2) Huruf a Huruf b Huruf c Fasilitas pengurangan penghasilan neto diberikan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak saat mulai berproduksi komer

2 Ayat (2) Huruf a Huruf b Huruf c Fasilitas pengurangan penghasilan neto diberikan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak saat mulai berproduksi komer TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KEUANGAN. Pajak Penghasilan. Penanaman Modal. Fasilitas. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 77) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PENGERTIAN Ketentuan dalam Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP DN dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Penghasilan 1) Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi, badan, Bentuk Usaha

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-34/PJ/2010

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat BAB II LANDASAN TEORI II.1 Gambaran Umum Pajak Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat memahami mengapa kita harus membayar pajak. Dari pemahaman inilah diharapkan muncul kesadaran

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH - DAERAH TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 34-1994::PP 45-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 264, 2000 KEUANGAN.PAJAK.Kasawan Pengembangan Ekonomi Terpadu. (Penjelasan

Lebih terperinci

Selamat Datang dan Selamat Mengikuti Pelatihan

Selamat Datang dan Selamat Mengikuti Pelatihan A1 Selamat Datang dan Selamat Mengikuti Pelatihan 1 TAXATION Slide 1 A1 Axioo; 17/11/2011 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) (PTKP) (Psl 7 UU PPh) Mulai 1-1-2013 1. Penghasilan Kena Pajak WP OP = penghasilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1993 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

PERHITUNGAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 2015

PERHITUNGAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 2015 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERHITUNGAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 2015 1 KETENTUAN PERHITUNGAN Peraturan Pemerintah Nomor

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang telah diubah dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG- BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PAJAK 1. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Sommerfeld, Anderson, dan Brok dalam Zain (2003:11) berikut ini. Pajak adalah pengalihan sumber dari sektor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :18

1 of 5 21/12/ :18 1 of 5 21/12/2015 14:18 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.011/2012 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi BAB II LANDASAN TEORI II.1. Definisi Pajak Pengertian pajak menurut Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi.

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi. HAKIKAT REKONSILIASI Pelaksanaan pembukuan berdasar kebijakan akuntansi perusahaan menyimpang dari ketentuan perpajakan. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi. Penyesuaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN TAX PLANNING ATAS BIAYA KESEJAHTERAAN KARYAWAN SEBAGAI UPAYA PENGHEMATAN PEMBAYARAN PAJAK PADA PT GORONTALO CEMERLANG

ANALISIS PENERAPAN TAX PLANNING ATAS BIAYA KESEJAHTERAAN KARYAWAN SEBAGAI UPAYA PENGHEMATAN PEMBAYARAN PAJAK PADA PT GORONTALO CEMERLANG ANALISIS PENERAPAN TAX PLANNING ATAS BIAYA KESEJAHTERAAN KARYAWAN SEBAGAI UPAYA PENGHEMATAN PEMBAYARAN PAJAK PADA PT GORONTALO CEMERLANG Nurlela Mohamad S1 Akuntansi ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU

PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PMK.03/2007 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU

Lebih terperinci

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH kreditgogo.com I. Pendahuluan Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, pemerintah perlu menyelenggarakan

Lebih terperinci

lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Mardiasmo (2013:1) Pajak adalah iuran rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu wujud nyata serta partisipasi masyarakat dalam rangka ikut membiayai pembangunan nasional.

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya

Lebih terperinci

GAMBARAN BEBAN PAJAK DI RS. ISLAM DAN PROSPEK KEDEPANNYA SERTA KONSESI PAJAK *)

GAMBARAN BEBAN PAJAK DI RS. ISLAM DAN PROSPEK KEDEPANNYA SERTA KONSESI PAJAK *) GAMBARAN BEBAN PAJAK DI RS. ISLAM DAN PROSPEK KEDEPANNYA SERTA KONSESI PAJAK *) (Drs. H.S.Eko Prijono, MM MUKISI) I. PENDAHULUAN 1. UU Rumah Sakit Rumah Sakit sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 UU Rumah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM IV.1. Evaluasi Pelaksanaan PPh Badan PT LAM Sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap Wajib Pajak diwajibkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.011/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.011/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.011/2012 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA

Lebih terperinci

III/$ 2 0 A A KREDIT PAJAK DALAM NEGERI N P W P : NAMA WAJIB PAJAK : PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

III/$ 2 0 A A KREDIT PAJAK DALAM NEGERI N P W P : NAMA WAJIB PAJAK : PERIODE PEMBUKUAN : s.d. 1771 - III/$ LAMPIRAN - III KREDIT PAJAK DALAM NEGERI NO. NAMA DAN NPWP OBJEK PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN PEMOTONG / PEMUNGUT PAJAK JENIS PENGHASILAN / TRANSAKSI PAJAK PENGHASILAN BUKTI PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pajak a) Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk BAB IV PEMBAHASAN Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk meningkatkan efisien PT.KBI, penulis akan menguraikan perencanaan pajak yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN D. PPh KURANG/ LEBIH BAYAR C. KREDIT PAJAK B. PPh TERUTANG A. PENGHASILAN KENA PAJAK IDENTITAS 1771 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN PERHATIAN : SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK

Lebih terperinci

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan), Anda harus mampu: 1.1 Memahami Definisi PPh Pasal 25, Subjek

Lebih terperinci

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23 dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23 Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan Oleh Subur Harahap, SE, Ak, MM, CFP Partner SUHA Planner Financial Consulting

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Lebih terperinci

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 A. Pengertian PPh Pasal 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalty, sewa dan penghasilan lain atas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dipotong atas penghasilan penghasilan yang berasal dari modal penyerahan jasa hadiah dan penghargaan SIAPA PEMOTONG PPH Wajib Pajak

Lebih terperinci

NOMOR :. TANGGAL : MULAI TAHUN PAJAK :

NOMOR :. TANGGAL : MULAI TAHUN PAJAK : D. PPh KURANG/LEBIH BAYAR C. KREDIT PAJAK B. PPh TERUTANG A. PENGHASILAN KENA PAJAK IDENTITAS 1771/$ SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN PERHATIAN : SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pajak Pajak merupakan salah satu pungutan negara terhadap rakyatnya. Pada hakekatnya, pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta Wajib

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA "X" PADA

SPT TAHUNAN SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA X PADA 1771/$ PERHATIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA "X" PADA (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

Lebih terperinci

BIAYA YG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO WP DALAM NEGERI WP BUT PASAL 9

BIAYA YG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO WP DALAM NEGERI WP BUT PASAL 9 BIAYA YG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO WP DALAM NEGERI WP BUT PASAL 9 a. PEMBAGIAN LABA DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN SEPERTI DIVIDEN, TERMASUK DIVIDEN YANG DIBAYARKAN OLEH PERUSAHAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PPH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

SPT TAHUNAN PPH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI SPT TAHUNAN PPH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN KEMENTERIAN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK IDENTITAS PERHATIAN TAHUN PAJAK FORMULIR SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN 1771

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN 1771 SPT TAHUNAN 1771 DEPARTEMEN KEUANGAN RI ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK BERI TANDA "X" DALAM (KOTAK) YANG SESUAI ISI DENGAN BENAR, LENGKAP DAN JELAS 2 0 0 6 SESUAI DENGAN PETUNJUK PENGISIAN BL TH BL TH

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT.

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. UB Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban

Lebih terperinci