BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Perkembangan teknologi di Indonesia secara langsung atau tidak langsung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Perkembangan teknologi di Indonesia secara langsung atau tidak langsung"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Perkembangan teknologi di Indonesia secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan kebudayaan dari luar menjadi semakin mudah masuk ke Indonesia. Teknologi dan kebudayaan yang masuk ke dalam Negara Indonesia seakan membawa dampak yang sangat positif bagi bangsa, karena dengan masuknya teknologi ke Indonesia sangat berguna bagi kehidupan bangsa baik dalam bidang industri, informasi, transportasi, pendidikan dan lain-lain. Selain teknologi, masuknya kebudayaan dari luar juga membawa hal positif karena akan menambah keanekaragaman budaya, misalnya dalam bidang musik, berpakaian, tari, bahkan budaya berpolitik yang semakin demokratis. Harus disadari bahwa teknologi dan kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata saja. Dengan adanya pengaruh dari luar, jati diri bangsa semakin terancam. Misalnya, karena sekarang akses informasi semakin mudah maka anak bangsa semakin mudah juga untuk mendapatkan informasi yang berbau pornografi melalui media cetak, elektronik, dan internet. Sehingga bukan hanya hal positif yang di dapat, tetapi juga hal negatif yang dapat merusak moral bangsa. Dengan kemajuan teknologi, sekarang dapat dengan muda mendapatkan informasi yang berkategori pornografi. Bahkan sekarang anak-anak dibawah umur melalui internet dapat dengan mudah mengakses gambar atau video porno yang berakibat merusak moral mereka bahkan mengakibatkan kecanduan dengan pornografi. Jelas adanya pornogrfi sangat berbahaya bagi bangsa karena telah merusak jati diri bangsa yang sangat berpegang pada norma kesopanan, kesusilaan dan Agama. 1

2 Pada tanggal 26 November 2008 Indonesia telah mememiliki undang-undang baru yang secara khusus mengatur tentang pornografi, undang-undang ini disebut undangundang Pornografi. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan dapat menjadi salah satu senjata yang ampuh untuk mengatasi masalah pornografi yang sangat marak di media cetak atau internet. Tetapi keberadaan Undang-Undang Pornografi ini juga mendapat tanggapan negatif dari sebagian masyarakat karena dianggap membatasi masyarakat dalam berekspresi yang merupakan hak asasi manusia dan juga dianggap tidak menghargai kebudayaan bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan yang dimaksud disini berupa tata berpakaian, tata upacara, atau beberapa kebiasaan lain yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pornografi dalam Undang-Undang Pornografi. Tanggapan negatif dari masyarakat tentang adanya Undang-Undang Pornografi dikarenakan kurang jelasnya konsep hukum dalam pembuatan undang-undang ini, sehingga rumusan, ruang lingkup dan batasan dalam penerapan Undang-Undang Pornografi kurang bisa dipahami dengan baik. Hal tersebut dapat mengakibatkan kesalahan dalam menerapkan ketentuan hukum. Sebenarnya tanggapan negatif ataupun positif tentang Undang-Undang Pormografi sudah terjadi sejak pembentukan, pembahasan sampai dengan rancangan Undang-Undang Pornografi, ini dikarenakan tidak adanya pemahaman yang jelas tentang nilai atau standar untuk menentukan suatu tindakan atau obyek itu merupakan perbuatan pornografi. Indonesia merupakan negara heterogen yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama sehingga sangat diperlukan nilai atau standar yang logis dalam pemberlakuan hukum pornografi. Dengan adanya sifat heterogen dalam masyarakat Indonesia maka akan terjadi perbedaan pemahaman standar bahwa perbuatan tersebut termasuk pornografi atau tidak, tergantung dari kebudayaan atau aturan adat yang ada dalam masyarakat tersebut. Tetapi Undang-Undang Pornografi dalam Pasal 1 menguraikan 2

3 Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal 1 tersebut menunjukan telah menentukan norma kesusilaan sebagai standar dalam penerapan Undang-Undang Pornografi, sehingga pelaksanaan Undang-Undang Pornogarafi dapat diterapkan di negara Indonesia yang bersifat heterogen sesuai standar norma kesusilaan disetiap daerah. Pengertian pornografi secara etimologi berasal dari dua suku kata, yaitu pornos dan grafi. Pornos, artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul. Grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan di masyarakat 1. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi, serta bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membengkitkan nafsu berahi. Sedangkan dalam Undang-undang Pornografi, pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani yang menghasilkan akhlak, sehingga seseorang dapat membedakan apa yang dianggap baik dan apa pula yang dianggap buruk. Dan norma kesusilaan ini bersifat otonom, yaitu setiap 1 3

4 orang mempunyai anggapan yang berbeda-beda tentang suatu perbuatan apakah itu melanggar norma kesusilaan atau tidak 2. Sebagai contoh ada seorang yang telanjang atau memperlihatkan auratnya, menurut orang lain itu bisa merupakan suatu hal yang melanggar norma kesusilaan tetapi juga ada anggapan yang menyatakan kalau perbuatan tersebut tidak melanggar norma kesusilaan, itu tergantung siapa yang melihat atau memberi anggapan. Jika orang yang telanjang itu berada di tempat umum maka itu adalah perbuatan yang melanggar norma kesusialaan, tetapi jika orang yang telanjang itu tidak berada di tempat umum atau diruang yang tertutup yang melihat adalah suami atau istrinya sendiri serta tidak dapat dilihat orang lain maka perbuatan tersebut tidak melanggar norma kesusilaan. Hal di atas menarik perhatian penulis untuk mengulas lebih dalam sebagai topik penelitian. Yaitu bagaimana menerapkan norma kesusilaan sebagai dasar untuk menentukan suatu perbuatan adalah melanggar Undang-Undang Pornografi. Sedangkan Indonesia merupakan negara heterogen, walaupun dalam Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Pornografi sudah jelas diungkapkan bahwa pelaksanaan undang-undang ini disesuaikan dengan norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat 3. Jadi suatu perbuatan itu merupakan tindakan kriminal atau tidak dalam Undang-Undang Pornografi tergantung bagaimanakah norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Dengan adanya masalah di atas penulis mengambil tema untuk judul skripsi adalah ASPEK NORMA KESUSILAAN DALAM UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI. (Studi kasus Putusan Nomor: 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg. dan Putusan Nomor: 450/Pid.B/2011/PN.Pkl.) 2 Arie Siswanto, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, UKSW 3 Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi 4

5 B. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi merupakan produk hukum dari pemerintah pusat yang sangat penting bagi rakyat Indonesia karena bertujuan untuk menjaga atau melindungi jati diri bangsa dari penagaruh kebudayaan luar yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di negara ini. Masuknya kebudayaan modern menjadi tantangan bagi kebudayaan tradisional yang telah ada, penilaian orang-orang mengenai apa yang adil dan tidak adil, mengenai apa yang baik dan tidak baik menjadi goyah, keseluruhan sikap terhadap norma-norma kehidupan diliputi keragu-raguan 4. Undang-Undang Pornografi bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh pornografi yang mulai dipandang bebas oleh masyarakat. Generasi muda sangat mudah terpengaruh pornografi, sehingga sekarang para generasi muda mudah terjerumus dalam kecanduan gambar atau video porno bahkan seks bebas. Di Indonesia sudah ada pengaturan tentang pornografi yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tetapi kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat, sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi. Sehingga pemerintah membuat Undang-Undang Pornografi, namun dalam penerapan atau pelaksanaan undang-undang pornografi ini masih terdapat beberapa kekurangan karena masih kurang memperhatikannya setandar untuk menentukan suatu perbuatan itu melakukan tindak pidana pornografi atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Pornografi Bab I ketentuan umum Pasal 1 tentang pengertian pornografi dijelaskan bahwa 4 A. Gunawan Setiardja. Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Kanisius BPK Gunung Mulia, Jakarta hal 90 5

6 pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Jadi dalam Pasal ini dinyatakan bahwa pornografi adalah perbuatan yang melanggar norma kesusilaan. Sedangkan dalam Bab II tentang Larangan dan Pembatasan, Pasal 4 ayat 1 menguraikan. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat. a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornogarafi anak. Dalam Undang-Undang Pornografi Pasal 8 menguraikan Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Jika dalam Bab II khususnya Pasal 4 dan 8 berdiri sendiri atau lepas dari Bab I tentang Ketentuan Umum, khususnya Pasal 1 tentang pengertian pornografi maka akan terjadi kekaburan atau kebingungan dalam melaksanakan ketentuan Pasal 4 dan 8 tersebut karena dalam ketentuan Pasal 4 ayat 1 d. menyebutkan larangan tentang ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia terdapat berbagai macam kebudayaan masyarakat yang sebagian dari kebudayaan tersebut masyarkatnya masih telanjang atau mengesankan ketelanjangan. Jadi bukankah undang-undang ini secara langsung ataupun tidak langsung membuat beberapa kebudayaan yang memenuhi unsur muatan pornografi menjadi subjek pelanggar Undang- Undang Pornografi dan mengancam kelestarian kebudayaan tersebut. Sehingga tujuan utama undang-undang tersebut untuk melindungi masyarakat malah menjadi ancaman 6

7 bagi beberapa masyarakat itu sendiri. Tetapi jika dalam penerapan undang-undang tersebut ada hubungan antar Bab dan Pasal, maka Pasal 4 ayat 1 dan 8 tidak akan menjadi ancaman bagi kelestarian beberapa kebudayaan, seperti yang termuat dalam tujuan Undang-Undang Pornografi yang tercantum dalam Pasal 3, yaitu. a. Mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. b. Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seeni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. c. Memberikan pembinaan dan pendidikan moral dan akhlak masyarakat d. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan, dan e. Mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisme seeks dai masyarakat. Undandang-Undang Pornografi tersebut bertujuan menghormati, melindungi, dan melesterikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Untuk mewujudkan Pasal 3 tersebut, ketentuan dalam penerapan Bab II tentang larangan dan pembatasan harus didasarkan pada Pasal 1 mengenai arti dari pornografi, yang menegaskan bahwa unsur pornogarafi akan terpenuhi jika hal tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pemahaman tentang norma kesusilaan sangat penting karena digunakan sebagai standar bagi Undang-Undang Pornografi. Selain itu juga karena pemahaman setiap orang atau masyarakat tentang suatu perbuatan atau objek tersebut melanggar norma kesusilaan atau tidak ternyata berbeda-beda. Indonesia adalah negara yang heterogen memiliki beraneka kebudayaan dan adat istiadat sehingga dasar penilaian tentang norma kesusilaan juga pasti berbeda-beda. Dengan keberbedaan itu sehingga nilai-nilai budaya yang oleh orang dalam masyarakat tertentu harus dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain 5. Pemahaman norma kesusilaan secara tepat dan jelas oleh setiap warga masyarakat akan memberikan suatu dasar legalitas yang pasti tentang peran 5 T.O. IHROMI. Antropologi dan Hukum. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2000, hal. 4 7

8 norma kesusilaan sebagai standar atau dasar penentuan kriminalisasi suatu perbuatan dalam Undang-Undang No.44 tahun 2008 tentang Pornografi. Kurang jelasnya pemahaman tentang pengertian dari norma kesusilaan dalam Undang-Undang Pornografi menyebabkan kekaburan dalam menentukan apakah suatu perbuatan telah melanggar unsur-unsur delik kesusilaan dalam Undang-Undang Pornografi. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi unsur pemenuh sehingga suatu perbuatan merupakan suatu tindakan yang melanggar norma kesusilaan maka dilakukan penelitian terhadap satuan amatan yaitu putusan Nomor: 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg dan Nomor: 450/Pid.B/2011/PN.Pkl tentang pelanggaran Undang-Undang Pornografi. Dari putusan tersebut akan digali apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim yang menentukan peran dari norma kesusilaan dalam kasus tersebut sebagai dasar pemenuhan unsur-unsur delik pornografi. Berikut ini gambaran kasus tindak pidana pornografi dalam putusan Nomor: 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg. Bahwa sekitar bulan Mei 2010, bertempat di jalan Dalam Kaum Kota Bandung, terdakwa Jhon Deardo Sipayung membeli VCD dan DVD sebanyak 200 keping dari Rachmat dengan harga perkeping Rp. 5000,- (lima ribu rupiah). Dimana VCD dan DVD yang terdakwa beli berisi gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi yang melanggar norma kesusilaan masyarakat. Kemudian VCD dan DVD porno tersebut terdakwa jual kepada masyarakat umum yang berminat dengan harga perkepingnya Rp ,- (sepuluh ribu rupiah). Bahwa sekitar hari senin, tanggal 21 juni 2010, pada saat terdakwa sedang berjualan seperti biasanya, dating petugas kepolisian dari Polwiltabes Bandung melakukan penggeledahan terhadap tersangka di temukan VCD dan DVD porno. Bahwa uang hasil penjualan VCD dan DVD porno tersebut, terdakwa gunakan untuk memenuhi kebutuhan 8

9 hidupnya sehari-hari. Terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hasil pemeriksaan terdakwa terdakwa memiliki barang bukti yang berupa VCD dan DVD pornografi. Dalam barang bukti tersebut berisi gambar-gambar cabul yang terdapat pada sampul VCD dan DVD yang memperlihatkan alat kelamin dan adegan persenggamaan secara fulgar. Selain sampul setelah di putar VCD dan DVD milik tersangka berisi adegan visual bernuansa seksual. Dalam pemeriksaan penemuan unsur yang bernuansa cabul dan seksual, selain itu terdakwa juga memperjual belikan VCD dan DVD porno tersebut yang merupakan suatu perbuatan untuk mempertontonkan tindakan asusila kepada masyarakat umum yang merupakan tindakan melanggar norma kesusilaan. Hal tersebut menunjukan terdakwa telah melanggar ketentuan yang ada dalam pasal 4 undang-undang pornografi. Serta perbuatan terdawa tersebut sebagaimana yang diatur dan diancam pidana Pasal 29 UU RI No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi Putusan yang dijatuhkan Hakim kepada terdakwa Jhon Deardo Sipayung adalah menyatakan terdakwa Jhond Deardo Sipayung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memperjual belikan pornografi. Serta memidana terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebanyak Rp ,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Berikut ini gambaran kasus tindak pidana Pornografi dalam putusan Nomor: 450/Pid.B/2011/PN.Pkl. Bahwa awal mulanya pada hari minggu tanggal 17 April 2011 sekitar pukul wib terdakwa berkunjung kerumah saksi korban Tsuwaibatul Aslamia alias Ibah binti Akhmad Fahrozi Kel. Kepatihan Rt 01/01 Kec. Wiradesa Kab. Pekalongan, kemudian pada pukul wib saksi korban berpamitan untuk mandi sedang terdakwa menunggu diruang tamu, oleh karena terdakwa haus. 9

10 Terdakwa berjalan kedapur untuk mengambil air minum dan bersamaan itu pula terdakwa dapati saksi korban sedang mandi di dalam kamar mandi yang berdinding tembok tapi tidak ada atapnya. Setelah itu terdakwa mengambil Handphone merk MITO model/seri 8700 dengan No Imei dengan serial number Selanjutnya terdakwa mengangkat Handphone dan mengarahkan kamera kedalam kamar mandi. Lalu terdakwa merekam aktifitas saksi korban saat sedang mandi ± selama 13 detik. Saksi korban merasa jika pada bagian atas dinding kamar mandi saksi melihat ada handphone yang digerak-gerakan dan sepertinya sedang mengambil gambar saksi yang sedang mandi dalam keadaan telanjang bulat lalu saksi sempat menyuruh terdakwa untuk menghentikan perbuatannya tersebut. Namun ternyata setelah beberapa hari terdakwa menunjukan rekaman tersebut kepada saksi korban. Bahwa perbuatan terdakwa tersebut semula dilakukan hanya isengiseng saja. Kemudian video tersebut terdakwa simpan di handphone terdakwa dan terdakwa nikmati sendiri secara pribadi. Namun dikemudian hari terdakwa mempunyai niat jika video (gambar bergerak) saksi korban Tsuwaibatul Aslamia alias Ibah yang sedanga mandi dengan durasi 13 detik digunakan sebagai alat untuk mengancam saksi korban Tsuwaibatul Aslamia alias Ibah agar mengembalikan uang dan handphone yang perah terdakwa pinjamkan kepada saksi korban. Hal tersebut menunjukan terdakwa telah melanggar ketentuan yang ada dalam pasal 4 ayat 1 huruf d undang-undang pornografi. Serta perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana yang diatur dan diancam pidana Pasal 29 UU RI No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Putusan yang dijatuhkan Hakim kepada terdakwa Muhammab Ali adalah Menyatakan Terdakwa : Muhammad Ali alias Ali alias Deali alias Sadam bin Saadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana DENGAN 10

11 SENGAJA MEMBUAT REKAMAN GAMBAR PORNOGRAFI YANG MEMUAT KETELANJANGAN serta menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan dan denda sebanyak Rp ,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan selama 2 (dua) bulan. Uraian kasus di atas menunjukan tentang bagaimanakah pertimbangan Hakim dalam menentukan unsur-unsur apa saja yang menjadi dasar dalam memutuskan suatu perkara pidana pornografi. Serta apakah pengertian dan aspek norma kesusilaan sebagai dasar pemenuhan unsur delik pornografi dalam Undang-Undang Pornorafi. Dengan melihat Yurisprudensi dari putusan kasus di atas dapat digunakan untuk mengetahui apakah sebenarnya pengertian dan aspek atau dasar pertimbangan norma kesusilaan dalam Undang-Undang Pornografi yang masih kurang jelas diungkapan dalam Undang-Undang Pornografi. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah pemenuhan unsur delik pornografi dalam ketentuan Undang- Undang Pornografi? 2. Bagaimanakah Hakim mempertimbangkan norma kesusilaan dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Pornografi? D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menggali dan menganalisis pemenuhan unsur delik pornografi dalam ketentuan Undang-Undang Pornografi. 2. Menggali dan menganalisis pertimbangan Hakim tentang norma kesusilaan dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Pornografi. 11

12 E. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 2. Pendekatan Masalah. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini melakukan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah library research yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalahmajalah, internet dan bahan lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini. Untuk menghasilkan penelitian yang lebih akurat didukung dengan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan ini melakukan pengkajian terhadap kasus-kasus yang telah diputus guna melihat Yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. 3. Bahan Hukum. a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangundangan. Dalam bahan hukum ini menggunakan: 1. UU RI No. 44 Th tentang Pornografi, 2. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pornografi, 3. KUHP, 4. KUHAP. 5. Putusan Nomor: 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg. 6. Putusan Nomor: 450/Pid.B/2011/PN.Pkl. 12

13 b. Bahan hukum sekunder yang merupakan buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, yurisprudensi dan hasil-hasil simposium yang berkaitan dengan topik penelitian. c. Bahan Hukum Tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 4. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum a. Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah: 1. Metode Studi Kepustakaan Metode Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data dari literature yang digunakan untuk mencari konsep, teori-teori, pendapat-pendapat, maupun penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan penelitian ini. Dari studi pustaka maka dapat diketahui secara langsung tentang aspek norma kesusilaan dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. 2. Metode Dokumentasi Metode Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan menginfentarisir catatan, transkrip buku, atau lain-lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Dokumen dapat digunakan karena merupakan sumber yang setabil, kaya dan mendorong. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data secara dokumentasi, maka di harapkan agar penelitian ini lebih terperinci karena sumber yang akan dicari dalam suatu dokumentasi merupakan sumber penting yang menyangkut arti dari norma kesusilaan dalam masyarakat sehingga dapat menemukan aspek norma kesusilaan dalam UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. b. Metode pengolahan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: 13

14 1. Editing Tahapan ini dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang telah diperoleh oleh peneliti terutama kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian beserta relevansinya dengan kelompok data yang lain. Dengan tujuan apakah data tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan problem yang diteliti dan untuk mengurangi kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian, serta untuk meningkatkan kualitas data dalam penelitian ini. 2. Classifiying Data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan dan dokumentasi oleh peneliti tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan sumbernya. Hal ini untuk member penekanan pada tingkat prioritas data yang telah diperoleh. 3. Analysis Dengan cara menganalisis isi perundang-undangan secara konseptual yang kemudian hasil tersebut dijadikan senagai dasar penarikan suatu kesimpulan. 4. Concluding Tahap terakir dari pengolahan data adalah penyimpulan dari bahan-bahan penelitian berupa data yang telah diperoleh itu, dengan maksud agar mempermudah menjabarkannya dalam bentuk penelitian. 5. Unit Analisa Unit analisa dalam penelitian ini adalah pertimbangan hakim terkait norma kesusilaan dalam perkara Jhon Deardo Sipayung dan perkara Muhammad Ali alias Ali dalam pelanggaran delik Pornografi. 6. Unit Amatan Unit amatan dalam penelitian ini adalah UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Draf Naskah Akademik RUU Pornografi, Putusan Pengadilan dalam kasus pornografi, dan materi tentang norma kesusilaan. 14

15 7. Metode Analisis deduktif. Dalam penelitian aini menggunakan metode analisis diskriptif dan penalaran 15

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA A. Temuan Data. 1. Posisi Kasus Nomor: 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg. a. Kronologi Kejadian. Bahwa sekitar bulan Mei 2010, bertempat di Jalan Dalem Kaum Kota Bandung, terdakwa

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan. Anak. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan

Lebih terperinci

No berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlu

No berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlu TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4928 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 72 BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi telah diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bangsa Indonesia sejak lama di kenal sebagai Bangsa yang memiliki Adat Istiadat yang serba sopan dan moral yang sopan. Walaupun demikian ternyata budaya atau kepribadian Indonesia semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan elektronik, seperti internet, buku, dan surat kabar, saat ini mempunyai pengaruh yang sangat luas

Lebih terperinci

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.Pornografi adalah materi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI 1 PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI I. UMUM Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang ada dilingkungan masyarakat. Event-event yang diselenggarakan biasanya menyajikan hiburan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928]

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928] UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928] BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 29 Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,

Lebih terperinci

Apa Dong (dot) Com

Apa Dong (dot) Com DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan hak-hak warga negara oleh negara serta mengatur kewajiban-kewajiban

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA. Kesimpulan/Fakta. Penjelasan. Analisis. Gambar 2 Struktur Wacana Berita

BAB 4 ANALISIS DATA. Kesimpulan/Fakta. Penjelasan. Analisis. Gambar 2 Struktur Wacana Berita 25 BAB 4 ANALISIS DATA 4.1 Analisis Struktur UUP sebagai Wacana Berlaras Hukum Wacana dibangun oleh sebuah struktur. Menurut Yuwono, yang ditulisnya dalam makalah pengajaran Kapita Selekta Linguistik semester

Lebih terperinci

Pasal 5: Setiap orang dilarang

Pasal 5: Setiap orang dilarang PERUBAHAN RUU PORNOGRAFI JIKA DIBANDINGKAN DENGAN RUU SEBELUMNYA NO RUU-P LAMA (23 Juli 2008) RUU-P BARU (4 September 2008) 1. Pasal 5: Setiap orang dilarang melibatkan anak sebagai objek atas kegiatan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N : WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DAN PERBUATAN ASUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang a. bahwa pelacuran dan perbuatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI 1 PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

: Pembuatan video porno oleh seorang artis

: Pembuatan video porno oleh seorang artis Tanggal Pengucapan Putusan : 27 Juli 2011 Jenis Perkara Proses Ringkasan Perkara : Hukum Pidana : Kasasi : Pembuatan video porno oleh seorang artis dan vokalis group musik dengan beberapa orang teman wanita

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HULU, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Rokan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum berfungsi untuk mengatur seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya. Beragam agama, ras, suku bangsa, dan berbagai golongan membaur menjadi satu dalam masyarakat.

Lebih terperinci

Nomor : 73/Pid/2014/PT.Bdg.

Nomor : 73/Pid/2014/PT.Bdg. P U T U S A N Nomor : 73/Pid/2014/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat banding

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki

I. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang mayoritas penduduknya beragama muslim, dan mempunyai beragam suku bangsa serta beragam pula adat budayanya. Meskipun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar) I. PARA PEMOHON 1. Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi diwakili

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 513/PID/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR : 513/PID/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P U T U S A N NOMOR : 513/PID/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam tingkat banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

Lampiran 2 UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

Lampiran 2 UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI 21 Lampiran 2 UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Pertama Pengertian Pasal 1 Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan : 1. Pornografi adalah substansi dalam media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengakui bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS RANCANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambarkan, menulis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambarkan, menulis, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pornografi dan Norma Kesusilaan. Istilah pornografi menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani; dari kata porne yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang

Lebih terperinci

Absurditas Penegakan Hukum dalam Kasus Video Mirip Artis Oleh: Sam Ardi*

Absurditas Penegakan Hukum dalam Kasus Video Mirip Artis Oleh: Sam Ardi* Absurditas Penegakan Hukum dalam Kasus Video Mirip Artis Oleh: Sam Ardi* Indonesia diguncang dengan video mirip artis yang sedang melakukan hubungan intim. Video yang disebarkan oleh seseorang tidak bertanggungjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melihat pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang cukup besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

: Penyabungan (Tapanuli Selatan). Umur / Tgl.Lahir : 37 tahun / 06 Oktober 1974.

: Penyabungan (Tapanuli Selatan). Umur / Tgl.Lahir : 37 tahun / 06 Oktober 1974. P U T U S A N NOMOR : 648 /PID/2012/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi M ------ PENGADILAN TINGGI DI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK

TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK (Paper ini untuk melengkapi kriteria penilaian mata kuliah Hukum Pidana) NAMA DOSEN : HOLLYONE, S.H. NAMA MAHASISWA : DINI MERDEKANI NPM : 09411733000134

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

Brought to you by

Brought to you by DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270 Nomor : RU.02/6632/DPR-RI/2007 Sifat : Penting Derajat : Amat Segera Lampiran : 1 (satu) berkas Perihal : Usul DPR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Sanksi Pidana Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DARI PERSPEKTIF UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI S K R I P S I

ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DARI PERSPEKTIF UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI S K R I P S I 1 ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DARI PERSPEKTIF UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI S K R I P S I Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PORNOGRAFI SKRIPSI

KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PORNOGRAFI SKRIPSI KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PORNOGRAFI SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas -tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB III KEPUTUSAN HUKUM DALAM PUTUSAN NOMOR: 2191/ PID.B/ 2014/ PN.SBY TENTANG HUKUMAN ELEKTRONIK DAN PORNOGRAFI

BAB III KEPUTUSAN HUKUM DALAM PUTUSAN NOMOR: 2191/ PID.B/ 2014/ PN.SBY TENTANG HUKUMAN ELEKTRONIK DAN PORNOGRAFI 40 BAB III KEPUTUSAN HUKUM DALAM PUTUSAN NOMOR: 2191/ PID.B/ 2014/ PN.SBY TENTANG HUKUMAN ELEKTRONIK DAN PORNOGRAFI A. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Surabaya 1. Letak Lokasi Daerah wilayah hukum Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

Muatan yang melanggar kesusilaan

Muatan yang melanggar kesusilaan SKRIPSI HUKUM PIDANA Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat dapat diaksesnya konten tertentu yg Ilegal - Author: Swante Adi Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat Indonesia.Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering menjadi pelengkap dari bentuk kejahatan itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi I. PEMOHON Robby Abbas. Kuasa Hukum: Heru Widodo, SH., M.Hum., Petrus

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 48/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Pekerjaan : Advokat;

PUTUSAN. Nomor 48/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Pekerjaan : Advokat; PUTUSAN Nomor 48/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SOLOK, Menimbang : a. bahwa untuk menjunjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi

I. PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi dengan perkembangan hukum yang begitu lambat dan relatif labil. Beberapa permasalahan hukum terkadang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk saling bersosialisasi dengan siapapun dan dimanapun mereka berada.

I. PENDAHULUAN. untuk saling bersosialisasi dengan siapapun dan dimanapun mereka berada. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia teknologi informasi dewasa ini telah membawa manusia kepada era globalisasi yang memberikan kebebasan kepada setiap orang di dunia untuk saling

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dibentuk berdasarkan hukum dan telah di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap pergerakan atau perbuatan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE A. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 419/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 419/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 419/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Bangkinang yang mengadili perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN WARUNG INTERNET

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN WARUNG INTERNET LEMBARAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270 Nomor : RU.02/6632/DPR-RI/2007 Sifat : Penting Derajat : Amat Segera Lampiran : 1 (satu) berkas Perihal : Usul DPR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

1. Pada pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi UU

1. Pada pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi UU Hasil wawancara dengan Bapak Wina Armada Sukardi, Jabatan Ketua Komisi Hukum dan Perundang Undangan, pada hari Rabu, 27 Juli 2011, di Gedung Dewan Pers Lt. 7, Jl. Kebon Sirih No. 32 34, Jakarta 10110 1.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.251, 2016 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan rumah kos sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR

PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOST DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAKASSAR, Menimbang : a. bahwa dengan perkembangan Kota Makassar yang semakin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan

Lebih terperinci

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA NOMOR : 03 TAHUN 2009 TENTANG ETIKA DAN TATA TERTIB PERGAULAN MAHASISWA DI KAMPUS

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA NOMOR : 03 TAHUN 2009 TENTANG ETIKA DAN TATA TERTIB PERGAULAN MAHASISWA DI KAMPUS PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA NOMOR : 03 TAHUN 2009 TENTANG ETIKA DAN TATA TERTIB PERGAULAN MAHASISWA DI KAMPUS REKTOR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa untuk lancarnya

Lebih terperinci

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada peradilan tingkat pertama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan manusia dalam berbagai hal, salah satunya kebutuhan akan informasi. Informasi adalah data yang dikumpulkan

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN. PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. : Encep Rustian Bin Eman Sulaiman

BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN. PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. : Encep Rustian Bin Eman Sulaiman 72 BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN A. Kasus Posisi 1. Identitas Pelaku PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. Nama Lengkap Tempat Lahir : Encep Rustian Bin Eman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BUPATI JENEPONTO Jalan Lanto Dg. Pasewang No. 34 Jeneponto Telp. (0419) Kode Pos 92311

BUPATI JENEPONTO Jalan Lanto Dg. Pasewang No. 34 Jeneponto Telp. (0419) Kode Pos 92311 - 1 - BUPATI JENEPONTO Jalan Lanto Dg. Pasewang No. 34 Jeneponto Telp. (0419) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR : 8 TAHUN 2002. JENEPONTO T E N T A N G IZIN PENDIRIAN USAHA MEDIA ELEKTRONIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Repulik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Repulik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan Narkotika merupakan masalah yang kompleksitasnya memerlukan upaya penanggulangan secara menyeluruh. Upaya penanggulangan tersebut dilakukan dengan melibatkan

Lebih terperinci

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN 1 HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN Saya akan mengawali bab pertama buku ini dengan mengetengahkan hak pekerja yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam dunia ketenagakerjaan. Sebagaimana

Lebih terperinci