BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA YANG BERTENTANGAN DENGAN TUGAS DAN FUNGSI DIPLOMAT DI NEGARA PENERIMA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA YANG BERTENTANGAN DENGAN TUGAS DAN FUNGSI DIPLOMAT DI NEGARA PENERIMA"

Transkripsi

1 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA YANG BERTENTANGAN DENGAN TUGAS DAN FUNGSI DIPLOMAT DI NEGARA PENERIMA 2.1 Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik di Negara Penerima a. Klasifikasi Perwakilan Diplomatik dan Kepala Perwakilan Konsuler Hampir semua negara mempunyai perwakilan diplomatik di negara lain, perwakilan diplomatik bersifat permanen walaupun wakilnya berganti-ganti. Suatu negara membuka perwakilan diplomatik untuk menunjukan keinginan persahabatan antar negara yang menjalin hubungan diplomatik. Salah satu dasar pelaksanaan hubungan diplomatik adalah kesepakatan bersama, maka suatu negara dibenarkan untuk membuka perwakilan diplomatik yang tidak sejajar dengan negara mitra kerja sama atau negara sahabat satu dengan yang lain. Untuk klasifikasi perwakilan diplomatik yang ditentukan oleh negara pengirim harus mendapatkan persetuan dari negara penerima. 1. Klasifikasi Menurut Kongres Wina Tahun 1815 Kongres Wina tanggal 19 Maret 1815, dimana negara-negara yang menghadiri kongres tersebut menyetujui dibentuknya tiga kelas pejabat diplomatik : a) Duta Besar serta perwakilan kursi suci (Ambassador Papa Legates Nuncios). Merupakan wakil pribadi kepala negara, karena itu ia berhak akan kehormatan-kehormatan yang tertentu. Previleges utama mereka adalah mengadakan perundingan dengan kepala negara penerima secara pribadi. Namum previleges tersebut sudah jarang dipergunakan karena masalah-masalah yang paling penting pun sudah sering

2 23 dirundingkan dengan menteri luar negeri antara negara pengirim dan negara penerima bahkan kadang-kandang antara kepala negara kedua melalui telepon. b) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Envoys Extraordinary and Minister Plenipotentiary). Duta besar ini tidak dianggap sebagai wakil pribadi kepala negara. Oleh karena itu, mereka tidak berhak mengadakan untuk mengadakan pertemuan dengan kepala negara penerima secara pribadi, meskipun biasanya mereka dapat beruding dengan dengan kepala negara. Mereka berhak akan title Excellency berdasarkan komunitas belaka. c) Kuasa Usaha (Charge d affaires). Tidak ditempatkan kepala negara kepada kepala negara, tetapi ia ditempatkan oleh Menteri Luar Negeri kepada Menteri Luar Negeri Klasifikasi Menurut Kongres Aix-La-Chapelle 1818 Tiga tahun setelah diadakan Kongres Wina pertama, lima negara yaitu Austria, Prusia, Russia, Prancis, dan Inggris mengadakan Kongres Aix-La- Chapelle yang dikenal sebagai Kongres Achen pada tanggal 21 November Kongres tersebut menghasilkan suatu protokol yang dikenal sebagai Protokol of Achen dan sebagai Appendix amandemen pada akte final yang mengatur masalah pangkat pejabat diplomatik. Berdasarkan protokol tersebut maka ditambah pula pangkat Minister Resident yang berkedudukan antara Minister dan Charge d affaires. Urutan pangkat diplomatik menurut Kongres Aix La-Chapelle 1818 : a. Ambassador and legates, or Nuncions b. Envoys and Minister Plenipotentiary c. Minister Resident d. Charge d affaires Setyo Widagdo, dan Hanif Nur Widhiyanti, op.cit. h Ibid, h. 44.

3 24 3. Klasifikasi Perwakilan Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961 Konvensi Wina Tahun 1961 dalam Pasal 14 ayat 1 menentukan bahwa Kepala-kepala misi diplomatik dibedakan kedalam tiga kelas : 1. Ambassador atau Nuncions diakreditasikan pada kepala negara dan kepala misi lain yang sederajat. 2. Envoys, Minister, dan Internuncions, diakreditasikan kepala negara. 3. Charge d affaires diakreditasikan kepada menteri luar negeri, lazimnya tingkat ini diberikan kepada negara-negara yang baru merdeka atau telah menyelesaikan revolusinya. 34 Klasifikasi golongan kepala perwakilan diplomatik yang berlaku dalam hubungan diplomatik saat ini adalah sebagaimana diatur oleh Konvensi Wina Meskipun ada perbedaan penggolongan kepala misi diplomatik tidak menyebabkan perbedaan perlakuan apapun, kecuali adalam hal keprotokolan dan etiket, misalnya tempat duduk dalam upacara, kesempatan menjadi dean atau doyen. Dengan demikian, walaupun kedudukan Charge d affaires berada paling bawah harus diberlakukan sebagai duta besar. Tidak ada perbedaan dalam hal kekebalan dan keistimewaan antara duta besar, duta, atau kuasa usaha. 35 Klasifikasi kepala perwakilan konsuler adalah penggolongan beberapa konsul berdasarkan kedudukan atau jabatan, wilayah kerja, dan tugasnya. Dalam Pasal 9 ayat 1 Konvensi Wina 1963 dirumuskan kepala perwakilan konsuler dapat dibedakan dalam empat kelas yaitu : 1. Konsul Jendral adalah pejabat yang ditetapkan sebagai kepala dari beberapa distrik konsuler dan untuk mengepalai beberapa konsul. Konsul 34 Ibid, h Widodo, op.cit, h. 90.

4 25 Jendral juga berkedudukan sebagai kepala suatu distrik konsuler yang wilayah kerjanya sangat luas. 2. Konsul adalah pejabat yang ditetapkan untuk mengepalai kantor konsulat yang biasanya berkedudukan di kota-kota dan pelabuhan-pelabuhan tertentu. 3. Konsul Muda adalah asisten konsul Jendral atau asisten konsul yang mempunyai sifat kekonsuleran sehingga konsul muda menempati kedudukan konsul dan semua tugasnya. 4. Agen konsul adalah agen-agen yang mempunyai sifat kekonsulerean yang ditetapkan oleh seorang konsul Jendral atau konsul secara tegas untuk melaksanakan fungsi-fungsi konsuler tertentu di kota-kota tertentu dalam suatu distrik konsuler. 36 Dengan demikian, konsul Jendral ditetapkan untuk menjabat sebagai kepala kantor konsulat Jendral. Dalam kantor konsulat Jenderal biasanya terdiri atas beberapa konsulat, atau jika tidak terdiri dari beberapa konsulat maka konsul Jendral hanya mengepalai kantor konsulat Jendral yang didalamnya tidak terdiri atas beberapa wilayah konsulat tetapi wilayahnya sangat luas. Kepala dari kantor konsulat adalah konsul. Konsul muda mengepalai konsulat muda, dan agen konsul mengepalai perwakilan konsuler, agen konsul hanya mengikuti arahan-arahan konsul sejak saat itu agen konsul tidak boleh berkomunikasi dengan negara penerima. Untuk menjalankan fungsinya, kantor konsuler mempunyai beberapa pegawai pelaksana, misalnya staf administrasi, staf teknis, dan staf-staf pelayan lainnya. 37 b. Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik dan Konsuler. 1. Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik. Sebelum duta besar diterima, maka diminta persetujuan dahulu dari negara yang akan menerimanya dengan cara mengirim data-data calon duta besar yang 36 Widodo, op.cit, h Ibid, h. 219.

5 26 akan ditempatkan di negara penerima. Tidak ada syarat untuk menjadi duta besar, hanya tergantung dari kebijaksanaan Kepala Negara penerima. Duta besar diangkat oleh Kepala Negara pengirim dan diambil sumpah pula, setelah mendapat persetujuan dari negara penerima, kemudian ia datang ke negara akreditasi dengan membawa surat kepercayaan / letter of credence untuk selanjutnya mengikuti acara penerimaan dalam upacara kenegaraan. Pengangkatan seorang duta besar biasanya dilakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak sama di setiap negara, bergantung pada sistem dan praktik yang berlaku di suatu negara. Dapat terjadi pemilihan calon ditentukan oleh kabinet atau hanya oleh kementerian luar negeri setelah memperhatikan berbagai faktor. 38 Pejabat diplomatik yang dikirim harus orang yang disenangi negara penerima. Untuk menghindari calon wakil yang dikirimkan termasuk orang yang tidak disukai (persona non grata) maka calon wakil tersebut harus diinformasikan lebih dahulu oleh negara pengirim kepada negara penerima. Oleh karena itu pula sebelum dikirim sebagai wakil diplomatik, negara penerima meminta kepada negara pengirim, data pribadi orang yang akan dikirim. Proses persetujuan atau penolakan tersebut disebut aggregation. Aggregation terdiri atas dua bagian : 1) meminta penjelasan informal kepada negara penerima apakah calon dapat diterima sebagai wakil diplomatik di negara penerima; 2) pemberitahuan dari negara penerima, secara tidak resmi bahwa calon dapat disetujui (agreement). 38 Syahmin AK, op.cit, h. 58.

6 27 Apabila agreement tidak diberikan, orang yang bersangkutan dianggap persona non grata. 39 Sesuai Pasal 7 Konvensi Wina , negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan Pasal 7 ini merupakan penekanan terhadap prinsip Hukum Internasional bahwa pengangkatan staf perwakilan, kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Mengenai atase-atase militer, permintaan persetujuan kepada negara penerima tidak mutlak diperlukan. Namun dalam Konvensi hanya disebutkan may tequire their names to be submitted beforehand for its approval, terserah kepada bagaimana biasanya praktik negara penerima. 41 Kalau negera penerima menganggap perlu agar nama-nama atase militer diberikan terlebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan, negara tersebut dapat melakukannya. Kalau tidak, suatu negara dapat mengirimkan atase-atase militer tanpa minta persetujuan negara setempat. 42 Kedatangan wakil diplomatik di wilayah negara penerima merupakan saat yang penting, karena itu setelah tiba di negara penerima ia harus secepatnya memberitahukan secara resmi kepada menteri luar negeri. Bahkan sebelum itu wakil diplomatik harus memberitahukan dan menghadap menteri luar negeri 39 Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, op.cit, h Pasal 7 Konvensi menentukan :... negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Dalam hal atase-atase militer, laut, atau udara, negara penerima dapat meminta agar nama-nama mereka diajukan lebih dulu untuk memperoleh persetujuan. 41 Syahmin AK, op.cit, h Boer Mauna, 2010, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni Bandung, Bandung, h. 529.

7 28 untuk menyerahkan salinan surat kepercayaan. Penyerahan surat kepercayaan wakil diplomatik diatur dalam Pasal 13 Konvensi Wina 1961, yakni pada saat wakil diplomatik dapat dianggap mulai menduduki jabatannya. 43 Duta diplomatik datang dengan membawa surat kepercayaan yang telah ditandatangani oleh kepala negaranya ke tempat tugasnya. Surat kepercayaan tersebut sering disebut Letters of Credence atau Letters de Creance. Surat kepercayaan yang sudah disegel dan salinan tersebut harus dibawa sendiri oleh wakil yang bersangkutan dan harus segera dipersembahkan kepada Kepala Negara Penerima setelah tiba di negara tujuan. Disamping surat-surat kepercayaan tersebut, wakil itu dapat juga membawa dokumen-dokumen penting lainnya. Seorang duta besar diterima oleh kepala negara penerima dengan menyerahkan surat-surat tersebut kepada kepala negara penerima dalam suatu upacara kenegaraan resmi Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Konsuler. Kepala perwakilan konsuler harus dilengkapi suatu dokumen / surat tauliah tentang pengangkatannya, yang akan menerangkan kedudukannya yang harus memuat nama lengkap, golongan dan tingkat, wilayah konsuler dan tempat kedudukan perwakilan konsuler. Negara pengirim akan meneruskan piagam pengangkatan / surat tauliah melalui jalur diplomatik, atau melalui jalur pemerintah negara dimana kepala perwakilan konsuler yang bersangkutan diakreditasikan dan melaksanakan fungsi-fungsinya. Pengangkatan konsuler dilakukan oleh negara pengirim, sedangkan hak penerimaan berada ditangan 43 Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, op.cit, h Ibid, h. 40.

8 29 negara penerima dengan mengeluarkan surat eksekuatur atau ijin penyelenggaraan tugas konsuler bagi calon perwakilan konsuler. Exequatur adalah dokumen yang dikeluarkan negara penerima yang berisikan persetujuan pengangkatan kepala perwakilan konsuler tersebut. Kepala-kepala kantor konsuler diangkat oleh negara pengirim dan pemberian ijin (eksekuatur) atasnya di tempat kerja diberikan negara penerima (Pasal 10 ayat (1) Konvensi Wina 1963). Pemberian ijin pada kepala kantor konsuler tersebut ditentukan oleh hukum, peraturan dan kebiasaan-kebiasaan di negara masingmasing (Pasal 10 ayat (2)). Prosedur pengangkatan dan pemberian eksekuatur beserta pejabat yang yang berwenang memberinya diatur oleh negara penerima dan negara perwakilan konsuler secara seragam tanpa diskriminasi antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Negara pengirim dapat mengirim dokumen-dokumen resmi tentang pengangkatan kepala perwakilan konsuler melalui saluran diplomatik, jika negara penerima setuju maka negara pengirim hanya akan menyampaikan pemberitahuan lebih dahulu atas calon kepala perwakilan konsuler. 45 Penolakan pemberian eksekuatur sering dianggap sebagai penghinaan atau pelecehan martabat negara pengirim dan bahkan mengakibatkan renggangngnya hubungan kedua negara. Langkah konsultasi mengenai nama-nama calon kepala perwakilan konsuler kepada negara penerima sebelum terjadi pengangkatan dan pemberangkatan pejabat tersebut ke negara penerima dipandang sebagai langkah yang bijak. Eksekuatur (exequatur) adalah persetujuan atau kesepakatan yang 45 Widodo, op.cit, h.199.

9 30 diberikan oleh negara penerima perwakilan konsuler dari negara pengirim untuk menerima pengangkatannya, sehingga setelah kepala kantor konsuler tersebut memperoleh eksekuatur maka mulai saat itulah dia sudah dapat mengawali tugastugas kedinasannya. 46 Negara pengirim dapat secara bebas mengangkat staf-staf konsulernya di negara lain (Pasal 19 ayat (1), namun pada prinsipnya staf-staf kantor konsuler harus diangkat dari orang-orang yang berkewarganegaraan negara pengirim (Pasal 22 ayat 1 Konvensi Wina 1963). Negara pengirim perwakilan konsuler harus memberitahukan kepada negara penerima dalam rentang waktu yang layak / cukup tentang nama lengkap dan kategori atau golongan kepangkatan seluruh staf kantor perwakilan konsuler, termasuk kepala kantor konsuler. Pemberitahuan ini berkenaan dengan kemungkinan adanya keberatan dari negara penerima sebelum pejabat / staf konsuler tersebut melaksanakan fungsinya di negara penerima. Konvensi Wina 1963 tidak menetapkan jumlah staf kantor konsuler, melainkan tergantung kesepakatan antara negara pengirim dan negara penerima atau jika tidak ada kesepakatan maka jumlah pengangkatannya didasarkan pada prinsip kewajaran, kepantasan, dan kelayakan sebagaimana diatur dalam Pasal c. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik dan Konsuler Perwakilan diplomatik ditugaskan oleh negara pengirim untuk melakukan beberapa misi / tugas di negara penerima. Dalam Konvensi Wina 1961 diatur beberapa tugas pokok yang harus dilakukan perwakilan diplomatik antara lain 46 Ibid, h Ibid, h

10 31 untuk negotiation, protection dan observation. Adanya pengaturan mengenai beberapa tugas pokok perwakilan diplomatik ini agar diplomat dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, tidak lalai / melupakan tugasnya di negara penerima, atau jangan sampai melakukan hal-hal yang diluar kewajibannya untuk mewakili negara pengirim di negara penerima. Penjelasan mengenai tugas dan fungsi perwakilan diplomatik : 1. Representasi. Dalam Pasal 3 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1961, fungsi perwakilan diplomatik adalah mewakili negara pengirim di negara penerima (representing the sending State in the receiving State). Ada beberapa batasan mengenai fungsi representatif, antara lain dikemukakan oleh Gerald Von Glahn dalam bukunya Law among Nations : Seorang wakil diplomatik itu selain mewakili pemerintah negaranya, ia juga tidak hanya bertindak di dalam kesempatan ceremonial saja, tetapi juga melakukan protes atau mengadakan penyelidikan (inquiries) atau pertanyaan dengan pemerintah negara penerima. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah negaranya. Fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik dalam mewakili negara pengirim di negara penerima dan bertindak sebagai saluran penghubung resmi antar pemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan diplomatik antar negara yang menyangkut fasilitas perhubungan kedua negara. Pejabat diplomatik sering kali melaksanakan fungsi mengadakan perundingan dan meyampaikan pandangan pemerintahnya di dalam beberapa masalah penting kepada pemerintah negara dimana ia diakreditasikan Proteksi Tugas yang diemban oleh diplomat dalam melaksanakan fungsi sebagai pelindung adalah : 1) Melindungi dan mengutamakan kepentingan nasional tanpa harus mengorbankan kepentingan negara penerima. Diplomat harus dapat melindungi kepentingan negara agar tetap sesuai dengan interpretasi dan keinginan negara pengirim dan mencegah terjadinya aktivitasaktivitas dari alat-alat negara penerima yang merugikan. 2) Melindungi kepentingan warga negara pengirim di negara penerima, berkaitan dengan hak-hak asasi warga negara di negara penerima, termasuk hak milik dan kehormatan Negosiasi 48 Setyo Widagdo, dan Hanif Nur Widhiyanti, op.cit, h Widodo, op.cit, h. 54.

11 32 Pengertian negosiasi dalam konteks hubungan internasional adalah pembicaraan antar wakil negara untuk menyelesaikan masalah / topik tertentu secara damai. Diplomatik harus mampu mengadakan perundingan dengan pihak negara penerima atas segala masalah yang ada dalam lingkup fungsinya, tanpa selalu harus melibatkan pejabat-pejabat dalam negeri pengirim secara langsung Pelaporan Kewajiban membuat laporan bagi perwakilan diplomatik memang sudah ditentukan oleh Konvensi Wina 1961 yang menegaskan memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan di negara penerima dengan cara-cara yang dapat dibenarkan oleh hukum. Tugas pelaporan ini merupakan satu hal yang utama bagi perwakilan diplomatik di negara penerima, termasuk tugas observasi secara saksama atas segala peristiwa yang terjadi di negara penerima. Perlu demi memperlancar kepengurusan kepentingan negaranya. 51 Tugas pelaporan tidak sama dengan tugas sebagai mata-mata atau spionase karena informasi yang diperoleh oleh perwakilan diplomatik adalah informasi resmi yang dikeluarkan oleh pihak negara penerima atau informasi lain yang diperoleh dengan cara lain tetapi informasi tersebut tidak merupakan rahasia negara, misalnya dari kementerian luar negeri negara penerima Meningkatkan hubungan persahabatan Hal kewajiban ataupun fungsi pejabat diplomatik yaitu terutama sekali memajukan hubungan-hubungan persahabatan antara negara pengirim dengan negara penerima, dan pejabat diplomatik mempunyai kewajiban untuk memperkembangkan kerjasama yang erat di bidang Ekonomi, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan. 53 Fungsi perwakilan konsuler selain ditentukan Konvensi Wina 1963 juga diatur melalui perjanjian bilateral antara negara pengirim dan negara penerima. Fungsi perwakilan konsuler berbeda dengan perwakilan diplomatik. Perwakilan konsuler tidak mempunyai kewenangan seperti perwakilan diplomatik dalam urusan politik di pusat pemerintahan seperti negosiasi untuk mewakili 50 Ibid, h Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, op.cit, h Widodo, op.cit, h Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, 1986, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewannya, Angkasa Bandung, Bandung, h. 25.

12 33 kepentingan negaranya, karena perwakilan konsuler ditempatkan di kota-kota perdagangan atau kota-kota pelabuhan sehingga hanya berhubungan dengan pemerintah daerah saja mengenai masalah komersial. Menurut sejarahnya, dinas konsuler adalah lebih tua umurnya dari dinas diplomatik. Hal ini disebabkan karena dinas melaksanakan dua fungsi umum, yaitu : 1) Tugas-tugas khusus dari fungsi umum yang pertama meliputi kegiatankegiatan untuk memajukan perdagangan : a. Laporan berkala dan laporan khusus. b. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut perdagangan. c. Menyelesaikan perselisihan dalam perdagangan, dan sebagainya. 2) Fungsi kedua, ialah memberikan bantuan kepada warga negaranya yang tinggal atau sedang mengadakan perjalanan di negara mana konsul itu ditempatkan. Tugas-tugas ini meliputi : a. Kesejahteraan dan hal-ihwal warga negara. b. Mengatur penguburan. c. Mengatur warisan (estate) dari warga negara yang meninggal di luar negeri. d. Bantuan atau pelayanan kepada warga negara yang melanggar peraturan hukum di luar negeri. e. Perlindungan dan bantuan kepada para pelaut (suatu tugas yang khusus), dan sebagainya. 54 Tugas pokok dari para konsul ialah memelihara hubungan yang baik antara negaranya dan negara penerima, tentunya dalam bidang perdagangan. Dalam praktek konsul mempunyai banyak tugas seperti berlaku sebagai notaris, melindungi warga negaranya yang memperoleh kesulitan hubungan dengan alatalat pemertintah setempat, serta mengurus paspor dan visa bagi mereka. Juga tugas para konsul di bidang perkapalan dan imigrasi T. May Rudy, 2002, Hukum Internasional 2, PT. Refika Aditama, Bandung, h Wirjono Prodjodikoro, 1778, Azaz Azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, h. 216.

13 34 Perbedaan antara perwakilan diplomatik dan konsuler dalam fungsinya perwakilan diplomatik mengutamakan tugas-tugas representation dan negotiation, sedangkan perwakilan konsuler lebih khusus berhubungan dengan tugas melindungi kepentingan warga negara, serta memajukan kepentingan perdagangan, industri, dan pelayaran Tindak Pidana Diplomat a. Definisi Tindak Pidana 1. Definisi Tindak Pidana Secara Umum Dalam studi ilmu hukum, bahasan tindak pidana tidak dapat dilepaskan dari bahasan perbuatan jahat. Sesuatu perbuatan jahat dapat dilihat dari dua sisi, yaitu perbuatan jahat menurut arti kriminologis dan perbuatan jahat dalam arti hukum pidana : 1. Perbuatan jahat dalam arti kriminologis memandang perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat yang dipandang secara konkret terjadi dalam masyarakat, yaitu perbuatan manusia yang menyalahi norma-norma dasar yang diakui dan hidup dalam masyarakat secara nyata. 2. Berbeda dari rumusan perbuatan jahat secara kriminologis, perbuatan jahat dalam arti hukum pidana menyatakan bahwa perbuatan yang dimaksud di sini adalah perbuatan jahat yang telah terumuskan dalam peraturan perundang-undangan. 56 Secara hukum, tindak pidana dikenal sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Perbuatan itu dilakukan dengan melawan hukum dan dengan kesalahan serta telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang untuk diancam dengan pidana. Menurut Lamintang, dalam melihat tindak pidana kita juga harus memahami unsur-unsur 56 M. Rosid Kusnan, 2008, Hukum Pidana, Penerbit Cempaka Putih, Klaten, h. 26.

14 35 subyektif dan unsur obyektif yang terdapat dalam suatu perbuatan. Unsur subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri pelaku termasuk didalamnya niat dan tujuan pelaku seperti kesengajaan, percobaan tindak pidana, dan perencanaan terlebih dahulu atas suatu tindak pidana. Sementara unsur obyektif adalah suatu sifat melanggar hukum, kualitas tindak pidana yang dilakukan, dan kausalitas atau hubungan antara tindakan yang dilakukan sebagai penyebab dengan kenyataan yang timbul sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan. 57 Strafbaar feit dalam istilah hukum pidana, diartikan sebagai delik / peristiwa pidana / tindak pidana / perbuatan pidana. Menurut Simons, Strafbaar feit adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, dapat disyaratkan kepada si pembuatnya (si pelaku). Syarat tindak pidana menurut Simons adalah sebagai berikut : 1. Perbuatan itu perbuatan manusia, baik perbuatan aktif maupun perbuatan pasif. 2. Perbuatan itu dilarang oleh Undang-Undang, diancam dengan hukuman. Ancaman hukuman itu baik tertulis (Undang-Undang) dan tidak tertulis. 3. Perbuatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada pelaku. 58 Dilihat dari jenisnya, tindak pidana dibagi menjadi kejahatan dan pelanggaran. Antara pelanggaran dan kejahatan terdapat perbedaan terdapat perbedaan sebagai berikut: 1. Pelanggaran ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda, misalnya : sopir mobil yang tak memiliki Surat 57 Ibid. 58 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 107.

15 36 Izin Mengemudi (SIM), bersepeda pada malam hari tanpa lampu, dan lainlain; 2. Kejahatan ialah menegenai soal-soal yang besar, seperti: pembunuhan, penganiayaan, penghinaan, pencurian, dan sebagainya. Contoh kejahatan terhadap kepentingan umum berkenaan dengan : a. Badan / Peraturan Perundangan Negara, misalnya pemberontakan, penghinaan, tidak membayar pajak, melawan pegawai negeri yang sedang melaksanakan tugasnya; b. Kepentingan hukum tiap manusia : a) Terhadap jiwa: pembunuhan; b) Terhadap tubuh: penganiayaan; c) Terhadap kemerdekaan : penculikan; d) Terhadap kehormatan: penghinaan; e) Terhadap milik; pencurian Definisi Tindak Pidana Oleh Diplomat Tindak pidana yang dilakukan agen diplomatik berbeda dengan tindak pidana internasional. Tindak pidana internasional merupakan tindak pidana terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius dihadapi masyarakat internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, tindak pidana perang, dan agresi. Tindak pidana agen diplomatik merupakan tindak pidana yang dilakukan diplomat di wilayah teritorial negara penerima berupa pelanggaran atau kejahatan yang dapat merugikan negara penerima, berikutnya diplomat dapat diberikan sanksi oleh negara penerima akibat tindakannya itu. Terjadinya tidak pidana agen diplomat adalah ketika pejabat diplomatik telah tiba atau sudah berada di negara penerima lalu diplomat melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum setempat, seperti melakukan tindak pidana berat, mengganggu ketertiban, serta membahayakan keamanan negara penerima. Walaupun negara penerima tetap membebaskan pejabat 59 Ibid, h. 3.

16 37 diplomatik yang bersangkutan dari kekuasaan hukum negara penerima, namun pejabat diplomatik yang bersangkutan dapat dikenai persona non grata oleh pemerintah negara penerima sehingga untuk selanjutnya dapat diproses pidana di negara pengirim. Tindak pidana berat ataupun ringan yang dilakukan seorang diplomat tidak melepaskannya dari tanggung jawab hukum (legal liability), negara pengirim harus menuntut pertanggung jawaban dari diplomat yang melakukan kesalahan / tindak pidana di negara penerima. 60 b. Jenis-jenis Tindak Pidana Yang Dilakukan Diplomat Jenis-jenis tindak pidana agen diplomatik yang dilakukan di negara penerima dapat berupa tindak pidana ringan atau pelanggaran sampai tindak pidana berat atau kejahatan. Jenis tindak pidana agen diplomatik selain diatur dalam Konvensi Wina juga diatur berdasarkan peraturan hukum negara penerima yang harus diperhatikan setiap pejabat diplomatik agar dalam melaksanakan tugasnya dapat menghindari dirinya dari suatu tindak pidana. Pelanggaran terhadap hukum negara penerima seperti melanggar peraturan lalu lintas di negara penerima dan kejahatan terhadap negara penerima dalam hal melakukan spionase / memata-matai negara penerima secara tidak sah merupakan tindak pidana yang dilakukan agen diplomatik. Ucapan atau tindakan diplomat yang dapat dikategorikan intervensi politik dan berakibat pernyataan persona non grata antara lain : 60 Artikel Imunitas Terhadap Yurisdiksi Negara, 15 Maret 2009, diakses pada tanggal 1 Desember 2011.

17 38 1. Membuat pernyataan yang merupakan komentar atas kebijakan pemerintah setempat, padahal kebijakan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan diplomat tersebut atau negara pengirim; 2. Menyampaikan kritik terhadap salah satu partai atau golongan yang ada dalam negara penerima; 3. Mengeluarkan pernyataan-pernyataan resmi atas suatu persoalan negara penerima, padahal negara penerima menganggap persoalan tersebut belum final karena masih dalam proses pembahasan pemerintah negara penerima; 4. Menyalahgunakan gedung fungsi perwakilan; 5. Membiayai selebaran-selebaran, radio gelap, atau bahkan menghimpun para wartawan yang merugikan negara penerima. 61 Beberapa macam pelanggaran yang mengakibatkan deklarasi persona non grata adalah : 1. Firearms, offences; 2. Rape, incest, serious case of incident assault and other serious sexual offences; 3. Fraud; 4. Second drink/driving offences ( or first if aggravated by violence or enjury to athird party ) 5. Other traffic offences involving death or serious enjury; 6. Driving without third ansurence; 7. Theft including large scale shoplifting ( first case ); 8. Lasser scale shoplifting ( second case); 9. Any other normaly carrying a prison sentence of more than 12 month. 62 Yang artinya : 1. Pelanggaran menggunakan senjata api; 2. Pemerkosaan, inses, kasus serius atau insiden penyerangan dan kejahatan seksual serius; 3. Penipuan; 4. Mabuk sehingga melakukan pelanggaran dalam mengemudi; 5. Pelanggaran lalu lintas yang melibatkan kematian atau kecelakaan serius; 6. Mengemudi tanpa surat ijin; 7. Pencurian termasuk pencurian skala besar; 8. Mengutil menggunakan laser; 9. Setiap kejahatan lain membawa hukuman penjara lebih dari 12 bulan. 61 Masur Effendi, 1993, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa, Usaha Nasional, Surabaya, h Sumaryo Suryokusumo, op.cit, h

18 39 Deklarasi persona non-grata yang dikenakan kepada seorang duta besar, termasuk anggota staf misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima, melibatkan pada tiga kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yaitu : 1) Mencampuri Urusan Internal Negara Penerima Kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang bersifat politis atau subversif, sudah jelas bertentangan dengan ketentuan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang berbunyi: Without prejudice to their previleges and immunities, it is the duty of all persons enjoying such previleges and immunities to respect the laws and regulations of the receiving state. They also have to a duty no to interfere in the internal affairs of that state. Artinya, Tanpa berprasangka para diplomat yang menikmati kekebalan dan keistimewaan, berkewajiban untuk menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan negara penerima. Mereka juga berkewajiban untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara penerima. 63 Pelanggaran dalam ketentuan ini seperti tindakan-tindakan yang bersifat politis ataupun subversif dapat mengakibatkan seorang diplomat dinyatakan persona non-grata, dan harus meninggalkan negara penerima. Suatu kasus yang yang berkaitan dengan pelanggaran pasal 41 (1) Konvensi Wina 1961 yang mengakibatkan deklarasi persona non-grata terjadi pada Juni 1976 dimana Duta Besar Lybia di Mesir dinyatakan persona non-grata setelah terungkap oleh aparat kemananan telah membagi-bagikan selebaran yang bersifat permusuhan terhadap pemerintah Mesir di bawah Presiden Anwar Sadat. Menurut berita-berita surat kabar di Kairo, seorang warga negara Mesir telah melaporkan kepada Dinas Keamanan Negara bahwa seorang Lybia yang dalam pemeriksaan terbukti ia seorang duta besar telah meminta kepadanya untuk ikut serta dalam organisasi di bawah tanah untuk melawan Pemerintah Mesir. 64 2) Melanggar Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan Negara Penerima. Menurut ketentuan Pasal Konvensi Wina 1961, walaupun kepada misi perwakilan diplomatik dan para stafnya diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, bahkan diperluas lagi bagi keluarganya yang tinggal bersama, tetapi konvensi juga memberikan pembatasan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27, 36, 41 (1), dan 42 Konvensi Wina Pasal 41 ayat (1) Konvensi Wina Syahmin AK, 2008, op.cit, h. 68.

19 Pasal 27 ayat 3 nya, konvensi telah mengatur bahwa kantung diplomatik (diplomatic bag) yang dikirimkan oleh suatu Kedutaan Besar Asing, yang keluar dari negara penerima tidak boleh dibuka (The diplomatic bag shall not be opened or detained) dan diganggu gugat, baik untuk ditahan maupun dibuka saja. Namun, pembatasan mengenai pengiriman diplomatic bag itu secara jelas dan tegas telah pula ditentukan dalam ayat 4-nya yang berbunyi : The package ocomstituting the diplomatic bag must bear visible external marks of their character and may contain only diplomatic documents or articles intended for official use. Jadi, sebenarnya isi kantong diplomatik itu hanya diperbolehkan untuk pengiriman dokumen-dokumen penting dari perwakilan asing termasuk barang-barang lainnya untuk keperluan dinas seperti stempel, bendera, paspor, buku-buku tentang peraturan perundang-undangan, dan lain-lain yang dapat digolongkan hanya untuk kepentingan misi diplomatik. Perundang-undangan yang ada mengizinkan, baik perwakilan diplomatik maupun para staf beserta keluarganya yang tinggal bersama, untuk mengimpor barang-barang dengan dibebaskan dari bea masuk serta pajak-pajak lainnya, namun secara tegas melalui pasal 36 (1) konvensi memberikan pembatasan-pembatasan seperti: (a) barang-barang untuk keperluar resmi perwakilan; (b) barang-barang untuk keperluan pribadi dari seorang pejabat diplomatik dan anggota-anggota keluarganya yang merupakan bagian dari rumah tangganya, termasuk barang-barang yang dimaksudkan untuk keperluan dinasnya. Artinya, mereka tidak boleh sekehendak hatinya saja memasukan barang-barang yang diluar ketentuan Pasal 36 Ayat 1 (a) dan (b) tersebut. Apalagi jika barang-barang yang dimasukan atau diimpor oleh para diplomat itu diperdagangkan di negara penerima untuk kepentingan pribadi (pasal 42), maupun barang-barang itu kepemilikannya dinyatakan terlarang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan di negara penerima dan bagi para diplomat meskipun menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik, mereka harus tetap menghormati undangundang dan peraturan dari negara penerima sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 (1) Konvensi Wina ) Melakukan Kegiatan Spionase Kegiatan spionase yang dilakukan oleh seorang diplomat tidak perlu diragukan lagi jelas merupakan suatu pelanggaran / kejahatan dalam hubungannya dengan kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Jika peristiwa itu terungkap, diplomat yang bersangkutan dapat dimintakan recall atau dinyatakan persona non-grata oleh negara penerima. Dalam praktiknya kegiatan spionase yang dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau konsuler tidak dapat diabaikan begitu saja, dan badan intelijen nasional telah memanfaatkan kekebalan dan keistimewaan diplomatik tersebut untuk membantu tugasnya. Misi perwakilan diplomatik seperti dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 1 (d) Konvensi Wina 1961, antara lain ditegaskan bahwa dalam menyampaikan laporan mengenai keadaan di 40

20 41 negara penerima harus kepada negaranya harus benar-benar dilakukan dengan cara-cara yang sah (ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving state, and reporting thereon to the government of the sending state). Ada hal-hal yang tidak dapat diterima sebagai kebiasaan dalam hubungan diplomatik, yaitu jika dalam mengumpulkan keteranganketerangan tentang fakta dan peristiwa yang terjadi di negara penerima ditempuh dengan cara sembunyi atau gelap, termasuk pembelian dokumen penting dari agen-agen yang ada di negara penerima, atau bahkan memanfaatkan orang-orang setempat secara intensif dan berlebih-lebihan sebagai sumber informasi apa saja yang dianggap sensitif. Alasan-alasan yang dipakai mempersona non-gratakan seorang diplomat asing apakah atas dasar, spionase, konspirasi, ancaman keamanan, penyalahgunaan hak-hak istimewa dan lain-lainnnya, selalu dilaksanakan sesuai modalitas dan prosedur yang ditetapkan oleh negara penerima. Sebagaimana ditunjukkan pengalaman, dalam persoalan persona non-grata ini kedaulatan negara penerima dalam kasus apapun selalu dihormati negara pengirim Ibid, h

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA A. Macam-macam perwakilan negara Dewasa ini hampir setiap negara yang berdaulat selalu mengadakan hubungan dengan

Lebih terperinci

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2 PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 1 Oleh : Windy Lasut 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya pelanggaran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia Makna kata Perwakilan Diplomatik secara Umum Istilah diplomatik berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen menempati wilayah tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. Keadulatan ini berupa kekuasaan yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER A. Sejarah Hukum Diplomatik Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan

Lebih terperinci

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara LAMPIRAN ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang merupakan jurisdiksi diplomatik bagi Perwakilan diplomatik sesuatu negara pengirim yang ditetapkan menurut prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30.

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30. 39 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun 1961 mengatur secara umum tentang perlindungan Misi Diplomatik baik dalam wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara tidak pernah dapat berdiri sendiri dan menjadi mandiri secara penuh tanpa sama sekali berhubungan dengan negara lain. Negaranegara di dunia perlu melakukan

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelasan umum Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai hubungan Diplomatik beserta protokol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada

BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan berbagai penelitian mengenai penyakit menular. Program

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE AUSTRIAN FEDERAL GOVERNMENT ON VISA EXEMPTION FOR HOLDERS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus tenggelamnya kapal penangkap ikan Oryong 501 milik Korea Selatan pada Desember tahun 2014 lalu, menambah tragedi terjadinya musibah buruk yang menimpa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

Tugas Pkn: Perwakilan Diplomatik dan Konsuler

Tugas Pkn: Perwakilan Diplomatik dan Konsuler Tugas Pkn: Perwakilan Diplomatik dan Konsuler Anggota Kelompok: Arjuna Rahmat Dion Anggie Liliana Dwi Nanda Pramudya Ernita Elisabet Ryo Malvin Syarifa Azzahira Urwatil Wusqo Kelas XI IPA 5 SMAN 5 Pekanbaru

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH KEDUTAAN NEGARA ASING SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK 1 Oleh : Adhitya Apris Setyawan 2 ABSTRAK Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1976 TENTANG POKOK-POKOK ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1976 TENTANG POKOK-POKOK ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1976 TENTANG POKOK-POKOK ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penertiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian-pengertian 2.1.1 Pengertian Peranan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu peristiwa. Peranan

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu

Lebih terperinci

PERATURAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 08 TAHUN 2006 NOMOR 35 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 08 TAHUN 2006 NOMOR 35 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 08 TAHUN 2006 NOMOR 35 TAHUN 2006 TENTANG PEMANTAU ASING DALAM PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI, DAN WALIKOTA/WAKIL

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 78/2004, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *51771 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 99, 2004 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi telah dicabut dan diganti terakhir dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Negara Penerima Untuk Memberitahukan Kepada Perwakilan Diplomatik. Asing Tentang Persoalan Hukum Yang Menimpa Warga Negara Pengirim

BAB III PENUTUP. Negara Penerima Untuk Memberitahukan Kepada Perwakilan Diplomatik. Asing Tentang Persoalan Hukum Yang Menimpa Warga Negara Pengirim 86 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai Kewajiban Negara Penerima Untuk Memberitahukan Kepada Perwakilan Diplomatik Asing Tentang Persoalan Hukum Yang Menimpa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama

Lebih terperinci

Administrative Policy Bahasa Indonesian translation from English original

Administrative Policy Bahasa Indonesian translation from English original Tata Tertib Semua unit Misi KONE adalah untuk meningkatkan arus pergerakan kehidupan perkotaan. Visi kita adalah untuk Memberikan pengalaman terbaik arus pergerakan manusia, menyediakan kemudahan, efektivitas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perubahan dan perkembangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau ke luar wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan dan perkembangan yang

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik

2 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1697, 2014 KEMENKUMHAM. Izin Tinggal. Pemberian. Perpanjangan. Penolakan. Pembatalan. Prosedur Teknis. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003

K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003 K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003 1 K-185 Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 2003 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

15B. Catatan Sementara NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15B. Catatan Sementara NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15B Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15B/ 1 NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1325, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Varietas Tanaman. Konsultan. Tata Cara Pendaftaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 119/PERMENTAN/HK.310/11/2013

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017 LANDASAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN DI BIDANG PERPAJAKAN YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT PAJAK 1 Oleh: Grace Yurico Bawole 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana landasan

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008

MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008 MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN WARGA PADA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja sama dalam berbagai bidang. 1. hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. 4

BAB I PENDAHULUAN. kerja sama dalam berbagai bidang. 1. hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. 4 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia yang makin lama makin maju sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara global, serta meningkatnya interaksi dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.368, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Luar Negeri. Pengungsi. Penanganan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN

Lebih terperinci

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bekerja merupakan hak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bekerja merupakan hak

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA KONSUL MALAYSIA DI PEKANBARU BERDASARKAN KONVENSI WINA TAHUN 1963 TENTANG HUBUNGAN KONSULER SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PEMANTAU DAN TATA CARA PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TAHUN

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci