BAB I PENDAHULUAN. yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu (Harimurti, 1989: 116).

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Onomatope adalah penamaan benda atau perbuatan dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu (Harimurti, 1989: 116). Peniruan bunyi tersebut tidak hanya mencakup suara hewan, manusia, atau suara yang dapat didengar saja, namun juga suara yang menggambarkan benda bergerak, berbenturan, maupun perasaan atau emosi manusia. Kelompok kata onomatope ini terdapat dalam hampir semua bahasa di dunia. Bahasa Jepang, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa adalah bahasa yang memiliki banyak kata onomatope. Onomatope bahasa Indonesia misalnya, meong (suara tiruan kucing) dan debar (bergerak-gerak atau berdenyut-denyut keras atau lebih kencang). Bahasa Jawa contohnya klothak (suara benda jatuh), dan mbek (suara hewan kambing). Bahasa Jepang memiliki beberapa jenis onomatope, yaitu giongo, giseigo dan gitaigo (Sudjianto dan Ahmad, 1995: 115). Giongo 1 adalah kata-kata yang dinyatakan dengan bunyi bahasa seperti suara tawa seseorang, suara tangisan, suara hewan, dan berbagai macam bunyi benda. Gitaigo 2 adalah kata-kata yang mengungkapkan aktifitas orang dan suatu keadaan, misalnya guzu-guzu, fura-fura dan kira-kira. Giseigo 3 adalah kata-kata yang menunjukkan bunyi atau suara 1 擬音語 2 擬態語 3 擬声語 1

2 2 dengan cara meniru bunyi yang keluar dari benda dan suara hewan atau suara manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jepang sering menggunakan onomatope dalam percakapan, baik anak-anak maupun dewasa. Onomatope ini juga banyak terdapat dalam komik, majalah, surat kabar dan karya-karya sastra. Orang Jepang menggunakan onomatope agar pendengar dapat benar-benar merasakan apa yang ingin disampaikan oleh pembicara. Misalnya gitaigo zaazaa 4 yang menyimbolkan suara hujan yang turun berderai-derai. Dalam kalimat Ame ga zaa-zaa futte imasu 5 (hujan turun dengan deras), pendengar akan lebih merasakan suasana hujan yang turun dengan deras, daripada menggunakan kalimat Ame ga futte imasu saja. Menggunakan onomatope dalam menyampaikan suatu informasi akan membuat pendengar mengetahui dengan jelas maksud yang ingin disampaikan oleh pembicara. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang yang mempelajari bahasa Jepang untuk mengetahui penggunaan onomatope tersebut. Dengan mengetahui makna dan penggunaan onomatope bahasa Jepang, pembelajar bahasa Jepang akan dapat menggunakan bahasa Jepang secara tepat dan alami. Selain penggunaannya, pemaknaan onomatope juga sangat penting terutama dalam hal penerjemahan. Dalam proses penerjemahan bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa, terkadang penerjemah menemui kesulitan dalam menerjemahkan onomatope tersebut. Hal itu dikarenakan makna 4 ざあざあ 5 雨がざあざあ降っています

3 3 yang terkandung dalam satu kata onomatope bahasa Jepang tidak selalu sama dengan makna onomatope tertentu dalam bahasa sasaran. Hal tersebut dapat terjadi karena konteks penggunaan sebuah onomatope bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Jepang tidak selalu sama, karena onomatope muncul sesuai dengan imajinasi auditif dari masing-masing bahasa di dunia 6. Jika hal tersebut diabaikan oleh seorang penerjemah, makna yang ingin disampaikan dari bahasa sumber yaitu bahasa Jepang tidak dapat tersampaikan dengan baik ke dalam bahasa sasaran. Misalnya, guzu-guzu 7 dalam Giongo Gitaigo Tsukaikata Jiten (1995: 116) memiliki makna: (a) Suara yang keluar dari bagian dalam hidung setiap kali bernafas terhalang oleh ingus. (b) Sikap seperti anak yang menangis kesal. Terus menerus mengutarakan keluhan ini itu yang tidak baik. (c) Suatu kondisi yang terikat atau terkunci, tetapi menjadi longgar dan tidak dikuatkan kembali. (d) Cara memulai atau melanjutkan pekerjaan, di mana waktu yang dibutuhkan tidak sejalan dengan kemajuan yang didapat. Gitaigo guzu-guzu tersebut memiliki 4 makna yang berbeda konteksnya, sehingga apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa, padanan katanya menjadi berbeda-beda. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut. (1) Kaze de hana ga guzu guzu iu. (GGTJ, 1995: 116) (1.a) Saya berbicara dengan hidung tersumbat karena terkena flu. (BI) (1.b) Anggonku ngomong bindeng amerga irungku pilek. (BJ) 6 Gustaaf Kusno, 7 ぐずぐず

4 4 (2) Moo sunde shimatta koto o guzu guzu ittemo shooganai janaika. (GGTJ, 1995: 116) (2.a) Hal yang telah selesai dilakukan, dikeluhkan pun tidak ada gunanya bukan? (BI) (2.b) Barang sing wis bar dilakoni, upama sambat ora ono gunane to? (BJ) (3) Kono kozutsumi, kukuri kata ga guzu guzu da. Koreja tochuu de nukeochite shimauyo. (GGTJ, 1995: 117) (3.a) Bingkisan kecil ini, cara mengikatnya longgar. Tanpa sadar ini bisa jatuh di tengah jalan. (BI) (3.b) Buntelan cilik iki, kendho anggone naleni. Iki iso tibo ning tengah dalan. (BJ) (4) Ikooka ikumaika to guzu guzu shitaku o shite iru uchi ni, kisha no jikan ni ma ni awanakunatte shimatta. (GGTJ, 1995: 117) (4.a) Selama ragu-ragu akan pergi atau tidak, saya tertinggal jadwal keberangkatan kereta. (BI) (4.b) Sak suene mangu-mangu mikir arep lungo opo ora, aku ketinggalan jadwal mangkate sepur.(bj) Dalam contoh kalimat di atas guzu-guzu memiliki beberapa padanan dalam bahasa Indonesia yaitu tersumbat, keluh, longgar dan ragu-ragu, sedangkan dalam bahasa Jawa padanannya adalah bindeng, sambat, kendho, dan mangu-mangu. Padanan dalam kalimat (1) mengacu pada makna (a) guzu-guzu yaitu suara yang keluar dari bagian dalam hidung akibat tersumbatnya udara saat bernafas. Kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang tepat untuk

5 5 memadankan makna tersebut adalah hidung tersumbat dan bindeng. Kedua kata tersebut menggambarkan keadaan hidung tersumbat yang menyebabkan suara menjadi berbeda. Dalam kalimat (2), padanan kata guzu-guzu mengacu pada makna (b) guzu-guzu yaitu sikap mengeluhkan suatu hal, sehingga padanan yang tepat adalah keluh dan sambat. Kalimat (3) mengacu pada makna (c) guzuguzu yaitu sesuatu yang longgar dan tidak dikencangkan, sehingga padanan kata yang tepat adalah longgar dan kendho. Dalam kalimat (4), guzu-guzu mengacu pada makna (d) yaitu kegiatan yang membutuhkan waktu yang lama, sehingga padanan kata yang tepat adalah ragu-ragu dan mangu-mangu. Keempat contoh kalimat di atas membuktikan bahwa satu kata gitaigo guzu-guzu memiliki beberapa makna dengan konteks yang sama sekali berbeda. Apabila seorang penerjemah tidak memperhatikan perbedaan konteks dalam makna guzu-guzu tersebut, padanan kata yang digunakan menjadi tidak tepat dengan makna kata yang dimaksud, sehingga hasil terjemahan menjadi kalimat yang tidak tepat. Misalnya, guzu-guzu pada contoh kalimat (1), apabila dipadankan dengan menggunakan makna (d): (1) Kaze de hana ga guzu guzu iu. (GGTJ, 1995: 116) (1.a)* Saya berkata dengan hidung ragu-ragu karena flu. (BI) Padanan kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia menjadi kurang tepat karena makna guzu-guzu yang dimaksud dalam kalimat (1) berhubungan dengan kata hidung yang mengacu pada makna (a) guzu-guzu. Kata ragu-ragu dalam bahasa Indonesia merujuk pada perilaku manusia, sedangkan hidung adalah salah

6 6 satu bagian tubuh manusia. Kalimat tersebut menjadi tidak tepat karena padanan kata yang digunakan kurang tepat, sehingga makna dari kalimat tersebut kurang dapat dimengerti. Akan tetapi, padanan kata guzu-guzu tersebut tidak terbatas hanya pada padanan yang telah diuraikan di atas. Padanan kata guzu-guzu dapat berubah menyesuaikan konteks dalam kalimat di mana guzu-guzu itu digunakan, tetapi makna yang terkandung tetap sama. Misalnya dalam contoh kalimat berikut ini: (5) Ane wa fuku ga kimaranakute, guzu guzu shite imasu. (GGEW, 1994:37) (5.a) Kakak perempuanku tidak memutuskan memilih baju yang mana, malah hanya membuang-buang waktu. (BI) (5.b) Mbakyuku ora ndang milih klambi, malah ming klemar-klemer. (BJ) Guzu-guzu dalam contoh kalimat di atas memiliki padanan membuang waktu dalam bahasa Indonesia dan klemar-klemer dalam bahasa Jawa. Padanan kata tersebut mengacu pada makna (d) guzu-guzu yaitu kegiatan yang dilakukan dengan waktu yang lama, sehingga membuang waktu adalah padanan yang tepat untuk menyampaikan makna tersebut. Dalam bahasa Jawa, klemar-klemer menurut Mangunsuwito (2010: 295) memiliki makna pekerjaan yang dilakukan dengan lambat atau serba pelan. Contoh kalimat yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa penerjemahan gitaigo ke dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia bukan hal yang mudah. Diksi atau pilihan kata menjadi sangat penting karena perubahan makna tergantung pada konteks yang menyertai pemakaian gitaigo tersebut. Menerjemahkan gitaigo ke dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia harus

7 7 memperhatikan konteks kalimat. Karena satu kata gitaigo dapat memiliki konteks yang berbeda-beda, seringkali orang melakukan kesalahan dalam pemilihan kata. Akan tetapi, hal tersebut dirasa wajar meskipun sebenarnya maksud yang ingin disampaikan tidak sesuai dengan padanan kata yang digunakan. Bahasa Jawa dan bahasa Jepang termasuk bahasa yang kaya akan kosa kata. Keduanya sama-sama memiliki bentuk bahasa sopan, yaitu sonkeigo dalam bahasa Jepang dan krama dalam bahasa Jawa. Kemiripan dan keunikan kedua bahasa tersebut membuat penulis tertarik untuk menelitinya. Bahasa Jawa yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah bahasa Jawa dialek Yogyakarta, karena penulis adalah penutur asli bahasa Jawa. Dalam tugas akhir ini, penulis hanya akan meneliti onomatope bahasa Jepang jenis gitaigo saja. Penulis tertarik untuk meneliti padanan kata gitaigo dalam bahasa Jawa karena padanan katanya beragam dan dapat berubah sesuai konteks kalimatnya. Adapun jenis onomatope yang lain, yaitu giongo dan giseigo cenderung memiliki makna yang statis. Misalnya giongo wan-wan yang menggambarkan suara anjing, akan memiliki makna yang sama pada konteks apapun kata tersebut digunakan. Gitaigo yang akan dibahas dalam penelitian ini diambil dari buku cerita anak Rakudai Ninja Rantaroo: Nintama Sannin Gumi no Kunrenyama Daikettoo. Buku ini adalah buku cerita anak tentang petualangan ninja muda. Buku ini dipilih karena selain bahasanya mudah dipahami, gitaigo yang digunakan dalam cerita bermacam-macam konteksnya. Dalam buku cerita Rakudai Ninja Rantaroo:

8 8 Nintama Sannin Gumi no Kunrenyama Daikettoo, terdapat 17 kata gitaigo. Dari 17 kata tersebut, penulis hanya akan membahas gitaigo yang berfungsi sebagai kata kerja atau kata sifat. Terdapat 9 kata gitaigo yang akan diteliti, yaitu appuappu, uyo-uyo, kan-kan, gaku-gaku, kura-kura,bara-bara, heto-heto, wai-wai, dan waku-waku. 1.2 Pokok Bahasan Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, ada beberapa pokok bahasan yang akan dibahas dalam tugas akhir ini, antara lain : 1. Bagaimana konteks pemakaian gitaigo yang terdapat dalam buku Rakudai Ninja Rantaroo: Nintama Sannin Gumi no Kunrenyama Daikettoo, dan apa saja medan maknanya? 2. Apa saja kata bahasa Jawa yang dapat menjadi padanan gitaigo bahasa Jepang dalam buku Rakudai Ninja Rantaroo: Nintama Sannin Gumi no Kunrenyama Daikettoo? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam tugas akhir ini adalah : 1. Menjelaskan konteks pemakaian gitaigo yang terdapat dalam buku Rakudai Ninja Rantaroo: Nintama Sannin Gumi no Kunrenyama

9 9 Daikettoo dan medan makna yang terbentuk berdasarkan konteks pemakaiannya. 2. Mencari kata dalam bahasa Jawa yang dapat menjadi padanan gitaigo dalam buku Rakudai Ninja Rantaroo: Nintama Sannin Gumi no Kunrenyama Daikettoo. 1.4 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa skripsi yang meneliti gitaigo bahasa Jepang dan onomatope bahasa Jawa. Akan tetapi, sampai penelitian ini dilakukan, penulis hanya mendapati satu skripsi yang membandingkan onomatope bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Skripsi tersebut adalah skripsi karya Widiati Utami (2003) yang berjudul Perbandingan atas Elemen Akhir pada Onomatopea Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa. Skripsi tersebut meneliti perubahan makna yang disebabkan oleh perubahan bunyi pada huruf vokal maupun konsonan dalam onomatope bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Skripsi berjudul Analisis Komponen Makna Adverbia yang Memiliki Makna Resultatif dalam Kalimat Bahasa Jepang karya Pupung Masitoh (2010) meneliti delapan kata adverbia atau fukushi dalam bahasa Jepang. Untuk mengetahui komponen bersama dan komponen pembeda dari fukushi tersebut maka dilakukan analisis komponen makna. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan makna untuk mengetahui hubungan kedelapan fukushi tersebut. Penelitian menggunakan analisis komponen makna juga dilakukan oleh Tita

10 10 Retnasari (2012) dalam skripsi berjudul Analisis Semantik Leksikal pada Verba Iu, Hanasu, Shaberu, Kataru, dan Noberu. Untuk menganalisis persamaan dan perbedaan di antara verba tersebut, digunakan teori komponen makna dan hubungan makna. Dalam penelitian tersebut, verba iu, hanasu, shaberu, kataru, dan noberu diklasifikasi berdasarkan subjek, frekuensi, durasi, isi, dan cara penyampaian. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya yaitu penulis meneliti pemakaian gitaigo bahasa Jepang dan padanannya dalam bahasa Jawa menggunakan analisis komponen makna. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah 9 kata gitaigo yang terdapat dalam buku Rakudai Ninja Rantaroo: Nintama Sannin Gumi no Kunrenyama Daikettoo. 1.5 Sistematika Penulisan Tugas akhir ini memuat empat bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pokok bahasan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. Bab II adalah landasan teori dan metode penelitian. Bab III adalah analisis komponen makna dan konteks pemakaian gitaigo dalam bahasa Jepang, serta padanannya dalam bahasa Jawa. Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian.