BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 20 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Umum Habitat Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan hutan hujan tropis primer yang sebagian besar merupakan areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Teluk Nauli. Namun sampai saat ini belum dilakukan eksploitasi terhadap vegetasi yang terdapat dalam area tersebut karena kondisi topografi yang tidak memungkinkan untuk kegiatan HPH. Areal penelitian Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat terletak pada ketinggian mdpl sehingga dapat dikategorikan kedalam tipe hutan peralihan antara ekosistem hutan perbukitan tengah (medium elevation hills) dan hutan sub-montana berdasarkan zona altitudinal dari permukaan laut (Laumonier 1997). Sedangkan berdasarkan zona floristik kawasan tersebut dapat dikategorikan kedalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas dan hutan Fagaceae-Lauraceae (Whitemore 1975). Tipe Habitat yang teramati dalam kawasan hutan areal penelitian tersebut dapat dibedakan berdasarkan struktur dan komposisi vegetasinya. Terdapat tiga tipe habitat utama dalam kawasan tersebut yaitu hutan Dipterocarpaceae atas (upper Dipterocarp forest), hutan gambut (peat forest) dan hutan peralihan hillmontana (Wijiarti 2009; Wich et al. 2003). Ketiga tipe hutan tersebut dalam pembahasan berikutnya disebut dengan formasi hutan peralihan hill-montana (FHHM), formasi hutan gambut (FHG) dan formasi hutan Dipterocarpaceae atas (FHDA). Ketiga formasi hutan di areal penelitian tersebar dalam tiga wilayah besar yaitu formasi hutan hill-montana (FHHM) di area sebelah timur-utara, formasi hutan gambut (FHG) di area selatan-barat daya dan formasi hutan Dipterocarpaceae atas (FHDA) di area sebelah barat-barat laut lokasi penelitian (Gambar 7). Penggambaran kondisi vegetasi ketiga tipe habitat tersebut disajikan pada Gambar 8.

2 21 Gambar 7 Sketsa lokasi pembagian ketiga tipe habitat ungko dan siamang di KHBTBB. Gambar 8 Tipe formasi hutan di KHBTBB berdasarkan jenis vegetasi. Ket: (a) formasi hutan hill-montana; (b) formasi hutan gambut dan (c) formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Hasil pengamatan vegetasi pada areal penelitian ini menunjukkan terdapat 216 jenis dari 50 famili pepohonan dengan jumlah individu sebanyak 1360 pohon pada plot contoh berukuran 1,5 ha untuk tiga tipe habitat yang berbeda. Hasil penelitian ini juga mengamati beberapa parameter umum yang menjadi karakteristik pada tiap tipe habitat tersebut, antara lain jumlah famili dan spesies vegetasi, rerata diameter setinggi dada, rerata tinggi total pohon dan beberapa parameter lainnya (Tabel 2). (a) (b) (c)

3 22 Tabel 2 Beberapa parameter umum vegetasi pada tiga tipe habitat di KHBTBB Tipe Hutan Famili Jenis DBH (cm) TTP (m) K (ind/ha) LBDS (m 2 ) FHHM ,51± 12,84 19,92± 6, ,32 FHG ,28± 12,51 18,63± 5, ,28 FHDA ,82± 20,66 19,57± 6, ,30 Batang Toru ,71±15,56 19,60±6, ,89 Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; DBH= rerata diameter setinggi dada; TTP= rerata tinggi total pohon; K= kelimpahan; LBDS= luas bidang dasar. Ketiga formasi hutan yang teramati secara umum memiliki kemiripan satu dengan lainnya berdasarkan beberapa nilai parameter umum yang teramati. Namun formasi hutan Dipterocarpacae atas (FHDA) merupakan tipe habitat yang memiliki nilai parameter umum tertinggi dibandingkan dengan lainnya. Pendugaan mengenai karakteristik parameter umum vegetasi di kawasan hutan tersebut akan dibahas secara lebih rinci pada sub-bab pembahasan selanjutnya. Hasil analisis data memberikan beberapa nilai indeks untuk ketiga tipe formasi hutan yang teramati yaitu indeks keanekaragaman jenis pohon Shanon- Wiener, kemerataan jenis Shanon-Wiener, kekayaan jenis Margalef dan kesamaan komunitas (similarity index). Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis pohon Shanon-Wiener, kemerataan jenis Shanon-Wiener, kekayaan jenis Margalef disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Indeks keanekaragaman jenis dan keseragaman jenis Shanon-Wiener pada ketiga tipe hutan di KHBTBB Tipe Hutan H' H' max E R FHHM 3,65 4,61 79,26% 16,24 FHG 3,22 4,63 69,62% 16,22 FHDA 4,42 4,90 90,24% 22,13 Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; H = indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener; H max= nilai maksimum H di habitat; E = Indeks kemerataan jenis Shanon-Wiener; R= Nilai kekayaan jenis Margalef. Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H ) yang terdapat pada ketiga tipe habitat tersebut masing-masing sebesar 3,65 (FHHM), 3,22 (FHG) dan 4,42 (FHDA). Ketiga nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener masing-masing habitat termasuk kedalam kategori tinggi. Barbour et al. (1987) diacu dalam Simorangkir et al. (2009) menyebutkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis umumnya berkisar 0-7 dan memiliki beberapa kriteria yaitu rendah untuk H =0-2;

4 23 sedang jika H =2-3; dan tinggi jika H >3. Tingginya nilai keanekaragaman jenis vegetasi untuk tiap formasi hutan di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat diduga merupakan implikasi dari kondisi biogeografisnya yang merupakan daerah peralihan kawasan biogeografis Danau Toba bagian utara dan kawasan biogeografis Danau Toba Bagian selatan (Perbatakusuma et al. 2006). Indeks kemerataan jenis menunjukkan penyebaran individu spesies dalam komunitas. Nilai indeks kemerataan jenis (E ) berkisar antara nol sampai satu. Tabel 3 menunjukkan nilai kemerataan jenis untuk masing-masing tipe habitat sebesar 79,26% (FHHM), 69,62% (FHG) dan 90,24% (FHDA). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat penyebaran individu spesies vegetasi di ketiga tipe hutan tersebut cukup merata. Krebs (1978) menyebutkan bahwa nilai indeks kemerataan (E ) mendekati satu menunjukkan bahwa spesies yang terdapat dalam suatu komunitas semakin merata, sementara apabila nilai indeks kemerataan mendekati nol menunjukkan ketidakmerataan spesies dalam komunitas tersebut. Indeks kekayaan jenis Margalef merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Seluruh tipe habitat yang teramati memiliki nilai kekayaan jenis yang tinggi. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R=3,5-5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R>5 kekayaan jenis tergolong tinggi. Hasil analisis data juga menghasilkan indeks kesamaan komunitas bagi ketiga tipe habitat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat. Ketiga tipe habitat tersebut memiliki nilai kemiripan diatas 30% (Tabel 4). Tabel 4 Indeks kesamaan komunitas (similarity index) pada ketiga tipe hutan di KHBTBB FHHM FHG FHDA FHHM 48,51% 47,86% FHG 39,83% FHDA Keterangan: FHHM= Formasi hutan peralihan hill-montana; FHG= formasi hutan Gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Nilai indeks kesamaan yang bervariasi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya pada lokasi penelitian, menunjukkan terdapatnya susunan

5 24 (struktur dan komposisi) tumbuhan untuk masing-masing komunitas tersebut. Nilai indeks kesamaan komunitas antara masing-masing tipe habitat yang teramati yaitu 48,51% (FHHM-FHG), 47,86 % (FHHM-FHDA) dan 39,83 % (FHG- FHDA), menunjukkan tingkat kesamaan jenis pada masing-masing habitat yang dibandingkan. Nilai tersebut juga menggambarkan sekurang-kurangnya terdapat 40% organisme spesies yang sama dan terdapat di dua habitat yang dibandingkan. Kesamaan spesies antar komunitas termasuk kedalam kategori tidak mirip atau spesifik lokal. Hal ini didasarkan atas Suin (2002) diacu dalam Astuti (2010) yang menyebutkan tingkat pengelompokkan tipe komunitas dapat dikategorikan menjadi empat tingkat yaitu sangat tidak mirip (IS 25%), tidak mirip (25%<IS 50%), mirip (50%<IS<75%) dan sangat mirip (IS 75%). 5.2 Struktur Vegetasi Kerapatan vegetasi Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaaan jenis vegetasi yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi pada tiap tipe habitat yang teramati. Pada tipe hutan peralihan hill-montana, jenis Campnosperma auriculatum dari famili Anacardiaceae merupakan jenis yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi yaitu 66 individu/ha atau 7,43% dari keseluruhan plot di tipe habitat tersebut. Jenis Madhuca laurifolia dari famili Sapotaceae merupakan spesies yang memiliki nilai kerapatan tertinggi pada tipe habitat hutan gambut dengan nilai 202 individu/ha atau 19,88 % dari keseluruhan individu yang terdapat dalam plot tipe habitat tersebut. Jenis Gironniera subequalis dari famili Ulmaceae merupakan jenis vegetasi yang memiliki nilai kerapatan tertinggi pada tipe habitat hutan Dipterocarpaceae atas dengan nilai kerapatan 54 individu/ha atau 6,62% dari keseluruhan individu yang teramati pada tipe habitat tersebut (Tabel 5). Ketiga tipe habitat yang teramati memiliki kesamaan terhadap jenis Palaquium rostratum, yang merupakan jenis pohon pakan bagi ungko dan siamang, yang termasuk kedalam lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi di masing-masing tipe habitat (Tabel 5). Selain itu hampir disemua tipe habitat yang teramati terdapat jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang yang termasuk kedalam lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan relatif tertinggi seperti jenis Anacardiaceae Campnosperma auriculatum pada tipe hutan peralihan

6 25 hill-montana dan Sapotaceae Madhuca laurifolia pada tipe habitat hutan gambut. Hal ini menunjukkan ketiga tipe habitat tersebut memiliki potensi sumberdaya pohon pakan yang cukup tinggi untuk mendukung kehidupan kedua jenis Hylobatidae tersebut di area penelitian ini. Tabel 5 Daftar lima jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi pada tiap tipe habitat di KHBTBB Famili Jenis Individu K (ind/ha) KR (%) FHHM Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** ,43% Theaceae Schima walichii ,21% Myrsinaceae Labisia pumila ,76% Sapotaceae Palaquium rostratum*** ,41% Unknown Unknown ,60% FHG Sapotaceae Madhuca laurifolia** ,88% Sapotaceae Palaquium rostratum*** ,78% Myrtaceae Tristaniopsis whiteana ,51% Myrtaceae Syzygium sp ,74% Anacardiaceae Gluta aptera ,54% FHDA Ulmaceae Gironniera subaequalis* ,62% Myrtaceae Syzygium napiformis ,17% Sapotaceae Palaquium rostratum*** ,92% Rubiaceae Diplospora cf. malaccensis ,68% Rhizophoraceae Carallia eugenioidea ,19% Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang Frekuensi jenis vegetasi Frekuensi jenis vegetasi dapat didefinisikan sebagai banyaknya jumlah plot pengamatan temat ditemukannya suatu spesies vegetasi dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi tertinggi pada masing-masing tipe habitat. Jenis Ancardiaceae Campnosperma auriculatum, Theaceae Schima wallichii dan Sapotaceae Palaquium rostratum merupakan jenis vegetasi yang memiliki sebaran populasi terluas pada formasi hutan perlaihan hill-montana. Ketiga jenis tersebut ditemukan pada tiap plot pengamatan di tipe habitat tersebut. Formasi hutan gambut yang terdapat dalam kawasan hutan Batang Toru memiliki lima jenis vegetasi yang sebaran populasinya dapat ditemuka hampir di tiap plot pengamatan. Jenis-jenis tersebut antara lain Sapotaceae Madhuca laurifolia, Sapotaceae Palaquium rostratum, Myrtaceae Syzigium sp. 36,

7 26 Icacinaceae Stermonurus malaccensis dan Anacardiaceae Campnosperma auriculatum. Tiga dari lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi pada formasi hutan gambut merupakan jenis vegetasi sumber pakan ungko dan siamang. Hal mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan bagi ungko dan siamang di tipe hutan tersebut tersebar hampir di setiap area. Formasi hutan Dipetrocarpaceae atas memiliki sruktur frekuensi vegetasi yang berbeda dengan kedua tipe hutan lainnya. Hal ini ditandai dengan tidak terdapatnya jenis dari famili Sapotaceae yang termasuk kedalam vegetasi yang memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi. Terdapat tiga jenis vegetasi yang memiliki sebaran terluas dalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas yaitu Ulmaceae Girroniera subequalis, Myrtaceae Syzigium napiformis dan Rubiaceae Diplospora cf malaccensis (Tabel 6). Tabel 6 Daftar lima jenis vegetasi yang memiliki nilai frekuensi tertinggi pada masing-masing tipe habitat di KHBTBB Famili Jenis Plot F FR (%) FHHM Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 5 1 2,66% Theaceae Schima walichii 5 1 2,66% Sapotaceae Palaquium rostratum*** 5 1 2,66% Icacinaceae Stermonurus scorpioides 4 0,8 2,13% Myrsinaceae Labisia pumila 4 0,8 2,13% FHG Sapotaceae Madhuca laurifolia** 5 1 2,92% Sapotaceae Palaquium rostratum*** 5 1 2,92% Myrtaceae Syzygium sp ,92% Icacinaceae Stemonurus malaccensis 5 1 2,92% Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 5 1 2,92% FHDA Ulmaceae Gironniera subaequalis* 5 1 2,28% Myrtaceae Syzygium napiformis 5 1 2,28% Rubiaceae Diplospora cf. malaccensis 5 1 2,28% Sapotaceae Palaquium rostratum*** 4 0,8 1,83% Rhizophoraceae Carallia eugenioidea 4 0,8 1,83% Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang. Frekuensi dari suatu jenis spesies dapat menggambarkan sebaran jenis vegetasi tersebut di habitat yang teramati. Suin (2002) diacu dalam astuti (2010) menyatakan bahwa apabila nilai frekuensi suatu jenis vegetasi yang ditemukan tinggi, mengindikasikan jenis tersebut memiliki sebaran yang luas di habitat itu. Jenis vegetasi yang terdapat dalam suatu area pengamatan juga dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori berdasarkan nilai frekuensinya yaitu

8 27 jenis aksidental apabila nilai f= 0-0,25; jenis asesori f= 0,25-0,5; jenis konstan f= 0,5-0,75 dan jenis absolut f > 0,75 (Suin 2002, diacu dalam astuti 2010). Terdapatnya beberapa jenis pohon sumber pakan diantaranya Anacardiaceae Campnosperma auriculatum dan Sapotaceae Palaquium rostratum kedalam kategori konstan dan absolut di tiap tipe habitat ungko dan siamang menunjukkan bahwa hampir di setiap area dalam tipe habitat yang teramati tersedia sumber pakan bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut Luas bidang dasar vegetasi Salah satu parameter struktur hutan yang diukur dalam penelitian ini adalah luas bidang dasar per jenis vegetasi. Luas bidang dasar suatu jenis spesies dapat dijadikan indikator tingkat dominansi jenis tersebut di habitat yang teramati. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat lima jenis vegetasi pada masing-masing tipe habitat dengan nilai luas bidang dasar tertinggi (Tabel 7). Tabel 7 Jenis vegetasi dengan Basal Area Tertinggi pada habitat Hylobatidae di KHBTBB Famili Jenis LBDS (m 2 ) DR (%) FHHM Myrsinaceae Labisia pumila* 2,74 11,76% Sapotaceae Palaquium rostratum*** 2,21 9,47% Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 1,23 5,27% Apocynaceae Kibatalia borneensis 0,78 3,36% FHG Sapotaceae Madhuca laurifolia** 4,44 18,32% Sapotaceae Palaquium rostratum*** 2,61 10,80% Araucariaceae Agathis borneensis** 1,75 7,21% Myrtaceae Tristaniopsis whiteana 1,51 6,24% Anacardiaceae Swintonia floribunda 1,35 5,59% FHDA Dipterocarpaceae Shorea platyclados 7,44 22,34% Anacardiaceae Campnosperma auriculatum*** 2,91 8,74% Annonaceae Polyalthia sumatrana 1,50 4,52% Guttiferae Garcinia hombroniana* 1,24 3,72% Fagaceae Lithocarpus rassa 1,2 3,59% Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang. Terdapat perbedaan mekanisme pembentukan nilai basal area tertinggi antara satu tipe habitat dengan tipe habitat lainnya. Tabel 5 menunjukkan nilai luas bidang dasar spesies Dipterocarpaceae Shorea platyclados yang hanya terdapat di formasi hutan Dipterocarpaceae atas merupakan nilai tertinggi diantara seluruh vegetasi yang ditemukan di tiga habitat. Spesies tersebut hanya ditemukan

9 28 sebanyak 8 individu dalam 15 plot contoh pengamatan atau dengan kata lain rerata basal area untuk masing-masing individu jenis tersebut sebesar 0,93 m 2 (diameter = 109 cm). Hal ini menunjukkan adanya diferensiasi karakteristik fisik pohon antara jenis Dipterocarpaceae dengan jenis lainnya, dimana jenis tersebut merupakan pohon memiliki diameter yang sangat besar. Myrisnaceae Labisia pumila dan Sapotaceae Madhuca laurifolia yang menjadi spesies dengan LBDS dominan di formasi hutan peralihan hill-montana dan hutan gambut, memiliki nilai tertinggi karena hasil akumulasi dari banyaknya individu yang terdapat dalam habitat tersebut. Nilai luas bidang dasar vegetasi yang beragam pada tiap formasi hutan tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya pengaruh tempat hidup dan kemampuan berkompetisi antara satu jenis vegetasi dan jenis vegetasi lainnya. Jenis Myrisnaceae Labisia pumila, Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Dipterocarpaceae Shorea platyclados sebagai jenis vegetasi yang memiliki nilai basal area tertinggi di masing-masing habitat diduga memiliki dominansi yang kuat di habitatnya sehingga mampu untuk tumbuh hingga mencapai ukuran yang lebih besar dibanding jenis lainnya. Kemungkinan lain yang mempengaruhi tingginya nilai luas bidang dasar ketiga vegetasi dengan LBDS dominan tersebut adalah jenis dan umur pohon tersebut dialam. Hortson (1976) diacu dalam Astuti (2010) mengungkapkan selain faktor lingkungan (eksternal) yang mempengaruhi besarnya nilai basal area suatu jenis tumbuhan, terdapat juga faktor internal yang mempengaruhi hal tersebut yaitu jenis dan umur pohon. 5.3 Komposisi Jenis Vegetasi Komposisi jenis vegetasi yang membentuk kawasan hutan penelitian ini secara umum memiliki perbedaan pada masing-masing tipe habitat. Pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaan jenis-jenis yang menjadi ciri khas bagi masing-masing formasi hutan. Beberapa jenis vegetasi yang menjadi ciri khas antara lain Sapotaceae Madhuca lauriofolia yang merupakan ciri bagi formasi hutan gambut dan Dipterocarpaceae Shorea platyclados bagi formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Seluruh hasil pengamatan terhadap komposisi jenis vegetasi disajikan pada Tabel 8.

10 29 Tabel 8 Komposisi vegetasi pada masing-masing tipe habitat di KHBTBB Parameter Formasi Hutan FHHM FHG FHDA Famili Jenis Famili Lauraceae Myrtaceae Lauraceae Dominan Myrtaceae Lauraceae Myrtaceae (Jumlah jenis) Sapotaceae Fagaceae Fagaceae Fagaceae Sapotaceae Flacourtiaceae Annonaceae Icacinaceae Euphorbiaceae Jenis Myrsinaceae Sapotaceae Dipterocarpaceae Dominan L. pumila* M. laurifolia** S. platyclados (INP) Sapotaceae Sapotaceae Ulmaceae P. rostratum*** P. rostratum*** G. subequalis* Anacardiaceae Myrtaceae Myrtaceae C. auriculatum*** T. whiteana S. napiformis Keterangan: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas; *= jenis pohon sumber pakan ungko; **= jenis pohon sumber pakan siamang; ***= jenis pohon sumber pakan ungko dan siamang. Kawasan hutan peralihan hill-montana memiliki komposisi jenis vegetasi yang terbesar dari famili Lauraceae dengan jumlah jenis sebesar 14 jenis atau 14% dari keseluruhan jenis yang terdapat dalam tipe habitat ini. Beberapa jenis vegetasi dari famili Lauraceae yang terdapat dalam tipe habitat hutan peralihan hill-montana antara lain Endiandra rubescens, Actinodaphne montana dan Cinnamomum iners. Famili vegetasi lain yang memiliki kelimpahan jumlah jenis tertinggi dalam tipe hutan hill-montana yaitu Myrtaceae (10%), Fagaceae (8%), Sapotaceae (7%) dan Annonaceae (4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara altitudinal formasi hutan peralihan hill-montana yang terdapat di kawasan ini termasuk kedalam zona sub-montana forest. Laumonier (1997) menyebutkan terdapat beberapa famili yang menjadi karakteristik tegakan hutan sub-montana pada ketinggian mdpl di Pulau Sumatera yaitu Fagaceae, Lauraceae dan Myrtacaeae. Formasi hutan gambut yang terdapat dalam kawasan ini bukan merupakan tipe hutan gambut yang tergenang oleh air rawa, melainkan hutan gambut kering. Formasi hutan ini ditandai dengan beberapa jenis vegetasi dengan jumlah individu yang dominan dari famili Sapotaceae seperti Maducha laurifolia ataupun Palaquium rostratum, sehingga tutupan tajuk pepohonan yang terdapat dalam formasi hutan ini didominasi warna daun coklat. Whitemore (1975) menyebutkan

11 30 bahwa jenis dari famili Sapotaceae yang memiliki daun berwarna kecoklatan seperti Madhuca spp. dan Palaquium spp. merupakan spesies yang dominan pada tipe hutan gambut. Hasil pengamatan menunjukkan walaupun Famili Sapotaceae memiliki jumlah individu yang dominan, namun famili tersebut bukanlah yang dominan dari segi jumlah jenis. Famili Myrtaceae (jambu-jambuan) merupakan famili yang memiliki jumlah jenis terbanyak dengan nilai relatif 20,59% dari keseluruhan jenis yang terdapat dalam tipe hutan tersebut. Beberapa spesies dari famili Myrtaceae yang memiliki kelimpahan terbanyak dalam tipe hutan gambut antara lain Myrtaceae Syzigium sp. 36 dan Tristaniopsis whiteana. Empat Famili lain yang memiliki jumlah jenis terbanyak dalam formasi hutan gambut Batang Toru antara lain Lauraceae (10,78%), Fagaceae (8,82%), Sapotaceae (6,86%), Icacinaceae (4,90%). Komposisi jenis vegetasi pada formasi hutan Dipterocarpaceae atas (upper Dipterocarpaceae forest) memiliki perbedaan dengan dua tipe formasi hutan lainnya yaitu terdapatnya jenis Shorea platyclados dari famili Dipterocarpaceae. Secara umum famili vegetasi yang terdapat dalam formasi hutan Dipterocarpaceae atas tidak berbeda jauh dari kedua tipe formasi hutan lain dengan Lauraceae sebagai famili vegetasi yang memiliki jumlah jenis terbanyak 12,69% dari seluruh jenis vegetasi yang terdapat dalam tipe hutan tersebut. Empat famili vegetasi lain yang memiliki jumlah jenis terbanyak dalam fomasi hutan Dipetrocarpaceae atas antara lain Myrtaceae (10,45%), Fagaceae (7,46%), Flacourtiaceae (5,97%) dan Euphorbiaceae (5,97%). Kawasan hutan Dipterocarpaceae atas biasanya ditandai dengan terdapatnya vegetasi dari Famili Dipterocarpaceae seperti tegakan Shorea platyclados berukuran raksasa yang berasosiasi dengan beberapa jenis vegetasi dari Famili lain yang dominan, contohnya Fagaceae dan Burseraceae (Laumonier 1997). Hasil pengamatan yang tertera pada Tabel 6 juga menunjukkan terdapatnya potensi pohon sumber pakan yang termasuk kedalam tiga besar jenis dominan pada seluruh formasi hutan. Pada formasi hutan peralihan ketiga jenis vegetasi yang mendominasi kawasan tersebut seperti Myrisnaceae Labisia pumila, Sapotaceae Palaquium rostratum dan Anacardiaceae Campnosperma auriculatum merupakan jenis pepohonan yang berperan penting karena berpotensi sebagai

12 31 sumber pakan bagi ungko dan siamang (Nowak 2010). Selanjutnya jenis Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Palaquium rostratum merupakan jenis vegetasi yang berpotensi sebagai sumber pohon pakan pada formasi hutan gambut. Kelimpahan yang tinggi di tipe hutan tersebut untuk kedua jenis vegetasi ini akan berkorelasi positif terhadap keberadaan ungko dan siamang karena dapat menjamin ketersediaan pakan bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut. 5.4 Profil Habitat Kelas strata dan tinggi pohon serta visualisasi tegakan Sebaran individu pohon yang teramati pada masing-masing formasi hutan dikategorikan kedalam empat kategori berdasarkan kelas stratifikasi pohon yaitu strata A (kelas ketinggian >30 m), B (21-25 m dan m), C (11-15 m dan m) dan D (<10 m). Secara umum kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat memiliki nilai kelimpahan relatif stratifikasi pohon tertinggi pada kelas strata C dengan jumlah pohon 764 individu (56,18%). Tingkat nilai kelimpahan relatif stratifikasi selanjutnya yaitu Strata B 467 individu (34,34%), strata D 73 individu (5,36%) dan strata A 56 individu (4,12%). Stratifikasi pada Formasi hutan peralihan hill-montana didominasi oleh pepohonan yang termasuk kedalam strata C dengan jumlah individu pohon sebanyak 220 atau 49,5% relatif terhadap keseluruhan individu yang teramati pada formasi hutan tersebut. Tingkat stratifikasi selanjutnya yang memiliki kelimpahan individu terbanyak berturut-turut pada formasi hutan peralihan hill-montana adalah kelas strata B (38,06%), strata D (7,2%) dan strata A (5,24%). Beberapa jenis vegetasi yang masuk kedalam kelas strata A pada habitat hutan peralihan hill-montana antara lain Anacardiaceae Campnosperma auriculatum, Icacinaceae Platea latifolia dan Stermonurus scorpioides. Stratifikasi pada formasi hutan gambut didominasi oleh pepohonan yang memiliki ketinggian kelas strata C dengan jumlah individu sebanyak 310 pohon (61,02%). Tingkat strata B (kelas tinggi dan meter) merupakan kelas stratifikasi yang memiliki kelimpahan individu tertinggi kedua dengan jumlah 170 pohon (33,46%), kemudian diikuti oleh tingkat strata D dengan 20 pohon (3,94%) pada urutan ketiga. Habitat formasi hutan gambut merupakan tipe habitat yang memiliki kelimpahan individu terkecil pada kelas strata A dibanding kedua tipe

13 32 habitat lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan hanya terdapat 8 individu pohon (1,57%) yang masuk kedalam kelas strata tersebut atau pepohonan yang memiliki tinggi >30 meter. Hal ini menunjukkan bahwa jarang terdapat pepohonan yang secara fisik memiliki ukuran raksasa pada tipe hutan tersebut. Beberapa jenis pepohonan tersebut yang memiliki ketinggian >30 meter antara lain Sapotaceae Madhuca laurifolia, Casuarinaceae Gymnostoma Sumatrana dan Araucariaceae Agathis boornensis. Hasil klasifikasi data dengan menggunakan rerata tinggi tajuk masingmasing famili pada formasi hutan Dipterocarpaceae atas diketahui famili yang dominan dalam strata hutan tersebut. Strata A yang terdiri atas pepohonan dengan tajuk lebih dari 30 meter di dominasi oleh famili Dipterocarpaceae yaitu dari jenis Shorea platcylados. Selain itu terdapat beberapa jenis lain yang termasuk kedalam strata tersebut seperti Annonaceae Polyalthia sumatrana dan Fagacaeae Lithocarpus rassa. Susunan tajuk berikutnya yaitu strata B yang merupakan pepohonan dengan ketinggian tajuk antara 21 sampai 30 meter didominasi oleh beberapa famili antara lain famili Flacourtiaceae, Burseraceae dan Fagaceae. Strata selanjutnya yaitu strata C dalam formasi hutan ini beberapa jenis famili diantaranya adalah Myrtaceae, Sapotaceae, Lauraceae, Euphorbiaceae dan Ulmaceae. Sedangkan untuk strata D yang merupakan tingkat paling bawah dalam tegakan hutan tersebut terdapat beberapa famili seperti Magnoliaceae dan Rhizoporaceae. Seluruh hasil klasifikasi strata maupun kelas tinggi pohon di ketiga tipe habitat menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu kelimpahan pohon tertinggi pada kelas strata C dan terendah pada strata D. Hal ini menunjukkan kemungkinan Kawasasn Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan tegakan yang dihuni oleh pepohonan muda yang masih dalam pertumbuhan untuk mencapai tinggi pohon yang klimaks. Penggambaran ketersediaan ruang berdasarkan strata dan kelas tinggi pohon di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat disajikan pada Gambar 9 dan 10.

14 Jumlah pohon FHHM FHG FHDA A B C D 21 Strata Gambar 9 Klasifikasi jumlah pohon berdasarkan strata tajuk pada tiap tipe habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Jumlah Pohon >30 Kelas Tinggi FHHM FHG FHDA Gambar 10 Klasifikasi jumlah pohon berdasarkan kelas ketinggian dari tanah pada habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Pola stratifikasi tajuk pepohonan pada tiap formasi hutan yang teramati memiliki kecenderungan yang sama yaitu kelimpahan yang rendah pada strata D, kemudian mencapai titik tertinggi pada kelas strata C dan menunjukkan kecenderungan yang menurun pada strata B dan A. Hal yang sama juga terjadi untuk stratifikasi berdasarkan kelas tinggi pohon. Proporsi individu pohon yang

15 34 rendah ditunjukkan pada kelas ketinggian <10 meter, kemudian mengalami peningkatan kelimpahan individu pada kelas ketinggian hingga mencapai puncak pada kelas ketinggian meter dan kecenderungan kembali menurun pada kelas ketinggian selanjutnya. Kelimpahan individu pepohonan yang tinggi pada kelas strata B dan C atau pada kelas ketinggian meter menunjukkan kesesuaian yang tinggi bagi keberadaan kedua jenis Hylobatidae terutama dalam mendukung aktivitas pergerakan mereka (Cannon & Leighton 1974; Gittins 1983; Chivers 1974). Profil vertikal habitat Hutan Batang Toru Bagian Barat disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Profil vertikal vegetasi pada tiga tipe habitat ungko dan siamang di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan hill-montana; FHG= formasi hutan gambut; FHDA= formasi hutan Dipterocarpaceae atas Kelas diameter pohon Hasil pengamatan pada semua tipe habitat menujukkan terdapat 10 kelas diameter pohon dengan jumlah kelas diameter terbesar ditemukan pada kelas diameter cm sebanyak 762 individu pohon dan jumlah dengan individu pohon paling sedikit terdapat pada kelas diameter cm. Sebaran pepohonan yang berdiameter besar dengan ukuran lebih dari 70 cm sangat minim sekali (jumlah individu <5) pada formasi hutan hill-montana dan formasi hutan gambut,

16 35 namun hal berbeda ditunjukkan oleh habitat formasi hutan Dipterocarpaceae atas yang memiliki jumlah individu yang cukup banyak pada tingkat sebaran kelas diameter tersebut. Gambaran mengenai sebaran kelas diameter pohon yang terdapat di ketiga tipe habitat tersebut disajikan pada Gambar Jumlah Pohon >70 FHHM FHG FHDA Kelas Diameter Gambar 12 Jumlah individu pohon berdasarkan kelas diameter pada tiap tipe habitat Hylobatidae di KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan peralihan Hill-Montana; FHM= formasi hutan Gambut; FHDA=formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Sebaran kelas diameter pohon yang terdapat diketiga tipe habitat tersebut menggambarkan keadaan fisik pepohonan yang didominasi oleh pepohonan muda dan dalam masa pertumbuhan untuk mencapai klimaks. Tidak terdapat nilai signifikansi perbedaan yang tinggi bagi sebaran kelas diameter pohon untuk semua tipe habitat. Hal ini mengindikasikan kemiripan kelas diameter pohon yang dimiliki antara ketiga tipe habitat tersebut. Kelas diameter ukuran diatas 80 cm yang secara fisik merupakan pohon raksasa didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae yang terdapat hanya di formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Sedangkan disisi lain untuk pepohonan yang memiliki diameter kurang dari 70 cm terdiri dari berbagai macam jenis vegetasi yang terdapat dalam ketiga tipe habitat, termasuk didalamnya pohon yang dimanfaatkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut khususnya sebagai sumber pakan yang banyak terdapat di formasi hutan peralihan hill-montana dan formasi hutan gambut. Mendominasinya sebaran pepohonan yang berdiameter kecil

17 36 hingga sedang, merupakan hal yang positif bagi keberadaan ungko maupun siamang. Cannon dan Leighton (1994) menyebutkan primata dari famili Hylobatidae banyak menggunakan pepohonan yang cm untuk aktivitas sehari-hari mereka khususnya dalam melakukan perjalanan dihabitatnya. Hasil penelitian ini juga menggambarkan kerapatan vegetasi yang terdapat dalam ketiga tipe habitat dikawasan hutan lindung Batang Toru Bagian Barat memiliki trend yang menurun secara eksponensial dari pohon berdiameter kecil ke besar seperti kurva L (Gambar 10). Hal ini mengindikasikan bahwa populasi vegetasi di kawasan hutan Batang Toru terdiri dari campuran seluruh kelas diameter dan didominasi oleh pepohonan muda yang masih dalam tingkat pertumbuhan (diindikasikan dengan ukuran diameter kecil), sehingga dapat menjamin keberlangsungan tegakan di masa mendatang. Perbatakusuma et al. (2006) dan Syaukani et al. (2005) menyatakan tegakan hutan dengan distribusi diameter pohon seperti kurva L atau J terbalik disebut sebagai hutan tidak seumur dalam kondisi seimbang (balanced forest). Hutan dengan tegakan tidak seumur memiliki tingkat sensitivitas ekologi yang tinggi dan banyak jenis yang saat ini dijumpai di hutan Batang Toru diperkirakan akan hilang dari kawasan tersebut di masa mendatang, apabila hutan di kawasan ini mendapat gangguan, misalnya pembukaan hutan dengan skala luas Tutupan tajuk Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya keragaman tingkat persentase tutupan tajuk pada tiap-tiap formasi hutan yang teramati. Formasi hutan peralihan hill-montana merupakan tipe habitat yang memiliki persentase tutupan tajuk pepohonan tertinggi yaitu 84,34% dari 5000 m 2 area plot yang teramati. Selanjutnya formasi hutan gambut merupakan tipe habitat yang memiliki persentease tutupan tajuk tertinggi kedua. Dari luasan 5000m 2 yang teramati terdapat 81,19% area yang ternaungi oleh tutupan tajuk. Formasi hutan Dipterocarpaceae atas memiliki persentase tutupan tajuk sebesar 78,51% dari keseluruhan 5000 m 2 area yang teramati (Gambar 13).

18 37 FHHM FHG 15,66% % Cover Area 18,81 % % Cover Area 84,34% % Open Area 81,19 % % Open Area FHDA 21,49% % Cover Area 78,51% % Open Area Gambar 13 Diagram persentase tutupan tajuk pada tiap tipe hutan di habitat Hylobatidae KHBTBB. Ket: FHHM= formasi hutan peralihan Hill- Montana; FHM= formasi hutan Gambut; FHDA=formasi hutan Dipterocarpaceae atas. Formasi hutan Dipterocarpaceae atas merupakan kawasan yang tersusun atas pepohonan yang memiliki ukuran lebih besar dari formasi hutan lainnya (rerata diameter= 24,82± 20,66 cm). Hal tesebut seharusnya berkorelasi positif dengan kondisi fisik vegetasi yang merupakan pepohonan tinggi dan nilai tutupan tajuk yang tinggi. Namun dalam penelitian ini persentase tutupan tajuk yang dihasilkan oleh formasi hutan tersebut merupakan yang terendah dibanding kedua tipe habitat lainnya. Salah satu penyebab rendahnya persentase tutupan tajuk pada tipe habitat formasi hutan Dipterocarpaceae atas adalah terdapatnya pohon tinggi yang tumbang dan menimpa vegetasi lain disekitarnya. Hal ini menyebabkan terbukanya lahan yang cukup luas dalam habitat tersebut (Gambar 14).

19 38 Gambar 14 Pepohonan yang tumbang menyebabkan lahan terbuka dihabitat Hylobatidae Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat. Persentase tutupan tajuk (crown cover area) erat kaitannya dengan tingkat keterbukaan lahan serta konektivitas antar tajuk dalam suatu tegakan. Terdapatnya ruang terbuka yang minim dalam suatu habitat hutan memberikan dampak positif bagi keberadaan kedua jenis Hylobatidae di habitat tersebut. Persentase tutupan area tajuk yang tinggi memberikan dukungan yang lebih terhadap pergerakan Hylobatidae terutama dalam meningkatkan konektivitas (crown overlapping) dan meminimalisir gap (jarak terbuka) antar tajuk sehingga dapat memudahkan dalam proses perjalanan (travelling) serta penjembatanan (bridging) antar pohon bagi kedua jenis Hylobatidae tersebut. Ilustrasi tumpang tindih tajuk (crown overlapping) di habitat Hylobatidae Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat ditunjukkan oleh Gambar 15. Gambar 15 Tajuk pepohonan yang overlapping di habitat Hylobatidae Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat.

20 Sebaran Populasi Ungko dan Siamang Berdasarkan Keberadaan Vegetasi Sebaran populasi ungko dan siamang sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi di habitat mereka. Hasil pengamatan menunjukkan penyebaran ungko dan siamang yang terdapat dalam kawasan tersebut berdasarkan titik-titik perjumpaan langsung. Sebaran populasi ungko dan siamang yang teramati, terdapat paling banyak pada area plot sebelah timur kawasan tersebut yang didominasi oleh dua tipe habitat yaitu formasi hutan peralihan hill-montana dan formasi hutan gambut. Sedangkan untuk area plot sebelah barat yang merupakan formasi hutan Dipterocarpaceae atas memiliki sebaran populasi ungko dan siamang yang lebih sedikit (Gambar 16). Gambar 16 Lokasi perjumpaan populasi ungko dan siamang serta sebaran plot pengamatan di area penelitian KHBTBB. Ket: Titik merah merupakan lokasi perjumpaan ungko dan titik hijau lokasi perjumpaan siamang.

21 40 Peta yang ditunjukkan oleh Gambar 16, memperlihatkan bahwa titik-titik perjumpaan terbanyak terdapat di area timur dan selatan kawasan penelitian, yaitu disekitar formasi hutan peralihan hill-montana (plot 9,14,15,17) dan formasi hutan gambut (plot 7,8,10). Namun di bagian timur area penelitian juga ditemukan satu plot vegetasi yang memiliki kemiripan jenis vegetasi dengan formasi hutan Dipterocarpaceae dan di sekitar plot tersebut terdapat beberapa kelompok ungko dan siamang atas yaitu plot 13. Selain peta perjumpaan secara langsung, sebaran populasi ungko dan siamang khususnya untuk wilayah plot bagian timur dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (Gambar 17 dan 18). Tumpang tindih populasi ungko dan siamang berdasarkan beberapa kelompok yang telah teridentifikais tertinggi, berada di sekitar wilayah timur stasiun penelitian khususnya di area formasi hutan peralihan hill-montana dan formasi hutan gambut. Hal ini diduga berkaitan dengan keberadaan sumberdaya vegetasi yang dapat mendukung kehidupan kedua jenis Hylobatidae tersebut. Gambar 17 Sebaran populasi kelompok ungko yang telah teridentifikasi di wilayah stasiun penelitian KHBTBB (Nowak 2010; Mubarok in press).

22 41 Kondisi vegetasi, baik secara struktur fisik maupun produksi buah sumber pakan yang dihasilkan, sangat erat kaitannya dengan sebaran populasi ungko dan siamang di suatu habitat. Hampir disetiap tipe habitat dalam areal penelitian ini ditemukan populasi ungko dan siamang. Hal ini diduga karena ketiga formasi hutan tersebut secara struktur fisik vegetasi memiliki rerata nilai tutupan tajuk (kanopi) yang kontinyu pada selang antara 10 meter sampai 30 meter, yang mengindikasikan bahwa semua tipe habitat tersebut mampu mendukung keberadaan ungko dan siamang untuk hidup secara arboreal dan melakukan aktivitas lokomotor. Jhons (1986) diacu dalam Hammard et al. (2009) menyebutkan suatu habitat yang memiliki ketinggian rata-rata kanopi pada 20 meter diatas tanah merupakan habitat yang suitable (cocok) untuk mendukung kehidupan arboreal suatu jenis Hylobatidae. Gambar 18 Sebaran populasi kelompok siamang yang telah teridentifikasi di wilayah stasiun penelitian KHBTBB (Nowak 2010; Mubarok in press). Sebaran populasi ungko dan siamang juga dipengaruhi oleh sebaran pohon sumber pakan kedua jenis Hylobatidae tersebut. Semua tipe habitat yang terdapat dalam kawasan ini menyediakan berbagai jenis sumber pohon pakan, sehingga

23 42 memungkinkan untuk medukung keberadaan ungko dan siamang menghuni tipe habitat tersebut. Pada bagian timur area penelitian ini terdapat banyak jenis serta kelimpahan individu pohon yang merupakan sumber pakan bagi ungko dan siamang seperti jenis Anacardiaceae Campnosperma auriculatum dan Sapotaceae Palaquium rostratum. Sedangkan di bagian barat area penelitian ini yang merupakan formasi hutan Dipterocarpaceae atas hanya jenis Sapotaceae Palaquium rostratum yang termasuk pohon sumber pakan yang memiliki kelimpahan populasi yang tinggi. Namun terdapat beberapa jenis pohon pakan lain seperti Ulmaceae Girroniera subequalis, Fagaceae Lithocarpus spp. dan Flacourtiaceae Hydnocarpus spp. (Nowak 2010). Pemanfaatan vegetasi sebagai sumber ungko dibahas pada sub-bab berikutnya. 5.6 Pemanfaatan Vegetasi Oleh Kedua Jenis Hylobatidae Pemanfaatan ruang berdasarkan klasifikasi strata dan kelas tinggi pohon Salah satu aspek terpenting dalam studi habitat primata adalah mengetahui penggunaan ruang berdasarkan strata dan ketinggian dari tanah. Studi tersebut penting dilakukan untuk menjelaskan pola penggunaan ruang pada habitat mereka (Li 2007). Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya perbedaan nilai yang minim dalam penggunaan ruang antara jenis Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus berdasarkan klasifikasi strata. Selama pengamatan berlangsung tercatat 86 individu ungko dijumpai dalam kawasan tersebut, sedangkan untuk siamang hanya dijumpai sebanyak 45 individu. Hasil pengamatan juga menunjukkan kelimpahan relatif penggunaan ruang pada vegetasi oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut. Terdapat kesamaan posisi ruang yang dimanfaatkan secara dominan oleh kedua kedua jenis Hylobatidae tersebut yaitu pada kelas strata B dan pada kelas ketinggian pohon meter. Sedangkan strata D atau kelas ketinggian pohon 0-10 meter, merupakan kelas strata hutan yang tidak pernah digunakan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut di habitatnya dengan persentase pemanfaatan yang teramati sebesar 0,0% (Gambar 19 dan 20).

24 43 Strata D 0% Strata C 29% Strata A 4% Strata D 0% Strata C 29% Strata A 2% Strata B 67% Strata B 69% (a) (b) Gambar 19 Kelimpahan relatif pemanfaatan ruang berdasarkan strata vegetasi oleh ungko dan siamang. Keterangan: (a) pemanfaatan ruang oleh ungko; (b) pemanfaatan ruang oleh siamang m 16% >30 m 2% m 29% m 0% m 19% m 3% m 9% m 20% m 53% m 49% Gambar 20 (a) (b) Kelimpahan relatif pemanfaatan ruang berdasarkan kelas tinggi pohon oleh ungko dan siamang. Keterangan: (a) pemanfaatan ruang oleh ungko; (b) pemanfaatan ruang oleh siamang. Metode penghitungan dengan menggunakan analisis Jacob s D value index dan crosstabs perangkat lunak SPSS 16.0 untuk menghitung penggunaan ruang berdasarkan kelas strata pepohonan antara ungko dan siamang menunjukkan nilai yang tidak memiliki perbedaan yang nyata (Value=5,69; df=4; Sig=0,225). Kedua jenis Hylobatidae tersebut memiliki preferensi pemanfaatan ruang yang sama di habitat yaitu prefensi yang tinggi pada kelas strata B dan tidak memiliki preferensi pemanfaatan pada kelas strata D (D=-1) (Gambar 21). Pemanfaatan ruang tidak hanya dapat dikategorikan berdasarkan kelas strata hutan yang terdapat dalam habitat jenis Hylobatidae, namun juga dapat diperinci dengan menggunakan klasifikasi ketinggian dari tanah (height above ground).

25 44 Hasil analisis data dengan menggunakan Jacob s D value index menunjukkan persamaan penggunaan ruang pada ungko dan siamang. 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0-0,2-0,4-0,6-0,8-1 0,59 0,57-0,08-0,22-0,47-0,52 A B C D -1,00 Siamang Gibbon Kelas Strata Gambar 21 Grafik Jacob s D value index pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang berdasarkan klasifikasi strata pohon. Kedua jenis Hylobatidae tersebut tidak memiliki preferensi penggunaan ruang (D=-1) pada kelas ketinggian 0-10 m. Sedangkan tingkat preferensi penggunaan ruang yang tinggi (Skala 0-1) pada kedua jenis Hylobatidae tersebut ditunjukkan pada kelas ketinggian meter. Perbedaan preferensi pemanfaatan ruang ditunjukkan pada kelas ketinggian meter, dimana ungko masih memanfaatkan kelas ketinggian tersebut walaupun dalam tingkat yang rendah sedangkan untuk siamang tidak pernah menggunakan kelas ketinggian tersebut (D=-1) (Gambar 22). Hasil penghitungan tersebut menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan dalam pemanfaatan ruang antara ungko dan siamang berdasarkan kelas strata pohon. Namun jika diklasifikasikan lebih jauh dengan menggunakan kelas tinggi pohon, ungko memiliki variasi yang lebih luas ketimbang siamang dalam pemilihan ruang. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya posibilitas tingkat adaptasi yang lebih tinggi pada ungko, khususnya dalam variasi pemanfaatan ruang dalam mendukung mobilitasnya.

26 45 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0-0,2-0,4-0,6-0,8-1 0,54 0,48 0,38 0,19 0,03-0,08-0,28-0,23-0,54-1,00-1, >30 Height Above Ground (m) Siamang Gibbon Gambar 22 Grafik Jacob s D value index pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang berdasarkan klasifikasi kelas tinggi pohon. Variasi aktivitas ungko dan siamang yang teramati dikategorikan kedalam lima kategori yaitu calling (panggilan), defecating (membuang kotoran), eating (makan), moving (bergerak) dan resting (beristirahat). Persentase aktivitas terbesar yang ditemukan adalah bergerak (moving) yaitu 53,3% pada ungko dan 43,8% pada siamang. Persentase kelimpahan relatif aktivitas yang teramati disajikan pada Gambar 23. Resting 8,1% Calling 15,1% Defecate 1,2% Resting 6,3% Calling 16,7% Defecate 0,0% Moving 53,5% Eating 22,1% Moving 43,8% Eating 33,3% (a) (b) Gambar 23 Kelimpahan relatif aktivitas oleh ungko dan siamang berdasarkan perjumpaan. Keterangan: (a) aktivitas ungko; (b) aktivitas siamang. Aktivitas moving (bergerak) merupakan aktivitas yang memiliki persentase relatif yang tertinggi diantara aktivitas lainnya. Tingginya nilai aktivitas bergerak yang ditunjukkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut diduga merupakan salah satu bentuk predator avoidence (penghindaran predator) terhadap keberadaan

27 46 pengamat, karena secara umum seluruh populasi ungko dan siamang yang terdapat dalam kawasan tersebut belum terhabituasi dengan keberadaan manusia. Selain itu hasil tersebut juga menunjukkan tingginya aktivitas mencari makan dan calling pada saat perjumpaan dengan kedua jenis Hylobatidae tesrebut. Hal ini dikarenakan waktu perjumpaan antara pengamat dan kedua jenis Hylobatidae tersebut banyak terjadi di pagi hari. Chivers (1974) dan Palombit (1997) menyebutkan bahwa aktivitas tertinggi ditunjukkan oleh jenis Hylobatidae pada saat pagi hingga siang hari. Penggunaan ruang pepohonan berdasarkan klasifikasi strata dan ketinggian dari tanah diduga erat kaitannya dengan ukuran tubuh dan kemampuan vegetasi dalam mendukung Hylobatidae untuk menghindar dari predator. Li (2007) menyebutkan terdapat dua faktor yang menentukan penggunaan ruang oleh suatu jenis primata yaitu faktor ekologi dan faktor morfologi. Faktor ekologi meliputi tingkat ancaman dari predator, jenis primata lain yang berkompetisi dalam sumberdaya yang sama, distribusi sumberdaya dan struktur habitat. Sedangkan faktor morfologi berkaitan dengan ukuran tubuh serta karakteristik tungkai suatu jenis primata. Pengamatan menunjukkan tingkat penggunaan ruang yang sangat rendah pada strata D atau ketinggian 0-11 meter dari tanah oleh kedua jenis Hylobatidae. Hal ini diduga berkaitan dengan struktur vegetasi komponen pembentuknya yaitu kemampuan batang atau cabang pohon yang didominasi oleh pepohonan berfisik kecil dalam mendukung pergerakan kedua satwa tersebut. Karakteristik morfologi ungko yang memiliki bobot tubuh antara 5-6 kg dan siamang yang memiliki bobot tubuh 9-11 kg tentunya akan sulit ditopang oleh pepohonan dalam strata D yang secara fisik memiliki dahan atau percabangan dengan ukuran yang lebih kecil ketimbang dahan-dahan yang terdapat dalam tajuk strata yang lebih tinggi. Selain itu apabila kedua jenis satwa tersebut melakukan pergerakan tentunya dahan/cabang yang terletak di tingkat strata yang lebih tinggi akan memberikan dukungan melalui tingkat kekokohannya sebagai landasan untuk melompat (leaping) ataupun berjalan (walking/brachiating). Salah satu faktor pembatas dalam pergerakan primata di pepohonan adalah tingkat kelenturan batang (stem pliability) (Dunbar & Badam 2000). Batang atau

28 47 cabang pada pepohonan muda yang terdapat pada strata D tentunya memiliki tingkat kelenturan yang lebih tinggi dibanding kelas strata lainnya, hal ini akan menjadi masalah bagi pergerakan ungko dan siamang. Apabila batang tersebut terlalu lentur, akan mudah patah akibat tidak dapat menahan bobot kedua jenis Hylobatidae ketika bergerak. Jenis Hylobatidae menurut Jhons (1986) diacu dalam Hammard et al. (2009) merupakan satwa yang secara ekslusif hidup arboreal dan menggunakan kanopi tajuk pepohonan yang kontinyu untuk melakukan pergerakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cannon dan Leighton (1994) dan Cheyne (2010) menyebutkan bahwa jenis ungko tidak memanfaatkan strata tajuk dan kelas ketinggian yang terendah dari tanah (<11 m). Nowak (1999) menyebutkan bahwa siamang memiliki preferensi yang tinggi pada kelas stratifiaksi B, khususnya pada kelas ketinggian meter. Kelimpahan aktivitas yang tinggi pada strata C dan B (main canopy dan higher canopy) dari tanah, yang mengindikasikan struktur vegetasi pada strata tersebut memiliki kelimpahan dan kontinyuitas yang cukup tinggi, sehingga memudahkan ungko dan siamang dalam melakukan aktivitas bergerak (travelling) dan mencari makan (foraging). Kontinyuitas tajuk dan keberadaan ruang terbuka (gap) antar tajuk pepohonan merupakan salah satu faktor penting bagi pergerakan ungko dan siamang (Cannon & Leighton 1994). Pemanfaatan ruang yang tinggi pada kedua kelas strata tersebut erat kaitannya dengan sebaran posisi sumber pakan di pepohonan. Jenis-jenis pohon pakan ungko dan siamang seperti Palaquium rostratum, Campnosperma auriculatum dan Ficus sp., merupakan pepohonan yang banyak terdapat di kelas klasifikasi tersebut. Faktor ini tentunya secara langsung akan memberikan kontribusi yang tinggi dalam pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang untuk kedua kelas strata tersebut. Gittins (1983) dalam hasil penelitiannya menyebutkan sebaran posisi sumber pakan Hylobatidae biasanya terdapat pada kelas kanopi atau strata utama (main canopy). Ungko dan siamang dalam penelitian ini juga tercatat memanfaatkan ruang pada strata A (ketinggian >30 m) yang secara struktur merupakan pepohonan yang memiliki tajuk diskontinyu (emergents layer). Penggunaan ruang strata tertinggi tersebut salah satunya sebagai tempat melakukan calling di pagi hari.

29 48 Tercatat salah satu kelompok ungko yang berada di transek JMK 2125 menggunakan tajuk teratas pada pohon dengan ketinggian 31,5 meter sebagai tempat untuk calling. Hammard et al. (2009) menyebutkan bahwa jenis Hylobatidae termasuk ungko dan siamang lebih menyukai menggunakan strata yang lebih tinggi untuk melakukan panggilan. Hal ini dilakukan oleh jenis Hylobatidae untuk meningkatkan jarak suara panggilan mereka agar dapat terdengar lebih jauh oleh kelompok Hylobatidae lainnya (Gittins 1983). Berikut ini ilustrasi pemanfaatan ruang pada tajuk pepohonan oleh kedua jenis Hylobatidae di habitatnya (Gambar 24). Gambar 24 Dua jenis Hylobatidae dalam pemanfaatan tajuk di habitatnya. Ket: (A) Seekor Hylobates agilis meng-observasi pengamat dari atas tajuk pohon Casuarina sumatrana; (B) Seekor Symphalangus syndactylus sedang makan di tajuk teratas pohon Campnosperma auriculatum. Strata tajuk yang memiliki kontinyuitas yang tinggi dapat mengindikasikan bahwa terdapat banyak tajuk yang rimbun dan saling meliputi satu pohon dengan pohon lainnya, sehingga memberikan cover yang lebih aman bagi keberadaan Hylobatidae. Tajuk yang rimbun dapat memaksimalkan fungsi cover bagi keberadaan Hylobatidae. Ungko dan siamang cenderung untuk berlindung dalam tajuk yang rimbun ketika waktu hujan, sehingga sulit bagi pengamat untuk menemukan kedua jenis Hylobatidae tersebut pada saat cuaca hujan. Hal ini diduga karena ungko dan siamang menggunakan vegetasi sebagai tempat berlindung kondisi cuaca sekitar lingkungan. Weddel (2002) menyatakan dalam keadaan dingin, fungsi perlindungan tajuk dari suatu jenis vegetasi terhadap

30 49 hewan berdarah panas seperti jenis Hylobatidae dapat berupa penjagaan suhu tubuh agar tetap hangat. Hal ini dapat terjadi melalui tiga langkah yaitu tajuk vegetasi mampu menghalangi masuknya angin serta dapat menahan butiran air hujan sehingga mencegah udara dingin menyerang satwaliar (Gambar 25). Vegetasi juga mampu memberikan perlindungan bagi satwaliar ketika cuaca panas dengan menyediakan bayangan dari naungan serta memberikan kemudahan bagi aliran udara. Hal ini akan mempengaruhi satwa agar dapat meminimalisir panas yang didapat dan memaksimalkan kehilangan panas tubuh. Gambar 25 Mekanisme perlindungan vegetasi terhadap kondisi angin bagi keberadaan satwaliar. Keterangan; (A) vegetasi dengan tingkat kerapatan tajuk tinggi; (B) vegetasi tingkat kerapatan tajuk sedang; (C) vegetasi dengan tingkat kerapatan tajuk rendah (Weddel 2002). Fungsi tutupan tajuk yang kontinyu dan saling overlapping bagi keberadaan jenis Hylobatidae tidak hanya sebatas perlindungan dari cuaca namun juga dapat membantu dalam proses penghindaran terhadap predator (predation avoidance). Salah satu bentuk pemanfaatan tajuk sebagai tempat berlindung oleh ungko dan siamang dari predator dengan cara memilih posisi pada tajuk yang rimbun dan memberikan suara peringatan (alarm call) ketika ada burung pemangsa seperti elang ular bido (Spilornis cheela) yang melakukan soaring disekitar mereka. Bagi keberadaan jenis Hylobatidae sebagai satwa mangsa di suatu ekosistem, tumbuhan sebagai penyedia unsur perlindungan dari pemangsa melalui fungsi sebagai tempat mengawasi serta melihat kemungkinan datangnya satwa pemangsa dari berbagai arah. Vegetasi sebagai suatu bagian struktural dalam habitat satwaliar harus dapat memenuhi beberapa fungsi, seperti menyediakan tempat bernaung (shelter) serta ruang untuk melihat dan berlindung dari pemangsa (cover) (Weddel 2002).

31 Pemanfaatan vegetasi sebagai sumber pakan Salah satu bentuk pemanfaatan vegetasi oleh ungko dan siamang adalah sebagai sumber pakan di habitat mereka. Selama pengamatan dilapangan teramati 9 jenis vegetasi yang dijadikan sumber pakan oleh ungko dan siamang yaitu Madhuca laurifolia, Palaquium rostratum, Campnosperma auriculatum, Ficus sp, Artocarpus sp., Dacrycarpus imbricatus, Naigea neriifolia, Eurya nitida dan Arenga\ pinnata. Bagian tumbuhan yang dimakan oleh ungko dan siamang antara lain bunga untuk jenis Sapotaceae Madhuca laurifolia dan Palaquium rostratum serta buah untuk enam jenis vegetasi lainnya (Tabel 9). Tabel 9 Pohon-pohon sumber pakan Hylobatidae yang teramati selama penelitian di KHBTBB No. Famili Jenis Bagian yang Hylobates agilis Symphalang us Lokasi dikonsumsi syndactylus 1. Sapotaceae Madhuca Bunga, Buah - v 1,2 laurifolia 2 Sapotaceae Palaquium Bunga, Buah v v 1,2,3 rostratum 3. Anacardiaceae Campnosperma Buah v v 1,2,3 auriculatum 4. Moraceae Ficus sp. Buah v v 1,2,3 5. Moraceae Artocarpus sp. Buah v Podocarpaceae Dacrycarpus Buah - v 1,3 imbricatus 7. Podocarpaceae Naigea Buah v - 1,2 neriifolium 8. Theaceae Eurya nitida Buah v Gutiferae Garcinia Buah v - 1,2,3 hombroniana 10 Sapindaceae Nephelium Buah v - 3 lappaceum 11. Arecaceae Arenga pinnata Buah - v 3 Keterangan: Lokasi 1= formasi hutan hill-montana; 2=formasi hutan gambut; 3=formasi hutan Dipterocarpaceae atas Pengamatan dilapang menemukan perbedaan jenis pakan antara ungko dan siamang. Ungko mengkonsumsi delapan jenis vegetasi Sapotaceae Palaquium rostratum, Anacardiaceae Campnosperma auriculatum, Moraceae Ficus sp., Moraceae Artocarpus sp., Podocarpaceae Naigea neriifolium, Gutiferae Garcinia hombroinea, Sapindaceae Nephelium lappaceum, dan Theaeceae Eurya nitida. Di sisi lain jenis vegetasi yang dikonsumsi oleh siamang adalah Sapotaceae Madhuca laurifolia, Sapotaceae Palaquium rostratum, Anacardiaceae Campnosperma

32 51 auriculatum, Moraceae Ficus sp., Podocarpaceae Dacrycarpus imbricatus dan Arecaceae Arenga pinnata. Terdapat tiga jenis vegetasi yang sama dikonsumsi oleh ungko dan siamang yaitu Sapotaceae Palaquium rostratum, Ancardiaceae Campnosperma auriculatum dan Moraceae Ficus sp. (Gambar 26). Gambar 26 Buah sumber pakan ungko dan siamang. Keterangan gambar dari kiri ke kanan; Palaquium rostratum, Campnosperma auriculatum dan Ficus sp. Terdapat jenis-jenis pohon pakan lainnya selain jenis pohon pakan yang teramati berdasarkan perjumpaan langsung aktivitas mencari makan ungko dan siamang. Beberapa diantara jenis pakan potensial lain bagi keberadaan ungko dan siamang adalah dari genus Aglaia spp., Aporusa spp., Baccaurea spp., Calophyllum spp., dan berbagai jenis lainnya (Nowak 2010; Chivers 2001; WARF 2009). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bagian buah merupakan yang terbanyak dimanfaatkan kedua jenis Hylobatidae dari seluruh jenis pohon pakan yang teramati. Selain itu pengamatan dilapang menunjukkan tidak adanya aktivitas ungko dan siamang memakan daun dari pohon sumber pakan. Hal ini diduga karena pada saat penelitian (periode juni-agustus 2011), jenis pakan yang melimpah dalam habitat kedua jenis Hylobatidae tersebut adalah buah dan bunga. Hal ini diperkuat dengan data hasil monitoring fenologi dan penghitungan FAI serta LAI terhadap potensi jenis pohon pakan primata di KHBTBB oleh Aini (2012) pada bulan juni hingga juli 2011, jumlah terbesar potensi pakan dihasilkan oleh bagian buah 6,38%, bunga 5% dan daun 0,46%. Palombit (1997) menyatakan bahwa jenis Hylobatidae merupakan jenis umum pemakan buah yang telah matang (ripe fruits), khususnya untuk buah dari jenis ficus (figs). Terdapatnya beberapa jenis variasi pohon dan bagian pakan yang sama antara ungko dan siamang merupakan hal umum yang terjadi apabila terdapat dua jenis Hylobatidae yang menempati suatu habitat yang sama. Hasil penelitian Elder

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perjumpaan dan aktivitas orangutan sumatera Pengamatan awal terhadap orangutan umumnya menemui hambatan yang disebabkan faktor topografi yang bergelombang berat dan ringan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

Struktur dan Komposisi Pohon di Habitat Orangutan Liar (Pongo abelii), Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara

Struktur dan Komposisi Pohon di Habitat Orangutan Liar (Pongo abelii), Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6 No. 2 Desember 2009, p.10-20. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Struktur dan Komposisi Pohon di Habitat Orangutan Liar (Pongo abelii),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor Fisik Lingkungan Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan ' Dari penelitian ini disimpulkan antara lain: "

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan ' Dari penelitian ini disimpulkan antara lain: BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ' i Dari penelitian ini disimpulkan antara lain: " Kemsakan hutan rawa gambut di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu dipengaruhi secara langsung oleh adanya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januarisampai dengan Februari

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januarisampai dengan Februari BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januarisampai dengan Februari 2013 di dua lokasi bagian Pantai selatan Kabupaten Sampang Madura yaitu Pantai

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 17 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemeriksaan Data Pengamatan struktur tegakan dilakukan dilima petak ukur dengan luasan masing-masing satu hektar. Sample atau contoh diambil menggunakan metode purposive

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN KARAKTERISTIK HABITAT KELELAWAR DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU BAGIAN BARAT (HBTBB), SUMATERA UTARA AJENG MIRANTI PUTRI

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN KARAKTERISTIK HABITAT KELELAWAR DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU BAGIAN BARAT (HBTBB), SUMATERA UTARA AJENG MIRANTI PUTRI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN KARAKTERISTIK HABITAT KELELAWAR DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU BAGIAN BARAT (HBTBB), SUMATERA UTARA AJENG MIRANTI PUTRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur selama 9 hari mulai tanggal

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan jabon dan vegetasi tumbuhan bawah yang terdapat

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh : PERKEMBANGAN KEADAAN TEGAKAN TINGGAL DAN RIAI' DIAMETER POHON SETELAH PEMANENAN KAYU DENGAl\' SISTEM TPTI DI AREAL HPH PT. KlANI LESTARI KALIMANTAN TIMUR Oleh : ROUP PUROBli\1 E 27.0932.IURUSAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang

Lebih terperinci

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN TFT 2018 Document Prepared by: The Forest Trust Jl. Dr.Wahidin No 42 Semarang, Jawa Tengah Indonesia Ph +62 24 8509798 1 PENGANTAR DEFINISI Sungai adalah alur atau wadah air

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

III. METODE PENELTTIAN Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu,

III. METODE PENELTTIAN Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, III. METODE PENELTTIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, kawasan ini terletak di dua Kabupaten yaitu Bengkalis dan Siak serta satu Kotamadya yaitu

Lebih terperinci

MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA. Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN.

MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA. Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN. MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN Dosen pada Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu Dan Tempat penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu Dan Tempat penelitian METODE PENELITIAN Waktu Dan Tempat penelitian Tempat penelitian adalah kebun campur Sumber Tirta Senjoyo Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada Oktober

Lebih terperinci