BAB I PENDAHULUAN. 1 Hasil amandemen Undang Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1 Hasil amandemen Undang Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran pemerintahan Indonesia dari sentralisasi menjadi desentralisasi, membuahkan adanya otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Salah satu hal yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut adalah mengenai peraturan kerja sama antar daerah dan perselisiannya. Daerah dapat mengadakan kerja sama, baik dengan daerah lain, pihak ketiga, dan/atau lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk membentuk kerja sama antar daerah dilatarbelakangi oleh keterbatasan daerah dalam menyediakan kebutuhan rakyatnya (Ling dan Jiang, 2013). Ditinjau dari keilmuan Geografi yang memandang bahwa masing masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda, kerja sama ini bertujuan untuk saling melengkapi kebutuhan daerah satu sama lain. Selain itu, kerja sama ini merupakan salah satu bentuk pemasaran wilayah yang mulai dikenal beberapa tahun terakhir. Kerja sama antar daerah atau kerja sama regional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi, dan saling menguntungkan. Kolaborasi beberapa wilayah diwujudkan dalam Regional Management dan Regional Marketing. Regional Marketing dan Regional Management dalam studi pengembangan wilayah sebagai cabang Ilmu Geografi melalui pendekatan keruangan merupakan hasil dari proses regionalisasi. Regionalisasi menurut 1 Hasil amandemen Undang Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 1

2 Abdurahman (2005) merupakan sebuah proses pelibatan beberapa daerah otonom dalam pembentukan sebuah region mencakup keterlibatan peran dan fungsi stakeholder terkait dalam kegiatan pembangunan integratif. Konsep regionalisasi berdasarkan paradigmanya dibagi menjadi 2, yakni regionalisasi-sentralistik dan regionalisasi-desentralistik. Salah satu bentuk kerja sama regional yang cukup berhasil di Indonesia adalah Kerja Sama Regional Barlingmascakeb. Kerja sama ini diinisiasi oleh lima kabupaten yang terletak di barat daya Provinsi Jawa Tengah, antara lain Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Kebumen. Kerja Sama Regional Barlingmascakeb merupakan salah satu bentuk regionalisasi-desentralistik di mana pembentukannya bukan didasarkan pada perintah dari pusat namun karena keinginan bersama (Abdurahman, 2005). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Kerja Sama Regional Barlingmascakeb dikategorikan sebagai kerja sama sukarela untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah namun dipandang akan lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan dengan bekerja sama. Kerja sama ini didasari oleh hal yang unik sebagai faktor perekat, yakni kesamaan budaya terutama budaya banyumasan yang kondusif untuk menciptakan sebuah ikatan kerja sama. Selain itu, kerja sama ini dilatarbelakangi oleh kondisi geografis dan keragaman potensi sumber daya. Kelima daerah ini memiliki keterkaitan wilayah hulu dan hilir yang sangat kuat karena dari kelima daerah terdiri dari berbagai bentanglahan, dari gunung, dataran tinggi, perbukitan, dataran rendah, hingga pantai pesisir selatan Jawa. Kondisi ini mendorong terjadinya kerja sama dalam pembangunan terkait Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan konservasi (Abdurahman, 2005). Menurut Sutrisno (2012), region Barlingmascakeb merupakan salah satu kawasan strategis Jawa Tengah yang rata-rata laju pertumbuhan ekonominya terbesar kedua, yakni mencapai 5,14%. Meskipun sektor unggulan tiap-tiap daerah berbeda, namun sektor pertanian menjadi sektor yang potensial masingmasing kabupaten (Gunawan, 2008). Kerja sama ini merupakan kerja sama 2

3 ekonomi yang bergerak pada 3 kegiatan utama, yakni investasi, perdagangan, dan pariwisata (Puteri, 2012). Dalam waktu yang relatif singkat dari berdiri hingga tahun 2004, kerja sama ini telah menghasilkan beberapa kegiatan seperti action oriented melalui fasilitasi public-private sector, membangun jaringan dan komunikasi melalui seminar, workshop, dan promosi (Abdurahman, 2005). Kerja sama ini menunjukkan fenomena yang unik, yakni keberhasilan yang dapat dicapai pada awal pembentukan kerja sama kemudian seolah hilang tanpa bekas sehingga setelah 10 tahun berjalan, kerja sama ini dibubarkan. Pembubaran Kerja Sama Regional Barlingmascakeb dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga seolah tidak ada harapan untuk kelanjutan kerja sama ini. Padahal pada pembentukannya, kerja sama ini mempunyai identitas budaya yang kuat sehingga mendorong keluwesan proses kerja sama namun ternyata belum dapat menunjukkan efek positif dalam proses berlangsungnya kerja sama Perumusan Masalah Kerja sama regional merupakan salah satu bentuk integrasi peran dan fungsi stakeholder dalam kegiatan pembangunan wilayah beberapa daerah otonom. Kerja Sama Regional Barlingmascakeb yang termasuk sebagai salah satu contoh regionalisasi-desentralistik memiliki sifat yang nonstruktural dan kompleks. Hal ini karena anggota kerja sama tidak tersusun dalam sebuah hirarki namun berada dalam sebuah jaringan di mana masing-masing anggota memiliki kedudukan yang sama. Lain halnya dengan regionalisasi-sentralistik yang memiliki susunan hirarki sehingga terdapat pemimpin dan anggota biasa. Kerja sama regional ini bertujuan memberikan hasil yang menguntungkan bagi para anggota kerja sama. Pihak yang terlibat dalam kerja sama ini tidak hanya pemerintah daerah masing-masing anggota namun juga melibatkan berbagai pihak seperti sarjana, cendekiawan atau ilmuwan dari perguruan tinggi, serta melibatkan pemerintah pusat. Keinginan masing-masing anggota dalam melaksanakan kerja sama antar daerah menjadi motivasi utama berjalannya kerja sama tersebut. Paradigma kompetisi ekonomi yang timbul akibat adanya 3

4 desentralisasi kemudian bergeser menjadi hubungan ekonomi yang saling menguntungkan melalui kerja sama ini (Ling dan Jiang, 2013). Sayangnya, Kerja Sama Regional Barlingmascakeb yang tadinya dipandang cukup berhasil kemudian mengalami penurunan efektivitas dan akhirnya dibubarkan. Pelaksanaan kerja sama regional bersifat dinamis yang berubah dari waktu ke waktu membuat Kerja Sama Regional Barlingmascakeb tidak stabil. Egoisme masing-masing daerah yang seharusnya ditekan demi mencapai tujuan secara bersama kemudian muncul seiring hasil kerja sama yang dirasakan tidak adil merata. Meski dianggap dapat menaikkan PDRB regional Barlingmascakeb namun hal tersebut diiringi dengan adanya ketimpangan yang semakin membesar, di mana hanya Kabupaten Cilacap semakin maju dengan PDRB daerah di atas PDRB rata-rata (Sutrisno, 2012). Kepentingan daerah lain yang tidak kunjung terpenuhi menjadi faktor pemicu melonjaknya egoisme daerah sehingga kerja sama mulai mengalami penurunan. Keinginan untuk menjalin kerja sama satu sama lain mulai memudar dan pada akhrinya Kerja Sama Regional Barlingmascakeb dibubarkan. Dinamika kerja sama regional tersebut menarik untuk diteliti, khususnya terkait dengan fase perkembangan kerja sama. Fase perkembangan kerja sama dapat diketahui melalui fase peningkatan dan fase penurunan kerja sama dari awal terbentuk hingga berakhirnya kerja sama. Melalui identifikasi dinamika juga dapat diketahui ada tidaknya gap/kesenjangan yang dialami atau dirasakan oleh para pelaku kerja sama berdasarkan kondisi ideal dan kondisi aktual keberlangsungan kerja sama. Kerja Sama Regional Barlingmascakeb yang telah menjadi pioneer dalam pengembangan model kerja sama regional di Indonesia juga mempunyai kelebihan dan kelemahan yang dapat dijadikan pembelajaran pada pembentukan kerja sama regional di masa yang akan datang, baik bagi regional Barlingmascakeb ataupun regional lainnya. Oleh karenanya dapat diberikan usulan bagi pengembangan model kerja sama regional di masa yang akan datang Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan antara lain untuk : 4

5 1. mengetahui fase perkembangan (fase peningkatan dan fase penurunan) Kerja Sama Regional Barlingmascakeb, 2. mengidentifikasi gap/kesenjangan yang dialami saat proses berlangsungnya Kerja Sama Regional Barlingmascakeb, 3. mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan model Kerja Sama Regional Barlingmascakeb Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti : 1. sebagai bahan penyusunan skripsi dalam menempuh pendidikan sarjana S1 Fakultas Geografi UGM, 2. sarana untuk menuangkan ide, pikiran, gagasan, dan pendapat dalam bentuk tulisan ilmiah. 2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan : 1. penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi sebagai referensi dalam pengembangan ilmu terkait pembangunan wilayah, khususnya kerja sama regional. 3. Secara praktis : 1. penelitian ini berperan dalam memberi pertimbangan dalam menentukan kebijakan terkait Kerja Sama Regional Barlingmascakeb, 2. penelitian ini berperan sebagai referensi pembangunan wilayah dan kerja sama regional selanjutnya Tinjauan Pustaka Keaslian Penelitian Studi dan penelitian mengenai kerja sama antardaerah di Indonesia sudah dilakukan semenjak beberapa tahun belakangan, namun jumlahnya tidak sebanyak penelitian pada bidang lain. Hal ini dikarenakan konsep Regional Management dan Regional Marketing di Indonesia baru hadir setelah adanya reformasi. Beberapa studi dan penelitian sebelumnya dapat dijadikan referensi untuk 5

6 menyusun penelitian ini, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2012), Wahyudi (2010), Megawati (2013), dan Tim Peneliti KPPOD (2013). Penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya, seperti informasi yang digali di mana pada penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2012) memiliki tujuan ingin mengetahui faktor penyebab penurunan efektivitas Kerja Sama Regional Barlingmascakeb dan penelitian Tim Peneliti KPPOD memiliki tujuan mengidentifikasi faktor pendorong terjadinya kerja sama dan menganalisis praktik lapangan kerja sama tersebut, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ingin mengetahui dinamika proses kerberlangsungan Kerja Sama Regional Barlingmascakeb dan kelebihan dan kekurangan model kerja sama tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2010) dan Megawati (2013) memiliki perbedaan dengan penelitian ini terkait dengan lokasi atau objek penelitian, di mana Wahyudi (2010) meneliti tentang kerja sama yang terjalin antara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara dalam konteks pengembangan Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng dan Megawati (2013) meneliti tentang kerja sama yang terjalin antara tiga kabupaten/kota, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, sedangkan penelitian ini mengambil objek kajian Kerja Sama Regional Barlingmascakeb. 6

7 Telaah Kritis Kerja Sama Pengembangan Ekonomi Wilayah Antar Pemerintah Daerah di Barlingmascakeb (Puteri, 2012) Tabel 1.1. Keaslian Penelitian Judul Jenis Tujuan Metode Analisis Hasil Jurnal Mengetahui faktor penyebab penurunan kinerja kerja sama antar daerah Barlingmascakeb Kajian Kerja Sama Daerah dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng (Wahyudi, 2010) Tesis - Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong kerja sama daerah - Merumuskan gap/kesenjangan dukungan dan hambatan kedua kabupaten dalam kerja sama daerah - Menggunakan pendekatan studi kasus tunggal (single case study) - Metode analisis kualitatif (deskriptif dan komparatif) Faktor penyebab penurunan kinerja kerja sama di Barlingmascakeb antara lain: 1. Tidak adanya kaderisasi seiring dengan pergantian pemimpin daerah 2. Kurangnya kapabilitas dan pemahaman konsep kerja sama oleh Regional Manager 3. Penurunan peran pemerintah provinsi dan perubahan kebijakan terkait belanja hibah sebagai sumber dana 4. Kurangnya komunikasi dan koordinasi antar aktor pengambil keputusan - Kedua Kabupaten telah mengerti penting dan manfaatnya kerja sama daerah - Dukungan Kab. Banjarnegara cukup pada tataran kebijakan dan kurang pada penganggaran, sedangkan dukungan Kab. 7

8 Judul Jenis Tujuan Metode Analisis Hasil - Merumuskan format kelembagaan kerja sama Wonosobo kurang pada tataran kebijakan dan penganggaran daerah pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng - Hambatan kerja sama meliputi egoisme daerah, perbedaan kepentingan, potensi wisata, kewenangan pengelolaan, alokasi dana, dan belum adanya identifikasi kebutuhan Persepsi Stakeholder terhadap pelaksanaan Kerja Sama antar Daerah Kartamantul (Megawati, 2013) Skripsi - Mengetahui persepsi stakeholder terhadap pelaksanaan kerja sama Kartamantul - Mengkaji faktor-faktor keberhasilan dan ketidakberhasilan kerja sama - Menilai efektivitas mekanisme kerja sama antardaerah - Analisis Induktif Kualitatif - Persepsi stakeholder terhadap pelaksanaan kerja sama antardaerah Kartamantul a. Kesesuaian Pelaksanaan Kerja sama dengan Visi Misi Kartamantul b. Mekanisme kerja sama Kartamantul c. Prospek Kerja sama Kartamantul di masa yang akan datang d. Peran kerja sama Kartamantul bagi masing-masing daerah e. Matriks persepsi - Faktor keberhasilan dan ketidak 8

9 Judul Jenis Tujuan Metode Analisis Hasil berhasilan kerja sama - Efektivitas mekanisme kerja sama Kartamantul Kerja Sama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah (Tim Peneliti KPPOD, 2013) Dinamika Kerjasama Barlingmascakeb (Wulandari, 2014) Laporan penelitian - Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi daerah untuk melakukan kerja sama antar daerah di bidang perdaganagn - Menganalisis sejauh mana praktik kerja sama antar daerah di bidang perdagangan dalam meningkatkan aglomerasi ekonomi Skripsi - Mengetahui fase perkembangan (fase peningkatan dan fase penurunan) Kerja Sama Regional Barlingmascakeb - Mengidentifikasi - Analisis deksripsi kualitatif terhadap program-program kerja sama dan analisis regulasi - Analisis deskriptif kualitatif - Kerja sama antar daerah dibentuk sebagai upaya pemenuhan volume permintaan yang dikehendaki pasar - Kerja sama antar daerah dibentuk sebagai upaya penciptaan aglomerasi ekonomi melalui pemusatan kegiatan ekonomi di daerah tertentu untuk menghasilkan keuntungan bersana, memperpendek rantai perdagangan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan penciptaan efisiensi perdagangan. 9

10 Judul Jenis Tujuan Metode Analisis Hasil gap/kesenjangan yang dialami saat proses berlangsungnya Kerja Sama Regional Barlingmascakeb - Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan model Kerja Sama Regional Barlingmascakeb. 10

11 Landasan Teori Konsep Dinamika Menurut Jessop (2013), dinamika didefinisikan sebagai sebuah eksplorasi spasio-temporal dari sebuah proses regionalisasi, dalam hal ini termasuk kerja sama regional, baik logika teritorial maupun ruang gerak. Penelitian terkait dinamika dimaksudkan dapat memberikan sebuah analisis kritis terhadap bagaimana globalisasi terbentuk dari sebuah interaksi di antara logika territorial dan ruang gerak. Terdapat 3 langkah yang dilakukan dalam penelitian terkait dinamika, antara lain 1) kritik terhadap globalisasi, 2) pengenalan tentang perbedaan di antara logika teritorialisasi dan logika ruang gerak, dan 3) mempertimbangkan kealamian regionalisasi yang terjadi akibat dua langkah sebelumnya. Menurut Ilchenko (2014), dinamika dianggap penting untuk menganalisis praktik institusional yang telah ditetapkan, dalam hal ini dapat dikaitkan dengan kebijakan. Eksplorasi perubahan dan modifikasi praktik institusional dapat dilakukan untuk menemukan bagaimana model baru dari hubungan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, dalam hal kerja sama regional hubungan bersifat regional, yakni antar anggota kerja sama. Praktik institusional dapat dikatakan berfungsi dengan baik apabila dapat dilakukan eksplorasi terhadap dua parameter, yakni level dan intensitas institusional dan korelasi antara tipe perbedaan praktek institusi. Perspektif dinamika penting untuk analisis kebijakan publik karena sebuah proses kebijakan merupakan sistem yang kompleks dan model dinamis yang sulit dibentuk dibandingkan kebijakan yang statis (Kay, 2006). Kesulitan yang muncul dikarenakan dalam proses pembentukan sebuah kebijakan publik mencakup banyak proses dengan kecepatan yang berbeda-beda namun berjalan dalam satu waktu. Dinamika kebijakan publik dapat diidentifikasi dari beberapa parameter, antara lain perbedaan skala waktu, perbedaan skala keruangan, dan level keputusan. Sebuah kebijakan biasanya mencakup banyak keputusan yang saling berhubungan banyak pengambil keputusan yang berada pada level yang berbedabeda dan berkaitan dengan berbagai institusi. Kebijakan yang dibuat pada masa 11

12 ini tentunya berkaitan dengan kebijakan di masa lampu sehingga dapat diidentifikasi dinamikanya. Dalam hal ini, kerja sama regional dipandang sebagai sebuah kebijakan yang diambil bersama oleh beberapa kabupaten sekitar Karesidenan Banyumas yang memiliki dinamika proses dari awal pembentukan hingga pembubarannya. Pendekatan temporal berguna dalam mengidentifikasi dinamika karena dapat diteliti melalui sejarahnya bagaimana fase-fase, perubahan, serta modifikasi yang dilalui Kerja Sama Regional Barlingmascakeb. Dinamika diartikan sebagai perubahan proses dari waktu ke waktu, dalam hal ini terkait kapan keberhasilan Kerja Sama Regional Barlingmascakeb dicapai sehingga dikatakan sebagai sebuah model kerja sama yang berhasil dan kapan kerja sama tersebut mulai meredup sehingga berdampak pada pembubaran Konsep Otonomi Daerah Setelah penggulingan Presiden Soeharto pada tahun 1998, sistem pemerintahan Indonesia tidak lagi berganti, yakni tetap menggunakan sistem demokrasi pancasila. Hal yang membedakan terletak pada konsep penyelenggaraan negara. Kepemimpinan Presiden Soeharto meski konsepnya menggunakan sistem demokrasi pancasila, namun pada proses penyelenggaraan negara hal tersebut hanya sebatas formalitas dan tidak dilaksanakan sepenuhnya. Era reformasi yang dipimpin oleh Presiden B. J. Habibie mengawali keterbukaan dan penjaminan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Era reformasi juga membuahkan beberapa hal penting, diantaranya adalah konsep penyelenggaraan negara dengan menggunakan asas desentralisasi. Asas desentralisasi membuahkan hasil pemberian hak dan kewenangan pada daerah untuk mengatur urusannya sendiri yang biasa disebut Otonomi Daerah. Hak dan kewenangan pemerintah daerah melalui otonomi daerah tercantum pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2. 2 Telah diamandemen menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 12

13 Definisi lengkap mengenai Otonomi Daerah tercantum pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (5) yang berbunyi: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Asas yang digunakan dalam sistem pemerintahan ini adalah menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi, di mana definisi desentralisasi terdapat pada Pasal 1 Ayat (7) yang berbunyi: desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan dasar hukum tersebut, masing-masing daerah diwajibkan mempunyai kemampuan daya saing wilayah karena pengembangan dan pembangunan wilayah merupakan kewenangan daerah otonom. Pada tahap ini, sebagian kabupaten yang mampu berdaya saing akan dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan daerahnya, namun kabupaten yang kurang berdaya saing akan tenggelam dan kurang memenuhi kebutuhan daerahnya. Fenomena ini kemudian memancing daerah-daerah untuk menggeser paradigma kompetisi untuk bekerja sama dan saling tergantung dengan daerah lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pada era globalisasi, batas-batas daerah yang semakin kabur memancing pembangunan wilayah bergerak ke arah region daripada sekadar daerah (Puteri, 2012). Menurut Baiquni (2004), otonomi daerah merupakan sebuah gagasan besar yang sesuai dengan keragaman ekosistem wilayah dan sosio-ekonomi masyarakat di Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan.. Oleh karena kondisi geografi yang unik ini, maka model dan pendekatan pembangunan secara otonomi daerah dapat menampung kemajemukan dan memfasilitasi penguatan sinergi 13

14 masyarakat dan pemerintah daerah dalam menentukan arah pembangunan. Otonomi daerah dapat dilakukan melalui dua sistem, yakni otonomi daerah yang dibatasi oleh wilayah administrasi (territory) dan ekosistem alami yang merupakan wilayah fungsi (functional) Kerja Sama Regional Kerja sama antar daerah mulai berkembang di Indonesia berawal dari konsep regional management dan regional marketing. Kerja sama antar daerah didefinisikan sebagai platform hubungan kerja yang dilakukan oleh minimal 2 daerah administratif tanpa struktur hirarki kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pamudji, 1985 dalam Tim Peneliti KPPOD, 2013). Munculnya kerjasama antar daerah dilandasi oleh konsep regionalisasi. Konsep regionalisasi mulai berkembang di Indonesia sebagai akibat dari adanya kebijakan otonomi daerah. Konsep ini muncul sebagai fenomena pembangunan nasional yang berpotensi sebagai alternatif sistem perencanaan pembangunan nasional. Konsep ini dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. (Abdurahman, 2005) Menurut Yunus (1977), regionalisasi atau pewilayahan merupakan usaha yang dilakukan oleh perencana untuk membagi permukaan bumi menjadi bagian yang lebih kecil dengan tujuan dan kriteria tertentu. Seorang perencana perlu mengerti konsep pewilayahan karena melalui pewilayahan dapat diketahui variasi karakter wilayah satu dengan wilayah lainnya. Pewilayahan dapat dibedakan menjadi 2, yakni 1) penyamarataan wilayah (regional generalization) dan 2) klasifikasi wilayah (regional classification). Prinsip penyamarataan wilayah adalah menghilangkan faktor kurang penting dan menonjolkan faktor penting, seperti contohnya penghilangan simbol jalan desa pada peta administrasi provinsi. Prinsip klasifikasi wilayah adalah mencari diferensiasi antarwilayah, seperti contohnya penggolongan wilayah berdasarkan kesamaan budaya yang dapat menghasilkan sebuah kerja sama antardaerah seperti kerja sama regional Barlingmascakeb. 14

15 Konsep klasifikasi wilayah cocok diterapkan untuk merencanakan sebuah kerja sama antar daerah. Suatu daerah akan menjalin kerja sama dengan daerah lain demi memenuhi kebutuhannya. Melalui konsep ini, suatu daerah akan mencari daerah lain yang memiliki karakteristik yang mirip untuk diajak bekerja sama, seperti yang dilakukan oleh region Barlingmascakeb. Peran kota sebagai pusat pertumbuhan beralih menjadi wilayah koordinasi kerja sama untuk daerah peri-urban ataupun pedesaan. Model region terdiri dari aspek efisiensi dan pemberdayaan lokal serta kesinergitasan kabupaten/kota anggota (Abdurahman, 2005). Menurut Baiquni (2004), kerja sama antar daerah muncul akibat adanya arus urbanisasi. Meski bukan dmpak langsung, namun kerja sama antar daerah diperlukan demi mengimbangi semakin tingginya tren urbanisasi, khususnya di Indonesia. Dengan tingginya arus urbanisasi di Indonesia, kota mengalami aglomerasi yang tidak bisa dibatasi dengan garis batas wilayah administrasi sehingga aglomerasi meluber (spill over) hingga ke pinggiran kota ataupun kota kecil di sebelahnya. Konsep kerja sama antar daerah muncul agar pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat akibat urbanisasi dan aglomerasi dapat teratasi. Kecenderungan ini sering disebut dengan segitiga pertumbuhan. Kerja sama antar daerah penting dilakukan (Pratikno et al., 2004 dalam Tim Peneliti KPPOD, 2013) untuk mencapai manfaat antara lain: a) forum komunikasi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik antar daerah, b) efisiensi dan standarisasi pelayanan melalui aksi bersama, c) pengembangan ekonomi dan peningkatan daya saing region, d) penanganan permasalahan lingkungan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, terdapat 11 prinsip kerja sama antar daerah yang menjadi dasar pelaksanaan kerja sama antar daerah, yakni mencakup efisiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikan baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, persamaan kedudukan, transparansi keadilan, dan kepastian hukum. 15

16 Terdapat 3 model kelembagaan kerja sama antar daerah di Indonesia (Tim Peneliti KPPOD, 2013), di antaranya: a) Badan Kerja Sama Antar Daerah (BKAD/BKSAD) Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Antar Daerah, kerja sama daerah dapan dilakukan untuk membantu penyelenggaraan pembangunan dengan membentuk Badan Kerja Sama Antar Daerah (BKAD). Badan kerja sama ini tidak termasuk dalam perangkat daerah, namun pengelolaannya berasal dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah masing-masing daerah anggota. Sumber pendanaan berasal dari APBD daerah anggota dan swasta serta keuntungan dari hasil proyek Fokus kerja samanya adalah pada penyediaan pelayanan publik (Tim Peneliti KPPOD, 2013). Contoh lembaga kerja sama ini adalah Badan Kerja Sama Pemerintah Sewilayah (BKPS) Jabodetabekjur. b) Sekretariat Bersama Sekretariat Bersama (Sekber) merupakan kerja sama antara pemerintah daerah dengan pihak professional dengan kegiatan utama berupapenyediaan sarana dan prasarana serta pengembangan pariwisata. Pihak professional bertugas sebagai koordinator antar daerah anggota. Contohnya adalah Sekretariat Bersama Kartamantul. c) Regional Management Regional Management merupakan model kelembagaan yang melibatkan kepala daerah dari masing-masing daerah anggota, Bappeda, serta dinas-dinas serta tenaga ahli untuk pelaksana harian. Fokus kerja sama ditujukan untuk regional marketing melalui sinergitas program dengan optimalisasi potensi. Contohnya adalah RM Barlingmascakeb. 16

17 Regional Management Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) Kerja Sama Regional Barlingmascakeb, berwujud Regional Management, merupakan kerja sama antar daerah yang diinisiasi oleh lima kabupaten yang terletak di barat daya Provinsi Jawa Tengah, antara lain Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Kebumen. Kerja Sama Regional Barlingmascakeb merupakan salah satu bentuk regionalisasi-desentralistik di mana pembentukannya bukan didasarkan pada perintah dari pusat namun karena keinginan bersama dan didorong oleh pihak akademisi. Kerja sama ini termasuk dalam model regionalisasi-desentralistik. Konsep regionalisasi-desentralistik diinisiasi secara pibadi oleh beberapa pemerintah daerah untuk menjalin kerja sama wilayah. Sifat regionalisasidesentralistik yang non-struktural membuat hasil regionalisasi tidak memiliki tingkatan. Artinya, tidak ada satu daerah yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding lainnya namun semua daerah berkedudukan setara dalam konteks jejaring. Konsep regionalisasi-desentralistik merupakan salah satu tren baru untuk membangun kerja sama wilayah dalam hal pemasaran wilayah pada era reformasi. Salah satu contoh penerapan regionalisasi-desentralistik di Indonesia adalah kerja sama wilayah Barlingmascakeb yang diinisiasi oleh Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Kebumen. Kerja Sama Regional Barlingmascakeb diinisiasi oleh Bupati Purbalingga yang merasakan kesulitan pada sektor investasi sehingga dibentuklah kerja sama ini melalui penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) masingmasing kabupaten, yakni Bupati Banjarnegara (Nomor 130 A Tahun 2003), Bupati Purbalingga (Nomor 4 Tahun 2003), Bupati Banyumas (Nomor 36 Tahun 2003), Bupati Cilacap (Nomor 48 Tahun 2003), dan Bupati Kebumen (Nomor 16 Tahun 2003). Bentuk kerja sama ini muncul akibat adanya kebijakan otonomi 17

18 daerah, sesuai dengan mandat UU Nomor 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah memberikan kuasa kepada daerah otonom berhak untuk mengembangkan wilayah sesuai karakteristiknya. Kerja sama ini didasari oleh hal yang unik sebagai faktor perekat, yakni kesamaan budaya terutama budaya banyumasan yang kondusif untuk menciptakan sebuah ikatan kerja sama. Selain itu, kerja sama ini dilatarbelakangi oleh kondisi geografis dan keragaman potensi sumber daya (Abdurahman, 2005). Kelima daerah ini memiliki keterkaitan wilayah hulu dan hilir yang sangat kuat karena dari kelima daerah terdiri dari berbagai bentanglahan, dari gunung, dataran tinggi, perbukitan, dataran rendah, hingga pantai pesisir selatan Jawa. Kondisi ini mendorong terjadinya kerja sama dalam pembangunan terkait Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan konservasi. Berdasarkan dokumen Presentasi Visi dan Misi Program Kerja yang dipresentasikan oleh Calon Regional Manager Barlingmascakeb, H. Restarto Efiawan, S.E., MM., ruang lingkup kerja sama ini dibatasi dalam pelaksanaan pembangunan dengan melakukan sinergi dan integrasi pelaksanaan pembangunan terutama di wilayah perbatasan demi menghindari perbenturan kepentingan. Kerja sama ini juga bermaksud untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pembangunan serta memperoleh kemanfaatan yang sebesarbesarnya. Koordinasi dan kerja sama juga dilakukan dalam pengelolaan, pemanfaatan, promosi, dan pemasaran potensi sumberdaya dan produk-produk lokal untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing pasar regional, nasional, dan internasional. Kerja sama ini juga dilakukan dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produkproduk daerah. Menurut Sutrisno (2012), region Barlingmascakeb merupakan salah satu kawasan strategis Jawa Tengah yang rata-rata laju pertumbuhan ekonominya terbesar kedua, yakni mencapai 5,14%. Meskipun sektor unggulan tiap-tiap daerah berbeda, namun sektor pertanian menjadi sektor yang potensial masingmasing kabupaten (Gunawan, 2008). Meskipun begitu, arah kerja sama ini 3 Telah diamandemen menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 18

19 bergerak pada 3 kegiatan utama, yakni investasi, perdagangan, dan pariwisata (Puteri, 2012). Dalam waktu yang relatif singkat dari berdiri hingga tahun 2004, kerja sama ini telah menghasilkan beberapa kegiatan seperti action oriented melalui fasilitasi sektor publik dan privat, membangun jaringan dan komunikasi melalui seminar, workshop, dan promosi (Abdurahman, 2005) Kerangka Penelitian Kerangka penelitian memuat alur pemikiran berdasarkan latar belakang penelitian, tujuan, data, variabel, dan garis besar penelitian. Adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memancing adanya inisiasi daerah untuk membentuk kerja sama daerah. Salah satu kerja sama yang sangat berhasil pada awal era otonomi daerah adalah Kerja Sama Regional Barlingmascakeb. Akan tetapi, keberhasilan kerja sama tersebut semakin lama semakin surut sehingga pada masa ini, kerja sama tersebut vakum. Kerja sama regional bersifat dinamis sehingga dapat diketahui fase-fase berjalannya kerja sama, di mana ada fase peningkatan dan fase penurunan kerja sama. Selain itu, kegagalan kerja sama ini dapat disebabkan oleh adanya gap/kesenjangan kondisi ideal kerja sama dibandingkan dengan kondisi riilnya. Sebagai sebuah pioneer model pengembangan kerja sama antar daerah pada awalnya namun ternyata menemui kegagalan, maka kelebihan dan kekurangan dari kerja sama ini akan dapat menjadi pelajaran bagi pengembangan kerja sama lainnya sehingga dapat ditemukan model pengembangan yang lebih baik lagi. Kerangka pemikiran tertuang pada Gambar

20 Kebijakan terkait Pemerintahan Daerah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebelum amandemen) Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banyumas Kabupaten Cilacap Kabupaten Kebumen Kerjasama Regional BARLINGMASCAKEB Awal terbentuk Dibubarkan Fase Perkembangan Gap/Kesenjangan Kelebihan dan Kekurangan Model Kerja Sama - Fase Peningkatan - Fase Penurunan - Fokus Outward - Keinginan bersama - Refleksi - Kesadaran - Kapasitas - Komunikatif Efektif - Kecepatan - Transparansi - Pembagian tugas dan wewenang - Peranan Pemerintah Pusat - Peranan Inisiator - Dukungan Pemerintah Daerah Gambar 1.1. Diagram Kerangka Penelitian - Tujuan - Insentif - Pertanggungjawaban - Kekuatan - Budaya - Peran Pemerintah - Konsep Ketertarikan masyarakat 20

21 Pertanyaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. bagaimanakah fase perkembangan (fase peningkatan dan fase penurunan) yang terjadi selama Kerja Sama Regional Barlingmascakeb berlangsung? 2. apa saja gap/kesenjangan yang dialami atau dirasakan saat proses berlangsungnya Kerja Sama Regional Barlingmascakeb? 3. apa saja kelebihan dan kekurangan model Kerja Sama Regional Barlingmascakeb? 21

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemerintah Daerah Pemerintahan daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, merupakan penyelenggara pemerintah daerah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR TENTANG INOVASI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR TENTANG INOVASI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH Draft 4 GUBERNUR JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR TENTANG INOVASI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional terdiri atas perencanaan pembangunan

Lebih terperinci

OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7

OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7 OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7 A. Ancaman Disintegrasi 1. Ancaman bermula dari kesenjangan antar daerah Adanya arus globalisasi, batas-batas negara kian tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.244, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Otonomi. Pemilihan. Kepala Daerah. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2011 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konteks pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. Tujuan dari dibagi-baginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi tersebut yaitu dengan diselenggarakannya otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi tersebut yaitu dengan diselenggarakannya otonomi daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setelah adanya era reformasi, arus besar untuk mengelola daerah masingmasing semakin kuat. Untuk menyeimbangkan permintaan tersebut dalam hal pengelolaan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa kerjasama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 2009 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5004)

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan reformasi sektor publik yang begitu dinamis saat ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan masyarakat yang melihat secara kritis buruknya kinerja

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

WALI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KERJA SAMA DAERAH

WALI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KERJA SAMA DAERAH SALINAN WALI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BANDUNG, Menimbang

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN

Lebih terperinci

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011 DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

Panduan diskusi kelompok

Panduan diskusi kelompok Panduan diskusi kelompok Mahasiswa duduk perkelompok (5 orang perkelompok) Mahasiswa mengambil dan membaca (DUA KASUS) yang akan di angkat sebagai bahan diskusi. Mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis

Lebih terperinci

KEBUTUHAN HIDUP LAYAK PNS DI KABUPATEN KEBUMEN

KEBUTUHAN HIDUP LAYAK PNS DI KABUPATEN KEBUMEN KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) RISET UNGGULAN DAERAH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2015 KEBUTUHAN HIDUP LAYAK PNS DI KABUPATEN KEBUMEN Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan, dan mencapai puncaknya PADa era

BAB I PENDAHULUAN. lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan, dan mencapai puncaknya PADa era BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pelaksanaan konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan, dan mencapai puncaknya PADa era reformasi dengan dikeluarkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mandiri dalam mengurusi daerahnya sendiri. Pemerintah pusat memberikan

BAB I PENDAHULUAN. mandiri dalam mengurusi daerahnya sendiri. Pemerintah pusat memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem desentralisasi menyebabkan munculnya daerah-daerah otonom yang mandiri dalam mengurusi daerahnya sendiri. Pemerintah pusat memberikan wewenang kepada daerah

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 90 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 90 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 90 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS POKOK, URAIAN TUGAS JABATAN DAN TATA KERJA UNIT SENTRA BUDAYA BANYUMAS PADA DINAS KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa yang telah ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG Sri Endang Kornita Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Sinergi dalam kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG POLA HUBUNGAN KERJA TERPADU ANTARA STAF AHLI BUPATI DENGAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR TAHUN 2013 TANGGAL BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan adalah sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Republik Indonesia sudah

BAB I PENDAHULUAN. Konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Republik Indonesia sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Republik Indonesia sudah berlangsung lama bahkan sebelum tahun 1945. Era reformasi menjadi titik puncak dari konsep desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BUPATI TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG,

BUPATI TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG, BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN KABUPATEN TEMANGGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PEMUDA, OLAH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 69 TAHUN 2007 TENTANG KERJA SAMA PEMBANGUNAN PERKOTAAN DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 69 TAHUN 2007 TENTANG KERJA SAMA PEMBANGUNAN PERKOTAAN DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 69 TAHUN 2007 TENTANG KERJA SAMA PEMBANGUNAN PERKOTAAN DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan kawasan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

BAB. I PENDAHULUAN. perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut : BAB. I PENDAHULUAN Penelitian ini akan menjelaskan implementasi penganggaran berbasis kinerja pada organisasi sektor publik melalui latar belakang dan berusaha mempelajarinya melalui perumusan masalah,

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2017-2027 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG PERAN PERENCANAAN TATA RUANG DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDRA BUDIMAN SYAMWIL 1 Spatial Planning Specialist November, 2003 Tata Ruang di Indonesia merupakan produk Sistem Tata Ruang Nasional yang

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran rencana pembangunan nasional adalah pembangunan disegala bidang dan mencakup seluruh sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR

PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR Oleh : DANA ERVANO L2D 005 354 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB VI PENYELENGGARAAN TUGAS UMUM PEMERINTAHAN. Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 bahwa

BAB VI PENYELENGGARAAN TUGAS UMUM PEMERINTAHAN. Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 bahwa BAB VI PENYELENGGARAAN TUGAS UMUM PEMERINTAHAN Penyelenggaraan tugas umum Pemerintahan telah diuraikan pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 bahwa penyelenggaraan tugas umum Pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF KABUPATEN BELITUNG DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PEMUDA, OLAH RAGA, KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN DAN PENETAPAN CAPAIAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi daerah menjadi wacana dan bahan kajian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sejak berlakunya otonomi daerah, kabupaten/kota memiliki kewenangan yang besar, kemudian disertai dengan transfer kepegawaian, pendanaan dan aset yang besar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan.seluruh pihak termasuk pemerintah sendiri mencoba mengatasi hal ini dengan melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penganggaran merupakan suatu proses pada organisasi sector publik, termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait dalam penentuan

Lebih terperinci

RANCANGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

RANCANGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RANCANGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, STRUKTUR ORGANISASI, DAN TATA KERJA DINAS PASAR,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2018 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2018 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2018 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228 dan

Lebih terperinci

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 6 2009 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 6 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar sejalan runtuhnya rezim Orde

I. PENDAHULUAN. Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar sejalan runtuhnya rezim Orde I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar sejalan runtuhnya rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada tahun 1998 lalu. Proses reformasi muncul sebagai bentuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi

BAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Birokrasi merupakan instrumen untuk bekerjanya suatu administrasi, dimana birokrasi bekerja berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewenangan, impersonalitas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 17

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 17 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 17 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci