Romantika Merah Biru Desi Mandasari

Ukuran: px

Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Romantika Merah Biru Desi Mandasari"

Suryadi Hermanto
6 tahun lalu
Tontonan:

1 Romantika Merah Biru Desi Mandasari

2 Romantika Merah Biru Desi Mandasari Editor: Desi Mandasari Desain Sampul: Argo Wibowo Penata Letak: Harninda Syahfitri Proofreader: Narendra Pawaka, Julia Nadya, Rahmawati Cetakan pertama, Juni 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang orlandoandme.blogspot.com Nulis Buku 2

3 "Pecah menjadi beribu sari pati mimpi yang menggalaukan hati!" (Penyiar Galau Mustang 88) "A very descriptive & enjoyable novel! Bisa menghidupkan dari semua segi karakter, sesuatu yang bisa bikin pembaca anteng sampe abis!" (Blogger, Model) "Rasa pedih dan bahagia dibalut jadi satu di dalam buku ini. Daebak!" (Pendidik) 3

4 Daftar Isi Daftar Isi 5 Tentang Penulis 7 Pengantar 8 Terima Kasih 9 Bagian Satu 11 Aaaaaaaaaa 13 Pulang 15 Kopi, Lensa Bulat 17 Bagian Dua 21 Kita, Sesederhana Ini 23 Sore dalam Dunia Kami 25 Berkata 28 Bagian Tiga 31 Lelaki dalam Ceritaku (yang Lain) 33 Langit yang Berubah 36 Sebagian yang Hilang 40 Bagian Empat 43 Satu Lelaki terhadap Lelaki Lain 45 Sebuah Hadiah? 49 Akankah Kamu? 52 Bagian Lima 55 The Preparation 57 Bagian Awal dari yang Baru 60 Layaknya Membaca Buku dan Berpindah ke Bab Baru 63 4

5 Bagian Enam 67 Wangi Apel, Perapian, dan Musim Semi 69 Menemui Kisah Lama 73 Kedatangan 78 Bagian Tujuh 81 I Am Here, See! 83 Musim Awal 85 Ia dan Sebuah Kebetulan 88 Bagian Delapan 91 Keadaan Semula 93 Ujung Pastry Terakhir 95 Rasa Baru 98 Bagian Sembilan 101 Memulai, Kemudian Malanjutkan 103 Festival 106 Middlesbrough 109 Bagian Sepuluh 113 Lebih dari Sekadar Kata 115 Metro 117 Lebih Indah 120 5

6 6 Bagian Satu

7 Aaaaaaaaaa Kamu ingin ke mana? lirikku dengan cepat ke arahmu yang berdiri sepersekian detik lalu. Maaf, aku sedang berjanji dengan seseorang. Ia menungguku sejak 15 menit lalu. Aku harus jalan sekarang. Maaf, Naya. Lalu, kamu meninggalkan aku yang sejak tadi terduduk di sisi kananmu di bawah pohon Oak tua ini. Tangan kiriku masih menggenggam secarik kertas yang diisi hanya satu paragraf tulisan yang bahkan belum selesai. Belum selesai karena inspirasinya baru saja lepas dari titik imajinasi dalam otakku. Pergi dari tempat duduknya, entah menemui siapa, yang jelas ia tampak penting. Aku memandang punggungmu yang perlahan mengecil oleh jarak pandang. Angin bertiup cukup kencang menyibak rambut ikalku membawanya ke depan mataku yang tertutup lensa minus 0,75. Masih nanar pandanganku ketika dari depan muncul sosok tegap bersepeda menghampiriku. Di punggungnya tersandang sebuah tas besar yang menyembulkan sebentuk alat musik kesukaannya, terompet. Lelaki ini meletakkan sepedanya dengan asal dan berdiri 5 cm saja di depanku. Ia memandang tajam aku yang bergegas berdiri. Hai, Eda. Kamu.... Ya, aku tahu, aku selalu tahu ke mana kamu akan pergi dengan kertas-kertasmu ini. Sekarang ikut aku. Seperti tahu akan isi otakku Eda berkata cepat. Aku lalu mengikutinya, berdiri di atas sepedanya, dan kami berlalu cepat dari pohon Oak tua pemberi imajinasi itu. Aku merengkuh bahunya yang 7

8 menyandang tas berisi terompet kesayangannya, dan tersenyum. Ke mana Naya? gumam Riri ketika langkah kakinya kembali menapaki bayangan pohon Oak. Wajahnya bingung sambil memainkan gagang kacamata bundarnya, sedangkan tangan yang lain menggenggam sebuah gitar. Mungkin lebih baik aku menunggu hingga sore sambil memainkan lagu yang ingin kutunjukkan padanya nanti. Mungkin sore ia akan kembali ke sini. Lagi pula gitar ini sudah susah-susah diperbaiki oleh Ayah. Riri terhadap Naya, terhadap pohon Oak tua, tehadap lirik dan kata-kata. 8

9 Pulang Tepat di bawah jendela kamarku di lantai dua, ia berdiri sambil mendongakkan kepalanya. Kedua tangannya terkepal di dalam saku celananya. Tampak ketidaksabaran tergambar di wajahnya. Aku harus segera turun sebelum ia terus-menerus meninggalkan missed called di layar ponselku. Aku berteriak meminta agar ia bersabar. Segera kutengok layar laptop yang sedari pagi menampilkan tulisan-tulisan acak yang layaknya ingin kujadikan sebuah buku. Berbagai tulisan tentang Riri. Ya, Riri selalu menjadi inspirasiku. Kututup layar laptop, mengenakan flat shoes merahku, meraih sweater oversize, dan segera turun. Sisa gerimis pagi masih tampak di ujung-ujung dedaunan halaman rumahku. Di salah satu sudut ia berdiri, masih dengan wajah tak sabar, selalu menarik walau sering kali memunculkan raut khawatir. "Lama, dan kemungkinan telat, Naya!" "Maaf, aku harus menyelesaikan beberapa paragraf lagi." "Cerpen? Tentangnya lagi? Baiklah." "Kamu yakin sudah sehat?" Lalu, ia meraba keningku. "Ya, sudah lebih baik sejak pagi." "Dan kamu yakin akan pulang ke Malang hari ini?" Tangannya belum juga lepas dari sana, bahkan raut khawatirnya masih jelas. "Ya!" "Baiklah keras kepala, ayo aku antar ke stasiun." Kemudian ia membawakan ranselku dan merapatkan sweater-ku dengan segera. 9

10 "Ke mana sepedamu?" "Kamu pikir aku akan membiarkan kamu sakit lagi gara-gara harus kena angin kencang seperti ini?!" Aku membuntutinya ke arah family car yang entah ia pinjam dari siapa. "Nona yang rindu akan kampung halamannya, Anda siap jalan sekarang?" Aku hanya membalasnya dengan senyum di ujung bibirku, sambil melihat ke arah gerimis yang mulai turun lagi, terurai jatuh satu-satu dari angkasa yang abu-abu. "Semoga kamu tidak lupa membawa kertaskertas dan laptopmu, Nona." Segera aku memeriksa tas yang ada di atas pangkuanku, sekadar memastikan. "Bukankah imajinasimu tidak pernah terlelap. Tidak peduli sumber inspirasimu sekarang entah ada di mana, bersama musiknya itu?" Sekilas sisa gerimis membiaskan aura Riri ke dalam kepalaku. Rambutnya yang berantakan, kacamatanya, ujung jarinya yang menyentuh dawai, juga sikap spontannya yang berbeda dari lelaki di sebelahku ini. "Hati-hati. Jangan pernah berhenti mengabariku. Segera kembali bila merasa sudah cukup di rumah." Sesampainya di tujuan ia berkata dan mengulaskan senyum yang tidak pernah membuatku tidak terpesona. Aku bergegas mencari gerbong dan bangkuku. Tak lama kereta berjalan, aku masih sempat melihat tangannya terangkat untukku. "Bye!" itulah yang aku baca dari mulutnya. "Thanks a lot, Eda. See you two weeks again." 10

dokumen-dokumen yang mirip

Ah sial aku selingkuh!

Ah sial aku selingkuh! PROLOG Dua tahun sudah perjalanan kisah kita, melangkahkan kaki kita menapaki setiap mimpi yang kita rajut demi masa depan bersama. Setiap detik yang kita lalui selalu tampak semakin nyata, menggapai apa