BAB IV KESIMPULAN. Sampan Zulaiha merupakan manifestasi dari hasrat dan kekurangan yang ada

Transkripsi

1 BAB IV KESIMPULAN Secara psikoanalisis Lacanian dapat dikatakan bahwa kumpulan cerpen Sampan Zulaiha merupakan manifestasi dari hasrat dan kekurangan yang ada pada diri Hasan Al Banna sebagai pengarang. Hasrat tersebut adalah sesuatu yang muncul dari kekurangan (lackness) diri dan keinginan untuk mendapatkan keutuhan. Menemukan hasrat Hasan di dalam buku kumpulan cerpennya dilakukan dengan menggunakan metode psikonalisis Lacanian melalui mekanisme metafora dan metonimia. Dengan menggunakan metode psikoanalisis ini maka penelitian ini menyimpulkan bahwa di antara banyaknya hasrat Hasan yang tersebar dan tersembunyi di dalam kumpulan cerpennya, ditemukan sebuah kesamaan yang menjadi garis lurus yang menjadi acuan dalam menentukan hasrat Hasan yang dominan. Lewat penganalisisan penanda-penanda utama yang tersebar di dalam kumpulan cerpen Sampan Zulaiha diketahui bahwa hasrat Hasan yang dominan adalah dengan menjadi anak laki-laki kesayangan doli hasian, menjadi masyarakat suku asli Sumatera Utara dan menjadi seorang pandai fiksi. Selain itu penanda-penanda utama dalam cerpen berfungsi sebagai pembawa identitas Sumatera Utara bagi Hasan Al Banna. Dengan mengusung tema Sumatera Utara ini Hasan seolah mendapatkan keutuhan diri sebagai pengarang Sumatera Utara. Hasrat Hasan untuk menjadi anak laki-laki kesayangan merupakan hasil identifikasi dirinya terhadap kakak laki-lakinya. Kakak laki-laki Hasan sebagai 154

2 pembawa identitas pemberani, kuat, gagah, pintar, dan sebagainya membuat dirinya menjadi anak laki-laki yang disayangi dan dibanggakan. Identitas anak laki-laki kesayangan yang membawa penanda-penanda tersebut bukan semata-mata diinginkan sebagai objek hasrat bagi Hasan, tetapi karena orang tua Hasan menghasrati objek tersebut. Identitas tersebut menjadi sebab kekurangan bagi Hasan, namun keterbatasannya membuat dirinya tidak mampu mencapai keutuhan diri. Oleh sebab itu Hasan berupaya menciptakan ego ideal baru bagi dirinya dengan bergerak di bidang kebahasaan sesuai dengan kemampuannya, yakni sebagai seorang sastrawan atau penulis. Dengan menjadi penulis dianggap mampu memberikan keutuhan baru bagi dirinya yang sangat lemah dalam bidang eksakta dan keuangan, yang membuatnya tidak mampu memenuhi keinginan orang tuanya untuk berprofesi pada bidang itu seperti keempat kakaknya. Pada akhirnya identitas anak laki-laki kesayangan atau doli hasian hanya merupakan sebuah fantasi bagi Hasan. Hasrat Hasan sebagai seorang masyarakat asli Sumatera Utara merupakan identifikasi Hasan terhadap masyarakat di lingkungannya yang merupakan masyarakat asli Sumatera Utara. Hasan menghasrati identitas kultural masyarakat asli Sumatera Utara bukan semata-mata karena keinginannya saja, tetapi karena masyarakat (Liyan) yang menghasrati identitas kultural tersebut. Keadaan ini terjadi karena Hasan merupakan keturunan asli suku Minangkabau, namun sejak lahir ia telah hidup di lingkungan Batak di Sumatera Utara. Hasan merasa memiliki jati diri sebagai masyarakat Sumatera Utara, namun masyarakat tetap menganggap Hasan sebagai kaum pendatang. Penanda identitas suku asli 155

3 Sumatera Utara tersebut menjadi sumber kekurangan bagi diri Hasan. Dengan memiliki penanda-penanda identitas Sumatera Utara akan membuat dirinya diakui, diterima dan dicintai oleh Liyan, sehingga memberikan sebuah keutuhan baginya. Hasrat tersebut mendorong Hasan untuk berupaya mengetahui, mempelajari dan menjalankan adat istiadat dan kebudayaan sesuai dengan lingkungan masyarakatnya demi mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari masyarakat Simbolik. Hasrat Hasan akan identitas Sumatera Utara ia manifestasikan lewat karya-karyanya yang memuat kebudayaan yang ada di Sumatera Utara. Dengan memiliki identitas penulis Sumatera Utara, Hasan bertujuan memberikan pembuktian tentang jati dirinya sebagai masyarakat Sumatera Utara. Hasrat tersebut semata-mata untuk mendapatkan pengakuan dan cinta dari Liyan Simbolik. Namun semakin Hasan berupaya memasukkan unsur kebudayaan Sumatera Utara yang multikultural dalam cerpennya, justru semakin menjelaskan keterbelahan dan kekurangannya. Hasan berusaha melakukan perlawanan kepada masyarakat adat sebagai Liyan Simbolik yang memiliki otoritas Simbolik (phallus). Salah satu bentuk usaha itu adalah gambaran keruntuhan Liyan Simbolik lewat penentangan adat istiadat, keinginan kawin lari (marlojong), dan kematian Ayah. Karena hal tersebut merupakan wujud penentangan dan resistensi terhadap Simbolisasi. Dengan kawin lari, kematian Ayah dan penentangan adat istiadat Hasan mendapatkan kepuasan dan kesenangan (jouissance). Ketiga hal tersebut merupakan metafora akan kastrasi dari Ayah Simbolik yang menyebabkan diri 156

4 berkekurangan. Pada kenyataannya Hasan menikah dengan gadis Batak sebagai salah satu bentuk penyerahan dirinya kepada otoritas Simbolik. Hasrat Hasan sebagai pandai fiksi adalah hasil identifikasi dirinya terhadap sosok ayah yang merupakan seorang pandai besi. Hal ini mendorong hasratnya untuk menjadi seorang yang kreatif, pekerja keras,. bertanggung jawab dan setia. Hasrat awal Hasan untuk mencintai dunia sastra pada mulanya merupakan hasil identifikasi dirinya dari dosen dan seniornya di LKK teater. Kemudian hasratnya sebagai sastrawan dan penulis fiksi muncul karena kegemarannya dalam membaca karya-karya sastra. Dari kegiatan tersebut kemudian menciptakan citraan ego ideal Hasan sebagai sastrawan. Identitas sastrawan dan penulis tidak mampu memenuhi keutuhan Hasan, sekaligus menjelaskan kekurangannya karena ketidaksanggupannya dalam mencapai ego idealnya. Maka Hasan mengakuisisi pandai fiksi sebagai identitas diri yang dianggap akan mampu memenuhi keutuhan dirinya. Upaya-upaya Hasan dalam penyerahan diri kepada otoritas Simbolik bagaimanapun tidak membawa kepuasan pada dirinya. Hasan selalu merasa kurang dan merasa ada yang hilang di dalam dirinya. Kekurangan ini terusmenerus menciptakan kegelisahan dalam diri Hasan, yang kemudian termanifestasi dalam kegiatan menulis. Dengan terus menulis akan menciptakan fantasi pada dunia ideal Hasan, yang mencintai dan menerima dirinya, tidak adanya diskriminasi, dan pengakuan bahwa setiap manusia terlahir dengan membawa bakat dan kemampuan dirinya masing-masing. Sebagai subjek yang berkekurangan Hasan tidak akan pernah mencapai kepuasan, sebab Yang 157

5 Simbolik juga selalu tidak pernah utuh. Dengan demikian Hasan masih terus mencari objek a yang dianggap akan memberikan keutuhan bagi dirinya. Upaya yang tidak pernah selesai tersebut termanifestasikan di dalam keproduktifitasannya dalam kegiatan menulis fiksi. 158