ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016"

Transkripsi

1 ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016 Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Geografi Fakultas Geografi Oleh: DESSY IKA WIJAYANTI E PROGRAM STUDI GEOGRAFI FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

2 i

3 ii

4 iii

5 ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016 Abstrak Penelitian ini mengenai analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian di Kabupaten Sleman. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui agihan tingkat kekritisan lahan yang ada pada lahan kritis lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman serta mengetahui alternatif pengelolaam yang tepat diterapkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Penelitian ini menggunakan metode analisis Sistem Informasi Geografis dengan pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dan analisis deskiptif. Pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang digunakan untuk mengolah parameter tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian sehingga tingkat kekritisan lahan dapat ditentukan. Parameter yang digunakan dalam pennetuan tingkat kekritisan lahan antara lain, manajemen lahan, produktivitas pertanian, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan agihan batuan. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui alternative pengelolaan lahan kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman terdiri dari lahan tidak kritis dengan luas 671,88 Ha (20,82%), potensial kritis ,85 Ha (64,88%), agak kritis 3.490,85 Ha (11.76%), kritis Ha (2.32%), dan sangat kritis Ha (0.22%). (2) Alternatif pengelolaan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan berdasarkan tingkat kekeritisan. Untuk lahan tidak kritis diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan tersebut, salah satunya dengan membuat batasan lahan LP2B. Lahan potensial kritis memerlukan konservasi tanah agar lahan tersebut menjadi lebih produktif dan tidak menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami kekritisan membutuhkan konservasi dan rehabilitasi agar lahan tersebut dapat dipergunakan kembali. Kata Kunci: Lahan, Kekritisan Lahan, Kawasan Budidaya Pertanian, Sistem Informasi Geografis. Abstracts This study analyzes the degree of criticality of the land on the farm area in Sleman district. The purpose of this study was to determine the critical level Shareable existing land on degraded land farm area of Sleman Regency as well as knowing the right alternative applied land management. The method used in this study is a survey method. This study uses Geographic Information System analysis with weighted tiered quantitative approach and analysis descriptively. The weighted tiered quantitative approach used to process parameters critical level of agricultural land cultivated area so that land can be determined critical level. Parameters used in pennetuan critical level land, among others, land management, agricultural productivity, slope, erosion, and Shareable rocks. Descriptive analysis is used to determine the critical alternative land management. The results showed that: (1) The level of criticality land farm area consists of Sleman district not critical land with an area of ha (20.82%), the critical potential ha (64.88%), somewhat critically 3490, 85 ha (11.76%), the critical Ha (2:32%), and very critical Ha (12:22%). (2) Alternative land management farm area is based on the level of criticality. To land not critical efforts are needed to maintain the land, one with a boundary LP2B land. Critical potential land requires soil conservation in order to become more productive land and not be 1

6 degraded lands. Land that has experienced the critical need of conservation and rehabilitation so that the land can be used again. Keywords: Land, Land Criticality, Region Agriculture, Geographic Information Systems. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketergantungan manusia terhadap lahan sangat tinggi. FAO dalam Arsyad (1989) mengemukakan bahwa lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi, dan juga hasil merugikan seperti yang tersalinasi. Kabupaten Sleman mempunyai wilayah yang cukup subur dan mempunyai sumberdaya air yang mecukupi akibat pengaruh keberadaan Gunung Merapi. Lahan di Kabuapten Sleman berorientasi pada aktivitas Gunung Merapi dan ekosistemnya sehingga banyak terdapat pertanian lahan basah maupun lahan kering. Hal tersebut membuat Kabupaten Sleman mempunyai luasan lahan sawah terbanyak diantara daerah lain di Provinsi DIY sehingga mempunyai kawasan budidaya pertanian paling luas. Pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun menyebabkan kebutuhan sarana dan prasarana semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan peruntukan permukiman bagi tempat tinggal manusia, industri, maupun lahan pertanian pangan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Perubahan penggunaan lahan terjadi dari waktu ke waktu akibat kebutuhan lahan yang semakin meningkat. Perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan manusia tidak jarang melalaikan karakteristik atau kemampuan dari lahan tersebut. Penggunaan lahan yang mengabaikan faktor fisik lahan tanpa melihat kemampuan lahan dan kesesuaian lahan dapat mendorong timbulnya lahan kritis. Perubahan penggunaan lahan yang sering terjadi yaitu konversi lahan sawah menjadi permukiman maupun kawasan perdagangan. Perubahan tersebut mempengaruhi luasan lahan sawah di Sleman yang semakin tahun menurun. Menurut Poerwowidodo (1990), lahan kritis dapat menyebabkan produktivitas suatu lahan menjadi rendah karena keadaan lahan terbuka akibat adanya erosi seperti yang dikemukakan bahwa : Lahan kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar, sebagai akibat dari solum tanah yang tipis dengan batuan bermunculan di permukaan tanah 2

7 akibat tererosi berat dan produktivitas rendah. Lahan kritis merupakan tanah yang sudah tidak produktif ditinjau dari segi pertanian, karena pengelolaan dan penggunaan yang kurang memperhatinkan syarat-syarat pengolahan tanah maupun kaidah konversi tanah. Kerusakan lahan dapat berupa kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang dapat mengakibatkan terancamnya fungsi produksi. Luasan lahan kritis yang ada di Sleman semakin meluas dari tahun ke tahun. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis melakukan penelitian dengan judul Analisis Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman Tahun Tujuan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana agihan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman? 2. Bagaimana alternatif pengelolaan lahan yang diterapkan di area lahan kritis kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman? 1.3 Telaah Pustaka Lahan Lahan menjadi satu hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan lahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan menujukkan adanya campur tangan manusia terhadap lahan. Lahan akan mempengaruhi penggunaan lahan manusia. FAO dalam Sitorus (2004) mengemukakan bahwa lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang Lahan Kritis Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya dan tanpa adanya pengelolaan tanaman yang kurang tepat akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan lahan tersebut dalam memproduksi hasil pertanian dan dan mendorong timbulnya lahan kritis. Kuswanto dalam Hanafiah (2005) menjelaskan; Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang akhirnya dapat membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, permukiman, dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. 3

8 1.3.3 Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan mengandung penekanan fungsional suatu unit wilayah, yakni adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan budidaya yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota harus dikelola dalam rangka optimalisasi implementasi rencana. Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa yang termasuk dalam kawasan budidaya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan. Salah satu peruntukan kawasan adalah pertanian. Pertanian dalam arti lain atau dalam arti yang sempit merupakan segala aspek biofisik yang berkaitan dengan usaha penyempurnaan budidaya tanaman untuk memperoleh produksi fisik yang maksimum (Sumantri, 1980). Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa kawasan budidaya pertanian merupakan kawasan yang mempunyai fungsi untuk budidaya atau usaha peruntukan pertanian tanaman pangan maupun peruntukan tanaman pertanian holtikultura Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografi (SIG) menawarkan banyak manfaat bagi sistem pengolah citra, tidak hanya dalam tampilan kartografis ataupun dalam memanfaatkan keluaran produk pengolah citra sebagai masukan dalam memanfaatkan keluaran produk pengolah citra sebagai masukan dalam proses analisis lebih lanjut, melainkan juga dalam membantu meningkatkan kinerja proses klasifikasi (Danoedoro, 2012). Pada SIG, data harus dirujukkan dengan kejadian yang akan memberikan perbaikan, analisis dan tayangan pada kriteria spasial (Tomlison, 1972). SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis, dan subsitem yang memakai informasi (Lo, C.P., 1996). 2. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode survei dan metode analisis data sekunder. Metode survei dilakukan untuk mengetahui parameter kemiringan lereng dan manajemen lahan yang merupakan parameter tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya 4

9 pertanian. Metode analisis data sekunder berupa pengumpulan data sekunder yang kemudian diolah dan dianalisis, sehingga menghasilkan parameter tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian seperti produktivitas pertanian, tingkat erosi, serta batuan. Metode analisis dalam penelitian ini terdiri atas metode analisis SIG dengan pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dan analisis deskriptif. Analisis SIG berfungsi untuk mengetahui agihan kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian parameter/ indikator kekritisan lahan yang digunakan, sedangkan analisis deskriptif digunakan untuk mentukan alternatif pengelolaan lahan kritis. 2.1 Objek Penelitian Objek penelitian analisis tingkat keketitisan lahan kawasan budidaya pertanian adalah lahan yang termasuk dalam kawasan peruntukan budidaya pertanian menurut Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Sleman. Unit analisis dari penelitian ini adalah satuan lahan pada lahan peruntukan budidaya pertanian. 2.2 Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel untuk analisis kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian menggunakan metode purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada satuan lahan. Satuan lahan terdiri dari data kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan jenis tanah. Pengambilan sampel pada satuan lahan bertujuan untuk melakukan validasi dari data primer hasil pengolahan menggunakan data penginderaan jauh. Titik sampel dibuat menyebar berdasarkan permasalahan dalam penelitian untuk mengetahui tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian, serta ditentukan juga berdasarkan kemampuan peneliti. Pemilihan titik sampel dilakukan berdasarkan satuan lahan yang dapat mewakili anggota populasi atas dasar karaketer strata. Koreksi dilakukan pada titik sampel hasil survei yang tidak sesuai dengan peta. 2.3 Metode Pengolahan Data Pengolahan Data Parameter A. Manajemen Lahan Penilaian parameter manajemen lahan untuk tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian berdasarkan ada tidaknya penerapan konservasi tanah dan pemeliharaan. Klasifikasi penilaian manajemen lahan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu baik, sedang, dan buruk. Manajemen lahan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam penentuan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian sehingga mempunyai bobot 30. Kelas manajemen lahan baik mempunyai harkat 5, kelas sedang 4, sedangkan kelas buruk mendapatkan harkat 3. Peta 5

10 manajemen lahan diturunkan dari peta penggunaan lahan yang diperoleh dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh yang sudah tervalidasi melalui cek lapangan. B. Produktivitas Pertanian Parameter produktivitas pertanian mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan tingkat kekritisan lahan. Sama halnya dengan manajemen lahan, produktivitas pertanian juga mempunyai bobot 30. Klasifikasi penilaian produktivitas pertanian terbagi menjadi lima kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Produktivitas pertanian sangat dipengaruhi luas dan banyaknya hasil panen. C. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng mempunyai bobot 20 dalam penenentuan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian. Data kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan data SRTM melalui software ArcGIS. Data hasil pengolahan tersebut digunakan sebagai acuan titik sampel survei. D. Tingkat Erosi Tingkat erosi mempunyai bobot 15 dalam penenentuan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian. Data tingkat erosi yang digunakan dalam penelitian analisis kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupeten Sleman adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman. E. Agihan Batuan Data spasial agihan batuan yang digunakan dalam penelitian analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian tahun 2016 merupakan data sekunder dari Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman. Agihan batuan sedikit berarti terdapat 10% batuan yang terlihat atau berada di permukaan tanah, sedang 10-30%, lalu banyak >30%. Parameter agihan batuan mempunyai bobot 5 dalam penentuan tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian. Tabel 1 Skor Parameter Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian No Kriteria (% Bobot) Kelas Harkat Baik 5 1 Manajemen Lahan (30) Sedang 3 Buruk 1 Sangat Tinggi 5 Tinggi 4 2 Produktivitas Pertanian (30) Sedang 3 Rendah 2 Sangat Rendah 1 6

11 3 Kemiringan Lereng (20) 4 Tingkat Erosi (15) 5 Agihan Batuan (5) 0-8% % % % 2 >40% 1 Ringan 5 Sedang 4 Berat 3 Sangat Berat 2 <10% % 3 >30% Analisis Spasial Salah satu fasilitas yang ada pada software ArcGIS 10.1 adalah analisis spasial. Analisis spasial yang digunakan untuk pemetaan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan fasilitas Overlay. Kelima peta yang menjadi parameter kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian ditumpang susunkan menjadi satu dengan fasilitas Intersect pada software ArcGIS. Informasi attribute table hasil Intersect akan menghasilkan informasi attribute table gabungan dari Peta Manajemen Lahan, Peta Produktivitas Pertanian, Peta Kemiringan Lereng, Peta Tingkat Erosi, dan Peta Agihan Batuan Analisis Pemodelan Spasial Analisis pemodelan spasial melalui metode kuantitatif yaitu dengan menghitung skor kekritisan lahan terhadap peta hasil overlay. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks ketahanan pangan, yaitu sebagai berikut: (1) Skor = (30*HM) + (30*HP) + (20*HKL) + (15*HE) + (5*HA) Keterangan: HM : Harkat Manajemen Lahan HP : Harkat Produktivitas Pertanian HKL : Harkat Kemiringan Lereng HE : Harkat Erosi HA : Harkat Agihan Batuan Hasil perhitungan skor kekritisan lahan, selanjutnya dikelaskan menjadi lima kelas dengan mengunakan klasifikasi menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.32/Menhut- 7

12 II/2009 tentang petunjuk teknis penyusunan data spasial lahan kritis. Range kelas, kategori dan tingkat ketahanan pangan dapat dijabarkan pada tabel 1.2 berikut ini. Tabel 2 Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian No Tingkat Kekritisan Besaran Nilai Lahan 1 Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensi Kritis Tidak Kritis Metode Analisis Data Analisis data untuk penelitian tingkat kektitisan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan dengan menggunakan metode analisis SIG. Metode analisis SIG yang digunakan adalah metode pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dengan melakukan overlay atau tumpang susun parameter-parameter kekritisan lahan. Tumpang susun atau overlay merupakan suatu data grafis adalah menggabungkan antara dua atau lebih data grafis untuk dapat diperoleh data grafis baru yang mempunyai satuan pemetaan (unit pemetaan) gabungan dari beberapa data grafis tersebut. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Agihan Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga berkurang fungsinya. Penentuan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian dipengaruhi oleh manajemen lahan, produktivitas pertanian, kemiringan lereng, erosi, dan agihan batuan. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman mempunyai lima kelas, yaitu sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis, dan tidak kritis. Lahan pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman dengan kategori sangat kritis mempunyai luas Ha. Lahan kategori sangat kritis di kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman hanya 0,22%. Lahan tersebut berada di wilayah Kecamatan Prambanan dan Pakem. Lahan kategori kritis mempunyai luas 687,02 Ha (2,23%). Lahan pada kategori agak kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, 8

13 Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan. Lahan dengan kategori agak kritis mempunyai luas Ha (11,76%). Lahan tersebut ada pada wilayah Pakem, Prambanan, Kalasan, Minggir, Seyegan, Gamping, Moyudan, dan Kalasan. Lahan dengan kategori potensial kritis mempunyai luas ,85 Ha (64,88%). Lahan kategori potensial kritis berada pada sebagian besar wilayah kawasan budidaya pertanian yang meliputi Kecamatan Tempel, Turi, Cangkringan, Minggir, Seyegan, Sleman, Mlati, Gamping, Berbah, Prambanan, Kalasan, dan Cangkringan. Lahan kateogri tidak kritis mempunyai luas 6.178,88 Ha (20,82%). Lahan tidak kritis berada pada wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Moyudan, dan Godean. Kelas lahan tidak kritis terdapat pada lahan yang didominasi lereng 0%-8% (datar), serta penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, seperti sawah, ladang, dan perkebunan campuran. Kemiringan lereng 0%-8% (datar) mempunyai tingak erosi ringan, karena area yang dimiliki cenderung datar sehingga energi angkut air rendah sehingga proses terangkutnya bagian-bagian tanah sangat kecil terjadi. Kemiringan lereng yang datar juga mempengaruhi agihan batuan karena lereng data cenderung mempunyai agihan batuna yang lebih sedikit daripada lereng curam. Kondisi erosi dan agihan batuan yang sedemikian rupa membuat lahan berlereng datar cocok untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Lahan yang termasuk dalam potensial kritis mempunyai kemiringan lereng 0-8%, 8-15%, dan 15-25%. Lahan potensial kritis dengan lereng 0-8% didominasi oleh penggunaan lahan bukan pertanian seperti permukiman, semak dan belukar, serta lahan terbuka, akan tetapi terdapat lahan pertanian seperti kebun campuran, sawah, dan ladang dengan lereng 0-8% pada kelas potensial kritis. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena produktivitas pada wilayah tersebut kurang optimal akibat pengaruh penggunaan lahan lain di sekitarnya. Lahan pertanian dengan kelas potensial kritis juga terdapat pada kemirinngan lereng 8-15% dan 15-25%. Penggunaan lahan jenis pertanian seperti sawah, ladang, dan perkebunan campuran, dan 9

14 perkebunan kurang optimal pada lereng tersebut karena tingkat erosi pada lereng tersebut sudah mulai bertambah. Lahan kelas agak kritis didominasi dengan lahan yang mempunyai kemiringan lereng 15-25% dan 25-40%. Penggunaan lahan bersifat pertanian pada kelas kemiringan lereng tersebut akan menghasilkan hasil produksi yang kurang optimal. Lahan pada kemiringan lereng 15-25% dan 25-40% mempunyai lereng yang agak curam curam sehingga erosi permukaan mulai sampai dengan erosi alur yang tergolong erosi berat mulai terjadi. Adanya erosi tersebut menganggu kesuburan tanah karena bagian-bagian tanah akan terkikis. Lahan pada lereng 15-25% dan 25-40% juga cenderung mempunyai agihan batuan dengan kelas sedang mengingat semakin tinggi lereng maka semakin banyak agihan batuan. Lahan pada kategori agak kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan. Lahan kategori kritis kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didominasi dengan lahan yang mempunyai kemiringan lereng 25-40% dan >40%, penggunaan lahan berupa semak belukar dan permukiman, serta jenis tanah regosol. Kondisi lereng curam memberikan daya erosivitas pada hujan yang semakin besar sehingga berbagai material kesuburan tanah akan terpengaruh dengan dengan pelepasan yang terjadi di permukaan. Lereng yang curam mempunyai tingkat erosi yang tinggi. Penggunaan lahan semak belukar dan permukiman menandai lahan tersebut kurang produktif. Penggunaan lahan juga dapat mempengaruhi erosi. Penggunaan lahan yang mengadung vegetasi dapat menghambat aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi sehingga proses erosi dapat terkurangi. Penggunaan lahan seperti semak belukar dan permukiman tidak dapat mengurangi proses erosi. Tanah regosol merupakan tanah yang muda sehingga kandungan bahan organik pada tanah tersebut sedikit dan kurang subur. Lahan kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan. Lahan yang mendominasi pada kelas sangat kritis mempunyai kemiringan lereng > 40%, penggunaan lahan non pertanian seperti permukiman,semak belukar, dan lahan terbuka, serta tanah latosol dan regosol. Lereng dengan kemiringan sangat curam mempunyai erosi yang sangat berat yang akan berpengaruh terhadap produktivitas pertanian. Penggunaan lahan dengan cover vegetasi rendah seperti permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka merupakan penggunaan lahan yang kurang dapat menghalangi proses erosi, sehingga erosi berjalan terus-menerus. Lahan sangat kritis terdapat pada wilayah Kecamatan Pakem dan Prambanan. Wilayah Pakem mempunyai jenis tanah regosol sedangkan wilayah Prambanan didominasi oleh jenis tanah latosol. Tanah regosol mempunyai kandungan bahan organik yang 10

15 sedikit karena merupakan tanah muda yang terdapat pada horizon A marginal sehingga tanah kurang subur. Jenis tanah latosol yang mendominasi wilayah Prambanan mempunyai kandungan lempung yang tinggi sehingga kemampuan menyerap air mudah, akan tetapi susah untuk meloloskan air sehingga jenis tanah tersebut agak peka terhadap erosi. Tabel 3 Luas Agihan Kekritisan Lahan No Kelas Kekritisan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Sangat Kritis 65,32 0,22 2 Kritis 687,02 2,32 3 Agak Kritis 3490,03 11,76 4 Potensial Kritis ,85 64,88 5 Tidak Kritis 6.178,88 20,82 Jumlah , Alternatif Pengelolaan Lahan yang Diterapkan di Area Lahan Kritis Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman Tingkat kekritisan lahan pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman mempunyai lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Secara garis besar lahan di pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman terbagi menjadi dua, yaitu lahan yang belum mengalami kekritisan yang terdiri dari lahan tidak kritis dan potensial kritis serta lahan yang telah mengalami kekritisan yang terdiri lahan agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan yang belum mengalami kekritisan dengan lahan yang sudah mengalami kekritisan memerlukan cara pengelolaan yang berbeda. Lahan dengan kelas tidak kritis terdapat pada lahan dengan kemiringan lereng yang datar, jenis penggunaan lahan pertanian, serta dominasi jenis tanah kambisol yang terdapat pada sekitar wilayah Godean. Lahan tersebut mempuyai produktivitas tinggi karena lahan pertanian dalam kondisi baik sehingga menghasilkan hasil produksi optimal. Lahan seperti ini perlu dilindungi agar terhindar dari konversi lahan mengingat kebutuhan lahan semakin meningkat seiring berjalannya waktu terutama konversi dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Perlindungan terhadap lahan tidak kritis untuk pertanian tersebut perlu melibatkan pihak pemerintah dan warga. Pemerintah perlu membuat dan menetapkan regulasi mengenai LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Lahan yang masuk dalam zona LP2B tidak 11

16 boleh mengalami konversi lahan dan harus menerapkan konservasi lahan sesuai anjuran pemerintah. Lahan dengan kelas potensial merupakan kelas lahan yang mendominasi dengan persentase 64,88%. Lahan potensial kritis belum mengalami kekritisan akan tetapi lahan tersebut menunjukkan indikasi kekritisan lahan, sehingga apabila penggunaan lahan kurang memperhatikan kelestariannya maka lahan tersebut akan menjadi lahan kritis. Lahan potensial kritis tidak dapat dipandang sebelah mata karena luas lahan potensial kritis lebih besar daripada luas lahan tidak kritis, sehingga jika tidak dilakukan konservasi akan membuat lahan kritis meluas. Lahan potensial kritis pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didominasi oleh lahan dengan kemiringan landai dan agak curam serta penggunaan lahan pertanian seperti sawah, ladang, perkebunan campuran, serta perkebunan. Lahan tersebut cenderung kurang produktif karena terletak pada lereng yang kurang sesuai untuk penggunaan lahan pertanian. Erosi dengan tingkat sedang mulai terjadi pada lahan kelas potensial kritis ini. Konservasi tanah perlu dilakukan pada lahan tersebut. Konservasi tanah yang harus dilakukan yaitu memperlambat aliran permukaan, melakukan pergiliran penanaman, serta mulsa. Proses memperlambat aliran permukaan dengan melakukan perbaikan drainase dan irigasi. Pergiliran tanaman bertujuan untuk menjaga tanah agar tetap terdapat vegetasi. Vegetasi pada tanah mempunyai fungsi untuk melindungi tanah terhadap daya perusak aliran alir di atas permukaan dan memperbaiki penyerapan air oleh tanaman. Mulsa dilakukan agar kesuburan tanah yang mulai hilang akibat terjadinya erosi tetap terjaga. Lahan yang telah mengalami kekritisan pada kawasan budidaya pertanian di Kabupaten Sleman termasuk dalam kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis mempunyai lereng curam sampai dengan sangat curam. Penggunaan lahan pada wilayah lahan kritis berupa penggunaan lahan non pertanian seperti semak dan belukar, permukiman, serta lahan terbuka. Lahan kritis merupakan lahan yang mengalami kerusakan akibat bagian-bagian tanahnya terkena erosi sehingga mempunyai produktivitas yang cenderung rendah. Lahan yang tergolong kritis terebut memerlukan konservasi maupun rehabilitasi agar dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Konservasi lahan pada kawasan kritis dapat dilakukan dengan menampung dan menyalurkan aliran permukaan mengingat lahan pada kemiringan lereng curam mempunyai tingkat erosi berat. Pembuatan dam dapat menampung aliran permukaan serta perbaikan saluran drainase akan membuat aliran permukaan mengalir pada saluran tersebut sehingga akan mengurangi timbulnya erosi. Adanya penampung air juga membuat penyediaan air bagi tanaman aman ketika musim kemarau. Mulsa pada lahan kritis bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah yang hilang 12

17 akibat erosi yang berat. Rehabilitasi lahan kritis dilkukan dengan cara reboisasi. Reboisasi dilakukan pada penggunaan lahan kurang produktif seperti lahan terbuka serta semak dan belukar. Lahan terbuka dapat ditanami dengan tanaman seperti tanaman bambu sedangkan wilayah pada penggunaan lahan semak dan belukar dapat ditanami tanaman dengan akar yang kuat seperti pohon sengon dan jati. 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Pembuatan peta agihan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didapatkan tingkat kekritisan yang terdiri dari lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. a) Lahan dengan kelas tidak ktitis mempunyai luas 671,88 Ha atau 20,82% dari luas keseluruhan, lahan tidak kritis sebagian besar berada pada lahan dengan kemiringan lereng datar yang berada pada wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Moyudan, dan Godean. b) Kelas potensial kritis mendominasi dengan luas 671,88 Ha atau 64,88% dari total luas keseluruhan, yang meliputi Kecamatan Tempel, Turi, Cangkringan, Minggir, Seyegan, Sleman, Mlati, Gamping, Berbah, Prambanan, Kalasan, dan Cangkringan. c) Kelas lahan agak kritis 3.490,85 Ha atau seluas 11,76%, meliputi wilayah Pakem, Prambanan, Kalasan, Minggir, Seyegan, Gamping, Moyudan, dan Kalasan. d) Kelas lahan kritis 687,02 Ha atau 2,32% berada pada kemiringan lereng yan curam yang meliputi sebagian kecil wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan. e) Lahan sangat kritis 65,32 Ha atau mencakup 0,22% dari luas keseluruhan, dan berada pada di wilayah Kecamatan Prambanan dan Pakem. 2. Alternatif pengelolaan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan berdasarkan tingkat kekeritisan. Untuk lahan tidak kritis diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan tersebut, salah satunya dengan membuat batasan lahan LP2B. Lahan potensial kritis memerlukan konservasi tanah agar lahan tersebut menjadi lebih produktif dan tidak menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami kekritisan membutuhkan konservasi dan rehabilitasi agar lahan tersebut dapat dipergunakan kembali. 13

18 4.2 Saran 1. Survei lapangan dilakukan pada saat bukan musim penghujan sehingga lahan kritis yang ada pada lahan dengan penggunaan lahan semak belukar lebih terlihat. 2. Data citra penginderaan jauh yang digunakan sebaiknya citra yang tidak mempunyai tutupan awan sehingga interpretasi lebih teliti. PERSANTUNAN Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini baik dalam penyediaan data maupun pengerjaan data terutama untuk : 1) Program Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sebagai instansi yang telah menaungi penelitian ini, dan memberikan izin penelitian. 2) BAPPEDA Kabupaten Sleman DAFTAR PUSTAKA Arsad, Sitanala Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Asdak, Chay Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: UGM Press. Badan Lingkungan Hidup Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY. Badan Lingkungan Hidup Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY. Badan Lingkungan Hidup Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY. Badan Lingkungan Hidup Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY. Badan Lingkungan Hidup Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY. Danoedoro, Projo Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Darmawijaya, Isa Klasifikasi Tanah Dasar Penelitian Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Bandung: IPB. Departemen Kehutanan, Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta. Dulbahri Penggunaan Teknik Penginderaan Jauh Dalam Identifikasi dan Inventarisasi Lahan Kritis. Yogyakarta: Fakultas Geografi - Universitas Gadjah Mada. Elachi, C., Jakob van Zyl Introduction to the Physics and Techniques of Remote Sensing. New Jersey: John Wiley & Sons Inc. FAO Assesing Soil Degradation. FAO Soil Bull. No. 34. FAO-UN (Food and Agriculture Organization) A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin 32. FAO, Rome. Hall, F. G., Strebel, D. E., Nickeson, J. E., & Geoets, S. J. (1991). Radiometric Rectification: Toward A Common Radiometric Response Among Multidate, Multisensor Images. Remote Sensing of Environment, 35,

19 Hanafiah, Kemas Ali Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo. Hardjowigeno, Sarwono Imu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo. Hudson, Norman Soil Conservation. London: B.T. Batsford Ttd. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.778 /Menhutbun-V/1998. Reboisasi dan Lahan Kritis. Jakarta: Kementerian Kehutanan Lo, CP Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: UI Press. Mosher, A.T Getting Agriculture Moving. New York: The Agricultural Development Council Inc. Nurcahyo, Sidik Analisis Lahan Kritis Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Skripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.32/Menhut-II/2009. Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta: Kementrian Kehutanan. Poerwowidodo Telaah Kesuburan Tanah. Bamdung: Angkasa. Prasetya, Rahmadi Nur dan Totok Gunawan. (2012). Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Lahan Kritis di Daerah Kokap dan Pengasih Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Geografi Indonesia, 79, Rahmatika, Rosita Analisis Spasial Agihan Lahan Kritis Di Kabupaten Sragen Provinsi Jawa TengahSkripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rayes, M. Luthfi. (2007). Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Andi. Sumantri Pengantar Agronomi. Jakarta: PT. Gramedia. Taryono Erosi dan Konservasi Tanah. Diktat Kuliah. Surakarta: UMS. Tomlinson, R.F. (ed) Geographical Data Handling. Ottawa: I.G.U. Commission on Geographical Data Sensing and Processing. Wati, Fitri Anggoro Kajian Lahan Kritis Di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta. 15

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi.

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. III.1.3. Kondisi Ekonomi Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, perhitungan PDRB atas harga

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO Rahmadi Nur Prasetya geo.rahmadi@gmail.com Totok Gunawan

Lebih terperinci

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh : ERIE KUSUMAWARDANI

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 124 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data yang diperoleh maka penulis dapat menyimpulkan dan memberikan rekomendasi sebagai berikut: A. Kesimpulan Sub Daerah Aliran

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LAHAN UNTUK PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

KLASIFIKASI LAHAN UNTUK PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KLASIFIKASI LAHAN UNTUK PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Suratman Wirosuprojo * Tulisan ini menjelaskan pendekatan klasifikasi kemampuan lahan terapannya untuk

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 06 ISBN: 978-60-6-0-0 ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI Agus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Sleman 3.1.1 Kondisi Geografis Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK )

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK ) ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK 2008-2018) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Deskripsi Daerah Daerah hulu dan hilir dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak pada 110 33 00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN BULU KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH. Skripsi S-1 Program Studi Geografi

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN BULU KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH. Skripsi S-1 Program Studi Geografi ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN BULU KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH Skripsi S-1 Program Studi Geografi Oleh : DIDI YUDA SUTANTO NIRM: E. 01.6.106.09010.5. 0054 FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat S-1 Program Studi

Lebih terperinci

TOMI YOGO WASISSO E

TOMI YOGO WASISSO E ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT POTENSI GERAKAN TANAH MENGGUNAKANSISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI Disusun Sebagai Salah Satu

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh : JUMIYATI NIRM: 5.6.16.91.5.15

Lebih terperinci

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERBASIS KEMAMPAUAN LAHAN KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERBASIS KEMAMPAUAN LAHAN KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERBASIS KEMAMPAUAN LAHAN KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Geografi

Lebih terperinci

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat

Lebih terperinci

TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Agung Dwi Sutrisno, Ag. Isjudarto Jurusan Teknik Pertambangan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN GEOMORFOLOGI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN GEOMORFOLOGI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS POTENSI KEKERINGAN GEOMORFOLOGI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN PURWOREJO Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 Pada Jurusan Geografi Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG Ilmu geografi memiliki dua aspek penting dalam penerapannya yaitu aspek ruang dan aspek waktu. Data spasial merupakan hasil dari kedua aspek yang dimiliki oleh geografi.

Lebih terperinci

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI. Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Oleh : SIDIK NURCAHYONO

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI. Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Oleh : SIDIK NURCAHYONO ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI Skripsi S-1 Program Studi Geografi Oleh : SIDIK NURCAHYONO 00.6.106.09010.5.0174 FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 BAB

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus dilakukan dengan hatihati dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PEMETAAN ARAHAN FUNGSI PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KAWASAN FUNGSI LINDUNG DI KECAMATAN GISTING KABUPATEN TANGGAMUS

PEMETAAN ARAHAN FUNGSI PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KAWASAN FUNGSI LINDUNG DI KECAMATAN GISTING KABUPATEN TANGGAMUS 0 PEMETAAN ARAHAN FUNGSI PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KAWASAN FUNGSI LINDUNG DI KECAMATAN GISTING KABUPATEN TANGGAMUS Fitrianti 1), I Gede Sugiyanta 2), Dedy Miswar 3) Abstract: This research aims to evaluate

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan

I. PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan Jogja merupakan salah satu destinasi pendidikan dan pariwisata di Indonesia. Julukannya sebagai kota

Lebih terperinci

Arahan Penataan Lahan Kritis Bekas Kegiatan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan di Sekitar Kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang

Arahan Penataan Lahan Kritis Bekas Kegiatan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan di Sekitar Kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Arahan Penataan Lahan Kritis Bekas Kegiatan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan di Sekitar Kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang 1 Thaariq

Lebih terperinci

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG Sidang Ujian PW 09-1333 ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG IKA RACHMAWATI SURATNO 3606100051 DOSEN PEMBIMBING Ir. SARDJITO, MT 1 Latar belakang Luasnya lahan

Lebih terperinci

I. KARAKTERISTIK WILAYAH

I. KARAKTERISTIK WILAYAH I. KARAKTERISTIK WILAYAH Sumber : http//petalengkap.blogspot.com. Akses 31 Mei 2016 A B Gambar 1. A. Peta Jl Magelang, B. Peta Jl Solo Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa

KEADAAN UMUM WILAYAH. Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa IV. KEADAAN UMUM WILAYAH A. Kabupaten Sleman 1. Kondisi Geografis Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

Sigit Heru Murti

Sigit Heru Murti APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN LAHAN SAWAH BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SLEMAN Rizka Valupi valupirizka@gmail.com Sigit Heru Murti sigit.heru.m@ugm.ac.id ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan menjadi salah satu isu permasalahan penting pada skala global, apalagi jika dihubungkan dengan isu perubahan iklim yang secara langsung mengancam pola

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus dilakukan dengan hati hati dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BAB III TINJAUAN KAWASAN BAB III TINJAUAN KAWASAN III.1 Latar Belakang Pemilihan Kawasan Day care dan Pre-school merupakan sebuah lembaga pendidikan bagi anak usia dini yang membutuhkan bimbingan dalam perkembangannya karena orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

Critical Land Mapping in Muria Region to Improve the Environment Capability Based on Geographical Information System (SIG)

Critical Land Mapping in Muria Region to Improve the Environment Capability Based on Geographical Information System (SIG) Ilmu Pertanian Vol. 17 No.1, 2014 : 46-51 Pemetaan Lahan Kritis di Kawasan Muria untuk Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan yang Berbasis pada Sistem Informasi Geografis (SIG) Critical Land Mapping in Muria

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak dan Luas Daerah Penelitian Secara astronomis Kabupaten Bantul terletak antara 07 0 44 04-08 0 00 27 LS dan 110 0 12 34 110 0 31 08 BT.

Lebih terperinci

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro BAB III DATA LOKASI 3.1 Data Makro 3.1.1 Data Kawasan wilayah Kabupaten Sleman yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK KAWASAN INDUSTRI DI WILAYAH PENGEMBANGAN INDUSTRI KABUPATEN KARAWANG

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK KAWASAN INDUSTRI DI WILAYAH PENGEMBANGAN INDUSTRI KABUPATEN KARAWANG EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK KAWASAN INDUSTRI DI WILAYAH PENGEMBANGAN INDUSTRI KABUPATEN KARAWANG Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Geografi Fakultas

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Diajukan Oleh : ANA DWI JONI ARGENTINA NIRM: 95.6.16.91.5.11

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN JATINOM KABUATEN KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN JATINOM KABUATEN KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN JATINOM KABUATEN KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh : GATOT JOKO MARDIYANTO

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu)

Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu) Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu) Rahmawati Suparno Putri rahmawatisuparnoputri@ymail.com Totok Gunawan totokgunwan@yahoo.com Abstract This

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus sesuai dengan kemampuannya agar tidak menurunkan

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS Esti Sarjanti Pendidikan Geografi-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh PO.BOX. 202 Purwokerto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Lahan adalah sumber daya alam yang dicirikan dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, di atas dan dibawahnya termasuk atmosfer, tanah, batuan (geologi), hidrologi,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL Febriana Yogyasari, Dedy Kurnia Sunaryo, ST.,MT., Ir. Leo Pantimena, MSc. Program Studi

Lebih terperinci

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR Adnan Sofyan dan Gunawan Hartono*) Abstrak : Erosi yang terjadi di Sub Das Kalimeja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kedalam pertumbuhunan yang tinggi. Jumlah penduduk semakin tinggi menyebabkan Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4 E.7 PEMETAAN PARAMETER LAHAN KRITIS GUNA MENDUKUNG REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN DAN KETAHANAN PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SPASIAL TEMPORAL DI KAWASAN MURIA Hendy Hendro

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ APLIKASI TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ESTIMASI KOEFISIEN LIMPASAN PERMUKAAN SUB DAS PADANG JANIAH DAN PADANG KARUAH PADA DAS BATANG KURANJI KECAMATAN PAUH KOTA PADANG

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SIMO KABUATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH. Skripsi S-1 Program Studi Geografi

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SIMO KABUATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH. Skripsi S-1 Program Studi Geografi 1 KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SIMO KABUATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH Skripsi S-1 Program Studi Geografi Oleh : WIWIK CAHYANINGRUM NIRM:.5.16.91.5.117 Kepada FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS PENELITIAN KELOMPOK LAPORAN PENELITIAN PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS Oleh : Budi Gunawan, ST, MT. Drs. RM Hendy Hendro H,M.Si

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN)

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN) IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN) Yastin David Batara 1, Dewi Nur Indah Sari 2 Program Studi DIII Teknik Geodesi, Politeknik

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BAB III TINJAUAN KAWASAN BAB III TINJAUAN KAWASAN 3.1. Tinjauan Wilayah D.I. Yogyakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terletak antara 110º.00-110º.50 Bujur Timur dan antara 7º.33-8 º.12 Lintang Selatan. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui adalah sumber daya lahan. Sumber daya lahan sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui adalah sumber daya lahan. Sumber daya lahan sangat penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia sekarang masih tergolong tinggi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu 1,49 % per tahun, akibatnya diperlukan usaha

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

ESTIMASI POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERANG

ESTIMASI POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERANG ESTIMASI POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERANG Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

Lebih terperinci

Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1, T. Ferijal 1* 1 Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN

Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1, T. Ferijal 1* 1 Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN Arahan Konservasi DAS Meureudu Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Conservation Directives of Drainage Basin Meureudu Using GIS Geographic Information Systems) Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1,

Lebih terperinci

TINGKAT ERODIBILITAS TANAH DI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH

TINGKAT ERODIBILITAS TANAH DI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH TINGKAT ERODIBILITAS TANAH DI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh Trisnoto NIRM:

Lebih terperinci

EVALUASI TINGKAT EROSI TANAH DI KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN KENDAL. Evaluation of The Level Of Soil Erosion Sukorejo in District Of Kendal

EVALUASI TINGKAT EROSI TANAH DI KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN KENDAL. Evaluation of The Level Of Soil Erosion Sukorejo in District Of Kendal EVALUASI TINGKAT EROSI TANAH DI KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN KENDAL Evaluation of The Level Of Soil Erosion Sukorejo in District Of Kendal JURNAL PUBLIKASI ILMIAH Oleh : Irma Yuliyanti E100110033 FAKULTAS

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 9 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan : Oktober November 2010 (Bogor). Pelaksanaan lapang (pra survei dan survei) : Desember 2010. Analisis Laboratorium : Januari Februari 2011.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

Tabel 7.3 CAPAIAN KINERJA PROGRAM INDIKATOR

Tabel 7.3 CAPAIAN KINERJA PROGRAM INDIKATOR Tabel 7.3 Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Misi 3 RPJMD Kabupaten Sleman Tahun 2016-2021 Misi 3 : Meningkakan penguatan sistem ekonomi kerakyatan, aksesibilitas dan kemampuan ekonomi rakyat, penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Alih fungsi lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan yang sedang dihadapi dalam bidang pertanian di Indonesia. Luas lahan pertanian sawah di Indonesia saat

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci