BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Kata pembuktian berasal dari kata bukti artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan pem dan akhiran an, maka pembuktian artinya proses perbuatan, cara membuktikan sesuatu yang menyarakan kebenaran suatu peristiwa, demikian pula pengertian membuktikan yang mendapat awalan mem dan akhiran an, artinya memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti. (Andi Sofyan, 2014 : 230) Bukti-bukti dalam Kamus Bahasa Indonesia dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan antara lain disebut : m.1.sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Bukti dalam Bahasa Inggris : evidence. Di dalam The Lexicon Webster Dictionary diartikan antara lain : indication of something or establishes the truth. Dari uraian tersebut, bukti dimaksud untuk menentukan kebenaran. (Leden Marpaung, 2009 : 22-23) b. Tujuan Pembuktian Yang dimaksudkan dengan membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau perbuatan yang dilakukan oleh sesorang. Dengan demikian, tujuan pembuktian adalah untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan hakim kepada terdakwa tentang bersalah atau tidaknya sebagaimana yang telah didakwan oleh penuntut umum. Namun tidak semua hal harus dibuktikan, sebab meurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, bahwa hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan. Dengan demikian, hakim di dalam memeriksa suatu perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha membuktikan :

2 15 1. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi? 2. Apakah betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana? 3. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi? 4. Siapakah orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu? Maka tujuan pembuktian di atas, adalah untuk mencari menemukan, dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang ada dalam perkara itu, dan bukanlah semata-mata mencari kesalahan seseorang. c. Alat Bukti dan Barang Bukti Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Sedangkan, barang bukti menurut Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti : 1. Merupakan objek materiil 2. Berbicara untuk diri sendiri 3. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya 4. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa d. Asas-Asas Pembuktian 1. Peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan; 2. Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence); 3. Inquisitoir dan accusatoir; 4. Legalitas dan opportunitas;

3 16 5. Sidang terbuka untuk umum; 6. Peradilan dilakukan oleh Hakim karena jabatannya; 7. Pemeriksaan langsung; 8. Komunikasi dan tanya jawab langsung; 9. Semua orang diperlakukan sama di depan hakim; 10. Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. e. Jenis-jenis Alat Bukti Menurut KUHAP Jenis alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, adalah: (1) Keterangan Saksi (a) Pengertian saksi yang diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP Saksi adalah seorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. (b) Syarat sahnya keterangan saksi (i) Harus mengucap janji atau sumpah Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janjinya adalah dilakukan menurut cara agamanya masingmasing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenarbenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji

4 17 setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji, pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan, dan tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangan (M. Yahya Harahap, 2012: 286). (ii) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyainilai adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu: yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu (M. Yahya Harahap, 2012: 287). (iii) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1), karena keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 287). (iv) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau unus testis

5 18 nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. (M. Yahya Harahap, 2012: 288). (v) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri Dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, namun pendapat yang demikian keliru, karena keterangan saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain (M. Yahya Harahap, 2012: 289). (2) Keterangan Ahli Keterangan seorang ahli disebut alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP. Ini berbeda dengan HIR dahulu yang tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama dengan Ned.S.v. dan hukum acara pidana modern di banyak negeri.

6 19 (3) Alat Bukti Surat Selain Pasal 184 yang menyebutkan alat-alat bukti, maka hanya ada satu pasal saja dalam KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat, yaitu Pasal 187. (4) Alat Bukti Petunjuk Alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah: petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya dapat diperoleh dari: (a) Keterangan saksi, (b) Surat, dan (c) Keterangan terdakwa. 2. Tinjauan Umum tentang Pertimbangan Hakim Terdapat 2 (dua) kategori pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara yang khususnya putusan yang mengandung pemidanaan, yaitu pertimbangan Hakim yang bersifat yuridis dan pertimbangan Hakim yang bersifat non yuridis. Berikut adalah penjelasan mengenai pertimbangan yang bersifat yuridis dan yang bersifat non yuridis. a. Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu: 1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa yang disimpulkan dan

7 20 ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas Terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). 2) Tuntutan Pidana Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada Terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada Terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut. 3) Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan

8 21 dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. 4) Keterangan Terdakwa Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e memuat bahwa keterangan Terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan Terdakwa adalah apa yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan Terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. 5) Barang-barang Bukti Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh Terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan Hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa dan sudah barang tentu Hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh Terdakwa maupun para saksi. 6) Pasal-pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Rumusan Pasal 197 huruf e KUHAP menyatakan salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan.

9 22 b. Pertimbangan Non Yuridis Hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis, disamping pertimbangan yang bersifat yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis. Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian Hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku. Pertimbangan non yuridis meliputi pertimbangan pada hal-hal yangmemberatkan ataupun yang meringankan hukuman bagi terdakwa. Seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Lalu Hakim juga harus mempertimbangkan juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, Hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang, jangan sampai penentuan pidana oleh Hakim itu akan berdampak buruk dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri pada khususnya. Seperti yang telah dikemukakan di atas, dalam hal Hakim diberi kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, tentunya Hakim juga terikat oleh alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan secara tegas

10 23 bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh Hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan. 1) Pertimbangan yang Memberatkan a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana).

11 24 b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan Meresahkan masyarakat adalah hal yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana tersebut. 2) Hal-hal yang Meringankan KUHP memuat alasan-alasan yang dapat meringankan pidana, yaitu sebagai berikut: a) Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3)); b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2)); c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). Hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut: a) Sikap correct dan hormat Terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan; b) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik; c) Dalam persidangan, Terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya. 3. Tinjauan Umum tentang Putusan a. Pengertian Putusan Hakim Pengertian Putusan Hakim menurut Andi Hamzah (2009:485) adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk suatu putusan tertulis maupun lisan. Sedangkan dalam Bab I angka 11 KUHAP menyebutkan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

12 25 Menurut Lilik Mulyadi (2007:203) Putusan Pengadilan adalah: Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbukan untuk umum setelah melakukan proses dan procedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan ammar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya. Adapun mengenai putusan yang bukan putusan akhir dalam praktik dapat berupa penetapan atau putusan sela yang bersumber pada ketentuan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Putusan ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa/penasihat hukum dan penutut umum telah menerima putusan itu. Akan tetapi, secara materiil perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila salah satu pihak (terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum) mengajukan perlawanan dan perlawanan tersebut oleh pengadilan tinggi dibenarkan sehingga peradilan tinggi memerintahkan pengadilan negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan. b. Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim Pengambilan keputusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh pemufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2) KUHAP). Jika pemufakaran bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak. Adakalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah pendapat yang paling menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat(6) KUHAP). Pelaksanaan (proses)

13 26 pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia. Dalam hal pengambilan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian. Pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan sesuatu yang sangat penting karena tugas utama dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan sesuatu kebenaran materiil. Pembuktian di sidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah didukung oleh keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut: Hakim ridak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan di atas ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku; 2) Atas dasar alat bukti yang sah tersebut hakim berkeyakinan bahwa perbuatan pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah. Yang dimaksud dengan sekurang-kurangnya dia alat bukti, yaitu dua di antara alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut. Alat bukti yang sah ialah: 1) Keterangan saksi, 2) Keterangan ahli, 3) Surat, 4) Petunjuk, dan 5) Keterangan terdakwa.

14 27 Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian negatif, yang berarti hanya mengakui adanya alat-alat bukti yang sah yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di luar ketentuan tersebut bukan merupakan alat bukti yang sah (Evi Hartanti, 2012:54-55). c. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim dalam Perkara Pidana 1) Putusan yang Menyatakan Tidak Berwenang Mengadili Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan, maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun secara absolut untuk mengadili perkara tersebut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP). 2) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi Hukum Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum. Hal ini dapat terjadi karena jaksa penuntut umum dalam menyusun dakwaan. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor: 808/K/Pid/1984 tanggal yang menyatakan: Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum.

15 28 3) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Tidak Dapat Diterima Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurang cermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena: a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada, b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan c) Hak untuk penuntutan telah hilag karena daluwarsa (verjaring) sah (Evi Hartanti, 2012:55-56). 4) Putusan Bebas (Vrijspraak) Putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan putusan Vrijspraak, sedangkan dalam rumpun Anglo-Saxon disebut putusan Aquittal. Pada asasnya, esensi dari putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dala surat dakwaan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwaka kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas daasr pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. 5) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van alle Rechtsvervolging) Pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur secara Eksplisit tentang putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum atau Onslag van alle Rechtsvervolging. Pada ketentuan Pasal tersebut, putusan

16 29 lepas dari segala tuntutan hukum dirumuskan dengan redaksional bahwa Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian, bahwa putusan pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana dikarenakan perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, tetapi perbuatan lain misalnya termasuk dalam yurisdiksi hukum perdata ataukah hukum dagang (Lilik Mulyadi, 2007: ). 6) Putusan Pemidanaan Putusan Pemidanaan diatur oleh ketentuan dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila dijabarkan lebih detail, terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika: a) Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan b) Majelis hakim berpendapat, bahwa: (1) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan oleh jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; (2) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana (kejahatan / misdrijven atau pelanggaran / overtredingen) (3) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di persidangan (Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP) Oleh karena itu majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa. Putusan hakim dapat dieksekusi bila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang telah diterima oleh para

17 30 pihak yang bersangkutan. Putusan yang berupa penghukuman terdakwa dapat berupa pidana seperti yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu: (a) Pidana pokok i. Pidana mati ii. Pidana penjara iii. Kurungan iv. Denda (b) Pidana tambahan i. Pencabutan hak-hak tertentu ii. Perampasan barang-barang tertentu iii. Pengumuman putusan hakim. Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil hakim harus memperhatikan: (a) Sifat tindak pidana, (b) Ancaman hukuman terhadap tindak pidana, (c) Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana, (d) Pribadi terdakwa, (e) Sebab-sebab melakukan tindak pidana, (f) Sikap terdawka dalam pemeriksaan, dan (g) Kepentingan umum sah (Evi Hartanti, 2012:57). 4. Tinjauan Umum tentang Penipuan a. Pengertian Penipuan Berdasarkan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.

18 31 b. Unsur-Unsur Penipuan Menurut M.Sudrajat Bassar menyebutkan unsur-unsur dari penipuan, sebagai berikut : (Sudrajat Bassar, 1986 : 81) i. Menggunakan nama palsu Nama palsu adalah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya, akan tetapi kalau si penipu itu menggunakan nama orang lain yang sama namanya dengan ia sendiri, maka ia tidak dapat dikatakan menggunakan nama palsu, tetapi ia dapat dipersalahkan melakukan "tipu muslihat" atau "susunan belit dusta". ii. Menggunakan kedudukan palsu Seseorang dapat dipersalahkan menipu dengan menggunakan kedudukan palsu. iii. Menggunakan tipu muslihat Yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah perbuatanperbuatan yang dapat menimbulkan kepercayaan atas pengakuan-pengakuan yang sebenarnya bohong, dan atas gambarang peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dibuat sedemikian rupa sehingga kepalsuan itu dapat mengelabuhi orang yang biasanya berhati-hati. iv. Menggunakan susunan belit dusta Kebohongan itu harus sedemikian rupa berbelit-belitnya sehingga merupakan suatu keseluruhan yang nampaknya seperti benar atau betul dan tidak mudah ditemukan dimana kepalsuannya. Akal tipu ini suka bercampur dengan tipu muslihat yang tersebut dalam butir 3, dan oleh karenanya sukar dipisahkan. c. Perbedaan Penipuan dan Penggelapan Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.

19 32 ( apan-dan-penipuan, diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 18:50) Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain. Sementara itu penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang. Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun menghapus piutang. Dalam perkara-perkara tertentu, antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata. Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang. Dalam kasus seperti ini, peristiwa tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak berniat untuk

20 33 menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur mobil tersebut. Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B berniat untuk melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan membawa kabur mobil A. 5. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 Butir 12 KUHAP, definisi upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau Banding atau Kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang ini. b. Jenis Upaya Hukum 1) Upaya Hukum Biasa a) Upaya Hukum Banding Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan banding. Upaya banding merupakan upaya hukum biasa yang merupakan hak yang diberikan Undang-Undang kepada terdakwa dan Penuntut Umum (M.Yahya Harahap, 2012: ). Selain pengertian mengenai upaya hukum banding diatas, ada juga di Pasal 233 ayat (1) KUHAP dimana berbunyi permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum. Maksud dan tujuan pemeriksaan tingkat banding adalah sebagai berikut (M.Yahya Harahap, 2012: ): (1) Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama (2) Mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan

21 34 (3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum b) Upaya Hukum Kasasi Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, yaitu asal kata casser artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Selanjutnya ditiru oleh negeri Belanda, kemudian dibawa ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya, artinya kekuasaan kehakiman ditafsirkan secara luas dan sempit. Jadi penafsiran secara sempit yaitu jika hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman; dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan. (Andi Sofyan, 2014 : 278). Tujuan utama upaya hukum kasasi, antara lain sebagai berikut: (M. Yahya Harahap, 2012: ) (1) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan (2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru (3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum 2) Upaya Hukum Luar Biasa Upaya Hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII KUHAP,yang terdiri atas dua bagian, yaitu Bagian Kesatu Pemeriksaan Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Diantaranya adalah sebagai berikut: a) Kasasi Demi Kepentingan Hukum Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap semua putusan kecuali putusan Mahkamah Agung, dengan syarat putusan pengadilan itu

22 35 telah berkekuatan hukum tetap, dan hanya terbatas pada putusan Pengadilan Tinggi. Sedang terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum. Satu satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mengkoreksi putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, melalui upaya peninjauan kembali. b) Peninjauan Kembali Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai upaya bukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Hadari Dhebawu Tahir, 1982 : 8-9) Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; revisi. Jadi herziening adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua tingkat pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum yang tetap, kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntuan hukum (Pasal 263 (1) KUHAP). (Andi Sofyan, 2014 : 291) Dasar hukum peninjauan kembali terdapat pada Pasal 23 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa : (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak- pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila tedapat

23 36 hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Demikian pula diatur di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Alasan peninjauan kembali ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu : 1. Atas putusan pengadilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung) yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; 2. Putusan pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang telah memperoleh hukum yang tetap itu bukanlah putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie rechtsvolging); 3. Yang mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Alasan lain juga terdapat pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu : a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie rechtsvolging) atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvvankelijk verklaring) atau terhadap

24 37 perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan pututsan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Setelah dijelaskan mengenai syarat-syarat dari peninjauan kembali pada Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, selanjutnya tentang tata cara untuk peninjauan kembali disebutkan pada Pasal 264, Pasal 265, Pasal 266, dan Pasal 267 KUHAP. Dalam hal terhadap permohonan peninjauan kembali, maka menurut ketentuan Pasal 268 KUHAP, bahwa : (1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. (2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara iu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. (3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilkaukan satu kali saja.

25 38 B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penipuan Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No. 612/Pid.B/2010/PN.Kpj. Mengajukan Bukti Baru untuk Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Agung No. 36/PK.Pid/2013 Kesesuian alasan pengajuan peninjauan kembali oleh terpidana atas dasar novum Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP Kesesuaian pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali dalam perkara penipuan tanah dikaitkan dengan Pasal 266 KUHAP Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : Dimulai dengan adanya tindak pidana penipuan dengan objek tanah garapan berupa sawah yang terjadi di Kepanjen, Malang melibatkan Widar Kusuma yang dituduh menjadi pelaku tindak pidana oleh Tamsir Bin Tumin sebagai korban yang dirugikan. Korban melaporkan pelaku ke kepolisian dan diadili di Pengadilan Negeri Kepanjen. Setelah dilakukannya persidangan dan berakhir

26 39 dengan diputusnya bersalah Widar Kusuma, lalu sudah diputus berdasar Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No. 612/Pid.B/2010/PN.Kpj. Tidak berhenti sampai pada putusan tersebut, Widar Kusuma mengajukan Peninjauan Kembali berdasar adanya bukti baru/novum yang seharusnya sudah dibuktikan dalam persidangan, namun dengan suatu sebab hakim tidak memperhatikan bukti tersebut. Lalu setelah diadakan Peninjauan Kembali berdasar novum tersebut, maka Widar Kusuma dinyatakan tidak bersalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 36/PK.Pid/2013. Munculnya putusan dari Peninjauan Kembali tersebut, memunculkan keinginan penulis untuk meneliti Kesesuaian alasan pengajuan peninjauan kembali oleh terpidana atas dasar novum dikaitkan dengan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP dan Kesesuaian pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali dalam perkara penipuan tanah dikaitkan dengan Pasal 266 KUHAP.

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Kasasi a. Pengertian Kasasi Secara terminologi, kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah atau membatalkan. Kasasi dilakukan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

2. Terdakwa, menurut pasal 1 ayat 5 KUHAP adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dipersidangan pengadilan.

2. Terdakwa, menurut pasal 1 ayat 5 KUHAP adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dipersidangan pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pengertian: Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1) Tinjauan Umum tentang Penuntut Umum a. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum Penuntutan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa yang mempunyai kewenangan untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa alasan terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan eksepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN. Welin Kusuma

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN. Welin Kusuma PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN Welin Kusuma ST, SE, SSos, SH, SS, SAP, MT, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, Aff.WM, BKP http://peradi-sby.blogspot.com http://welinkusuma.wordpress.com/advokat/ V.1 Macam-Macam

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Dakwaan a) Pengertian Surat Dakwaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dan utama, sebagaimana menurut Pasal 6 Ayat (2) KUHAP, bahwa Tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Hukum Acara Pidana Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Topik Landasan Hukum Asas Hukum Acara Peradilan Pidana Kewenangan Pengadilan Pemeriksaan Pembuktian Putusan Pengadilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah Negara hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari tujuh puluh tahun lamanya. Kualifikasinya sebagai Negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA BERLANJUT

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA BERLANJUT KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus Putusan Nomor: 198 /Pid.B/2015/PN.Skt. & Putusan Nomor 145/Pid.B/2016/PN.Skt.)

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali Herziening atau peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh

Lebih terperinci

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository USU Repository 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii A. Pengertian... 1-2 B. Dasar Peniadaan Penuntutan... 3-6 C. Hapusnya Hak Menuntut... 7-13 Kesimpulan... 14 Daftar Pustaka...... 15 ii

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pada Umumnya Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Wewenang Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan Kehadiran Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori 14 BAB II TNJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terhadap Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP menjelaskan bahwa Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

BAB II ANALISIS HUKUM TERHADAP DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA NOMOR: 3212/PID.B/2007/PN.

BAB II ANALISIS HUKUM TERHADAP DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA NOMOR: 3212/PID.B/2007/PN. BAB II ANALISIS HUKUM TERHADAP DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA NOMOR: 3212/PID.B/2007/PN. MDN Proses dari suatu peradilan pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA

BAB II PUTUSAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA 22 BAB II PUTUSAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA A. Pengertian Putusan Hakim Proses peradilan pidana merupakan suatu proses yang panjang dan berbeda dengan proses pada peradilan lainnya. Suatu proses yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian berkembang, salah satu yang mulai tampak menonjol ialah banyaknya kejahatankejahatan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan titik sentral, sebab dimuka persidangan para pihak yang berperkara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 14 TAHUN 1985 (14/1985) Tanggal : 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber : LN 1985/73; TLN NO. 3316 DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

P U T U S AN No. 700 K/Pid/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

P U T U S AN No. 700 K/Pid/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G P U T U S AN No. 700 K/Pid/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

HAPUSNYA HAK PENUNTUNAN DALAM HUKUM PIDANA. BERLIN NAINGGOLAN, SH Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Sumatera Utara

HAPUSNYA HAK PENUNTUNAN DALAM HUKUM PIDANA. BERLIN NAINGGOLAN, SH Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Sumatera Utara HAPUSNYA HAK PENUNTUNAN DALAM HUKUM PIDANA BERLIN NAINGGOLAN, SH Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Sumatera Utara A. Pengertian Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penuntunan hanya ada pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam buku pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci