V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identifikasi Sektor-Sektor Basis di Provinsi Kepulauan Riau Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor yang menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan produksi dari masing-masing sektor. Secara umum sektor-sektor perekonomian tersebut dibagi menjadi 9 (sembilan) sektor, yaitu: (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas, dan Air Bersih; (5)Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (7) Pengangkutan dan telekomunkasi; (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; (9) dan Jasa lainnya. Hasil analisis LQ dengan menggunakan data PDRB per Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010 menunjukkan bahwa masing-masing Kabupaten/Kota memiliki sektor basis. Sektor basis adalah sektor dengan nilai LQ >1, yang menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di kabupaten/kota bersangkutan secara relatif di bandingkan dengan total Wilayah Provinsi Kepulauan Riau atau terjadi pemusatan aktifitas di kecamatan tersebut. Secara lengkap hasil analisis LQ dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai LQ aktivitas perekonomian per sektor tiap Kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau tahun No Kabupaten Kota Nilai LQ Tani Tmb Ind Ligas Bang Dag Akt Keu Jasa 1 Batam 0,22 0,03 1,24 1,16 1,00 1,05 1,00 1,11 1,00 2 Bintan 0,37 1,00 2,67 1,00 0,40 1,00 0,40 0,40 1,00 3 Tanjungpinang 0,14 0,00 1,00 2,36 2,40 1,56 2,06 2,45 2,03 4 Karimun 1,66 0,45 0,44 1,00 1,00 1,17 1,34 1,00 1,00 5 Natuna 1,00 0,01 0,03 0,06 0,15 0,19 0,11 0,19 0,31 6 Lingga 1,00 0,03 0,12 0,13 0,24 0,24 0,25 0,27 0,23 7 Kepulauan Anambas 1,00 3,02 0,01 0,03 0,06 0,14 0,07 0,11 0,16 Keterangan: Tani : Pertanian Dag : Perdagangan, Hotel dan Restoran Tmb : Pertambangan dan Penggalian Akt : Pengangkutan dan Komunikasi Ind : Industri Pengolahan Keu : Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Ligas : Listrik, Gas dan Air Bersih Jasa : Jasa-Jasa Bang : Bangunan 52

2 Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa tidak semua Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau memiliki lebih dari satu sektor unggulan (LQ>1). Hal ini berarti adanya keberagaman aktivitas di wilayah yang bersangkutan. Kota Batam, Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Karimun merupakan wilayah yang memiliki sektor unggulan paling banyak dengan 7 sektor perekonomian. Hasil lengkap sektor unggulan atau sektor perekonomian yang potensial menjadi sektor unggulan bagi wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Identifikasi sektor basis di Provinsi Kepulauan Riau Kabupaten / Kota Indikasi Sektor Basis ( LQ > 1 ) Batam Sektor Industri, Sektor Listrik & Gas, Sektor Bangunan, Sektor Perdagangan, Sektor Transportasi, Sektor Keuangan, Sektor Jasa Bintan Sektor Pertambangan, Sektor Industri, Sektor Listrik & Gas, Sektor Perdagangan, Sektor Jasa Tanjungpinang Sektor Industri, Sektor Listrik & Gas, Sektor Bangunan, Sektor Perdagangan, Sektor Transportasi, Sektor Keuangan, Sektor Jasa Karimun Sektor pertanian, Sektor Listrik & Gas, Sektor Bangunan, Sektor Perdagangan, Sektor Transportasi, Sektor Keuangan, Sektor Jasa Natuna Sektor pertanian Lingga Kepulauan Anambas Sektor pertanian Sektor pertanian, Sektor Pertambangan Sektor pertanian dan industri merupakan sektor unggulan dan menjadi aktivitas perekonomian primer di Provinsi Kepulauan Riau. Sektor pertanian cenderung menjadi aktivitas perekonomian yang kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan wilayah sehingga kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah yang lebih mengutamakan sektor yang dianggap lebih mampu meningkatkan pendapatan per kapita, terutama migas. Selain itu semakin banyak jumlah aktivitas sektor perekonomian yang berkembang, relatif memberikan indikasi meningkatnya aktivitas perekonomian yang potensial sehingga dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan di tiap kabupaten/kota. Oleh karena itu sektor pertanian yang di dalamnya terdapat sub sektor perikanan hendaknya dapat dijadikan salah satu sektor yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau, mengingat potensi laut dan pesisir yang ada sangat besar. Wilayah laut Provinsi Kepulauan Riau mencapai 95 % dari total luas wilayah, di mana di dalamnya terkandung potensi perikanan yang sangat besar, 53

3 yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan rakyat, dikarenakan masih terbatasnya infrastruktur dan sumber daya manusia di bidang keluatan dan perikanan, baik secara kuantitas dan kualitas. Pemerintah perlu mendorong pembangunan pelabuhan dan sentra pengolahan ikan, sehingga sub sektor perikanan dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian daerah. Secara spasial sektor basis di Provinsi Kepulauan Riau (LQ > 1) disajikan pada Gambar 6, dimana yang digambarkan merupakan sektor dengan nilai LQ yang paling besar di wilayah tersebut. Gambar 6. Peta sektor basis di Provinsi Kepulauan Riau tahun Dekomposisi Pertumbuhan Sektoral Wilayah Kriteria lain untuk menentukan suatu sektor merupakan sektor unggulan adalah kemampuannya untuk bersaing dengan sektor yang sama di dalam cakupan wilayah yang lebih besar. Hal ini dilakukan dengan menggunakan Shift Share Analysis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di tujuh kabupaten dalam lingkup Provinsi Kepulauan Riau dengan menggunakan data pada dua titik waktu. Data yang digunakan untuk analisis ini berupa data PDRB per kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2006 dan 2010 atas dasar harga berlaku. Khusus untuk mengetahui apakah suatu sektor memiliki daya saing dengan wilayah diatasnya dapat dilihat dari nilai differential shift nya. Apabila sektor 54

4 bersangkutan memiliki nilai lebih dari nol maka sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki kemampuan kompetitif. Secara lengkap hasil analisis Shift Share disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil Shift Share Analysis dari data PDRB atas dasar harga berlaku di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2006 dan 2010 No Kabupaten Kota Differential Shift Tani Tmb Ind Ligas Bang Dag Akt Keu Jasa 1 Batam 0,003-3,48 0,02 0,44 0,48 0,06-0,100-0,051 0,101 2 Bintan 0,221 2,70 0,18-1,32-0,66-0,36-0,146-0,028-0,176 3 Tanjungpinang 0,089-3,78-0,09-0,99-0,22 0,01 0,154 0,418-0,069 4 Karimun 0,158-2,80 0,14-1,12-0,17-0,24 0,036 0,143 0,041 5 Natuna 0,618-3,02-0,56-1,77-0,77-0,84-0,598-0,650-0,643 6 Lingga 0,020-2,34-0,44-1,36-0,25-0,04 0,238 0,242 0,109 7 Kepulauan Anambas 0,040 0,02-0,01-0,12-0,02 0,05 0,086-0,085-0,063 Keterangan: Tani : Pertanian Dag : Perdagangan, Hotel dan Restoran Tmb : Pertambangan dan Penggalian Akt : Pengangkutan dan Komunikasi Ind : Industri Pengolahan Keu : Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Ligas : Listrik, Gas dan Air Bersih Jasa : Jasa-Jasa Bang : Bangunan Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa sektor pertanian memiliki tingkat kompetitif paling tinggi di Kabupaten Bintan, sektor pertambangan di Kabupaten Kepulauan Anambas, sektor Industri di Kabupaten Karimun dan Kota Batam, sektor listrik, gas dan air bersih di Kota Batam, sektor bangunan memiliki tingkat kompetitif paling tinggi di Kota Batam, sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki tingkat kompetitif paling tinggi di Kota Tanjungpinang dan Kota Batam, sektor pengangkutan dan transportasi di Kota Tanjungpinang, sektor keuangan di Kota Tanjungpinang, dan sektor jasa memiliki tingkat kompetitif paling tinggi di Kabupaten Lingga dan Kota Batam. Kota Batam merupakan wilayah yang memiliki kemampuan kompetitif sektor perekonomian yang paling dominan dimana nilai kompetitif tertinggi dari 9 sektor perekonomian, 5 sektor berada di Kota Batam. Dalam penetapan sektor unggulan wilayah dilakukan kompilasi hasil analisis sektor basis dan dekomposisi pertumbuhan sektor perekonomian. Sektor perekonomian dengan nilai LQ > 1 dan differential shift > 0 ditetapkan sebagai sektor unggulan wilayah, urutan prioritas pengembangan sektor unggulan 55

5 didasarkan pada kontribusi sektor terhadap PDRB total. Kontribusi masingmasing sektor terhadap PDRB total disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Kontribusi sektor-sektor PDRB atas dasar harga berlaku per Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2010 No. Kabupaten/ Kota Kontribusi Sektor (%) Tani Tmb Ind Ligas Bang Dag Akt Keu Jasa 1 Batam 5,47 1,89 88,62 83,22 42,67 75,41 41,94 79,70 41,68 2 Bintan 7,40 16,70 7,19 3,22 5,47 5,37 5,43 1,90 7,32 3 Tanjungpinang 2,74 0,10 2,58 9,37 32,60 9,09 28,25 11,75 28,04 4 Karimun 33,12 10,41 1,19 3,34 13,11 6,82 18,47 3,94 13,27 5 Natuna 18,93 0,16 0,07 0,24 2,06 1,09 1,52 0,92 4,34 6 Lingga 15,60 0,66 0,32 0,51 3,29 1,40 3,40 1,28 3,18 7 Kepulauan Anambas 16,74 70,07 0,03 0,10 0,80 0,82 0,99 0,51 2,17 Provinsi Kepulauan Riau Keterangan: Tani : Pertanian Dag : Perdagangan, Hotel dan Restoran Tmb : Pertambangan dan Penggalian Akt : Pengangkutan dan Komunikasi Ind : Industri Pengolahan Keu : Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Ligas : Listrik, Gas dan Air Bersih Jasa : Jasa-Jasa Bang : Bangunan Berdasarkan hasil analisis LQ, hasil analisis Shift Share dan kontribusi sektor terhadap PDRB total maka ditetapkan prioritas pengembangan sektor unggulan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau seperti disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Arahan pengembangan sektor unggulan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau Kabupaten / Kota Batam Bintan Tanjungpinang Karimun Sektor Basis Wilayah Industri, Listrik & Gas, Bangunan, Perdagangan, Transportasi, Keuangan, Jasa Pertambangan, Industri, Listrik & Gas, Perdagangan, Industri, Listrik & Gas, Bangunan, Perdagangan, Transportasi, Keuangan, Jasa Kelautan Perikanan, Listrik & Gas, Bangunan, Perdagangan, Transportasi, Keuangan, Jasa Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kelautan Perikanan, Industri, Listrik & Gas, Bangunan, Perdagangan, Jasa Kelautan Perikanan, Pertambangan, Industri Kelautan Perikanan, Perdagangan, Transportasi, Keuangan Kelautan Perikanan,Industri, Transportasi, Keuangan, Jasa Natuna Kelautan Perikanan Kelautan Perikanan Lingga Kepulauan Anambas Kelautan Perikanan Kelautan Perikanan, Pertambangan, Pertanian, Transportasi, Keuangan, Jasa Kelautan Perikanan, Pertambangan, Perdagangan Transportasi, Prioritas Sektor Unggulan 1. Industri 2. Ligas 3. Bangunan 4. Perdagangan 1. Industri 2. Pertambangan, 1. Perdagangan 2. Transportasi 3. Keuangan 1. Kelautan Perikanan 2. Transportasi 3. Keuangan 4. Jasa Kelautan Perikanan Kelautan Perikanan 1. Kelautan Perikanan 2. Pertambangan 56

6 Secara spasial arahan prioritas pengembangan sektor unggulan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau disajikan pada Gambar 7, dimana yang digambarkan merupakan sektor yang menempati urutan pertama prioritas pengembangan. Gambar 7. Peta arahan pengembangan sektor unggulan di Provinsi Kepulauan Riau 5.3. Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah diperlukan suatu analisis mengenai pencapaian pembangunan melalui indikator-indikator kinerja bidang ekonomi sosial dan bidang lain yang mempunyai keterkaitan. Pengembangan wilayah bertujuan untuk memacu perkembangan ekonomi dan sosial serta berperan dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dalam penelitan ini, sebagai pendekatan untuk melihat tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau digunakan metode analisis entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis skalogram (aspek sarana prasarana wilayah). 57

7 Perkembangan Diversifikasi Aktifitas Perekonomian Tingkat perkembangan wilayah dengan aspek ekonomi berdasarkan hasil indeks entropi pada tahun 2006 hingga 2010 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Terjadi peningkatan nilai entropi total pada tahun 2008, dari 2,27 menjadi 2,35. Namun sampai tahun 2010 nilai entropi total tidak mengalami peningkatan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut proporsi keragaman sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota relatif stabil sehingga komposisi sektor-sektor perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau cenderung kurang berkembang. Pada tahun 2006 hasil analisis entropi total dari data aktifitas tiap sektor perekonomian di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, menunjukan bahwa nilai entropi sebesar 2,27. Nilai entropi tersebut belum mencapai nilai entropi maksimum karena dengan 9 (sembilan) komponen dari sektor-sektor perekonomian yang ada seharusnya dapat dicapai nilai entropi maksimum sebesar 4,14 Nilai entropi total Provinsi Kepulauan Riau tahun 2006 relatif belum mendekati nilai entropi maksimum sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat penyebaran aktifitas di seluruh wilayah Provinsi Kepulauan Riau relatif belum merata dan aktifitas sektor-sektor perekonomian yang relatif belum seragam. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2008 dan 2010 walaupun nilai entropi total meningkat menjadi 2,35 tetapi masih jauh dibawah nilai entropi maksimum (4,14). Sebaran intensitas aktifitas tiap sektor perekonomian paling merata (peluang perkembangan seluruh aktifitas), secara proporsi terhadap perkembangan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2006 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 27 adalah di Kota Batam (1,06) atau sekitar persen. Apabila dilihat berdasarkan nilai rataan dan standar deviasi indeks entropinya maka wilayah Kota Batam dapat diklasifikasikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi. Sedangkan untuk Kota Tanjungpinang dengan nilai entropi total (0,33) atau 14,55 persen, Kabupaten Bintan (0,32) atau 14,03 persen dan Kabupaten Karimun (0,31) atau 13,60 persen, tingkat perkembangan ketiga wilayah tersebut dikategorikan sedang. Adapun wilayah Kabupaten Lingga, 58

8 Natuna dan Kepulauan Anambas hanya memiliki kontribusi di bawah 10 persen (tingkat perkembangannya rendah). Tabel 27. Perkembangan indeks entropi (PDRB sektoral) tiap Kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2006, 2008, Perkembangan Wilayah Kabupaten/Kota Entropi Indeks Entropi Indeks Entropi Indeks Total Entropi Total Entropi Total Entropi Batam 1,06 0,26 1,07 0,26 1,09 0,26 Bintan 0,32 0,08 0,29 0,07 0,28 0,07 Tanjungpinang 0,33 0,08 0,34 0,08 0,34 0,08 Karimun 0,31 0,07 0,29 0,07 0,30 0,07 Natuna 0,15 0,04 0,09 0,02 0,09 0,02 Lingga 0,10 0,02 0,09 0,02 0,09 0,02 Kepulauan Anambas 0,00 0,00 0,18 0,04 0,17 0,04 Provinsi Kepulauan Riau 2,27 0,55 2,35 0,57 2,35 0,57 Maks 1,06 0,26 1,07 0,26 1,09 0,26 Min 0,00 0,00 0,09 0,02 0,09 0,02 Rataan 0,32 0,08 0,34 0,08 0,34 0,08 Standar Deviasi 0,35 0,08 0,34 0,08 0,35 0,08 Selanjutnya pada tahun 2008 sebaran terbesar intensitas aktivitas tersebut masih terdapat di Kota Batam (1,07), sedangkan Kota Tanjungpinang (0,34), Kabupaten Bintan (0,29) dan Kabupaten Karimun (0,29) tingkat perkembangan wilayahnya masih tetap dalam kategori sedang. Kabupaten yang memiliki nilai entropi dengan kontribusi dibawah 10 persen yaitu Kabupaten Natuna (0,09), Kabupaten Lingga (0,09) dan Kabupaten Kepulauan Anambas (0,18) sebaran intensitas aktifitas perekonomiannya paling tidak merata atau tingkat perkembangannya rendah. Pada tahun 2010 kondisi tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti sehingga bisa dikatakan perkembangan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau bersifat stabil dan dan kabupaten/kota dengan aktivitas perekonomian yang beragam atau aktivitas sektor yang konsentrasi memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berkisar sedang-tinggi apabila dilihat berdasarkan nilai entropi total masing-masing kabupaten/kota antara 0,28 sampai dengan 1,09. Berdasarkan jumlah aktivitasnya, nilai entropi tertinggi secara berturut-turut terjadi pada aktivitas sektor perindustrian (0,58), dan sektor perdagangan (0,58). Sedangkan aktivitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan 59

9 lokasi dan tidak mengalami perubahan, yakni aktifitas sektor listrik gas dan air bersih (0,04). Pada tahun 2010, aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi antara lain terjadi pada sektor jasa (0,13), pertambangan (0,18) dan keuangan (0,19) seperti yang disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Perkembangan indeks entropi (PDRB sektoral) tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2010 Entropi Aktifitas Perekonomian Tiap Sektor Tahun 2010 Kabupaten / Kota Tani Tmb Ind Ligas Bang Dag Akt Keu Jasa Batam 0,039 0,006 0,364 0,029 0,077 0,316 0,077 0,131 0,048 Bintan 0,022 0,036 0,115 0,002 0,015 0,058 0,015 0,007 0,012 Tanjungpinang 0,009 0,000 0,054 0,005 0,063 0,087 0,057 0,031 0,035 Karimun 0,070 0,025 0,029 0,002 0,031 0,070 0,041 0,013 0,019 Natuna 0,046 0,001 0,003 0,000 0,007 0,016 0,005 0,004 0,007 Lingga 0,029 0,002 0,010 0,000 0,010 0,020 0,010 0,005 0,006 Kepulauan Anambas 0,031 0,108 0,001 0,000 0,003 0,013 0,004 0,002 0,004 Provinsi Kepulauan Riau 0,246 0,178 0,577 0,038 0,204 0,579 0,208 0,192 0,131 Hasil analisis LQ dan entropi menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah berdasarkan pendapatan wilayah mencerminkan diversitas dan sektorsektor perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau dan apabila dikaitkan dengan banyaknya jumlah sektor unggulan tingkat perkembangan wilayah menjadi lebih tinggi, seperti yang dimiliki oleh Kota Batam. Sedangkan nilai entropi total dari sektor-sektor unggulan tertentu, seperti yang dimiliki oleh Kab. Bintan, Kota Tanjungpinang dan Kab. Karimun relatif mengindikasikan pertumbuhan ekonomi wilayahnya meningkat sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan wilayah yang sedang. Sektor pertanian khususnya sub sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor yang memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar di Provinsi Kepulauan Riau cenderung memiliki keterkaitan hubungan yang relatif kecil dengan sektor produksi atau sektor ekonomi lainnya walaupun memberikan kontribusi yang dominan. Sektor industri dan sektor perdagangan (termasuk hotel dan restoran yang sangat berkaitan dengan pariwisata) diharapkan memiliki peranan yang penting dalam memberikan multiplier effect terhadap kinerja perekonomian sehingga untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi, pemerintah daerah perlu memperhatikan sektor unggulan wilayah dalam menentukan arah 60

10 kebijakannya yang bertujuan untuk memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian Provinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sub sektor perikanan ke arah industri yang cenderung memacu sub sektor perikanan untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat secara signifikan pada kedua sektor tersebut. Dengan peningkatan lapangan kerja maka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau Hirarki Wilayah Dalam rangka melihat tingkat perkembangan hirarki di suatu wilayah terhadap wilayah lain yang dibatasi oleh administrasi kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau, terutama dalam hal sarana infrastruktur maka digunakan analisis skalogram. Analisis skalogram mengidentifikasikan wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah hinterlandnya, dilihat dari tersedianya kapasitas pelayanan umum, seperti sarana dan prasarana bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian di masing-masing kabupaten/kota. Tingkat perkembangan suatu wilayah berdasarkan analisis skalogram dicerminkan oleh nilai indeks perkembangan wilayah (IPW) masing-masing kabupaten/kota sehingga semakin tinggi nilai IPW maka wilayah tersebut semakin berkembang dengan fasilitas pelayanan umum yang memadai. Jumlah Jenis Fasilitas sarana dan prasarana juga menjadi ukuran dalam penentuan hiraki wilayah. Hasil analisis skalogram dengan menggunakan data Potensi Desa (PODES) tahun 2011 diperoleh nilai IPW berkisar antara 7,89 (Kabupaten Kepulauan Anambas) sampai dengan 112,38 (Kota Batam). Selain itu Kota Batam juga memiliki jumlah jenis fasilitas yang paling besar yaitu sejumlah 61 jenis. Hal ini dikarenakan proses pembangunan di Kota Batam sangat masif sejak masa Otorita Batam untuk mendukung industri yang menjadi kebijakan nasional pemerintah pusat dan semakin meningkat setelah Kota Batam termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. sedangkan Kabupaten Kepulauan Anambas sebagai kabupaten baru hanya memiliki 26 jenis fasilitas sehingga menempati urutan 61

11 terakhir dalam hirarki wilayah di Provinsi Kepulauan Riau seperti yang terlihat pada Tabel 29. Tabel 29. Indeks perkembangan wilayah, jumlah jenis fasilitas dan hirarki wilayah di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2010 Kota/Kabupaten Luas Wilayah Daratan (Ha) Jumlah Penduduk Indeks Perkembangan Wilayah (IPW) Jumlah Jenis Fasilitas Hirarki Batam 770, , Tanjungpinang 239, , Bintan 1.946, , Karimun 2.873, , Natuna 2.058, , Lingga 2.117, , Kepulauan Anambas 590, , Hirarki wilayah menurut ketersediaan fasilitas pelayanan umum tersebut dapat di definisikan sebagai berikut : 1. Wilayah yang termasuk hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang memadai, terutama di bidang pendidikan menengah (SLTP dan SLTA), bidang kesehatan (Rumah Sakit, RS Bersalin, tempat praktek dokter dan apotik); bidang perekonomian/perdagangan (hotel, restoran, lembaga keuangan dan mall) serta aksesibilitas terhadap informasi dan telekomunikasi (warnet dan warpostel). Kota Batam dengan IPW (112,38) dan Kota Tanjungpinang (105,85) menempati hirarki I di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. 2. Pada hirarki II ditempati oleh kabupaten /kota dengan tingkat perkembangan wilayah sedang, yakni Kabupaten Bintan dengan IPW 77,08, dan Kabupaten Karimun (70,54) dan memiliki ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan umum relatif lebih rendah dibanding Kota Batam dan Tanjungpinang. 3. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan kota/kabupaten dengan tingkat perkembangan rendah/kurang berkembang apabila dibandingkan dengan hirarki I, sehingga wilayah ini cenderung dikategorikan sebagai wilayah yang masih mengandalkan pada sektor pertanian atau cenderung lebih 62

12 memperhatikan sektor yang terkonsentrasi terutama pertambangan dan penggalian dengan migas, seperti yang dialami oleh Kabupaten Natuna dengan IPW 44,84, Kabupaten Lingga (19,18) dan dan Kabupaten Kepulauan Anambas (7,89). Sebaran hirarki wilayah berdasarkan hasil analisis skalogram di Provinsi Kepulauan Riau secara spasial disajikan dalam Gambar 8 dan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketimpangan infrastruktur wilayah akibat terpusatnya pembangunan sarana dan prasarana serta pelayanan umum di Kota Batam dan Kota Tanjungpinang sebagai wilayah inti terhadap kabupaten/kota lain. Oleh karena itu, pemerintah daerah hendaknya lebih menggiatkan pembangunan prasarana dasar, seperti sekolah, fasiltas pelayan kesehatan dan fasiltas perekonomian terutama memperbanyak dan memperbaiki pembangunan jumlah fasilitas pendidikan dasar, jumlah rumah sakit, jumlah lembaga keuangan. Secara umum pembangunan pusat perbelanjaan dan lembaga keuangan bertujuan agar peredaran uang di suatu wilayah diharapkan dapat lebih lama dan berfungsi sebagai tabungan yang diharapkan dapat memacu investasi domestik sehingga penyerapan sumberdaya (Backwash) oleh Kota Batam dan Kota Tanjungpinang sebagai pusat wilayah pembangunan dan perekonomian selama ini, tidak terus terjadi. KARIMUN BATAM BINTAN TANJUNGPINANG NATUNA LINGGA KEPULAUAN ANAMBAS Gambar 8. Peta hirarki wilayah di Provinsi Kepulauan Riau 63

13 5.4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau Disparitas pembangunan menurut Chaniago et al. (2000) dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak berimbang, sehingga apabila dikaitkan dengan pembangunan suatu sektor atau wilayah maka disparitas pembangunan merupakan suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor maupun antar wilayah yang ditandai dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Hasil analisis Indeks Williamson dengan menggunakan PDRB per kapita dan jumlah penduduk tiap kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2006 sampai dengan 2010 disajikan pada Gambar 9. Indeks Williamson Gambar 9. Perkembangan Indeks Williamson tahun di wilayah Provinsi Kepulauan Riau Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu tahun 2006 sampai dengan 2010, tingkat disparitas di Provinsi Kepulauan Riau mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan dengan Indeks Williamson sebesar 0,84574 pada tahun 2006 turun berturut-turut tahun 2007 menjadi sebesar 0,82984, tahun 2008 menjadi sebesar 0,60698, tahun 2009 menjadi sebesar 0,57870, dan tahun 2010 menjadi sebesar menjadi 0, Secara rinci, perkembangan tingkat disparitas di Provinsi Kepulauan Riau atas dasar PDRB perkapita dari tahun 2006 sampai tahun 2010 disajikan pada Tabel

14 Tabel 30. Indeks Williamson menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku perkapita tahun di Provinsi Kepulauan Riau Kabupaten/Kota PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw Batam 30,95 0,845 34,97 0,829 40,52 0,606 43,39 0,578 50,09 0,495 Bintan 22,62 24,62 26,65 28,46 31,10 Tanjungpinang 16,05 18,55 22,14 24,35 27,63 Karimun 12,88 14,34 16,21 17,97 20,17 Natuna 19,71 21,65 12,97 14,17 15,61 Lingga 7,86 8,60 9,72 10,68 11,85 Kepulauan Anambas ,45 67,75 72,30 Keterangan : Iw : Indeks Williamson Hasil analisis Indeks Williamson menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan pembangunan di wilayah Provinsi Kepulauan Riau dengan tingkat sangat tinggi (Iw : 0,5 1) dari tahun 2006 sampai tahun 2009, dimana kesenjangan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan nilai Indeks Williamson sebesar 0,8457. Tren positif pembangunan terlihat dari menurunnya tingkat kesenjangan pembangunan setiap tahunnya. Akhirnya pada tahun 2010 kesenjangan pembangunan di wilayah Provinsi Kepulauan Riau menurun dari tingkat sangat tinggi menjadi sedang yaitu 0,49580 (Iw : 0,3 0,5). Hal ini menunjukkan keberhasilan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau, dimana PDRB yang semakin meningkat dari tahun ke tahun mengindikasikan setiap wilayah Kabupaten dan Kota semakin mengejar ketertinggalan dari Kota yang sudah mapan seperti Kota Batam. Penurunan kesenjangan pembangunan yang paling signifikan terjadi pada tahun 2008 ketika Kabupaten Kepulauan Anambas terbentuk. Walaupun merupakan kabupaten baru tetapi PDRB yang dihasilkan cukup besar terutama dari hasil migas. Dengan penduduk yang relatif kecil, nilai PDRB perkapita Kabupaten Kepulauan Anambas menjadi besar. Kota Tanjungpinang juga mengalami pertumbuhan pembangunan yang cukup signifikan mengingat posisinya sebagai pusat ibu kota pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Perpindahan sumberdaya manusia dengan tingkat pendidikan dan keterampilan tinggi ke ibu kota baru ini, semakin mempercepat pembangunan di Kota Tanjungpinang. Kabupaten Bintan dan Karimun mengalami peningkatan 65

15 pembangunan yang konstan mengingat sumberdaya alam yang ada dapat lebih dioptimalkan pemanfaatannya seiring membaiknya infrastruktur dan peningkatan sumberdaya manusia serta dukungan pemerintah. Kabupaten Lingga dan Natuna juga mengalami perkembangan, tetapi tidak sepesat kabupaten lainnya. Walaupun sumberdaya alam yang dimiliki cukup besar terutama potensi perikanan dan kelautan, tetapi jarak yang jauh, sulitnya akses dan minimnya infrastruktur masih menjadi kendala pengembangan pembangunan. Sumberdaya manusia yang terbatas sangat berpengaruh di dalam partisipasi publik dalam suatu perencanaan pembangunan, kebijakan pemerintah dalam pembangunan wilayah belum dapat sepenuhnya terimplementasikan secara optimal. Secara lengkap analisis Indeks Williamson dapat dilihat pada Lampiran 1. Selanjutnya hasil dekomposisi indeks sumber disparitas untuk melihat sejauh mana wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan provinsi (kabupaten) dengan wilayah kota mengalami kesenjangan. Data yang digunakan adalah data PDRB dan jumlah penduduk per Kabupaten/Kota pada tahun 2006 sampai dengan Indeks Theil menunjukkan disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau mengalami penurunan dari tahun ke tahun baik disparitas antar wilayah kota dan kabupaten maupun disparitas antar wilayah kabupaten. Nilai Indeks Theil yang menunjukkan disparitas wilayah antar kota dan kabupaten pada tahun 2006 sebesar 0,034 menurun terus sampai pada tahun 2010 nilainya menjadi 0,016. Indeks Theil pada disparitas wilayah antar kabupaten pada tahun 2006 sebesar 0,023 turun menjadi 0,018 pada tahun 2010 sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 10. Hal ini menunjukkan proses pembangunan dan pengembangan wilayah cukup berhasil menurunkan tingkat ketimpangan wilayah. 66

16 Gambar 10. Dekomposisi disparitas wilayah tahun di wilayah Provinsi Kepulauan Riau dengan Indeks Theil Pada tahun dekomposisi sumber disparitas di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan bahwa sumber utama disparitas adalah ketimpangan antar kota dan kabupaten yang mencapai 59,59 persen pada tahun 2006 dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 60,20 persen. Tetapi sejak tahun 2008, sumber utama disparitas di Provinsi Kepulauan Riau berubah menjadi ketimpangan antar kabupaten yang menyumbang 54,91 persen pada tahun 2008, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 11. Sumber Ketimpangan (%) Gambar 11. Persentase sumber disparitas tahun di Provinsi Kepulauan Riau 67

17 Walaupun pada tahun 2009 persentase sumber disparitas antar kota kabupaten menurun menjadi 54,26 persen dan kembali turun pada tahun 2010 menjadi 53,75 persen, namun tetap memberikan kontribusi yang lebih besar sebagai sumber disparitas di Provinsi Kepulauan Riau. Perubahan sumber disparitas dari disparitas antar kota dan kabupaten menjadi disparitas antar kabupaten yang terjadi pada tahun 2008, dikarenakan adanya pemekaran wilayah yaitu Kabupaten Natuna menjadi Kabupaten Natuna sebagai induk dan Kabupaten Kepulauan Anambas sebagai wilayah yang dimekarkan. Pemekaran wilayah ini berdampak signifikan dalam mengubah komposisi sumber disparitas di Provinsi Kepulauan Riau dari ketimpangan antar kota dan kabupaten menjadi ketimpangan antar kabupaten. Secara lengkap analisis Indeks Theil dapat dilihat pada Lampiran Faktor-Faktor Terkait Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau, diketahui dari hasil analisis regresi berganda. Variabel tujuan yang digunakan adalah nilai Indeks Williamson masing-masing kabupaten dan variabel penjelas berupa faktor ekonomi (fasilitas perekonomian dan nilai PDRB) dan faktor sosial (fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan fasilitas ibadah). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat disparitas wilayah sebanyak 5 variabel disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau Beta Std.Err. of Beta B Std.Err.of B t(50) p-level Intercept 0, , , , X5-18,2617 3, , , , , X6 23,2467 4, , , , , X7 1,9024 0, , , , , X10-6,3734 1, , , , , X11-0,3049 0, , , , , Koefisien determinasi (R 2 ) = 0,799 68

18 dimana: Y = Indeks Kesenjangan Wilayah X 5 = PDRB Pertanian X6 = PDRB Pertambangan X7 = PDRB Industri Pengolahan X10 = PDRB Perdagangan, Hotel dan Restauran X11 = PDRB Angkutan dan Komunikasi Berdasarkan hasil analisis tersebut bisa disusun suatu persamaan regresi berganda sebagai berikut: Y = 0,164 18,262X ,247X 2 + 1,902 X 3-6,373 X 4 0,305X 5 dimana : Y = Indeks Kesenjangan Wilayah X 1 = PDRB Pertanian X2 = PDRB Pertambangan X3 = PDRB Industri Pengolahan X4 = PDRB Perdagangan, Hotel dan Restauran X5 = PDRB Angkutan dan Komunikasi Nilai koefisien determinasi sebesar 0,799 menjelaskan bahwa persamaan diatas mampu menjelaskan keragaman data sebesar 79 %. Dari hasil analisis yang dilakukan bisa diketahui faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya disparitas antar wilayah antara lain PDRB sektor pertambangan, dan PDRB sektor industri pengolahan. Semakin tinggi kontribusi sektor pertambangan suatu wilayah akan meningkatkan tingkat disparitas wilayah secara keseluruhan karena tidak semua wilayah memiliki kontribusi sektor pertambangan yang besar, sehingga wilayah yang tidak memiliki sektor pertambangan semakin tertinggal. Kontribusi sektor industri pengolahan paling nyata dalam meningkatkan tingkat disparitas wilayah secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi Sektor Industri Pengolahan Kota Batam yang mencapai 88 % dari total PDRB Sektor Industri Pengolahan di Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah dengan kontribusi Sektor industri pengolahan yang rendah semakin tertinggal. Hal ini menyebabkan kesenjangan atau ketimpangan di antara kedua wilayah tersebut semakin lebar. Hasil analisis menunjukan faktor-faktor yang menurunkan tingkat disparitas adalah PDRB sektor pertanian, PDRB sektor perdagangan, hotel, restauran, dan PDRB sektor angkutan komunikasi. Semakin tinggi kontribusi sektor-sektor tersebut di suatu wilayah akan menurunkan tingkat disparitas antar wilayah secara keseluruhan. Meningkatnya kontribusi PDRB sektor pertanian 69

19 suatu wilayah dapat menurunkan tingkat disparitas secara menyeluruh. Hal ini merupakan peluang bagi pemerintah untuk memprioritaskan sektor pertanian untuk menurunkan tingkat disparitas. Sektor pertanian dengan sub sektor perikanannya memiliki potensi yang luar biasa besar di wilayah Kepulauan Riau yang mencakup 98,05 % dari total wilayah. Semua kabupaten/kota memiliki potensi yang besar ini, namun masih kurang memadai dari sisi penyediaan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu pemerintah perlu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk mengelola potensi kelautan dan perikanan ini, sehingga dapat meningkatkan perekonomian wilayah secara keseluruhan. Sektor perdagangan, hotel dan restauran juga berperan dalam menurunkan tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau. Sektor ini sangat berkaitan erat dengan pariwisata yang memiliki potensi cukup besar di Provinsi Kepulauan Riau. Kota Batam sejak awal dikenal sebagai daerah wisata belanja, yang banyak dikunjungi wisatawan bukan hanya dari dalam negeri tapi juga manca negara. Faktor kedekatan dengan wilayah Singapura juga menjadi pemicu derasnya arus wisatawan ke Kota Batam. Dewasa ini Kota Batam juga mulai dikenal sebagai salah satu tujuan wisata bawah laut, terutama sejak dimulainya kampanye penyelamatan terumbu karang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dibawah program Coral Reef Management Program (COREMAP) yang bertujuan melestarikan terumbu karang. Ternyata wilayah Kota Batam memiliki beberapa pulau dengan kondisi terumbu karang yang sangat baik, sehingga dapat menjadi daya tarik wisata bawah laut (diving) yang banyak diminati turis manca negara. Selain Kota Batam, seluruh kabupaten dan kota di wilayah Kepulauan Riau memiliki potensi wisata alam yang sangat besar dan masih sangat terjaga, khususnya wisata pantai dan bawah laut. Di wilayah pantai utara Kabupaten Bintan terdapat hamparan pantai pasir putih yang cukup luas dengan pemandangan yang sangat indah, tidak kalah dengan pantai di Bali. Hal ini menarik investor dari Singapura untuk membangun kawasan wisata yang terkenal sebagai Kawasan Wisata Lagoi. Hal ini memberikan pendapatan yang cukup besar kepada pemerintah Kabupaten Bintan. Wilayah lainnya di Kepulauan Riau masih perlu dibangun infrastruktur pariwisatanya dan perlu dipromosikan 70

20 secara lebih luas. Dengan meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restauran khususnya dari sisi pariwisata maka akan mengurangi tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau. Hasil penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor yang menurunkan tingkat disparitas adalah kontribusi PDRB sektor angkutan dan komunikasi. Semakin besar kontribusi sektor angkutan di suatu wilayah akan menurunkan tingkat disparitas wilayah secara keseluruhan. Hal ini dapat dipahami mengingat wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang didominasi lautan dan wilayah daratannya yang terpisah-pisah kedalam pulau memerlukan transportasi untuk menunjang arus barang dan manusia. Ketiadaan sarana angkutan menjadi kendala pembangunan wilayah dan dapat menjadikan suatu wilayah terisolasi. Selain itu semakin jauh suatu wilayah dari pusat pemerintahan maka semakin besar biaya transportasi yang dibutuhkan untuk mengaksesnya. Hal ini menyebabkan tingkat perkembangan wilayah berbeda-beda, dimana wilayah yang sulit diakses karena minimnya sarana transportasi akan semakin tertinggal. Hasil penelitian membuktikan bahwa dengan meningkatkan sarana angkutan, dalam hal ini akan meningkatkan kontribusi PDRB sektor angkutan, maka akan dapat menurunkan tingkat disparitas antar wilayah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya untuk mengurangi disparitas adalah dengan menyebarkan pembangunan prasarana perhubungan. Hal ini akan memperlancar proses interaksi antar wilayah dalam hal perdangangan dan mobilitas faktor produksi antar wilayah. Secara lengkap variabel yang digunakan dalam analisis regresi berganda ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau yang selama ini masih cenderung ke arah perkotaan, perlu diubah dengan menitik beratkan pembangunan di wilayah hinterland. Penyebaran fasilitas pelayanan publik, fasilitas perekonomian (khususnya sub sektor perikanan, sektor pariwisata dan angkutan), dan fasilitas penunjang lainnya diharapkan dapat mengurangi tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau. Rustiadi et al. (2009) menyebutkan upaya untuk mengatasi masalah disparitas pembangunan antar wilayah dapat dilakukan dengan mendorong pemerataan investasi, pemerataan permintaan (demand), dan pemerataan tabungan. Dengan pemerataan investasi baik secara 71

21 sektoral maupun secara spasial akan mempengaruhi perkembangan infrastruktur wilayah. Investasi dipengaruhi oleh tingkat tabungan apabila jumlah tabugan suatu wilayah meningkat maka akan mendorong potensi investasi. Untuk bisa menciptakan demand masing-masing produk maka pengembangan industri dan wilayah harus dilakukan secara simultan. Menurut Sjafrizal (2008) pengembangan pusat pertumbuhan (growth poles) secara tersebar dapat mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah karena pusat pertumbuhan menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi. Aspek konsentrasi diperlukan guna mempertahankan efisiensi dalam rangka penyebaran kegiatan pembangunan. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan untuk menjaga keberimbangan penyebaran kegiatan pembangunan sehingga disparitas pembangunan antar wilayah dapat dikurangi. Perekonomian suatu wilayah dipengaruhi oleh produktifitas daerah tersebut. Produktifitas suatu daerah dapat dilihat dari besarnya produk yang dihasilkan pada suatu daerah dan dapat menyuplai daerah lainnya. Sedangkan daerah yang kurang produktif umumnya lebih banyak mendatangkan barang dari daerah lain, karena tidak mampu menghasilkan secara mandiri di wilayahnya. Hal tersebut dikarenakan tidak tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan untuk menjalankan produksi. Tabel 32 berikut menyajikan besarnya bongkar muat barang melalui pelabuhan di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau. Tabel 32. Data Bongkar Muat Barang Menurut Pelabuhan di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011 No Kabupaten / Kota Pelabuhan Jumlah Barang (Ton) Bongkar Muat 1 Tanjung Pinang Sri Bintan Pura Batam Sekupang Batam Sambu Bintan Tanjung Uban Bintan Kijang Karimun Tanjung Balai Karimun Tg Batu Lingga Dabo Singkep Lingga Senayang Kepulauan Anambas Tarempa Sumber : Dinas Perhubungan Provinsi Kepulauan Riau (2012) 72

22 Berdasarkan data tersebut diatas, Kota Batam dapat dikategorikan sebagai wilayah yang sangat produktif dimana jumlah barang yang dikirim ke daerah lain, termasuk ke luar negeri, sangat besar mencapai ton. Kabupaten Lingga mendatangkan lebih banyak barang melalui Pelabuhan Senayang karena daerah Senayang merupakan daerah terisolir sehingga membutuhkan barang dari daerah lainnya. Pelabuhan Tarempa di Kabupaten Kepulauan Anambas sebagai wilayah yang cukup terisolir lebih banyak mendatangkan barang dari pada memproduksinya. Selain itu sumberdaya manusia yang terbatas juga menjadikan wilayah Kepulauan Anambas menjadi daerah yang kurang produktif. Pelabuhan Sri Bintan Pura di Kota Tanjungpinang melayani distribusi barang ke Tanjung Batu Kabupaten Karimun, dan Senayang serta Dabo Singkep Kabupaten Lingga. Pelabuhan Kijang melayani distribusi barang ke Pelabuhan Tarempa Kabupaten Kepulauan Anambas, dan keluar wilayah Kepulauan Riau yaitu Kalimantan dan Jakarta. Pelabuhan terpenting di Provinsi Kepulauan Riau ialah Sambu dan Sekupang di Kota Batam dan Tanjungbalai di Kabupaten Karimun, karena melayani arus barang dari dan ke luar negeri, khususnya Singapura dan Malaysia. Volume bongkat muat barang yang sangat besar di Pelabuhan Sambu dan Sekupang, menunjukkan aktifitas ekonomi yang sangat besar di Kota Batam, khususnya sektor industri pengolahan yang sebagian besar merupakan barang elektronik dan mesin. Pelabuhan Tanjungbalai Karimun menjadi pusat bongkar muat barang hasil bumi yang umumnya berupa karet dan produk perikanan. Pelabuhan Dabo Singkep melayani bongkar muat barang berupa produk perikanan dan bahan tambang seperti bauksit, timah, batu besi dan granit. Sebagian barang tambang tersebut dikirim ke Pelabuhan Sambu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan di Kota Batam. Gambar 12 menunjukkan arus barang antar pelabuhan di beberapa kabupaten/kota Provinsi Kepulauan Riau. Produktifitas suatu wilayah sangat berkaitan dengan disparitas pembangunan antar wilayah. Pemerintah harus berupaya untuk menekan tingkat disparitas antar wilayah tersebut dengan memaksimalkan pemanfaatan potensi lokal khususnya di wilayah yang masih tertinggal. Dengan demikian perekonomian wilayah dapat berkembang dan dapat menekan tingkat disparitas pembangunan antar wilayah. 73

23 Dari dan Ke Luar Negeri Tarempa Tanjung Balai KARIMUN Tanjung Batu Sambu BATAM Sekupang BINTAN Tanjung Uban Kijang Sri Bintan Pura TANJUNGPINANG Ke Kalimantan Senayang Dabo Singkep Ke Jakarta Gambar 12. Peta Arus Batang Antar Pelabuhan di Provinsi Kepulauan Riau 74

24 5.6 Prioritas Pembangunan Wilayah Berdasarkan Persepsi Pemangku Kepentingan di Provinsi Kepulauan Riau Prioritas pembangunan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau menurut persepsi para pemangku kebijakan dan pihak-pihak yang terkait dalam proses pembangunan dianalisis dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) sehingga prioritas yang dihasilkan dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis dan transparan. Tujuan utama yang ingin dicapai dari metode AHP ini adalah untuk menjaring persepsi tentang prioritas utama yang perlu dilakukan dalam kebijakan pembangunan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau. Persepsi seluruh pemangku kepentingan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau dalam penentuan prioritas pembangunan menurut indikator kinerja pembangunan disajikan pada Gambar 13. Gambar 13. Persepsi pemangku kepentingan pembangunan dalam penentuan prioritas pembangunan berdasarkan indikator kinerja pembangunan Persepsi anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau dalam penentuan prioritas pembangunan dari 3 kriteria yang merupakan indikator kinerja pembangunan yang ada, lebih memprioritaskan kriteria infrastruktur wilayah dengan skor 75

25 penilaian 0,730. Persepsi aparat pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan pengusaha serta tokoh masyarakat menunjukkan hasil yang sama yaitu memprioritaskan infrastruktur wilayah dengan skor masing-masing 0,667 dan 0,766. Hal ini menunjukkan seluruh pemangku kepentingan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau sepakat bahwa pembangunan infrastruktur wilayah merupakan investasi jangka panjang yang ke depannya akan dapat meningkatkan pendapatan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Persepsi seluruh pemangku kepentingan di Provinsi Kepulauan Riau dalam penentuan prioritas pembangunan sektor unggulan berdasarkan aspek infrastruktur wilayah disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Persepsi pemangku kepentingan pembangunan dalam penentuan prioritas pembangunan sektor unggulan berdasarkan aspek infrastruktur wilayah Berdasarkan aspek infrastruktur wilayah yang dipertimbangkan dalam pembangunan di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, sektor unggulan yang dipilih anggota DPRD sebagai prioritas pertama adalah sektor kelautan dan perikanan dengan skor penilaian 0,429. Sektor industri menempati prioritas kedua dengan nilai 0,133 kemudian berturut-turut diikuti sektor perdagangan (0,093), pertambangan (0,051) dan angkutan (0,025). Hasil tersebut menunjukkan bahwa 76

26 menurut persepsi anggota DPRD berdasarkan aspek infrastruktur wilayah, sektor kelautan dan perikanan dipilih sebagai sektor unggulan karena responden memahami betul besarnya potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau dan memerlukan dukungan infrastruktur yang optimal untuk pengembangannya. Tidak jauh berbeda dengan pihak legislatif, persepsi aparatur pemerintah dan pengusaha serta tokoh masyarakat berdasarkan aspek infrastruktur wilayah menempatkan sektor kelautan dan perikanan dengan nilai tertinggi dengan skor penilaian 0,424 dan 0,465. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sektor kelautan dan perikanan dipilih sebagai sektor unggulan mengingat sektor ini masih membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang melimpah. Hal ini selaras dengan sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Persepsi seluruh pemangku kepentingan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau dalam penentuan prioritas pembangunan sektor unggulan berdasarkan aspek pendapatan wilayah disajikan pada Gambar Gambar 15. Persepsi pemangku kepentingan pembangunan dalam penentuan prioritas sektor unggulan berdasarkan aspek pendapatan wilayah

27 Berdasarkan aspek pendapatan wilayah, anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau juga memprioritaskan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor unggulan dengan skor penilaian 0,103 kemudian berturut-turut diikuti sektor industri, perdagangan, pertambangan dan angkutan. Demikian juga aparat pemerintah memberi penilaian 0,112 untuk sektor kelautan dan perikanan, dan pengusaha memberikan nilai 0,078. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut persepsi seluruh pemangku kepentingan pembangunan Provinsi Kepulauan Riau sektor kelautan dan perikanan paling potensial untuk meningkatkan pendapatan wilayah, karena tersebar pada semua kabupaten/kota, sehingga potensi yang ada ini perlu didukung oleh semua pihak. Persepsi seluruh pemangku kepentingan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau dalam penentuan prioritas pembangunan sektor unggulan berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat disajikan pada Gambar 16. Gambar 16. Persepsi pemangku kepentingan pembangunan dalam penentuan prioritas sektor unggulan berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat 78

28 Berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat, persepsi anggota DPRD menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor unggulan dengan skor penilaian sebesar 0,047 diikuti sektor industri, perdagangan, pertambangan dan angkutan. Aparatur pemerintah memberikan penilaian untuk sektor kelautan dan perikanan dengan skor penilaian sebesar 0,067. Sedangkan menurut persepsi pengusaha dan tokoh masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau juga menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor unggulan dengan skor penilaian sebesar 0,039. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut persepsi seluruh pemangku kepentingan pembangunan Provinsi Kepulauan Riau, sektor kelautan dan perikanan dengan dukungan infrastruktur yang baik, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyediaan infrastruktur yang memadai, penyiapan sumberdaya manusia yang berkualitas dan politicall will yang kuat dari pemerintah akan menarik investor untuk memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar ini. Hal ini akan membuka lapangan pekerjaan yang sangat luas dan dapat menyerap tenaga kerja bukan hanya dari penduduk Kepulauan Riau bahkan mungkin dari wilayah lain di Indonesia. Sesuai dengan misi Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah , yang diantaranya adalah Mewujudkan Provinsi Kepulauan Riau sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional dalam bidang industri pengolahan, perikanan dan kelautan serta pariwisata, maka pembangunan yang berorientasi kelautan merupakan pilihan yang bijak karena potensi terbesar Provinsi Kepulauan Riau adalah wilayah laut dengan segala isinya. Dukungan seluruh pemangku kepentingan pembangunan untuk memajukan sektor kelautan dan perikanan baik dari aspek pembangunan infrastruktur wilayah diharapkan akan meningkatkan pendapatan wilayah dan kesejahteraan masyarakat Arahan Kebijakan Pembangunan Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi, seperti yang dijelaskan oleh Arsyad (1999) bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana 79

29 pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Kepulauan Riau ( ), terdapat sasaran pokok yaitu Meningkatnya daya saing daerah agar mampu melaksanakan pembangunan dalam perekonomian nasional dan global khusus dalam bidang industri pengolahan, perikanan dan kelautan serta pariwisata ditandai dengan halhal berikut: 1. Terbangunnya sistem perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di seluruh daerah. Terwujudnya sektor pertanian dalam arti luas khususnya sub sektor perikanan, kelautan, pariwisata serta industri sebagai sektor unggulan daerah dan menjadi basis aktivitas ekonomi. Terwujudnya pengelolaan yang efisien dan profesional dari potensi sektor unggulan sehingga menghasilkan produk unggulan daerah yang berkualitas dan dapat diandalkan. 2. Terwujudnya Kepulauan Riau sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional khususnya di bagian Barat Indonesia, dengan keunggulan bidang industri, perikanan, kelautan dan pariwisata. Tumbuh dan berkembangnya pusat ekonomi baru di wilayah Kepulauan Riau dengan sektor unggulan yang sesuai dengan potensi dan mampu mendorong sektor lain dalam memberikan pelayanan lebih baik dan berdaya saing. 3. Terkelolanya potensi wilayah terutama aspek kemaritiman sebagai modal dasar pembangunan daerah dan mendukung pembangunan nasional. Termanfaatkannya sumber daya alam baik kelautan, perikanan, pariwisata dan pertambangan maupun sumber daya lainnya bagi pendorong ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah dan nasional. Tersedianya infrastruktur dasar utama bagi pengembangan maritim baik industri pengolahan, kelautan, perikanan, pertambangan maupun pariwisata. Meningkatnya peran sektor unggulan dalam perekonomian daerah dan menjadi lokomotif utama dalam menggerakkan ekonomi daerah. 80

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Konsep pengembangan wilayah mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Wilayah Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki kontribusi terhadap pembangunan terutama di daerah, salah satunya di Provinsi Jawa Barat. Pembangunan ekonomi daerah erat kaitannya dengan industrialisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA Oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2002 terdiri dari 2 Kota (Kota Batam dan Kota Tanjungpinang)

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. 220/12/21/Th. V, 1 Desember 20 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN AGUSTUS 20 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI SEMAKIN TURUN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Sebagai wujud peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau STUDI KASUS PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN PADA PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau STUDI KASUS PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN PADA PROVINSI KEPULAUAN RIAU Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau STUDI KASUS PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN PADA PROVINSI KEPULAUAN RIAU GAMBARAN UMUM WILAYAH - Provinsi Kepulauan Riau dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sangat diperlukan oleh suatu Negara yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sangat diperlukan oleh suatu Negara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sangat diperlukan oleh suatu Negara yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, salah satunya dengan cara

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO 1. PERKEMBANGAN KABUPATEN BUNGO merupakan penghitungan atas nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktifitas ekonomi dalam suatu daerah/wilayah. Data

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian di daerah baik pada tingkat

I. PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian di daerah baik pada tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian di daerah baik pada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota setiap daerah dituntut untuk mampu melakukan rentang kendali dalam satu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Metode Shift Share Metode shift share digunakan dalam penelitian ini untuk melihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah usaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal,

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU

VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 8.1. Kemampuan Fasilitas Pelayanan Pusat Pengembangan Analisis kemampuan fasilitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintahan pusat kearah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi

BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi BAB V PENUTUP Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi fiskal secara umum terlihat sangat membebani neraca keuangan dan pembangunan Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi

Lebih terperinci

BAB III PROYEKSI PENDUDUK PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB III PROYEKSI PENDUDUK PROVINSI KEPULAUAN RIAU BAB III PROYEKSI PENDUDUK PROVINSI KEPULAUAN RIAU Penduduk yang besar dan berkualitas akan menjadi aset yang sangat bermanfaat bagi pembangunan, namun sebaliknya penduduk yang besar tapi rendah kualitasnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN 164 BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN Adanya keterbatasan dalam pembangunan baik keterbatasan sumber daya maupun dana merupakan alasan pentingnya dalam penentuan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dam masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk kerja sama antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. 1. Berdasarkan Tipologi Klassen periode 1984-2012, maka ada 8 (delapan) daerah yang termasuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pariwisata merupakan bagian yang terintegrasi dalam proses pembangunan nasional dalam rangka mencapai cita cita bangsa indonesia sebagai bangsa yang mandiri,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Analisis pertumbuhan ekonomi wilayah ini bertujuan untuk melihat pola atau klasifikasi perkembangan keterkaitan antara tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lamandau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lamandau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya 1.1. Latar Belakang Strategi pembangunan ekonomi bangsa yang tidak tepat pada masa lalu ditambah dengan krisis ekonomi berkepanjangan, menimbulkan berbagai persoalan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Mulai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Pertumbuhan Nilai PDRB Kabupaten Muna pada Berbagai Sektor Tahun

BAB IV ANALISIS. Pertumbuhan Nilai PDRB Kabupaten Muna pada Berbagai Sektor Tahun PDRB (RIBU RUPIAH) BAB IV ANALISIS 4.1. Perkembangan Perekonomian Wilayah di Kabupaten Muna sesuai PDRB 2000-2013 Data PDRB Kabupaten Muna 2000-2013 (terlampir) menunjukkan bahwa terdapat beberapa sektor

Lebih terperinci

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN Pembangunan perekonomian suatu wilayah tentunya tidak terlepas dari kontribusi dan peran setiap sektor yang menyusun perekonomian

Lebih terperinci

KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARA KABUPATEN ACEH TENGAH DAN KABUPATEN BENER MERIAH

KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARA KABUPATEN ACEH TENGAH DAN KABUPATEN BENER MERIAH Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis Vol. 1 No. 1 (2014): 35 40 ISSN 2354-970X KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARA KABUPATEN ACEH TENGAH DAN KABUPATEN BENER MERIAH Khairul Aswadi Program Studi Pendidikan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PROVINSI DALAM PEMETAAN DAN PEMANFAATAN POTENSI SDA KAWASAN PEDESAAN

ARAH KEBIJAKAN PROVINSI DALAM PEMETAAN DAN PEMANFAATAN POTENSI SDA KAWASAN PEDESAAN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau ARAH KEBIJAKAN PROVINSI DALAM PEMETAAN DAN PEMANFAATAN POTENSI SDA KAWASAN PEDESAAN Disampaikan Oleh: Drs. H. NAHARUDDIN, M.TP Kepala Bappeda

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa maju

I. PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa maju I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya sehingga dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24

I. PENDAHULUAN. lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kerangka pengembangan wilayah, perlu dibatasi pengertian wilayah yakni ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan pembangunan antar wilayah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mengalami pertumbuhan cepat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur

BAB I PENDAHULUAN. indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan secara terus-menerus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator keberhasilan

Lebih terperinci

MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU 1 Oleh : Dr. Ir. Dedi M. M. Riyadi 2

MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU 1 Oleh : Dr. Ir. Dedi M. M. Riyadi 2 MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU 1 Oleh : Dr. Ir. Dedi M. M. Riyadi 2 I. Pendahuluan 1. Memasuki akhir 1990-an, perekonomian Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ini merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

UTARA Vietnam & Kamboja

UTARA Vietnam & Kamboja UTARA Vietnam & Kamboja BARAT Singapura & Malaysia, Prov. Riau TIMUR Malaysia dan Kalimantan Barat SELATAN Bangka Belitung & Jambi 2 2 GAMBARAN UMUM WILAYAH Provinsi Kepulauan Riau dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama ekonomi, pengembangan konektivitas nasional, dan peningkatan. dalam menunjang kegiatan ekonomi di setiap koridor ekonomi.

I. PENDAHULUAN. utama ekonomi, pengembangan konektivitas nasional, dan peningkatan. dalam menunjang kegiatan ekonomi di setiap koridor ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia telah dituangkan pada program jangka panjang yang disusun oleh pemerintah yaitu program Masterplan Percepatan Perluasan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pusat dan daerah membawa implikasi mendasar terhadap. yang antara lain di bidang ekonomi yang meliputi implikasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pusat dan daerah membawa implikasi mendasar terhadap. yang antara lain di bidang ekonomi yang meliputi implikasi terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dari pola sentralisasi menjadi desentralisasi yang ditandai dengan lahirnya undang-undang nomer 22 tahun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat luas dan strategis setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah sebagai upaya untuk membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN AGUSTUS 2009

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN AGUSTUS 2009 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 152/12/21/Th.IV, 1 Desember 2009 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN AGUSTUS 2009 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI KEMBALI NAIK

Lebih terperinci