BAB II KERANGKA TEORI. dari para aktivis organisasi Islam dan cendekiawan atau sarjana umum yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KERANGKA TEORI. dari para aktivis organisasi Islam dan cendekiawan atau sarjana umum yang"

Transkripsi

1 BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Sejarah Berdirinya Majelis Ulama Indonesia Kedudukan Majelis Ulama Indonesia berpusat di tingkat nasional yang dimana setiap cabang tersebar pada seluruh tingkat provinsi dan daerah kabupaten dan kota. Para anggotanya tidak hanya terdiri para ulama saja, akan tetapi juga terdiri dari para aktivis organisasi Islam dan cendekiawan atau sarjana umum yang dipandang berperan penting dalam pembinaan umat ( Bustanudin, 2003; 120) Pada masa awal pembentukan Majelis Ulama Indonesia hanya bertugas sebagai pemberi nasihat, dan tidak di perbolehkan melakukan program praktis. Hal ini tidak terlepas dari pegawasan oleh pemerintahan orde baru pada saat itu. Pada tanggal 21 juli 1975 diadakan Konferensi Nasional Pertama para ulama, dalam pidatonya presiden Soeharto secara khusus menyarankan bahwa MUI tidak boleh terlibat dalam program-program praktis seperti menyelenggarakan madrasahmadrasah, mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, karena kegiatan-kegiatan semacam ini diperuntukkan bagi organisasi Islam yang telah ada, demikian juga pada kegiatan politik praktis, karena hal ini termasuk kegiatan partai politik yang telah ada (Atho Mudzar, 1993:63).

2 2.2. Sosiologi memandang agama Sosiologi memandang agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial. Karena posisinya sebagai subsistem, maka eksistensi dan peran agama dalam suatu masyarakat tak ubahnya dengan posisi dan peran subsistem lainnya, meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, posisi agama dalam suatu masyarakat bersama-sama dengan subsistem lainnya ( seperti subsistem ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain) yang saling mendukung terhadap eksistensi masyarakat. Agama dalam hal ini tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinan, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam prilaku para pemeluk dalam kehidupan sehari-hari (Suyanto,2004: 241). Elizabeth Nottingham menegaskan bahwa fokus utama perhatian sosiologi terhadap agama adalah bersumber pada tingkah laku manusia dalam kelompok sebagai wujud pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dan peranan yang dimainkan oleh agama selama berabad-abad sampai sekarang dalam perkembangan kelangsungan hidup kelompok masyarakat. Nottingham menjelaskan bahwa tidak ada defenisi agama yang benar-benar memuaskan, hal ini dikarenakan kemajemukan kehidupan yang ada di masyarakat yang pada akhirnya membutuhkan pendeskripsian yang luas ketimbang pada pendefenisian ( Menurut Hendropuspito (1983:71), sosiologi tidak berhak memberikan evaluasi tentang moralitas tingkah laku pemeluk agama, karena tugasnya hanya bersifat konstantif (menyaksikan). Dalam batasan ini sosiologi hanya mengumpulkan

3 pendapat atau penilaian yang diberikan pemeluk agama yang bersangkutan, atau motivasi yang melatarbelakangi tindakan itu. Ternyata dasar motivasi dan penilaian pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan dapat berbeda secara radikal dari yang dipakai para pengamat rasionalis dan materialis. Apa yang menurut ukuran materialis suatu kerugian, bagi manusia religius bukan sebagai kerugian tetapi keuntungan, bahkan suatu kebahagiaan yang menyangkut eksistensinya. Sebagaimana halnya tentang larangan yang diajarkan agama berpengaruh pada atas proses sosial atau jalannya kehidupan masyarakat, demikian juga ajaran moral yang bersifat deterministis berpengaruh pada cara berpikir dan pola tingkah laku para penganut yang bersangkutan. Determinisme mengajarkan bahwa terdapat mekanisme kausal dari dunia supra-empiris atas dunia empiris. Apa yang terjadi didunia yang kelihatan baik atau buruk tentu akan mendapat balasan atas perbuatan yang dilakukan. Jika kita perhatikan dengan seksama terbentuknya organisasi keagamaan lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Di dalam masyarakat primitif agama merupakan fenomena yang menyebar kedalam berbagai bentuk perkumpulan manusia, misalnya dari keluarga sampai ke kelompok kerja. Pada masyarakat ini agama merupakan salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial. Tampilnya organisasi yang mengelolah masalah keagaamaan dapat dijumpai dalam masyarakat dimana fungsi diferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oleh perkembangan agama telah berkembang. Kehadiran organisasi keagamaan tersebut telah menunjukkan salah satu aspek dari semakin meningkatnya pembagian kerja dan spesifikasi fungsi yang merupakan atribut penting masyarakat perkotaan. Dalam masyarakat modern, organisasi untuk memenuhi kebutuhan adaptif

4 cenderung dibuat terpisah dari organisasi yang memberikan jalan keluar bagi kebutuhan ekspresif. Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula berasal dari pengalaman keagamaan yang dialami oleh pendiri agama tersebut atau para pengikutnya. Dari pengalaman demikian lahir suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian disebut organisasi keagamaan yang sangat terlembaga (F O Dea,1996: 69-70). Usaha untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh ajaran agama mendorong pengikutnya membentuk kerjasama tertentu untuk mencapai tersebut. Kerjasama tersebut dapat berbentuk organisasi, baik sosial dan politik keagamaan ( Bustanudin,2003: 117). Menurut Betty Scharf (2004:34) sosiologi melihat agama sebagai salah satu dari Instusi sosial,yang terwujud kedalam suatu lembaga yang baku, salah satunya seperti institusi agama sebagai subsistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial. Karena peran institusi agama sebagai sub sistem, maka eksistensi institusi agama tersebut dalam masyarakat tak ubahnya sebagai subsistem lainnya (institusi ekonomi, institusi keluarga, institusi hukum, institusi politik, institusi pendidikan), meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Menurut Horton dan Hunt (1987:46), yang dimaksud dengan pranata sosial atau lembaga sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah suatu sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengentahjawahtahkan nilai-nilai

5 serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Dalam penjelasan diatas maka dapat dikaitkan bahwa institusi agama merupakan subsistem dari institusi sosial atau lembaga sosial yang memiliki peran sebagai bentuk sebuah lembaga yang melakukan pengendalian akan nilai dan norma bagi pemeluknya, agar tidak lepas dari nilai dan norma yang disepakati dalam kehidupan beragama. Menurut Soerjono Soekanto (1970:173), pranata sosial di dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut; 1. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. 2. Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat 3. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial. Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap warga masyarakat tetap konform dengan normanorma sosial, sehingga tertib sosial dapat terwujud Fungsi Agama Menurut Sunarto (1993:69) mengemukakan bahwa agama merupakan institusi penting yang mengatur kehidupan manusia, istilah agama disini merupakan terjemahan dari kata religion, suatu istilah yang lingkupnya lebih luas dari istilah agama yang digunakan oleh pemerintahan Republik Indonesia (RI), yang hanya mencakup enam agama yang telah diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen

6 Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konghuchu. Perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan perilaku yang terdapat pada alam kenyataan oleh karenanya dapat diamati dan diteliti, bila fenomena sosial berubah maka akan diikuti juga dengan perubahan fenomena keagamaan, yang kedua fenomena ini mempunyai hubungan keterkaitan diantara keduanya. Horton dan Hunt dalam (Narwoko dan Suyanto 2004:252) setiap agama mempunyai unsur-unsur, yakni kepercayaan, simbol, praktik agama, penganut agama, dan pengalaman agama, pranata agama seperti juga pranata sosial lainnya yang merupakan sistem keyakinan dan praktik keagamaan yang penting dari masyarakat yang telah dibakukan dan dirumuskan serta dianut secara luas dan dipandang perlu dan benar. Agama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat perilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak melulu memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan juga memikirkan kepentingan bersama. Didalam tata cara agama apapun terdapat beberapa kharakteristik yang mengatur para pengikutnya untuk melakukan dan mengikuti perintah yang dianjurkan kepada pengikut, hal ini karena agar para pengikut agama untuk mentaati apa yang menjadi kepercayaan mereka dan supaya agama tersebut tetap eksis dan berkembang. Oleh karenanya kita mengenal di setiap agama dengan istilah: kesacralan, profane, kepercayaan, seremoni, pengikut, dan doktrinisasi yang diberikan pada para pengikutnya. Hal yang sama juga diutarakan oleh Tim Curry yang mencatat lima hal yang universal pada suatu agama, yaitu:

7 a. Kepercayaan Kepercayaan merupakan hal yang paling mendasar dalam setiap agama apapun. Hal ini disebabkan Kepercayaan terhadap segala sesuatu dalam agama merupakan permasalahan yang berkaitan dengan disiplin ilmu teologi. Adapun konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh kepercayaan tersebut baru merupakan permasalahan sosiologis. Yang menjadi, objek fokus perhatian kalangan sosiolog bukanlah melihat validitas atau kebenaran kepercayaan tersebut tapi lebih memfokuskan perhatian pada konsekuensi sosial yang timbul sebagai akibat dari adanya kepercayaan tersebut. Misalnya, kepercayaan akan adanya surga dan neraka menjadi salah satu faktor yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaian ibadah atau ritual tertentu secara komunal. Dalam hal ini, fokus kajian seorang sosiolog bukanlah untuk membuktikan keberadaan surga atau neraka, akan tetapi mencoba mengupas pengaruh keimanan yang terdapat pada masyarakat, sehingga berpengaruh terhadap kepercayaan tentang surga dan neraka dalam membentuk perilaku mereka di masyarakat b. Sacred dan Profane. Menurut Durkheim, semua agama membedakan dunia kedalam dua domain besar yaitu: sacred dan profane. Sesuatu yang disebut sacred adalah segala sesuatu yang memiliki arti dan kualitas supernatural. Adapun yang profane adalah sesuatu yang dipandang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Karena begitu luasnya cakupan definisi tersebut maka sangatlah mungkin terjadi tumpang-tindih di masyarakat tentang penggolongan sesuatu sebagai yang sacred atau profane. Bisa jadi

8 dalam suatu masyarakat atau agama sesuatu dipandang sebagai yang sacred tapi bagi masyarakat atau agama lain dipandang sebagai sesuatu yang profane. c. Ritual dan Seremoni. Setiap agama memiliki beberapa aspek bentuk perilaku yang rutin dilaksanakan oleh pengikut agama yang bersangkutan sebagai ekspresi dan penguat iman. Oleh karenanya semua agama memiliki ritual. Bagi pemeluk agama, ritual dan seremoni merupakan sesuatu yang penting berkaitan dengan masalah peribadatan. Adapun bagi kalangan sosiolog, beberapa ritual dipandang membantu mengikat orang secara bersama-sama dalam masyarakat. Pelaksanaan ritual memungkinkan terciptanya solidaritas sosial diantara para penganut agama meskipun terdapat banyak perbedaan diantara penganut agama tersebut. d. Komunitas moral. Agama merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai-nilai. Adanya kesamaan nilai yang kemudian diperkuat dengan pelembagaan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran nilainilai tersebut telah membentk suatu komunitas yang mampu bertahan dari generasi ke generasi berikutnya. e. Pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi yang diperoleh melalui agama dapat memberikan makna bagi kehidupan manusia bahkan terkadang mampu memecahkan masalah-masalah pribadi yang sedang dihadapi terutama berkaitan dengan terapi mental. Meskipun setiap agama memiliki kelima karakteristik diatas, namun harus diingat bahwa setiap agama memiliki penekanan yang berbeda-beda terhadap kelima

9 karakteristik tersebut. Ada agama yang sangat kaya dengan ritual dan seremoni, namun ada juga agama yang hanya memberikan sedikit perhatian pada hal tersebut. Oleh karena itu, berbagai macam pendekatan telah dikembangkan oleh kalangan sosiolog untuk melihat fenomena keagaman di masyarakat dengan mendasarkan pada fokus perhatian yang ingin dikaji dari fenomena tersebut ( Robert K. Merton dalam (Ritzer Goodman, 2004: ) menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatiannya pada kelompok, organisasi, masyarakat,dan kultur. Ia menyatakan bahwa setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural fungsional tentu mencerminkan mencerminkan hal yang standar. Di dalam pikiran merton, sasaran studi struktural fungsional antara lain adalah peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial. Merton memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent). Kedua istilah ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional, fungsi nyata (manifest) adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi tersembunyi (latent) adalah fungsi yang tidak diharapkan. Emile Durkheim dalam (Narwoko dan Suyanto,2004:254), menyatakan bahwa agama dapat mengantar para individu anggota masyarakat menjadi makhluk sosial. Agama melestarikan masyarakat, memeliharanya di hadapan manusia dalam arti memberi nilai bagi manusia, menanamkan sifat dasar manusia untuk-nya. Di dalam ritus pemujaaan, masyarakat mengukuhkan kembali dirinya ke dalam perbuatan simbolik yang menampakkan sikapnya, yang dengan itu memperkuat

10 masyarakat itu sendiri, dan ritus itu juga merupakan sarana bagi kelompok sosial untuk mengukuhkan kembali dirinya, Akan tetapi tidak jarang agama mempunyai disfungsi seperti timbulnya sifat rasa fanatik didalam kalangan umat beragama dalam memahami ajaran agamanya dan cenderung mengganggap rendah pemeluk agama yang lain. Para sosiolog mengemukakan bahwa pertentangan yang membahayakan keutuhan masyarakat tidak jarang bersumber pada faktor agama. Seperti konflik antara umat Muslim dan umat Kristen ortodoks yang terjadi di Negara eks-yugoslavia tahun 1990an, konflik antar orang Palestina yang beragama Muslim dengan orang Israel yang beragamayahudi, konflik antara kaum syiah dengan kaum sunni di Irak, Iran, dan Pakistan, konflik antara penganut Islam dengan Hindu yang terjadi di India, serta pemberontakan di Srilanka yang salah satu penyebabnya terjadi diskriminasi yang dilakukan etnis Singhala yang mayoritas menganut Budha terhadap etnis Tamil yang menganut agama Hindu sebagai minoritas, dan banyak lagi konflik yang berlatarbelakang agama, yang menunjukkan bahwa adanya agama berlainan atau aliran yang berbeda dalam agama yang sama dalam satu masyarakat dapat membahayakan masyarakat. Agama merupakan salah satu sumber nilai, memiliki peranan, arti, dan bahkan sumbangan yang sangat besar dan paling tinggi harganya bagi setiap jejang kehidupan manusia. Agama mempunyai kekuatan yang mengikat yang luar biasa ke dalam dan semangat yang keras untuk menyalakan pertentangan keluar ( Burhanuddin, 2004: 75). Menurut Horton dan Hunt (1987:327) pranata agama memiliki fungsi manifest dan memiliki fungsi latent. Fungsi manifest agama berkaitan dengan segi

11 doktrin, ritual, dan aturan perilaku, dalam agama. Tujuan dan fungsi agama adalah untuk membujuk manusia agar melaksanakan ritual agama, dan menjalankan kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi latent agama, antara lain menawarkan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas sosial, mendorong terciptanya beberapa bentuk stratifikasi sosial. Melalui sanksi dan pembaharuan norma-norma dasar, agama memberikan dasar strategis bagi pengendalian sosial dalam menghadapi kecenderungan penyimpangan dan pengungkapan dorongan-dorongan yang berbahaya bagi stabilitas masyarakat. Salah satu bentuk sanksi yang dari agama dapat terlaksana melalui sebuah lembaga keagamaan. Adapun fungsi agama dalam masyarakat (Ishomuddin, 2002 : 54-56) yaitu : a. Fungsi edukatif (pendidikan). b. Fungsi penyelamat. c. Fungsi sebagai perdamaian. d. Fungsi sebagai Pengendalian Sosial. e. Fungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas. f. Fungsi transformatif. g. Fungsi kreatif. h. Fungsi sublimatif. Secara rincinya agama memiliki fungsi sebagai berikut (Suyanto,2004:255). 1. Agama menawarkan hubungan yang transcendental melalui pemujaan upacara ibadah, sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan kondisi manusia dari arus perubahan sejarah.

12 2. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang ada di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan. Contohnya ketika manusia gagal dalam mengejar aspirasi, karena dihadapkan dengan kekecewaan serta kebimbangan, maka agama dapat memberikan dukungan moral sebagai sarana emosional bagi pemeluk agama. Dalam memberikan dukungannya, agama menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral, dan membantu mengurangi kebencian. 3. Agama menyucikan norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu, dan disiplin kelompok diatas doraingan hati individu. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan individu yang telah menyimpang. 4. Agama dapat memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan pada saat itu masyarakat sedang membutuhkannya. 5. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Dengan menerima nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan tentang hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting tetang pemahaman diri dab batasan diri yang mempengaruhi individu tentang siapa dia dan apa dia Kepemimpinan Kharismatik, Rasional, Dan Tradisional Dalam agama ataupun lembaga keagamaan mengenal dengan kepemimpinan kharismatik, kepemimpinan rasional dan, kepemimpinan tradisional. Kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan berdasarkan kharisma yang dilihat dari diri

13 seseorang yang memiliki pengaruh yang cukup di segani, kepemimpinan ini memiliki keuntungan diantaranya agama atau lembaga keagamaan dapat berkembang secara baik berkat kharisma seseorang yang memimpin, kerugiannya akan menciptakan kekuasaan yang sewenang-wenang, dan kediktatoran. Tindakan rasional yakni tindakan yang berhubungan dengan pertimbangan yang sadar. Kepemimpinan rasional-legal, yakni pemimpin memperoleh otoritasnya yang tertinggi dari peraturan hukum yang berlaku berdasarkan alasan rasional dari masyarakat yang diperintah. Kepemimpinan rasional memiliki keuntungan antara lain tidak terciptanya kekuasaan yang sewenang-wenang dan kediktatoran karena kemungkinan terjadinya hal demikian sudah sangat tertutup, akan tetapi kerugiannya maka agama atau lembaga keagaamaan akan cenderung bersifat birokrasi, yuridis formal ( Hendropuspito, 1984:130). Organisasi keagamaan yang khusus merupakan agama yang didirikan dan yang paling khas, berawal dari tokoh kharismatik dan sejumlah pengikutnya. Pengunduran diri atau kematian figur kharismatik itu sendiri akan melahirkan krisis kesinambungan. Menurut Weber jika kharisma itu tidak tetap merupakan suatu fenomena transisi, tetapi bersifat berhubungan permanen yang membentuk komunitas para penganut atau kelompok pengikut stabil, maka secara radikal sifatnya pasti berubah (Max Weber, The Theory Of Social and Economic Organization, dalam O DEA.1996:70). Pemeliharaan kelompok dan kharisma yang mendasari membutuhkan suatu keselarasan kharisma dan kekuasaan yang bertumpu padanya. Weber menyatakan motivasi untuk perubahan, baik ideal atau material, tergantung pada kepentingan para

14 pengikut, khususnya para pemimpin kelompok, untuk melanjutkan komunitas yang telah diciptakan para sesepuh. Apa yang dinamakan pelembagaan yang kemudian melahirkan suatu keadaan rutinitas kharisma adalah suatu proses fundamental yang mendahului berdirinya organisasi keagamaan. Pada umumnya semua perkembangan, semua penyesuaian dengan masyarakat, semua inovasi membangkitkan protes unsurunsur kelompok agama yang tidak mampu menerima perubahan. ( F. Odea,1996: 97). Otoritas tradisional dengan legitimasinya diperoleh dari suatu kepercayaan mapan pada kesucian tradisi-tradisi yang sudah sangat lama ada dan pada legitimasi dari orang-orang yang mempraktekkan otoritas kepemimpinan yang dilandaskan pada tradisi-tradisi itu ; sehingga akibat dari otoritas tradisional maka terbentuk kelaskelas yang terdapat pada masyarakat ataupun pada adat istiadat, yang pada akhirnya untuk memilih suatu pemimpin maka akan lebih dahulu dilihat dari strata yang dimiliki oleh seseorang ( Pendapat golongan moderat Dalam perjalanannya Majelis Ulama Indonesia memiliki perspektif yang berseberangan dengan kelompok Islam yang modernis. Karena bagi MUI wacanawacana seperti liberalisme dan pluralisme yang berawal dari sekularisme tidak seharusnya di pahami seperti apa adanya, hal ini dikarenakan dapat menggoyahkan batas etika dan moral umat Islam. Akan tetapi, harus dimaknai ke arah yang lebih berkeislaman dan berselera budaya masyarakat bangsa sendiri. Misalnya Islam memandang pluralitas agama seperti mengakui akan keberadaan agama-agama lain misalnya agama Nasrani, Budha, Hindu, akan tetapi tidak mengakui pluralisme

15 agama, karena pluralisme agama hanya akan menisbikan kebenaran semua agama yang cenderung pada penggabungan ajaran agama yang satu dengan agama yang lain yang selama ini dianut oleh masing-masing agama, pendapat inilah yang sering dilontarkan oleh golongan sekuler dan liberal. Dengan kata lain Islam sangat bertoleransi dalam berbagai kehidupan, akan tetap Islam tidak bertoleransi dalam akidah. Bagi kalangan sekuler, apa yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia sangat mengkhawatirkan yang merupakan kemunduran bagi masa depan kehidupan umat beragama di Indonesia. Kalangan sekulerisme, liberalisme, dan pluraisme berpendapat apa yang dilakukan oleh MUI condong kepada memaksakan kehendak dan melanggar hak asasi manusia untuk menentukan pilihan ( pada tahun 2005 diselenggaranya Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang ke 7 yang dimana MUI mengeluarkan suatu fatwa yaitu mengenai larangan paham liberalisme, pluralisme, sekularisme, bagi umat Islam dan haram hukumnya untuk diikuti dengan alasan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Begitu fatwa tersebut dikeluarkan, segera protes dan penentangan bermunculan dari berbagai pihak salah satunya dari kalangan liberal, seperti penentangan dari Abdurrahman Wahid dan kawan-kawannya terhadap fatwa tersebut. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak mendengarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, khususnya tentang Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang dinyatakan sebagai ajaran yang sesat ( Husaini, 2005: 4).

16 Akan tetapi disisi lain, apa yang dilakukan oleh MUI adalah suatu gebrakan yang menunjukan sikap dan pandangan yang maju dan independen serta menjalankan peran dan fungsinya, mengingat peranan Majelis Ulama Indonesia sebagai pengawal akidah umat muslim dan penegak amar ma ruf nahi munkar sekaligus menjadi proses pembelajaran yang baik bagi umat Islam di Indonesia dan di dunia. \

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Agama Perspektif Sosiologi Agama dan beragama punya sejarah panjang sepanjang sejarah masyarakat dan manusia itu sendiri, manusia yang memiliki akal, nafsu, perasaan ruhani.

Lebih terperinci

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT AGAMA DAN MASYARAKAT (1) Menurut Mark Twain manusia adalah binatang beragama, sementara Mircea

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Agama dan Masyarakat Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu pendidikan yang menuntun masyarakat Indonesia untuk mampu mewujudkan cita cita bangsa. Salah satu pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan suatu kenyataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era global, plural, multikultural seperti sekarang setiap saat dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat terbayangkan dan tidak terduga sama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Budaya Feodalisme Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu berorientasi pada atasan, senior, dan pejabat untuk menjalankan suatu kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Manusia memiliki dua sisi dalam kehidupannya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43 BAB I PENDAHULUAN Setiap penelitian akan di latar belakangi dengan adanya permasalahan yang Akan dikaji. Dalam penelitian ini ada permasalahan yang dikaji yaitu tentang Efektivitas Tokoh Agama dalam Membentuk

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Relasi Kekuasaan Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul pengertian pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PANCASILA BUKAN AGAMA

TUGAS AKHIR PANCASILA BUKAN AGAMA TUGAS AKHIR PANCASILA BUKAN AGAMA DISUSUN OLEH : Nama : HERWIN PIONER NIM : 11.11.4954 Kelompok : D Program Studi : STRATA 1 Jurusan : Teknik Informatika DOSEN PEMBIMBING : TAHAJUDIN SUDIBYO Drs. UNTUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat modern yang demokratis.

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Pola Asuh Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (dalam Isni Agustiawati, 2014), kata pola berarti model,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cenderung kepada kelezatan jasmaniah). Dengan demikian, ketika manusia

BAB I PENDAHULUAN. yang cenderung kepada kelezatan jasmaniah). Dengan demikian, ketika manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara universal (tanpa dipandang suku, etnis, stratifikasi sosial maupun agamanya) merupakan salah satu makhluk Tuhan yang paling sempurna di muka bumi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1 Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan

Lebih terperinci

Dawam Rahardjo: Saya Muslim dan Saya Pluralis

Dawam Rahardjo: Saya Muslim dan Saya Pluralis http://www.sinarharapan.co/news/read/31850/dawam-rahardjo-saya-muslim-dan-saya-pluralis- Dawam Rahardjo: Saya Muslim dan Saya Pluralis 03 February 2014 Ruhut Ambarita Politik dibaca: 279 Dawam Rahardjo.

Lebih terperinci

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL 1. Bentuk dan Fungsi Lembaga Sosial Pada dasarnya, fungsi lembaga sosial dalam masyarakat beraneka macam berdasarkan jenis-jenis lembaganya. Oleh karena itu, kita

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 Agama adalah salah satu bentuk kontruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinankeyakinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam setiap kehidupan sosial terdapat individu-individu yang memiliki kecenderungan berperilaku menyimpang dalam arti perilakunya tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL TEORI ETIKA PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara lain: perilaku moral (moral behavior), perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku di luar kesadaran

Lebih terperinci

PANCASILA. Sebagai Ideologi Negara. Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK. H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Modul ke: Fakultas Teknik

PANCASILA. Sebagai Ideologi Negara. Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK. H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Modul ke: Fakultas Teknik Modul ke: PANCASILA Sebagai Ideologi Negara Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK Fakultas Teknik H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Program Studi Teknik Industri www.mercubuana.ac.id Pendahuluan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI AGAMA DAN PERAN AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN

KLASIFIKASI AGAMA DAN PERAN AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN KLASIFIKASI AGAMA DAN PERAN AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN DISUSUN OLEH : KELOMPOK 3 1. ENO RINAWATI 2. ENY ANDARNINGSIH 3. NURMIATI A5-14 PGSD PEMBAHASAN Pengertian agama islam Agama adalah peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA Disusun oleh: Nama Mahasiswa : Regina Sheilla Andinia Nomor Mahasiswa : 118114058 PRODI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

Lebih terperinci

Inisiasi 2 LANDASAN MORAL, SOSIO-KULTURAL, RELIGI HAK AZASI MANUSIA

Inisiasi 2 LANDASAN MORAL, SOSIO-KULTURAL, RELIGI HAK AZASI MANUSIA Inisiasi 2 LANDASAN MORAL, SOSIO-KULTURAL, RELIGI HAK AZASI MANUSIA Saudara mahasiswa yang saya hormati. Salam sejahtera dan selamat bertemu lagi dalam kegiatan tutorial online yang kedua mata kuliah Pendidikan

Lebih terperinci

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XI (SEBELAS) SOSIOLOGI STRUKTUR DAN DIFERENSIASI SOSIAL. Dilihat dari sifatnya :

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XI (SEBELAS) SOSIOLOGI STRUKTUR DAN DIFERENSIASI SOSIAL. Dilihat dari sifatnya : JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XI (SEBELAS) SOSIOLOGI STRUKTUR DAN DIFERENSIASI SOSIAL A. Pengertian dan ciri Struktur Sosial Pengertian Struktur Sosial :Struktur sosial adalah tatanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, bahwa Negara menjamin

I. PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, bahwa Negara menjamin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama berfungsi sangat penting dalam kehidupan manusia, baik manusia pribadi, maupun manusia sebagai penduduk suatu Negara. Secara konstitutif, jaminan kebebasan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1 Identifikasi Masalah Manusia entah sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam lingkup kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tahap Pengembangan Masyarakat Masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan dikarenakan masyarakat adalah mahluk yang tidak statis melainkan selalu berubah secara dinamis.

Lebih terperinci

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama C. Lembaga Sosial 1. Pengertian Lembaga Sosial dan Norma Lembaga Sosial suatu sistem norma yg bertujuan utk mengatur tindakan tindakan maupun kegiatan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok dan

Lebih terperinci

PANCASILA DAN AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA. Nama : Oni Yuwantoro N I M : Kelompok : A Jurusan : D3 MI Dosen : Drs. Kalis Purwanto, MM

PANCASILA DAN AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA. Nama : Oni Yuwantoro N I M : Kelompok : A Jurusan : D3 MI Dosen : Drs. Kalis Purwanto, MM PANCASILA DAN AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Nama : Oni Yuwantoro N I M : 11.02.7952 Kelompok : A Jurusan : D3 MI Dosen : Drs. Kalis Purwanto, MM SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berfalsafah Pancasila, memiliki tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya.

Lebih terperinci

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA 1. Pendekatan Sosiologi Terhadap Agama. Beberapa cara melihat agama; menurut Soedjito (1977) ada empat cara, yaitu: memahami atau melihat sejarah perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia ditakdirkan menghuni kepulauan Nusantara ini serta terdiri dari berbagai suku dan keturunan, dengan bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam,

Lebih terperinci

STUDI MASYARAKAT INDONESIA

STUDI MASYARAKAT INDONESIA STUDI MASYARAKAT INDONESIA 1. Prinsip Dasar Masyarakat Sistem Sistem kemasyarakatan terbentuk karena adanya saling hubungan di antara komponenkomponen yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA CONTOH BAHAN AJAR A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA 1. Pengantar Pemahaman Sosiologi tentang masyarakat bagaimanapun juga dalamnya dan detailnya tidak akan lengkat tanpa mengikut

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan 1 BAB VI KESIMPULAN Sebagaimana proses sosial lainnya, proselitisasi agama bukanlah sebuah proses yang berlangsung di ruang hampa. Ia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang melingkupinya.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kerukunan umat beragama merupakan dambaan setiap umat, manusia. Sebagian besar umat beragama di dunia, ingin hidup rukun, damai dan tenteram dalam menjalankan

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan kasus konversi agama di Bukitsari maka dapat disimpulkan bahwa beberapa kepala keluarga (KK) di daerah tersebut dinyatakan benar melakukan pindah agama

Lebih terperinci

ISLAM DAN KEBANGSAAN. Jajat Burhanudin. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)

ISLAM DAN KEBANGSAAN. Jajat Burhanudin. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) ISLAM DAN KEBANGSAAN Temuan Survey Nasional Jajat Burhanudin Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta 2007 METODOLOGI SURVEI Wilayah: Nasional Metode: multi-stage random sampling Jumlah

Lebih terperinci

BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI

BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI 69 BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI A. Santri dan Budaya Politik Berdasarkan paparan hasil penelitian dari beberapa informan mulai dari para pengasuh pondok putra dan putri serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling memerlukan adanya bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia dituntut untuk saling

Lebih terperinci

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya 36 BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF A. Teori Konflik Kehidupan sosial dan konflik merupakan gejala yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, konflik merupakan gejala yang selalu melekat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN Setelah penulis mengumpulkan data penelitian di lapangan tentang toleransi antar umat beragama di kalanga siswa

Lebih terperinci

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI l Edisi 003, Agustus 2011 SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI P r o j e c t i t a i g k a a n D Saiful Mujani Edisi 003, Agustus 2011 1 Edisi 003, Agustus 2011 Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

KONTROL PENGENDALIAN SOSIAL

KONTROL PENGENDALIAN SOSIAL KONTROL PENGENDALIAN SOSIAL Dosen Pengampun : Antonius Ng Cambu S.Sos.,M.I.Kom Mata Kuliah : Pengantar Antropoligi Disusun Oleh Kelompok 4 Risal.A (201663301053) (kk) Risdayanti (201663201052) Rasdi Adnan

Lebih terperinci

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran yang berarti sifat/sikap menenggang (menghargai,

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara REKONSTRUKSI DATA B.1. Analisa

Universitas Sumatera Utara REKONSTRUKSI DATA B.1. Analisa REKONSTRUKSI DATA B. NO Analisa Analisa dan koding tematik Perceive threat Adanya ketidakadilan terhadap pelebelan terorisme yang dirasakan umat Islam FGD.B..8 FGD.B..04 FGD.B.. FGD.B..79 FGD.B..989 Umat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dan memiliki wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif, diantara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

Modul ke: Sosiologi INSTITUSI SOSIAL. Fakultas Psikologi. Farah Rizkiana Novianti, M.Psi.T. Program Studi Psikologi.

Modul ke: Sosiologi INSTITUSI SOSIAL. Fakultas Psikologi. Farah Rizkiana Novianti, M.Psi.T. Program Studi Psikologi. Modul ke: Sosiologi INSTITUSI SOSIAL Fakultas Psikologi Farah Rizkiana Novianti, M.Psi.T Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pengertian Institusi Sosial Horton dan Hunt, Robert MZ Lawang, 1986

Lebih terperinci

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA KANTOR UTUSAN KHUSUS PRESIDEN UNTUK DIALOG DAN KERJA SAMA ANTAR AGAMA DAN PERADABAN KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA HASIL MUSYAWARAH BESAR PEMUKA AGAMA UNTUK KERUKUNAN BANGSA Jakarta 8-10 Februari 2018

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa macam suku, adat istiadat, dan juga agama. Kemajemukan bangsa Indonesia ini secara positif dapat

Lebih terperinci

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin A. Pendahuluan TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM --------------------------------------------------------------------- Oleh : Fahrudin Tujuan agama Islam diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan-nya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 didefinisikan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

BAB IV HUBUNGAN GOLPUT DALAM PEMILU MENURUT ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU

BAB IV HUBUNGAN GOLPUT DALAM PEMILU MENURUT ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU BAB IV HUBUNGAN GOLPUT DALAM PEMILU MENURUT ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU A. Golput Dalam Pemilu Menurut Islam Pemilu beserta hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Dalam suatu masyarakat terdapat sebuah sistem dan komponen yang mendukung eksistensi komunitas. Komponen itu antara lain agama, kewarganegaraan, identitas suku,

Lebih terperinci

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penelitian Sekolah merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan pendidikan di dalam masyarakat. Sekolah sebagai organisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etos Kerja Etos Kerja merupakan perilaku sikap khas suatu komunitas atau organisasi mencakup sisi spiritual, motivasi, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode

Lebih terperinci

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan Mam MAKALAH ISLAM Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan 20 Oktober 2014 Makalah Islam Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan H. Anwar Saadi (Kepala Subdit Kepenghuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman etnis, budaya, adat-istiadat serta agama. Diantara banyaknya agama

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir semua negara majemuk termasuk Indonesia mempunyai kelompok minoritas dalam wilayah nasionalnya. Kelompok minoritas diartikan sebagai kelompok-kelompok

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA Disusun Oleh: Nama : Heruadhi Cahyono Nim : 11.02.7917 Dosen : Drs. Khalis Purwanto, MM STIMIK AMIKOM

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA

MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA (Penyusun: ) Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Dasar Negara Indikator: Untuk dapat menguji pengetahuan tersebut, mahasiswa akan

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA Nama : M. Akbar Aditya Kelas : X DGB SMK GRAFIKA DESA PUTERA Kerukunan Antar Umat Beragama. Indonesia adalah salah satu negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama adalah penghubung antara manusia dengan Tuhan. Setiap manusia berhak menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1945

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tentang interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tentang interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Interaksi Sosial Pengertian tentang interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan mempelajari berbagai masalah masyarakat. Seperti di Indonesia dapat

Lebih terperinci

RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH

RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH BAB IV KOMPARASI KONSEP HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA DALAM STUDI RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH A. Persamaan Konsep Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia Tentang

Lebih terperinci

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik Pokok Bahasan Pada umumnya, dalam dunia ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika

Lebih terperinci

BAB II TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

BAB II TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL BAB II TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. STRUKTURAL FUNGSIONAL Untuk mendukung penelitian ini, peneliti mengkaji lebih lanjut dengan teori Struktural Fungsional.Dan berikut merupakan penjelasan teori struktural

Lebih terperinci

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme Ada tiga hal penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita; Yakni: Apa yang perlu kita ketahui dan pahami tentang Sosiologi dan Politik? Mengapa kita perlu mengetahui dan memahami Sosiologi dan Politik?

Lebih terperinci

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.: Ä Ä Ä TAHUN 2003 TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berbhineka, baik suku bangsa, ras, agama, dan budaya. Selain itu, kondisi geografis dimana bangsa Indonesia hidup juga

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beragama itu dimungkinkan karena setiap agama-agama memiliki dasar. damai dan rukun dalam kehidupan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. beragama itu dimungkinkan karena setiap agama-agama memiliki dasar. damai dan rukun dalam kehidupan sehari-hari. 1 BAB I A. Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN Dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain, menimbulkan sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam hidup sehari-hari, sehingga

Lebih terperinci

KONFLIK SOSIAL Pengertian Konflik

KONFLIK SOSIAL Pengertian Konflik KONFLIK SOSIAL 1. Pengertian Konflik Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah teritorial sangat luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal tersebut

Lebih terperinci

AL-QUR AN SEBAGAI PERANTARA PENGUATAN KARAKTER (RELIGIUS, TOLERANSI DAN DISIPLIN) MAHASISWA FKIP PGSD UMS ANGKATAN 2012

AL-QUR AN SEBAGAI PERANTARA PENGUATAN KARAKTER (RELIGIUS, TOLERANSI DAN DISIPLIN) MAHASISWA FKIP PGSD UMS ANGKATAN 2012 122 ISBN: 978-602-70471-1-2 Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers AL-QUR AN SEBAGAI PERANTARA PENGUATAN KARAKTER (RELIGIUS, TOLERANSI DAN DISIPLIN) MAHASISWA FKIP PGSD UMS ANGKATAN 2012 Hana Navi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konflik Konflik merupaka gejala sosial yang hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Demokrasi di Indonesia Definisi demokrasi menurut Murod (1999:59), sebagai suatu policy di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesatuan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote yang penuh dengan keanekaragaman dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pendidikan sangat berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa, tidak hanya bagi individu yang menempuh pendidikan tersebut, tetapi juga berpengaruh terhadap

Lebih terperinci