BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Korupsi telah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi telah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof, seperti Aristoteles, sebagai sebuah fenomena penyimpangan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan. Pemikiran Aristoteles kala itu, yang kemudian diikuti Machiavelli, merumuskan korupsi sebagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, sehingga para penguasa tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi lebih kepada upaya melayani dirinya sendiri (Semma, 2008: 32). Korupsi berasal dari kata Latin corruptio atau corruptus yang berarti busuk, rusak, menyalahgunakan, atau menghancurkan. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis corruption, dalam bahasa Belanda korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi. Alatas, seperti ditulis Semma (2008: 32), mengatakan esensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. 1

2 Menurut badan antikorupsi dunia, Transparency International (TI), korupsi merupakan suatu penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain untuk kepentingan pribadi (Wijayanto dan Zachrie, 2009: 7). Jeremy Pope, salah seorang pendiri TI, dalam bukunya Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional (2003: 30), menambahkan bahwa korupsi bukan hanya menyalahgunakan kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi, tetapi korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak. Prinsip mempertahankan jarak yang dimaksud adalah, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, entah dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Maka dari itu, sekali prinsip mempertahankan jarak ini dilanggar yakni dengan membuat keputusan berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi pun akan timbul. Contohnya adalah konflik kepentingan dan nepotisme. Dalam buku Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (2001: 69), Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan bahwa perbuatan korupsi dapat dilihat dari bentuknya yang terbagi menjadi tiga, yaitu material corruption, political corruption, dan intellectual corruption. Pertama, perbuatan korupsi yang dapat dikategorikan sebagai material corruption lebih banyak menyangkut penyuapan dan penyelewengan di bidang materi (uang) yang merugikan negara (khususnya merugikan 2

3 kesejahteraan rakyat). Material corruption, menurut David M. Chalmers seperti dikutip Lopa (2001:68), biasanya berupa pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah-hadiah sanak keluarga, pengaruh, kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang. Bentuk perbuatan korupsi yang kedua adalah political corruption. Menurut Chalmers, bentuk kedua ini berupa korupsi pada pemilihan umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji tentang jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administratif, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan. (Lopa, 2001: 69). Bentuk perbuatan korupsi yang ketiga adalah intellectual corruption di mana seseorang memberikan informasi atau menerangkan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dengan cara yang tidak sebenarnya (berbeda dengan kenyataan yang ada atau berbeda dengan yang seharusnya) yang biasanya dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu seperti kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya (Lopa, 2001: 69). Indonesia merupakan salah satu negara yang belum dapat melepaskan predikat sebagai negara dengan tingkat korupsi tinggi. Dalam artikel situs Tempo yang berjudul Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Masih Buruk, data 3

4 Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi/IPK (Corruption Perception Index/CPI) Indonesia masih rendah pada Indonesia menempati urutan ke 118 dari 176 negara dengan skor 32. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam artikel situs Kompas yang berjudul Inilah Lima Tipe Korupsi di Indonesia, terdapat lima tipe kasus korupsi di Indonesia yang terjadi sejak Tipe pertama adalah pengadaan barang dan jasa. Data KPK menunjukkan terdapat lebih dari 60 persen kasus korupsi yang ditangani merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. Tipe korupsi pertama ini merupakan kasus yang paling lumrah, mudah, dan konvensional. Tipe kedua adalah pungutan liar yang dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara. Tipe ketiga adalah korupsi yang terkait dengan perizinan. Kasus korupsi terkait perizinan adalah transaksi pemberian uang ke penyelenggara negara terkait untuk urusan penerbitan izin tertentu. Kemudian tipe keempat adalah penyalahgunaan anggaran yang kerap ditemukan di daerah. Pejabat daerah mengelola Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) seolah-olah uang mereka pribadi. Tipe terakhir adalah kasus suap. Tipologi korupsi suap menyuap kini telah bergeser, tidak hanya dilakukan antara pengusaha dan pemerintah saja tetapi juga antara legislatif dan eksekutif. Kelima tipe kasus korupsi tersebut sekarang makin menyeret berbagai kalangan, mulai dari pengusaha, anggota dewan, jaksa, hakim, polisi, mantan menteri, duta besar, artis, dan lain-lain. 4

5 Kasus Wisma Atlet, kasus Hambalang, dan kasus pengadaan Alquran merupakan beberapa contoh kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Kasus korupsi tersebut telah menarik perhatian masyarakat dan juga tentunya media massa. Media kemudian memiliki peran penting dalam isu korupsi. Media telah mengungkap berbagai kasus korupsi yang melibatkan para politisi baik di parlemen maupun di luar parlemen, para birokrat di pemerintahan, serta para pengusaha (Suranto, 2012: viii). Media memang harus diakui telah banyak berperan dalam mengangkat isu korupsi dan juga pemberantasan terhadap korupsi. Dalam konteks pemberantasan korupsi, media telah menjalankan beberapa peran seperti fungsi informasi, fungsi pendidikan, serta fungsi pengawasan. Namun peran media dalam memberitakan isu korupsi belumlah maksimal. Dalam konteks pemberantasan korupsi, media sebenarnya menjalankan fungsi layaknya pemadam kebakaran. Jadi, media tidak hanya fokus pada masalah korupsi di sektor hilir, tetapi juga di sektor hulu. Dengan kata lain, media harus dapat melakoni peran sebagai fungsi preventif atau pencegahan (Suranto, 2012: xi). Salah satu media komunikasi yang dapat menyebarkan fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas adalah media musik. Musik berupa lirik lagu dapat menyampaikan pesan tertentu kepada khalayak sebagai upaya pendidikan, informatif, pengawasan, dan pencegahan. Contohnya adalah lagulagu yang muncul pada era Orde Baru. Menurut Sen dan Hill (2007: 164), 5

6 musik dan lirik lagu merupakan wadah penting dalam menunjukkan perilaku oposisi kepada pemerintahan Orde Baru kala itu. Iwan Fals merupakan salah satu musisi yang menyuarakan sikap oposisinya terhadap Orde Baru melalui lirik lagu. Karya musiknya seperti lagu Badut diinterpretasikan banyak orang sebagai sindiran kepada Menteri Penerangan kala itu, Harmoko. Ada pula lagu Bento yang banyak diinterpretasikan ditujukan kepada Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Presiden Suharto (Sen dan Hill, 2007: 182). Di era reformasi ini, musik pun tetap menjadi media yang dapat memuat pesan atau kritik sosial tertentu kepada masyarakat, termasuk pesan antikorupsi. Slank, band rock Indonesia, merupakan salah satu musisi yang menyuarakan sikap antikorupsi. Dalam artikel Slank 103 Persen Dukung Antikorupsi di situs Kompas pada tahun 2009, dituliskan bahwa band ini sering menyentil korupsi dan koruptor melalui lagu-lagu mereka seperti Apatis Blues dan Seperti Para Koruptor. Salah satu musik yang juga bermuatan pesan antikorupsi adalah album Frekuensi Perangkap Tikus yang diluncurkan pada 9 Desember 2012, tepat pada peringatan Hari Antikorupsi Internasional. Menurut situs Rolling Stone Indonesia, dalam artikel berjudul Album Kompilasi Antikorupsi Frekuensi Perangkap Tikus Akan Dirlis dalam Format CD, album ini dicetuskan oleh lembaga antikorupsi Indonesia, yakni Indonesia Corruption Watch (ICW). Album ini merupakan bagian dari kampanye Berani Jujur, Hebat! yang turut 6

7 menggandeng sepuluh artis indie Indonesia untuk menyampaikan pesan antikorupsi melalui musik. Sepuluh artis indie tersebut antara lain Adrian, Morfem, Harlan, Iksan Skuter, Risky Summerbee and the Honeythief, Eyefeelsix feat. Morgue Vanguard, Navicula, Simponi, Zeke Khaseli, dan Sajama Cut. Lirik-lirik lagu dalam album Frekuensi Perangkap Tikus tersebut kemudian membuat peneliti tertarik untuk menganalisis lebih jauh perihal wacana antikorupsi. Peneliti tertarik untuk meneliti wacana antikorupsi tersebut karena pertama, penyakit korupsi masih merajalela di Indonesia terbukti dari skor IPK 2012 yang masih rendah. Kedua, musik sebagai bahasa universal merupakan salah satu media penyampai pesan dan kampanye antikorupsi yang dapat menarik perhatian khalayak. Album Frekuensi Perangkap Tikus pun hadir sebagai salah satu musik yang mewacanakan antikorupsi. Album kompilasi tersebut pun menjadi alasan peneliti yang ketiga karena dikeluarkan oleh lembaga antikorupsi Indonesia, yakni ICW, dan merupakan teks lagu antikorupsi yang baru, yakni diluncurkan pada 9 Desember 2012 lalu. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 7

8 1.2.1 Bagaimana lirik-lirik lagu pada album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus mewacanakan antikorupsi? Mengapa lirik-lirik lagu pada album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus mewacanakan antikorupsi? 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah dari penelitian ini adalah tidak semua lirik-lirik lagu dalam album Frekuensi Perangkap Tikus akan ditelaah. Peneliti membatasi teks dari sepuluh lagu menjadi beberapa lagu untuk diteliti apabila peneliti hanya berhasil mendapatkan wawancara dari beberapa pencipta lagu. Peneliti membatasi masalah penelitian ini guna memenuhi dimensi kognisi sosial dari para pencipta lagu yang diperoleh melalui wawancara. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: Untuk mengetahui bagaimana lirik-lirik lagu pada album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus mewacanakan antikorupsi Untuk mengetahui mengapa lirik-lirik lagu pada album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus mewacanakan antikorupsi. 8

9 1.5 Signifikansi Penelitian Signifikansi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu komunikasi khususnya bidang jurnalistik terkait dengan wacana antikorupsi yang diangkat oleh media Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan gambaran kepada khalayak terkait wacana korupsi yang ditampilkan lirik-lirik lagu dalam album Frekuensi Perangkap Tikus. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi, baik Universitas Multimedia Nusantara maupun perguruan tinggi lain, serta masyarakat luas yang tertarik dengan wacana antikorupsi dalam lirik-lirik lagu di album Frekuensi Perangkap Tikus dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. 9