BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bisa langsung dipahami oleh semua orang.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bisa langsung dipahami oleh semua orang."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Kajian Dalam kamus Ilimiah kata kajian, berarti telaah, pelajari, analisa, dan selidiki. 1 Adapun pengartian lain yang memiliki makna sama tentang kajian, yaitu berarti hasil mengkaji, kata kajian adalah merupakan : - Kata yang perlu ditelaah lebih jauh lagi maknanya karena jenis kata ini tidak bisa langsung dipahami oleh semua orang. - Kata yang dipakai untuk suatu kepentingan keilmuan. - Kata yang dipakai oleh para ahli ilmuan dalam bidangnya. - Kata yang dikenal dan dipakai oleh ilmuan atau kaum pelajar dalam dalam karya-karya ilmiah Tinjauan Tentang Yuridis Yuridis atau yang lebih dikenal dengan hukum pada dasarnya adalah kumpulan peraturan-peraturan yang didalamnya mengatur tingkah laku manusia, yang dibuat oleh lembaga-lembaga Negara yang berwenang, yang bersifat memaksa, dan berakibat sanksi tegas bagi pelanggarnya. 1 Pius A. partanto, 2001, Kamus Ilimiah, Arkola, Surabaya.. Halm www. Slidershare.net/edhos/katakajian. Diakses pada tanggal 24 juni 2013

2 Para ahli hukum juga mempunyai pendapat masing-masing perihal hukum itu sendiri. Antara lain penjabaran artian hukum menurut para ahli adalah; Mochtar Kusumaatmadja, mengartikan hukum sebagai suatu aturan yang mengatur tindakan manusia dalam masyarakat dan lembaga-lembaga yang berwenang menegakkan hukum secara adil menurut hukum itu sendiri. Van Apeldoorn beranggapan bahwa hukum telah ada dalam diri manusia, artinya bahwa hukum telah lahir dari perasaan moral seseorang sejak ia dilahirkan. Aristoteles Hukum adalah sesuatu yang berbeda dari pada sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di Pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar. Van Kant mengartikan hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu ataupun masyarakat dari tindakan absolut oleh seseorang atau sekelompok orang. 3 Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur tata tertip dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu. 3 Pengertian-hukum.com di asks pada tanggal 23 juni 2013

3 Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata meteril, sedangkan dalam arti kata formal, hukum adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat tempat hukum diciptakan Tinjauan tentang Harta Bersama Harta bersama dalam kamus Hukum berarti syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. 5 Harta bersama disebut juga dengan harta kekayaan bersama. Harta bersama adalah harta pencaharian bersama. Harta pencaharian merupakan istilah untuk harta bersama yang suami istri peroleh selama perkawinan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 35 ayat 1 tentang Perkawinan bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Adapun pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain. Menurut H. Ismuha mengatakan, tidaklah semua harta 4 ibid 5 Kamus hukum, 2008 Citra Kumbara, Bandung halm. 139

4 kekayaan ssuami istri merupakan kesatuan harta kekayaan, hanya harta kekayaan yang di peroleh bersama dalam masa perkawinan saja yang merupakan harta suami istri. 6 Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut. 7 Menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya. 8 Senada dengan ketiga tokoh di atas, Iman Sudiyat juga memberikan definisi harta bersama, yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, baik suami maupun isteri bekerja untuk kepentingan kehidupan keluarga. Syarat terakhir ini sering juga ditiadakan, sehingga harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan itu selalu menjadi harta bersama keluarga. 9 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf (f) juga mengartikan bahwa: Harta kekayaan dalam perkawinan 6 Drs. H. M. Anshary Hukum Perkawinan Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal htmlhttp://pengertianpengertian.blogspot.com/2011/12/pengertian-harta-bersama.html di akses tanggal 10 desember ibid 9 ibid

5 atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. 10 Harta bersama yang dimaksud itu yakni semua harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan tanpa mempersoalkan ke dalam atas nama siapa harta itu diperoleh. Harta bersama yakni semua harta pencaharian selama terjadinya ikatan perkawinan, tidak termasuk harta bawaan. Akan tetapi j ika ada perjanjian terdahulu harta bawaan bisa termasuk harta bersama, seperti yang di uraikan pada pasal 29 UUP dan pasal KHI Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 35 ayat 2 ditegaskan bahwa: Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 11 Harta bawaan yakni harta benda yang masing-masing suami atau istri bawa masuk dalam perkawinan, biasa diperoleh dari warisan, hibah, hadiah dan lain sebagainya. 12 Sedangkan harta bersama yaitu benar-benar murni dari hasil pencaharian suami istri selama perkawinan berlangsung, baik harta suami peroleh dari hasil pekerjaannya maupun dari hasil pekerjaan sang istri yang disebut sebagai harta bersama. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban 10 Undang-Undang Peradilan Agama. Yogyakarta: Graha Pustaka, hal UU. Perkawinan ibid hal J. andy Hartanto Hukum Harta Kekayaan. Surabaya : Laksbag Grafika. Halm. 63

6 yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. 2.4 Ruang Lingkup Harta Bersama Pada bagian ini akan diuraikan tentang ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan serta objek-objek yang termasuk di dalamnya. Dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan, maka segala harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun penerapannya di dalam kenyataan tidak demikian sederhana karena berbagai unsur terkait yang menyebabkan menjadi demikian rumit. Hal ini membutuhkan analisis dan keterampilan yang memadai pada proses penyelesaiannya dengan tidak lupa melalui pendekatan yurisprudensi. Berikut ini adalah luas cakupan harta bersama: a) Harta yang dibeli selama ikatan perkawinan Semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan, maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan: 1) Apakah isteri atau suami yang membeli 2) Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami 3) Apakah harta itu terletak dimana Jadi apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama H. M. Anshary ibid hal 134

7 b) Harta yang dibeli dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama Semua barang termasuk objek harta bersama, ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau sesudah terjadi perceraian. Misalnya harta bersama yang belum diadakan pembagiannya sejak perceraian dan kemudian digunankan oleh salah satu pihak yang menguasainya untuk membeli suatu barang atau membangun suatu bangunan maka pada barang atau bangunan tersebut tetap melekat secara mutlak wujud harta bersama. Asas kemutlakan harta bersama ini harus secara teguh penerapannya guna menghindari itikad buruk dari salah satu pihak yang pada akhirnya bertentangan dengan hukum kepatutan. c) Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan Dalam suatu sengketa perkara harta bersama, terkadang salah satu pihak mengajukan gugatan bantahan bahwa harta yang digugat tidak termasuk harta bersama, melainkan harta pribadi dan hak kepemilikan itu dialihkan berdasarkan atas hak pembelian, warisan ataupun hibah. Jika pihak lain dalam hal ini penggugat dapat membutikan bahwa harta yang menjadi sengketa itu benar diperoleh selama perkawinan, maka harta itu termasuk objek harta bersama itu sudah dialihkan dengan memakai nama orang lain. d) Penghasilan harta bersama atau harta bawaan

8 Harta bersama dan penghasilan yang tumbuh karenanya sudah semestinya turut manjadi objek harta bersama namun disamping itu penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami isteri akan jatuh juga menjadi objek harta bersama meskipun barang pokok atau harta pribadi itu tetap berstatus sebagai milik pribadi yang tidak dapat digugat. Tetapi hasil yang tumbuh daripadanya itulah yang menjadi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain didalam perkawinan. Berbeda dengan hasil harta pribadi tidak termasuk harta bersama melainkan secara mutlak tetap menjadi harta pribadi. Jadi jelas adanya bahwa harta pribadi dalam hal perkawinan turut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. 14 e) Segala penghasilan suami isteri Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh perdagangan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri. Hal ini merujuk pada putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454K/SIP/1970. Pengabungan penghasilan pribadi ke dalam harta bersama dengan sendirinya tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. f) Harta bersama dari perkawinan poligami 14 Ibid halm.136

9 Dalam hal suami hidup berpoligami atau mempunyai isteri lebih dari seorang. Maka dalam penentuan dan batas harta bersama berlaku beberapa asas yang antara lain sebagai berikut: 1) Dalam perkawinan poligami terbentuk beberapa harta bersama sebanyak isteri yang dikawini oleh suami. 2) Untuk menentukan saat terbentuknya masing-masing harta bersama antara suami dengan setiap isteri, terhitung sejak tanggal berlangsungnya pernikahan suami dengan masing-masing isteri. 3) Dalam perkawinan poligami masing-masing harta bersama antara suami dengan isteri-isterinya terpisah dan berdiri sendiri. 15 Asas ini sesuai dengan penegasan Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: 16 Isteri yang kedua dan seterusnya mempunyai hak atas harta yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua dan berikutnya itu terjadi. Uraian diatas adalah bagian kecil dari ruang lingkup harta bersama dengan batas-batasnya, baik pada perkawinan tunggal maupun pada perkawinan poligami yang penerapannya diupayakan di dalam praktek pada sengketa harta bersama yang ada dimasyarakat. 15 Drs. H. M. Anshary ibid hal Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 65 ayat 1 huruf b (Yogyakarta:new merah putih:2009) hal 35

10 2.5 Dasar Hukum Harta Bersama Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan KUHPerdata dan UU No. 1 tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam,. Jadi secara yuridis formal eksistensi harta bersama sebagai suatu fenomena hukum yang sudah melembaga dan, telah memperoleh pengakuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan hukum perkawinan. 17 Harta bersama sebagai lembaga hukum yang terdapat dalam hukum positif diatur, yakni dalam KUHPerdata mulai pasal , Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni dalam Pasal dan dalam intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pada pasal Mengenai harta bersama bagi mereka yang beragama Islam, proses penyelsaiannya dilaksanakan di Pengadilan Agama setempat serta tunduk pada azasazas hukum Islam tanpa mengenyampingkan hukum adat-istiadat setempat dan hukum nasional. 2.6 Wujud Harta Bersama Selanjutnya mengenai wujud harta bersama dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Benda berwujud, meliputi: a. Benda yang tidak bergerak (benda tetap) b. Benda bergerak c. Surat-surat berharga J. Andy Hartanto Hukum Harta Kekayaan. Surabaya: Laksbag Grafika, hal M. Anshary hokum Perkawinan DiIndonsia. Yogyakarta. Halm. 137

11 2. Benda tidak terwujud, meliputi: a. Hak-hak b. Kewajiban-kewajiban 19 Adapun benda tetap (tidak bergerak) misalnya tanah, rumah dan bangunan, sedangkan benda bergerak seperti mobil dan motor maupun prabot rumah tangga, sedangkan surat-surat berharga misalnya piutang, saham dan lain sebagainya. 20 Sedangkan hak-hak dan kewajiban ada pula yang dapat digolongkan sebagai objek harta bersama, seperti hak diatas sesuatu usaha yang didirikan selama ikatan perkawinan berlangsung, demikian pula sebaiknya segala kewajiban dari usaha bersama tersebut menjadi kewajiban suami istri. Kaitannya dengan hal tersebut, maka apabila harta bersama dijadikan sebagai kredit maka menurut ketentuan dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan haruslah atas persetujuan kedua belah pihak (suamiisteri). 21 Hal itu penting, karena terhadap harta benda yang dijadikan agunan dimaksud melekat dan kewajiban masing-masing pihak (suami-isteri). 2.7 Kewenangan Dan Kepemilikan 19 Ibid halm Ibid 21 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 36 ayat 1(Yogyakarta:new merah putih:2009) hal 25

12 Wewenang suami-istri atas harta bersama dalam perkawinan ditentukan oleh jenis harta dan kekayaan yang terdapat dalam sebuah rumah tangga. 22 Menurut ketentuan pasal 35 UU. Perkawinan dapat diketahui bahwa terdapat beberapa kelompok harta benda dalam suatu perkawinan, pertama harta bersama dan yang kedua harta pribadi. Yang dimaksud harta bersama menurut UU. No. 1 tahun 1974 adalah harta benda yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan berlansung. Artinya harta bersama tersebut diperoleh sejak peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik karena perceraian maupun karena kematian. Dengan melihat rentang waktu perolehan harta bersama tersebut, maka harta yang diperoleh suami-istri sebelum melangsungkan perkawinan dan dibawa masuk kedalam perkawinan tidak termasuk harta bersama, tapi merupakan harta pribadi suami-istri yang bersangkutan. Sedangkan harta pribadi adaalah harta yang sudah dimiliki oleh suami istri pada saat perkawinan dilangsungkan, atau harta yang diperoleh suami-istri sebelum melangsungkan perkawinan. Harta pribadi tersebut tidak masuk dalam golongan harta bersama kecuali suami-istri yang bersangkutan memperjanjikan lain. 23 Seperti yang telah diuraikan diatas, harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Terhadap harta bersama pasal 36 ayat 1 Undang Undang no. 1 tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pada ketentuan selanjutnya yakni pada pasal 36 ayat 2 telah ditegaskan bahwa suami-istri berhak melakukan suatu perbuatan 22 J. Andy Hartanto Hukum Harta Kekayaan. Surabaya: Laksbag Grafika. Halm Ibid halm. 63

13 hukum. Dari kedua ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa suami dan istri, keduanya berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama. dalam pasal 36 ayat 2 UU. No1 tahun 1974 disebutkan bahwa tindakan hukum harus dilakukan dengan persetujuan, yang maknanya harus ditafsirkan secara praktis dengan berbagai pengertian. Artinya persetujuan yang dimaksud tidak harus diberikan untuk tiap-tiap tindakan atas harta bersama guna memenuhi kebutuhan hidup dan rumah tangga. Apabila kata persetujuan yang dimaksud dalam pasal 36 ayat 2 diartikan secara umum khusus maka justru akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan tindakan hukum. Misalnya untuk belanja kebutuhan sehari-hari akan sangat menyulitkan jika istri harus meminta persetujuan suami. Lain halnya untuk transaksi yang sifatnya penting, maka persetujuan atas tindakan suami/istri harus diberikan secara tegas. 24 Lain halnya dengan seorang suami mempunyai isteri lebih dari seorang, misalnya dua, tiga ataupun empat. kewenangan harta bersama dapat dilakukan dengan cara pengusutan asal usul, waktu pengadaan dan sumber yang dipergunakan membeli barang yang dimaksud. Kepemilikan harta bersama bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, adalah terpisah dan berdiri sendiri dihitung sejak saat berlangsungnya perkawinan yang kedua, ketiga dan keempat. Semua barang yang diperoleh dengan isteri pertama menjadi harta bersama terhadapnya, sedangkan untuk istri kedua, dan ketiga, serta keempat akan 24 Ibid halm. 64

14 memperoleh harta bersama terhitung dari akad pernikahannya. Penentuan suatu benda menjadi harta bersama bagi masing-masing isteri dapat di teliti dari waktu pengadaan ataupun pembelinya. Berkenaan dengan hal diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa segala tindakan yang berhungan dengan harta bersama harusah dilakukan dengan perstujuan dari suami maupun istri. harta bersama juga tidak hanya untuk istri pertama, akan tetapi dapat pula terjadi untuk isteri kedua, ketiga, dan keempat. Yang tentunya berdiri terpisah dari istri pertama sehingganya kepastian dan perlindungan hukum terhadap harta bersama menjadi jelas. 2.8 Penyelesaian Perselisihan Selama ikatan perkawinan masih berlangsung dengan baik dan dapat dipertahankan keutuhannya, maka selama itu pula tidak ada permasalahan berkenan dengan harta bersama. Pengaturan harta bersama dan dilaksanakan apabila perkawinan menjadi bubar, atau terjadi perceraian. Pada saat inilah sering timbul perselisihan diantara para pihak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 37 dengan tegas menyebutkan bahwa: Bila Perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Lingkungan Hukum yang akan diberlakukan berkenaan dengan pengaturan harta bersama yakni Hukum Agama, Hukum Adat dan Hukum-hukum yang lainnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan resminya Pasal 35 dan 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

15 Bagi suami-isteri yang beragama Islam dan bermaksud mengatur pembagian harta bersama, haruslah melalui Kantor Pengadilan Agama setempat yang tata cara dan prosedurnya telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang no 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama. Berkaitan dengan hal tersebut dalam al-qur an Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat Yang artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua Orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Disamping itu varia peradilan memberikan ulusan, bahwa terjadinya perselisihan mengenai harta bersama dapat dikarenakan oleh: 1. Kurang pengetahuan mengenai harta bersama 2. Tidak tahu membagi harta bersama 3. Sulit membagi harta bersama 4. Ada sifat serakah 25 Al-qu ran dan terjemahan. CV. Kathoda. Jakarta: 2005

16 5. Tidak mau membagi harta bersama. 26 Pengetahuan hukum bagi masyarakat memang masih digolongkan terlalu minim sehingga tidak dapat membedakan mana harta bersama dan yang mana harta bawaan. Disamping itu, ada pula pasangan yang tidak tahu tata cara dan prosedur membagi harta bersama, serta berapa bagian dari masing-masing pihak yang berhak atas harta bersama dimaksud. Kesulitan dalam hal membagi harta bersama masih menjadi fenomena hukum yang perlu dibantu oleh lembaga yang berwenangan. Akan tetapi ada pula pihak tertentu yang mempunyai sifat-sifat serakah, ingin mengusai keseluruhan harta bersama sebagai miliknya sendiri tanpa memperhatikan hak dan kewajiban pihak lain. Sehubungan dengan hal di atas, maka upaya dapat ditempuh berkenaan dengan pembagian harta bersama bagi pemutusan perkawinan karena perceraian dapat ditempuh dua cara, yaitu: 1. Mengajukan gugatan/permohonan cerai disertai dengan langsung meminta pembagian atas harta bersama. 2. Gugatan harta bersama secara mandiri. Pengajuan gugatan pembagian harta bersama secara sendiri, umumnya dilakukan jika salah satu pihak (suami isteri) meninggal dunia. Sedangkan pengajuan gugatan/permohonan cerai bersama pembagian harta warisan karena keutuhan perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. 26 Ikahi, Varia Peradilan,Tahun ke-2 Nomor 18 Maret 1999, Tahun ke-3 Nomor Nopember 1999 (Jakarta, 1999), halm. 56

17 Kedua cara tersebut, dapat ditempuh baik secara langsung dan pribadi maupun melalui bantuan orang lain, seperti penasehat hukum pengacara dan advokat. Namun tidak ada keharusan dalam menggunakan jasa-jasa praktisi hukum seperti yang dimaksud diatas. 2.9 Tinjauan tentang Perceraian Kata cerai dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai pisah, putus hubungan antar sumi istri. 27 Perceraian juga merupakan berakhirnya suatu pernikahan, saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Perceraian juga merupakan terputusnya kehidupan rumah tangga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri. 28 Menurut H.A. Fuad Sa id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak. 29 Dalam kasus perceraian kadang kala terjadi karena persoalan yang tidak diinginkan oleh pasangan suami istri dimana persoalan tersebut mungkin merupakan persoalan yang tidak dapat diatasi lagi oleh keduanya sehingga penyelesaiannyapun 27 Trisno Yuwono, Kamus Bahasa Indinesia, Arkola, Surabaya. Halm Prosedur gugatan cerai+pembagian harta gono-gini+hak asu anak, hal Abdul Manan Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, Dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA. Jakarta: halm. 7

18 harus ditempuh dengan cara perceraian. Antara lain terdapat berbagai persoalan yang mendasari pasangan suami-istri untuk bercerai, tentu saja alasan-alasan ini diajukan sebagai dasar pada saat istri mengajukan gugatan cerai atau suami mengajukan permohonan talaq di Pengadilan Agama. Berdasarkan pengertian perceraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak maka, dapat terjadinya perceraian, dimana harus disertai dengan alasanalasan tertentu dan dilakukan di depan sidang pengadilan. Seperti yang tercantum dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Alasan perceraian Untuk dapat menyelesaikan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 39 ayat 2 bahwa: Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Selanjutnya, dipertegas pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan alasan perceraian sebagai berikut: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

19 c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/ istri; f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dengan melihat ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian seperti yang diatur dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada pasal 19 tersebut di atas, disamping itu adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Maka dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya walaupun melakukan perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang yang sudah terikat oleh perkawinan tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan atau melakukan perceraian tanpa didasari alasan yang kuat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan undian dengan hadiah yang memiliki nilai materil (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian berhadiah ini umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIK. isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri

BAB II KERANGKA TEORITIK. isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri BAB II KERANGKA TEORITIK 2.1. Pengertian Perceraian Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam, terutama bagi mereka yang secara lahir dan batin telah siap menjalankannya. Tidak perlu ada rasa takut dalam diri setiap muslim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Presiden Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI PERKARA PUTUSAN NOMOR 1708/pdt.G/2014/PA.bjn. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri M dalam Putusan Nomor:

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER I. HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI SEBELUM BERPERKARA (PERDATA) KE PENGADILAN Bagi orang yang akan berperkara di pengadilan dan belum mengerti tentang cara membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak memungkinkan lagi untuk mewujudkan perdamaian, maka hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN. tidak memungkinkan lagi untuk mewujudkan perdamaian, maka hukum Islam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan rumah tangga suatu permasalahan terkadang dapat diatasi, sehingga antara kedua belah pihak dapat berbaikan kembali, tetapi adakalanya perselisihan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin Dalam laporan penelitian di atas telah disajikan 2

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK A. Alasan-alasan Pengajuan Izin Perceraian Pegawai Negeri

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Tanggal: 6 SEPTEMBER 1990 (JAKARTA)

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG CERAI TALAK

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG CERAI TALAK 20 BAB II LANDASAN TEORI TENTANG CERAI TALAK A. Landasan Teori Tentang Perceraian 1. Pengertian Perceraian Perkawinan merupakan suatu sunnah Rasul SAW, yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

A. Analisis Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum Putusan PA Nomor. Agama Pasuruan, yang mana dalam bab II telah dijelaskan tentang sebab

A. Analisis Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum Putusan PA Nomor. Agama Pasuruan, yang mana dalam bab II telah dijelaskan tentang sebab BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM DAN DASAR HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PASURUAN NOMOR : 0530/Pdt.G/2013/PA.PAS TENTANG CERAI GUGAT YANG DISEBABKAN SUAMI MELALAIKAN TANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 A. Landasan Hukum Penetapan Harta Bersama Dalam Permohonan Izin Poligami Dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan Perkara Nomor 1061/Pdt.G/2016/PA.Bwi di Pengadilan Agama Banyuwangi) perspektif UU No.

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara No.755, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMSANEG. Pegawai. Perkawinan. Perceraian. PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI

Lebih terperinci

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik BAB IV ANALISIS TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM NO.0255/Pdt.G/2013/PA.Pas. di PENGADILAN AGAMA PASURUAN A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam

Lebih terperinci

BAB IV. Agama Bojonegoro yang menangani Perceraian Karena Pendengaran. Suami Terganggu, harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang

BAB IV. Agama Bojonegoro yang menangani Perceraian Karena Pendengaran. Suami Terganggu, harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NOMOR. 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. TENTANG CERAI GUGAT KARENA PENDENGARAN SUAMI TERGANGGU A. Analisis Terhadap Dasar Hukum Hakim Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam mensyariatkan perkawinan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai ibadah dan untuk memadu kasih sayang serta untuk memelihara kelangsungan hidup

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH 66 BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH A. Analisis terhadap Pertimbangan Hakim Dalam putusan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG. NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg.

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG. NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg. BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg. A. Analisis Hukum Terhadap Deskripsi Putusan Nomor: 455/Pdt.G/2013/PA.Spg Mengenai Perceraian Akibat Suami

Lebih terperinci

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB II PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAB II PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Landasan Yuridis Perceraian Dalam bahasa Indonesia kata perceraian berasal dari kata cerai yang berarti pisah.

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HUKUM ACARA PERCERAIAN ANTARA SUAMI DAN ISTERI DI PENGADILAN AGAMA

PERBANDINGAN HUKUM ACARA PERCERAIAN ANTARA SUAMI DAN ISTERI DI PENGADILAN AGAMA PERBANDINGAN HUKUM ACARA PERCERAIAN ANTARA SUAMI DAN ISTERI DI PENGADILAN AGAMA Oleh : Suhartanto I. Latar Belakang : Di dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditentukan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. 81 BAB IV ANALISIS HUKUM FORMIL DAN MATERIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM TENTANG NAFKAH IDDAH DAN MUT AH BAGI ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO (Study Putusan Perkara No. 1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn) A. Analisis

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia 104 BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Pada dasarnya menurut Hukum Islam, harta suami isteri terpisah. Masingmasing memiliki hak untuk membelanjakan atau menggunakan hartanya dengan sepenuhnya tanpa boleh

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM BUKU II SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM BUKU II SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM BUKU II SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 A. Analisis Hukum Terhadap Landasan Penetapan Harta Bersama Dalam Permohonan

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak BAB IV ANALISIS YURIDIS HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak Menggunakan Hak Ex Officio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling kenal-mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan sesama manusia. Salah satu hubungan sesama manusia adalah melalui perkawinan, yaitu perjanjian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB IV. Agama Surabaya Tentang Pembatalan Putusan Pengadilan Agama Tuban. itu juga termasuk di dalamnya surat-surat berharga dan intelektual.

BAB IV. Agama Surabaya Tentang Pembatalan Putusan Pengadilan Agama Tuban. itu juga termasuk di dalamnya surat-surat berharga dan intelektual. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO.162/PDT.G/2009/PTA.SBY TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN PA TUBAN NO.1254/PDT.G/2008/PA.TBN DALAM PERKARA PERPINDAHAN HARTA BERSAMA MENJADI HARTA ASAL A. Analisis

Lebih terperinci

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan, Pernikahan PNS Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Lebih terperinci

ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009

ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009 ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009 Oleh Drs. H. Jojo Suharjo ( Wakil Ketua Pengadilan Agama

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIS BERPERKARA

PEDOMAN PRAKTIS BERPERKARA PEDOMAN PRAKTIS BERPERKARA Transparansi, Akuntabilitas, Mandiri,Dihormati,dan Sumber Daya Manusia Aparatur Peradilan Yang Berkwalitas Senyum, Salam dan Sapa Pengadilan Agama Manna Klas II Jalan Raya Padang

Lebih terperinci

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN 1 KUHPerdata 103 106 105 107 KUHPerdata 107 108 110 Akibat perkawinan terhadap diri pribadi masing-masing Suami/Istri Hak & Kewajiban Suami-Istri UU No.1/1974 30

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI 1) TITIN APRIANI, 2) RAMLI, 3) MUHAMMAD AFZAL 1),2) Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah memaparkan semua masalah yang telah penulis uraikan, kini tiba saatnya penulis menyampaikan kesimpulan yang berisikan sebagai berikut : 1. Proses perkara No.950/Pdt.G/2010/PAKds

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaturan Hukum Prosedur Perizinan Perceraian Pegawai Negeri Sipil

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaturan Hukum Prosedur Perizinan Perceraian Pegawai Negeri Sipil BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Hukum Prosedur Perizinan Perceraian Pegawai Negeri Sipil Perkawinan adalah bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI A. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Cerai Gugat dengan Sebab Pengurangan Nafkah

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai seorang suami

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pelaksanaan Perkawinan dengan Perjanjian Kawin di Kabupaten

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pelaksanaan Perkawinan dengan Perjanjian Kawin di Kabupaten BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Perkawinan dengan Perjanjian Kawin di Kabupaten Klaten Pada dasarnya jika terjadi perkawinan maka akan terjadi percampuran harta antara suami dan istri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat maupun hukum Islam. Dalam hukum adat, harta bersama. masing-masing pihak baik suami maupun istri adalah merupakan harta

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat maupun hukum Islam. Dalam hukum adat, harta bersama. masing-masing pihak baik suami maupun istri adalah merupakan harta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Harta bersama memiliki pengertian yang beragam, baik di dalam hukum adat maupun hukum Islam. Dalam hukum adat, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang diperoleh

Lebih terperinci

Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010

Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010 Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010 Tanggal dibacakan putusan : 26 Mei 2010 Amar : Dikabulkan Kata Kunci : Polygami Jenis Lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu dinamakan perkawinan yang diharapkan dapat berlangsung selama-lamanya,

BAB I PENDAHULUAN. suatu dinamakan perkawinan yang diharapkan dapat berlangsung selama-lamanya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila seorang pria dan wanita telah memutuskan untuk mengikatkan diri dalam suatu dinamakan perkawinan yang diharapkan dapat berlangsung selama-lamanya, maka terhitung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 0673/Pdt.G/2010/PA.Pas DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 0673/Pdt.G/2010/PA.Pas DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 0673/Pdt.G/2010/PA.Pas DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam tingkat pertama telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama adalah salah satu dari peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu,

Lebih terperinci

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D 101 09 512 ABSTRAK Penelitian ini berjudul aspek yuridis harta bersama dalam

Lebih terperinci

KUISIONER HASIL SURVEI TESIS

KUISIONER HASIL SURVEI TESIS KUISIONER HASIL SURVEI TESIS STUDI DESKRIPTIF TENTANG PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG BERAGAMA ISLAM PADA DINAS PENDIDIKAN KOTA PEKALONGAN Oleh : Nama : HENRI RUDIN NIM :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dalam ikatan yang sah sebagaimana yang diatur dalam Islam,

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dalam ikatan yang sah sebagaimana yang diatur dalam Islam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah bersatunya dua pribadi antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang sah sebagaimana yang diatur dalam Islam, yakni separuh nyawa antara

Lebih terperinci

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TIDAK DITETAPKANNYA NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 2542/PDT.G/2015/PA.LMG) A. Pertimbangan Hukum Hakim yang Tidak Menetapkan Nafkah

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS DAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Sesuai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam membangun keluarga

BAB I. Pendahuluan. melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam membangun keluarga BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan semua orang yang membina rumah tangga. Suami dan isteri berjalan beriringan melaksanakan tugas

Lebih terperinci

BAB III PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Nasional dan Undang-undang

BAB III PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Nasional dan Undang-undang BAB III PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perceraian Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian. Adapun perceraian sebagaimana

Lebih terperinci

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, merupakan suatu upaya pemerintah untuk mengatasi keanekaragaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nikah dalam bahasa arab ialah bergabung dan berkumpul, dipergunakan juga dengan arti kata wata atau akad nikah, tetapi kebanyakan pemakaiannya untuk akad nikah.nikah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah barang tentu perikatan tersebut mengakibatkan timbulnya hakhak

BAB I PENDAHULUAN. sudah barang tentu perikatan tersebut mengakibatkan timbulnya hakhak A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perjanjian perikatan antara suamiistri, sudah barang tentu perikatan tersebut mengakibatkan timbulnya hakhak dan kewajiban-kewajiban

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGG P U T U S A N. Nomor : 237/PDT/2016/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENGADILAN TINGG P U T U S A N. Nomor : 237/PDT/2016/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 237/PDT/2016/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka

BAB I PENDAHULUAN. wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka BAB I 10 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prinsip perkawinan adalah untuk selamanya dengan tujuan kebahagiaan dan kasih sayang yang kekal dan abadi, sebagaimana yang terdapat dalam QS An-Nahl ayat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Pengertian Harta Bersama 1. Pengertian Harta Bersama Menurut Hukum Islam Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA.Bdg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA.Bdg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor /Pdt.G/2017/PTA.Bdg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan dalam sidang majelis

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Cerai Gugat Suami Masuk Penjara

BAB IV PEMBAHASAN. A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Cerai Gugat Suami Masuk Penjara 43 BAB IV PEMBAHASAN A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Cerai Gugat Suami Masuk Penjara Berdasarkan data yang penulis himpun dari lapangan pada saat observasi secara langsung dan melalui hasil wawancara

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur an, Allah SWT. berfirman :

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur an, Allah SWT. berfirman : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT. dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan manusia adalah melengkapi kekurangan manusia lainnya. Salah satunya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Perkawinan Karena Murtad Dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Harta Kekayaan dalam Perkawinan Harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat:5 Artinya: Dan janganlah kamu serahkan

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor : 1519/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

PUTUSAN. Nomor : 1519/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN PUTUSAN Nomor : 1519/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM CERAI GUGAT (STUDI PUTUSAN NOMOR : 420/PDT.G/2013/PTA.SBY) A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan

Lebih terperinci