BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peradaban dunia dimulai dengan pendidikan. Pendidikan menarik minat manusia untuk mendatangi suatu pusat ilmu pengetahuan dan menjadi suatu peluang pembangunan tersendiri bagi wilayah tersebut. Hal itulah yang terjadi dengan Provinsi DI Yogyakarta. DI Yogyakarta merupakan suatu provinsi yang dikenal sebagai Kota Pelajar. Zaman kemerdekaan Republik Indonesia menjadi saksi di mana DI Yogyakarta telah banyak memberikan peranan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kemajuan pendidikan turut memicu kemajuan pembangunan suatu wilayah dikarenakan kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan akan sejalan dengan kebutuhan terhadap fasilitas fasilitas yang mendukung q. Wilayah di DI Yogyakarta yang menunjukkan pembangunan seiring kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman merupakan salah satu pusat akademis di DI Yogyakarta Tiga perguruan tinggi negeri dan beberapa perguruan tinggi swasta terdapat di kabupaten Sleman, sehingga wilayah ini menjadi salah satu pusat aktivitas penduduk di DI Yogyakarta. Peningkatan jumlah pendatang dengan tujuan ilmu pengetahuan dan pendidikan terjadi tiap tahunnya, baik dari dalam Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Tuntutan fasilitas hidup tentunya turut berkembang di wilayah ini seiring dengan meningkatnya aktivitas penduduk terkait ilmu pengetahuan dan pendidikan di Kabupaten Sleman. Fasilitas ini terus membutuhkan ketersediaan lahan dalam pembangunannya. Banyak lahan di wilayah ini yang semula berupa lahan terbuka hijau bermetamorfosa menjadi area pertokoan dan permukiman. Terlihat di mana perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sleman cenderung mengikuti lokasi pusat pendidikan. Terdapat perbedaan penggunaan lahan di wilayah Sleman yang

2 2 terkonsentrasi di wilayah Sleman bagian utara dan tengah, dimana wilayah tersebut merupakan lokasi beberapa perguruan tinggi besar di DI Yogyakarta Kemajuan pendidikan di Kabupaten Sleman telah memberi dampak positif terhadap pembangunan sehingga tentu memberi pengaruh besar terhadap perekonomian di wilayah ini. Akan tetapi sangat perlu diperhatikan dimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah tentunya memiliki dampak secara tidak langsung terhadap lingkungan. Salah satu dampak dari pembangunan adalah perubahan suhu udara. Peningkatan suhu cukup terasa di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun. Perubahan penggunaan lahan yang mengurangi ruang terbuka hijau diperkirakan menjadi salah satu pemicu utama dari peningkatan suhu kota yang cukup drastis ini. Ruang terbuka hijau sendiri dibutuhkan sebagai suatu sistem pendingin alami di alam terkait siklus hidup vegetasi yang berperan dalam menjaga keseimbangan kelembaban dan suhu lingkungan. Kondisi pembangunan di Kabupaten Sleman yang cenderung mengikuti keberadaan pusat pendidikan di wilayah ini tentu menyebabkan perbedaan suhu yang cukup bervariasi antara wilayah Kabupaten Sleman. Hal ini menarik dikaji terkait perpersebaran suhu di Kabupaten Sleman, di mana diduga wilayah ini memiliki suhu permukaan tinggi di lokasi dengan aksesibilitas baik terhadap pusat pendidikan, serta memiliki suhu permukaan rendah di lokasi yang cukup jauh/ sulit menjangkau pusat pendidikan. Studi terkait hubungan antara penggunaan lahan terhadap suhu permukaan bumi dapat dilakukan dengan Penginderaan Jauh. Citra satelit penginderaan jauh memfasilitasi kebutuhan kajian terkait suhu bumi dengan teknologi saluran inframerah termal yang mampu merekam nilai spektral untuk mengidentifikasi suhu. Citra yang memfasilitasi kebutuhan tersebut di antaranya adalah citra satelit ASTER, LANDSAT, dan MODIS. Penelitian yang berjudul Pemetaan Persebaran Suhu Permukaan Terkait Penggunaan Lahan Menggunakan Citra Satelit ASTER di Kabupaten Sleman Tahun 2007 ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap persebaran suhu permukaan lahan.

3 Rumusan Masalah Peningkatan suhu Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun yang dapat dirasakan saat ini faktor yang mendorong penelitian ini untuk dikaji. Suhu permukaan lahan yang turut mempengaruhi suhu udara menjadi objek penelitan kali ini. Adanya pengaruh penggunaan lahan dalam persebaran suhu permukaan lahan menjadi perkiraan awal penelitian. Pemanfaatan Penginderaan Jauh dilakukan untuk mengetahui pengolahan citra satelit dengan saluran inframerah thermal (TIR) dalam memetakan persebaran suhu permukaan terhadap penggunaan lahan di Kabupaten Sleman tahun Pengaruh penggunaan lahan terhadap suhu permukaan lahan di Kabupaten Sleman diharapkan dapat terjawab dari penelitian yang berjudul Pemetaan Persebaran Suhu Permukaan Terkait Penggunaan Lahan Menggunakan Citra Satelit ASTER di Kabupaten Sleman Tahun 2007 ini. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran Penginderaan Jauh dalam pemetaan persebaran suhu Kabupaten Sleman dengan menggunakan citra ASTER? 2. Bagaimana persebaran suhu permukaan lahan terhadap kondisi penggunaan lahan di Kabupaten Sleman? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan 1. Mengetahui peran penginderaan jauh dalam pemetaan suhu permukaan lahan 2. Mengetahui pengaruh kondisi penggunaan lahan terhadap suhu permukaan lahan di Kabupaten Sleman tahun Manfaat 1. Mengetahui kondisi suhu permukaan lahan di Kabupaten Sleman tahun Sebagai referensi untuk pengembangan penelitian sejenis.

4 Tinjauan Pustaka Penginderaan Jauh Digital Kegiatan survei pemetaan dan pemodelan untuk pengelolaan sumberdaya, dan wilayah, dewasa ini sudah tidak dapat dilepaskan dari dua macam teknologi, yaitu penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni dalam memperoleh informasi mengenai suatu obyek, area, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa suatu kontak langsung (Lillesand et al, 2008). Sistem Informasi Geografis (selanjutnya disingkat SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, mengelola, menganalisis, dan mengaktifkan atau memanggil kembali data yang mempunyai informasi keuangan, untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pemetaan dan perencanaan. Kedua macam teknologi tersebut sangat bermanfaat dalam pengelolaan informasi keuangan mengenai kondisi permukaan (dan dekat permukaan) bumi. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya, teknologi tersebut cenderung diintegrasikan demi peningkatan efisiensi Perolehan serta akurasi hasil pemetaannya, sebagai masukan dalam proses perencanaan dan pengelolaan wilayah. Gagasan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, bukan sekedar teknologi, telah lama diperdebatkan. Sutanto (1986) mengutip pemikiran Dahlberg dan Jensen (1986) yang menyatakan bahwa penginderaan jauh dan kartografi merupakan teknik dalam disiplin geografi. Dalam perkembangannya, kedua teknik ini tumbuh menjadi disiplin baru yang dicirikan oleh tanda tanda yang cukup jelas, meliputi metodologi, teknik, dan orientasi intelektual yang perkembangannya mengikuti kurva perkembangan ilmu. Penginderaan jauh digital bukanlah sekedar kumpulan teknik pengolahan citra digital. Lebih dari itu, penginderaan jauh digital dipandang sebagai suatu kerangka kerja dalam memahami masalah di dunia nyata yang bersifat multidimensional (spasial, ekologis,

5 5 dan kewilayahan), serta menawarkan alternatif solusi melalui perspektif analisis citra(danoedoro, 2002). Perkembangan dari Manual ke Digital Penginderaan jauh pada awalnya dikembangkan dari teknik interpretasi foto udara. Pada 1919 upaya pemotretan melalui pesawat terbang dan interpretasi foto udara (Howard, 1990) telah dimulai. Dalam tiga puluh tahun terakhir, penggunaan teknologi satelit dan teknologi komputer untuk menghasilkan informasi keuangan (atau peta) suatu wilayah semakin dirasakan manfaatnya. Ketika berbagai Negara berkembang masih memiliki akses terbatas ke sistem komputer untuk pengolahan citra digital, pemanfaatan produk penginderaan jauh satelit masih berupa citra tercetak (hard copy) yang diinterpretasi secara visual atau manual. Teknik interpretasi semacam ini telah berkembang pesat dalam penginderaan jauh sistem fotografik dan hingga saat ini merupakan teknik yang dipandang mapan. Prinsip prinsip interpretasi fotografis dapat diterapkan pada citra satelit yang telah dicetak dan memberikan banyak informasi mengenai fenomena spasial di permukaan bumi pada skala regional. Citra citra satelit yang telah tercetak ini memberikan keuntungan terutama dalam hal (a) kemudahan analisis regional secara cepat (karena dimungkinkannya synoptic overview pada satu lembar citra berukuran 60 km x 60 km sampai dengan 180 km x 185 km), dan (b) kemudahan pemindahan hasil interpretasi (plotting) ke peta dasar karena tidak memerlukan banyak lembar dengan skala yang berbeda beda dan secara umum mempunyai distorsi geometri yang relatif lebih rendah dibandingkan foto udara. Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer yang semakin pesat dewasa ini di mana banyak perusahaan telah melakukan downsizing (beralih dari komputer mainframe ke komputer mini, dan dari komputer mini ke komputer mikro/ PC/ laptop) maka akses berbagai kelompok praktisi dan akademisi ke otomatisasi pengolahan citra digital pun

6 6 semakin besar. Semakin banyak paket perangkat lunak pengolah citra digital dan SIG yang dioperasikan dengan PC/ komputer jinjing. Hampir bersamaan dengan perkembangan teknik analisis data keuangan melalui teknologi SIG, kebutuhan akan citra digital yang diperoleh melalui perekaman sensor satelit sumberdaya pun semakin meningkat. Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari segi harga, periode ulang perekaman daerah yang sama, pemilihan spektrum panjang gelombang untuk mengatasi hambatan atmosfer, serta kombinasi saluran spektral (spektral band, atau sering disingat dengan band) yang dapat diatur sesuai dengan tujuan. Sistem Penginderaan Jauh Sistem penginderaan jauh menyajikan kenampakan permukaan bumi dari pantulan energi yang dipancarkan suatu objek di permukaan bumi berdasarkan gelombang elektromagnetik tertentu. Penginderaan jauh semakin berkembang dengan dihasilkannya citra citra multispektral/ hiperspektral yang memanfaatkan saluran dengan jangkauan spektrum elektromagnetik yang semakin luas sehingga memiliki kepekaan yang semakin beragam terhadap objek di permukaan bumi. Gambar 1.1. Sistem Penginderaan Jauh

7 7 Sistem penginderaan jauh memanfaatkan energi yang dipantulkan/ dipancarkan oleh objek baik dengan bantuan energi matahari maupun energi yang dikirimkan oleh sensor satelit. Energi ini terkait dengan emisivitas objek yang diradiasikan oleh suatu permukaan pada suhu tertentu. Gambar 1.4. menunjukkan emisivitas energi yang diradiasikan benda hitam pada berbagai suhu. Gambar 1.2. Emisivitas energi benda hitam pada berbagai suhu (Sumber: Michaelsen, 2010) Gambar 1.2. menampilkan pembagian spektrum gelombang elektromagnetik. Spektrum elektromagnetik secara umum terbagi atas radiasi UV (ultraviolet), radiasi cahaya tampak (visibel), dan radiasi inframerah. Gambar 1.3. Spektrum Elektromagnetik

8 8 Penjelasan tiap spektrum adalah sebagai berikut: a. UV (ultraviolet) Merupakan radiasi yang memiliki panjang gelombang terpendek. Beberapa material bumi seperti batuan dan mineral mampu teriluminasi oleh radiasi UV. Gambar 1.4. Jangkauan Spektrum UV b. Cahaya Tampak Radiasi ini adalah radiasi yang dikenali oleh mata manusia. Radiasi ini terdiri atas spektrum violet, biru, hijau, kuning, jingga, dan merah. Gelombang cahaya tampak dapat difungsikan dengan baik untuk vegetasi dan identifikasi objek berbeda dari warna yang terlihat.

9 9 Gambar 1.5. Jangkauan Spektrum Cahaya Tampak c. Radiasi Inframerah (IR) Jangkauan gelombang inframerah sangat luas yaitu sekitar 0,7 mm 10 mm. Berdasarkan karakteristik radiasinya, gelombang inframerah dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu inframerah sebagai reflected, dan inframerah sebagai emitted atau inframerah termal. Fungsi emitted ini dapat dicontohkan sebagaimana kayu bakar tidak menampakkan cahaya, tapi memancarkan radiasi inframerah yang dirasakan menjadi suhu. Gelombang inframerah biasa digunakan untuk memantau kesehatan vegetasi hingga kebakaran hutan.

10 10 Gambar 1.7. Jangkauan Spektrum Inframerah d. Radiasi Gelombang Mikro Gelombang dengan jangkauan spektrum terluas adalah gelombang mikro. Karakteristik gelombang mikro terpendek hampir sama dengan gelombang inframerah termal, di mana gelombang yang lebih panjang dimanfaatkan sebagai saluran radio. Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Jensen (2007), menyatakan bahwa posisi penginderaan jauh di geografi adalah serupa dengan posisi matematika di ilmu ilmu alam. Artinya, penginderaan jauh berdiri sendiri sebagai suatu disiplin dan sekaligus melayani sebagai alat analisis dalam geografi. Gagasan bahwa

11 11 perkembangan penginderaan jauh mengikuti ciri ciri suatu tubuh pengetahuan yang berupa ilmu (sains) dapat diperbandingkan dengan pendapat Zen (1979), yang menyatakan bahwa suatu pengetahuan disebut sains kalau pengetahuan tersebut mampu memformulasikan gejala keteraturan di alam, menyusunnya dalam bentuk teori, dan mempunyai mekanisme untuk menguji diri sendiri (self testing). Hal tersebut sejalan dengan kenyataan sistem penginderaan jauh yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana pantulan energi dari permukaan bumi menjadikan dasar kenampakan yang diperoleh pada citra penginderaan jauh. Logika yang menyertai konsep sistem penginderaan jauh ini menjadi dasar pengembangan algoritma untuk pengolahan citra secara digital. Penginderaan jauh diaplikasikan secara matematis dan memberikan informasi yang lebih variatif, cepat diperoleh, dan akurat baik dalam keperluan koreksi citra maupun untuk aplikasi lebih lanjut. Pengolahan matematis ini dikembangkan menjadi beberapa pengolahan citra digital seperti klasifikasi citra dan ekstraksi suhu permukaan bumi. a. Klasifikasi Multispektral Klasifikasi multispektral adalah salah satu bagian dari pengolahan citra penginderaan jauh yang paling sering dibahas, digunakan, dan dalam praktisi dipandang mapan. Lebih dari itu, hasil utama klasifikasi multispektral adalah peta tematik (yang pada umumnya merupakan peta penutup atau penggunaan lahan), yang kemudian biasanya dijadikan masukan dalam pemodelan spasial dalam lingkungan sistem informasi geografis (SIG). Secara ringkas, algoritma klasifikasi sederhana memuat langkah langkah sebagai berikut: (i) menentukan nilai spektral representatif tiap obyek dengan cara sampling. Nilai rerata tiap sampel akan dijadikan pegangan untuk pengenalan obyek.

12 12 (ii) menempatkan nilai representatif obyek (sampel) pada diagram multidimensional. (iii) menentukan batas toleransi berupa jarak spektral dari nilai representatif. Artinya, vektor piksel yang terhiting pada posisi di luar jarak ini akan dikelaskan sebagai bukan obyek yang dimaksud. (iv) Pengambilan keputusan berupa penghitungan seluruh nilai piksel dan memasukkan ke kelas yang tersedia, selama mereka lebih pendek atau sama dengan jarak toleransi masing masing obyek, dan mengkelaskan sebagai tak terklasifikasi selama mereka tidak masuk kelas mana pun. Piksel yang bersangkutan akan ditandai sebagai kelas A, bila jarak spektral piksel tersebut adalah yang terdekat dibandingkan jarak spektral ke kelas lain. Proses klasifikasi multispektral dengan bantuan komputer masih dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tingkat otomasinya. Keduanya ialah klasifikasi terselia (supervised clasification) dan klasifikasi tak terselia (unsupervised classification). Klasifikasi tersedia meliputi sekumpulan algoritma yang didasari pemasukan contoh obyek (berupa nilai spektral) oleh operator. Contoh ini disebut sampel, dan lokasi geografis kelompok piksel sampel ini disebut sebagai daerah contoh (training area). Tiga hal penting yang harus dipertimbangkan dalam klasifikasi terselia ialah sistem klasifikasi, kriteria sampel dan algoritma, yaitu sebagai berikut: Sistem atau Skema Klasifikasi Klasifikasi multispektral secara langsung hanya dapat diterapkan untuk pemetaan penutp lahan (landcover), dan bukan penggunaan lahan. Aspek penggunaan lahan secara deduktif dapat diturunkan dari informasi penutup lahannya, atau dengan cara lain melalui pemasukan informasi bantu atau

13 13 ancillary data (rotasi tanaman, citra multitemporal, faktor bentuklahan, dan sebagainya). Oleh karena itu, skema klasifikasi yang disiapkan harus berisi kelas kelas penutup lahan (misalnya padi, jagung, hutan campuran, semak, padang rumput, lahan terbuka, dan sebagainya); bukan penggunaan lahan (sawah, tegalan, hutan lindung) karena aspek fungsi ini tidak dapat dipresentasikan secara langsung melalui nilai piksel, kecuali untuk kasus kasus khusus. Kriteria Sample Sama dengan metode penelitian ataupun survei yang lain, sampel haruslah homogen. Homogentas sampel dalam klasifikasi digital ditunjukkan oleh homogenitas nilai piksel pas tiap kelompok piksel yang dipilih. Artinya, nilai simpangan baku kelompok piksel tiap sampel haruslah rendah untuk tiap saluran. Cara termudah untuk mengambil sampel yang memenuhi kriteria ini adalah dengan mengambil piksel murni yaitu piksel yang di bagian tengah kenampakan objek. Di samping itu kriteria statistik pun diperlukan untuk menilai sampel. Sampel yang baik umumnya memiliki homogenitas nilai piksel yang tinggi, yang ditunjukkan oleh kecilnya simpangan baku, bentuk histogramnya, dan tentu saja juga bentuk gugusnya yang mengelpmpok pada feature space. Jumlah piksel minimum menurut Campbel adalah 100 piksel untuk setiap kategori. Di samping itu Joyce (1978, dalam Campbel, 2002) mensyaratkan bahwa setiap daerah contoh yang berbeda setidak tidaknya harus memuat luasan area 10 hektar dan sebaliknya mencapai 16 hektar untuk citra Landsat MSS. Apabila persyaratan ini diterjemahkan dalam ukuran piksel maka nilai itu setara dengan piksel per daerah contoh. Selanjutnya, Campbell mensyaratkan lokasi daerah contoh yang sebaiknya menyebar secara merata pada seluruh liputan citra,

14 14 dengan harapan variablitias spektral obyek di seluruh citra dapat mewakili dengan baik. Gambar Diagram alir proses klasifikasi secara terselia (modifikasi dari Gao, 2010)

15 15 Algoritma Klasifikasi Dalam menjalankan proses klasifikasi terselia, dibutuhkan suatu algoritma tertentu untuk menghasilkan klasifikasi citra sesuai yang diinginkan. Algoritma ini telah banyak dikembangkan, dan setiap algoritma memiliki karakteristik masing masing. Algoritma Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Algorithm) Algortima kemungkinan maksimum merupakan algoritma yang secara statistik paling mapan. Algoritma ini menggunakan dasar perhitungan probabilitas. Asumsi dari algoritma ini ialah bahwa obyek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal (Bayesian). Pada algoritma ini piksel dikelaskan sebagai obyek tertentu bukan karena jarak euklidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran, dan orientasi sampel pada feature space (yang berupa elipsoida) (Shresta, 1991). Jensen (2005) menjelaskan bahwa algoritma kemungkinan maksimum bekerja dengan cara berikut. Pertama, program secara ringkas menandai setiap piksel yang mempunyai hasil pengukuran pola atau kenampakan X ke dalam kelas i yang satuannya paling mungkin dikelompokkan sebagai vektor X. Dengan kata lain, probabilitas suatu piksel untuk menjadi milik sejumlah kelas yang sudah didefinisikan dalam proses pengampilan sampel dihitung, kemudian piksel ini ditandai sebagai salah satu kelas yang nilai probabilitas piksel tersebut untuk menjadi anggotanya merupakan nilai yang tertinggi. Algoritma kemungkinan maksimum mengasumsikan bahwa statistik setiap sampel bersifat Gaussian (terdistribusi normal). Dengan kata lain, sampel yang membentuk histogram bimodal atau multimodal dalam suatu saluran tunggal tidaklah ideal. Untuk memutuskan klasifikasi, dibutuhkan informasi statistik berupa rerata dan simpangan baku tiap sampel, serta variansi (ragam) dan

16 16 kovariansi. Rerata dan simpangan baku tiap sampel secara otomatis tersimpan pada waktu melakukan pengambilan sampel. Nilai vektor rerata menentukan posisi elipsoida sampel pada feature space multisaluran. Ukuran elipsoida ditentukan oleh nilai variansi pada tiap saluran, sedangkan bentuk dan orientasi elipsoida tersebut ditentukan oleh kovariansinya (Shresha, 1991). Cara memperoleh informasi probabilitas yang diperlukan dari sampel yang sudah dikumpulkan ialah dengan menggunakan fungsi kerapatan probabilitas (probability density function). Sebagai contoh, jika ada satu sampel hutan yang diambil dari suatu saluran tunggal maka sampel tersebut dapat dihitung histogramnya dan kemudian berdasarkan histogram ini dapat dihitung pula perkiraan distribusinya melalui suatu fungsi kerapatan probabilitas normal. b. LST (Land Surface Temperature) Salah satu sensor yang dikembangkan dalam sistem penginderaan jauh adalah sensor inframerah thermal. Kepekaan inframerah thermal terhadap suhu permukaan memungkinkan ekstraksi suhu dari suatu citra penginderaan jauh. Ekstraksi ini secara garis besar melewati dua tahapan, yaitu perhitungan pantulan spektral dan perhitungan suhu. Pada setiap suhunya, sebuah benda akan memancarkan panjang gelombang elektromagnetik yang berbeda, yang dinyatakan dengan Hukum Pergeseran Wien. Penentuan suhu sebuah massa dapat diketahui dari pengukuran pancaran gelombang elektromagnetiknya. Untuk mengenali suhu obyek diperlukan langkah konversi suhu Konversi ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh atmosfer terhadap suhu absolut, mengingat obyek sebenarnya ada di permukaan tanah sedangkan sensor berada di luar angkasa. Persamaan yang digunakan untuk mengkonversi digital number (DN) ke top of atmosphere (TOA) radiance adalah sebagai berikut:

17 (1.1) dengan L_ adalah TOA radiance pada sensor (W/m2 sr μm), Lmax adalah TOA radiance terskala terhadap Qcalmax, Lmin adalah TOA radiance terskala terhadap Qcalmin, Qcalmax/Qcalmin adalah nilai pixel maximum / minimum. Konversi top of atmosphere (TOA) radiance ke radiance yang meninggalkan permukaan menggunakan persamaan berikut [4]: (1.2) dengan LT : radiance dari kinetik blackbody obyek pada suhu T, Lμ : upwelling (radiance di atmosfer) (W/m2 sr μm), Ld : downwelling (radiance di angkasa) (W/m2 sr μm),τ : transmisivitas atmosfer dan ǫ : emisivitas obyek. Tahapan perhitungan pantulan spektral menjadi suhu permukaan yaitu: (i) Perhitungan ini menggunakan persamaan dengan melihat ukuran panjang gelombang di suatu panjang gelombang j; di mana j adalah nomor dari saluran ASTER; dan DNj sebagai digital number dari setiap band j; UCCj adalah koefisien unit konversi (W m-2 sr-1 μm-1) dari ASTER user s handbook. Lradj = (DNj 1) x UCCj (1.3) Re kalibrasi ditujukan untuk koreksi permasalahan temporal terhadap respon detector antara perubahan konsekutif dalam koefisien kalibrasi radiometrik (RCC) telah diaplikasikan untuk versi RCC 3.x atau lebih tinggi. Produk ASTER TIR (produksi sebelum 8 Februari 2006) dengan versi RCC 1.x dan 2.x (2,17; 2,18; dan 2,20) membutuhkan re kalibrasi untuk masalah ini menggunakan fungsi linear berikut: Lradj (e)= Aj x Lradj + Bj (1.4)

18 18 dimana Lradj menunjukkan nilai re-kalibrasi radiansi spekral, A dan B sebagai koefisien rekalibrasi untuk satu band j, dari (ii) Tahap ini adalah merubah nilai radiansi spektral menjadi nillai Pantulan TOA (Top Of Atmosphere)/ reflektans di sensor. Perhitungan dilakukan dengan standard formula Landsat yaitu: (1.5) Dimana: ptoa = nilai pantulan atmosphere Lrad = Radiansi spektral di sensor D = jarak Matahari Bumi menggunakan nilai di Tabel 3 (Achard dan D souza 1994; Eva dan Lambin, 1998) Esun = Rerata iradian matahari di Tabel 4 λ = panjang gelombang di band j ϴs = Derajat sudut matahari, ditemukan di header Aster (iii) Merupakan tahapan lanjutan yaitu merubah nilai radian menjadi suhu kecerahan dalam suhu Kelvin. Persamaan diperoleh dengan algoritma yang merupakan hasil penurunan persamaan konstanta Planck, yaitu: (1.6) dimana C1= W m2; C2= m K. Tanpa efek atmosfer, suhu dari permukaan lahan dapat diturunkan dari persamaan: (1.7) Penyederhanaan rumus tersebut dapat dilakukan menjadi:

19 (1.8) Citra Satelit ASTER Salah satu sensor yang sekarang banyak digunakan dalam sistem penginderaan jauh adalah adalah ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer). ASTER merupakan sensor generasi terbaru yang dipasang pada satelit TERRA dan dikembangkan oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang bekerjasama dengan Amerika Serikat. Tujuan ASTER adalah untuk melakukan observasi permukaan bumi dalam rangka Monitoring lingkungan hidup dan sumber daya alam pada level global ( Tabel 1.1. Karakteristik sensor dan saluran pada citra ASTER. Sumber: ASTER L1B Handbook

20 20 Citra ASTER telah digunakan secara luas untuk berbagai keperluan, antara lain Monitoring suhu permukaan laut/ bumi dan identifikasi mineral dan batuan dengan memanfaatkan sub-sistem TIR, klasifikasi jenis tanah dengan memanfaatkan sub-sistem SWIR, monitoring aktivitas gunung berapi dengan kombinasi sub-sistem VNIR dan SWIR, serta berbagai aplikasi lain. ASTER terdiri atas tiga sub-sistem yang berbeda, yaitu Visible and Near- Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), dan Thermal Infrared Radiometer (TIR). Karakteristik subsistem ASTER ditampilkan pada Tabel Penutup/ Penggunaan Lahan dalam Penginderaan Jauh Beberapa tahun terakhir, penelitian tentang lahan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknlogi Penginderaan Jauh. Sebagai contoh: Pemetaan Penggunaan Lahan di Sumatera Selaatan Bakosurtanal 1975, Penelitian Dasar Sungai Serayu UGM 1976, Penelitian Delta Sungai Upang IPB 1976, dan lainnya. Walaupun foto udara telah digunakan dalam beberapa dekade, terdapat trend yang cukup meningkat dalam intensifikasi dan penggunaan teknologi baru yaitu penginderaan jauh multispektral, radar, dan citra satelit lainnya. Lahan menurut Mabbut, 1968 adalah gabungan dari unsur unsur permukaan dan dekat permukaan bumi yang penting bagi kehidupan manusia. Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan dimana tanah merupakan salah satu bagiannya. Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa lahan sangat berkaitan dengan penggunaan pada suatu lahan tersebut. Penggunaan lahan sendiri memiliki karakteristik optikal (image). Karakteristik inilah yang berkaitan dengan penutup lahan. Tiga natural elemen yang mendasari penutup lahan sebagai karakteristik optikal suatu lahan adalah air, tanah, dan vegetasi, atau pada adanya singkapan batuan pada selain daerah tropis. Dalam penginderaan jauh, proporsi dari ketiga

21 21 elemen itu menjadi penciri suatu citra. Berbagai metode untuk identifikasi penutup lahan bergantung pada pemahaman pada karakterisitik spasial dan spectral dari setiap elemen pembangun citra. Klasifikasi Penutup Lahan Menurut Malingreau, 1978 Malingreau, 1978, menekankan bahwa klasifikasi lahan mengacu pada suatu kerangka kerja klasifikasi dengan cara membagi lahan ke dalam tingkatan tingkatan tertentu menjadi kelompok kelompok sebagai berikut: a. Penutup/ penggunaan lahan Order (tipe penutup lahan) b. Penutup/ penggunaan lahan Classes c. Penutup/ penggunaan lahan Sub-Classes d. Penutup/ penggunaan lahan Management Units (tipe pemanfaatan lahan) Klasifikasi tersebut oleh Malingreau dimodifikasi menjadi 6 kategori berikut: a. Penutup/ penggunaan lahan Order seperti area bervegetasi b. Penutup/ penggunaan lahan Sub-Order seperti area pertanian c. Penutup/ penggunaan lahan Family seperti area pertanian permanen d. Penutup/ penggunaan lahan Class seperti sawah tadah hujan e. Penutup/ penggunaan lahan Sub-Class seperti sawah irigasi f. Penutup/ penggunaan lahan Management Unit seperti penanaman padi berkelanjutan Pengkategorian pada tingkat yang lebih tinggi dimaksudkan untuk tipe penutupan lahan dan yang lebih rendah untuk tipe penggunaan lahan Suhu Penggunaan Lahan Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan pada penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Satuan-satuan penutup lahan

22 22 kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami. Penggunaan lahan memiliki suhu tersendiri yang didukung oleh objek yang mendominasi lahan tersebut. Objek yang secara umum berperan dalam suhu suatu lahan adalah tubuh air, tanah, vegetasi, dan atap/ material bangunan. Penggunaan lahan, atau dalam hal ini berkaitan erat dengan tutupan lahan, memiliki daya yang berbeda terkait karakteristik fisika suatu objek yaitu emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal. Jika suatu objek memiliki kapasitas panas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas termalnya rendah maka suhu permukaan objek tersebut akan menurun, contohnya pada permukaan berupa perairan. Sedangkan jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah sedangkan konduktivitas termalnya tinggi maka suhu permukaan objek tersebut akan meningkat, contohnya pada permukaan berupa daratan (Sutanto, 1994). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan menunjukkan bahwa bagian tengah kota menunjukkan suhu yang lebih tinggi 3-4 Celcius dibandingkan dengan wilayah sekitarnya (Caldwell, 1981 dalam Widyawati et al 2006). Perbedaan ini terjadi sepanjang tahun. Namun pada musim panas, perbedaan suhu tersebut nampak lebih tajam. Ada beberapa hal yang menyebabkan gejala ini terjadi. Hal utama yang ditemukan oleh Caldwell adalah luasnya tutupan lahan yang berupa pengerasan (seperti semen dan aspal). Semakin kering tanah, semakin sedikit panas yang dipancarkan melalui evaporasi. Sementara itu, kota cenderung memiliki udara yang lebih buruk untuk melepaskan panas dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini terjadi karena luasnya daerah tutupan berupa pengerasan dan rapatnya bangunan. Hasil penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya penataan ruang yang baik agar masyarakat dapat hidup nyaman (Widyawati et al, 2006). Di sisi lain, tumbuhan hijau mampu menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Grey dan Deneke (1978) dalam Irwan (2005)

23 23 mengemukakan bahwa setiap tahun tumbuh-tumbuhan di bumi ini. mempersenyawakan sekitar juta ton CO2 dan juta hidrogen dengan membebaskan juta ton oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan juta ton zat-zat organik. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskn oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu di di bawah pohon teduh, dibanding dengan suhu di luarnya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius. Dwiyanto (2009) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya ruang terbuka hijau, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang diatas kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat.

24 Penelitan Sebelumnya Penelitian dengan pemanfaatan penginderaan jauh untuk memperoleh informasi suhu permukaan bumi baik dataran maupun kelautan telah dilakukan sebelumnya dengan berbagai sumber citra satelit. Beberapa penelitian yang menjadi acuan dan sumber referensi penyusun adalah: Tabel 1.2. Penelitian Terkait Pemetaan Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Penginderaan Jauh No. Peneliti Judul Lingkup Penelitian 1. Utama, Widya dkk Analisis Citra Landsat ETM+ untuk Kajian Awal Penentuan Daerah Potensi Panas Bumi di Gunung Lamongan, Tiris, Ekstraksi suhu permukaan bumi dengan citra Landsat ETM +, analisis geomofologi untuk panas bumi di Gunung Lamongan. Probolinggo 2. Sekar, 2007 Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Mengkaji Temperatur Permukaan Terhadap Penutup Lahan Kota Magelang Ekstraksi suhu permukaan bumi dengan citra ASTER TIR menggunakan software ER Mapper, perbandingan suhu permukaan lahan terkait penggunaan lahan di Kota Magelang. 3. Rini, Pemetaan Suhu Permukaan Laut (SPL) Menggunakan Citra ASTER di Perairan Laut Jawa Bagian Barat Madura Ekstraksi suhu permukaan laut dengan software ENVI dan ILWIS, ekstraksi suhu permukaan laut dengan menggunakan citra ASTER

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit Latar Belakang Meningkatnya pembangunan di Cisarua, Bogor seringkali menimbulkan dampak tidak baik terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Modernisasi dan globalisasi membawa dampak yang sangat besar terhadap terhadap perekonomian negara-negara di dunia begitupun dengan negara Indonesia. Dampak dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

PEMETAAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ASTER DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN BARAT MADURA

PEMETAAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ASTER DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN BARAT MADURA PEMETAAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ASTER DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN BARAT MADURA Dyah Ayu Sulistyo Rini Mahasiswa Pascasarjana Pada Jurusan Teknik dan Manajemen Pantai Institut

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sistem Informasi Geografis dalam Susanto (2007), adalah sistem yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sistem Informasi Geografis dalam Susanto (2007), adalah sistem yang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis dalam Susanto (2007), adalah sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan data dan manipulasi informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah satu alat yang bermanfaat untuk mengukur struktur dan evolusi dari obyek ataupun fenomena yang ada di permukaan bumi.

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman INTISARI... Ii ABSTRACT... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR PERSAMAAN...

DAFTAR ISI Halaman INTISARI... Ii ABSTRACT... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR PERSAMAAN... DAFTAR ISI Halaman INTISARI... Ii ABSTRACT... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR PERSAMAAN... x BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1.2 Permasalahan...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 ANALISIS DISTRIBUSI TEMPERATUR PERMUKAAN TANAH WILAYAH POTENSI PANAS BUMI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DI GUNUNG LAMONGAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan itra Hartanto Sanjaya Pemanfaatan cita satelit sebagai bahan kajian sumberdaya alam terus berkembang, sejalan dengan semakin majunya teknologi pemrosesan dan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG Vembri Satya Nugraha vembrisatyanugraha@gmail.com Zuharnen zuharnen@ugm.ac.id Abstract This study

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pembangunan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pembangunan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Awan berpengaruh terhadap terhadap keseimbangan energi di atmosfer melalui proses penyerapan, pemantulan, dan pemancaran energi matahari. Awan memiliki ciri tertentu

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik BAB II DASAR TEORI 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci