BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT DALAM PASAL KUHD. memperoleh keuntungan; Jual beli; Niaga. 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT DALAM PASAL KUHD. memperoleh keuntungan; Jual beli; Niaga. 1"

Transkripsi

1 BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT DALAM PASAL KUHD A. Sekilas Tentang KUHD 1. Pengertian Tentang KUHD Dalam kamus Hukum dinyatakan, dagang (Indonesia) adalah perbuatan yang berkaitan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan; Jual beli; Niaga. 1 Dapat dikatakan hukum dagang ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia-manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya, dalam lapangan perdagangan. 2 Dalam kamus hukum juga menerangkan bahwa, pailit adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim; bangkrut, hal ini diatur di dalam pasal 2 UU kepailitan, 3 yaitu: 1. Pernyataan pailit harus dilakukan oleh pengadilan Negeri tempat kediaman si berhutang. 2. Apabila si berhutang telah pergi keluar daerah Indonesia, maka pengadilan negeri tempat kediamannya terakhir adalah yang berkuasa. 3. Terhadap persero-persero firma, maka pengadilan negeri yang mana dalam daerah hukumnya terletak kantor perseroannya, adalah sama berkuasanya. 4. Jika si berhutang tidak mempunyai tempat tinggal dalam wilayah Indonesia, namun mempunyai suatu pekerjaan tetap atau menjalankan suatu perusahaan di sini, maka pengadilan negeri, yang mana dalam 1 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, cet. 1, Hlm Kansil,C.S.T, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Buku Kesatu, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, Cet.2, Hlm.7 3 Sudarsono, Op. Cit, Hlm

2 38 daerah hukumnya si berhutang tersebut mempunyai kantornya, adalah berkuasa. 5. Jika dalam hal yang termaksud dalam ayat ketiga atau keempat atau ke dalam hal yang termaksud dalam pasal 3, pernyataan pailit itu diucapkan oleh lebih dari satu pengadilan negeri yang berkuasa untuk itu, namun diucapkannyalah pada hari yang berlainan, maka hanya pernyataan yang diucapkan terlebih dahululah yang mempunyai akibat-akibat hukum. 6. Tak berlaku lagi. 7. Terhadap perseroan-perseroan terbatas, perseroan-perseroan pertanggungan bertimbalbalik perkumpulan- perkumpulan koperasi atau lain-lain perkumpulan yang berbadan hukum, dan yayasanyayasan, maka, dalam melakukan pasal ini berlakulah sebagai tempat kediaman, tempat dimana perseroan-perseroan atau perkumpulanperkumpulan itu berkedudukan. Sebagai dasar hukum umum (peraturan umum) dari lembaga kepailitan ialah KUHPer khususnya pasal 1131 dan 1132, sedangkan dasar hukum yang khusus tentang kepailitan diatur dalam "faillissementsyerrordening, S.1905 no.217 jo.1096 no.348" yang judul lengkapnya ada "verordening op de euroanen in nederlans India (peraturan dan penundaan pembayaran bagi orang-orang eropa dan India belanda)" tetapi sampai saat ini berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, maka peraturan khusus yang berlaku di indonesia tentang kepailitan hanyalah "Faillissementsyerrordening, S.1905" 4 Syarat-syarat permohonan pernyataan kepailitan dapat diajukan, bila : 5 1. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur; 2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 4 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, cet. Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, Hlm Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2004, Hlm.15

3 39 Sementara itu permohonan pailit dapat diajukan oleh: 1. Debitur sendiri; 2. Atas permintaan orang atau lebih krediturnya; 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum; 4. Dalam hal yang menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh bank; 5. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek permohonan pailit dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal. 6 Yang dapat dinyatakan pailit adalah orang perorangan, badan hukum, harta warisan, setiap perempuan bersuami yang tidak ada percampuran harta. 7 Apabila yang dapat dinyatakan pailit itu termasuk harta warisan maksudnya adalah: menurut pasal 197 PK harta seorang yang sudah meninggal dapat dinyatakan dalam keadaan kepailitan bilamana dengan singkat ditunjukkan bahwa orang meninggal itu dalam keadaan berhenti membayar atau bahwa harta warisan itu pada hari meninggalnya tidak cukup untuk membayar hutang-hutang orang yang sudah meninggal itu. Berlainan dengan kepailitan orang biasa (masih hidup), kepailitan harta warisan hanya dapat dimintakan oleh seorang kreditur atau lebih. Permohonan kepailitan diajukan kepada pengadilan yang pada waktu meninggalnya si debitur wenang menjatuhkan putusan kepailitan. 6 Ibid., 7 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 8, Cet. 3, Jakarta: Djambatan, 1992, Hlm.33

4 40 Permohonan diajukan sebelum lampaunya tiga bulan sesudah menerima hara warisan dan juga sebelum lampaunya enam bulan sesudah meninggalnya si debitur. Setelah kedua tenggang out lampau permohonan out dak akan dapat diterima. Tenggang tiga bulan setelah penerimaan harta warisan itu penting, karena pemberesan budel itu baru dapat dilakukan setelah penerimaan itu, sehingga juga baru sesudah itu dapat diketahui apakah aktivanya mencukupi untuk membayar hutang-hutangnya. Kepailitan harta warisan berakibat dengan sendiri menurut hukum pemisahan harta dari orang yang meninggal itu dai harta kekayaan ahli warisnya, pemisahan ini lebih penting, bila mana ahli waris itu menerima warisan itu secara murni dan mereka sendiri mempunyai banyak hutang. 8 Kita telah mengetahui bahwa hukum dagang terletak dalam hukum lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan itu ada yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang, a. Yang bersumber dari perjanjian misalnya: pengangkutan, asuransi, jual beli perusahaan, makelar, komisioner, wesel, cek dan lain-lain; b. Yang bersumber dari undang-undang misalnya; tubrukan kapal (pasal 534) dan lain-lain. Jadi hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. 9 8 Siti Sumarti Hartiono, Seri Hukum Dagang Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Ypgyakarta, 2002, Hlm Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1, Jakarta: Djambatan, 1995, Hlm.5

5 41 2. Sejarah Hukum Dagang Pembagian hukum privat (sipil) ke dalam hukum perdata dan hukum dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang azasi, tetapi pembagian yang berdasarkan sejarah daripada hukum dagang. Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat azasi, dapatlah kita lihat dalam ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 KUHD yang dinyatakan: bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian soal-soal yang semata-mata diadakan oleh KUHD itu. Kenyataan-kenyataan lain yang membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian asasi ialah: a. Perjanjian jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD tetapi diatur dalam KUHS; b. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdataan ditetapkan dalam KUHD. 10 Berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD RI 1945, maka KUHD masih berlaku di Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 april 1847 (s ), yang berlaku pada tanggal 1 mei 1848.KUHD Indonesia itu hanya turunan belaka dari Wetboek Van Kophandel Belanda, yang dibuat atas dasar azas konkordansi (pasal 131 I.S.). wetboek van kophandel Belanda itu berlaku mulai tanggal 1 oktober 1838 dan 1 januari 10 Kansil,C.S.T, op.cit., Hlm.11-12

6 (di Limburg) selanjutnya Wetboek Van Kophandel itu juga meneladani dari code du Commerce perancis itu diambil alih oleh Wetboek Van Kophandel Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan dalam lapangan perniagaan (speciale handelsrechtbaanken) 11 Sebelum zaman romawi, disamping hukum perdata yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara perseorangan yang sekarang termasuk dalam KUHPer, para pedagang membutuhkan peraturan-peraturan mengenai perniagaan. Karena perniagaan makin lama waktu berkembang, maka kebutuhan hukum perniagaan atau hukum dagang yang pada waktu itu masih merupakan hukum kebiasaan, begitu banyak, sehingga dipandang perlu untuk mengadakan kodifikasi. Kodifikasi hukum dagang yang pertama dibuat, atas perintah raja Lodewijk XIV di Prancis, yaitu Ordonnance du Commerce 1673 dan Ordonnance de la Marine Peraturan ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordennance du Commerce ini dalam tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain yakni ORDONANCE DE LA MARINE yang mengatur hak perdagangan laut (yakni pedagang-pedagang kota pelabuhan). Pada than 1807 di Perancis disamping adanya Code Civil Des Francais yang mengatur hukum perancis, telah dibuat lagi suatu KUHP tersendiri, yakni CODE DE COMMERCE. 11 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1,op.cit.,H.M.N,Hlm.9 12 Ibid.,

7 43 Dengan demikian pada tahun 1807 di perancis terhadap Hukm Dagang yang dikodifikasikan dalam CODE DE COMMERCE yang dipisahkan dari hukum perdata yang dikodifikasikan dalam CODE CIVIL. Code De Commerce ini menurut peraturan-peraturan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang menjadi dasar bagi penyusun Code de Commerce (1807) itu ialah antara lain: Ordonnance du Commerce (1673) dan Ordonnance de la Marine (1681) tersebut. Kemudian kodifikasi-kodifikasi hukum perancis tahun 1807 (yakni Code Civil dan Code de Commerce) dinyatakan berlaku juga di Nederland sampai tahun Dalam pada itu pemerintah Nederland menginginkan adanya hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas 3 kitab, akan tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan permasalahan yang timbul di bidang perdagangan akan tetapi perkaraperkara dagang diselesaikan di muka pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD Indonesia Pada akhir abad ke 19, Prof. Molengraaff merencanakan suatu undang-undang kepailitan yang akan menggantikan Buku III dari KUHD

8 44 Nederland. Rancangan Molengaaff ini kemudian dijadikan undang-undang kepelitan tahun 1893 (berlaku pada 1896). Setelah mengetahui perjalanan sejarah KUHD beserta asal usulnya, lalu bagaimana KUHD terkodifikasi dan dari mana asalnya, maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber hukum dagang wadl I adalah, hukum romawi kuno, kebiasaan dan traktat internasional dan pikiran manusia. 13 Adapun sumber-sumber hukum dagang dalam Islam ialah: 1. Al Qur an, sesuai dengan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi sebagai kaidah hukum islam. 2. Hadits, yaitu perjalanan Nabi SAW. Sesuai perkataan dan perbuatan Nabi SAW. 3. Ijma, yaitu kesepakatan ahli-ali ijtihad terhadap suatu hukum. 4. Ar Ro yu, yaitu pikiran seperti kisah Mu'azd Bin Jabal. 14 B. Karakteristik KUHD Untuk mengetahui karakteristik hukum dagang harus diketahui hubungan hukum antara KUHPer dan KUHD. Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa KUHPer adalah ketentuan umum (genus) dalam mengatur hubungan dunia usaha, sedangkan KUHD adalah ketentuan khusus (spesis) bagaimana mengatur dunia usaha. 15 Jadi hubungan ini 13 Hamzah Ya qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1984, cet1,hlm ibid., 15 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Bandung :PT Citra Aditya Bakti, 2004, Hlm. 4

9 45 berlaku adagium (rechtsspreuk, asas hukum yang terkandung dalam kalimat pendek, berisi padat) "lex specialis degorat lex generali" artinya ketentuan atau hukum yang khusus dapat mengenyampingkan ketentuan atau hukum yang umum. 16 Dengan demikian, ketentuan hukum perdata tidak berlaku jika sudah diatur dalam KUHD. Hukum perdata dalam arti luas meliputi juga hukum dagang tetapi pengaturannya dilakukan dalam kodifikasi yang terpisah. Materi hukum perdata diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer), materi hukum dagang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang (disingkat KUHD). Pengaturan yang terpisah dalam dua kodifikasi ini sebenarnya tidak mempunyai alasan tegas menurut sejarahnya, pembentukan dua kodifikasi hukum ini meniru kodifikasi hukum perancis. Di perancis materi hukum perdata diatur dalam Code Civil, dan materi hukum dagang diatur dalam Code de Commerce. 17 Hubungan antara KUHPer dan KUHD sangat erat, terlihat dari isi pasal 1 KUHD yang mengemukakan: "Kitab undang-undang hukum perdata, selama dalam kitab undangundang ini terhadap dalam Kitab undang-undang hukum perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab undang-undang ini." 18 Maksud yang tersirat dari pasal tersebut diatas adalah, apabila terjadi perbuatan hukum dalam bidang hukum keperdataan (baik perdata 16 Bahsan Mustafa,ed., Asas-Asas Hukum Perdata Dan Hukum Dagang, Bandung:Amrico, 1982, hlm Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Bandung: PT Aditya Bakti, 1989, Hlm.1 18 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Dagang

10 46 dagang maupun keperdataan umum), maka KUHP diterapkan terhadap kasus tersebut, sebaliknya apabila atas perbuatan atas hukum itu tidak dijumpai pegaturannya dalam KUHP, maka KUHD harus dipakai untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Untuk bagian lainnya, terutama yang lebih erat hubungannya dengan perkembangan perniagaan, misalnya perjanjian-perjanjian pengangkutan orang dan barang di darat, di laut, serta di perairan di pedalaman (sungai, perkapalan, beraneka warna perantaraan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan pihak ke tiga (makelar, komisioner, ekspeditur) perjanjian-perjanjian untuk membentuk pelbagai jenis usaha perniagaan yang diperlakukan untuk menjalankan perdagangan secara perniagaan yang diperlakukan untuk menjalankan perdagangan secara perusahaan (in bedrijfsorm: persekutuan dengan firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas) dalam mana antara lain niat untuk mendapatkan laba merupakan syarat mutlak, dan lain-lain buat sebagian banyak telah diatur kodifikasi KUHD ( wetboek van kophandel indonesia) yang tentunya sebagai kodifikasi (dalam pengertian dewasa ini tidak mungkin dapat dikatakan sempurna. misalnya tidak diatur dalam KUHD itu perihal jual beli komersiil (handelskoop), seluruh pengangkutan dengan kapal terbang, perniagaan dengan menggunakan bentuk organisasi kooperasi dan lain-lain. Singkatnya: hukum dagang itu hanyalah untuk sebagian saja termuat dalam kodifikasi KUHD, untuk sebagian lainnya dalam peraturan-peraturan tersendiri di luar KUHD (pengangkutan dengan

11 47 kereta api, Stb dengan kapal terbang dipedalaman Stb yo 101. perusahaan-perusahaan pertanggungan jiwa Stb ,dan lain-lain) atau harus dikenal dari hukum kebiasaan (gewoontereicht), hal mana juga tidak mengherankan jika diingat pasal 1339 KUHPer. Sudah barang tentu peranan hakim dengan yurisprudensinya adalah faktor penting untuk mempelajari hukum dagang, terutama dalam perkembangan. 19 Hubungan antara KUHPer dan KUHD indonesia adalah sebagai hukum umum dan hukum khusus, yang bersifat "Subordinasi". Lain halnya di Swiss, dimana hukum perdatanya dibagi dua, yaitu Zivilgesetzbuch dan Obligasionenrecht. Zivilgesetzbuch itu sama dengan KUHPer Indonesia minus hukum perikatan (buku III KUHPer), sedang obligasionenrecht itu khusus mengenai hukum perikatan dan hukum dagang (KUHD). Jadi, Zivilgesetzbuch terdiri dari hukum perorangan, hukum keluarga, hukum warisan dan hukum kebendaan, sedang Obligasionenrecht terdiri dari hukum perikatan dan hukum dagang. Hubungan antara keduanya bersifat koordinasi saling melengkapi. 20 KUHD yang dimulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 terbagi atasdua kitab dan 23 bab: I terdiri dari 10 bab dan kitab II terdiri dari 13 bab. Isi pokok daripada KUHD indonesia itu ialah: 1) kitab pertama berjudul: TENTANG DAGANG UMUMNYA. Yang memuat 19 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, jilid 1,Jakarta:Dian Rakyat,1993,Hlm.2 20 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1,log.cit.,H.M.N,Hlm.6

12 48 Bab I : Dihapuskan (menurut Stb.1938/276 yang mulai berlaku pada 17 juli 1938, bab I yang berjudul: "tentang pedagang-pedagangdan tentang perbuatan dagang" yang meliputi pasal 2,3,4, dan 5 telah dihapuskan). Bab II : Tentang pemegangan buku. Bab III : Tentang beberapa jenis perseroan. Bab IV : Tentang bursa dagang, makelar dan kasir. Bab V : Tentang komisioner, ekspeditur,pengangkut dan tentang juragang-juragang perahu yang melalui sungai dan perairan darat. Bab VI : Tentang surat wesel dan surat order. Bab VII : Tentang cek, promes, kuitansi kepada pembawa (aan toonder). Bab VIII : Tentang reklame dan penuntutan kembali dalam al kepailitan. Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya. Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipenuhi dan pertanggungan-jiwa. 2) kitab kedua berjudul: TENTANG HAK-HAK DAN KEWAJIBAN- KEWAJIBAN YANG TERBIT DARI PELAJARAN, yang memuat (hukum laut): Bab I : Tentang kapal-kapal laut dan muatannya Bab II : Tentang pengusaha-pengusaha kapal dan perusahaan- perusahaan perkapalan

13 49 Bab III : Tentang nahkoda, anak-kapal dan penumpang Bab IV : Tentang perjanjian kerja laut Bab V A : Tentang pengangkutan barang Bab V B : Tentang pengangkutan orang Bab VI : Tentang penubrukan Bab VII : Tentang pecahnya kapal, perdamparan dan diketemukannya barang di laut Bab VIII : Dihapuskan (menurut Stb no.47 yo Stb No.2 yang mulai berlaku 1 april 1938, Bab VIII yang berjudul: tentang persetujuan utang uang dengan premie oleh nahkoda atau pengusaha pelayaran dengan tanggungan kapal atau muatannya atau dua-duanya, yang meliputi pasal telah dicabut. Bab IX : Tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan terhadap bahaya pembudakan Bab X : Tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan, di sungai dan di perairan darat. Bab XI : Tentang kerugian-laut (avary) Bab XII : Tentang berakhirnya perikatan- perikatan dalam perdagangan laut Bab XIII : Tentang kapal-kapal dan perahu-perahu yang melalui suangaisungai dan perairan darat.

14 50 Masing-masing kitab dibagi dalam bab-bab, masing-masaing bab dibagi dalam bagian-bagian, dalam masing-masing bagian diagi dalam pasal-pasal/ayat-ayat. 21 Keterkaitan antara hukum perdata dengan hukum dagang dapat dilihat pada contoh-contoh sebagai berikut: 1. Perjanjian jual-beli yang merupakan bidang terpenting dalam hukum dagang, ternyata tidak diatur dalam KUHD. 2. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang merupakan bagian terpenting dari hukum perdata tidak diatur dalam KUHPer, tetapi dicantum dalam KUHD. 3. Perjanjian presekutuan (maatschapsovereenkomst) yang merupakan bagian tepenting dari dunia perdagangan ternyata tidak diatur dalm KUHD, melainkan dalam KUHPer. 22 C. Materi-Materi KUHD Tentang Hak Reklame Penjual atas Pembeli yang Pailit dalam Pasal KUHD Hak reklame adalah hak yang diberikan kepada penjual untuk menuntut pengembalian barang jualan yang masih berada ditangani pembeli (pasal 1145 KUHPer atau pasal 230 KUHD) hak ini diberikan kepada pihak penjual yang mengadakan perjanjian jual beli mengenai barang bergerak dan penjual sudah menyerahkan benda itu kepada pembeli, tetapi pembeli belum atau baru membayar sebagian harga benda itu. 21 Kancil,C.S.T.,op.cit., Hlm Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. kedua. 1994, Hlm

15 51 Menurut pasal 1474 KUHPer, kewajiban utama penjual ada dua yaitu menyerahkan dan menjamin keamanan (Crijwaren) benda itu dari gugatan pihak ketiga serta menjamin tidaknya cacat tersembunyi, sedangkan menurut pasal 1513 KUHPer kewajiban utama pembeli ialah membayar harga benda yang dibeli. 23 Tetapi penulis hanya membatasi hak penjualnya saja dalam pasal KUHD, mengenai hak reklame dalam kepailitan. Perjanjian jual beli adalah perjanjian timbal balik, artinya kedua belah pihak harus berprestasi (pasal 1457 KUHPer). Jika pembeli tidak memenuhi prestasinya, yaitu membayar harga barang, maka penjual berhak menuntut kembali barangnya sesuai pasal 230 KUHD, dengan ketentuan pasal selanjutnya. 230 KUHD Jika barang bergerak telah dijual dan diserahkan, dan harga pembeliannya belum Pasal dilunasi sepenuhnya dalam hal kepailitan pembeli, penjual berhak untuk menuntut kembali barang itu menurut ketentuan- ketentuan berikut. Jika penjualan dilakukan secara tunai, artinya harga barang harus dibayar seketika juga, maka menurut pasal 1145 B.W., kepada si penjual barang diberikan kekuasaan untuk meminta kembali barangnya, selama barang itu masih berada pada si pembeli, asal saja permintaan kembali dilakukan dalam waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada si pembeli 23 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1, op.cit.,hlm.144

16 52 (hak reklame). Sudah tentu, permintaan kembali tersebut hanyalah akan ada artinya apabila barangnya masih dalam keadaan semula. 24 Ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 231 KUHD, menentukan dengan jelas bahwa agar hak reklame dapat dilaksanakan, maka pada saat hak reklame tersebut hendak dilaksanakan, kebendaan yang dijual tersebut harus masih berada dalam keadaan yang sama dengan pada saat penyerahan (yang menurut ketentuan pasal 1481 KUHPer harus sama dengan keadaan saat penjual dilakukan), meskipun kebendaan tersebut telah dipindahkan, di bungkus kembali, dikurangi jumlahnya, selama tidak merubah wujud dan bentuknya. 25 Pasal 231 KUHD "Untuk melakukan hak penuntutan kembali disyaratkan, bahwa barang itu masih berada dalam keadaan yang sama seperti waktu diserahkan. Bukti untuk itu diizinkan, meskipun barang itu sudah dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi." Sungguhpun bungkusnya sudah dibuka, barangnya sudah berkurang, tidaklah menjadi rintangan untuk melakukan hak reklame. Bila barangnya sudah dijual lagi kepada pembeli lain dan pembeli baru ini belum membayar utangnya, penjual pertama boleh meminta, agar pembeli baru itu membayar utangnya tidak kepada penjual (pembeli pertama), melainkan kepada penjual 24 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT Intermasa, Cet XVII, 1983, Hlm Gunawan Widjaja Dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, Cet 2, 2004, hlm

17 53 pertama. Bila barangnya digadaikan (dijadikan jaminan utang), hak reklame bisa dilakukan dengan menebus (membayar utang serta barangnya).26 Hak reklame harus dilakukan terhadap pembeli yang dinyatakan jatuh pailit, jangka waktunya yang dalam keadaan biasa 30 hari itu menjadi 60 hari, terhitung sejak barang itu diserahkan. Disamping itu tidak hanya barang yang dijual tunai yang bisa dituntut kembali. Melainkan juga barang yang dijual dituangkan dan belum dibayar, baik sebagian, maupun seluruhnya. 27 Ini sesuai dengan pasal 232. Pasal 232 KUHD "Barang bergerak, yang telah dijual baik dengan penentuan waktu maupun tanpa penentuan waktu dapat dituntut kembali, bila barang itu masih berada dalam perjalanan, baik di darat maupun di air, atau bila barang-barang itu masih berada pada orang yang jatuh pailit, atau pada pihak ketiga yang menguasai atau menyimpan barang itu untuknya. Dalam kedua hal, tuntutan kembali hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari terhitung dari hari barang itu disimpan di bawah kekuasaan orang yang pailit atau pihak ketiga." Dalam KUHD juga disebutkan mengenai pelaksanan hak istimewa penjual atas kebendaan yang dijual, yang barangnya belum dilunasi oleh pembeli. Dalam hal yang demikian berarti, penjual, jika kebendaan yang telah dijual olehnya tersebut, yang belum memperoleh pelunasan, dijual dari harta kekayaan pembeli, maka hasil penjualan tersebut akan digunakan atau dipakai untuk melunasi kewajiban pembeli kepada penjual terlebih dahulu. 28 dan ini sesuai pasal 1144 dan pasal 1132 KUHPer. 26 Iting Partadiredja, Pengetahuan Dan Hukum Dagang, Jakarta:Erlangga, 1978, hlm Ibid., 28 Gunawan Widjaja Dan Kartini Muljadi,op.cit., Hlm

18 54 Pasal 1144 KUHPer "Penjual barang bergerak yang belum mendapat pelunasan dapat melaksanakan hak didahulukan atas uang pembelian barang itu, bila barang-barang itu masih berada ditangani debitur, tanpa memperhatikan apakah ia telah menjual barang-barang itu secara tunai atau tanpa penentuan waktu." Pasal 1132 KUHPer "Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadap hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan." Bila seorang kreditur ingin mendapat pembayaran dari debiturnya, yang berhenti membayar utang-utangnya, maka kreditur itu harus berusaha mendapatkan putusan hakim. Bila kreditur yang demikian itu ada banyak, maka ktreditur yang terdahululah yang mendapat pelunasan penuh, sedangkan kreditur-kreditur yang belakangan ada kemungkinan tidak mendapatkan pelunasan penuh, sebab harta kekayaan debitur sudah berkurang atau habis. Maka keadaan ini akan merugikan para kreditur yang belakangan dan kurang adil. 29 Dengan adanya hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan dasar hukum kepailitan. menurut pasal 1131 KUHPer., seluruh harta kekayaan seseorang, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, baik yang berwujud benda bergerak atau benda tetap, merupakan jaminan seluruh perikatan. Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut, pasal 1132 KUHPer. Memerintahkan agar 29 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 8,op.cit., Hlm30

19 55 harta kekayaan si debitur dijual lelang dimuka umum atas putusan hakim dan hasilnya dibagi-bagikan kepada para kreditur secara seimbang, artinya sesuai dan seimbang dengan jumlah piutang yang dimilikinya. 30 Sesuai dengan pasal diatas, dimana seorang debitur yang telah dinyatakan pailit karena tidak dapat melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur, maka untuk dapat memberikan hak para kreditur, harus diketahui seberapa banyak harta orang yang pailit tersebut supaya dapat melunasinya, maka bisa dilakukan tindakan atau hukum yang sesuai dengan perbuatan tersebut misalnya dilakukan penyitaan atau pengampuan. Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. ketentuan pasal 19 undang-undang kepailitan secara tegas dinyatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh pengadilan, dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung." 31 Walau demikian ketentuan pasal 20 undang-undang kepailitan mengecualikan beberapa macam harta kekayaan debitur dari harta pailit Barang-barang yang tidak terjangkau atau tidak dikenakan pernyataan pailit, adalah: 1. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari 2. Alat perlengkapan dinas 3. Alat perlengkapan kerja 30 Ibid., 31 Ibid., Hlm. 38

20 56 4. Persediaan makanan kira-kira satu bulan 5. Buku-buku yang dipakai untuk kerja 6. Gaji atau upah pensiunan, uang jasa, honorarium pengarang 7. Sejumlah uang yang diterima dari penghasilan anak-anaknya. Barang-barang yang dikenakan pailit haruslah milik si pailit sendiri sedang barang-barang pihak ketiga yang kebetulan berada pada tangan si pailit, tidak terkena oleh kepailitan. Setiap pelaksanaan hukum atas harta kekayaan debitur sebelum adanya putusan pailit segera berakhir dengan adanya putusan pailit selanjutnya dalam pelaksana hukum tersebut antara lain: 1. Penyitaan 2. Paksaan badan 3. Uang paksa 4. Penjualan barang untuk melunasai hutang pembalikan nama. 5. Lampau waktu. 32 Ada satu ketentuan yang menegaskan bahwa pada dasarnya seorang penjual tidak boleh memperoleh keuntungan dari kepailitan pembeli. Agar harta-harta pailit tidak dirugikan, maka penjual berkewajiban untuk mengembalikan seluruh harga pembelian yang telah diterima olehnya kepada harta pailit, karena ia telah menuntut barang secara keseluruhan yang terdapat pada orang yang pailit. Ini sesuai dengan pasal 233 KUHD. Yang menyatakan: 32 Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta:PT Rineka Cipta, Cet. 1, Hlm.66

21 57 Pasal 233 KUHD "Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembeliannya, maka pada peuntutan kembali seluruhnya, penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya pada harta paili itu." Jika hanya sebagian dari barang-barang itu yang ditemukan dalam harta pailit. Pasal 234 KUHD yang berisi terhadap sisa bagian dari kebendaan yang dibeli oleh pembeli yang tidak dikemukakan dalam harta pailit, penjual dapat memajukan dirinya sebagai kreditur konkuren sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1132 KUHPer. Pasal 234 KUHD "Bila barang yang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit, pembelian kembali dilakukan menurut timbangan dan dalam perbandingan dengan harga pembelian dalam keseluruhannya." Pasal 1132 KUHPer "Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersam-bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjual bendabenda itu di bagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila di antara para kreditur itu ad alasan-alasan yang sah untuk didahulukan." Bahwa penggantian dalam pasal 233 KUHD tersebut juga meliputi hal-hal yang disebutkan dalam pasal 235 KUHD. 33 Pasal 235 KUHD "Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberikan gantirugi kepada harta orang yang jatuh pailit untuk semua yang telah dibayar atau yang masih terutang karena bea, upah 33 Ibid., Hlm.259

22 58 pengangkutan, komisi, kerugian laut umum, dan selanjudnya segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang dagangan." Khusus bagi individu atau debitur perorangan yang dinyatkan pailit, seluruh akibat dari pernyataan pailit tersebut yang berlalu untuk debitur pailit juga berlaku bagi suami atau isteri yang menikah dalam persatuan harta dengan debitur pailit tersebut. Ini berarti bahwa kepailitan tersebut berarti juga meliputi seluruh harta kekayaan dari pihak suami atau isteri debitur perorangan dari debitur yang dinyatakan pailit tersebut, yang menikah dalam persatuan harta kekayaan, harta kekayaan tersebut meliputi harta yang telah ada pada saat pernyataan pailit diumumkan dalam harta kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. 34 Pasal 60 mengatur mengenai masalah hak yang dimiliki oleh seorang isteri atas kepailitan suaminya, di mana dikatakan "Apabila seorang suami dinyatakan pailit, maka isteri dibolehkan mengambil kembali semua barang bergerak dan tak bergerak yang menjadi kepunyaannya, yang tidak jatuh dalam persatuan harta". Jika suami atau isteri, pada waktu perkawinan dilangsungkan membawa barang-barang yang hendak ditaruhnya di luar persatuan, maka yang demikian itu harus dibuktikan sebagaimana ditentukan dalam pasal 150 KUHPer. 35 Selanjutnya jika ada barang-barang bergerak yang selama perkawinan karena warisan, penghibah wasiatan atau penghibahan jatuh pada isteri, maka 34 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm Martiman Prodjohamidjojo, proses kepailitan (menurut peraturan pemerintah pengganti UU no.1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU kepailitan), Bandung:Mandar Maju, 1999, Hlm

23 59 apabila terjadi perselisihan harus dibuktikan menurut salah satu cara yang disebutkan dalam pasal 166 KUHPer. Demikian juga segala kebendaan yang berasal dari penanaman modal atau yang dibelinya dari kepunyaan isteri di luar persatuan boleh diambil oleh isteri. Jika tidak terjadi perselisihan dapat dibuktikan dengan surat-surat bukti secukupnya menurut hakim. Sedangkan jika barang-barang kepunyaan isteri dijual oleh suaminya namun harganya belum dibayar ataupun uang pembeliannya masih tak tercampur berada dalam harta pailit, maka isteri diperkenankan untuk mengambil kembali harga beli atau uang pembelian yang masih ada itu. Untuk piutang-piutang pribadi, isteri tampil ke muka sebagai orang berpiutang konkuren. 36 Dalam pasal 61, isteri tidak diperkenankan mengajukan tuntutan terhadap harta pailit, guna menuntut keuntungan-keuntungan yang diperjanjikan dalam perjanjian kawin. Demikian pula sebaliknya, kreditur lainnya pun dilarang untuk menikmati keuntungan-keuntungan yang diperjanjikan oleh isteri kepada suaminya dalam perjanjian kawin. 37 Kepailitan pada suami atau istri yang dikawin dengan harta campur, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan. Dalam hal kepailitan maka meliputi segala benda yang jatuh dalam persatuan, kepailitan ini adalah untuk kepentingan semua orang yang berpiutang, yang berhak meminta pemayaran dari benda-benda persatuan. Jika suami atau istri yang teah dinyatakan pailit, mempunyai barang-barang yang tidak jatuh dalam persatuan, maka barang- 36 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Log cit., Hlm Ibid., Hlm. 29

24 60 barang inipun termasuk dalam kepailitan, namun hanya untuk membayar utang-utang yang mengikat si pailit secara pribadi. 38 Kemudian pasal 236 KUHD menerangkan, jika akseptasi untuk seluruh nilai atau harga pembelian oleh pembeli. Pembeli telah menyatakan kesanggupannya untuk membayar harga jual kebendaan tersebut pada saatnya, yang dinyatakan dengan akseptasi tersebut. Sebagai suatu surat berharga, undang-undang menganggap bahwa dengan akseptasi yang dilakukan oleh pembeli, penjual telah dapat memperoleh pembayaran bahkan sebelum saat jatuh tempo dengan cara menjual surat wesel yang telah diakseptasi tersebut. Dalam konstruksi yang demikian, berarti penjual sudah kehilangan hak istimewanya atas pembayaran yang mendahului menurut ketentuan pasal 1139 KUHPer. Dan karenanya atas ketiada pembayaran surat wesel tersebut, penjual akan diperlakukan sebagai kreditur konkuren atas harta pailit. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya pengampuan utang yang dimungkinkan menurut ketentuan yang berlaku, baik dalam KUHPer maupun dalam undang-undang kepailitan. Pasal 1139 KUHPer "Piutang-piutang yang didahulukan atas barang-barang tertentu, ialah: 1º Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan biaya ini dibayar dengan hasil penjual barang tersebut, lebih dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak didahulukan, bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotek. 38 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit., Hlm. 37

25 61 2º Uang sewa barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian penyewa itu. 3º Harga pembeli barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian penyewa itu; 4º Biaya untuk menyelamatkan suatu barang; 5º Biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus di bayar kepada pekerjanya. 6º Apa yang diserahkan kepada seorang tamu rumah penginapan oleh pengusaha rumah penginapan sebagai pengusaha rumah penginapan; 7º Upah pengangkutan dan biaya tambahan lain; 8º Apa yang masih harus di bayar oleh tukang batu, tukang kayu dan tukang lain karena pembangunan, penambahan, dan penambahan barang bergerak asalkan piutang itu tidak lebih lama dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap ada pada si debitur 9º Penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum karena kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya." Ketentuan dasar dalam undang-undang kepailitan yang menyatakan diperkenankannya perjumpaan uang adalah ketentuan yang dinyatakan diperkenankannya perjumpaan utang adalah ketentuan yang dimuat dalam pasal 52 ayat (1). Dalam rumusan ayat tersebut, secara tegas dikatakan bahwa: 'Setiap orang yang mempunyai baik utang maupun piutang terhadap debitur pailit, berhak meminta diadakannya perjumpaan utang, apabila utang maupun piutang tersebut kedua-duanya diterbitkan sebagai pernyataan pailit, ataupun akibat dari perbuatan yang dilakukannya dengan debitur pailit sebelum pernyataan pailit diucapkan'. Dari rumusan tersebut dapat diketahui esensi pokok dari setiap perjumpaan uang dalam rangka pemberesan harta

26 62 pailit adalah bahwa utang dan piutang yang diperjumpakan haruslah telah ada sebelum pernyataan pailit diputuskan. 39 Pasal 236 KUHD "Bila pembeli telah mengakseptasi dengan surat wesel atau surat dagang lain jumlah penuh dari harga barang yang dijual dan diserahkan, maka tidak terjadi penuntutan kembali. Bila akseptasi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang terutang, dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk kepentingan harta orang yang jatuh pailit diadakan jaminan untuk hak sebagai dari akseptasi itu, yang darinya dapat dituntut." Dari pasal 236 KUHD ayat (2) menyatakan bahwa jika hanya sebagian saja yang diakseptasi, maka penjual berhak untuk tetap menuntut pengembalian kebendaan yang telah dijual tersebut, selama penjual yang telah memperoleh akseptasi sebagian menjamin harta pailit atas sebagian akseptasi yang telah dilakukan oleh pembeli yang dinyatakan pailit tersebut, dalam pasal 237 KUHD. Pasal 237 KUHD "Bila barang dituntut kembali diambil dengan ittikad baik sebagai jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak menuntut kembali, akan tetapi sebaliknya mempunyai kewajiban kepada pemberi utang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan dengan bunga dan biaya yang terutang." Pasal di atas mengatur mengenai penjaminan (kebendaan) yang telah diletakkan atas kebendaan yang telah dibeli tersebut oleh pembeli kepada seseorang pihak ketiga yang memberikan pinjaman uang kepada pembeli. 39 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja,log.cit., Hlm

27 63 Dengan demikian berarti selama, penjual dapat memenuhi kewajiban pembeli kepada pihak yang menjaminkan uang kepadanya, maka ia berhak untuk mengambil kembali kebendaan yang telah dijaminkan tersebut. Untuk dapat mengambil kembali barang pada orang yang bangkrut dan dinyatakan pailit maka harus dilihat dari harta yang tersedia untuk membayar lunas kapada kreditur konkuren. 40 Selanjutnya jika ternyata kebendaan tersebut, baik selama masa perjalanan maupun setelah berada dalam penguasaan pembeli yang dinyatakan pailit telah dijual kepada pihak ketiga yang beri'tikad baik, maka hak reklame menjadi gugur demi hukum. Walau demikian sejalan dengan ketentuan pasal 1146a KUHPer., penjual tetap diberikan hak untuk menagih pembayaran yang belum dilakukan oleh pembeli terakhir kepada pembeli yang dinyatakan pailit tersebut, guna melunasi piutang penjual tersebut. Maka dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 238 KUHD. 41 Pasal 238 KUHD "Tuntutan kembali barang dihapus, bila barang itu selama di perjalanan dibeli dengan I ttikad baik oleh pihak ketiga atas faktur dan atas konosemen atau surat muatan. Namun penjual aslinya dalam hal itu berhak untuk menagih pada pembeliannya, selama belum dilunasi sebesar jumlah tagihannya, dan ia mempunyai hak mendahului terhadap uang itu, dengan tidak diperbolehkan untuk mencampurkan uang itu dengan harta orang yang pailit. Ketentuan alenia yang lalu berlaku juga dalam hal barang itu, setelah berada dalam penguasaan orang yang pailit atau seseorang yang bertindak untuknya, akibat pembelian dan penyerahan dengan i'tikad baik, telah menjadi pihak yang ketiga." 40 Ibid., 41 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op cit., Hlm. 261

28 64 Hak penjual lepas bila barang-barang itu setelah berada dalam penguasaan pembeli semula atau kekuasaannya, dibeli dengan itikad baik oleh pihak ketiga dan telah diserahkan kepadanya. Akan tetapi bila uang pembelian itu belum dibayar oleh pihak ketiga itu, penjual semula dapat menuntut uangnya itu sampai memenuhi jumlah tagihannya, asalkan tagihan itu dilakukan dalam waktu 60 hari setelah penyerahan semula. Apabila dalam perjanjian jual beli barang, di mana barang sudah diserahkan tetapi harganya belum dibayar sebelum adanya putusan kepailitan, maka balai harta peninggalan dapat menuntut harga pemenuhan harganya atau dapat memecahkan perjanjian dengan ganti rugi, bilamana dianggap lebih menguntungkan budel. Jika yang belum berprestasi itu si debitur, kemudian debitur jatuh pailit maka pihak lawan dapat tampil dalam rapat verifikasi atau menuntut pemecahan dalam perjanjian ganti rugi. Jadi dapat disimpulkan, bila salah satu pihak sudah berprestasi sepenuhnya, maka tidak menimbulkan kesulitan, lain halnya bilamana ada waktu dijatuhkannya kepailitan perjanjian itu belum dilakukan sebagian, maka dalam masalah ini berlaku pasal 36 tentang peraturan kepailitan. 42 Dengan memperhatikan ketentuan pasal 1132, pasal 1133 dan pasal 1139 kitab undang-undang hukum perdata tersebut diatas, dan fungsi kurator untuk meningkatkan harta pailit guna kepentingan debitor dan kreditor, pasl 239 kitab undang-undang hukum dagang menentukan: 42 Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso, op.cit., Hlm.85

29 65 Pasal 239 KUHD "Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan harta itu, barang-barang yang dituntut kembali, asalkan memenuhi harga pembelian kepada penjual yang olehnya tidak dipersyaratkan pada orang yang pailit." Dengan demikian tidak selamanya tuntutan yang dimajukan oleh kreditor pasti dikabulkan. Selama kepailitan berlangsung, sepanjang hak-hak penjual yang diberikan dalam pasal 1132, pasal 1133 dan pasal 1139 kitab undang-undang hukum perdata dipenuhi, kurator berhak untuk menolak hak reklame yang dimajukan oleh enju atau kreditor terhadap kebendaan yang dijual terhadap kebendaan yang dijual yang belum dibayar oleh pembeli yang dinyatakan pailit. 43 Jadi hak reklame itu adalah sebuah upaya khusus, yang oleh undangundang diberikan kepada penjual, untuk mendapatkan kembali hak milik atas benda bergerak, yang karena penyerahan hak milik itu sudah beralih kepada pembeli. Pelaksanaan hak reklame itu merupakan suatu upaya sepihak yang berakibat pavahnya perjanjian jual beli dengan sendirinya. Bila seseorang yang berhutang, menghentikan pembayaran utangutangnya, dapat dinyatakan pailit dengan suatu keputusan hakim. Tidak terdapat syarat-syarat yang diwajibkan, bahwa orang itu tidak mempunyai uang. Sudah cukup, apabila orang itu tidak membayar utang-utangnya. 44 Kemudian untuk dapat melaksanakan hak Reklame tersebut adalah 43 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, lok cit., Hlm R. Susanto, Hukum dagang, & Koperasi di Indonesia, Jakarta Pradnya Paramita, 1982, Hlm. 124

30 66 sesuai pasal KUHD untuk memudahkan dalam menganalisa dalam bab selanjutnya, penulis tulis dalam tiga kategori: 1. Apabila terjadi jual beli yang terhadap barang bergerak yang belum dilunasi sepenuhnya harga pembelian nya dan barang tersebut telah diserahkan pada orang yang pailit maka dapat dituntut kembali dengan ketentuan sebagai berikut; (pasal 230 KUHD) 2. Syarat untuk dapat menuntut kembali barang yang terdapat pada orang yang pailit adalah a. Barang tersebut masih utuh maksudnya meskipun barang itu sudah dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi. (pasal 231 KUHD) b. Penuntutan dapat dilakukan dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung dari saat barang tersebut diserahkan pertama kali, bila barang tersebut masih dalam perjalanan baik di darat maupun di air atau barang tersebut masih terdapat pada orang pailit ataupun terdapat pada pihak ketiga baik dengan penentuan waktu maupun tidak. (pasal 232 KUHD) c. Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembelian nya, maka penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya pada harta pailit. (pasal 233 KUHD) d. Bila barang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit pembelian kembali dilakukan menurut timbangan semula. (pasal 234 KUHD)

31 67 e. Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberi ganti rugi pada pembeli pailit untuk semua yang telah dibayar atau masih terutang karena bea, upah pengangkutan, komisi, asuransi, kerugian laut dan segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang tersebut. (pasal 235 KUHD) f. Bila pembeli telah mengakseptsi dengan surat wesel atau surat dagang lain jumlah penuh, maka tidak terjadi penuntutan kembali. Tetapi bila akseptsi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang terutang dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk kepentingan harta orang yang jatuh pailit diadakan jaminan untuk hak sebagai akibat dari akseptasi itu. (pasal 236 KUHD) g. Bila barang yang dituntut kembali diambil dengan I'tikad baik sebagai jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak untuk menuntut kembali, akan tetapi mempunyai kewajiban pada pemberi hutang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan, dengan bunga dan biaya yang terutang. (pasal 237 KUHD) h. Tuntutan kembali dihapus bila barang itu selama perjalanan dibeli pihak ketiga dengan I'tikad baik atas faktur dan atas konosemen atas surat muatan. Namun penjual aslinya tetap mempunyai hak pada pembeli harga pembeliannya selama belum dilunasi, dan ia mempunyai hak mendahului terhadap uang itu dengan tidak mencampurkan uang itu dengan harta orang pailit. (pasal 238 KUHD)

32 68 3. Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan harta itu, barang-barang yang dituntut kembali, asalkan memenuhi harga pembelian kepada penjual yang oleh nya tidak dipersyaratkan pada orang yang pailit. (pasal 239 KUHD)

BAB I PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD/Wetboek van Koophandel/WvK)

BAB I PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD/Wetboek van Koophandel/WvK) BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Hukum Dagang Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD/Wetboek van Koophandel/WvK) tidak memberikan pengertian mengenai Hukum Dagang. Oleh karena itu, definisi hukum dagang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN 90 Jurnal Cepalo Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2018 ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN Rilda Murniati Fakultas Hukum, Universitas Lampung,

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Dagang. Copyright by dhoni yusra

Pengantar Hukum Dagang. Copyright by dhoni yusra Pengantar Hukum Dagang Copyright by dhoni yusra Manusia adalah mahluk sosial Kebutuhan dasar Perdagangan Salah satu usaha manusia LATAR BELAKANG MUNCULNYA HUKUM DAGANG Dimulai ketika jaman romawi, hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum perusahaan adalah semua peraturan hukum yang mengatur mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian perusahaan terdapat dalam Pasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH Pengangkutan atau lebih dikenal dengan istilah transportasi di masa yang segalanya dituntut serba cepat seperti sekarang ini memiliki peran yang sangat besar.

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG FIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 MEMBAWA PERUBAHAN DALAM PRANATA JAMINAN RABIATUL SYAHRIAH

UNDANG-UNDANG FIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 MEMBAWA PERUBAHAN DALAM PRANATA JAMINAN RABIATUL SYAHRIAH UNDANG-UNDANG FIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 MEMBAWA PERUBAHAN DALAM PRANATA JAMINAN RABIATUL SYAHRIAH Bidang Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Latar Belakang Keluarnya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha ini menimbulkan banyak pihak berlomba-lomba dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai pendukung pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi yang

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Konsepsi harta kekayaan di dalam perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 1 adalah sebagai suatu persekutuan harta bulat, meliputi

Lebih terperinci

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN.NIAGA/JKAT-PST DALAM PERKARA PT HANIF DINAMIKA YANG DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO 4 TAHUN 1998 TENTANG KEPAILITAN Oleh : Dendi Tjahjadi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia berasal dari kata fides yang artinya adalah kepercayaan. Sesuai dengan arti dari kata ini, maka hubungan hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer I. Pengantar Dalam perekonomian Indonesia, badan usaha terbanyak adalah badan usaha berbentuk

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1003, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Penagihan. Bea Masuk. Cukai. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PMK 111/PMK.04/2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah penduduk di Indonesia yang

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hukum Perusahaan Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

KEPAILITAN DEBITUR DITINJAU DARI KACAMATA HUKUM

KEPAILITAN DEBITUR DITINJAU DARI KACAMATA HUKUM ISSN 0000-0000 KEPAILITAN DEBITUR DITINJAU DARI KACAMATA HUKUM Soeprapti *) ABSTRAK Dalam dunia usaha utang piutang adalah suatu yang wajar. Suatu usaha yang ingin berkembang kemudian mencari utang, itu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum I. Pengantar Dalam perekonomian Indonesia, badan usaha terbanyak adalah badan usaha berbentuk Usaha Kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Asuransi 1. Pengertian Asuransi Di Indonesia, selain istilah asuransi digunakan juga istilah pertanggungan. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin BAB III JAMINAN GADAI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA A. Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa belanda, yaitu zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN A. Pengertian Hukum Jaminan Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan - jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Menurut J.Satrio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI. - 2 - e. bahwa dalam rangka penagihan bea masuk dan/atau cukai perlu pengaturan khusus dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga

Lebih terperinci