PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT"

Transkripsi

1 PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT IWAN SASLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2008 Iwan Sasli NRP. A i

3 ABSTRACT IWAN SASLI. Improvement of seedling adaptability, growth, and quality of Aloe vera by the application of oil palm bunch ash, mycorrhiza and fertilizer on peat soil. Under the direction of SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT, YADI SETIADI, and SUDARSONO. The research was composed of three main experiments: (1) haracterization of peat material that incubated by oil palm empty bunch ash (2) Plant growth of Aloe on peat soil that incubated by oil palm bunch ash (3) Improvement of seedling adaptability, growth, and quality of Aloe vera by the application of arbuscular mycorrhiza and fertilizer on peat soil The first experiment was conducted in completely randomized design with five levels of oil palm bunch ash: 0, 50, 100, 150, and 300 g/tube. Peat material was incubated for two months in column tubes of 10 cm in diameter. Observation was conducted after two months on the content of N (total, %), P ( ppm), K ( me/100g), and Mg ( me/100g) of peat material on three depths of layer in column tube of 0-10, 10-20, and > 20 cm. The second experiment was two factor factorial of polybag experiment arranged in completely randomized design. The first factor was four levels of oil palm bunch ash: 50, 100, 150, 300 g/plant. The second factor was repetition time of application of oil palm bunch ash, consisting of three levels: 4, 6, and 8 weeks after planting. Aloe was grown for 4.5 months, and after reaching 4.5 month old, then was measured on several growth variables: frond number, plant height, frond length, frond thick, frond fresh weight, and plant dry weight. The third experiment was a three factor factorial of field experiment to study the effectiveness of mycorrhiza, inorganic and organic fertilizers ( fish/shrimp waste) on growth, yield and quality of aloe in peat soil. The study was conducted on peat area, North Pontianak, West Kalimantan in split-split plot in completely randomized blocks design. The main plot was mycorrhizal application levels: none, Mycofer, and mycorrhiza from pineapple rhizospheres. The sub plot was inorganic fertilizer (composition of N:P:K:Mg) : without inorganic fertilizer, 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/plant, 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and 20 : 16 : 30 : 10 g/plant. Sub-sub plot was organic fertilizer: non-fermented of fish, and shrimp wastes, fermented of fish, and fermented of shrimp wastes. From a series of experiment as stated above, several important conclusions are reported as follows : 1)The oil palm bunch ash is an ameliorant material which can increase peat soil ph and improve the availability of P, K, and Mg nutrients. 2) The application of oil palm bunch ash at the level of above 50 g/tube did not increase the ability of peat soil on the retention P, K, and Mg nutrients. Improving nutrient content of P, K, and Mg as the result of application of oil palm bunch ash was mostly located at surface layer ( 0-10 cm). 3). Interaction between dosage and repetition time of oil palm bunch ash application significantly affected plant height, frond fresh weight, and crown dry weight with optimum dosage of g/plant and best repetition time of application at 8 weeks after planting. 4) Inoculation of Arbuscular mycorrhiza effectively depressed root rot disease infestation of Erwinia chrysanthemi, increased the uptake of N, P, and Mg nutrients, and plant growth of ii

4 aloe in peat soil. 5). The application of fermented organic fertilizer from fish and shrimp wastes gave a better plant growth and yield compared to non fermented ones. As the trigger on soil property improvement, it is recommended to evenly broadcast application of the oil palm bunch ash at bed surface. For a better yield of aloe crop, it is also recommended a package of technology of the application mycorrhiza of pineapple rhizosphere at the time of planting, inorganic fertilizer with dosage N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and fermented prawn and fish waste organic fertilizer as top-dressed fertilizer in once a month. Key word: Aloe, mycorrhiza, oil palm bunch ash, organic iii

5 RINGKASAN IWAN SASLI. Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza dan Pemupukan di Tanah Gambut. Dibimbing oleh SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT, YADI SETIADI, dan SUDARSONO. Tanaman lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu komoditas pertanian daerah tropis yang mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis dengan prospek yang cukup menjanjikan. Salah satu sentra produksi lidah buaya adalah Pontianak di lahan gambut. Budidaya lidah buaya memerlukan.persyaratan media tumbuh dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Lahan gambut merupakan areal yang menjadi pilihan dalam pengembangan tanaman ini. Namun demikan, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan budidaya pertanian memiliki sejumlah kendala yang dapat menghambat proses produksi tanaman. Kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara makro dan mikro yang rendah, dan jangkitan penyakit yang tinggi merupakan beberapa masalah yang ada pada tanah gambut. Bertolak dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit, dan untuk mempelajari upaya perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pupuk organik (limbah ikan/udang) di tanah gambut. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh paket teknologi budidaya lidah buaya pada lahan gambut Penelitian tersusun dalam tiga percobaan utama, yaitu (1) Karakterisasi bahan gambut setelah masa inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit, (2) Pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit, dan (3) Perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan,dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza, pupuk anorganik dan pupuk organik pada tanah gambut. Percobaan I dilakukan dalam rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu abu janjang kelapa sawit dengan lima taraf dosis, yaitu 0, 50, 100, 150, dan 300 g/tabung. Penelitian dilaksanakan dengan menginkubasikan bahan gambut dengan abu janjang sawit sesuai dosis perlakuan dalam tabung paralon berdiameter 10 cm, dan diinkubasi selama dua bulan. Pengamatan dilakukan terhadap kadar N total (%), P (ppm), K (me/100g), dan Mg (me/100g) bahan gambut pada tiga kedalaman lapisan berbeda, yaitu 0 10, 10 20, dan > 20 cm. Percobaan II adalah percobaan faktorial dua faktor dilaksanakan dalam polibag dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Faktor pertama adalah dosis abu janjang sawit dengan empat taraf: 50, 100, 150, dan 300 g/tan. Faktor kedua adalah waktu pengulangan pemberian abu yang terdiri dari 3 taraf; 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Lidah buaya ditanam selama 4.5 bulan, dan dilakukan pengamatan terhadap peubah pertumbuhan, yaitu jumlah pelepah, tinggi tanaman, panjang pelepah, tebal pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk. Percobaan III merupakan percobaan lapangan faktorial tiga faktor dengan menggunakan rancangan petak-petak terpisah. Faktor pertama adalah mikoriza sebagai petak utama dengan tiga taraf yaitu; tanpa mikoriza (m 0 ), mikoriza mycofer (m 1 ), dan mikoriza asal rizosfer nenas (m 2 ). Faktor kedua adalah pupuk iv

6 anorganik sebagai anak petak, merupakan komposisi pupuk N:P:K:Mg, yang terdiri dari 4 taraf yaitu; tanpa pupuk anorganik (a 0 ); 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. (a 1 ); a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. (a 2 ) ; dan 20 : 16 : 30 : 10 g/tan. (a 3 ). Faktor ketiga adalah pupuk organik sebagai anak-anak petak, terdiri dari 4 taraf, yaitu: limbah ikan (o 1 ); limbah udang (o 2 ); limbah ikan fermentasi (o 3 ); dan limbah udang fermentasi (o 4 ). Dari ketiga percobaan dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1) Abu janjang kelapa sawit merupakan bahan amelioran yang dapat diberikan pada tanah gambut untuk meningkatkan ph tanah dan berfungsi sebagai sumber hara P,K, dan Mg. 2) Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf di atas 50 g/tabung tidak dapat lagi meningkatkan kemampuan tanah gambut dalam meretensi hara P, K, dan Mg. Peningkatan kadar hara P, K, dan Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit paling banyak terjadi pada lapisan permukaan (0 10 cm). 3) Interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abu untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit sebesar g/tanaman sebagai dosis optimum, dengan waktu pengulangan pemberian abu pada 8 MST untuk menghasilkan bobot basah pelepah tertinggi. 4) Inokulasi mikoriza arbuskula pada tanaman lidah buaya efektif dalam menekan serangan penyakit busuk akar (Erwinia chrysanthemi), meningkatkan serapan hara N, P, dan Mg, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya di lahan gambut. 5) Pemberian pupuk organik dari limbah ikan dan udang yang difermentasi memberikan hasil rerata pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi. Disarankan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit sebagai trigger dalam perbaikan sifat tanah sebaiknya dilakukan dengan menebarkan abu secara merata pada permukaan bedengan. Untuk menghasilkan tanaman lidah buaya dengan pertumbuhan dan hasil yang tinggi, dapat dilakukan dengan memberikan mikoriza asal rizosfer nenas pada saat tanam, pupuk anorganik dengan dosis N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman, dan pupuk organik limbah udang fermentasi sebagai pupuk susulan pada setiap bulannya. Kata Kunci : abu janjang kelapa sawit, lidah buaya, mikoriza, pupuk organik, tanah gambut v

7 @ Hak Cipta Milik IPB tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB vi

8 PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT IWAN SASLI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

9 Judul Disertasi : Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut N a m a : Iwan Sasli N R P : A Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc Ketua Dr. Ir. Sudradjat, MS Anggota Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc Anggota Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 27 Agustus 2008 Tanggal Lulus: 05 September 2008

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Perbaikan daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut ini berisikan tiga penelitian utama yang dimulai dilaksanakan sejak persiapan pada bulan Juni 2005 sampai selesai analisis laboratorium pada juli Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Yahya, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. H. Sudradjat, M.S, Bapak Dr. Ir. H. Yadi Setiadi, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas segala perhatian dan bimbingannya selama penulis mempersiapkan dan melaksanakan penelitian. 2. Bapak Dr. Ir. Anas D. Susila, MS selaku penguji luar komisi saat ujian prelium dan juga penguji luar komisi pada ujian tertutup. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.gr. dan Bapak Dr. Ir. Yusdar Hilman, MS, selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka 4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Pimpinan dan Staf di lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, atas pendidikan dan layanan administrasi yang telah diberikan. 5. Rektor Universitas Tanjungpura atas ijin untuk mengikuti program S3 6. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura atas segala dukungan moril maupun materil yang telah diberikan selama penulis mengikuti program S3. 7. Manajemen program Beasiswa Pascasarjana (BPPs) atas beasiswa yang diberikan kepada penulis sehingga membantu penulis dalam melaksanakan pendidikan S3. 8. Teman-teman staf laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Bioteknologi IPB, mbak Faiq, mbak Susan, Mbak Dessy, mbak Nana, Mas Ary, Mas Fattah, dan lain lain yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian di laboratorium. 9. Pak Abi, Bu Yudhi, pak Anton, pak Topan, dan teman teman Sekolah Pascasarjana yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi selama penulis studi S3 dan melaksanakan penelitian. ix

11 10. Ayahnda dan Ibunda, serta keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan doa agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan S Almarhum Kakanda M. Yusri, S.Pd yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta mencurahkan tenaga dengan sepenuh hati untuk turut membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di lapangan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian. Terimakasih, penghargaan, dan penghormatan yang tiada ternilai untuk Kakanda. 12. Kakanda Endang Suryana, Drs. Edy Yusmin, M.Pd, Rini Juarsih, S.Pd, dan Tatang Suryadi, SH atas segala bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan S Kakanda Almarhumah Syamsiah Nawawi, Kakanda Ahmadin Nawawi, dan Iskandar Nawawi, ST, ibu mertua Hj. Halijah, dan para keponakan atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan baik moril maupun materil kepada penulis selama melaksanakan pendidikan S Istri tercinta, Evi Riniyanti, SP, ananda Isvi Mega Kurnia, dan Ananda Isvi Dwi Aprilla Luthfiani yang telah setia dan senantiasa memberikan pengorbanan yang tiada ternilai selama penulis menempuh pendidikan S M. Riva i, SP., Erik Darmansyah, SP., Andrigo, SP., Hamdi, SP., Safari, SP., Abdul Qodir.A., dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu telah banyak membantu penulis selama penelitian di lapangan 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah membantu penulis selama melaksanakan pendidikan S3. Segala perhatian, bantuan, dan pengorbanan bapak dan ibu serta saudara/i sekalian mudah mudahan mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT. Besar harapan penulis kiranya disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkannya, amin. Bogor, Agustus 2008 Iwan Sasli x

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 09 Juli 1969 sebagai anak terakhir dari 6 bersaudara dari Ayah M. Yusuf Arief dan Ibu R.E. Sriasih. Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Program Studi Agronomi Universitas Tanjungpura dan pada lulus tahun Tahun penulis diterima bekerja sebagai asisten lapangan di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Lyman Agro, kemudian tahun penulis diterima bekerja sebagai Kepala Wilayah di sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri PT. Finnantara Intiga (Enso Forest Development Project, Finnlandia). Pada bulan Maret 1996 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura sampai sekarang. Pada tahun 1997, penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 1999 dengan sponsor Beasiswa Pascasarjana (BPPs) Dikti. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 dengan sponsor Beasiswa Pascasarjana (BPPs) Dikti. Penulis selain sebagai staf pengajar, juga berminat dan aktif dalam bidang pengembangan, pemberdayaan dan pembinaan masyarakat tani dan kelompoknya. xi

13 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... ix DAFTAR ISI...xii DAFTAR TABEL...iv DAFTAR GAMBAR... v PENDAHULUAN...1 Latar Belakang...1 Tujuan...8 Hipotesis...8 Strategi Penelitian...9 TINJAUAN PUSTAKA...11 Tanah Gambut...11 Abu janjang Kelapa sawit...27 Fungi Mikoriza Arbuskula...29 Limbah ikan dan Limbah Udang sebagai Pupuk Organik...35 KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Pendahuluan...41 Bahan dan Metode...46 Hasil dan Pembahasan...50 Hasil...50 Pembahasan...63 Kesimpulan...71 PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH TANAH GAMBUT YANG DIINKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Pendahuluan...73 Bahan dan Metode...75 Hasil dan Pembahasan...78 Hasil...78 Pembahasan...89 Kesimpulan...95 xii

14 PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI MIKORIZA ARBUSKULA DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT Pendahuluan...98 Bahan dan Metode Hasil dan Pembasan Hasil Pembahasan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...,186 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN xiii

15 DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Persentase kadar abu dan kadar bahan organik tanah gambut berdasarkan tingkat kematangannya Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada berbagai komposisi gambut ombrogen di Indonesia Hasil analisis abu janjang kelapa sawit di lokasi penelitian Jumlah N-total media gambut yang diberi abu janjang Kelapa sawit Jumlah P media gambut yang diberi abu janjang Kelapa sawit Jumlah K media gambut yang diberi abu janjang Kelapa sawit Jumlah Mg media gambut yang diberi abu janjang kepala sawit Pengaruh perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST Pengaruh perlakuan waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST Pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk pada berbagai waktu pengulangan pemberian abun Persamaan regresi pengaruh dosis abu janjang sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk tanaman lidah Contoh tabel hasil pengamatan infeksi akar untuk perhitungan uji MPN Jumlah spora alami per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas Tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak oleh patogen tanah Erwinia chrysanthemi Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap serangan penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya xiv

16 16. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Uji kontras ortogonal terhadap peubah bobot basah, bobot kering, dan serapan hara tajuk (N, P, K, Mg) tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik Nilai rerata beberapa karakter morfologi pelepah tanaman lidah buaya hasil perlakuan m 2 a 2 o Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan karakter morfologi pelepah Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan kandungan asam amino Lampiran 1. Hasil analisis contoh tanah dari lokasi rencana penelitian Hasil uji infeksi terhadap tanaman contoh dalam MPN-test xv

17 3. Sidik ragam (F-hit) pengaruh abu janjang sawit dan waktu pengulangan pemberian abu serta interaksi keduanya terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut Sidik ragam (F-hit) pengaruh mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik serta interaksinya pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, lebar pelepah, dan tebal pelepah tanaman lidah buaya di lahan gambut Sidik ragam (F-hit) pengaruh mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik serta interaksinya pada peubah panjang pelepah, bobot basah pelepah, bobot kering tajuk tanaman lidah buaya di lahan gambut Nilai koefisien korelas antar peubah pada perlakuan pengaruh pemberian mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik pada tanaman lidah buaya di tanah gambut Hasil analisis pupuk organik limbah ikan dan udang xvi

18 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Bagan Alur Peneltian Pengaruh mikoriza arbuskula pada ketersediaan dan penyerapan unsur hara Skema Percobaan Inkubasi Tanah Gambut dengan Abu Janjang Sawit Rangkaian kegiatan percobaan pemberian abu pada gambut Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar N total pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit paa media gambut terhadap kadar N total filtrat Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar P pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawitpada media gambut terhadap kadar P filtrat Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K filtrat Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg filtrat Respon ph media gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit pada tiga lapisan yang berbeda dan filtrat cuciannya Pola distribusi P dalam kolom bahan gambut Pola distribusi K dalam kolom bahan gambut Pola distribusi Mg dalam kolom bahan gambut Pola distribusi Nitrogen dalam kolom bahan gambut Pola distribusi nilai ph dalam kolom bahan gambut Penampilan air filtrat cucian gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit Penampilan tanaman lidah buaya akibat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit...80 xvii

19 21. Penampilan tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit taraf a3 dan a4 pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap lebat pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot basah pelepah tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot kering tajuk tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu Kurva tanggap tinggi tanaman lidah buaya akibat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu Persiapan dan pengolahan lahan Spora hasil ekstraksi dengan metode tuang-saring basah dalam petri disk dari tanah gambut asal rizosfer nenas Spora yang terdapat dalam inokulum alami asal tanah rizosfer nenas Pontianak Kalimantan barat Penanaman tanaman sorghum dalam ruang kultur untuk MPN-test Persentase tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak Erwinia chrysanthemi Penampilan tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak (Erwinia chrysanthemi) Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST xviii

20 38. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk organik Respon lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pegaruh perlakuan mikoriza terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Respon pertumbuhan tanaman lidah buaya umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik di tanah gambut Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap bobot basah pelepah Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya xix

21 56. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap lebar pelepah lidah buaya Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya Perbandingan kadar asam amino pelepah lidah buaya hasil penelitian pada perlakuan m 2 a 0 o 3 dan m 2 a 0 o 4 dengan hasil budidaya standar AVC Persentase akar yang terinfeksi mikoriza pada perlakuan tanpa mikoriza, mikoriza mycofer, dan mikoriza asal rizosfer nenas Kolonisasi akar oleh mikoriza.(a) Kolonisasi akar oleh mikoriza (b) Lampiran 1. Skema pengenceran tanah gambut dari rizosfer nenas sebagai Sumber Propagul (Uji MPN) xx

22 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu komoditas pertanian daerah tropis yang mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis dengan prospek yang cukup menjanjikan. Salahsatu sentra produksi lidah buaya adalah Pontianak. Luas potensi lahan untuk pengembangan tanaman lidah buaya di Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak mencapai ha sedangkan yang sudah diusahakan seluas 139 ha (Bappeda Propinsi Kalimantan Barat, 2004). Sampai tahun 2004, jumlah tanaman lidah buaya yang ditanam di kota Pontianak sudah mencapai tanaman dengan melibatkan petani sebanyak 115 orang. Realisasi ekspor pelepah lidah buaya dari daerah sentra produksi ini sampai tahun 2004 mencapai ton dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong, Singapura, dan sebagian dipasarkan dalam negeri (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2005). Sementara, nilai penjualan komoditi lidah buaya di dunia mencapai US$ 60 milyar/tahun (BPEN, 2006). Sehubungan dengan tingginya nilai ekonomis tanaman lidah buaya, berbagai penelitian terhadap tanaman ini terus berkembang, baik aspek teknik budidaya bagi peningkatan produksi dan kualitas tanaman, maupun pasca panen. Upaya-upaya introduksi tanaman tersebut ke wilayah-wilayah lain dengan karakterisitik lahan yang spesifik lokasi juga terus dilakukan. Tanaman lidah buaya ini tumbuh subur terutama pada tanah-tanah yang kaya akan bahan organik. Budidaya lidah buaya di lahan gambut Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat mampu menghasilkan produksi 8000 kg/ha/bulan, dengan bagian pelepah yang dipanen dapat mencapai rata-rata 1.5 kg per pelepah dan panjang

23 2 pelepah mencapai 70 cm (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2005). Namun demikian, banyak faktor kendala yang harus diperhatikan dalam pengembangan lidah buaya di lahan gambut, terutama yang berkaitan dengan tingkat kesuburan gambut yang rendah yang berkorelasi dengan rendahnya ph, kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, kejenuhan basa rendah, dan tingkat virulensi yang tinggi di tanah gambut. Tanah gambut tropik mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% (Andriesse, 1988). Ketersediaan unsurunsur hara N, P, K, Ca, Mg rendah. Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi (Subagyo et al, 1996). Sebagian besar N (98 %) berada dalam bentuk senyawa organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. P juga sebagian besar berada dalam bentuk P-organik, sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Secara umum kejenuhan basa tanah gambut sangat rendah. Tanah gambut juga umumnya kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja- Adhi, 1986; Subagyo et al, 1996), sehingga sering menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman pertanian di tanah gambut. Hara mikro (terutama Cu) dikhelat cukup kuat oleh bahan organik membentuk senyawa organo-metal karena adanya group karboksilat dan fenolat dengan kadar yang tinggi pada tanah gambut yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972 ; Everett, 1983). Rendahnya tingkat kesuburan yang disertai dengan tingginya tingkat virulensi dan kandungan asam-asam fenolat yang bersifat racun akibat degradasi lignin pada tanah gambut dapat menyebabkan hambatan yang serius dalam budidaya tanaman

24 3 lidah buaya di lahan gambut. Penghambatan pertumbuhan dapat dimulai sejak tanaman dipindahkan ke lapangan, sampai pertumbuhan lebih lanjut. Pertumbuhan yang terhambat terkadang diikuti dengan kegagalan pertumbuhan lebih lanjut dengan kematian bibit, baik karena rendahnya daya adaptasi terhadap keberadaan senyawasenyawa beracun pada gambut maupun oleh adanya patogen tanah seperti busuk pelepah (Erwinia chrysanthemi) dan layu bakteri (Fusarium, sp.) Berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya di lahan gambut telah dilakukan, di antaranya dengan pemberian abu bakaran gambut, abu kayu sawmil, abu janjang kelapa sawit, limbah ikan dan limbah udang, pupuk kandang, dan lain sebagainya. Namun demikian, upaya untuk lebih mengoptimalkan dan mengefisienkan input yang diberikan dalam budidaya tanaman lidah buaya tersebut belum maksimal dilakukan. Di samping itu kajian secara ilmiah bagaimana peran dari semua input yang diberikan tersebut terhadap keberhasilan peningkatan pertumbuhan tanaman lidah buaya belum dipelajari. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan beberapa penelitian sebelumnya, pemberian abu (baik abu gambut, abu kayu sawmil, mapun abu janjang kelapa sawit) pada tanah gambut merupakan hal yang sangat diperlukan untuk membudidayakan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Tanaman lidah buaya sulit untuk ditumbuhkan pada kondisi tanah gambut tanpa pemberian abu terlebih dahulu. Hasil penelitian Kurnianingsih (2004) menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan petumbuhan dan bobot basah pelepah tanaman lidah buaya. Terjadi peningkatan tinggi tanaman sebesar 30.1 %, panjang daun sebesar 19.7 %, lebar daun sebesar 12.2 %, tebal daun sebesar 41.4 %, jumlah daun sebesar 21.5 %, jumlah anakan sebesar 441 %, dan bobot basah pelepah sebesar

25 4 91 %. Disimpulkan dalam penelitian tersebut bahwa abu janjang kelapa sawit berperan sebagai sumber hara kalium (K). Sedangkan respon tanaman lidah buaya terhadap pemberian abu bakaran (kayu, paku-pakuan, dan gulma) ditunjukkan oleh hasil penelitian Tatipata (2004), dimana peningkatan hanya terjadi pada tinggi tanaman (4 dan 14 minggu setelah tanam masing-masing 2.3 % dan 1.8 %) dan panjang pelepah pada 4 minggu setelah tanam sebesar 2.7 %. Sementara, pemberian abu bakaran tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap lebar pelepah, tebal pelepah, jumlah pelepah, dan jumlah anakan lidah buaya. Dua penelitian tersebut membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit lebih meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya dibanding pemberian abu bakaran yang berasal dari kayu, paku-pakuan, dan gulma di lahan gambut. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu penelitian lebih lanjut untuk mempelajari (1) bagaimana peranan sesungguhnya dari abu janjang kelapa sawit dalam memperbaiki sifat tanah gambut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya, dan (2) mengapa abu janjang bisa memperbaiki sifat tanah gambut dan melalui perubahan apa abu janjang kelapa sawit tersebut bisa memperbaiki sifat tanah gambut. Untuk itu perlu dipelajari karakteristik gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis abu yang menyangkut status hara tersedia dan reaksi tanahnya. Informasi ini akan akan sangat bermanfaat sebagai dasar dalam aplikasi lebih lanjut abu janjang kelapa sawit dalam mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Meskipun hasil penelitian sebelumnya (Kurnianingsih, 2004) menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya di lahan gambut, namun tanaman lidah buaya tersebut tidak

26 5 terlepas dari hambatan lingkungan tumbuh lainnya, yakni tingkat virulensi yang tinggi di tanah gambut. Serangan patogen akar yang disebabkan oleh bakteri Erwinia chrysanthemi dan Fusarium sp. (busuk lunak dan busuk kering) merupakan gejala yang umum ditemukan pada tanaman lidah buaya di lokasi rencana penelitian. Penyakit busuk lunak tersebut menyerang tanaman lidah buaya baik pada usia tanaman masih muda maupun pada tanaman yang sudah dewasa., dengan intensitas serangan lebih banyak pada saat tanaman baru dipindahkan ke lapangan. Sampai saat ini belum didapatkan metode yang praktis dan efisen dalam pengendalian penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya selain mengeradikasi atau membuangnya secara mekanis. Mikroorganisme antagonis dapat dimanfaatkan sebagai pengendali penyakit busuk lunak. Mikroorganisme antagonis harus mempunyai kemampuan kompetisi yang tinggi di rizosfir, bersifat hiperparasit, mampu menghasilkan antibiotik (Upadhyay and Rai, 1987), dan daya adaptasi yang tinggi khususnya di gambut. Berkaitan dengan upaya pemanfaatan sumberdaya alami yang spesifik lokasi sebagai input dalam budidaya lidah buaya, maka mikroorganisme potensial in-situ yang keberadaannya melimpah dan beradaptasi tinggi dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam praktek budidayanya. Salah satu mikroorganisme potensial tersebut adalah fungi mikoriza khususnya fungi mikoriza arbuskula (FMA), yang sudah diketahui dapat menginfeksi pada hampir 90% dari spesies pada tanah-tanah alami (Wegel et al. 1998) dan membantu pertumbuhan tanaman dalam penyediaan dan peningkatan penyerapan unsur hara dalam tanah, memberikan ketahanan tanaman terhadap patogen akar, dan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan.

27 6 Menurut Whipps (2004), mikoriza dari kelompok Glomus sp., dan Gigaspora sp., dapat berperan sebagai pengendali hayati dari serangan patogen akar seperti Fusarium oxysporum, Fusarium solani, Fusarium sp., Cylindrocarpon destructans, Rhizoctonia solani, Phytophthora fragaria, Aphanomyces euteiches, Cylindrocladium spathyphylli, Helicobasidium mompa, dan Phytophthora nicotianae. Pemanfaatan FMA dalam hubungannya dengan peningkatan serapan hara maupun sebagai pengendali patogen tanah pada tanaman lidah buaya belum pernah dilakukan. Belum diketahui apakah pemberian mikoriza di tanah gambut ini memiliki mekanisme aktivitas dan pengaruh yang sama dengan mikoriza yang diaplikasikan pada tanah mineral, khususnya dalam peningkatan hara-hara tersedia dan serapannya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian dan kajian yang menyangkut pemanfaatan mikoriza dan peranannya pada peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya di lahan gambut. Pemberian abu janjang kelapa sawit dan aplikasi FMA diharapkan dapat membantu daya adaptasi tanaman terhadap lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan pada tanah gambut, namun dalam jangka panjang perlu input yang memadai sebagai sumber hara untuk mempertahankan tingkat produktivitas tanaman lidah buaya. Bedasarkan pengamatan di lapangan, pemberian pupuk anorganik pada tanaman lidah buaya di tanah gambut kurang memberikan sumbangan yang berarti dibanding pemberian pupuk organik. Input yang biasa digunakan oleh petani sayuran dan hortikultura di lahan gambut untuk meningkatkan produktivitas tanaman di antaranya adalah pupuk organik dari limbah ikan atau limbah udang. Limbah ikan dan udang diketahui kaya akan nilai organiknya, baik organik- N, organik-p, dan organik-k yang terkandung didalam tubuh ikan dan mempunyai

28 7 kelebihan kalau dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005), pupuk organik yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau, pupuk dari limbah ikan tergolong memiliki unsur hara yang lengkap bagi tanaman. Meskipun limbah ikan atau limbah udang diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun perlu penelitian untuk lebih meningkatkan efektivitas limbah ikan atau limbah udang bila akan digunakan sebagai pupuk organik. Kajian spesifik mengenai peranan dan sumbangan pupuk organik limbah ikan dan limbah udang ini juga belum banyak dipelajari, terutama kajian aplikasinya pada tanaman lidah buaya dalam meningkatkan produktivitas tanaman, dan bagaimana perannya bila dikombinasikan dengan FMA. Selain itu, juga perlu dilihat efektivitasnya, apakah lebih efisien dimanfaatkan langsung dan diberikan pada tanaman, atau memerlukan upaya fermentasi terlebih dahulu. Pertimbangan pemanfaatan limbah ikan atau udang sebagai input dalam budidaya tanaman lidah buaya pada penelitian ini juga didasarkan atas ketersediaan bahan baku yang banyak di sekitar lokasi penelitian atau lokasi pengembangan lidah buaya di lahan gambut, yang merupakan wilayah yang tidak jauh dari pesisir. Diharapkan dengan pemberian dan mengkombinasikan berbagai input sumberdaya alami tersebut di atas, dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik dan sekaligus memberikan hasil pertumbuhan tanaman lidah buaya yang optimum pada tanah gambut, baik secara kuantitas maupun kualitas. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dan informasi mengenai teknik budidaya lidah

29 buaya di lahan gambut secara spesifik lokasi dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi, dengan memanfaatkan input yang mudah diperoleh dan ekonomis. 8 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit; (2) mempelajari efektivitas pemberian mikoriza terhadap daya adaptasi bibit, pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pupuk organik (limbah ikan/udang) di tanah gambut. Diharapkan dari serangkaian percobaan tersebut dapat menghasilkan rekomendasi teknik budidaya lidah buaya yang terbaik secara spesifik lokasi. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1) pemberian abu janjang kelapa sawit yang dinkubasikan pada tanah gambut dapat mempengaruhi karakteristik (sifat kimia) gambut ke arah lingkungan tumbuh yang lebih baik ; (2) pemberian mikoriza dapat meningkatkan daya adaptasi bibit lidah buaya di lapangan, dan meningkatkan penyerapan unsur hara; (3) Pemberian limbah ikan dan limbah udang serta kombinasinya dengan mikoriza arbuskula dapat meningkatkan jumlah hara tersedia dan peningkatan penyerapan unsur hara pada tanaman lidah buaya di lahan gambut; (4) pemberian limbah ikan dan limbah udang dan kombinasinya dengan mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman lidah buaya di lahan gambut.

30 9 Strategi Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga topik penelitian. Penelitian pertama yang berjudul Karakterisasi bahan gambut setelah masa inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit bertujuan untuk mempelajari karakteristik bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit dalam beberapa taraf dosis. Penelitian ini didasari bahwa untuk budidaya tanaman di lahan gambut secara umum dan lidah buaya khususnya, pemberian abu merupakan hal yang mutlak dilakukan sebelum penanaman. Pemberian abu selain meningkatkan ph tanah dan sumbangan unsur K, juga memberikan kondisi iklim mikro tanaman menjadi lebih baik untuk pertumbuhan tanaman. Selanjutnya pada penelitian II yang berjudul Pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit ingin diketahui bagaimana pengaruh abu yang diberikan dalam berbagai taraf dosis terhadap karakter morfologi tanamanan lidah buaya. Penelitian I dan II dilakukan untuk membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai starter awal dalam budidaya tanaman lidah buaya di lahan gambut, namun dalam jangka panjang perlu pemupukan lanjutan untuk mempertahankan produktivitas tanaman. Selanjutnya dilakukan penelitian III yang berjudul Perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan,dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pemupukan di tanah gambut untuk melengkapi paket teknik budidaya lidah buaya spesisik lokasi dengan memanfaatkan sumberdaya alami yang ada di wilayah setempat. Bagan alur penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar penelitian disajikan pada Gambar 1.

31 10 11 PENELITIAN DASAR PEMIKIRAN, MASALAH, DAN INDIKATOR TARGET I. KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT II. PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH GAMBUT YANG DIINKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT 1. Kelimpahan abu janjang dan potensinya 2. Permasalahan gambut: Defisiensi hara makro dan mikro Kejenuhan basa rendah ph rendah Pengamatan: Perubahan status media: hara tersedia, ph, setelah inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Karakter morfologi tanaman lidah buaya. Pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan : hara-hara tersedia ph media meningkatkan pertumbuhan tanaman INFORMASI KARAKTERISTIK PERBAIKAN SIFAT TANAH MELALUI PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT PADA TANAH GAMBUT DAN REKOMENDASI DOSIS ABU JANJANG KELAPA III. PEBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI FMA DAN PUPUK ORGANIK (LIMBAHIKAN/UDANG) DI TANAH GAMBUT : 1 Uji Propagul Infektif FMA dari Tanah Gambut Asal Rizosfer Nenas 2. Uji Aplikasi FMA dan Pupuk Organik (Limbah ikan/udang) untuk Perbaikan Daya AdaptasiBibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya di Tanah Gambut 1. FMA potensial dan kelimpahan limbah ikan/udang serta peranannya 1. Masalah budidaya tanaman di gambut: Serapan hara rendah Daya adaptasi rendah (akibat senyawa toksik dan virulensi) Pengamatan: 1. Daya adaptasi (%) serangan patogen akar: 2. Karakter Morfofisiologi tanaman, serapan hara 3. Asam asam amino tanaman 4. Akar terinfeksi FMA 5. Respon tanaman terhadap FMA (Percent Growth Aplikasi FMA dan pupuk organik (Limbah ikan/udang) dapat meningkatkan : Daya adaptasi tanaman di tanah gambut Pertumbuhan dan kualitas tanaman lidah buaya di lahan gambut Gambar 1. Bagan Alur Penelitian PROPAGUL FMA INFEKTIF, REKOMENDASI DAN INFORMASI EFEKTIVITAS PEMBERIAN FMA DAN PUPUK ORGANIK (LIMBAH IKAN/UDANG) PADA TANAMAN LIDAH BUAYA DI LAHAN GAMBUT TEKNIK BUDIDAYA LIDAH BUAYA TERBAIK SPESIFIK LOKASI Kualitas tanaman tinggi

32 TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Defenisi dan Pengertian Tanah Gambut Kata gambut berasal dari kosa kata daerah Kalimantan Selatan (suku Banjar), sementara masyarakat di Pontianak menamakan tanah gambut dengan sebutan sepuk, dan sebagian lagi petani menamakannya dengan sebutan tanah hitam. Gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami yang mengalami dekomposisi secara tidak sempurna akibat tergenang sehingga menimbulkan akumulasi bahan organik dengan ke dalaman yang bervariasi. Soil Survey Staff (1960) menggolongkan tanah gambut ke dalam ordo Histosols (bahasa Yunani = jaringan), dimana tanah gambut merupakan tanah-tanah yang berbahan induk organik atau sisa-sisa tanaman, dan selanjutnya Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan Tanah Gambut (peat soil = Organosol = Histosols) sebagai tanah yang terbentuk dari endapan bahan organik yang berasal dari penumpukan jaringan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan > 40 cm. Pada keadaan jenuh air, kandungan C organik paling sedikit adalah 18% jika kandungan liat 60 % atau lebih, atau C organik % jika kandungan liat 0 % - 60%. Penyebaran Tanah Gambut Jumlah areal gambut di dunia diperkirakan juta hektar atau lebih kurang 2 % dari luas daratan dunia. Sedangkan di Indonesia penyebarannya cukup luas, diperkirakan mempunyai cadangan gambut seluas 17 juta hektar atau 10% luas daratan Indonesia (Global Enviromental Center 2005) dan merupakan kawasan gambut tropika terluas di dunia, terutama tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian

33 12 Jaya, serta sedikit di Halmahera dan Sulawesi (Global Enviromental Center, 2003). Menurut Soekardi dan Hidayat (1988), provinsi yang mempunyai gambut terbesar di Indonesia adalah Kalimantan Barat (4.61 juta hektar), selanjutnya Kalimantan Tengah (2.161 juta ha), Riau (1.704 hektar), dan Kalimantan Selatan (1.484 juta hektar). Pembentukan Tanah Gambut Saat ini terdapat kira-kira 14 juta hektar hutan rawa gambut dan 6 juta hektar lahan gambut sebagai lahan produksi pertanian di Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia, 2002). Ditinjau dari bidang ilmu pertanian, yang memandang gambut dalam konteks yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman, gambut diartikan sebagai suatu bentukan menurut konsep pedologi, dimana morfologi ataupun sifat-sifat bentukkannya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut Everett (1983), laju akumulasi bahan organik untuk terbentuknya gambut tergantung kepada dua hal, yakni: (1) produktivitas vegetasi yang berperan dalam pembentukan gambut (biomassnya), dan (2) laju dekomposisi suatu bahan saat menjadi bagian dari simpanan. Sedangkan laju dekomposisi sendiri tergantung faktor iklim dan ketersediaan oksigen. Pembentukan tanah gambut dimulai dengan adanya cekungan lahan berdrainase jelek, dan genangan air, sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan bahan organik yang sukar melapuk. Genangan yang menyebabkan terjadinya proses pembentukan gambut karena penimbunan bahan organik dapat terjadi di beberapa tipe wilayah atau ekosistem, misalnya gambut ombrogen yang terbentuk terutama karena pengaruh curah hujan yang airnya tergenang, gambut

34 topogen terbentuk terutama karena pengaruh topografi, dan gambut pegunungan yang terbentuk di daerah yang tinggi. 13 Jenis-Jenis Gambut Jenis-jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan berbagai macam aspek, mulai dari aspek bahan penyusunnya, wilayah dan iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan, tingkat kesuburan, tingkat kematangan, dan ketebalan lapisan bahan organiknya (Soepraptohardjo & Driessen 1976; Radjaguguk 1990). Berdasarkan bahan penyusunnya, gambut dibedakan atas tiga jenis (Everett, 1983 ), yaitu: 1. Gambut berlumut (sedimentairy/moss peat), yaitu gambut yang terdiri dari campuran tanaman air (famili Liliaceae) termasuk plankton dan sejenisnya. 2. Gambut berserat (fibrous/sedge peat) adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman Sphagnum dan rumputan. 3. Gambut berkayu (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohonpohonan beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya. Gambut yang berasal dari serat-seratan tergolong gambut yang kaya akan hara mineral atau tergolong subur (eutrofik), sedangkan gambut yang berasal dari kayu-kayuan tergolong sedikit mengandung hara mineral atau kurang subur (oligotrofik). Menurut wilayah iklim, gambut dibedakan menjadi dua jenis (Andriesse 1988), yaitu: 1. Gambut tropik; yaitu gambut yang berada di kawasan tropik atau subtropik. 2. Gambut iklim sedang; yaitu gambut yang berada di kawasan eropa yang umumnya mempunyai iklim empat musim.

35 14 Perbedaan antara kedua jenis gambut tersebut terletak pada bahan pembentuknya serta kondisi iklim yang mempengaruhi proses pembentukannya, dimana bahan penyusun gambut iklim sedang/dingin umumnya berupa lumut atau Sphagnum, sedangkan gambut tropik sebagian besar berasal dari vegetasi kayukayuan. Gambut tropik lebih dipengaruhi oleh iklim dengan curah hujan yang tinggi, suhu rata-rata tahunan tinggi, dan evapotranspirasi tinggi. Di samping itu, gambut tropik cenderung lebih tinggi tingkat kemasamannya (ph 4 5) dibanding gambut iklim sedang/dingin yang relatif lebih rendah tingkat kemasamannya (ph 6 7) sebagai akibat banyaknya kandungan mineral kapur pada tanah gambut iklim sedang/dingin. Berdasarkan proses pembentukannya atau lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut dapat dibagi menjadi 2 jenis (Andriesse 1974), yaitu : 1. Gambut ombrogen; yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah hujan. 2. Gambut topogen; adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi (cekungan) dan air tanah. Gambut ombrogen kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhan itu sendiri. Gambut topogen kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh air permukaan tanah, sehingga kadar abunya dipengaruhi oleh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut.

36 Kriteria untuk penetapan kualitas gambut biasanya juga didasarkan pada 15 kadar seratnya. Kadar seratnya ini ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisi/kematangannya ini, maka gambut dibedakan menjadi tiga jenis (Soil Survey Staff 1996; Everett 1983) yaitu: 1. Gambut fibrik; yaitu gambut yang tergolong masih mentah, dekomposisinya paling sedikit, kandungan bahan-bahan jaringan tanaman masih tinggi yang dicirikan dengan banyaknya kandungan serabut dan sisa-sisa tanaman masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam (diameter cm), kadar air tinggi, kerapatan lindaknya rendah (< 0.1 g/cm 3 ) dan berwarna coklat. 2. Gambut hemik; yaitu gambut peralihan dengan dekomposisi sedang dan bersifat separuh matang, masih banyak juga mengandung serabut, dan berwarna lebih gelap. 3. Gambut saprik; yaitu gambut yang sudah mengalami tingkat dekomposisi sangat lanjut, bersifat matang hingga sangat matang, kurang mengandung serabut, kerapatan lindaknya g/cm 3 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi, dan berwarna hitam atau coklat kelam. Fibrik merupakan bahan organik berkadar serat tinggi (>66%), sedangkan hemik berkadar serat sedang (33-66%) ; dan saprik berkadar serat halus (<33%). Makin halus kadar serat bahan organik berarti yang terombak makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas gambut makin baik (Soil Survey Staff 1996). Ketebalan atau ke dalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Menurut Radjaguguk (1990), dalam survey tanah gambut untuk pertanian, khususnya untuk pemukiman transmigrasi, gambut dipilah menjadi tiga bagian yaitu :

37 16 1 Gambut tipis (ketebalan gambut 0 sampai 100, 130 atau 150 cm) 2 Gambut sedang (ketebalan gambut 100, 130, 150 cm) 3 Gambut tebal (Ketebalan gambut > 200 cm). Pemilahan ini didasari pemikiran bahwa gambut tipis dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, khususnya tanaman pangan semusim (Radjaguguk, 1990). Aspek Kimia dan Kesuburan Gambut Menurut Driessen (1978), sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi dengan ph berkisar 3 5 serta mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik. Ditambahkan oleh Stevenson (1994) dan Tan (1993), bahwa 95% fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar % dan sebagian besar terdiri dari senyawa senyawa non humat seperti lignin, selulosa, hemiseluosa, lilin, tannin, resin, suberin, dan lain lain. Sedangkan senyawa humat terdiri dari asam humat, himatomelanat, dan humin. Berdasarkan tingkat kesuburan tanahnya (Andriesse 1974; Soepraptohardjo & Driessen 1976), gambut dibedakan menjadi yaitu : 1. Gambut Eutropik, yaitu gambut yang banyak mengandung mineral, reaksi gambut netral atau alkalin dan relatif subur. 2. Mesotropik, yaitu gambut yang memiliki tingkat kesuburan yang sedang. 3. Oligotropik, yaitu gambut yang memiliki kandungan mineral rendah (terutama Ca), ketebalannya lebih dari 2 m, dan reaksi tanahnya masam sehingga tingkat kesuburannya rendah. Gambut eutropik tergolong subur karena bahan asal atau penyusunnya berasal dari vegetasi serat-seratan dan memperoleh hara mineral secara alami dari lingkungannya, dimana sebagian besar gambut eutrofik berada di daerah air payau,

38 17 bersifat netral atau alkalin. Gambut oligotrofik hanya mendapatkan hara melalui curah hujan dan perombakan bahan organik setempat. Makin tebal suatu gambut makin miskin unsur hara pada lapisan atasnya, karena akar pohon semakin sedikit mencapai lapisan mineral di bagian bawahnya, dengan demikian daur ulang hara ke bagian atas lapisan tanah gambut semakin sedikit. Berdasarkan hal ini, maka gambut tebal kurang mendukung bagi budidaya tanaman semusim atau tanaman-tanaman yang berakar dangkal, dalam kondisi seperti ini, tanaman perkebunan atau tanaman tahunan lebih baik dibanding tanaman semusim. Gambut yang berada di atas lapisan pasir kuarsa kesuburannya lebih rendah dibanding gambut yang terhampar di atas lapisan lempung marin. Sementara itu, lapisan lempung marin umumnya banyak mengandung pirit (FeS 2 ) (Andriesse 1988) Reaksi Tanah (ph). Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan ph kurang dari 4.0. Tingkat kemasaman yang tinggi ini erat kaitannya dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Miller & Donahue 1990). Gugus reaktif karboksil (-COOH) dan fenol (C 6 H 4 OH) mendominasi kompleks pertukaran pada bahan organik yang telah mengalami dekomposisi, dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga mudah terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Ikatan OH dari gugus fenolik dan karboksil bersifat masam, dan gugus-gugus tersebut sangat mudah melepaskan ion H +, sehingga tanah-tanah gambut tropik umumnya masam (Widjaja- Adi 1985). Tingkat kemasaman tanah gambut memilki kisaran yang sangat luas. Gambut yang bersifat kaya akan kapur seperti gambut eutrofik dapat memiliki ph

39 18 lebih dari 6, misalnya gambut di Florida (Lucas 1982 dalam Andriesse 1988). Pada kondisi dimana terjadinya infiltrasi air payau, ph dapat lebih tinggi lagi, misalnya ph 7.8 di Maldives, dimana gambut berkembang di bagian dalam pulau karang yang memiliki kondisi salin yang kuat. Pada keadaan lain, gambut dapat menjadi sangat masam dimana terdapat kandungan pirit yang akan teroksidasi pada saat reklamasi, ph gambut pada keadaan seperti ini bisa mencapai kurang dari 2 (Andriesse 1988). Gambut tropik jenis ombrogen yang bersifat oligotrofik biasanya bersifat masam sampai sangat masam dengan kisaran ph Menurut Andriesse (1988), nilai ph tanah gambut juga berbeda-beda menurut ketebalannya. Pada lapisan permukaan gambut endapan yang tebal di tengah kubah (pada dataran rendah Kalimantan) memiliki ph 3.3, sementara pada bagian yang dangkal atau gambut yang berada di dekat sungai memiliki ph rata-rata 4.3 Derajat kemasaman tanah gambut (ph) dapat memberikan petunjuk bagaimana gambut terbentuk, jenis gambut, dan kemungkinan nilai potensialnya bagi pengembangan pertanian. Menurut Andriesse (1988), ph merupakan parameter penting yang dapat ditentukan dengan mudah. Senyawa Organik. Komposisi kimia gambut sangat ditentukan oleh jaringan vegetasi penyusunnya, tingkat dekomposisi dan lingkungan kimia dimana gambut terbentuk. Unsur utama senyawa organik gambut dibedakan ke dalam lima kelompok fraksi, yaitu senyawa yang larut dalam air, bahan-bahan yang larut dalam eter dan alkohol, selulosa dan hemiselulosa, lignin dan turunannya, dan bahan-bahan mengandung nitrogen atau protein sederhana. Gambut merupakan suatu hasil akumulasi bahan organik, baik yang belum terhumifikasi maupun yang sudah terhumifikasi. Asam-asam organik merupakan

40 19 salah satu bahan yang banyak dikandung dalam gambut dan dapat dibebaskan selama proses dekomposisi. Asam organik juga ada yang belum terhumifikasi dan ada yang sudah terhumifikasi. Menurut Tan (1986) asam-asam tersebut bervariasi dari asam alifatik sederhana hingga asam aromatik kompleks dan heterosiklik. Tan (1986) menjelaskan bahwa asam-asam organik yang belum terhumifikasi tersebut adalah asam asetat, amino, askorbat, aspartat, benzoat, butirat, sinamat, sitrat, kumarat, ferulat, format, fumarat, galat, glutamat, hidroksibenzoat, laktat, nukleat, oksalat, propionat, piruvat, salisilat, suksinat, siringat, tanat, tartrat, dan asam vanilat. Sejumlah asam tersebut dianggap sebagai produk antara dari metabolisme tanaman dan mikroba. Beberapa di antaranya mungkin telah dilepas ke dalam tanah sebagai eksudat akar, sedang yang lainnya merupakan hasil degradasi oksidatif bahan organik dan konsentrasi asam organik ini umumnya rendah. Dijelaskan lebih lanjut oleh Tan (1986) bahwa asam-asam organik tersebut dapat mempunyai pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Diketahui bahwa asam asetat, aspartat, sitrat, oksalat, salisilat, tanat, dan tartrat telah berhasil digunakan oleh banyak peneliti mempelajari pelarutan mineral. Kelompok asam-asam organik yang telah terhumifikasi adalah dari bahan humat, yaitu asam humat, asam fulfat, asam himatomelanik, dan humin (Tan 1986). Pengelompokan senyawa organik seperti yang dikemukakan oleh Andriesse (1988) tersebut di atas tidak memisahkan bahan-bahan humat, seperti asam humat, asam fulvat, dan humin. Bahan humat menurut Schnitzer (1986) menempati 70 80% bahan organik hasil pelapukan sisa tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik

41 20 mikroorganisme. Salah satu karakteristik yang paling khusus dari bahan humik adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, termasuk pencemar beracun, untuk membentuk asosiasi, baik yang larut dalam air maupun yang tidak larut air dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda. Asam humat dan asam fulvat yang menyusun bahan organik secara keseluruhan lebih penting daripada asam organik yang belum terhumifikasi. Asamasam organik yang belum terhumifikasi mungkin secara kimia sama efektifnya seperti bahan humat, tetapi karena konsentrasinya yang rendah, pengaruhnya kalah oleh asam humat dan asam fulvat (Baker 1973; Singer & Navrot 1976 dalam Tan 1986). Susunan Hara Tanah Gambut. Tanah gambut tropik mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% Andriesse (1988). Beberapa unsur hara dijelaskan sebagai berikut: 1. Karbon organik. Penilaian persentase karbon organik pada tanah gambut sangat diperlukan untuk tujuan pertanian, khususnya untuk perhitungan C/N rasio. C/N rasio menunjukkan tingkat humifikasi gambut dan kemungkinan konsumsi nitrogen oleh jasad mikro ketika tanah gambut dipupuk. Kandungan karbon organik dalam gambut sangat beragam, dengan kisaran antara 12 % - 60 % (Andriesse (1988). Besarnya kisaran angka tersebut disebabkan faktor jenis gambutnya, tahap dekomposisi, dan kemungkinan metode analisisnya. Ekono (1981) dalam Andriesse (1988) menyatakan bahwa kandungan karbon organik berkisar antara 48 % - 50 % dalam gambut fibrik

42 21 yang hanya sedikit mengalami dekomposisi, 53 % - 54 % pada gambut hemik, dan 58 % - 60 % pada gambut saprik yang sudah mengalami dekomposisi lanjut. Tampak bahwa gambut yang sudah mengalami dekomposisi lanjut memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dibanding gambut yang masih rendah taraf dekomposisinya, namun perbedaannya tidak lebih dari 10 %. Karbon organik pada lapisan permukaan gambut tebal lebih tinggi kandungannya dibanding karbon organik pada gambut dangkal, ini konsisten dengan fakta bahwa lapisan gambut dalam biasanya merupakan gambut ombrogen dan oligotropik yang memiliki komponen kayu berlignin yang tinggi, sedangkan gambut dangkal biasanya mesotrofik, yang dicirikan dengan sedikitnya kandungan kayu berlignin tersebut. 2. Nitrogen Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi ( Subagyo et al. 1996). Kandungan nitrogen dalam tanah gambut sangat penting dipertimbangkan bagi pengembangan tanah gambut untuk pertanian. Sebagian besar N (98 %) berada dalam bentuk senyawa organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. Sementara tanaman menyerap unsur N dalam bentuk NH + 4 dan NO - 3, dimana kedua senyawa ini akan terbentuk setelah proses aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketiga proses tersebut menurut Tisdale et al. (1985) adalah ph tanah, kandungan unsur-unsur hara, dan senyawa yang mudah terdegradasi. Pada proses dekomposisi tanah gambut, nitrogen organik dilepaskan ke dalam tanah sebagai ammonium. Beberapa amonia menguap dan terlepas ke

43 22 atmosfer, beberapa di antaranya digunakan oleh tanaman, dan sebagian besar dioksidasi oleh mikrobia menjadi nitrit dan nitrat. Nitrogen nitrat yang dihasilkan dalam proses dekomposisi gambut oleh mikrobia akan dilepaskan dalam larutan tanah atau sementara menjadi tidak mobil dalam protoplasma mikrobia. Pada kondisi anaerob, bakteri denitrifikasi mengubah sebagian nitrat dan ammonium menjadi N 2, sehingga melengkapi kehilangan nitrogen dalam sistem tanah gambut (Everett 1983) Berdasarkan kerapatan lindaknya, lapisan permukaan gambut biasanya mengandung nitrogen lebih besar dibanding lapisan di bawahnya, hal ini dikarenakan pengaruh perbedaan dekomposisi pada kedua lapisan tersebut, dimana lapisan permukaan memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dibandingkan lapisan bawah gambut. Sementara itu, Andriesse (1988) menyatakan bahwa taraf nitrogen pada lapisan atas gambut dalam biasanya lebih tinggi kandungannya dibandingkan dengan taraf nitrogen pada lapisan permukaan gambut dangkal. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil observasi Suhardjo dan Widjaja-Adi (1997) untuk gambut di Indonesia, dimana pada lapisan permukaan (ketebalan 30 cm) memiliki kandungan nitrogen 1.98 %, lebih tinggi dari gambut dangkal yang hanya mengandung 1.13 % nitrogen. Hardon dan Polak (1941) dalam Andriesse (1988) menyatakan bahwa gambut ombrogen tropik (oligotrofik) selalu dicirikan dengan tingginya kandungan lignin, tetapi rendah kandungan selulosa. Aktivitas mikrobia dicirikan dengan proses nitrifikasi dan penguraian selulosa, dengan demikian sisa nitrogen sebagian besar berada dalam lignin, proporsi nitrogen akan meningkat sejalan dengan meningkatnya proses dekomposisi gambut.

44 23 3. Fosfor Menurut Everett (1983), unsur P pada tanah gambut sebagian besar berada dalam bentuk P-organik yang kebaradaannya melimpah dalam tanah gambut, namun sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh bahan organik gambut. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri dari inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat (Hartatik 2003). Sementara, fosfat dalam fraksi P-organik sebagian besar terdapat dalam inositol fosfat (35%), sedangkan asam nukleat mengandung 2 % P, dan fosfolipid 1 % P (Stevenson 1994). Pelepasan inositol fosfat sangat lamban di dalam tanah dibanding ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dengan proporsi setengah P organik atau seperempat P total tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, sehingga garam ini sukar didegradasi oleh mikrobia (Stevenson 1994). Ditambahkan oleh Mas ud (1992) bahwa fitin dan asam nukleat merupakan sumber P dari kelompok senyawa P-organik. Sifat fitin dalam tanah menyerupai ortofosfat, sehingga mekanisme penambatan P berupa reaksi langsung dengan besi atau alumunium pada ph rendah membentuk Fe-fitat dan Al-fitat, sedangkan pada ph tinggi bereaksi dengan kalsium membentuk Ca-fitat. Proses mineralisasi P ditentukan oleh Nisbah C dan P, apakah P akan termineralisasi oleh jasad mikro atau justru sebaliknya P digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Hartatik (2003) menyatakan bahwa pada kondisi nisbah C dan P mencapai 300, akan terjadi immobilisasi P

45 24 oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Sedangkan pada nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan lebih tersedia bagi tanaman. Kadar P pada tanah gambut akan semakin menurun pada lapisan-lapisan yang lebih dalam. Menurut Noor (2001), total P menurun hingga ke dalaman 40 cm dan selanjutnya terus menurun secara bertahap. Kejenuhan basa tanah gambut juga relatif rendah, terutama basa-basa K, Ca, dan Mg. Kejenuhan basa tanah gambut sekitar 10 % - 15 %. Secara umum kejenuhan basa tanah gambut harus mencapai 30 % agar tanaman menyerap basa-basa tertukar dengan mudah. Upaya untuk meningkatkan mineralisasi P-organik di antaranya dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan ph pada tanah-tanah yang bemiliki ph rendah termasuk gambut. Pengapuran diharapkan dapat meningkatkan populasi jasad mikro tanah yang berperan dalam proses mineralisasi. Hasil penelitian Kakei dan Clifford (2002) menunjukkan bahwa pengapuran dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi P, Ca, S, Mn and Fe pada tanah gambut tebal. Pengapuran tidak memberikan pengaruh pada ph air, namun meningkatkan konsentrasi Ca 2+, Mg 2+ and Fe 2+ dan menurunkan konsentrasi Zn 2+ and Al 3+ dalam air tanah. Konsentrasi NH + 4 -N dalam air tanah meningkat dengan pemberian kapur sebesar 7.5 ton/ha 4. Sulfur dan kadar pirit Beberapa tanah gambut memiliki kandungan sulfur yang tinggi, terutama gambut-gambut yang berada di atas lapisan sedimen marin yang mengandung bahan sulfidik. Gambut tropik pesisir mengandung sejumlah sulfur dalam

46 25 bentuk pirit (FeS 2 ). Sebagian lahan gambut juga berasosiasi dengan tanah mineral sulfat masam. Tanah sulfat masam ini dicirikan dengan adanya kandungan pirit. Subagyo (1997) menyatakan bahwa kandungan pirit dalam tanah marin sangat bervariasi. Lapisan pirit umumnya terdapat pada ke dalaman 50 cm, cm, dan lebih dari 150 cm dibawah permukaan tanah. 5. Unsur Mikro Unsur-unsur mikro di tanah gambut seperti Cu, Zn, dan Bo sangat terbatas, hal ini dikarenakan sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik, dan menyebabkan tidak tersedia bagi tanaman. (Kanapathy1972). Kelompok karboksilat dan fenolat dengan kadar yang tinggi di tanah gambut menyebabkan terjadinya senyawa organo-metal yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972; Everett 1983). Kadar Abu. Kadar abu adalah kadar dari total mineral atau hara yang dikandung bahan tanaman. Kadar abu dapat dijadikan sebagai gambaran kesuburan tanah gambut. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Berdasarkan tingkat ketebalannya, makin dalam atau tebal suatu gambut, makin rendah kadar abunya. Gambut sangat tebal yang lebih dari 3 meter memiliki kadar abu sekitar 5 %, gambut tebal dan tengahan dengan ketebalan antara 1 m 3 m memiliki kadar abu sekitar 11 % - 12 %, dan gambut dangkal memiliki kadar abu sekitar 15 % (Widjaja-Adi 1986). Kadar abu juga berhubungan dengan tingkat kematangan dan kadar bahan organik gambut seperti yang disajikan pada Tabel 1 berikut:

47 26 Tabel 1. Persentase kadar abu dan kadar bahan organik tanah gambut berdasarkan tingkat kematangannya. No Tingkat Kematangan Gambut Kadar Abu (%) Kadar bahan Organik (%) 1 Fibrik (mentah) Hemik (sedang) Saprik (matang) Sumber : Setiawan (1991) Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar abu dan kadar bahan organik semakin tinggi sejalan dengan peningkatan kematangan tanah gambut. Apabila melihat rendahnya kadar abu pada tingkat kematangan fibrik tersebut (3.09 %) dengan sisa pemijaran % maka gambut tersebut tergolong gambut murni (true peat) karena menurut Andriesse (1974) dikatakan gambut murni apabila mempunyai rata-rata kehilangan pijar lebih dari 90 %. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Gambut. Kapasitas tukar kation adalah banyaknya kation (dalam miliekuivalen) yang dijerap oleh tanah per satuan bobot tanah (biasanya per 100 g), atau kemampuan suatu koloid tanah menjerap dan mempertukarkan kation. Nilai KTK ini sangat penting dalam mengelola tanah pertanian. Nilai KTK tanah gambut berkisar antara 100 hingga 300 me/100 g tanah. Besarnya nilai KTK ini disebabkan muatan negatif bergantung ph yang sebagian besar berasal dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen & Soepraptohardjo 1974). Kemampuan pertukaran ini menurut Andriesse (1988) tergantung pada jumlah muatan negatif yang berada pada kompleks jerapan. Kation-kation Ca, Mg, K, dan Na digantikan oleh ion hidrogen pada kompleks jerapan tersebut, sehingga ion H dominan pada kompleks jerapan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Andriesse (1988) bahwa KTK tanah gambut sangat tergantung kepada

48 27 ph (ph-dependent), hal ini dikarenakan sangat rapatnya ion hidrogen yang terfiksasi bersama gugus fungsional bahan-bahan asam, dan sulit untuk dipertukarkan (Andriesse 1988). Menurut Andriesse (1974) dan Driessen (1978), KTK tanah gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada Berbagai Komposisi Gambut Ombrogen di Indonesia No Komposisi Bobot (%) KTK (me/100 g) 1 Lignin Senyawa humat Selulosa Hemiselulosa Lainnya < 5-6 Total gambut Sumber : Driessen, (1978) Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai KTK tertinggi terdapat pada komposisi lignin dan senyawa humat. Tanah gambut di Indonesia terutama gambut ombrogen sebagian besar bahan penyusunnya berasal dari bahan kayu-kayuan, sementara bahan kayu-kayuan tersebut umumnya sangat banyak mengandung lignin, yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat. Abu Janjang Kelapa Sawit Abu janjang kelapa sawit merupakan hasil pembakaran janjang kosong di dalam dapur pengabuan (incenerator) pada perkebunan kelapa sawit. Menurut Chan et al, (1982), unsur-unsur makro yang paling dominan terdapat pada abu janjang kelapa sawit adalah kalium dan magnesium, sedangkan unsur mikronya

49 28 adalah mangan dan boron. Abu janjang ini mempunyai ph yang sangat tinggi dan bersifat higrokopis. Pemanfaatan abu janjang kelapa sawit lebih bernilai ekonomis sebagai pupuk K, dengan pertimbangan keberadaannya yang cukup banyak sebagai hasil buangan industri kelapa sawit. Menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (2004), abu janjang kelapa sawit mengandung unsur utama K, Mg, dan Ca, serta memiliki ph yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ph pada tanah tanah yang bereaksi masam. Hasil analisis abu janjang sawit yang berasal dari lokasi penelitian (Pontianak, Kalimantan Barat) disajikan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Hasil analisis abu janjang kelapa sawit di lokasi penelitian (Pontianak- Kalbar) Parameter Nilai (Kandungan) ph (H 2 O) P 2 O 5 2,42 % Ca 2.22 % MgO 2.46 % K 2 O % Fe ppm Mn 2.64 ppm Cu 2.09 ppm Zn 1.66 ppm Sumber: Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Untan Pontianak 2006 Tabel 3 menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan K yang tinggi, dan bersifat alkalis, dengan demikian pemberian abu ini pada tanah gambut diharapkan dapat mengubah sifat kimia gambut dengan karakteristik yang lebih baik.

50 29 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Gambaran Umum FMA Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah suatu simbiosis yang ditemukan antara fungi (Zygomycetes) dan akar, merupakan salah satu tipe dari beberapa tipe mikoriza yang dikenal. Lebih dari spesies Angiospermae, terdiri dari cabang-cabang hifa yang berada pada bagian dalam sel akar tanaman inang atau lebih dari 90% dari spesies yang berasosiasi dengan FMA pada tanah-tanah alami (Wegel et al. 1998), FMA merupakan jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Fungi ini membentuk vesikel dan arbuskula di dalam korteks tanaman. Karena 80% fungi ini membentuk struktur vesikula dan arbuskula, maka fungi ini disebut dengan fungi mikoriza vesikula arbuskula. (Smith & Read 1997). Vesikel merupakan ujung hifa berbentuk bulat yang berfungsi sebagai organ penyimpanan, sedangkan arbuskula merupakan hifa yang struktur dan fungsinya sama dengan houstoria dan terletak di dalam sel tanaman (Shenk 1981). FMA termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, ordo Glomales dan genus Gigaspora, Scultellospora, Acaulospora, Entrophospora, Glomus, dan Sclerocystis. Terdapat sekitar 150 jenis (spesies) spora fungi FMA yang telah dideskripsi. Taksonomi tersebut didasarkan pada karakteristik morfologi dan biologi spora FMA (Morton & Benny 1990). FMA termasuk dalam kelompok khusus dari populasi mikoriza yang sangat banyak mengkolonisasi rizosfer, yaitu di dalam akar, permukaan akar, dan di daerah sekitar akar. Hifa eksternal yang berhubungan dengan tanah dan struktur infeksi seperti arbuskula di dalam akar menjamin adanya perluasan penyerapan unsur-unsur

51 hara dari tanah dan peningkatan transfer hara (khususnya P) ke tumbuhan, sedangkan fungi memperoleh C organik dari tumbuhan inangnya (Marschner 1995). 30 Manfaat FMA dalam Ketersediaan dan Serapan Hara Manfaat FMA dalam ekosistem sangat penting, yaitu berperan dalam siklus hara, memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan karbohidrat dari akar tanaman ke organisme tanah yang lain (Brundrett et al. 1996). Manfaat bagi tanaman yaitu dapat meningkatkan penyerapan unsur hara, terutama P (Bolan 1991), dimana FMA dapat mengeluarkan enzim fosfatase dan asam-asam organik, khususnya oksalat yang dapat membantu membebaskan P. Hubungan simbiotik antara mikoriza dan tanaman akan semakin menguntungkan ketika tanaman kekurangan mineral, serapan N dan P akan semakin meningkat (Swift 2004; Morgan et al. 2005). + Mikoriza juga meningkatkan penyerapan unsur hara lainnya seperti N (NH 4 atau NO - 3 ), K, dan Mg yang bersifat mobil. Peningkatan penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan Mo (Ouimet, et al. 1996). Peranan FMA tersebut dalam meningkatkan ketersediaan dan serapan P dan unsur hara lainnya, dapat dilihat pada gambar 2. TANAH (Sumber) TANAMAN (Agen) 1 1a MIKORIZA FMA (Akses) 3a 3 LARUTAN Tanah (Medium) 2 2a LARUTAN Permukaan akar (Medium) Gambar 2. Pengaruh mikoriza arbuskula pada ketersediaan dan penyerapan unsur hara

52 31 Diagram pada Gambar 2 diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: (1a) : Modifikasi Kimia oleh mikoriza dalam proses kelarutan P tanah Pada tahap ini, terjadi modifikasi kimia oleh mikoriza terhadap akar tanaman, sehingga tanaman mengeksudasi asam-asam organik dan enzim fosfatase asam yang memacu proses mineralisasi P. Eksudasi akar tersebut terjadi sebagai respon tanaman terhadap kondisi tanah yang kahat P, yang mempengaruhi kimia rizosfer (Marschner 1995). (2a) : Perpendekan jarak difusi oleh tanaman bermikoriza. Mekanisme utama bagi pergerakan P ke permukaan akar melalui difusi yang terjadi akibat adanya gradien konsentrasi, serta merupakan proses yang sangat lambat. Menurut Bolan (1991), jarak difusi ion-ion fosfat tersebut dapat diperpendek dengan hifa eksternal FMA, yang juga dapat berfungsi sebagai alat penyerap dan translokasi fosfat (Jakobsen 1992). (3a) Penyerapan P tetap terjadi pada tanaman bermikoriza meskipun terjadi penurunan konsentrasi minimum P Konsentrasi P yang ada di larutan tanah dapat menjadi sangat rendah dan mencapai konsentrasi minimum yang dapat diserap akar, hal ini terjadi sebagai akibat terjadinya proses penyerapan ion fosfat yang ada di permukaan akar (Marschner 1995). Di bawah konsentrasi minimum tersebut akar tidak mampu lagi menyerap P dan unsur hara lainnya, sedangkan pada akar bermikoriza, penyerapan tetap terjadi sekalipun konsentrasi ion fosfat berada di bawah konsentrasi minimum yang dapat diserap oleh akar (Bolan 1991). Proses ini ini terjadi karena afinitas hifa eksternal yang lebih tinggi atau peningkatan daya tarik-menarik ion-ion fosfat yang menyebabkan pergerakan P lebih cepat ke dalam hifa FMA (Smith & Read 1997; Swift 2004).

53 32 Sastrahidayat (1990) membuktikan bahwa berbagai jenis tanaman pertanian seperti cabai, asparagus, jagung, anggur, jeruk, mangga, dan pepaya memberikan respon positif terhadap pemberian mikoriza bagi pertumbuhannya. Pada tanaman padi gogo yang dipupuk dengan mikoriza mampu meningkatkan produksinya sekitar % pada tanah latosol, 35 % pada tanah andosol, dan % pada tanah regosol (Sastrahidayat 1991)..Mikoriza juga dapat meningkatkan produksi kacang tanah % dan % untuk perlakuan mikoriza Glomus margarita dan Glomus etunicatum (Sastrahidayat 1992). Pengaruh positif inokulasi mikoriza Gigaspora margarita dan Sceloderma columnare terhadap tanaman juga dibuktikan oleh Damanik (1996), pada tanaman sawit di pembibitan yang diberi inokulum mikoriza menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman yang tidak diberi inokulum mikoriza. Dari hasil penelitian Widiastuti (1989) juga diketahui bahwa kemampuan tanaman kelapa sawit untuk menyerap unsur Ca, Mg, Fe, dan S semakin meningkat dengan adanya mikoriza. Soekarno et al. (1996) membuktikan bahwa satu miselium vesikulaarbuskula dapat menyerap hara melebihi besar luas permukaannya di dalam tanah untuk menyediakan P melalui titik masuk ke daerah bidang kontak pada tumbuhan. Pembuktian pengaruh simbiosis FMA terhadap laju maksimum fotosintesis pada semaian tanaman tropik telah dilakukan oleh Lovelock et al. (1997). FMA ternyata meningkatkan konsentrasi fosfor dalam organ tanaman (daun, batang, dan akar). Hasil penelitian Muslimin (1994) menunjukkan bahwa inokulasi fungi endomikoriza dapat meningkatkan tinggi tanaman kakao antara 12.5 % 23.2 % dan bobot kering tajuk antara 13.6 % 23.9 %.

54 Manfaat FMA dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman terhadap Penyakit 33 Beberapa hasil penelitian membutikan bahwa fungi mikoriza arbuskula dapat mengurangi keganasan penyakit, terutama patogen akar. FMA yang berasosiasi dengan akar tanaman menyebabkan tanaman tahan terhadap serangan patogen akar. Hasil penelitian Cordier (1998) menunjukkan bahwa ketika akar-akar tomat yang bermikoriza diinokulasi oleh Phytophthora parasitica, ternyata panjang akar yang mengalami nekrosis dapat dikurangi hingga 79.2 % dan jumlah hifa patogen dapat dikurangi hingga 88.5 % dibanding akar-akar tomat yang tidak bermikoriza. Serangan P. parasitica juga dapat berkurang jika akar jeruk diinokulasi dengan fungi mikoriza Gigaspora margarita atau Glomus macrocarpum (Gunawan 1993) Kapas yang bermikoriza dapat lebih bertahan dari infeksi patogen Thielaviopsis basicola. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada tembakau bermikoriza, terjadi penurunan klamidospora T. basicola sebanyak sepuluh kali dibandingkan dengan tembakau yang tidak bermikoriza (Gunawan 1993). Produksi tanaman tomat juga lebih baik hasilnya bila diinokulasi dengan mikoriza dibanding tanpa mikoriza dan mempunyai ketahanan terhadap penyakit layu fusarium (Sastrahidayat 1990). Sedangkan Hayman (1982) membuktikan bahwa inokulasi FMA pada tanaman kopi meningkatkan toleransi tanaman tersebut terhadap Pratylencus coffea. Ekologi Mikoriza Penyebaran. Spora FMA terdapat di dalam tanah di seluruh dunia. Hetrick (1984) mengemukakan bahwa penyebaran fungi mikoriza arbuskula terjadi jutaan tahun yang lalu karena fosil tumbuhan yang mengandung struktur mikoriza arbuskula telah diketahui kira-kira 370 juta tahun yang lalu. Penyebaran FMA dapat terjadi

55 34 secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif penyebarannya melalui miselium yang tumbuh di dalam tanah dengan kecepatan penyebaran 43 cm tahun -1, sedangkan penyebaran secara pasif dapat melalui vektor, khususnya penyebaran yang melalui spora. Dijelaskan lebih lanjut oleh Gunawan (1993) bahwa fungi mikoriza yang diintroduksi akan menyebar lebih cepat pada tanah yang populasi FMA nya rendah, terutama jika populasi FMA telah tertekan oleh tanaman budidaya yang bukan inangnya. Tanaman Inang. Meskipun FMA adalah fungi asal tanah yang menginfeksi tumbuhan hidup, fungi ini tidak mempunyai inang spesifik dan mempunyai stimulan yang berbeda untuk perkecambahannya. Pada umumnya, perkecambahan spora FMA lebih dipengaruhi oleh mikroorganisme tanah serta faktor fisik dan kimia dibanding dengan ada atau tidaknya akar-akar tumbuhan inang (Hetrick 1984). Ditegaskan lebih lanjut oleh Moses (1973), bahwa spesies FMA tertentu dapat lebih merangsang pertumbuhan spesies tanaman tertentu, tetapi setiap FMA umumnya dapat mengkoloni setiap spesies inang FMA. Melihat dari kenyataan tersebut, maka introduksi mikoriza dari suatu habitat ke habitat lain atau dari suatu rizosfer inang tertentu ke rhizosfer inang lainnya dapat dilakukan. Keanekaragaman spesies dan populasi spora FMA cenderung dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan spesies tanaman. Hasil penelitian Widiastuti dan Kramadibrata (1992) menunjukkan adanya spora Glomus spp. yang tinggi pada rhizosfer alang-alang, jagung, dan kakao. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata spora dari Glomus spp. dan Gigaspora spp. cukup banyak diketemukan pada tanah gambut dari rhizosfer nenas yang di tanam di sekitar lokasi penelitian.

56 35 Aspek Lingkungan Tumbuh. Di dalam tanah, mikoriza dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ph, suhu, Fe, Al, dan mikro organisme tanah. Glomus berkembang dengan baik pada ph 5.5 sampai 6.5 dan Acaulospora pada ph 5.0. Nurlaeny et al. (1996) membuktikan bahwa persentase panjang akar jagung dan kedelai yang diinokulasi mikoriza meningkat dengan meningkatnya ph tanah. Hasil penelitian Sastrahidayat (1992) menunjukkan bahwa pada ph 4.5 hanya hifa yang halus saja yang dapat menginfeksi jaringan akar tanaman inang. Kadar air tanah yang sedikit lebih memacu pembentukan spora mikoriza dari pada kadar air tanah yang berlebihan. Tanah yang mempunyai sistem aerasi yang baik lebih memacu spora mikoriza dari pada tanah yang beraerasi jelek. Dijelaskan lebih lanjut oleh Solaiman dan Hirata (1997) bahwa FMA bersifat aerobik, untuk itu kadar air tanah dan aerasi harus dipertimbangkan pengaruhnya terhadap penyebaran dan keefektivitannya. Hasil penelitian Solaiman dan Hirata (1997) membuktikan bahwa kolonisasi mikoriza pada akar padi meningkat pada umur 3 sampai 6 minggu baik yang ditumbuhkan di tempat kering maupun basah, namun setelah 6 minggu, kolonisasi lebih tinggi di bawah kondisi kering (55 %) dibanding kondisi basah (22 %) Limbah Ikan dan Limbah Udang sebagai Pupuk Organik Limbah Ikan Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dan berkembang. Potensi sumber daya perikanan laut Indonesia adalah sekitar 4.5 juta ton, ditambah 2.1 juta ton berasal dari Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Potensi yang tersedia tersebut baru sekitar 40% yang dimanfaatkan (Mukodiningsih et al. 2003). Selama penangkapan, penanganan hasil tangkapan, pengangkutan, pemasaran

57 36 dan selama pengolahan akan selalu terjadi limbah perikanan yang volumenya cukup besar. Berdasarkan data dari Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005) setiap musim masih terdapat antara 25-30% hasil tangkapan ikan laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan. Selama pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang ditermanfaatkan akan dibuang, dengan demikian limbah sisa-sia ikan akan selalu berada dalam jumlah yang banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah ini secara langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Sebagai upaya dalam mengatasi dan memanfaatkan limbah ikan, maka limbah ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan lain seperti konsentrat protein ikan (KPI) atau tepung ikan untuk produktivitas ternak (Mukodiningsih et al. 2003). Pemanfaatan lain yang cukup memberikan nilai ekonomis adalah dengan memanfaatkan limbah ikan sebagai bahan baku pupuk organik Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005). Limbah ikan digunakan sebagai pupuk pertanian dengan dua bentuk utama yaitu dalam bentuk cairan dan kompos ikan. Dalam bentuk kompos, limbah ikan dapat dicampur dengan limbah dapur dan limbah tanaman dan dibiarkan terurai. Produk ini memperkaya nutrien tanah dan mempunyai keunggulan dalam hal kapasitasnya menahan air. Pupuk cair dibuat dengan cara mencampur limbah ikan dengan asam organik dan dibiarkan pada suhu kamar sampai terurai dengan baik. Cairan ini dapat digunakan langsung ke tanah atau ke akar tanaman, dapat juga

58 37 digunakan dengan menyemprotkannya ke daun tanaman. Produk cair yang dibuat dari ikan yang dicairkan oleh enzim-enzim yang terdapat pada ikan itu sendiri dengan menambah asam organik dikenal dengan isitilah silase ikan. Prinsip pembuatan silase adalah ensilase, yaitu prinsip pengawetan dengan menambahkan asam, sehingga akan terjadi penurunan ph dan menyebabkan silase bebas dari kehidupan bakteri (Mukodiningsih et al. 2003). Pembuatan silase yang dilakukan secara kimia dikenal dengan silase asam karena senyawa kimia yang digunakan adalah senyawa asam seperti asam formiat, asam asetat, atau asam propianat. Peranan senyawa asam ini adalah melunakkan jaringan ikan dan menurunkan derajat keasaman (ph)nya. Akibatnya enzim proteolitik yang terdapat dalam tubuh ikan akan aktif bekerja memecah protein (senyawa kompleks) menjadi senyawa asam amino (senyawa sederhana) yang bersifat larut dalam air (Junianto 2004). Lebih jauh Junianto (2004) menegaskan bahwa proses pembuatan silase dengan cara biologis ini hanya cocok untuk ikan-ikan kecil dengan kandungan lemak kurang dari 1%. Sedangkan ikan yang memiliki kandungan lemak lebih dari 2% hanya cocok diolah menjadi silase dengan cara kimia. Seperti yang dijelaskan oleh Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005), bahwa bahan baku ikan untuk memproduksi pupuk organik sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya. Ikan dengan kandungan lemak yang tinggi, akan pembuatan pupuk organiknya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan ikan dengan kandungan lemak yang sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik. Kandungan lemak berpengaruh didalam proses pembuatan pupuk organik karena prosesnya berjalan dalam dua tahap, yaitu proses fisik melalui penggilingan bahan-

59 38 bahan yang dipergunakan, dan proses biologis yaitu lanjutan proses yang dikenal dengan fermentasi non-alkoholik atau proses ensiling. Menurut Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005) pupuk organik lengkap yang dibuat dari bahan ikan kaya akan nilai organiknya, baik organik-n, organik-p, dan organik-k yang terkandung didalam tubuh ikan dan mempunyai kelebihan kalau dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Limbah ikan juga masih mengandung unsur-unsur lainnya, khususnya unsur mikro. Dengan demikian, pupuk organik yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih baik dibandingkan dengan organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau. Dewasa ini di Indonesia telah banyak beredar pupuk organik yang terbuat dari ikan dengan aneka merk, baik produksi dalam negeri maupun impor. Namun, yang memenuhi persyaratan masih terbatas. FAO telah menetapkan kriteria dasar untuk pupuk jenis ini, yakni: kandungan unsur makro harus mempunyai nilai minimal N (12%), P (8%), dan K (6%) di samping kandungan unsur mikro seperti Ca, Fe, Mg, Cu, Zn, Mn, dan sebagainya (Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005). Limbah Udang Potensi udang nasional mencapai ton, pada tahun 2004 potensi udang sebesar ton. Pada proses pembekuan udang untuk ekspor, persen dari bobot udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar ton (Prasetiyo 2004). Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak

60 39 negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk. Menurut Christantie (1999) kandungan mineral yang penting dari udang adalah zat kapur dan fosfor, masing-masing 136 dan 170 mg/100 gram bahan. Limbah pengolahan udang yang berupa jengger (daging di pangkal kepala) dapat dimanfaatkan untuk membuat pasta udang dan hidrolisat protein, limbah yang berupa kepala dan kaki udang dapat dibuat tepung udang, sebagai sumber kolesterol bagi pakan udang budidaya, limbah yang berupa kulit udang mengandung chitin 25% dan di negara maju sudah dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi, kosmetik, bioteknologi, tekstil, kertas, pangan, dan lain-lain, serta chitosan yang terdapat dalam kepala udang dapat dimanfaatkan dalam industri kain, karena tahan api dan dapat menambah kekuatan zat pewarna dengan sifatnya yang tidak mudah larut dalam air. Sama seperti limbah ikan, limbah udang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dalam budidaya tanaman pertanian. Berdasarkan pengamatan di lapangan, petani sayuran organik di lahan gambut Pontianak sudah sejak lama memanfaatkan limbah udang (berupa kepala, ekor, dan kulit) untuk menyuburkan sebagian besar tanaman sayuran. Namun demikian, upaya untuk meningkatkan efektivitas limbah udang sebagai pupuk seperti upaya untuk memfermentasi limbah udang, belum dilakukan di tingkat petani.

61 KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Charracterization of Peat Material that incubated by oil palm bunch ash Abstrak Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan dayaguna tanah gambut dalam mendukung kegiatan budidaya tanaman, salah satu di antaranya adalah dengan memberikan abu janjang kelapa sawit. Pemberian abu janjang kelapa sawit selain dapat meningkatkan ph, juga dapat memberikan tambahan hara pada tanah. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit. Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu abu janjang kelapa sawit dengan lima taraf dosis, yaitu 0, 50, 100, 150, dan 300 g/tabung. Penelitian dilakukan dengan menginkubasikan bahan gambut dengan abu janjang kelapa sawit sesuai dosis perlakuan dalam tabung paralon, dan diinkubasi selama dua bulan. Pengamatan dilakukan setelah dua bulan terhadap kadar N total (%), P (ppm), K (me/100g), dan Mg (me/100g) bahan gambut pada tiga ke dalaman lapisan berbeda, yaitu 0 10, 10 20, dan > 20 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut berpengaruh sangat nyata untuk kadar P dan K bahan gambut untuk semua tingkat lapisan. Inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar N total bahan gambut pada lapisan 0 10 cm, dan tidak berpengaruh nyata pada lapisan lainnya. Pemberian abu janjang kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap kadar Mg pada lapisan 0 10 dan cm. Terjadi peningkatan kadar P masing-masing 7233, , dan % untuk lapisan pertama, kedua, dan ketiga dibanding kontrol. Peningkatan kadar K sebesar , , dan % untuk lapisan pertama, kedua, dan ketiga. Untuk kadar Mg, peningkatan hanya terjadi pada lapisan pertama ( 0 10 cm) dengan peningkatan sebesar 80% dari kontrol. Penurunan terjadi pada kadar N total sebesar 33.33% pada lapisan 0 10 cm akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut. Secara umum disimpulkan bahwa akumulasi P, K, dan Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit terjadi pada lapisan 0-10 cm. Kata kunci: abu janjang kelapa sawit, gambut, inkubasi.

62 41 Abstract The research was aimed to study the characteristics of peat material that incubated by oil palm bunch ash. The study was conducted in completely randomized design with five dosage levels of oil palm bunch ash: 0, 50, 100, 150, and 300 g/tube. Peat material was incubated during two month in column tubes. Observation was conducted after two months on rate of N (total, %), P ( ppm), K ( me/100g), and Mg ( me/100g) of peat material on three depth of layer in column tube; 0-10, 10-20, and > 20 cm. The result showed that incubation of peats with oil palm bunch ash significantly influenced on both P and K for all column layers. P was increased equal to 7233, , and % for the first, second, and third of column layers. K was increased , , and % for the first, second, and third of column layers. Mg was increased 80% at the first layer. N was decreased 33.33% at the first layer. The generally, P, K, Mg was accumulated at 0-10 cm of column layer as a result of the application of oil palm bunch ash on peat material. Key words: oil palm bunch ash, peat, incubation. Pendahuluan Tanah gambut umumnya bereaksi masam atau memiliki nilai ph yang rendah sampai sangat rendah. Sumber kemasaman atau yang berperan dalam menentukan kemasaman pada tanah gambut adalah asam-asam organik dan ion hidrogen yang dapat dipertukarkan. Keberadaan asam-asam organik sangat menentukan kemasaman, sementara kehadiran Aluminium yang mobil dan mampu terhidrolisis kurang penting, tidak seperti di tanah mineral (Miller & Donahue 1990). Dijelaskan lebih lanjut oleh Andriesse (1988) bahwa ph tanah gambut berkaitan dengan keberadaan senyawa organik. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (-COOH) dan fenol (C 6 H 4 OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H + dalam jumlah banyak. Diperkirakan sebanyak % muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut (Miller & Donahue 1990). Ikatan OH dari gugus fenolik dan karboksil bersifat masam, dan gugus-gugus tersebut sangat mudah

63 42 melepaskan ion H +, sehingga tanah-tanah gambut tropik umumnya masam (Widjaja- Adi 1985). Tan (1986) menyatakan bahwa asam-asam organik pada gambut dapat mempunyai pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Senyawa organik utama yang terdapat dalam gambut biasanya hemiselulosa, selulosa dan lignin, hasil biodegradasi lignin dapat menghasilkan asam-asam fenolat, sedangkan selulose/hemiselulose menghasilkan asam-asam karboksilat. Asam-asam fenolat merupakan senyawa organik yang dapat bersifat racun bagi tanaman. Tanah gambut tropik mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% (Andriesse 1988). Meskipun N masuk dalam katagori tinggi di tanah gambut, namun N berada dalam bentuk organik pada tanah gambut, sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan oleh tanaman. Nisbah C/N yang tinggi pada tanah gambut membuat N sangat terbatas untuk dapat diserap tanaman. Seperti yang dijelaskan oleh Tisdale et al. (1985) jika bahan organik mempunyai nisbah C/N > 30, akan terjadi proses immobilisasi N, dimana N yang dihasilkan dari proses mineralisasi akan digunakan oleh jasad mikro untuk kebutuhan hidupnya. Unsur P pada tanah gambut sebagian besar berada dalam bentuk P- organik. Fosfat dalam bentuk organik keberadaannya melimpah dalam tanah gambut, namun sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh bahan organik gambut (Everett 1983). Fosfat dalam fraksi P-organik sebagian besar terdapat dalam inositol fosfat (35 %), sedangkan asam nukleat mengandung 2 % P, dan fosfolipid 1 % P. Proses mineralisasi P-organik oleh jasad mikro sangat dipengaruhi oleh nisbah C dan P. Nisbah C dan P akan sangat menentukan apakah

64 P akan termineralisasi oleh jasad mikro atau justru sebaliknya P digunakan sebagai 43 energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Proses mineralisasi akan lebih konstan bila nisbah C, N, dan P mencapai nilai 100:10:1 (Tisdale et al. 1985). Persyaratan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kondisi tanah gambut yang memiliki nisbah C dan P yang sangat besar, dengan demikian proses mineralisasinya akan berjalan sangat lambat. Permasalahan lain pada tanah gambut adalah rendahnya tingkat kejenuhan basa, terutama basa-basa K, Ca, dan Mg. Dijelaskan oleh Tan (1993) bahwa tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50 80% dan tidak subur jika kejenuhan basanya < 50%. Kejenuhan basa yang rendah berkaitan dengan ph tanah yang rendah. Pada tanah gambut, ion-ion H + yang dijerap oleh kompleks organik lebih mudah didisosiasikan sehingga ph tanahnya menjadi sangat rendah. Sulitnya diperoleh kejenuhan basa yang tinggi pada tanah gambut disebabkan karena tingginya nilai KTK. Nilai KTK yang tinggi ini menurut Driessen dan Soepraptohardjo (1974) disebabkan oleh muatan negatif bergantung ph yang sebagian besar berasal dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. Seperti dijelaskan oleh Andriesse (1988), bahwa kation-kation Ca, Mg, K, dan Na digantikan oleh ion hidrogen pada kompleks jerapan, sehingga ion hidrogen sangat rapat terfiksasi bersama gugus fungsional bahan-bahan asam, dan sulit untuk dipertukarkan. Tanah gambut juga umumnya kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja-Adhi, 1986), sehingga sering menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman pertanian di tanah gambut. Dijelaskan oleh Kanapathy (1972) bahwa

65 44 sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik, sehingga tidak tersedia oleh tanaman. Pengkhelatan unsur-unsur mikro tersebut membentuk senyawa organo-metal yang memfiksasi ion Cu dan Zn menjadi kurang tersedia bagi tanaman. Terjadinya senyawa organo-metal dikarenakan adanya gugus karboksilat dan fenolat berkadar tinggi pada tanah gambut yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972; Everett 1983). Kadar abu tanah gambut tergolong rendah, namun tergantung dari ketebalan gambutnya (Widjaja-Adi 1986). Kadar abu adalah kadar dari total mineral atau hara yang dikandung bahan tanaman. Beberapa tanaman memberikan kontribusi hara kepada tanah gambut (Everett 1983). Kadar abu selain sangat dipengaruhi oleh bahan mineral di bawahnya, juga dipengaruhi oleh limpasan pasang air sungai yang membawa bahan mineral, dengan demikian kadar abu dapat dijadikan sebagai gambaran kesuburan tanah gambut. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Menurut Widjaja-Adi (1986), kadar abu tanah gambut beragam antara 2-65 %. Gambut jenis oligotrofik yang rendah tingkat kesuburannya memiliki kadar abu sekitar 2 %, gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar abu sekitar %, dan gambut eutrofik dengan kesuburan yang lebih baik memiliki kadar abu lebih besar dari 14 %. Penelitian Smith et al. (2001) membuktikan bahwa pada pembakaran gambut dengan ke dalaman 0-2 cm, kadar abu, kerapatan lindak, total kalsium, total fosfor, nyata meningkat. Beberapa penelitian lain membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan ph tanah dan beperngaruh nyata

66 45 terhadap kenaikan kadar kalium dapat dipertukarkan (K-dd) (Panjaitan et al. 1983; Sanchez 1976). Hasil penelitian Chan dan Suwandi (1985) menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit ternyata dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, terutama setelah mengalami inkubasi selama satu bulan. Ginting (1991) juga membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan kadar serapan kalium dalam tanaman kentang varietas granola dan mampu mensuplai K dan Mg dapat dipertukarkan ke dalam tanah. Rosyadi (2004) membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sumber pupuk kalium pada tanaman padi sawah Oriza sativa varietas IR-64. Peningkatan ph tanah cukup nyata setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Panjaitan et al. (1983) membuktikan pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap kenaikan ph pada tiga jenis tanah, yaitu podsolik, regosol, dan aluvial. Hasilnya menunjukkan terjadi kenaikan ph untuk ketiga jenis tanah tersebut menjadi berkisar antara dengan rata-rata kenaikan sebesar pada pemberian abu janjang kelapa sawit sebanyak 8.4 g/500 g tanah setara bobot kering. Melihat dari kenyataan tersebut di atas, maka terdapat dua hal pokok yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketersediaan unsur-unsur hara pada tanah setelah diinkubasi dengan abu, baik abu bakaran gambut, abu kayu sawmill, maupun abu janjang kelapa sawit. Pertama disebabkan karena suplai atau tambahan langsung hara yang berasal dari abu, dan yang kedua adalah melalui pengaruh tidak langsungnya berupa peningkatan ph tanah, sehingga ketersediaan unsur hara bergeser ke arah yang lebih baik.

67 46 Hasil analisis abu janjang sawit yang berasal dari lokasi penelitian (Pontianak, Kalimantan Barat) menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan K yang tinggi, sangat bersifat alkalis. Perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui peranan abu janjang kelapa sawit dalam memperbaiki sifat kimia tanah gambut guna mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana status hara dan status ph pada bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Informasi dari penelitian ini akan sangat membantu dalam mempelajari bagaimana karakteristik tanah gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam suatu ruangan tembus cahaya di Wilayah Pontianak Selatan Kalimantan Barat dan analisis haranya dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Maret - Juni 2006 mulai persiapan sampai selesai. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, yaitu faktor abu janjang kelapa sawit (A), dengan empat kali ulangan. Faktor abu janjang kelapa sawit sebagai perlakuan yang diinkubasikan pada media gambut terdiri atas 5 taraf, yaitu: media gambut tanpa abu janjang kelapa sawit (a 0 ), abu janjang kelapa sawit sebanyak 50 g/tabung media gambut (a 1 ), abu janjang kelapa sawit sebanyak 100 g/tabung bahan gambut (a 2 ), abu janjang kelapa sawit sebanyak 150 g/tabung

68 47 media gambut (a 3 ), dan abu janjang kelapa sawit sebanyak 300 g/tabung media gambut (a 4 ). Setiap tabung berisi 840 g gambut setara bobot kering (105 o C). Terdapat 5 perlakuan dengan ulangan 4 kali, sehingga terdapat 20 satuan percobaan, dengan masing-masing unit terdiri dari 3 satuan contoh. Dengan demikian, terdapat 60 satuan contoh. Model linier aditif dari rancangan RAL adalah sebagai berikut : Y ijk = μ + A i + ε ij Keterangan : Y ij μ A i ε ij = Hasil pengamatan dari faktor dosis abu ke-i pada ulangan ke-j = rataan umum = pengaruh utama dari faktor abu ke-i = Pengaruh galat dari faktor abu ke-i pada ulangan ke-j i = 1, 2, 3, 4, 5 j = 1,2,3,4 Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Gambut. Bahan gambut dibersihkan dari serasah dan akarakar yang berukuran besar, dikeringanginkan, dan selanjutnya media gambut tersebut dimasukkan ke dalam tabung (paralon diameter 4 inchi, tinggi 50 cm) sebanyak 840 g setara bobot kering (105 o C) (berdasarkan bobot tanah gambut, dengan lubang tanam lidah buaya 20 cm x 20 cm x 20 cm, dan kerapatan lindak ratarata g.cm -3 ). Perlakuan Abu. Tahap selanjutnya adalah pemberian abu janjang kelapa sawit untuk masing-masing perlakuan Abu diberikan di lapisan atas permukaan media (sampai kedalaman + 10 cm), dan diaduk merata, selanjutnya diinkubasi

69 48 selama 2 bulan dan disiram dengan air destilata setiap hari, dengan jumlah air yang diberikan sejumlah kebutuhan untuk mencapai kapasitas lapang. Pada bagian bawah tabung dilakukan penampungan terhadap kelebihan air. Setelah dua bulan diinkubasi, dilakukan analisis kimia tanah menurut ke dalaman kolom 0 10, 10 20, dan > 20 cm. Analisis kimia juga dilakukan terhadap N, P, K, dan Mg pada filtrat cucian. Skema percobaan inkubasi tanah gambut dengan abu janjang kelapa sawit disajikan pada Gambar 3. air Abu janjang kelapa sawit 5 cm Paralon dengan media gambut 10 cm 20 cm Analisis kimia tanah dan reaksi tanah (ph) pada setiap ke dalaman 40 cm Penampungan air rembesan Gambar 3. Skema percobaan inkubasi tanah gambut dengan abu janjang kelapa sawit Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap tanah gambut setelah diinkubasi selama dua bulan, terdiri atas beberapa peubah, yaitu: 1. Status hara. Pengambilan sampel tanah untuk analisis status hara di akhir masa inkubasi dilakukan dengan mencampur 3 buah contoh (komposit). Analisis tanah tersebut dilakukan terhadap unsur : N total (Kjeldhal), P-Bray 1, K- N NH 4 - OAc, dan Mg-N NH4-OAc.

70 49 2. Analisis filtrat cucian unsur N total (Kjeldhal), P, K dan Mg. 3. Reaksi tanah (ph). Rangkaian kegiatan percobaan inkubasi gambut dengan abu janjang kelapa sawit disajikan pada Gambar Gambar 4. Rangkaian kegiatan percobaan pemberian gambut dengan abu janjang kelapa sawit. Persiapan media kolom dari paralon dan proses inkubasi (1,2,3); pemisahan air filtrat cucian bahan gambut (4,5,6), pengemasan filtrat cucian untuk analisis kadar hara filtrat di laboratorium (7,8) Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis regresi untuk mencari model hubungan yang tepat antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan kadar hara bahan gambut hasil inkubasi (Gomez & Gomez 1995).

71 Kadar N-total (%) 50 Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut memberikan respon nyata sampai sangat nyata untuk beberapa peubah yang diamati baik status hara pada media gambut maupun pada filtrat cucian. Kadar N total. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut sangat nyata menurunkan kadar N total pada lapisan atas media (0 10 cm), namun tidak berpengaruh nyata pada lapisan 10 cm ke bawah (lapisan dan > 20 cm) dan pada N Filtrat. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap kadar N total media gambut dan filtrat disajikan dalam Gambar Lapisan 0 10 cm : y = 1/( e- x ) ; R 2 = 0.94 Lapisan cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = 0.71 Lapisan > 20 cm : y = 1/( e -x ) R 2 = Dosis abu abu janjang janjang kelapa kelapa sawit sawit (g/tan.)(g/tabung) Gambar 5. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar N total pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda.

72 Kadar N total Filtrat (%) 51 Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit menurunkan kadar N total media gambut pada lapisan 0 10 dan cm. Penurunan kadar N total sebesar 33.33% pada lapisan 0 10 cm dengan persamaan regresi y = 1/( e- x ) dengan nilai R 2 = Pemberian abu janjang kelapa sawit tidak memberikan pengaruh nyata pada kolom lapisan 10 20, > 20 cm, dan pada filtrat (Gambar 6), dengan persamaan regresi masing-masing y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.71); y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.02); dan y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.08), dimana x adalah taraf abu janjang kelapa sawit. Pada filtrat, tidak terdapat pengaruh dari hasil inkubasi gambut dengan abu janjang kelapa sawit dengan persamaan y = 1/( e -x ) ; R 2 = y = 1/( e -x ) ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Gambar 6 Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap pada media gambut terhadap kadar N total filtrat.

73 52 Tabel 4. Jumlah N-total media gambut yang diberi abu janjang kelapa sawit Perlakuan Tanpa abu janjang kelapa sawit (a 0) Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a 1) Dosis abu janjang kelapa sawit 100 g (a 2) Dosis abu janjang kelapa sawit 150 g (a 3) Dosis abu janjang kelapa sawit 300 g (a 4) Jumlah N-total hasil inkubasi (g) Lap. I Lap. II Lap. III Jumlah Filtrat Total Neraca: a 1 - a a 2 - a a 2 - a a 3 - a a 3 - a a 3 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a Keterangan: Lap. = lapisan. a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g; a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g; a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada semua taraf dosis menurunkan jumlah N-total bahan gambut dibanding kontrol di akhir inkubasi. Kadar Fosfor. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut sangat nyata meningkatkan kadar P pada semua lapisan media gambut dan pada

74 Kadar P (ppm) 53 filtrat cuciannya. Respon P media gambut dan filtrat terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit disajikan dalam Gambar 7 dan Lapisan 0 10 cm : y = 1/( e- x ) ; R 2 = 0.99 Lapisan cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = 0.99 Lapisan > 20 cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Gambar 7. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar P pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda. Gambar 7 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut meningkatkan kadar P pada semua lapisan kolom dan filtrat, dengan jumlah peningkatan terbanyak pada lapisan 0 10 cm. Peningkatan kadar P terhadap nilai P kontrol untuk masing-masing lapisan adalah % (0 10 cm), % (10 20 cm), % (>20 cm), dan % (filtrat). Peningkatan terjadi sampai pada taraf dosis abu janjang kelapa sawit sebesar 50 g, selanjutnya penambahan abu janjang dengan dosis yang lebih tinggi lagi tidak meningkatkan kadar P pada bahan gambut, P terakumulasi di filtrat.

75 Kadar P fitrat (ppm) 54 Pola peningkatan kadar P untuk kedalaman 0 10, 10 20, dan > 20 cm mengikuti persamaan regresi masing-masing sebagai berikut: : y = 1/( e- x ) (R 2 = 0.99); y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.99); dan y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.99), dimana x adalah taraf dosis abu janjang kelapa sawit. Pola hubungan antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan kadar P filtrat bersifat linier dengan persamaan y = x , dengan nilai R 2 = (Gambar 8). Jumlah P media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis disajikan pada Tabel y = x R 2 = Dosis Dosis abu abu janjang janjang kelapa kelapa sawit sawit (g/tabung) (g) Gambar 8. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar P filtrat.

76 Tabel 5. Jumlah P media gambut yang diberi abu janjang kelapa sawit Perlakuan Tanpa abu janjang kelapa sawit (a 0) Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a 1) Dosis abu janjang kelapa sawit 100 g (a 2) Dosis abu janjang kelapa sawit 150 g (a 3) Dosis abu janjang kelapa sawit 300 g (a 4) Lap. I (1) Jumlah P hasil inkubasi (g) Lap. II (2) Lap. III (3) Jumlah (4) Filtrat (5) Total (6) P dari abu (7) (P media + filtrat) (P dari abu) (6 7) Neraca : a 1 - a a 2 - a a 2 - a a 3 - a a 3 - a a 3 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a Keterangan: Lap. = lapisan. a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g; a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g; a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g 55 Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan jumlah P pada setiap lapisan. Namun demikian, peningkatan tidak terjadi lagi pada pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf di atas 50 g dengan kisaran jumlah P yang hampir sama antar perlakuan. Penumpukan P terjadi pada filtrat ketika taraf abu janjang kelapa sawit ditingkatkan sampai 300 g pada media gambut.

77 Kadar K (me/100g) 56 Kadar kalium. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut sangat nyata meningkatkan kadar K pada semua lapisan media gambut dan pada filtrat cuciannya. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap kadar K media gambut dan filtrat disajikan pada Gambar 9 dan Lapisan 0 10 cm : y = 1/( e- x ) ; R 2 = Lapisan cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = Lapisan > 20 cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Gambar 9. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut juga sangat nyata meningkatkan kadar K pada semua kolom lapisan (Gambar 9). Akumulasi K terbanyak pada lapisan 0 10 cm, dan semakin berkurang dengan meningkatnya ke dalaman. Peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit setelah 50 g tidak lagi meningkatkan kadar K bahan gambut. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap kadar K media gambut berturut-turut mengikuti pola dengan persamaan y = 1/( e- x )

78 Kadar K filtrat (ppm) 57 (R 2 = 0.99); y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.99) ( cm), dan y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.99) untuk lapisan 0 10, 10 20, dan > 20 cm (Gambar 9), dimana x adalah taraf dosis abu janjang kelapa sawit. Nilai rerata kadar K lapisan 0-10 cm pada Gambar 10 merupakan hasil transformasi data (x 0.5 ). Transformasi data dilakukan karena data tidak menyebar normal dengan koefisien keragaman (KK) sebesar 28.92% dan nilai lambda (best value) = 0.5. Oleh karena itu data ditransformasi dengan transformasi x 0.5 sampai nilai lambda = 1. Peningkatan kadar K bahan gambut akibat abu janjang kelapa sawit masingmasing sebesar , , dan % untuk ke dalaman lapisan 0 10, 10 20, dan > 20 cm. Pengaruh berbagai taraf dosis abu janjang kelapa sawit pada filtrat mengikuti persamaan y = x , dengan R 2 = 0.94 (Gambar 10) y = x R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Dosis abu janjang kelapa sawit (g) Gambar 10. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K filtrat.

79 Jumlah K media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis disajikan pada Tabel Tabel 6. Jumlah K media gambut yang diberi abu janjang kelapa sawit Perlakuan Tanpa abu janjang kelapa sawit (a 0) Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a 1) Lap. I (1) Jumlah K hasil inkubasi (g) Lap. II (2) Lap. III (3) Jumlah (4) Filtrat (5) Total (6) K dari abu (7) (K media + filtrat) (K dari abu) (6 7) Dosis abu janjang kelapa sawit 100 g (a 2) Dosis abu janjang kelapa sawit 150 g (a 3) Dosis abu janjang kelapa sawit 300 g (a 4) Neraca : a 1 - a a 2 - a a 2 - a a 3 - a a 3 - a a 3 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a Keterangan: Lap. = lapisan. a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g; a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g; a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g Tabel 6 membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan jumlah K pada semua lapisan dengan peningkatan tertinggi pada

80 Kadar Mg (me/100g) 59 lapisan I. Peningkatan jumlah abu janjang kelapa sawit yang diberikan setelah taraf 50 g ke atas menyebabkan terjadinya akumulasi K pada filtrat. Kadar Mg. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut sangat nyata meningkatkan kadar Mg pada lapisan 0 10 cm, nyata pada filtratnya, dan tidak berpengaruh nyata pada lapisan diatas 10 cm. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap kadar Mg media gambut dan filtrat disajikan pada Gambar 11 dan Lapisan 0 10 cm : y = 1/( e- x ) ; R 2 = Lapisan cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = Lapisan > 20 cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Gambar 11. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda. Peningkatan kadar Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit sangat nyata pada lapisan 0 10 cm, yaitu 80% dari kontrol. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap media gambut berturut turut mengikuti pola dengan persamaan : y = 1/( e- x ) (R 2 = 0.99) ; y = 1/( e -x )

81 Kadar Mg filtrat (ppm) 60 (R 2 = 0.847); dan y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.620); serta y = x (R 2 = 0.897) untuk lapisan 0 10, 10 20, dan > 30 cm, serta filtrat, dimana x adalah taraf dosis abu janjang kelapa sawit y = x R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Dosis abu janjang kelapa sawit (g) Gambar 12. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg filtrat. Jumlah Mg media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis disajikan pada Tabel 6. Tampak bahwa peningkatan taraf abu janjang kelapa sawit di atas 50 g pada media gambut mengakibatkan pencucian Mg yang terakumulasi pada filtrat (Tabel 6).

82 Tabel 7. Jumlah Mg media gambut yang diberi dengan abu janjang kelapa sawit Perlakuan Tanpa abu janjang kelapa sawit (a 1) Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a 1) Lap. I (1) Jumlah Mg hasil inkubasi (g) Lap. II (2) Lap. III (3) Jumlah (4) Filtrat (5) Total (6) Mg dari abu (7) (Mg media + filtrat) (Mg dari abu) (6 7) Dosis abu janjang kelapa sawit 100 g (a 2) Dosis abu janjang kelapa sawit 150 g (a 3) Dosis abu janjang kelapa sawit 300 g (a 4) Neraca : a 1 - a a 2 - a a 2 - a a 3 - a a 3 - a a 3 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a a 4 - a Keterangan: Lap. = lapisan. a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g; a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g ph. Inkubasi abu janjang kelapa sawit pada media gambut memberikan sangat nyata meningkatkan ph pada semua lapisan (0 10, 10 20, dan > 20 cm). Respon ph media gambut dan filtratnya terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit disajikan dalam Gambar 13.

83 ph Lapisan 0 10 cm : y = 1/( e- x ) ; R 2 = 0.96 Lapisan cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = 0.69 Lapisan > 20 cm : y = 1/( e -x ) ; R 2 = 0.55 Filtrat : y = 1/( e -x ) ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Gambar 13. Respon ph media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada tiga lapisan yang berbeda dan filtrat cuciannya. Pemberian abu janjang kelapa sawit sampai taraf 50 g meningkatkan ph gambut untuk semua lapisan dan filtratnya. Pada lapisan 0 10 cm, terjadi kenaikan ph dari 4.05 menjadi 7.49, lapisan cm dari ph 4.01 menjadi 4.75, lapisan > 20 dari ph 3.98 mejadi 4.37, dan dari ph 3.93 menjadi 6.5 untuk filtrat. Respon ph media gambut dan filtratnya berturut turut mengikuti persamaan y = 1/( e- x ) (R 2 = 0.96); y = 1/( e -x ) (R 2 = 0.69) dan y = 1/( e -x ) ; (R 2 = 0.55), serta y = 1/( e -x ) ; (R 2 = 0.62) untuk lapisan 0-10, 10 20, dan >20, serta filtrat.

84 Kedalaman kolom lapisan gambut (cm) 63 Pembahasan Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut berpengaruh nyata terhadap kadar hara N-total, P, K, dan Mg. Pemberian abu janjang kelapa sawit sampai taraf 50 g menyebabkan peningkatan kadar hara P, K, dan Mg. Selanjutnya, peningkatan taraf abu janjang kelapa sawit di atas 50 g tidak lagi meningkatkan kadar hara P, K, dan Mg. Sedangkan N total terjadi penurunan akibat pemberian abu janjang kelapa sawit. Peningkatan kadar hara terbanyak akibat pemberian abu janjang kelapa sawit untuk ketiga jenis hara (P, K, dan Mg) tampak lebih terakumulasi pada kolom lapisan permukaan (0 10 cm) (Gambar 17). 0 Kadar P (ppm) kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit Gambar 14. Pola distribusi P dalam kolom bahan gambut Gambar 14 menunjukkan bahwa akumulasi kadar P gambut tanpa perlakuan abu janjang kelapa sawit (kontrol) terlihat lebih banyak pada lapisan bawah (>20 cm). Hasil kisaran rata-rata kadar P gambut tanpa perlakuan abu janjang kelapa

85 64 sawit (a0 = kontrol) semakin tinggi dengan meningkatnya ke dalaman, yaitu 26.3, 29.6, dan 35.4 ppm berturut-turut untuk lapisan 0-10, 10 20, dan >20 cm. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pencucian P dari lapisan atas ke lapisan bawah, sesuai dengan pernyataan Stevenson (1994) bahwa gambut mempunyai kation polivalen yang rendah terutama Fe, sehingga ikatan P pada tapak reaktif mudah lepas karena gugus reaktif yang terbentuk pada bahan organik tergolong rendah. Fenomena serupa juga dibuktikan oleh Hartatik (2003) dimana terjadi akumulasi P pada lapisan bawah (30 60 cm) gambut tanpa bahan amelioran akibat mengalami pencucian. Peningkatan kadar P terjadi sampai taraf dosis abu janjang 50 g, penambahan dosis di atas 50 g tidak lagi meningkatkan kadar P gambut. Hal ini terlihat dari jumlah rata-rata nilai kadar P tersebut berada pada kisaran yang hampir sama untuk semua penambahan dosis abu (Gambar 17). Akumulasi P pada perlakuan dosis abu 50, 100, 150, dan 300 g terjadi pada lapisan 0 10 cm. Peningkatan kadar P dalam percobaan ini disebabkan karena sumbangan langsung P dari abu janjang kelapa sawit, dimana abu janjang kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini mengandung 2.42% P 2 O 5. Peningkatan juga terjadi untuk K dan Mg pada bahan gambut yang mendapat perlakuan abu janjang kelapa sawit. Sama seperti P, akumulasi K dan Mg juga terjadi pada lapisan atas (0 10 cm) (Gambar 15 16).

86 Kedalaman kolom lapisan gambut cm) Kedalaman kolom lapisan gambut (cm) 65 Kadar K (me/100 g) kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit 40 Gambar 15. Pola distribusi K dalam kolom bahan gambut Kadar Mg (m e/100g) kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit 40 Gambar 16. Pola distribusi Mg dalam kolom bahan gambut

87 66 Gambar 15 memperlihatkan bahwa kalium lebih banyak ditahan pada lapisan 0 10 cm dari permukaan kolom gambut. Pada kolom lapisan yang lebih dalam dari 10 cm, kadar K berada pada kisaran me/100 g. Peningkatan kadar K pada lapisan 0 10 cm ini sampai mencapai %, sedangkan pada lapisan dan > 20 cm, terjadi peningkatan dan %. Peningkatan kadar K ini disebabkan oleh suplai langsung dari unsur K yang terkandung dalam abu janjang kelapa sawit, dimana abu janjang kelapa sawit yang digunakan dalam percobaan ini mengandung K 2 O sebesar 21.15%. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat menyuplai dan menjadi sumber K bila diberikan pada tanah karena kandungan K nya yang tinggi (Chan et al. 1982; Panjaitan et al.1983; Sanchez 1976; Chan & Suwandi 1985; Ginting 1991; Gusnidar et al. 2002; Gusmara 2001). Menurut Ginting (1991), abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan kadar serapan kalium dalam tanaman kentang varietas granola dan mampu mensuplai K dan Mg dapat dipertukarkan ke dalam tanah. Hal serupa juga dibuktikan oleh Gusnidar et al.(2002), bahwa abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pengganti pupuk kalium untuk tanaman jagung pada tanah gambut. Pemberian abu janjang kelapa sawit juga meningkatkan kadar Mg pada gambut dengan pola distribusi yang sama dengan unsur P dan K, yaitu terjadi penumpukan pada kolom dalam lapisan 0 10 cm. (Gambar 16). Peningkatan kadar Mg % pada lapisan 0 10 cm. Peningkatan ini juga merupakan kontribusi langsung dari unsur Mg yang terdapat dalam abu janjang kelapa sawit. Hasil serupa dibuktikan oleh Chan et al. (1982), yang membutikan bahwa unsur-unsur makro

88 Kedalaman kolom lapisan gambut (cm) 67 yang paling dominan terdapat pada abu janjang kelapa sawit adalah kalium dan magnesium, sedangkan unsur mikronya adalah mangan dan boron. Menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (2004), abu janjang kelapa sawit mengandung unsur utama K, Mg, dan Ca, serta memiliki ph yang tinggi. Peningkatan hara pada bahan gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit tidak diikuti oleh hara N. Pada percobaan ini terjadi penurunan kadar N-total pada bahan gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Penurunan kadar N-total terjadi pada lapisan 0-10 cm (gambar 17) 0 Kadar N total (%) kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit 40 Gambar 17. Pola distribusi Nitrogen dalam kolom bahan gambut Kehilangan N dari bahan gambut lebih disebabkan karena faktor peningkatan ph bahan gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit. Pada kondisi ph gambut yang meningkat, N-amonium dapat berubah menjadi NH 3 dan menguap.

89 68 Sementara faktor lain yang menyebabkan kehilangan N dari bahan gambut tersebut kurang berlaku pada kasus ini. Seperti yang dijelaskan oleh Hardjowigeno (2003) bahwa hilangnya N dari tanah dapat disebabkan oleh beberapa hal; digunakan oleh tanaman atau mikroorgaisme, pencucian, diikat oleh mineral liat, dan proses denitrifikasi. Keempat faktor tersebut kurang mendukung sebagai penyebab kehilangan N dalam percobaan ini. Pencucian (dalam bentuk nitrat) tidak terjadi dalam percobaan ini, mengingat tidak terjadi penambahan kadar N-total dengan meningkatnya kedalaman kolom lapisan gambut juga pada filtrat cucian. Pengikatan oleh mineral liat terhadap amonium (NH4 + ) juga tidak mungkin terjadi mengingat bahan yang digunakan adalah bahan gambut dengan kandungan C organik yang tinggi (55.18%). Peluang terjadinya denitrifikasi juga kecil, karena denitrifikasi terjadi dengan syarat tempat yang tergenang, drainase buruk, dan tata udara yang jelek. Sedangkan pada percobaan ini, air diberikan sebatas kapasitas lapang. Mengingat menurunnya kandungan N total akibat pemberian abu janjang kelapa sawit hanya terjadi di lapisan permukaan (0 10 cm), kehilangan melalui proses volatilisasi dengan penguapan dalam bentuk amoniak akibat ph yang meningkat dapat diduga sebagai penyebab utama kehilangan N. Pemberian abu janjang kelapa sawit juga sangat nyata meningkatkan ph gambut pada setiap kolom lapisan. Peningkatan terbesar terjadi pada lapisan 0 10 cm dan filtrat. Pola distribusi nilai ph juga tertinggi pada lapisan permukaan (0 10 cm) (Gambar 18).

90 Kedalaman kolom lapisan gambut (cm) ph gambut kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit 40 Gambar 18. Pola distribusi nilai ph dalam kolom bahan gambut Peningkatan ph gambut dalam percobaan ini diakibatkan dari tingginya nilai ph abu janjang yang diberikan. ph abu janjang yang digunakan dalam percobaan ini adalah Peningkatan ph akibat abu janjang kelapa sawit ini sesuai dengan hasil penelitian Panjaitan et al. (1983) yang membuktikan pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap kenaikan ph pada tiga jenis tanah (podsolik, regosol, aluvial), dengan ph berkisar antara dengan rata-rata kenaikan ph sebesar Secara fisik bahan gambut tampak menjadi tidak porous (lengket) atau terjadi dispersi bahan organik akibat terlarutnya senyawa-senyawa yang larut dalam alkali karena pengaruh ph tinggi dari abu janjang kelapa sawit. Diduga humat terekstraksi pada ph tinggi ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hayes dan Himes (1997) bahwa pelarutan paling mudah terjadi pada Histosol dimana humus sering ditemukan tanpa asosiasi dengan mineral. Gambar 19 menunjukkan fakta tersebut.

91 70 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 19. Penampilan air filtrat cucian gambut yang diinkubasi degan abu janjang kelapa sawit. (a) kontrol; (b) 50 g; (c) 100 g; (d) 150 g ; dan (e) 300 g abu janjang kelapa sawit.tabung -1. Fakta tersebut di atas harus dipertimbangkan bila ingin mengaplikasikan abu janjang kelapa sawit pada budidaya tanaman di lahan gambut, termasuk tanaman lidah buaya. Dispersi terhadap sifat fisik tanah gambut akibat dosis abu janjang yang terlalu tinggi serta peningkatan kadar P, K, dan Mg yang hanya terjadi di sekitar permukaan (0 10 cm) memberikan pertimbangan agar abu janjang dalam aplikasi di lapangan sebaiknya disebar merata pada permukaan (lapisan olah) bedengan. Pemberian abu janjang pada lubang tanam dikhawatirkan dapat merusak sifat fisik tanah gambut sekitar rizosfer akibat terakumulasi pada lubang tanam, sehingga menyulitkan perkembangan akar, meskipun di satu sisi terjadi peningkatan hara P, K, dan Mg. Namun demikian, hasil penelitian I ini akan dikaji bersama dengan penelitian II yang dilakukan secara paralel, dimana pada penelitian II diuji pengaruh

92 berbagai taraf dosis abu janjang kelapa sawit ini terhadap tanaman lidah buaya dalam polybag. 71 Kesimpulan 1. Terjadi perubahan karateristik bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit dalam kurun waktu 2 bulan. Karakter kimia ditunjukkan dengan peningkatan kadar fosfor, kalium, dan magnesium. Namun terjadi penurunan kadar nitrogen total pada kolom lapisan 0 10 cm, sedangkan karakter fisik ditunjukkan dengan terjadinya dispersi bahan gambut pada dosis tinggi (150 dan 300 g abu janjang kelapa sawit). 2. Peningkatan kadar P, K, dan Mg pada bahan gambut disebabkan suplai langsung dari abu janjang kelapa sawit, karena kandungan P, K, dan Mg yang tinggi pada bahan abu yang diberikan. 3. Peningkatan kadar P, K, dan Mg terbesar dan terakumulasi pada kolom lapisan 0 10 cm.

93 PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH GAMBUT YANG DIINKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Plant growth of Aloe at peat soil that incubated by oil palm bunch ash Abstrak Abu janjang kelapa sawit diketahui mengandung unsur hara P, K, dan Mg, dan mampu mensuplainya ke dalam tanah serta dapat menngkatkan ph tanah termasuk tanah gambut. Dari hasil penelitian sebelumnya juga diketahui bahwa peningkatan hara P, K, dan Mg pada tanah gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit terakumulasi pada lapisan 0 10 cm dari permukaan. Selain dari aspek kimia yaitu meningkatkan kadar P, K, dan Mg pada tanah, terdapat konsekuensi lain dari pemberian abu janjang kelapa sawit, yaitu sifat fisik tanah yang kurang baik bila diberikan dalam jumlah banyak. Untuk itu perlu diuji pada dosis berapa abu janjang kelapa sawit masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya serta kapan waktu pengulangan pemberiannya. Penelitian dilakukan dalam polibag dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Faktor pertama adalah dosis abu janjang kelapa sawit dengan empat taraf: 50, 100, 150, dan 300 g/tanaman. Faktor kedua adalah waktu pengulangan pemberian abu yang terdiri dari 3 taraf; 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Lidah buaya ditanam selama 4,5 bulan, dan dilakukan pengamatan terhadap peubah pertumbuhan, yaitu jumlah pelepah, tinggi tanaman, panjang pelepah, tebal pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tunggal dosis abu janjang kelapa sawit berpengaruh sangat nyata terhadap seluruh peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya sejak umur MST. Sedangkan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu baru nyata pengaruhnya pada 12 MST untuk semua peubah pertumbuhan kecuali lebar pelepah. Faktor interaksi hanya berpengaruh nyata pada peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk. Diperoleh hasil bahwa untuk mendapatkan bobot basah terbaik dibutuhkan dosis optimum abu janjang kelapa sawit sebesar g/tanaman dengan waktu pengulangan pemberian abu 8 MST. Kata kunci: abu janjang kelapa sawit, gambut, lidah buaya. Abstract The experiment was conducted in completely randomized design. The first factor was four levels of dosage of oil palm bunch ash: 50, 100, 150, 300 g/plant. The second factors was repetition time of application of oil palm bunch ash, consisting of three level: 4, 6, 8 week after planting. Aloe was planted during 4.5

94 months, and after reaching 4.5 month old, were observed to several growth variables: frond number, plant height, frond length, frond thick, frond fresh weight, and plant dry weight. The result of the experiment indicated that the single factor of oil palm bunch ash dosage significantly influenced the plant growth variables of aloe since month after planted. While, the single factor of repetition time of application oil palm bunch ash significantly influenced at 12 month after planted for all growth variables except the frond width. The interaction of both factor just significantly infuenced the plant height, frond fresh weight, and plant dry weight. The highest fresh weight of Aloe was reached by dosage of oil palm bunch ash equal to g/plant, with repeated application time of oil palm bunch ash at 8 month after planted. Key word; Aloe, oil palm bunch ash, peat 73 Pendahuluan Tanah gambut secara fisik tampak sebagai suatu tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen (aerasi). Kemampuan tanah gambut dalam memegang air yang banyak atau kapasitas memegang airnya tinggi seolah faktor pendukung yang baik bagi pertumbuhan tanaman, kenyataannya faktor air yang cukup tinggi ini juga yang pada akhirnya menjadi penghambat proses dekomposisi tanah gambut lebih lanjut, yang erat kaitannya dengan tingkat kematangan dan ketersediaan hara tanah gambut. Di samping itu, keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marjinal. Sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis di antaranya adalah: bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, umumnya dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence (penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, ph yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang

95 74 rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa hal di atas (Andriesse 1988). Nisbah C/N yang tinggi (Tisdale et al. 1985), P dalam bentuk P- organik (Everett 1983), tingkat kejenuhan basa yang rendah terutama basa-basa K, Ca, dan Mg, kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja-Adhi 1986) merupakan permasalahan tanah gambut dari aspek ketersediaan hara bila ingin dikembangkan sebagai media budidaya tanaman. Upaya untuk meningkatkan mineralisasi P-organik dan ketersediaan hara lainnya di antaranya dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan ph tanah. Pengapuran diharapkan dapat meningkatkan populasi jasad mikro tanah yang berperan dalam proses mineralisasi. Hasil penelitian Kakei dan Clifford (2002) menunjukkan bahwa pengapuran dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi P, Ca, S, Mn and Fe pada tanah gambut tebal. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan dayaguna tanah gambut dalam mendukung kegiatan budidaya tanaman. Selain pengapuran dan pemupukan, pemberian beberapa jenis abu juga telah dilakukan, misalnya abu bakaran gambut, abu kayu sawmill, abu sekam padi, abu sabut kelapa, dan abu janjang kelapa sawit. Pemberian abu ini selain dapat meningkatkan ph, juga dapat memberikan tambahan hara. Pemanfaatan abu (khususnya abu janjang kelapa sawit dan abu kayu sawmill) sebagai pupuk K lebih menguntungkan dibandingkan dengan pupuk K buatan didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : (1) harganya relatif murah karena keberadaannya melimpah (karena merupakan limbah); (2) selain K juga mengandung unsur P dan Mg. Menurut data dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (2004) unsur utama dalam abu janjang kelapa sawit adalah K, Mg, dan Ca; (3) abu yang

96 75 diberikan selain dapat mensuplai unsur hara, juga dapat memperbaiki ph tanah, khususnya pada tanah-tanah yang bersifat masam. Hasil penelitian sebelumnya (Kurnianingsih, 2004) menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, jumlah anakan) dan bobot basah pelepah tanaman lidah buaya, dan disimpulkan bahwa abu janjang kelapa sawit berperan sebagai sumber hara kalium. Berdasarkan hal tersebut, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis serta waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit yang memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam polybag yang ditempatkan di lapangan di atas lahan gambut wilayah Batulayang, Kecamatan Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Agustus 2006 mulai persiapan sampai panen. Rancangan Percobaan Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan dua faktor. Faktor abu janjang (A) sebanyak 5 taraf dan faktor waktu pemberian abu (W) sebanyak 3 taraf. Masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut: Faktor abu janjang kelapa sawit (A) : a 1 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 50 g/tanaman a 2 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 100 g/tanaman

97 76 a 3 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 150 g/tanaman a 4 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 300 g/tanaman Setiap polybag berisi 6 kg tanah gambut kering udara 2520 g setara bobot kering oven 105 o C) Faktor waktu pengulangan pemberian abu (W) : w 1 = empat minggu setelah tanam w 2 = enam minggu setelah tanam w 3 = delapan minggu setelah tanam Pengulangan pemberian abu dilakukan dengan memberikan sejumlah abu yang sama dengan dosis yang sama dengan perlakuan di atas (50, 100, 150, dan 300 g/tanaman). Terdapat 12 kombinasi perlakuan, dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan yang masing-masing terdiri dari 3 contoh tanaman. Dengan demikian terdapat 108 contoh. Model linier aditif dari RAL adalah sebagai berikut : Y ijk = μ + A i + F j + (AF) ij + ε ijk Keterangan : Y ijk μ A i F j AF jk ε ijk = Hasil pengamatan dari faktor abu janjang taraf ke-i dan faktor frekuensi pemberian abu taraf ke-j pada ulangan ke-k = rataan umum = pengaruh utama dari faktor abu ke-i = pengaruh utama dari faktor frekuensi pemberian abu taraf ke-j = pengaruh dari kombinasi faktor abu taraf ke-i dan frekuensi pemberian abu taraf ke-j = pengaruh galat

98 77 Pelaksanaan Penelitian Persiapan media gambut. Tanah gambut dibersihkan dari serasah dan akarakar yang berukuran besar, dikeringanginkan dan dianalisis kandungan haranya sebelum perlakuan, selanjutnya media gambut dimasukkan ke dalam polybag sebanyak 2520 g setara bobot kering 105 o C. ( 6 kg BKU gambut) Perlakuan abu dan penanaman. Tahap selanjutnya adalah pemberian abu untuk masing-masing perlakuan, abu diberikan di lapisan atas permukaan media, dan diaduk merata, selanjutnya diinkubasi selama 2 minggu dan disiram setiap hari, dengan jumlah air yang diberikan sejumlah kebutuhan untuk mencapai kapasitas lapang. Setelah 2 minggu, bibit lidah buaya ditanam pada polybag masing-masing sebanyak satu tanaman. Abu janjang kelapa sawit selanjutnya diberikan lagi sebagai perlakuan pada 4, 6, atau 8 minggu setelah tanam. Kemudian dilakukan pemeliharaan, yang terdiri dari pemupukan dasar, penyiangan gulma, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit. Tanaman dipelihara dalam polybag selama 4,5 bulan. Pengamatan Pengamatan pertumbuhan tanaman lidah buaya dilakukan dengan mengukur: 1. Jumlah pelepah, yang dihitung adalah pelepah yang sudah berkembang sempurna. Dihitung pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam. 2. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal sampai ujung pelepah daun, pengukuran dilakukan pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam. 3. Panjang pelepah (cm). Pengukuran panjang pelepah dilakukan pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam.

99 78 4. Tebal pelepah (cm), diukur pada pangkal pelepah daun terlebar, dan diukur pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam. 5. Bobot basah dan bobot kering pelepah (g), dilakukan pada akhir pengamatan setelah 4,5 bulan. Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam terlebih dahulu, dan apabila terdapat pengaruh perlakuan, analisis dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie 1993). Hubungan tingkat dosis abu janjang kelapa sawit dan waktu pengulangan pemberian abu diuji dengan Ortogonal polynomial (Gomez dan Gomez 1995). Hasil dan Pembahasan Hasil Analisis ragam (Tabel Lampiran 3) menunjukkan bahwa faktor tunggal dosis abu janjang kelapa sawit berpengaruh sangat nyata terhadap seluruh peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya sejak umur MST, sedangkan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu baru nyata pengaruhnya pada 12 MST untuk semua peubah pertumbuhan kecuali lebar pelepah. Lebar pelepah mulai dipengaruhi oleh faktor waktu pengulangan pemberian abu janjang pada 14 MST. Selanjutnya, interaksi kedua faktor hanya berpengaruh nyata pada peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk. Pengaruh interaksi mulai nyata pada tinggi tanaman pada 12 MST.

100 Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan abu 100 g/tanaman memberikan hasil rerata tertinggi untuk semua peubah pertumbuhan, sedangkan waktu pengulangan pemberian abu 8 MST (w 3 ) memberikan hasil terbaik untuk semua peubah pertumbuhan dan berbeda nyata dengan w2 dan w1. Sementara itu, antara pengulangan pemberian abu 4 MST dan 6 MST (w 1 dan w 2 ) tidak berbeda nyata untuk seluruh peubah kecuali untuk peubah tebal pelepah dan bobot kering pelepah (Tabel 8 dan 9.) Tabel 8. Perlakuan abu (g/tanaman) Pengaruh perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST Jumlah pelepah Lebar pelepah Tebal pelepah Panjang pelepah cm b a c 8.85 d 8.19 b 8.59 a 5.96 c 3.99 d 1.64 b 1.69 a 1.45 c 2.63 d b a c d Keterangan: Nilai-nilai dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata pada uji Tukey 5 %. Tabel 9. Pengaruh perlakuan waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST Perlakuan pengulangan pemberian abu (MST) Jumlah pelepah Lebar pelepah Tebal pelepah Panjang pelepah cm b b a 6.34 b 6.42 b 7.06 a 1.44 c 1.52 b 1.58 a b b a Keterangan: Nilai-nilai dalam satu kolom yang diikuiti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji Tukey 5 %. Tabel 9 menunjukkan bahwa perlakuan pengulangan pemberian abu pada w3 (8 MST) memberikan rerata yang lebih baik pada semua peubah pertumbuhan

101 80 yang diamati dan berbeda nyata dengan perlakuan w 1 dan w 2 ( 4 dan 6 MST). Penghambatan pertumbuhan jelas tampak pada dosis abu janjang kelapa sawit pada taraf a 3 dan a 4 (150 dan 300 g/tanaman) dengan memberikan nilai rerata untuk seluruh peubah pertumbuhan yang lebih rendah dibanding perlakuan a 1 dan a 2 (dosis abu 50 dan 100 g/tanaman) (Gambar 20). (a) (b) (c) Gambar 20. Penampilan tanaman lidah buaya akibat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit (A) pada beberapa taraf waktu pengulangan pemberian abu (W). Perbandingan antar dosis abu pada w 1 (a) Perbandingan antar dosis abu pada w 2 (b) Perbandingan antar dosis abu pada w 3 (c) A = Faktor abu janjang kelapa sawit; W = Faktor waktu pengulangan pemberian abu a 1 = 50 g/tan.; a 2 = 100 g/tan; a 3 = 150 g/tan; a 4 = 300 g/tan. w 1 = 4 MST ; w 2 = 6 MST; w 3 = 8 MST. MST = minggu setelah tanam.

102 81 Gambar 20 menunjukkan bahwa peningkatan dosis abu sampai taraf tertentu menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman lidah buaya. Hal ini terjadi pada berbagai taraf waktu pengulangan pemberian abunya. Selanjutnya, Gambar 21(a) menunjukkan bahwa taraf dosis abu a 3 dan a 4 sangat menekan pertumbuhan tanaman lidah buaya, dan berbeda nyata dengan taraf dosis abu a 1 dan a 2. Gambar 21(b) menunjukkan bahwa perlakuan pengulangan pemberian abu taraf w 3 (8 MST) memberikan rerata yang lebih baik pada semua peubah pertumbuhan yang diamati. (a) (b) Gambar 21. Penampilan tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit taraf a3 dan a4 pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu (a), dan yang mendapat berbagai perlakuan dosis abu pada perlakuan waktu pengulangan pemberian abu taraf w3 (b) a 1 = 50 g/tan.; a 2 = 100 g/tan; a 3 = 150 g/tan.; a 4 = 300 g/tan. w 1 = 4 MST ; w 2 = 6 MST; w 3 = 8 MST. MST = minggu setelah tanam.

103 Jumlah pelepah (helai) Jumlah pelepah (helai/tan.) 82 Hasil uji Polynomial orthogonal menunjukkan kurva kuadratik untuk pengaruh faktor tunggal dosis abu janjang kelapa sawit untuk peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah (Gambar 22-25), dengan persamaan masing-masing y = x x (R 2 =0.87), y = x x (R 2 = 0.74), y = x x (R 2 =0.75), dan y = x x (R 2 =0.72), dimana x adalah taraf dosis abu janjang kelapa sawit y = x x ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.) (a) w1 w2 w3 Waktu pengulangan pemberian abu (MST) Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST (b) Gambar 22. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya

104 Lebar pelepah (cm) Lebar pelepah (cm) y = x x ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.) (a) w1 w2 w Waktu pengulangan pemberian abu (MST) Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST (b) Gambar 23. Pengaruh dosis abu janjang kelapa (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada yang berbeda.

105 Tebal pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) y = x x ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.) (a) w1 w2 w3 Waktu pengulangan pemberian abu (MST) Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST (b) Gambar 24. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya

106 Panjang pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) y = x x ; R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.) (a) w1 w2 w Waktu pengulangan pemberian abu (MST) Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST (b) Gambar 25. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya

107 86 Berdasarkan kurva respon peubah tanaman terhadap dosis abu janjang kelapa sawit pada Gambar di atas, diperoleh dosis abu janjang kelapa sawit optimum masing-masing sebesar 111; ; 94.44; dan g/tanaman untuk jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah. Interaksi dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abu yang berpengaruh terhadap peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tanaman lidah buaya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu. Perlakuan Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tanaman) Kurva Respon w 1 w 2 w 3 w 1 w 2 w 3 w 1 w 2 w 3 Keterangan: Tinggi tanaman (cm) Bobot basah pelepah tunggal (g) Bobot kering tajuk (g) W = waktu pengulangan pemberian abu. (w 1 = 4 MST ; w 2 = 6 MST; w 3 = 8 MST) Kuadratik Kuadratik Kuadratik Kuadratik Kuadratik Kuadratik Kuadratik Kuadratik Kuadratik Tabel 10 menunjukkan bahwa faktor interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abunya menghasilkan kurva

108 Bobot basah pelepah (g/pelepah) Tinggi tanaman (cm) respon kuadratik untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tanaman. Kurva respon tersebut disajikan pada Gambar y(w1) = x x , R 2 = 0.70 y(w2) = x x , R 2 = 0.94 y(w3) = x x , R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.) w1 w2 w3 Poly. (w1) Poly. (w2) Poly. (w3) Gambar 26. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu y (w1) = x x , R 2 = 0.93 y (w2) = x x , R 2 = 0.87 y(w3) = x x , R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.) w1 w2 w3 Poly. (w1) Poly. (w2) Poly. (w3) Gambar 27. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot basah pelepah tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu.

109 Bobot kering tajuk (g/tan.) y(w1) = x x , R 2 = 0.92 y(w2) = x x , R 2 = 0.82 y(w3) = x x , R 2 = Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.) w1 w2 w3 Poly. (w1) Poly. (w2) Poly. (w3) Gambar 28. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot kering tajuk tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu. Gambar menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai rerata peubah tinggi tanaman, bobot basah, dan bobot kering tanaman sejalan dengan meningkatnya dosis abu janjang kelapa sawit pada taraf yang lebih tinggi dari dosis optimum. Kurva respon adalah kuadratik untuk ketiga peubah tersebut. Persamaan regresi dan dosis abu optimum untuk masing-masing peubah tersebut disajikan pada Tabel 11.

110 Tabel 11. Persamaan regresi pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk tanaman lidah buaya di tanah gambut. 89 Peubah Faktor W Persamaan regresi Dosis abu optimum (g.tan. -1 ) Tinggi tanaman w1 y = x x , R 2 = w2 y = x x , R 2 = w3 y = x x , R 2 = Bobot basah pelepah w1 w2 y = x x , R 2 = 0.93 y = x x , R 2 = w3 y= x x , R 2 = Bobot kering pelepah w1 w2 y = x x , R 2 = 0.92 y = x x , R 2 = w3 y = x x , R 2 = Keterangan: W = Faktor waktu pengulangan pemberian abu. (w 1 = 4 MST ; w 2 = 6 MST; w 3 = 8 MST) x = taraf dosis abu janjang kelapa sawit Pembahasan Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan abu janjang kelapa sawit, waktu pengulangan pemberian abu, serta interaksi kedua faktor tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Namun interaksi hanya berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk pada 12 MST. Faktor tunggal abu janjang kelapa sawit dan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah pertumbuhan yang diamati. Bedanya, faktor tunggal abu janjang kelapa sawit mulai

111 90 memberikan pengaruh nyata sejak MST, sedangkan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu berpengaruh nyata mulai MST. Respon tanaman lidah buaya terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit mengikuti pola kurva kuadratik untuk peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah, dengan dosis abu optimum berturut-turut 111; ; 94.44; dan g/tanaman. Penambahan dosis abu lebih besar dari dosis optimum tersebut menekan pertumbuhan jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah. Ditinjau dari aspek waktu pengulangan pemberian abunya, taraf w3 (pengulangan pemberian abu pada 8 MST) merupakan taraf yang terbaik untuk semua peubah pertumbuhan. Peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk dipengaruhi oleh faktor interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abunya. Respon tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk terhadap faktor dosis abu janjang kelapa sawit mengikuti pola kurva kuadratik untuk setiap taraf waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit. Respon ketiga peubah yang dipengaruhi oleh faktor interaksi tersebut menunjukkan nilai rerata tertinggi pada taraf waktu pengulangan pemberian abu w3 (8 MST) dengan dosis optimum abu janjang kelapa sawit masing-masing 98.07, 92.61, dan g/tanaman atau setara dengan 20.74, 19.59, dan g K 2 O/tanaman untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk. Hasil yang diperoleh sejalan dengan hasil penelitian Kurnianingsih (2004) yang menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah dengan dosis optimum g/tanaman.

112 91 Abu janjang kelapa sawit dalam penelitian ini berfungsi sebagai sumber hara P, K, Mg, dan Ca. Dengan kandungan hara yang cukup tinggi (P 2 O 5 = 2.42%; K 2 O = %; MgO = 2.46%; Ca = 2.22%), abu janjang kelapa sawit mampu mendukung pertumbuhan tanaman sampai pada taraf tertentu sesuai dengan taraf dosis optimum yang didapat dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dengan demikian, respon peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya terhadap abu janjang kelapa sawit yang diberikan tidak terlepas bahasannya dari komponen hara yang terkandung dalam abu janjang kelapa sawit tersebut. Respon peubah pertumbuhan yang memiliki pola hubungan kuadratik terhadap dosis abu janjang kelapa sawit dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa kelebihan dosis abu janjang kelapa sawit pada taraf tertentu tidak lagi dapat diserap oleh tanaman. Kelebihan abu janjang kelapa sawit berarti kelebihan juga atas harahara yang dikandungnya, yakni fosfor, kalium, magnesium, dan kalsium. Fosfor diketahui berfungsi dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman (Terry dan Ulrich 1993). Fosfor merupakan hara makro esensial yang memegang peranan penting dalam proses hidup seperti fotosintesis, metabolisme karbohidrat, dan proses alih energi di dalam tubuh tanaman (Buchanan et al. 2000). Fosfor juga merupakan bahan penyusun fosfolipid seperti lesitin dan kolin, yang memegang peranan penting dalam hal integritas membran (Gardner et al. 1985). Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf yang lebih tinggi di atas dosis optimum dalam penelitian ini juga diduga meningkatkan kadar P sehingga berlebihan pada tanah. Kelebihan P dalam tanah dapat menekan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Safuan (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan dan tinggi tanaman nenas terhambat dengan peningkatan kadar hara P tanah sebesar ppm dengan

113 92 pola hubungan kuadratik. Dijelaskan juga oleh Bennet (1993) bahwa pemupukan P yang berlebihan mengurangi ketersediaan atau penggunaan hara mikro. Defisiensi unsur hara Zn juga dipengaruhi oleh tingginya kadar P tanah (Havlin et al.1999). Malezieux dan Bartholomew (2003) membuktikan bahwa terjadi defisiensi Zn pada tanah dengan ph 6.0 atau lebih atau pada pemberian P yang berlebihan. Padahal Zn dalam tanaman berfungsi sebagai aktivator enzim. Fungsi Zn berkaitan dengan pembentukan asam indolasetat atau auksin. Sehingga pertumbuhan tanaman secara umum dapat terhambat. Hasil penelitian Wasonowati (2005) membuktikan bahwa kombinasi N dan P memberikan respon kuadratik pada bobot basah pelepah tanaman lidah buaya pada tanah gambut Indragiri Hilir, Riau. Safuan (2007) juga membuktikan bahwa serapan hara P tanaman nenas semakin menurun sejalan dengan peningkatan hara P pada tanah dengan pola hubungan kuadratik. Dijelaskan oleh Kasno et al.(2000) dan Hanum (2004) bahwa tanaman mempunyai kemampuan maksimal dalam menyerap hara walaupun kadar hara P tersedia dalam tanah mengalami peningkatan dengan meningkatnya jumlah pupuk yang diberikan. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada tanah gambut sebagai sumber hara kalium berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya. Hal ini berkaitan dengan peranan K yang secara langsung meningkatkan pertumbuhan, indeks luas daun, meningkatkan asimilasi CO 2, dan terlibat dalam proses fotosintesis serta translokasi fotosintat (Gardner et al. 1991). Dijelaskan lebih lanjut oleh Elumalai et al. (2002) bahwa kalium diperlukan untuk akumulasi dan translokasi karbon yang baru saja dibentuk tanaman dari hasil fotosintesis. Selain itu, menurut Marschner (1995) ion K + memfasilitasi beberapa respon fisiologi pada tanaman, termasuk

114 93 pembukaan dan penutupan stomata, gerakan daun dan regulasi polarisasi membran. Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim penting untuk fotosintesis dan respirasi, juga mengaktifkan enzim yang diperlukan untuk pembentukan pati dan protein. Kalium dapat diserap dalam jumlah banyak oleh tanaman, jauh dari jumlah yang diperlukan (luxury consumption), sehingga memerlukan pemupukan yang bertahap. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf yang lebih tinggi dari dosis optimum menyebabkan tingginya kadar hara K pada tanah. Meskipun tanaman dapat menyerap kalium dalam jumlah banyak, namun dalam taraf yang sangat tinggi dapat menekan pertumbuhan tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan respon semua peubah tanaman lidah buaya yang bersifat kuadratik terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Wentasari (2005), dimana pemberian faktor tunggal K menunjukkan respon kuadratik dan nyata terhadap bobot basah pelepah. Safuan (2007) juga membuktikan bahwa pengaruh pemberian berbagai dosis pupuk K terhadap hasil relatif tanaman nenas bersifat kuadratik, penambahan dosis pupuk K melebihi dosis optimum (668 kg K 2 O/ha.) menurunkan produksi buah nenas. Meningkatnya kadar hara K + di dalam tanah akan menyebabkan kompetisi dengan kation lain seperti Ca 2+ dan Mg 2+ untuk diserap oleh tanaman. Penyerapan K yang tinggi dapat mengurangi penyerapan Ca 2+ dan Mg 2+ (Havlin et al. 1999). Pemberian abu janjang kelapa sawit juga telah mampu meningkatkan ph tanah gambut di atas netral. Terjadi kenaikan ph dari 4.0 sampai mencapai 8.23 pada dosis abu janjang tertinggi. Peningkatan ph ini diakibatkan dari ph abu janjang kelapa sawit yang diberikan memiliki ph tinggi, yaitu sampai Keadaan ph tanah gambut yang tinggi akibat pemberian abu janjang kelapa sawit tersebut

115 94 menyebabkan terlarutnya senyawa-senyawa yang larut dalam alkali, termasuk asam humat. Terjadi dispersi atau perusakan secara fisik terhadap tanah gambut yang digunakan sebagai media tanam pada pemberian abu janjang pada dosis tinggi di atas dosis optimum. Pada keadaan tanah yang mengalami kerusakan secara fisik dengan indikator tanah menjadi lengket kehitaman, tanaman tidak mampu untuk tumbuh secara sempurna karena gangguan perkembangan perakaran, sehingga mengganggu serapan hara. Tanaman tumbuh kerdil, pertumbuhan pelepah terhambat, serta mengalami kering bagian pucuk dan menguning. Hal ini dapat dilihat pada tanaman lidah buaya yang mendapat dosis abu janjang kelapa sawit sebesar 300 g/tanaman. Konsentrasi abu janjang kelapa sawit dengan dosis tinggi di sekitar perakaran menyebabkan kerusakan tanah secara fisik. Tanah gambut yang bersifat porous berubah menjadi lengket karena terektraksinya bahan humat. Hal ini menyebabkan konsentrasi oksigen dalam tanah menjadi berkurang. Di satu sisi, energi yang diperlukan untuk serapan hara berasal dari proses respirasi dalam akar tanaman. Proses respirasi ini tergantung suplai oksigen dalam udara tanah. Oleh karena itu, aerasi yang buruk akan menghambat proses penyerapan unsur hara. Reaksi-reaksi antagonistik juga dimungkinkan terjadi akibat penambahan abu janjang dalam dosis tinggi. Penambahan abu janjang yang berlebihan juga berarti penambahan jumlah K ke dalam tanah secara berlebihan. Hal ini akan mengganggu keseimbangan antara hara K dengan Mg. Padahal di sisi lain keseimbangan K terhadap Mg adalah sangat penting. Efek antagonistik K terhadap serapan Mg dapat mengakibatkan depresi pertumbuhan dan hasil karena defisiensi Mg.

116 95 Gambar 29 menunjukkan akibat berbagai faktor di atas terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman lidah buaya akibat peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit. (a) (b) (c) Gambar 29. Respon tanaman lidah buaya terhadap berbagai taraf dosis abu janjang kelapa sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu: (a) dosis abu 50/tan. ; (b) dosis abu 100 g/tan. ; (c) dosis abu 150 g/tan. ; (d) dosis abu 300 g/tan.. (d) Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Abu janjang kelapa sawit dalam penelitian ini berfungsi sebagai sumber hara P, K, Mg, dan Ca. Dengan kandungan hara yang cukup tinggi (P 2 O 5 = 2.42%; K 2 O = %; MgO = 2.46%; Ca = 2.22 %), abu janjang kelapa sawit mampu mendukung pertumbuhan tanaman sampai pada taraf tertentu.

117 96 2. Respon peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya terhadap berbagai dosis abu janjang mengikuti pola hubungan kuadratik. Untuk mendapatkan hasil bobot basah pelepah terbaik diperlukan dosis optimum abu janjang kelapa sawit sebesar g/tanaman, dengan waktu pengulangan pemberian abu pada 8 MST. Peningkatan dosis abu janjang di atas dosis optimum untuk masing-masing peubah menyebabkan penghambatan pertumbuhan.

118 PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI MIKORIZA ARBUSKULA DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT Improving adaptability of seedling, growth, and quality of Aloe vera by arbuscular mycorrhiza and fertilizer application on peat soil Abstrak Perbaikan sifat fisik tanah gambut oleh abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai tahap awal dalam budidaya tanaman lidah buaya. Selanjutnya harus diikuti oleh upaya peningkatan serapan hara oleh tanaman, pemeliharaan berkelanjutan dengan pemupukan untuk mempertahankan produktivitas, dan sekaligus upaya peningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen tanah yang sering menyerang tanaman lidah buaya di lahan gambut. Pemanfaatan sumberdaya alami yang ada dapat dijadikan sebagai solusi untuk memenuhi tujuan tersebut. Sumberdaya alami tersebut adalah fungi mikoriza arbuskula dan limbah organik (ikan dan udang). Penelitian dilakukan di lapangan dengan menggunakan rancangan petakpetak terpisah dalam rancangan acak kelompok tiga faktor. Faktor pertama adalah mikoriza sebagai petak utama dengan tiga taraf yaitu; tanpa mikoriza (m0), mikoriza mycofer (m1), dan mikoriza asal rizosfer nenas (m2). Faktor kedua adalah pupuk anorganik sebagai anak petak, merupakan komposisi pupuk N:P:K:Mg, yang terdiri dari 4 taraf yaitu; tanpa pupuk anorganik (a0); 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. (a 1 ); a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. (a 2 ) ; dan 20 : 16 : 30 : 10 g/tan. (a 3 ). Faktor ketiga adalah pupuk organik sebagai anak-anak petak, terdiri dari 4 taraf, yaitu: limbah ikan (o1); limbah udang (o 2 ); limbah ikan fermentasi (o 3 ); dan limbah udang fermentasi (o 4 ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok tanaman bermikoriza memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dengan serapan hara N, P, dan Mg yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa mikoriza. Pupuk anorganik pada taraf a2 (N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.) dan pupuk organik limbah udang fermentasi (o4) memberikan hasil rerata terbaik untuk semua peubah pertumbuhan. Serapan hara N, P, K, dan Mg juga lebih tinggi pada kelompok tanaman yang mendapat pupuk organik yang difermentasi dibanding pupuk organik tanpa fermentasi. Kombinasi mikoriza asal rizosfer nenas dengan pupuk ikan dan udang fermentasi mampu menghasilkan asam asam amino dengan kadar yang lebih tinggi dibanding asam asam amino yang dikandung dalam pelepah lidah buaya hasil budidaya standar dari Aloe vera Center. Kata kunci: pupuk anorganik, pupuk organik, mikoriza.

119 98 Abstract This research was aimed to study the effectiveness of mycorrhiza, inorganic and organic fertilizer ( fish/shrimp waste) on growth, yield and quality of aloe in peat soil. The study was conducted on peat area, North Pontianak, West Kalimantan in split-split plot in completely randomized blocks design. The main plot was mycorrhizal application levels: Mycofer, and mycorrhiza from pineapple rhizospheres. The sub plot was inorganic fertilizer (composition of N:P:K:Mg) : without inorganik fertilizer, 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/plant, 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and 20 : 16 : 30 : 10 g/plant. Sub-sub plot was organic fertilizer (waste): fish, shrimp, fermented of fish, and fermented of shrimp wastes. The results showed that mycorrhizal plant had a better growth and higher N, P, Mg uptake than non mycorrhizal plant. Highest plant growth variables were provided by N : P: K : Mg =10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and fermented shrimp waste treatments. N, P, K, Mg nutrients uptake of fermented organic fertilizer were higher than non fermented organic fertilizer. Combination of Mycorrhiza from pineapple rhizospheres with fermented fish and shrimp gave higher amino acids content compared to those produced by Aloe vera Center Key word: inorganic fertilizer, organic fertilizer, arbuscular mycorrhiza Pendahuluan Berdasarkan hasil penelitian I dan II, diketahui bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat membantu memperbaiki sifat kimia tanah gambut dan dapat mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber input yang pertama diberikan sebelum membudidayakan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Namun demikian, dalam aplikasinya di lapangan, pemberian abu sebaiknya diberikan secara merata pada permukaan tanah. Hal ini mengingat penumpukan abu janjang kelapa sawit di sekitar lubang tanam dapat mengganggu sistem perakaran karena sifat perusakan fisiknya terhadap tanah gambut yang dapat mengganggu sistem aerasi tanah. Pada penelitian III, abu janjang kelapa sawit

120 99 disebar merata pada permukaan bedeng dengan mencampurnya secara merata dengan tanah gambut pada lapisan olah (+ 10 cm). Meskipun abu janjang kelapa sawit dapat membantu memperbaiki sifat kimia tanah dan dijadikan sebagai input pertama dalam budidaya tanaman lidah buaya di tanah gambut, bukan berarti tidak ada hambatan lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Lingkungan tumbuh tanah gambut diketahui sebagai lingkungan yang memiliki banyak faktor pembatas. Rendahnya kandungan hara dan tingginya tingkat kemasaman tanah merupakan faktor utama yang menghambat pertumbuhan tanaman. Kondisi tersebut membuat rendahnya tingkat serapan hara oleh tanaman, yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Peningkatan serapan hara sendiri tidak hanya ditentukan oleh faktor ketersediaan hara, namun juga ditentukan oleh kemampuan akar tanaman untuk menyerap hara. Gambut juga diketahui banyak mengandung senyawa-senyawa beracun dari hasil degradasi lignin, kondisi selalu tergenang atau suatu saat mengalami cekaman kekeringan dengan suhu permukaan tanah yang tinggi, serta tingginya tingkat jangkitan penyakit (virulensi). Berkenaan dengan tingginya tingkat jangkitan penyakit, maka tanaman lidah buaya sangat rentan terhadap serangan patogen tanah yang disebabkan oleh Erwinia chrysanthemi (penyebab busuk lunak) dan Fusarium sp. (penyebab busuk kering). Upaya peningkatan serapan hara oleh tanaman lidah buaya dan sekaligus upaya peningkatkan ketahanan terhadap patogen tanah, dapat merujuk kepada pemanfaatan mikroorganisme potensial antagonis yang selama ini sudah banyak diterapkan pada jenis tanaman lain, di antaranya yaitu Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA).

121 100 Pemanfaatan FMA selain tidak berdampak negatif terhadap lingkungan karena bersifat hayati, juga didasarkan atas kesesuaian syarat sebagai mikroorganisme antagonis terhadap patogen tanah, yakni mempunyai kemampuan kompetisi dan daya adaptasi yang tinggi di rhizosfer dan juga mampu menghasilkan senyawasenyawa antibiotik, hormon dan zat pengatur tumbuh. FMA dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan fosfat dengan meningkatkan serapan hara P lebih banyak dari larutan tanah (Swift 2004; Smith 2002; Smith et al. 2003), dimana hubungan simbiotik akan lebih menguntungkan pada kondisi tanah kahat hara (Morgan et al. 2005). Peningkatan serapan hara dilakukan melalui dua cara, pengaruh langsung melalui jalinan hifa eksternal yang diproduksinya secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air (Sieverding, 1991) dan pengaruh tidak langsung, dimana mikoriza dapat memodifikasi fisiologis akar sehingga dapat mengeksresikan asam-asam organik dan fosfatase asam ke dalam tanah ( Abbott et al. 1992), dimana menurut Marschner & Dell (1994); dan Smith & Read (1997) fosfatase asam merupakan suatu enzim yang dapat mamacu proses mineralisasi P organik dengan mengkatalisis pelepasan P dari kompleks organik menjadi kompleks anorganik. Mikoriza juga dapat merangsang tanaman inang untuk membentuk senyawasenyawa penghambat dan meningkatkan persaingan kebutuhan hidup di rizosfer (Chakravarty dan Chatapaul, 1988). Menurut Ouimet et al. (1996) mikoriza juga dapat meningkatkan penyerapan unsur hara lainnya seperti N (NH + 4 atau NO - 3 ), K, dan Mg yang bersifat mobil. Peningkatan penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan Mo.

122 101 Mikoriza secara umum menyebabkan terjadinya peningkatan ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit akar. Hal ini dikarenakan terdapatnya penghalang mekanis berupa mantel jamur yang dapat menghambat penetrasi patogen dan adanya kemampuan beberapa jamur mikoriza untuk memproduksi antibiotik. Mikoriza juga dapat merangsang tanaman inang untuk membentuk senyawa-senyawa penghambat dan meningkatkan persaingan kebutuhan hidup di rizosfer (Chakravarty dan Chatapaul, 1988). Menurut Setiadi (1989), fungi mikoriza dapat memberikan hormon seperti auksin, sitokinin, dan giberelin serta zat pengatur tumbuh berupa vitamin kepada inangnya. Auksin dapat berfungsi untuk mencegah atau memperlambat proses penuaan dan suberisasi akar. Dengan demikian fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air dapat diperpanjang. Meskipun FMA sudah banyak dimanfaatkan pada jenis tanaman lainnya guna mencegah serangan patogen akar dan peningkatan serapan unsur hara, namun sampai saat ini belum pernah diuji kemampuan dan efektivitasnya pada tanaman lidah buaya. Kajian secara ilmiah untuk membuktikan apakah FMA berespon sama terhadap tanaman lidah buaya dalam pencegahan patogen akar maupun peningkatan serapan unsur dan ketahanan terhadap cekaman kekeringan, belum pernah dilakukan. Belum diketahui apakah peranan FMA pada tanah gambut sama seperti pemanfaatannya di tanah mineral. Diharapkan dengan adanya aplikasi FMA yang di antaranya berasal dari habitat gambut juga (rhizosfer nenas) dan dari mycofer yang sudah terbukti dapat berasosiasi dengan akar tanaman di tanah gambut (Sasli, 2001), maka permasalahan seperti rendahnya hara tersedia dan serapan hara, serta serangan patogen akar pada

123 102 lahan gambut dapat teratasi dan sekaligus diketahui bagaimana peranan sesungguhnya dari FMA pada tanah gambut. Aplikasi mikoriza diharapkan dapat membantu meningkatkan hara-hara tersedia dan serapan unsur hara oleh tanaman lidah buaya, sekaligus meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen akar pada lahan gambut. Namun demikian, dalam jangka panjang, suplai hara diperlukan bagi tanaman dalam rangka mempertahankan produktivitasnya. Berkaitan dengan penelitian ini, maka input hara mesti dipertimbangkan dari berbagai aspek, mulai dari efisiensi ekonomis sampai pada pertimbangan bahwa input nutrisi harus dalam aras yang masih dapat memacu efektivitas fungi mikoriza arbuskula untuk meningkatkan serapan hara. Berdasarkan hal tersebut, maka input pupuk anorganik dapat dikurangi (efisiensi) dengan keberadaan mikoriza, sedangkan untuk mempertahankan produktivitas tanaman fungsi pupuk dapat digantikan dengan bahan-bahan sumberdaya alami yang keberadaannya melimpah namun memiliki nilai hara yang tinggi, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap ketersediaan hara tanah. Mengingat lokasi rencana penelitian merupakan wilayah yang dekat dengan perairan (pesisir), maka sumberdaya yang dipilih sebagai sumber hara bagi tanaman adalah limbah ikan dan limbah udang, yang keberadaannya sangat melimpah. Limbah ikan atau limbah udang diketahui memiliki kandungan hara yang cukup tinggi apabila digunakan sebagai bahan pupuk organik, di antaranya N, P, K dan beberapa unsur mikro serta diketahui sebagai bahan pupuk organik yang baik dibanding bahan pupuk organik lainnya (Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005). Produk ini memperkaya hara tanah dan mempunyai keunggulan dalam hal kapasitasnya menahan air.

124 103 Kandungan hara pada pupuk organik ikan tergantung dari jenis ikan yang digunakan sebagai bahan bakunya. Sebagai perbandingan, tepung ikan yang berkualitas tinggi mengandung komponen-komponen sebagai berikut; air: %; lemak: 5-12 /o ; protein: %; dan abu %. Selain itu. karena terdiri dari kepala dan duri ikan maka tepung ikan juga mengandung: Ca fosfat, seng, yodium, besi, timah, mangan, kobalt, dan vitamin B yaitu: riboflavin (B2), asam panthotenat (B3) (Yoganingrum, 2000). Menurut Christantie (1999) kandungan mineral yang penting dari udang adalah zat kapur dan fosfor, masing-masing 136 mg dan 170 mg per 100 gram bahan. Diduga kandungan hara yang cukup lengkap dan sumbangan hormon pertumbuhan diperoleh dari limbah ikan dan limbah udang yang digunakan sebagai pupuk organik. Perlu diteliti bagaimana peranan limbah ikan atau udang sebagai pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil lidah buaya di lahan gambut. Ingin diketahui juga bagaimana peran pupuk organik tersebut bila dikombinasikan dengan mikoriza, dan selanjutnya ingin diketahui juga apakah pupuk organik limbah ikan/udang ini dapat menggantikan peran dari pupuk anorganik berdasarkan dari respon yang ditunjukkan oleh pertumbuhan dan hasil tanaman. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Eksplorasi/ekstraksi spora mikoriza, identifikasi, dan uji propagul infektif mikoriza dari rizosfer nenas mulai dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2005 di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Bioteknologi IPB dan

125 104 dilanjutkan di Laboratorium Mikrobiologi Tanah Universitas Tanjungpura Pontianak pada bulan September Oktober Uji aplikasi FMA dan pupuk organik untuk perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya di tanah gambut dilaksanakan di lahan gambut Desa Batu Layang, Kecamatan Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Analisis bahan dan contoh dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB, Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Laboratorium Terpadu IPB, dan Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Waktu penelitian di lapangan dimulai dari Desember 2005 sampai Maret 2007, sedangkan analisa laboratorium dilakukan mulai dari bulan April sampai Agustus Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan petak-petak terpisah (split-split plot design), yang terdiri dari tiga faktor dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah mikoriza (petak utama) dengan 3 taraf. Faktor kedua adalah pupuk anorganik (anak petak) dengan 4 taraf perlakuan, dan faktor ketiga adalah pupuk limbah organik (anak-anak petak) dengan 4 taraf perlakuan. Faktor I : mikoriza m 0 = tanpa Mikoriza m 1 = fungi mikoriza arbuskula (FMA) introduksi (mycofer) m 2 = mikoriza dari rizosfer tanaman nenas (propagul alami) Faktor II : pupuk anorganik (N, P, K, Mg ) a 0 a 1 = tanpa pupuk anorganik = N : P : K : Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tanaman.

126 105 a 2 a 3 = N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman. = N : P : K : Mg = 20 :16 : 30 : 10 g/tanaman. (Keterangan: taraf tersebut di atas P dalam bentuk P 2 O 5, K dalam bentuk K 2 O, dan Mg dalam bentuk MgO) Faktor III : pupuk organik (limbah ikan/udang) o 1 o 2 o 3 o 4 = limbah ikan = limbah udang = limbah ikan terfermentasi = limbah udang terfermentasi Terdapat 48 kombinasi perlakuan, dengan ulangan 3 kali, sehingga terdapat 144 satuan percobaan. Model linier aditif dari rancangan petak-petak terpisah adalah sebagai berikut : Y ijkl = + i + M j + ß ij + A k + MA jk + ijk + O l + MO jl + AO kl + MAO jkl + εjkl Keterangan: Y ijkl = hasil pengamatan dari faktor mikoriza taraf ke-j, pupuk anorganik taraf ke-k, dan pupuk organik taraf ke-l pada kelompok ke-i = rataan umum M j ß ij A k MA jk = pengaruh faktor mikoriza taraf ke-j = pengaruh galat petak utama = pengaruh pupuk anorganik taraf ke-k = pengaruh interaksi antara faktor mikoriza taraf ke-j dengan faktor pupuk anorganik taraf ke-k ijk O l = pengaruh galat anak petak = pengaruh faktor pupuk organik taraf ke-l

127 106 MO jl = pengaruh interaksi antara faktor mikoriza taraf ke-j dengan faktor pupuk organik taraf ke-l AOkl = pengaruh interaksi antara faktor pupuk anorganik taraf ke-k dengan faktor pupuk organik taraf ke-l MAO jkl = pengaruh interaksi antara faktor mikoriza taraf ke-j, faktor pupuk anorganik taraf ke-k, dan faktor pupuk organik taraf ke-l ε jkl = pengaruh galat anak-anak petak. Pelaksanaan Penelitian 1. Uji propagul infektif mikoriza asal rizosfer nenas Uji ini dilakukan untuk melihat jumlah propagul infektif dari mikoriza di tanah gambut asal rizosfer nenas. Tujuannya adalah mengetahui apakah gambut yang berasal dari rizosfer nenas yang akan digunakan sebagai inokulum pada tanaman lidah buaya merupakan propagul yang potensial. Uji ini dijadikan sebagai dasar bagi percobaan berikutnya (aplikasi mikoriza pada tanaman lidah buaya) dalam menentukan tingkat potensial tanah gambut asal rizosfer nenas sebagai sumber inokulum mikoriza. Metode yang digunakan adalah metode MPN (Most Propable Number Method ; Sieverding 1991). Sebelum uji MPN dilakukan, terlebih dahulu dihitung kerapatan spora FMA asal rizosfer nenas dengan melakukan ekstraksi dan identifikasi FMA. Metode yang digunakan adalah teknik tuang-saring basah dan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Gerdermann & Nicolson (1963) dan Brundrett et al. (1994). Pada

128 107 tahap ini dihitung jumlah spora untuk sejumlah contoh tanah gambut (20 g) dari rizosfer nenas dan diidentifikasi genus/jenisnya. Setelah perhitungan jumlah dan jenis spora dilakukan, dilanjutkan dengan uji propagul infektif. Sejumlah tanah gambut dari rizosfer nenas diambil untuk dilihat tingkat infektif dari propagul mikoriza dengan menginokulasikannya pada tanaman inang (sorghum) yang biasa digunakan sebagai tanaman perbanyakan mikoriza. Tingkat propagul infektif diuji pada beberapa seri pengenceran (9 kali pengenceran) tanah gambut yang mengandung propagul mikoriza (dari rizosfer nenas) dengan tanah gambut steril dengan perbandingan 1 : 3 sebagai substrat (media) tanaman inang. Dengan demikian terdapat 10 substrat (1 substrat tanpa pengenceran, dan 9 substrat lainnya dengan pengenceran). Setiap tahap pengenceran terdiri dari 5 ulangan, sehingga terdapat 50 contoh tanaman inang yang akan digunakan dalam uji MPN. Ekstraksi dan identifikasi spora FMA. Ekstraksi dan identifikasi spora FMA dari tanah gambut asal rizosfer nenas di lakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Bioteknologi IPB dan Laboratorium Mikrobiologi Tanah Universitas Tanjungpura Pontianak. Metode yang digunakan adalah metode tuang-saring basah dan sentrifugsi (Gerdermann dan Nicolson, 1963; Brundrett, et al.1994). Tahapan pekerjaannya adalah sebagai berikut: 1. Contoh tanah gambut dari rizosfer nenas ditimbang sebanyak 20 g bobot kering udara dan dicampur dengan 250 ml air dalam gelas piala, kemudian diaduk sampai homogen. Selanjutnya dibiarkan beberapa menit agar partikel dan bahan organik yang masih kasar mengendap.

129 Suspensi dari pencampuran tersebut selanjutnya disaring dalam satu set saringan yang disusun dari atas ke bawah masing-masing dengan ukuran 710 m, 425 m, dan 45 m. 3. Hasil saringan selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Penyaringan dilakukan sambil mengguyur/menyemprotkan air ke bagian saringan agar sporaspora dapat terkumpul pada suatu sudut saringan dan memudahkannya untuk dipindahkan dalam tabung sentrifus. 4. Tabung sentrifus yang sudah bersisi hasil saringan (sebanyak 25 ml) selanjutnya ditambahkan larutan sukrosa 60%, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. 5. Larutan/supernatan hasil sentrifuge selanjutnya diambil dengan pipet dan dituangkan ke dalam saringan 45 m, dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sukrosa. 6. Hasil saringan akhir ini selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri dan diamati di bawah mikroskop. Jumlah spora mikoriza dihitung dan sebagian dari spora yang masih bernas dikumpulkan dan disimpan dengan memberikan Polyvinyl-alcohol lacto-glycerol (PVLG) untuk identifikasi dan dokumentasi. 7. Identifikasi spora dilakukan dengan memperhatikan susunan, bentuk, ukuran, spora, ornamen, dan lapisan dinding spora (spore wall dan germinal wall), serta reaksi pewarnaan (larutan Melzer). Uji propagul infektif (Uji MPN). Uji propagul infektif dari mikoriza di tanah gambut asal rizosfer nenas dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Dipersiapkan terlebih dahulu bahan tanaman inang dengan mengkecambahkan sorghum pada media zeolit steril. Benih sorghum disterilkan secara kimiawi

130 109 dengan cara direndam dalam larutan bayclin selama 3 5 menit. Kemudian dibilas dengan air sampai bersih, dan siap disemai dalam media zeolit sampai muncul kecambah (dipindahkan ke dalam media MPN umur 2 3 hari). 2. Disiapkan tabung reaksi ukuran 50 ml sebanyak 50 buah yang akan dipergunakan sebagai wadah penanaman tanaman inang. 3. Disiapkan tanah gambut yang tidak steril dari rizosfer nenas sebanyak 140 g, dan disiapkan juga gambut steril sebanyak 1200 g sebagai pengencer dari gambut yang tidak steril, disaring dengan ayakan 0.5 cm. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoclave. 4. Benih sorghum dikecambahkan dalam bak perkecambahan dengan media zeolit steril. Kecambah sorghum nantinya akan dipergunakan sebagai tanaman inang dalam uji MPN. 5. Sebanyak 100 g gambut tidak steril dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing sebanyak 20 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebagai media penanaman sorghum 6. Sisa gambut steril sebanyak 40 g selanjutnya diencerkan dengan gambut steril sebanyak 120 g (1 : 3), sehingga diperoleh pengenceran 4-1. Pengenceran ini menghasilkan 160 g tanah gambut. Pengenceran dilakukan dengan pengadukan gambut dalam kantong plastik sampai media gambut diasumsikan sudah tercampur rata antara gambut tidak steril dan gambut steril. Selanjutnya diambil tanah gambut hasil pengenceren tersebut sebanyak 100 g, dan dibagi untuk 5 tabung reaksi, masing-masing sebanyak 20 g. 7. Tanah gambut dari pengenceran 4-1 tersebut selanjutnya diambil sebanyak 40 g, dan diencerkan lagi dengan tanah gambut steril sebanyak 120 g dengan

131 110 perlakuan yang sama (pengadukan). Pada tahap ini akan diperoleh pengenceran 4-2. Selanjutnya dari hasil pengenceran ini diambil sebanyak 100 g untuk dibagikan ke dalam 5 tabung reaksi, masing-masing sebanyak 20 g. 8. Pekerjaan pengenceran ini selanjutnya diteruskan sebanyak 9 kali (sampai pada tingkat pengenceran 4-9 ). 9. Setelah pengenceran dilakukan sampai tingkat 4-9, dan sebanyak 50 tabung reaksi sudah diisi tanah gambut masing-masing 20 g, selanjutnya dilakukan penanaman kecambah sorghum pada media MPN dalam tabung reaksi. Akar sorghum yang terlampu panjang dipotong dan disisakan sepanjang + 5 cm. Selanjutnya penanaman dilakukan dengan menggunakan pinset ke dalam media MPN. Tanaman dipelihara sampai berumur 3 minggu dengan melakukan penyiraman (tergantung kondisi kelembaban dalam media MPN) dengan air destilata. 10. Setelah tanaman berumur 3 minggu, dilakukan pemanenan tanaman untuk melihat infeksi mikoriza pada akar. Dilakukan perhitungan dan pengamatan terhadap: a. Jumlah spora FMA (x spora / g contoh tanah dihitung dengan metode tuang-saring basah (Gerdermann dan Nicolson, 1963; Brundrett, et al. 1994), seperti yang telah dijelaskan pada bagian pelaksanaan penelitian. b. Genus dan spesies FMA berdasarkan susunan spora, bentuk spora, ukuran, warna spora, ornamen spora, lapisan dinding (spore wall dan germinal wall), dan reaksi pewarnaan (larutan Melzer). c. Tanaman inang (sorghum) yang diujikan pada media Uji MPN seperti yang telah dijelaskan sebelumnya diamati infeksi akarnya oleh FMA. Jika terdapat infeksi diberi tanda (+) dan jika tidak terinfeksi diberi tanda (-), selanjutnya dimasukkan ke dalam Tabel 12 berikut:

132 Tabel 12. Contoh tabel hasil pengamatan infeksi akar untuk perhitungan uji MPN [ ada infeksi = (+); tidak ada infeksi = (-) ] Tingkat Pengenceran 1 2 Ulangan Total tanaman terinfeksi FMA Jumlah tanaman terinfeksi MVA 111 Penentuan propagul infektif dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: log = x. log a K = jumlah propagul infektif x = jumlah rata-rata tanaman inang yang terinfeksi (berdasarkan jumlah pot) dimana: x = Jumlah total tanaman (pot) yang terinfeksi Jumlah ulangan setiap pengenceran a K = faktor pengenceran (dalam percobaan ini a = 4 = pengenceran 4 kali lipat) = Nilai dari tabel Fisher dan Yates untuk pengenceran 4 kali lipat dan tingkat pengenceran 6 atau lebih. y = s x ; dimana : y : diperlukan untuk menentukan nilai K pada tabel Fisher dan Yates, s : adalah jumlah tingkat pengenceran (dalam percobaan ini s = 10) 2. Uji aplikasi FMA dan pupuk organik untuk perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya di tanah gambut. Persiapan dan pengolahan lahan. Lahan yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dari rumput dan vegetasi yang ada di atasnya, kemudian dilakukan pembuangan akar-akar tanaman yang masih tersisa dan mengumpulkannya pada

133 112 suatu tempat. Selanjutnya dibuat parit keliling yang berfungsi sebagai drainase, sehingga lahan terbebas dari genangan air. Setelah lahan dibersihkan, selanjutnya dibuat petakan-petakan sambil digemburkan dengan ukuran 3 m x 3 m sebanyak 144 petak percobaan (total untuk tiga ulangan) dengan jarak antar petak 0,5 m. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 30. Persiapan dan pengolahan lahan. (a) Pembersihan vegetasi; (b) pembalikan tanah/pencangkulan; (c) pembongkaran tunggul; (d) persiapan pembuatan petakan/bedeng; (e) dan (f) peletakan kode perlakuan sesuai hasil pengacakan pada petakan siap tanam.

134 113 Persiapan inokulum mikoriza. Sumber inokulum mikoriza adalah (1) mycofer dalam bentuk media zeolit dan (2) tanah gambut yang memiliki propagul infektif yang berasal dari rizosfer nenas. Tanah gambut dari rizosfer nenas dikumpulkan, dikering-anginkan, dan rambut-rambut akar-akar yang terbawa dicacah halus sebelum diaplikasikan pada tanaman lidah buaya. Persiapan pupuk organik (limbah ikan/udang). Bahan yang digunakan sebagai pupuk organik adalah limbah ikan/udang dari wilayah setempat (Pontianak). Sebanyak 25 kg limbah ikan/udang difermentasi dengan 0.5 liter fermentor dicampur dengan 50 liter air dan diinkubasi selama 7 hari dengan perlakuan pengadukan sampai terbentuk pasta. Selanjutnya setiap 1 liter pasta hasil fermentasi dilarutkan dalam liter air (tergantung keadaan tanah). Bila tanah mengandung bahan organik tinggi, 1 liter pasta dicamur dengan 20 liter air. Bila tanah sedikit kandungan bahan organiknya, setiap 1 liter pasta dicampur dengn 10 liter air. Selanjutnya, setiap 1 liter bahan jadi tersebut dicampurkan dengan 1-2 ml aktivator. Pupuk organik cair ini selanjutnya diaplikasikan melalui tanah (sekitar perakaran) dan pelepah terbawah sesuai perlakuan. Penanaman dan pemupukan dasar. Sebelum penanaman, dilakukan pemberian abu janjang kelapa sawit sebanyak 2 kg/bedengan atau 6 kg untuk setiap petaknya (setiap petak berukuran 3 m x 3 m dibagi menjadi 3 bedengan) dan pupuk dasar urea, fosfat alam, KCl dan dolomit sesuai dengan dosis perlakuan. Sebelum penanaman, inokulan mikoriza diberikan pada lubang tanam, 20 g untuk inokulan yang berasal dari mycofer dan 200 g tanah gambut dari rizosfer nenas yang mengandung propagul alami.

135 114 Bibit dipilih yang seragam berukuran cm dengan jumlah pelepah sebanyak 6-7 buah. Bibit ditanam dengan jarak 1 m x 1 m. Bibit yang mendapat perlakuan mikoriza, dalam penanamannya diusahakan agar akar bibit langsung bersentuhan dengan mikoriza untuk menjamin keberhasilan infeksi. Perlakuan pupuk organik limbah ikan/udang. Perlakuan penambahan pupuk organik dimulai bersamaan dengan pemupukan susulan (tanaman berumur 1.5 bulan), dengan dosis masing-masing 200 ml/tanaman, diberikan 2 minggu sekali selama 2 bulan pertama, selanjutnya sebulan sekali diberikan seara rutin. Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi penyiraman (tergantung situasi), penyiangan gulma, pembumbunan dan pembentukan bedeng dan pembuangan pelepah yang terserang penyakit, pembersihan parit drainase, dan seleksi/pembuangan anakan. Pemeliharaan lainnya adalah pemupukan lanjutan dengan N, P, K, dan Mg 1 bulan sekali sesuai perlakuan. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah sebagai berikut: 1. Persentase tanaman yang terserang penyakit busuk lunak E. chrysanthemi (%) 2. Jumlah pelepah, yang dihitung adalah pelepah yang sudah berkembang sempurna, yang memiliki panjang minimal 10 cm, dihitung tiap bulan mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36) 3. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal sampai ujung pelepah. Pengukuran dilakukan sebulan sekali mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36) 4. Panjang pelepah daun (cm). Panjang pelepah diukur terhadap pelepah ke -9 dan diukur sebulan sekali mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36).

136 Tebal pelepah (cm), diukur pada pangkal pelepah daun terlebar pada pelepah ke- 9 dan diukur sebulan sekali mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36). 6. Bobot basah pelepah (g) daun ke-9, diukur saat panen (minggu ke-36) 7. Bobot kering tajuk (g) ditimbang saat panen (umur 9 bulan) 8. Serapan hara tanaman. Contoh tanaman (pelepah) dikering ovenkan, kemudian ditimbang bobot keringnya dan ditentukan kadar hara N, P, K, dan Mg. Untuk menentukan nilai serapan hara dilakukan perhitungan dengan rumus: Serapan hara = kandungan hara dalam jaringan x bobot kering tanaman 9. Kadar bahan aktif pelepah, terdiri atas asam amino (metode khromatografi). 10. Perhitungan persentase akar terinfeksi oleh FMA (%), dilakukan dengan mengambil potongan-potongan akar tanaman lidah buaya dan selanjutnya dilakukan uji pewarnaan (staining) akar. Prosedur staining akar adalah sebagai berikut (Kormanik & Mc. Graw 1982): a. Dipilih akar serabut/muda dari tanaman yang akarnya akan distaining b. Akar dibersihkan dari tanah dan kotoran dengan cara dicuci di bawah air mengalir (akar ditaruh dalam saringan) c. Akar ditaruh dalam tabung reaksi dan beri larutan KOH 10% d. Bila keesokan harinya larutan KOH 10% berwarna coklat gelap, larutan KOH 10% dibuang dan diganti dengan larutan KOH 10% yang baru. e. Untuk akar yang ligninnya sukar dihilangkan (dalam beberapa hari larutan KOH 10% masih berwarna coklat belum berwarna kuning jernih), larutan KOH 10% diganti dengan larutan KOH 10% yang baru, kemudian diberi sedikit larutan H 2 O 2. dan dibiarkan sampai akar berwarna kuning jernih.

137 f. Bila akar telah berwarna kuning jernih, kemudian akar dicuci bersih sampai akar bersih dari larutan KOH. g. Akar ditaruh dalam tabung reaksi kembali dan beri larutan HCl 2 % h. Bila akar telah berwarna kuning bersih, larutan HCl 2% dibuang dan diganti dengan larutan staining dan biarkan selama satu malam. i. Larutan staining dibuang dan ganti dengan larutan distaining (sama seperti larutan staining tetapi tanpa trypan blue), dan dibiarkan selama satu malam. j. Selanjutnya akar siap untuk dibuat preparat. Persentase akar terinfeksi selanjutnya dihitung dengan rumus sebagai berikut: Jumlah infeksi pada pengamatan potongan akar % akar terinfeksi = x 100% Jumlah total pengamatan akar 12 Respon tanaman terhadap mikoriza, ditentukan berdasarkan Percent Growth Respon (PGR) dengan rumus sebagai berikut (Hetrick dan Wilson (1993): BK tanaman terinokulasi BK tanaman tidak terinokulasi PGR = x 100% BK tanaman terinokulasi 116 Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Uji F) terlebih dahulu, dan dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Gomez & Gomez 1995). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program Statistical CoStat dan Statistical Analysis System (SAS)

138 117 Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian a. Eksplorasi/ekstraksi spora mikoriza, identifikasi, dan uji propagul infektif mikoriza dari rizosfer nenas Jumlah spora. Perhitungan jumlah spora dilakukan terhadap tanah gambut asal rizosfer nenas untuk melihat kepadatan spora alami. Hasil perhitungan menunjukkan kepadatan spora yang cukup tinggi dengan rata-rata jumlah spora spora per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Hasil perhitungan secara lengkap disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Jumlah spora alami per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas Ulangan Jumlah spora per 20 g tanah gambut rizosfer nenas I II III IV V Rata-rata Sumber: Hasil pengamatan laboratorium, Kelimpahan yang besar dari jumlah spora alami tersebut sangat jelas tampak dari hasil eksplorasi spora, dimana spora dalam jumlah banyak meski belum dilakukan pemisahan dan pengumpulan dari cawan petri (Gambar 31).

139 118 Gambar 31. Spora hasil ekstraksi dengan metode tuang-saring basah dari tanah gambut asal rizosfer nenas Gambar 31 menunjukkan kelimpahan spora yang berhasil diekstrak dari tanah di sekitar rizosfer nenas. Tampak bahwa spora masih bercampur satu sama lainnya dengan berbagai bentuk dan ukuran. Selanjutnya spora diseleksi dan dikumpulkan berdasarkan bentuk dan ukuran terlebih dahulu untuk dilakukan identifikasi. Identifikasi genus spora. Identifikasi terhadap spora ditentukan untuk menentukan genus spora asal rizosfer nenas. Hasil pengamatan menunjukkan adanya tiga genus yang dominan di tanah gambut asal rizoser nenas yang diamati dalam penelitian ini. Ketiga genus tersebut adalah Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora (Gambar 32)

140 119 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) Gambar 32. Spora yang terdapat dalam inokulum alami asal tanah rizosfer nenas Pontianak Kalimantan barat : (a) Glomus sp-1; (b) Glomus sp-2; (c) Glomus sp-3; (d) Glomus sp-4; (e) Gigaspora sp-1; (f) Gigaspora sp-2; (g) Gigaspora sp-3; (h) Acaulospora sp-1 Jumlah Propagul Infektif. Perhitungan propagul infektif didasarkan kepada hasil uji infeksi pada tanaman contoh yang diuji dalam MPN-test (Gambar 33). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh propagul infektif dalam setiap 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Gambar 33. Penanaman tanaman sorghum dalam ruang kultur untuk MPN-test

141 b. Uji aplikasi FMA dan pupuk organik untuk perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya di tanah gambut. Persentase tanaman terserang penyakit busuk lunak. Pengamatan terhadap tanaman lidah buaya yang terinfeksi penyakit busuk lunak oleh bakteri Erwinia chrysanthemi dilakukan terhadap kelompok tanaman dalam petak utama (perlakuan mikoriza) untuk setiap ulangan. Hasil pengamatan tanaman yang terserang penyakit busuk lunak disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak oleh patogen tanah Erwinia chrysanthemi Jumlah terserang penyakit busuk lunak (unit tanaman) MST Mikoriza mycofer Mikoriza asal rizosfer Tanpa mikoriza (m 0 ) (m 1 ) nenas (m 2 ) I II III I II III I II III Jumlah % % Total m 0 = m 1 = 8.10 m 2 = 7.64 Keterangan: MST = minggu setelah tanam mo = tanpa mikoriza m1 = mikoriza mycofer m2 = mikoriza asal rizosfer nenas 120 Tabel 14 dan Gambar 34 menunjukkan bahwa pada petak tanaman tanpa perlakuan mikoriza (m 0 ) lebih banyak mendapat serangan penyakit busuk lunak yang berasal dari patogen tanah oleh bakteri Erwinia chrysanthemi, yaitu sebanyak

142 Infeksi Erwinia chrysanthemi (%) 13.43%, sedangkan pada petak tanaman yang diinokulasi oleh mikoriza mycofer (m 1 ) terjadi infeksi busuk lunak sebesar 8.10 %, dan tidak berbeda nyata dengan tanaman pada petak yang diinokulasi oleh mikoriza asal rizosfer nenas (m 2 ) dengan jumlah infeksi sebesar 7.64%. Serangan penyakit busuk lunak pada m 0 berbeda nyata dengan m 1 dan m 2 (Tabel 15). Tabel. 15. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap serangan penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya. Jumlah tanaman terinfeksi No Perlakuan penyakit busuk lunak (unit tan.) m 0 m 1 m a b b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata m0 m1 m2 Perlakuan Mikoriza m0 m1 m2 Keterangan: m0 = tanpa mikoriza m1 = mikoriza mycofer m2 = mikoriza asal rizosfer nenas Gambar 34. Persentase tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak Erwinia chrysanthemi. Tanaman yang terserang busuk lunak ditandai dengan gejala pelepah bagian bawah menjadi coklat, menggelembung, berair, dan selanjutnya titik tumbuh menjadi

143 patah. Penampilan tanaman yang terserang penyakit busuk lunak disajikan pada Gambar Gejala muncul dari pangkal pelepah bawah, coklat, menggelembung dan berair Bagian pucuk/titik tumbuh patah Gambar 35. Penampilan tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak (Erwinia chrysanthemi) Pertumbuhan Tanaman. Hasil uji kontras ortogonal terhadap peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik disajikan pada Tabel Peubah pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, panjang pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering pelepah. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik terhadap seluruh peubah yang diamati. Tabel menunjukan bahwa pemberian mikoriza terhadap tanaman lidah buaya sudah memberikan pengaruh nyata sejak 8 minggu setelah tanam (MST) sampai akhir pengamatan (36 MST). Hal ini tampak dari perbedaan nyata antar nilai tengah dari peubah pertumbuhan berdasarkan hasil uji kontras ortogonal.

144 Tabe 16. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o 4 o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn 8.58 vs 9.25 ** 9.09 vs 9.40 tn 8.51 vs 9.19 ** 8.98 vs 9.30 tn 8.98 vs 9.15 tn 8.98 vs 9.45 ** 9.15 vs 9.45 tn 8.90 vs 8.93 tn 8.90 vs 9.06 tn 8.90 vs 9.20 tn 8.90 vs 9.06 tn 8.91 vs 9.13 tn 8.98 vs 9.06 tn 8.93 vs 9.06 tn 8.93 vs 9.20 tn 8.93 vs 9.13 tn 9.06 vs 9.20 tn 3.43 vs 3.91 ** 3.86 vs 3.96 tn 2.93 vs 4.02 ** 3.93 vs 4.07 tn 3.93 vs 4.01 tn 3.93 vs 4.13 tn 4.01 vs 4.13 tn 3.59 vs 3.72 tn 3.59 vs 3.82 tn 3.59 vs 3.86 tn 3.59 vs 3.80 tn 3.66 vs 3.84 tn 3.71 vs 3.79 tn 3.72 vs 3.82 tn 3.72 vs 3.86 tn 3.72 vs 3.84 tn 3.82 vs 3.86 tn vs ** vs tn vs ** vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs ** vs tn vs * vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata

145 124 Tabe 17. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-12 Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o vs ** vs tn vs * vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn vs ** 9.69 vs ** vs tn 9.58 vs ** vs tn vs tn vs tn vs tn 9.65 vs 9.83 tn 9.65 vs ** 3.97 vs 4.60 ** 4.51 vs 4.69 tn 3.49 vs 4.70 ** 4.53 vs 4.78 tn 4.53 vs 4.70 tn 4.53 vs 4.85 * 4.70 vs 4.85 tn 4.08 vs 4.38 tn 4.08 vs 4.51 ** vs ** 1.23 vs 1.26 tn vs ** vs ** 1.22 vs 1.26 * vs ** vs ** vs * vs ** vs * vs * vs tn vs tn vs tn vs * o 1 vs o vs ** 9.65 vs ** 4.08 vs 4.61 ** 1.26 vs 1.27 tn vs ** o 1 vs o 2 o 3 o vs ** 9.65 vs ** 4.08 vs 4.50 ** 1.18 vs 1.22 * vs * o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs * vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn 9.74 vs ** 9.93 vs tn 9.83 vs * 9.83 vs ** 9.83 vs ** vs tn 4.23 vs 4.56 ** 4.29 vs 4.50 tn 4.38 vs 4.51 tn 4.38 vs 4.61 tn 4.38 vs 4.56 tn 4.51 vs 4.61 tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs tn vs tn vs tn

146 1.21 vs 1.24 tn 1.22 vs 1.24 tn 1.22 vs 1.26 * 1.22 vs 1.25 tn 1.24 vs 1.26 tn Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 18 Uji * / ** kontras = berbeda ortogonal nyata/sangat terhadap nyata peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-16 Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) 125

147 m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o 4 o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs tn vs ** vs * vs tn vs * vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs ** vs * vs tn vs ** vs tn vs ** vs * vs tn vs * vs tn s tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs * vs ** vs ** vs * 4.91 vs 5.67 ** 5.53 vs 5.82 tn 4.28 vs 5.80 ** 5.52 vs 5.94 ** 5.52 vs 5.88 * 5.52 vs 6.01 ** 5.88 vs 6.01 tn 4.90 vs 5.09 tn 4.90 vs 5.58 ** 4.90 vs 6.11 ** 4.90 vs 5.60 ** 4.99 vs 5.85 ** 5.24 vs 5.60 ** 5.09 vs 5.58 ** 5.09 vs 6.11 ** 5.09 vs 5.85 ** 5.58 vs 6.11 ** 1.27 vs 1.36 ** 1.34 vs 1.38 tn 1.25 vs 1.36 ** 1.32 vs 1.38 ** 1.32 vs 1.37 * 1.32 vs 1.38 ** 1.37 vs 1.38 tn 1.28 vs 1.31 tn 1.28 vs 1.35 ** 1.28 vs 1.39 ** 1.28 vs 1.35 ** 1.29 vs 1.37 ** 1.31 vs 1.35 tn 1.31 vs 1.35 tn 1.31 vs 1.39 ** 1.31 vs 1.37 ** 1.35 vs 1.39 tn vs ** vs tn 36.8 vs ** vs * vs tn vs tn vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs ** vs ** vs * Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata Tabe 19 Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-20 Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) 126

148 m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o 4 o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs tn vs ** vs ** vs * vs * vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs tn vs ** vs * vs * vs tn vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs ** 5.70 vs 6.51 ** 6.33 vs 6.68 * 5.03 vs 6.64 ** 6.33 vs 6.79 ** 6.33 vs 6.71 * 6.33 vs 6.87 ** 6.71 vs 6.87 tn 5.69 vs 5.94 tn 5.69 vs 6.42 ** 5.69 vs 6.89 ** 5.69 vs 6.42 ** 5.82 vs 6.66 ** 6.06 vs 6.42 * 5.94 vs 6.42 ** 5.94 vs 6.89 ** 5.94 vs 6.66 ** 6.42 vs 6.89 ** 1.40 vs 1.54 ** 1.51 vs 1.56 tn 1.40 vs 1.52 ** 1.48 vs 1.54 ** 1.48 vs 1.54 tn 1.48 vs 1.55 * 1.54 vs 1.55 tn 1.40 vs 1.42 tn 1.40 vs 1.52 ** 1.40 vs 1.62 ** 1.40 vs 1.52 ** 1.41 vs 1.57 ** 1.46 vs 1.52 * 1.42 vs 1.52 ** 1.42 vs 1.62 ** 1.42 vs 1.57 ** 1.52 vs 1.62 ** vs ** vs tn vs ** vs ** s * vs * vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs * vs ** vs ** vs ** Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata Tabe 20. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-24 Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) 127

149 m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o 4 o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs ** 6.80 vs 7.65 ** 7.48 vs 7.81 tn 6.04 vs 7.81 ** 7.48 vs 7.97 ** 7.48 vs 7.93 * 7.48 vs 8.01 ** 7.93 vs 8.01 tn 6.77 vs 7.10 tn 6.77 vs 7.56 ** 6.77 vs 8.03 ** 6.77 vs 7.56 ** 6.94 vs 7.80 ** 7.17 vs 7.56 * 7.10 vs 7.56 * 7.10 vs 8.03 ** 7.10 vs 7.80 ** 7.56 vs 8.03 * 1.53 vs 1.66 ** 1.63 vs 1.69 tn 1.54 vs 1.65 ** 1.60 vs 1.67 * 1.60 vs 1.68 * 1.60 vs 1.66 tn 1.68 vs 1.66 tn 1.53 vs 1.57 tn 1.53 vs 1.64 ** 1.53 vs 1.75 ** 1.53 vs 1.65 ** 1.55 vs 1.69 ** 1.58 vs 1.66 * 1.57 vs 1.64 * 1.57 vs 1.75 ** 1.57 vs 1.69 * 1.64 vs 1.75 ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs * vs ** vs ** vs * 128 Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. - a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 21. * Uji / ** = kontras berbeda nyata/sangat ortogonal nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-28 Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm)

150 m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o 4 o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs * vs tn vs tn vs * vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs * 7.79 vs 8.71 ** 8.50 vs 8.92 * 7.07 vs 8.84 ** 8.50 vs 9.03 ** 8.48 vs 9.05 * 8.48 vs 9.00 * 9.05 vs 9.00 tn 7.79 vs 8.14 tn 7.79 vs 8.60 ** 7.79 vs 9.08 ** 7.79 vs 8.60 ** 7.97 vs 8.84 ** 8.19 vs 8.61 ** 8.14 vs 8.60 * 8.14 vs 9.08 ** 8.14 vs 8.84 ** 1.65 vs 1.78 ** 1.75 vs 1.82 * 1.65 vs 1.77 ** 1.72 vs 1.79 * 1.72 vs 1.81 * 1.72 vs 1.78 tn 1.81 vs 1.78 tn 1.65 vs 1.69 tn 1.65 vs 1.76 ** 1.65 vs 1.87 ** 1.65 vs 1.77 ** 1.67 vs 1.81 ** 1.70 vs 1.78 * 1.69 vs 1.76 tn 1.69 vs 1.87 ** 1.69 vs 1.81 ** vs ** vs * vs ** vs ** vs * vs * vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** 8.60 vs 9.08 * 1.76 vs 1.87 ** vs ** 129 a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 22. Uji * / ** kontras = berbeda ortogonal nyata/sangat terhadap nyata peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-32 Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm)

151 m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o 4 o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs * vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs * vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs * vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs * vs ** vs ** vs tn 8.65 vs 9.60 ** 9.40 vs 9.80 * 7.90 vs 9.74 ** 9.29 vs 9.97 ** 9.29 vs ** 9.29 vs 9.93 ** vs 9.93 tn 8.72 vs 9.05 tn 8.72 vs 9.46 ** 8.72 vs 9.88 ** 8.72 vs 9.46 ** 8.89 vs 9.67 ** 9.09 vs 9.47 * 9.05 vs 9.46 tn 9.05 vs 9.88 ** 9.05 vs 9.67 ** 1.77 vs 1.91 ** 1.87 vs 1.96 * 1.77 vs 1.89 ** 1.84 vs 1.92 * 1.84 vs 1.94 * 1.84 vs 1.91 tn 1.94 vs 1.91 tn 1.78 vs 1.80 tn 1.78 vs 1.88 * 1.78 vs 2.00 ** 1.78 vs 1.90 ** 1.79 vs 1.94 ** 1.83 vs 1.90 * 1.80 vs 1.88 * 1.80 vs 2.00 ** 1.80 vs 1.94 ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs * vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs * vs ** vs ** 9.46 vs 9.88 tn 1.88 vs 2.00 tn vs ** 130 a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata Tabe 23. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-36 Kontras Tinggi tanaman (cm) Jumlah pelepah (helai) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah Panjang pelepah

152 m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a 3 a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o 4 o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs * vs ** vs tn vs * vs tn vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs tn vs * vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs vs tn 9.47 vs ** vs * 8.69 vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn 9.54 vs 9.89 tn 9.54 vs ** 9.54 vs ** 9.54 vs ** 9.71 vs ** 9.91 vs tn 9.89 vs tn 9.89 vs ** 9.89 vs ** vs tn 1.89 vs 2.04 ** 1.10 vs 2.08 * 1.90 vs 2.02 ** 1.96 vs 2.04 ** 1.96 vs 2.06 ** 1.96 vs 2.03 tn 2.06 vs 2.03 tn 1.92 vs 1.91 tn 1.92 vs 2.00 * 1.92 vs 2.12 ** 1.92 vs 2.01 ** 1.91 vs 2.06 ** 1.96 vs 2.02 tn 1.91 vs 2.00 * 1.91 vs 2.12 ** 1.91 vs 2.06 ** 2.00 vs 2.12 ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs * vs tn vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan. ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata

153 Tabe 24. Uji kontras ortogonal terhadap peubah bobot basah, bobot kering, dan serapan hara tajuk (N, P, K, Mg) tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik. Kontras Bobot basah pelepah (g) Bobot kering pelepah (g) Serapan hara N (g/tan) Serapan hara P (g/tan) Serapan hara K (g/tan) 131 Serapan hara Mg (g/tan) m 0 vs m 1 m 2 m 1 vs m 2 a 0 vs a 1 a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 3 a 1 vs a 2 a 1 vs a vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs tn vs ** vs * vs tn vs tn vs tn vs tn vs * vs tn vs ** vs tn vs ** vs tn a 2 vs a 3 o 1 vs o 2 o 1 vs o 3 o 1 vs o 4 o 1 vs o 2 o 3 o vs * vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs 64.00** vs ** vs ** vs tn vs tn vs ** vs ** vs ** vs tn vs * vs ** vs ** vs ** vs tn vs tn vs * vs ** vs ** vs ** vs tn vs * vs ** vs ** o 1 o 2 vs o 3 o 4 o 1 o 3 vs o 2 o 4 o 2 vs o 3 o 2 vs o 4 o 2 vs o 3 o 4 o 3 vs o vs ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs * vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** vs ** vs ** vs tn vs ** vs ** vs ** Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a 1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a 2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a 3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata

154 132 Tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza (mycofer dan mikoriza asal rizosfer nenas) memberikan pertumbuhan tanaman lidah buaya yang lebih baik dan berbeda nyata dengan tanaman tanpa inokulasi mikoriza, namun antara mycofer dengan mikoriza asal rizosfer nenas tidak berbeda nyata responnya terhadap peubah yang diamati sampai 24 MST, kecuali untuk peubah panjang pelepah pada 12 MST (Tabel 17) dan lebar pelepah pada 20 MST (Tabel 19). Perlakuan pupuk anorganik juga memberikan pengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan sejak 8 MST kecuali untuk peubah tinggi tanaman. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antara tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik (a, 1, a 2, dan a 3 ) dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a 0 ) untuk peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah. Perlakuan pupuk organik pengaruhnya baru tampak nyata setelah 12 MST. Pada 12 MST ini, antara pupuk organik ikan dan udang tanpa fermentasi (o 1 vs o 2 ) tidak memberikan respon yang nyata terhadap semua peubah pertumbuhan kecuali tebal pelepah. Perlakuan pupuk organik ikan non fermentasi dengan ikan fermentasi (o 1 vs o 3 ) memberikan perbedaan yang nyata untuk semua peubah pertumbuhan, dimana pupuk organik ikan fermentasi memberikan hasil rerata yang lebih tinggi dibanding ikan tanpa fermentasi. Selanjutnya, tidak terjadi perbedaan nyata antara udang tanpa fermentasi dengan udang fermentasi (o 2 vs o 4 ) untuk semua peubah pertumbuhan kecuali tebal pelepah dan jumlah pelepah. Secara umum, pupuk organik yang difermentasi memberikan hasil rerata yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi, yang ditunjukkan dengan sangat nyatanya nilai rerata antara o 1 o 2 vs o 3 o 4 untuk semua peubah pertumbuhan. Namun demikian, jenis pupuk organik yang berasal dari ikan belum memberikan perbedaan nyata dengan pupuk organik yang berasal dari udang pada 12 MST ini,

155 Tinggi tanaman (cm) 133 baik yang difermentasi maupun tidak, dimana o 1 o 3 vs o 2 o 4 tidak nyata. Demikian juga perlakuan pupuk organik ikan fermentasi dengan udang fermentasi (o 3 vs o 4 ) belum memberikan perbedaan yang nyata terhadap semua peubah pertumbuhan pada 12 MST. Perbedaan nyata antara o 3 vs o 4 baru tampak pada 20 MST. Pada 20 MST, sebagian besar perbandingan kontras ortogonal menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 19) Grafik yang menggambarkan perkembangan peubah pertumbuhan akibat pengaruh faktor tunggal mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik disajikan pada Gambar Umur tanaman (MST) m0 m1 m2 Gambar 36. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Gambar 36 menunjukkan bahwa tinggi tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza memiliki rata-rata yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa mikoriza. Pada 8 MST, respon tinggi tanaman terhadap perlakuan yang diberikan hanya nyata untuk perlakuan mikoriza, sedangkan perlakuan pupuk anorganik maupun organik

156 Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman (cm) 134 belum memberikan perbedaan yang nyata antar taraf perlakuannya. Namun demikian, perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas (m 2 ) dengan mikoriza dari mycofer (m 1 ) belum menunjukkan perbedaan nyata untuk tinggi tanaman. Perbedaan yang nyata untuk tinggi tanaman antara taraf m 1 vs m 2 baru mulai tampak pada 28 MST (Tabel 21) sampai akhir pengamatan 36 MST (Tabel 23). Perlakuan pupuk anorganik taraf a 2 vs a 3 tidak berbeda nyata pada 20 MST, demikian juga pupuk organik taraf o 1 vs o 2 tidak berbeda nyata Umur tanaman (MST) Gambar 37. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST 28 a0 a1 a2 a Umur tanaman (MST) 28 o1 o2 o3 o4 Gambar 38. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST

157 Jumlah pelepah(helai) Jumlah pelepah (helai) m0 m1 m Umur tanaman (MST) Gambar 39. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST Umur tanaman (MST) a0 a1 a2 a3 Gambar 40. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST

158 Lebar pelepah (cm) Jumlah pelepah (helai) Umur tanaman (MST) o1 o2 o3 o4 Gambar 41. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST m0 m1 m Umur tanaman (MST) Gambar 42. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST

159 Lebar pelepah (helai) Lebar pelepah(cm) a0 a1 a2 a Umur tanaman (MST) Gambar 43. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST o1 o2 o3 o Umur tanaman (MST) Gambar 44. Pengaruh perlakuan pupuk organik Respon lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST

160 Tebal pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) m0 m1 m Umur tanaman (MST) Gambar 45. Pegaruh perlakuan mikoriza terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST a0 a1 a2 a Umur tanaman (MST) Gambar 46. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST

161 Panjang pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) o1 o2 o3 o Umur tanaman (MST) Gambar 47. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST m0 m1 m Umur tanaman (MST) Gambar 48. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST

162 Panjang pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) a0 a1 a2 a Umur tanaman (MST) Gambar 49. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST o1 o2 o3 o Umur tanaman (MST) Gambar 50. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8-36 MST

163 141 Gambar menunjukkan bahwa tanaman yang bermikoriza memberikan hasil rerata yang lebih tinggi untuk semua peubah dibanding tanaman tanpa mikoriza dalam setiap waktu pengamatan. Sejalan dengan pertambahan umur tanaman, terjadi perbedaan nyata antara perlakuan mikoriza m 1 dan m 2, yaitu mulai minggu ke 28 dengan nilai rerata tertinggi untuk perlakuan m 2. Demikian juga dengan perlakuan pupuk anorganik, taraf a 2 (N:P:K:Mg = 10:8:15:5 g/tan.) tampak memberikan rerata nilai peubah yang lebih tinggi dalam setiap waktu pengamatan, namun tidak berbeda nyata dengan taraf a 3 (N:P:K:Mg = 20:16:30:10 g/tan) untuk semua peubah kecuali bobot basah pelepah di akhir pengamatan (36 MST). Perlakuan pupuk anorganik taraf a2 mulai berbeda nyata terhadap taraf a 1 (N:P:K:Mg = 5:4:7.5:2.5 g/tan.) pada 12 MST, yaitu terhadap peubah tebal pelepah dan panjang pelepah. Selanjutnya taraf a 2 berbeda nyata sampai sangat nyata terhadap taraf a1 untuk seluruh peubah pertumbuhan mulai 24 MST. Secara umum, kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pemberian pupuk anorganik (a 1,a 2,a 3 ) memberikan hasil rerata yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a 0 ) mulai awal pengamatan di 8 MST untuk semua peubah pertumbuhan (Tabel 16). Tanaman lidah buaya di tanah gambut selanjutnya memberikan respon pertumbuhan yang baik pada kelompok pupuk organik yang difermentasi dan berbeda nyata dibanding kelompok pupuk organik tanpa fermentasi (o 3 o 4 vs o 1 o 2 ) untuk seluruh peubah pertumbuhan. Perbedaan nyata ini mulai tampak pada 12 MST, sedangkan kelompok pupuk organik dari jenis ikan berbeda nyata dengan kelompok pupuk organik dari jenis udang (o 1 o 3 vs o 2 o 4 ) mulai pada 20 MST untuk seluruh peubah pertumbuhan kecuali

164 142 panjang pelepah, dengan nilai rerata tertinggi pada kelompok pupuk organik jenis udang (Tabel 19). Pada kelompok jenis pupuk organik yang sama, pupuk ikan tanpa fermentasi berbeda nyata dengan pupuk ikan fermentasi (o 1 vs o 3 ) mulai pada 12 MST untuk semua peubah pertumbuhan, dengan nilai rerata tertinggi pada jenis pupuk ikan fermentasi (Tabel 17). Pupuk udang tanpa fermentasi berbeda nyata dengan pupuk udang fermentasi (o 2 vs o 4 ) mulai pada 16 MST untuk semua peubah pertumbuhan (Tabel 18). Gambar 51 menunjukkan respon tanaman lidah buaya di tanah gambut yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik Gambar 51. Respon pertumbuhan tanaman lidah buaya umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik di tanah gambut.

165 Bobot basah pelepah (g/pelepah) Bobot basah pelepah (g/pelepah) 143 Pertumbuhan tanaman lidah buaya yang terbaik di akhir pengamatan adalah tanaman yang mendapatkan perlakuan mikoriza yang berasal dari rizosfer nenas (m 2 ), pupuk anorganik dengan komposisi N:P:K:Mg sebesar 10:8:15:5 g/tanaman (a 2 ), dan pupuk organik yang berasal dari limbah udang yang difermentasi (o 4 ). Tidak terdapat pengaruh interaksi antara mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik terhadap seluruh peubah pertumbuhan yang diamati. Kombinasi diantara ketiga faktor tersebut (pupuk anorganik x mikoriza; pupuk anorganik x pupuk organik; mikoriza x pupuk organik) disajikan pada Gambar m0 m1 m2 a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) o1 o2 o3 o4 (a) (b) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o3 = pupuk ikan fermentasi a 0 = tanpa pupuk anorganik; a 2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a 1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a 3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 52. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap bobot basah pelepah Gambar 52 menunjukkan bahwa pada semua taraf pupuk anorganik, tanaman bermikoriza memberikan hasil rerata bobot basah yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa inokulasi mikoriza dengan rerata tertinggi pada tanaman yang

166 Bobot baah pelepah (g/pelepah) Bobot basah pelepah (g/pelepah) Bobot basah pelepah (g/pelepah) 144 mendapat mikoriza asal rizosfer nenas (a), dan tanaman yang mendapat pupuk organik udang fermentasi mengasilkan rerata bobot basah lebih tinggi, diikuti pupuk organik ikan fermentasi, pupuk udang tanpa fermentasi, dan pupuk ikan tanpa fermentasi (b) a0 a1 a2 a3 m0o1 m0o2 m0o3 m0o a0 a1 a2 a3 m1o1 m1o2 m1o3 m1o4 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) Taraf pupuk anorganik (g/tan.) (a) (b) a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) (c) m2o1 m2o2 m2o3 m2o4 Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a 0 = tanpa pupuk anorganik; a 1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a 2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a 3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 53. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya

167 Bobot basah pelepah (g/pelepah) Bobot basah pelepah (g/pelepah) o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik a0 a1 a2 a o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik mo m1 m2 (a) (b) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 54. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya Gambar 53 menunjukkan bahwa pada berbagai taraf pupuk anorganik, perlakuan pupuk organik udang fermentasi (o 4 ) selalu memberikan hasil bobot basah pelepah yang tertinggi, baik pada kombinasinya dengan m 0, m 1, maupun m 2, selanjutnya diikuti oleh perlakuan pupuk organik ikan fermentasi (o 3 ), udang tanpa fermentasi (o 2 ), ikan tanpa fermentasi (o 1 ). Sementara itu, pupuk anorganik taraf a 2 (N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan) selalu memberikan nilai bobot basah pelepah terbaik pada setiap jenis pupuk organik (Gambar 54 a) dan mikoriza asal rizosfer nenas (m 2 ) juga selalu memberikan nilai bobot basah tertinggi pada setiap jenis pupuk organik yang diberikan (Gambar 54 b).

168 Lebar pelepah (cm) Lebar pelepah (cm) Lebar pelepah (cm) Lebar pelepah (cm) lebar pelepah (g) a0 a1 a2 a3 taraf pupuk anorganik (g/tan.) (a) m0 m1 m o1 o2 o3 o4 a0 a1 a2 a3 taraf pupuk anorganik (g/tan.) Gambar 55. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya (b) m0o1 m0o2 m0o3 m0o4 a0 a1 a2 a3 taraf pupuk anorganik (g/tan.) a0 a1 a2 a3 m1o1 m1o2 m1o3 m1o4 Taraf pupuk anorganik (g/tan) (a) (b) a0 a1 a2 a3 m2o1 m2o2 m2o3 m2o4 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan (c) Gambar 56. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap lebar pelepah lidah buaya

169 Tebal pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Lebar pelepah (cm) lebar pelepah (cm) o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik a0 a1 a2 a o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik mo m1 m2 (a) (b) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 57. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya a0 a1 a2 a3 m0 m1 m2 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) (a) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan a0 a1 a2 a3 o1 o2 o3 o4 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) (b) Gambar 58. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya

170 Tebal elepah (cm) Tebal pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik m0o1 m0o2 m0o3 m0o a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) m1o1 m1o2 m1o3 m1o4 (a) (b) m2o1 m2o2 m2o3 m2o4 0 a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik (g/tan) (c) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a 0 = tanpa pupuk anorganik; a 1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a 2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a 3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 59. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya

171 Panjang pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik a0 a1 a2 a o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik mo m1 m2 (a) (b) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 60. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya m0 m1 m2 a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) a0 a1 a2 a3 o1 o2 o3 o4 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) (a) (b) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 61. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya

172 Panjang pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) m0o1 m0o2 m0o3 m0o4 a0 a1 a2 a a0 a1 a2 a3 m1o1 m1o2 m1o3 m1o4 Taraf pupuk anorganik (g/tan.) (a) Taraf pupuk anorganik (g/tan.) (b) a0 a1 a2 a3 m2o1 m2o2 m2o3 m2o4 taraf pupuk anorganik (g/tan.) (c) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan Gambar 62. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya a0 a1 30 a2 20 a o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik o1 o2 o3 o4 Jenis pupuk organik (a) (b) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan m0 m1 m2 Gambar 63. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya

173 151 Gambar menunjukkan respon peubah lebar, tebal, dan panjang pelepah yang memiliki kecenderungan yang sama dengan bobot basah pelepah, dimana perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas dan juga pupuk organik udang fermentasi memberikan hasil terbaik pada setiap taraf perlakuan pupuk anorganik. Demikian juga dengan pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0, m1, dan m2 terhadap lebar, tebal, dan panjang pelepah, semuanya memberikan nilai tertinggi untuk pupuk organik udang fermentasi, diikuti ikan fermentasi, dang tanpa fermentasi, dan ikan tanpa fermentasi. Serapan hara. Serapan hara N, P, dan Mg oleh tanaman lebih baik pada kelompok tanaman bermikoriza dan berbeda nyata dengan tanaman tanpa inokulasi mikoriza (m 1 m 2 vs m 0 = nyata), sedangkan serapan hara K lebih tinggi pada tanaman tanpa inokulasi mikoriza (m 0 ) dan berbeda nyata dengan kelompok tanaman bermikoriza (m 0 vs m 1 m 2, Tabel 20). Selanjutnya serapan N dan P lebih tinggi untuk tanaman yang diinokulasi mikoriza yang berasal dari rizosfer nenas (m 2 ) dan berbeda nyata dengan tanaman yang diinokulasi mikoriza mycofer (m 1 ). Namun hal ini terjadi sebaliknya untuk serapan hara K, dimana tanaman yang diinokulasi oleh mikoriza mycofer (m 1 ) lebih tinggi dibanding tanaman yang diinokulasi mikoriza asal rizosfer nenas (m 2 ), sedangkan antara m 1 dan m 2 tidak berbeda nyata untuk serapan hara Mg. Kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik (a 1, a 2, a 3 ) menghasilkan nilai serapan hara N, P, dan Mg yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a 0 ). Tidak terdapat perbedaan nyata antara tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik dengan kelompok tanaman yang mendapatkan pupuk anorganik (a 0 vs a 1 a 2 a 3 = tidak nyata)

174 152 untuk serapan hara K. Serapan hara N, P, dan Mg tertinggi pada taraf pupuk anorganik a 2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman), yaitu masing-masing 86.76, 29.27, dan g/tanaman dan berbeda nyata dengan taraf a 0 dan a 2, namun tidak berbeda nyata dengan a 3. Tanaman lidah buaya memiliki serapan hara N, P, K, dan Mg yang lebih tinggi pada kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk organik yang difermentasi dan berbeda sangat nyata dengan kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk organik tanpa fermentasi (o 3 o 4 vs o 1 o 2 = berbeda sangat nyata). Sumber pupuk organik juga berpengaruh terhadap serapan hara N, P, K, Mg, dimana pupuk organik dari jenis ikan memberikan serapan hara N, P, K, dan Mg yang lebih rendah dan berbeda nyata dibanding pupuk organik dari jenis udang (o 4 vs o 3 = berbeda nyata) Selanjutnya meski dari sumber pupuk organik yang sama, pupuk organik ikan tanpa fermentasi berbeda nyata dengan pupuk organik ikan fermentasi, dengan serapan hara N, P, K, dan Mg lebih tinggi pada pupuk organik ikan fermentasi (o 1 vs o 3 = berbeda nyata). Pupuk organik udang tanpa fermentasi juga berbeda nyata dengan pupuk udang fermentasi, dengan serapan hara lebih tinggi pada tanaman lidah buaya yang mendapat pupuk udang fermentasi (o 2 vs o 4 = berbeda nyata). Sedangkan antara pupuk ikan fermentasi dengan udang fermentasi berbeda nyata dengan serapan hara N, P, K, dan Mg tertinggi untuk pupuk udang fermentasi (o 3 vs o 4 = berbeda nyata). Korelasi antar peubah. Hasil perhitungan korelasi menunjukkan bahwa yang paling erat hubungan antar peubah adalah bobot basah pelepah dengan lebar pelepah dengan nilai koefisien korelasi sebesar r = Selanjutnya serapan hara N paling

175 153 berkorelasi dengan bobot basah pelepah dibanding dengan peubah lainnya dengan nilai koefisien korelasi sebesar Sedangkan serapan hara P dan Mg paling erat hubungannya dengan peubah bobot kering tajuk, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar r = 0.83 dan r = Tidak ada keterkaitan yang nyata antara serapan hara K dengan seluruh peubah yang diamati dengan nilai koefisien korelasi yang sangat rendah. Kualitas tanaman. Kualitas tanaman lidah buaya dalam penelitian ini diukur dengan karakteristik kelas mutu. Kelas mutu pelepah lidah buaya untuk kepentingan komersil diukur berdasarkan bobot basah pelepah dan penampilan pelepah, apakah pelepah cacat atau terserang hama penyakit. Tanaman lidah buaya yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki beberapa unsur kualitas yang memenuhi standar kelas mutu. Hasil terbaik diperoleh dari perlakuan m 2 a 2 o 4, yaitu tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas, pupuk anorganik taraf a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman), dan pupuk organik limbah udang fermentasi. Nilai rerata beberapa peubah dari perlakuan m 2 a 2 o 4 disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Nilai rerata beberapa karakter morfologi pelepah tanaman lidah buaya hasil perlakuan m 2 a 2 o 4. Ulangan Karakter morfologi I II III Rerata Bobot basah pelepah (g/pelepah) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) Sumber : Hasil pengolahan data penelitian 2007

176 154 Bobot basah pelepah hasil perlakuan m2a2o4 tersebut masuk dalam kriteria kelas mutu A, dimana menurut Bank BNI (2003) kelas mutu pelepah lidah buaya untuk tujuan komersil harus memenuhi syarat bobot basah pelepah minimal 800 g dan pelepah mulus tanpa cacat atau terserang hama penyakit. Sebagai pembanding, berikut ditampilkan karakter morfologi pelepah lidah buaya hasil penelitian versus standar rata-rata yang dikeluarkan oleh Aloe vera Center (AVC) (Tabel 26.). Tabel 26. Kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center (sebagai pembanding) berdasarkan karakter morfologi pelepah Kriteria Bobot basah pelepah (g/pelepah) Lebar pelepah (cm) Tebal pelepah (cm) Panjang pelepah (cm) Kondisi fisik Hasil budidaya standar AVC (umur panen 12 bulan) 800 (kelas mutu A) Pelepah mulus tanpa cacat dan tanpa serangan hama penyakit. Hasil Penelitian (umur panen 9 bulan) Pelepah mulus tanpa cacat dan tanpa serangan hama penyakit Sumber: Aloe Vera Center dan data hasil penelitian Rata-rata Peningkatan/ Penurunan dari standar (%) (dari standar minimal) Tabel 26 menunjukkan bahwa meski tanaman hasil penelitian berumur lebih muda dibanding hasil budidaya standar dari Aloe vera Center, ternyata mampu meningkatkan lebar pelepah dan panjang pelepah masing-masing sebesar % dan %. Tebal pelepah meski secara rata-rata terjadi penurunan sebesar %, namun hasil penelitian mampu menghasilkan ketebalan pelepah rata-rata sebesar

177 cm, sehingga masih masuk dalam kisaran standar (2-3 cm), bahkan lebih tinggi dari standar minimal (2 cm). Selanjutnya untuk melihat kualitas pelepah lidah buaya berdasarkan bahan aktif dalam pelepah, dilakukan analisis kandungan protein total dan asam-asam amino. Analisis asam amino dilakukan terhadap tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas (m 2 ), tanpa pupuk anorganik (a 0 ), pupuk organik limbah ikan fermentasi (o 3 ), dan pupuk organik limbah udang fermentasi (o 4 ). Hasil analisis asam amino serta perbandingannya dengan asam amino dari tanaman lidah buaya hasil budidaya standar dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan kandungan asam amino Jenis asam amino Kandungan asam amino (ppm) hasil penelitian Kandungan asam amino (ppm) AVC (sebagai pembanding) Peningkatan dari AVC (%) m 2 a 0 o 3 m 2 a 0 o 4 m 2 a 0 o 3 m 2 a 0 o 4 Asam aspartat Asam glutamat Serine Histidine Glycine Threonine Arginine Alanine Tyrosine Methionine Tt tt 1.83 Tt tt Valine Phenylalaninie I-leuchine Leuchine Lysine tt Tt tt Keterangan Tidak terukur Tidak terukur Sumber : Data hasil penelitian 2007 dan data dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontinak (Aloe vera Center) 2004.

178 Kadar (ppm) 156 Tabel 27 menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alami mikoriza asal rizosfer nenas dengan pemanfaatan limbah ikan dan udang fermentasi mampu meningkatkan kadar asam amino yang cukup tinggi. Peningkatan terjadi hampir untuk seluruh jenis asam amino apabila merujuk kepada hasil asam amino pelepah lidah buaya yang dihasilkan oleh Aloe vera Center (sebagai pembanding), kecuali pada histidine pada perlakuan m 2 a 0 o 3. Peningkatan tertinggi terjadi pada asam amino alanine yaitu sebesar % dibanding budidaya standar dari Aloe vera Center. Perbandingan kandungan asam amino pelepah antara hasil penelitian dengan hasil budidaya standar dari AVC disajikan pada Gambar M2A0O3 M2A0O4 AVC Asp Glu Ser His Gly Thr Arg Ala Tyr Val Phe I-leu Leu Jenis asam amino Keterangan: = perlakuan m2a0o3 m 2 = mikoriza asal rizosfer nenas = perlakuan m2a0o4 a 0 = tanpa pupuk anorganik = standar AVC o 3 = pupuk organik ikan fermentasi o 4 = pupuk organik udang fermentasi AVC = Aloe vera center Gambar 64. Perbandingan kadar asam amino pelepah lidah buaya hasil penelitian pada perlakuan m 2 a 0 o 3 dan m 2 a 0 o 4 dengan hasil budidaya standar AVC.

179 Infeksi akar (%) 157 Gambar 64 memperlihatkan bahwa perlakuan pemberian pupuk organik udang fermentasi menghasilkan kadar asam amino tertinggi dibanding pupuk ikan fermentasi pada perlakuan mikoriza yang sama (asal rizosfer nenas). Namun demikian, keduanya mampu menghasilkan kadar asam amino yang lebih tinggi dibanding standar dari AVC. Persentase infeksi akar oleh mikoriza. Pengamatan terhadap persentase akar terinfeksi fungi mikoriza dilakukan pada umur tanaman 4 bulan dengan pertimbangan rambut akar sudah banyak terbentuk. Infeksi juga terjadi pada bibit yang tidak mendapat perlakuan mikoriza dengan nilai 3.02%, diduga infeksi terjadi oleh fungi mikoriza lain yang berasal dari tanah setempat. Perbandingan persentase infeksi disajikan pada Gambar m0 m1 m2 m0 m1 m2 Perlakuan mikoriza Keterangan: m0 = tanpa mikoriza m1 = mikoriza mycofer m2 = mikoriza asal rizosfer nenas Gambar 65. Persentase akar yang terinfeksi mikoriza pada perlakuan tanpa mikoriza, mikoriza mycofer, dan mikoriza asal rizosfer nenas

180 158 Gambar 66 dan 67 membuktikan bahwa tanaman lidah buaya berhasil diinokulasi dan diinfeksi oleh mikoriza dengan indikator adanya hifa, vesikula, dan arbuskula dalam jaringan akar terinfeksi. Persentase ketergantungan tanaman terhadap Mikoriza. Ketergantungan tanaman lidah buaya terhadap mikoriza (Percent Growth Respon) adalah sebesar 19.94% untuk mikoriza Mycofer, dan 26.04% untuk mikoriza asal rizosfer nenas. Arbuskula pada m1 Arbuskula pada m1 Arbuskula pada m2 Arbuskula pada m1 Gambar 66. Kolonisasi akar oleh mikoriza. Tampak struktur arbuskula yang ditemukan dari hasil pewarnaan pada akar yang terinfeksi mikoriza mycofer (m 1 ) dan mikoriza asal rizosefer nenas (m 2 )

181 159 Hifa pada m1 Hifa pada m2 Hifa pada m1 vesikula pada m2 Hifa pada m1 Hifa pada m1 Gambar 67. Kolonisasi akar oleh mikoriza. Tampak struktur hifa dan vesikula yang ditemukan dari hasil pewarnaan pada akar yang terinfeksi mikoriza mycofer (m 1 ) dan mikoriza asal rizosfer nenas (m 2 ) Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah gambut asal rizosfer nenas memiliki propagul alami mikoriza yang potensial untuk dikembangkan dan diaplikasikan pada tanaman lidah buaya di tanah gambut. Hal ini ditunjang oleh kerapatan spora yang cukup tinggi dengan nilai rata-rata spora per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Jenis mikoriza yang diketahui adalah dalam tiga kelompok genus, yaitu Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Berdasarkan hasil penelitian ini, tanah gambut asal rizosfer nenas dapat langsung diaplikasikan sebagai sumber propagul alami mikoriza guna mendukung pertumbuhan tanaman, dengan jumlah propagul infektif sebesar dalam setiap 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT

PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT IWAN SASLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH :

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : SARAH VITRYA SIDABUTAR 080301055 BDP-AGRONOMI PROGRAM

Lebih terperinci

PENGARUH NAUNGAN DAN JENIS PUPUK KANDANG TERHADAP PERTUMBUHAN LIDAH BUAYA (Aloe vera var. Chinensis) ENDRIANI

PENGARUH NAUNGAN DAN JENIS PUPUK KANDANG TERHADAP PERTUMBUHAN LIDAH BUAYA (Aloe vera var. Chinensis) ENDRIANI PENGARUH NAUNGAN DAN JENIS PUPUK KANDANG TERHADAP PERTUMBUHAN LIDAH BUAYA (Aloe vera var. Chinensis) ENDRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea, L) PADA LATOSOL DARI GUNUNG SINDUR Oleh Elvina Frida Merdiani A24103079

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI SKRIPSI PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI UIN SUSKA RIAU Oleh: Heri Kiswanto 10982005520 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT SKRIPSI OLEH: VICTOR KOMALA 060301043 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia setelah Malaysia dengan luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah hutan di Indonesia pada umumnya berjenis ultisol. Menurut Buckman dan Brady (1982), di ultisol kesuburan tanah rendah, pertumbuhan tanaman dibatasi oleh faktor-faktor yang

Lebih terperinci

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PEMBERIAN PUPUK P DAN Zn UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN Zn DI TANAH SAWAH SKRIPSI OLEH : KIKI DAMAYANTI

PEMBERIAN PUPUK P DAN Zn UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN Zn DI TANAH SAWAH SKRIPSI OLEH : KIKI DAMAYANTI PEMBERIAN PUPUK P DAN Zn UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN Zn DI TANAH SAWAH SKRIPSI OLEH : KIKI DAMAYANTI 110301232 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

Lebih terperinci

RESPON TANAMAN SELADA (Lactuca sativa L.) MENGGUNAKAN BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DENGAN DUA KALI PENANAMAN SECARA VERTIKULTUR

RESPON TANAMAN SELADA (Lactuca sativa L.) MENGGUNAKAN BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DENGAN DUA KALI PENANAMAN SECARA VERTIKULTUR SKRIPSI RESPON TANAMAN SELADA (Lactuca sativa L.) MENGGUNAKAN BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DENGAN DUA KALI PENANAMAN SECARA VERTIKULTUR Oleh: Darniati 10982005491 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI PEMBIBITAN EDI HANDOKO

PENGARUH MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI PEMBIBITAN EDI HANDOKO 1 PENGARUH MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI PEMBIBITAN EDI HANDOKO DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis) PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU RISA WENTASARI

STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis) PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU RISA WENTASARI STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis) PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU RISA WENTASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 SURAT

Lebih terperinci

PEMBERIAN FERMENTASI URIN MANUSIA SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DI TANAH INSEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI

PEMBERIAN FERMENTASI URIN MANUSIA SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DI TANAH INSEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI PEMBERIAN FERMENTASI URIN MANUSIA SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DI TANAH INSEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI OLEH : SEFRIANSYAH PUTRA 120301168 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAILAN (Brassica oleraceae Var. acephala) PADA BERBAGAI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAILAN (Brassica oleraceae Var. acephala) PADA BERBAGAI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAILAN (Brassica oleraceae Var. acephala) PADA BERBAGAI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK SKRIPSI RUBEN PAHOTAN TAMBUNAN 060301023 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

TANGGAP MORFOFISIOLOGI TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH MINERAL MASAM TERHADAP AMELIORAN GAMBUT HASTIN ERNAWATI NUR CHUSNUL CHOTIMAH

TANGGAP MORFOFISIOLOGI TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH MINERAL MASAM TERHADAP AMELIORAN GAMBUT HASTIN ERNAWATI NUR CHUSNUL CHOTIMAH TANGGAP MORFOFISIOLOGI TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH MINERAL MASAM TERHADAP AMELIORAN GAMBUT HASTIN ERNAWATI NUR CHUSNUL CHOTIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT BEBERAPA JENIS AKASIA (Acacia spp) TERHADAP FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT BEBERAPA JENIS AKASIA (Acacia spp) TERHADAP FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA RESPON PERTUMBUHAN BIBIT BEBERAPA JENIS AKASIA (Acacia spp) TERHADAP FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA SKRIPSI Oleh : ROMMEL PARDOSI 041202018/BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP BEBERAPA KOMPOSISI KOMPOS KULIT BUAH KAKAO DENGAN SUBSOIL ULTISOL DAN PUPUK DAUN

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP BEBERAPA KOMPOSISI KOMPOS KULIT BUAH KAKAO DENGAN SUBSOIL ULTISOL DAN PUPUK DAUN RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP BEBERAPA KOMPOSISI KOMPOS KULIT BUAH KAKAO DENGAN SUBSOIL ULTISOL DAN PUPUK DAUN SKRIPSI OLEH : HENNI FIONA DAMANIK 080301065 BDP AGRONOMI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT DENGAN PUPUK HAYATI PADA PERBEDAAN VOLUME MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH :

PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT DENGAN PUPUK HAYATI PADA PERBEDAAN VOLUME MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : 1 PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT DENGAN PUPUK HAYATI PADA PERBEDAAN VOLUME MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : EKA SETYA W. / 120301162 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional, selain mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat dan juga mengarah pada kesejahteraan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl SKRIPSI OLEH: DEWI MARSELA/ 070301040 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN AIR LAUT DAN BEBERAPA BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mayz. L) SKRIPSI.

PENGARUH PEMBERIAN AIR LAUT DAN BEBERAPA BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mayz. L) SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN AIR LAUT DAN BEBERAPA BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mayz. L) SKRIPSI Oleh: BENLI MANURUNG 050303003 ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh:

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh: PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK SKRIPSI Oleh: CAROLINA SIMANJUNTAK 100301156 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: JOGI HENDRO SIAHAAN/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

SKRIPSI. Oleh: JOGI HENDRO SIAHAAN/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PENGARUH MEDIA TANAM TOP SOIL, DEBU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DAN KOMPOS JERAMI PADI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TEMBAKAU DELI (Nicotiana tabacum L.) SKRIPSI Oleh: JOGI HENDRO SIAHAAN/ 100301068 AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 PEMANFAATAN KOMPOS TANDAN KOSONG SAWIT (TKS) SEBAGAI CAMPURAN MEDIA TUMBUH DAN PEMBERIAN MIKORIZA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azedarach L.) SKRIPSI Oleh Nina Astralyna 051202017/ Budidaya Hutan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN TANAMAN PAKCOY (Brassica rapa L.) PADA PANEN PERTAMA DAN KEDUA DENGAN PEMBERIAN BOKASHI DAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

PERTUMBUHAN TANAMAN PAKCOY (Brassica rapa L.) PADA PANEN PERTAMA DAN KEDUA DENGAN PEMBERIAN BOKASHI DAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SKRIPSI PERTUMBUHAN TANAMAN PAKCOY (Brassica rapa L.) PADA PANEN PERTAMA DAN KEDUA DENGAN PEMBERIAN BOKASHI DAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT Oleh: Musliman 11082102448 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : RIRI AZYYATI / BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

SKRIPSI OLEH : RIRI AZYYATI / BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP DOSIS DAN INTERVAL WAKTU PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR TITONIA (Tithonia diversifolia (Hemsl.) Gray) SKRIPSI OLEH :

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN AMELIORAN TANAH TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH DAN PERTUMBUHAN DUA VARIETAS TEBU (Saccharum officinarum L.)

PENGARUH PEMBERIAN AMELIORAN TANAH TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH DAN PERTUMBUHAN DUA VARIETAS TEBU (Saccharum officinarum L.) PENGARUH PEMBERIAN AMELIORAN TANAH TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH DAN PERTUMBUHAN DUA VARIETAS TEBU (Saccharum officinarum L.) Oleh: Mardhyillah Shofy A34103042 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN ABU SERBUK GERGAJI DAN PUPUK UREA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KAKAO (Theobroma Cacao L.)

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN ABU SERBUK GERGAJI DAN PUPUK UREA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KAKAO (Theobroma Cacao L.) SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN ABU SERBUK GERGAJI DAN PUPUK UREA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KAKAO (Theobroma Cacao L.) UIN SUSKA RIAU Oleh: Muhammad Irham 10982008453 JURUSAN ILMU PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI OLEH : NORI ANDRIAN / 110301190 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA ALLEN WIJAYA 070301024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans P.) PADA MEDIA TANAM ARANG SEKAM DAN COCOPEAT SERTA KONSENTRASI POH CAIR

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans P.) PADA MEDIA TANAM ARANG SEKAM DAN COCOPEAT SERTA KONSENTRASI POH CAIR RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans P.) PADA MEDIA TANAM ARANG SEKAM DAN COCOPEAT SERTA KONSENTRASI POH CAIR SKRIPSI Ernanda Tri Budiati 1304020004 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP KADAR N, P, DAN K TANAH, SERAPAN N, P, DAN K SERTA PERTUMBUHAN PADI DENGAN SISTEM SRI

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP KADAR N, P, DAN K TANAH, SERAPAN N, P, DAN K SERTA PERTUMBUHAN PADI DENGAN SISTEM SRI PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP KADAR N, P, DAN K TANAH, SERAPAN N, P, DAN K SERTA PERTUMBUHAN PADI DENGAN SISTEM SRI (System of Rice Intensification) SKRIPSI Oleh : SRY MALYANA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH

EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH SKRIPSI NOVRIDA MAULIDESTA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK NPK DGW COMPACTION DAN PUPUK KANDANG SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum L.

PENGARUH PUPUK NPK DGW COMPACTION DAN PUPUK KANDANG SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum L. Jurnal AGRIFOR Volume XVI Nomor 1, Maret 2017 ISSN P : 1412-6885 ISSN O : 2503-4960 PENGARUH PUPUK NPK DGW COMPACTION DAN PUPUK KANDANG SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI MERAH BESAR (Capsicum

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Setaria splendida Stapf yang Mengalami Cekaman Kekeringan

Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Setaria splendida Stapf yang Mengalami Cekaman Kekeringan Media Peternakan, Agustus 24, hlm. 63-68 ISSN 126-472 Vol. 27 N. 2 Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Setaria splendida Stapf yang Mengalami Cekaman

Lebih terperinci

PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SERTA MUTU BAWANG MERAH

PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SERTA MUTU BAWANG MERAH PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SERTA MUTU BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) MELALUI PEMUPUKAN ZA DAN PUPUK KANDANG PADA BERBAGAI JARAK TANAM DI KABUPATEN DELI SERDANG TESIS Oleh : Riyadi Pratiwa

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : TSABITA BENAZIR MUNAWWARAH SYA BI AGROEKOTEKNOLOGI-ILMU TANAH

SKRIPSI. Oleh : TSABITA BENAZIR MUNAWWARAH SYA BI AGROEKOTEKNOLOGI-ILMU TANAH PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI TEMPE DAN RHIZOBIUM UNTUK KETERSEDIAAN HARA N DAN PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merill.) DI TANAH INCEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI Oleh : TSABITA BENAZIR MUNAWWARAH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

SERAPAN P DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) AKIBAT PEMBERIAN KOMBINASI BAHAN ORGANIK DAN SP 36 PADA TANAH ULTISOL LABUHAN BATU SELATAN

SERAPAN P DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) AKIBAT PEMBERIAN KOMBINASI BAHAN ORGANIK DAN SP 36 PADA TANAH ULTISOL LABUHAN BATU SELATAN SERAPAN P DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) AKIBAT PEMBERIAN KOMBINASI BAHAN ORGANIK DAN SP 36 PADA TANAH ULTISOL LABUHAN BATU SELATAN SKRIPSI OLEH : WIDA AKASAH 130301148 AGROTEKNOLOGI ILMU

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN JAHE GAJAH (Zingiber officinale var. Officinale) YANG DITANAM MENGGUNAKAN BEBERAPA DOSIS PUPUK BOKASHI DAN PUPUK ANORGANIK

PERTUMBUHAN JAHE GAJAH (Zingiber officinale var. Officinale) YANG DITANAM MENGGUNAKAN BEBERAPA DOSIS PUPUK BOKASHI DAN PUPUK ANORGANIK SKRIPSI PERTUMBUHAN JAHE GAJAH (Zingiber officinale var. Officinale) YANG DITANAM MENGGUNAKAN BEBERAPA DOSIS PUPUK BOKASHI DAN PUPUK ANORGANIK UIN SUSKA RIAU Oleh: Dwi Budiarti 11082200275 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

UJI EFISIENSI PUPUK MAJEMUK DAN PUPUK TUNGGAL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TERUNG (Solanum melongena, L) PADA TANAH GAMBUT DAN MINERAL

UJI EFISIENSI PUPUK MAJEMUK DAN PUPUK TUNGGAL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TERUNG (Solanum melongena, L) PADA TANAH GAMBUT DAN MINERAL SKRIPSI UJI EFISIENSI PUPUK MAJEMUK DAN PUPUK TUNGGAL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TERUNG (Solanum melongena, L) PADA TANAH GAMBUT DAN MINERAL Oleh: Wan Juli Pramono 11082100069 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK

KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK Oleh : DEWI RATNASARI (A24104056) DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SECARA STEK PADA MEDIA TANAM LIMBAH KELAPA SAWIT DAN MIKORIZA SKRIPSI OLEH :

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SECARA STEK PADA MEDIA TANAM LIMBAH KELAPA SAWIT DAN MIKORIZA SKRIPSI OLEH : RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SECARA STEK PADA MEDIA TANAM LIMBAH KELAPA SAWIT DAN MIKORIZA SKRIPSI OLEH : M DIAN MUNAWAN / 100301204 AGROEKOTEKNOLOGI / BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : ERNIKA SEPTYMA BR PARDEDE/ AGROEKOTEKNOLOGI - BPP

SKRIPSI. Oleh : ERNIKA SEPTYMA BR PARDEDE/ AGROEKOTEKNOLOGI - BPP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DI TANAH TERKENA ABU VULKANIK SINABUNG SKRIPSI Oleh : ERNIKA SEPTYMA BR PARDEDE/100301102

Lebih terperinci

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Hasil análisis data penelitian dari masing-masing parameter adalah sebagai berikut: a. Hasil Analisis Kandungan Tabel 1. Tandan Kosong Kelapa Sawit *) Parameter

Lebih terperinci

OLEH : REZEKI AYU CITRA UTAMA ILMU TANAH

OLEH : REZEKI AYU CITRA UTAMA ILMU TANAH DAMPAK PEMBERIAN PUPUK UREA DAN PUPUK KANDANG AYAM TERHADAP C ORGANIK, TOTAL DAN SERAPAN N, SERTA PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG PADA INCEPTISOL ASAL KWALA BEKALA SKRIPSI OLEH : REZEKI AYU CITRA UTAMA 120301010

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PENGUJIAN PENGGUNAAN KOMPOS LIMBAH PADAT PENGOLAHAN MINYAK NILAM DAN PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI NILAM (Pogostemon cablin Benth.) DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TESIS Oleh ADEI JOHAN M BANUREA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu komoditas andalan bagi perekonomian Indonesia, terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagai sumber daya alam sangat penting dalam meyediakan sebahagian besar kebutuhan hidup manusia, terutama pangan. Pada saat ini kebutuhan akan pangan tidak

Lebih terperinci

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Aplikasi Kandang dan Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Application of Farmyard Manure and SP-36 Fertilizer on Phosphorus Availability

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH:

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: ARIF AL QUDRY / 100301251 Agroteknologi Minat- Budidaya Pertanian Perkebunan PROGRAM

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. merill) PADA GRUMUSOL DARI CIHEA Oleh Siti Pratiwi Hasanah A24103066 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI GOGO TERHADAP PEMBERIAN MIKORIZA DAN PENAMBAHAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI GOGO TERHADAP PEMBERIAN MIKORIZA DAN PENAMBAHAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI GOGO TERHADAP PEMBERIAN MIKORIZA DAN PENAMBAHAN KOMPOS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH : TRI AGUS KURNIAWAN 040301005 / BDP - AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH:

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH: 1 PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI DI TANAH ULTISOL SKRIPSI OLEH: RANGGA RIZKI S 100301002 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA RAFLI IRLAND KAWULUSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh MOCHAMAD IQBAL WALUYO H

SKRIPSI. Oleh MOCHAMAD IQBAL WALUYO H SKRIPSI PEMUPUKAN, KETERSEDIAAN DAN SERAPAN K OLEH PADI SAWAH DI GRUMUSOL untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Oleh

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : YULI SAGALA/ ILMU TANAH

SKRIPSI. Oleh : YULI SAGALA/ ILMU TANAH 1 PERANAN MIKORIZA TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN P DAN Cd TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.) SERTA KADAR P DAN Cd ANDISOL YANG DIBERI PUPUK FOSFAT ALAM SKRIPSI Oleh : YULI SAGALA/080303013 ILMU TANAH DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu komoditi sektor non-migas andalan yang berperan penting dalam menunjang pembangunan Indonesia. Produksi minyak sawit

Lebih terperinci

PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN Pb DAN Cd TANAMAN Mucuna pruriens PADA TANAH YANG DICEMARI LOGAM BERAT TESIS

PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN Pb DAN Cd TANAMAN Mucuna pruriens PADA TANAH YANG DICEMARI LOGAM BERAT TESIS PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN Pb DAN Cd TANAMAN Mucuna pruriens PADA TANAH YANG DICEMARI LOGAM BERAT TESIS Oleh: RIZKY AMNAH 117001002 PROGRAM MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) VARIETAS LINDA AKIBAT PEMBERIAN PUPUK KANDANG AYAM DAN PUPUK UREA

PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) VARIETAS LINDA AKIBAT PEMBERIAN PUPUK KANDANG AYAM DAN PUPUK UREA PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) VARIETAS LINDA AKIBAT PEMBERIAN PUPUK KANDANG AYAM DAN PUPUK UREA GROWTH AND YIELD OF SPRING ONION (Allium fistulosum L.) LINDA VARIETY DUE TO CHICKEN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) ABSTRAK Noverita S.V. Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sisingamangaraja-XII Medan Penelitian

Lebih terperinci

PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3. Oleh :

PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3. Oleh : PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3 SKRIPSI Oleh : RUTH ERNAWATY SIMANUNGKALIT 060301034 BDP AGRONOMI PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

EKO ANDREAS SIHITE AGROEKOTEKNOLOGI

EKO ANDREAS SIHITE AGROEKOTEKNOLOGI PERUBAHAN BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH, SERAPAN P DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG PADA TANAH INCEPTISOL KWALA BEKALA AKIBAT PEMBERIAN PUPUK KANDANG AYAM DAN BEBERAPA SUMBER P SKRIPSI Oleh EKO ANDREAS SIHITE

Lebih terperinci

Peran Media Tanam dan Dosis Pupuk Urea, SP36, KCl Terhadap Pertumbuhan Tanaman Bawang Daun (Allium fistulosum L.) dalam Polybag. Oleh: Susantidiana

Peran Media Tanam dan Dosis Pupuk Urea, SP36, KCl Terhadap Pertumbuhan Tanaman Bawang Daun (Allium fistulosum L.) dalam Polybag. Oleh: Susantidiana Peran Media Tanam dan Dosis Pupuk Urea, SP36, KCl Terhadap Pertumbuhan Tanaman Bawang Daun (Allium fistulosum L.) dalam Polybag Oleh: Susantidiana Abstract The objective of this research is to evaluate

Lebih terperinci

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilam (Pogostemon sp.) merupakan salah satu tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri (essential oil). Di dalam dunia perdagangan Intemasional minyak nilam sering

Lebih terperinci

PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN DOSIS PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI

PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN DOSIS PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN DOSIS PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI Fitri Handayani 1, Nurbani 1, dan Ita Yustina 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur; 2 Balai Pengkajian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

KANDUNGAN HORMON IAA, SERAPAN HARA, DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN BUDI DAYA SEBAGAI RESPON TERHADAP APLIKASI PUPUK BIOLOGI SIGIT TRI WIBOWO

KANDUNGAN HORMON IAA, SERAPAN HARA, DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN BUDI DAYA SEBAGAI RESPON TERHADAP APLIKASI PUPUK BIOLOGI SIGIT TRI WIBOWO KANDUNGAN HORMON IAA, SERAPAN HARA, DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN BUDI DAYA SEBAGAI RESPON TERHADAP APLIKASI PUPUK BIOLOGI SIGIT TRI WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,

Lebih terperinci

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI SKRIPSI Ajeng Widayanti PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU (Phaseolus radiatusl.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK GUANO SKRIPSI OLEH:

LAJU PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU (Phaseolus radiatusl.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK GUANO SKRIPSI OLEH: LAJU PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU (Phaseolus radiatusl.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK GUANO SKRIPSI OLEH: DESY LAVRIA 100301244/AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI Triyani Dumaria DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI PUPUK ORGANIK CAIR DAN MACAM VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.

PENGARUH KONSENTRASI PUPUK ORGANIK CAIR DAN MACAM VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L. PENGARUH KONSENTRASI PUPUK ORGANIK CAIR DAN MACAM VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus

Lebih terperinci

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SAWI (Brassica juncea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK CAIR SKRIPSI MUHAMMAD RIZKY ANDRY AGROEKOTEKNOLOGI - BPP

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SAWI (Brassica juncea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK CAIR SKRIPSI MUHAMMAD RIZKY ANDRY AGROEKOTEKNOLOGI - BPP TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SAWI (Brassica juncea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK CAIR SKRIPSI MUHAMMAD RIZKY ANDRY 080301097 AGROEKOTEKNOLOGI - BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu sub sektor pertanian di Indonesia berpeluang besar dalam peningkatan perekonomian rakyat dan pembangunan perekonomian nasional.adanya

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN PUPUK UREA DAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JABON (Anthocephalus cadamba Miq)

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN PUPUK UREA DAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN PUPUK UREA DAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JABON (Anthocephalus cadamba Miq) Oleh: Pawan Saputra 10982005471 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KANDUNGAN KADMIUM (Cd) TANAH DAN TANAMAN SAWI PADA BERBAGAI PERBANDINGAN KOMPOS SAMPAH KOTA DENGAN TANAH INCEPTISOL SKRIPSI OLEH :

KANDUNGAN KADMIUM (Cd) TANAH DAN TANAMAN SAWI PADA BERBAGAI PERBANDINGAN KOMPOS SAMPAH KOTA DENGAN TANAH INCEPTISOL SKRIPSI OLEH : KANDUNGAN KADMIUM (Cd) TANAH DAN TANAMAN SAWI PADA BERBAGAI PERBANDINGAN KOMPOS SAMPAH KOTA DENGAN TANAH INCEPTISOL SKRIPSI OLEH : BERNANDO BASTANTA BARUS 120301043 AGROEKOTEKNOLOGI - ILMU TANAH PROGRAM

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) SKRIPSI PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) Oleh : IrvanSwandi 10882003293 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG TERHADAP FREKUENSI PEMUPUKAN PUPUK ORGANIK CAIR DAN APLIKASI PUPUK DASAR NPK SKRIPSI

RESPON PERTUMBUHAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG TERHADAP FREKUENSI PEMUPUKAN PUPUK ORGANIK CAIR DAN APLIKASI PUPUK DASAR NPK SKRIPSI RESPON PERTUMBUHAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG TERHADAP FREKUENSI PEMUPUKAN PUPUK ORGANIK CAIR DAN APLIKASI PUPUK DASAR NPK SKRIPSI MASTOR PALAN SITORUS 100301028 AGRROEKOTEKNOLOGI-BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS PUPUK KANDANG DAN JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG MANIS (Zea mays L. var. saccharata Sturt) SKRIPSI

PENGARUH JENIS PUPUK KANDANG DAN JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG MANIS (Zea mays L. var. saccharata Sturt) SKRIPSI PENGARUH JENIS PUPUK KANDANG DAN JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG MANIS (Zea mays L. var. saccharata Sturt) SKRIPSI Oleh : Amin Suyitno NIM : 201141037 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS KULIT BUAH KOPI SKRIPSI OLEH:

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS KULIT BUAH KOPI SKRIPSI OLEH: RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS KULIT BUAH KOPI SKRIPSI OLEH: AFRIADI SIMANJUNTAK 080301052 BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MELON SECARA ORGANIK DENGAN PEMANGKASAN PUCUK DAN PEMBERIAN BOKASHI

PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MELON SECARA ORGANIK DENGAN PEMANGKASAN PUCUK DAN PEMBERIAN BOKASHI SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MELON SECARA ORGANIK DENGAN PEMANGKASAN PUCUK DAN PEMBERIAN BOKASHI Oleh: Oshi Avila 11082200366 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L) TERHADAP KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN AIR KELAPA SKRIPSI OLEH :

RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L) TERHADAP KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN AIR KELAPA SKRIPSI OLEH : RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L) TERHADAP KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN AIR KELAPA SKRIPSI OLEH : NOVA LINA S 110301119/BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA APLIKASI PUPUK UREA DAN PUPUK KANDANG KAMBING UNTUK MENINGKATKAN N-TOTAL PADA TANAH INCEPTISOL KWALA BEKALA DAN KAITANNYA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG(Zea mays L.) SKRIPSI OLEH ARFAN DWI PUTRA 090301181/AET

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, serta di kebun percobaan

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN ( Arenga pinnata Merr.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR SKRIPSI OLEH : MANAHAN BDP Pemuliaan Tanaman

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN ( Arenga pinnata Merr.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR SKRIPSI OLEH : MANAHAN BDP Pemuliaan Tanaman RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN ( Arenga pinnata Merr.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR SKRIPSI OLEH : MANAHAN 080307056 BDP Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terlihat dari areal pertanaman cabai yang menempati areal terluas diantara

Lebih terperinci