TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAS TERHADAP BANJIR DENGAN PROGRAM EPA-SWMM 5.0

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAS TERHADAP BANJIR DENGAN PROGRAM EPA-SWMM 5.0"

Transkripsi

1 TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAS TERHADAP BANJIR DENGAN PROGRAM EPA-SWMM 5.0 (STUDI KASUS WILAYAH DAS BERINGIN SEMARANG ) Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Katolik Soegijapranata Disusun Oleh: Bagus Wirastowo Arif Diyanto FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2007 i

2 DAFTAR ISI Halaman Judul.. Lembar Pengesahan.. Kata Pengantar.. Daftar Isi... Daftar Tabel.. Daftar Gambar.. Daftar Lampiran.. Daftar Grafik Halaman i ii iii v vii viii xi xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maksud dan Tujuan Manfaat Lokasi Batasan Penelitian Sistematika Penyusunan.. 4 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Umum Siklus Hidrologi Inflow Limpasan Infiltrasi Penguapan Gambar Aliran Daerah Aliran Sungai v

3 BAB III METODOLOGI Umum Perumusan Masalah BAB IVPERMODELAN DAS BERINGIN Permodelan DAS Beringin Kondisi Sebenarnya Analisis BAB V KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 53 LAMPIRAN 54 vi

4 DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Data Subcathment Tabel 4.2 Tabel Analisis % Impervious dengan Debit Tabel 4.3 Tabel perbandingan % Impervious dengan Debit Tabel 5.1 Tabel perbandingan % Impervious dengan Debit vii

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Konsep siklus hidrologi... 7 Gambar 2.2 Siklus hidrologi... 9 Gambar 2.3 DAS Beringin Gambar 2.4 Peta DAS Beringin Gambar 3.1 Diagram Alir Gambar 4.1 Potongan melintang saluran node Gambar 4.2 Conduit Gambar 4.3 Conduit Gambar 4.4 Conduit Gambar 4.5 Conduit Gambar 4.6 Potongan melintang saluran node Gambar 4.7 Conduit Gambar 4.8 Conduit Gambar 4.9 Conduit Gambar 4.10 Conduit Gambar 4.11 Conduit Gambar 4.12 Potongan melintang saluran node Gambar 4.13 Conduit Gambar 4.14 Conduit Gambar 4.15 Conduit Gambar 4.16 Conduit Gambar 4.17 Conduit Gambar 4.18 Potongan melintang saluran node Gambar 4.19 Conduit Gambar 4.20 Conduit Gambar 4.21 Conduit viii

6 Gambar 4.22 Conduit Gambar 4.23 Conduit Gambar 4.24 Conduit Gambar 4.25 Conduit Gambar 4.26 Conduit Gambar 4.27 Potongan melintang saluran node Gambar 4.28 Conduit Gambar L1.1 Potongan melintang saluran node Gambar L1.2 Potongan melintang saluran node Gambar L1.3 Potongan melintang saluran node Gambar L1.4 Potongan melintang saluran node Gambar L1.5 Potongan melintang saluran node Gambar L2.1 Potongan melintang saluran node Gambar L2.2 Potongan melintang saluran node Gambar L2.3 Potongan melintang saluran node Gambar L2.4 Potongan melintang saluran node Gambar L2.5 Potongan melintang saluran node Gambar L3.1 Potongan melintang saluran node Gambar L3.2 Potongan melintang saluran node Gambar L3.3 Potongan melintang saluran node Gambar L3.4 Potongan melintang saluran node Gambar L3.5 Potongan melintang saluran node Gambar L4.1 Potongan melintang saluran node Gambar L4.2 Potongan melintang saluran node Gambar L4.3 Potongan melintang saluran node Gambar L4.4 Potongan melintang saluran node Gambar L4.5 Potongan melintang saluran node Gambar L5.1 Potongan melintang saluran node Gambar L5.2 Potongan melintang saluran node ix

7 Gambar L5.3 Potongan melintang saluran node Gambar L5.4 Potongan melintang saluran node Gambar L5.5 Potongan melintang saluran node Gambar L6.1 Potongan melintang saluran node Gambar L6.2 Potongan melintang saluran node Gambar L6.3 Potongan melintang saluran node Gambar L6.4 Potongan melintang saluran node Gambar L6.5 Potongan melintang saluran node Gambar L7.1 Potongan melintang saluran node Gambar L7.2 Potongan melintang saluran node Gambar L7.3 Potongan melintang saluran node Gambar L7.4 Potongan melintang saluran node Gambar L7.5 Potongan melintang saluran node Gambar L8.1 Potongan melintang saluran node Gambar L8.2 Potongan melintang saluran node Gambar L8.3 Potongan melintang saluran node Gambar L8.4 Potongan melintang saluran node Gambar L8.5 Potongan melintang saluran node Gambar L9.1 Potongan melintang saluran node Gambar L9.2 Potongan melintang saluran node Gambar L9.3 Potongan melintang saluran node Gambar L9.4 Potongan melintang saluran node Gambar L9.5 Potongan melintang saluran node Gambar L10.1 Potongan melintang saluran node Gambar L10.2 Potongan melintang saluran node Gambar L10.3 Potongan melintang saluran node Gambar L10.4 Potongan melintang saluran node Gambar L10.5 Potongan melintang saluran node x

8 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 impervious = 10 % Lampiran 2 impervious = 20 % Lampiran 3 impervious = 30 % Lampiran 4 impervious = 40 % Lampiran 5 impervious = 50 % Lampiran 6 impervious = 60 % Lampiran 7 impervious = 70 % Lampiran 8 impervious = 80 % Lampiran 9 impervious = 90 % Lampiran 10 impervious = 100 % xi

9 DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Debit Outflow Grafik 4.2 Debit Outflow Grafik 4.3 Perandingan % impervious dengan debit Grafik 5.1 Perandingan % impervious dengan debit Grafik L1.1 Debit Outflow Grafik L2.1 Debit Outflow Grafik L3.1 Debit Outflow Grafik L4.1 Debit Outflow Grafik L5.1 Debit Outflow Grafik L6.1 Debit Outflow Grafik L7.1 Debit Outflow Grafik L8.1 Debit Outflow Grafik L9.1 Debit Outflow Grafik L10.1 Debit Outflow xii

10 BAB I PENDAHULUAN ========================================================== BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada musim penghujan intensitas curah hujan tinggi sehingga debit air pada Das Beringin ini mengalami debit maksimum, oleh karena itu jumlah air yang dapat ditangkap catchment area relatif banyak. Pada tahun 1991 (Sumber Suara Merdeka 18 September 1991) terjadi banjir yang sangat besar yang menggenangi wilayah Kecamatan Mangkang dan Tugu, hal ini disebabkan jumlah air yang banyak di tangkap oleh catchment area di daerah daerah yang di lalui oleh DAS tersebut sehingga menyebabkan banjir. Selain itu di indikasikan banjir disebabkan karena pada daerah hulu ( Kecamatan Mijen dan Ngaliyan ) terjadi perubahan tata guna lahan, yang seharusnya dapat berfungsi sebagai peresapan air menjadi daerah yang kurang dapat meresapkan air. Sedangkan pada musim kemarau dimana curah hujan yang relatif sangat kecil menyebabkan debit pada Das Beringin mengalami penurunan pada level minimum. 1.2 Maksud Dan Tujuan Maksud : a. Penelitian ini untuk mendapatkan suatu perbandingan tentang tata guna lahan yang berada di sekitar DAS Beringin yang akan berpengaruh pada debit air yang diterima oleh DAS Beringin. 1

11 BAB I PENDAHULUAN ========================================================== Pada kenyataanya tata guna lahan di sekitar DAS Beringin mengalami penurunan fungsi yang dari tahun ke tahun pada daerah bawah ( Mangkang dan Tugu ) mengalami banjir. Tujuan : 1. Untuk mengetahui cara pengelolaan DAS Beringin 2. Untuk mengurangi terjadinya banjir khususnya daerah hilir ( Mangkang dan Tugu ) 3. Membandingkan perubahan tata guna lahan di waktu sekarang dengan waktu lampau yang akan berpengaruh pada debit air yang akan diterima oleh DAS Beringin. 4. Dengan bantuan EPA-SWMM 5.0. diharapkan akan didapatkan hasil yang maksimal, sehingga dapat dijadikan bahan acuan dalam pengelolaan DAS Beringin dan sebagai parameter pembanding terhadap DAS yang lain 1.3 Manfaat Dengan melakukan analisa hidrologi pada DAS Beringin dengan menggunkan model EPA-SWMM 5.0, kami diharapkan mampu untuk: 1. Mempelajari dan memahami dasar-dasar hidrologi untuk permodelan banjir. 2. Mampu mengoperasikan model hidrologi yaitu EPA-SWMM Mampu menerapkan model hidrologi EPA-SWMM 5.0 dalam aplikasi yang sebenarnya. 2

12 BAB I PENDAHULUAN ========================================================== 1.4 Lokasi Sungai Beringin merupakan sungai yang mengalir dari wilayah Kecamatan Mijen (hulu) sampai dengan Laut Jawa (hilir). Daerah Aliran Sungai (DAS) Beringin terbagi dari 24 sub-das yang melewati Kecamatan Mijen, Ngaliyan Mangkang, Tugu, Semarang Barat, sampai ke Semarang Utara. Pada bagian hulu DAS Beringin, kondisi daerah sekitarnya masih berupa lahan terbuka dan areal perkebunan. Sedangkan pada daerah hilirnya berupa pemukiman penduduk dan juga berupa bangunan infrastruktur.( dapat di lihat pada gambar 1.1 ). Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk Semarang yang terus meningkat, maka terjadi pula perubahan tata guna lahan. Bagian hulu dari Sungai Beringin adalah daerah yang terkena imbas dari perubahan tata guna lahan tersebut. Daerah yang dulunya berupa lahan terbuka dan areal perkebunan berubah menjadi pemukiman penduduk. 1.5 Batasan Penelitian Penelitian ini adalah untuk mendapatkan suatu perbandingan tentang tata guna lahan yang berada di sekitar DAS Beringin yang akan berpengaruh pada debit air yang akan diterima oleh DAS Beringin, Karena luasnya permasalahan, keterbatasan kemampuan, dan keterbatasan biaya, maka penelitian ini kami batasi dengan pembatasan-pembatasan sebagai berikut: 3

13 BAB I PENDAHULUAN ========================================================== 1. Penelitian di lakukan pada daerah sekitar DAS Beringin yang terkena dampak dari sungai Beringin 2. Mengunakan Program EPA-SWMM 5.0 sebagai parameter pembanding debit banjir tidak secara manual. 3. Membandingkan perubahan tata guna lahan di waktu sekarang dengan waktu lampau yang akan berpengaruh pada debit air yang akan diterima oleh DAS Beringin. 4. Mengatasi banjir pada daerah bawah Mangkang dan Tugu, yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. 1.6 Sistematika Penyusunan Laporan Tugas Akhir ini terdiri dari 5 (lima) bab yang sistematika penyusunannya adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, manfaat, batasan masalah, dan sistematika penyusunan. Bab II Tinjauan Pustaka menguraikan tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari uraian umum, siklus hidrologi, inflow ( limpasan, infiltrasi, penguapan, gambar aliran, daerah aliran sungai ) Bab III Metodologi yaitu cara pembuatan tugas akhir. Bab IV Analisa dengan menggunakan Program EPA-SWMM 5.0 pada DAS Beringin. 4

14 BAB I PENDAHULUAN ========================================================== Bab V Kesimpulan dan Saran menguraikan kesimpulan yang didapat dari pembahasan dan saran-saran yang kiranya berguna dalam penentuan metode pencegahan kelongsoran pada tanah lempung ekspansif di Indonesia. 9/25/2007 Gambar 1.1 Lokasi DAS Beringin ( Sumber : BAPPEDA kota Semarang, 2005 ) 5

15 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Uraian umum Menurut Sri Harto (1993) Hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari seluk-beluk air, kejadian dan distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya terhadap kebutuhan manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa hidrologi adalah ilmu yang menyangkut masalah kuantitas dan kualitas air di bumi, dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu, hidrologi pemeliharaan (menyangkut data-data operasional dan peralatan teknisnya) dan hidrologi terapan (menyangkut analisis hidrologi). Secara umum analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam perancangan bangunan-bangunan hidraulik, baik dalam perancangan, pelaksanaan dan pengoperasiannya. Pengertian yang terkandung di dalamnya adalah bahwa informasi dan besaran - besaran yang terkandung dalam analisis hidrologi merupakan masukan penting bagi analisis selanjutnya. Di dalam hidrologi, salah satu aspek analisis yang diharapkan dihasilkan untuk menunjang perancangan bangunan-bangunan hidraulik adalah penetapan besaran-besaran rancangan, baik hujan, banjir maupun unsur-unsur hidrologi lainnya, oleh karena itu pemahaman mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam analisis hidrologi harus benar-benar dipahami. 6

16 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== Siklus Hidrologi Memperhatikan pengertian tentang hidrologi yang telah disebutkan diatas, maka ilmu hidrologi mencakup semua air di alam. Pemahaman dan penerapan ilmu hidrologi menyangkut pemahaman mengenai proses transformasi atau pengalihragaman dari satu set masukan menjadi satu set keluaran melalui satu proses dalam siklus hidrologi. Konsep yang disebutkan diatas menjadi sederhana jika dilihat dati skema berikut ini : masukkan Sistem DAS keluaran Gambar 2.1 : konsep siklus hidrologi ( Sumber : Analisis Hidrologi edisi kedua, 1993 ) Matahari merupakan sumber tenaga bagi alam. Dengan adanya tenaga tersebut, maka seluruh permukaan bumi akan mengalami penguapan, baik dari muka tanah, permukaan pepohonan (transpiration) dan permukaan air (evaporation). Sebagai akibat dari penguapan, maka terbentuk awan yang apabila keadaan klimatologi memungkinkan, awan dapat terbawa ke darat dan dapat terbentuk menjadi awan pembawa hujan (rain could). Hujan baru akan terjadi bila berat butir-butir air hujan tersebut telah lebih besar dari gaya tekan udara ke atas. Dalam keadaan klimatologis tertentu, maka air hujan yang terus melayang tersebut dapat teruapkan kembali menjadi awan. Air hujan yang sampai ke 7

17 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== permukaan tanah disebut hujan, dan dapat diukur. Hujan yang terjadi tersebut sebagian juga akan tertahan oleh mahkota dan dedaunan pada pepohonan dan bangunan-banguna yang selanjutnya ada yang diuapkan kembali. Bagian air ini tidak dapat diukur dan merupakan bagian air yang hilang (interception). Air yang jatuh ke permukaan tanah terpisah menjadi dua bagian, yaitu bagian yang mengalir di permukaan yang selanjutnya menjadi aliran limpasan (overland flow), yang selanjutnya dapat menjadi limpasan (run-off), yang seterusnya merupakan aliran sungai menuju ke laut. Aliran limpasan sebelum mencapai saluran dan sungai, mengalir dan tertahan di permukaan tanah dalam cekungan-cekungan, dan sampai jumlah tertentu merupakan bagian air yang hilang karena proses infiltrasi, yang disebut sebagai tampungan-cekungan (depression storage). Bagian lainnya masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Tergantung dari struktur geologinya, dapat terjadi aliran mendatar yang disebut aliran antara (interflow). Bagian air ini juga mencapai sungai dan atau ke laut. Bagian lain dari air yang terinfiltrasi dapat diteruskan sebagai air perkolasi yang mencapai akuifer. Air ini selanjutnya juga mengalir sebagai aliran air tanah menuju ke sungai atau laut. Siklus Air di Bumi Air menguap ke udara dari permukaan tanah, tanaman dan laut, berubah menjadi awan setelah mengalami beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan / salju ke permukaan laut atau daratan, sebelum tiba di Bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba di permukaan Bumi. Tidak semua bagian 8

18 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== hujan yang jatuh ke bumi mencapai permukaan tanah, sebagian akan tertahan oleh tumbuh tumbuhan dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh / mengalir melalui dahan dahan ke permukaan tanah. Daur hidrologi dapat disajikan secara skematik seperti gambar 2.2 berikut ini Gambar 2.2 : siklus hidrologi ( Sumber : Tugas Akhir Denny Eka dan Yoseph A, 2007 ) Keterangan : 1. Evaporasi ( Penguapan ) 6. Perkulasi 2. Awan dan uap air di udara 7. Infiltrasi 3. Hujan 8. Aliran air tanah 4. Infiltrasi ( Penyerapan ) 5. Limpasan permukaan 9

19 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== 2.2 Inflow Limpasan ( RUN OFF ) Dengan memperhatikan kembali siklus hidrologi dapat diketahui bahwa air yang jatuh dipermukaan tanah sebagiam mengalir dipermukaan tanah dan menjadi aliran limpasan yang selanjutnya menjadi limpasan yang nantinya akan mengalir ke laut setelah melewati beberapa proses dengan yang keadaan berbeda setiap musim, yang disebut sebagai daur limpasan. Hoyt (meinzer, 1942) mengemukakan daur limpasan (run off cycle), yang dapat dijelaskan dengan menyederhanakannya menjadi empat tahap : a. Tahap I (pada akhir musim kering) Pada akhir musim kering dapat diamati bahwa sama sekali tidak ada masukkan air hujan (kemungkinan adanya masukan hanya lewat bawah permukaan tanah diabaikan), sehingga yang terjadi hanya keluaran berupa penguapan yang intensif dari permukaan dan terjadi dalam waktu yang reletif lamam. Kekurangan kelembaban di lapisan tanah di lapisan atas akan diganti oleh kelembaban (moisture) yang berada di lapisan bawahnya sehingga lapisan-lapisan tanah menjadi jauh lebih kering. Aliran yang terjadipada sungai-sungai hanya bersumber dari aliran air tanah pada akuifer saja. Sampai dengan tahap ini tidak pernah ada masukan (hujan), sehingga kandungan air dalam akuifer pun menjadi semakin turun karena aliran yang terus menerus ke sungai. 10

20 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== b. Tahap II (awal musim hujan) Akibat adanya hujan dengan jumlah air yang relatif sedikit maka permukaan menjadi basah. Sebagian besar air hujan tertahan akibat intersepsi. Apabila terjadi aliran maka akan tertampung salam tampungan permukaan misalnya sebagai tampungan-cekungan. Jumlah air ini habis menguap atau terinfiltrasi, sehingga tidak memberikan sumbangan pada limpasan permukaan.bagian air yang terinfiltrasi, jumlahnya dipandang belum mencukupi karena masih digunakan oleh massa tanah untuk mengembalikan kandungan airnya sampai maksimum, selama hal ini belum tercapai maka belum terjadi perkolasi, yang berarti belum ada tambahan air dalam akuifer, sehingga muka air dalam akuifer juga belum berubah. c. Tahap III (pada pertengahan musim hujan) Pada tahap ini hujan sudah cukup banyak sehingga terjadi beberapa perubahan pada proses hidrologi. Kapasitas intersepsi telah terlampaui. Demikian pula aliran limpasan sudah cukup besar, sehingga kapasitas tampungan pada cekungan telah terlampaui, dan terjadi limpasan permukaan. Selanjutnya dapat terjadi perubahan yang relatif cepat pada muka air sungai. Bagian air yang terinfiltrasi, jumlahnya telah cukup, dan terjadi perkolasi. Akibatnya jumlah kandungan air dalam akuifer bertambah, dengan ditandai berubahnya tinggi muka air dalam akuifer, keadaan ini berlangsung sampai akhir musim hujan 11

21 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== d. Tahap IV (pada awal musim kering) Pada tahap ini hujan telah berhenti sama sekali, dan sekali lagi prosesnya akan terjadi mirip pada tahap I. Hanya saja pada tahap ini keadaan DAS masih relatif basah, jika keadaan ini berlangsung terus menerus dengan tanpa mendapatkan masukkan maka keadaan akan kembali pada tahap I Infiltrasi Infiltrasi dimaksudkan sebagai proses masuknya air ke permukaan tanah. Proses ini merupakan salah satu bagian penting dalam proses hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran sungai. Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, dan laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu Beberapa faktor yang mempengaruhi infiltrasi yaitu : 1. jenis tanah, 2. kepadatan tanah, 3. kelembapan tanah, 4. tutup tumbuhan, 5. dalamnya genangan di permukaan tanah, 6. pemampatan oleh curah hujan, 7. udara yang terdapat dalam tanah. 12

22 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== Berbeda dengan perkolasi yaitu proses aliran air di dalam tanah secara vertikal akibat gaya berat. Memang keduanya saling berpengaruh akan tetapi secara teoritik hendaknya pengertian keduanya dibedakan Penguapan ( evaporation ) Penguapan merupakan unsur hidrologi yang cukup penting dalam keseluruhan. Penguapan adalah proses perubahan dari molekul air dalam bentuk zat cair ke dalam bentuk gas. Sudah barang tentu pada saat yang sama akan terjadi pula perubahan molekul air dari gas ke zat cair, dalam hal ini di sebut pengembunan (condensation). Penguapan hanya terjadi bila terjadi perbedaan tekanan uap udara di atasnya. Dapat dimengerti bila kelambapan udara mencapai 100%, maka penguapan akan terhenti. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju penguapan antara lain : 1. Temperatur. Untuk penguapan diperlukan sumber panas, panas tersebut bersumber dari radiasi matahari, panas yang tersedia, di atmosfer, maupun dari dalam tanah,atau massa air itu sendiri. 2. Angin. Angin berfungsi memindahkan udara yang jenuh air dan menggantikannya dengan lapisan udara lain, sehingga penguapan dapat berjalan terus. 3. Kualitas air. Salinitas air menyebabkan menurunnya laju penguapan, sebanding dengan kadar salinitas tersebut. Sebagai contoh, air laut mampunyai kandungan 13

23 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== garam 2-3% mempunya laju penguapan yang juga 2-3% lebih rendah dari air tawar. Penguapan yang terjadi pada tanaman disebut transpirasi sedangkan penguapan yang terjadi dari permukaan lahan yang tertutup dengan tutup tumbuhan disebut evapotranspirasi. Apabila kandungan air dalam tanah tidak terbatas, maka digunakan istilah evapotranspirasi potensial Gambar Aliran Pada tahapan ini, kita harus menggambarkan bentuk aliran air, baik saluran, tampungan, maupun pompa jika diperlukan. Untuk membantu memudahkan menempatkan letak saluran, pompa, maupun pond, biasanya terlebih dahulu gambar DAS dibuat. Gambar DAS bisa di-export melalui program Auto-Cad. Gambar 2.3 DAS Beringin ( Sumber : Dinas PSDA, 2006 ) 14

24 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== Daerah Aliran Sungai ( DAS ) Daerah Aliran Sungai (DAS) atau catchment area atau Daerah Pengaliran Sungai (DPS) merupakan daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya dibatasi oleh topografi, yang berarti ditetapkan berdasar aliran air permukaan. luas daerah pengaliran, topografi, tumbuh-tumbuhan dan geologi, sangat berpengaruh terhadap debit air. Nama sebuah DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan dibatasai oleh titik kontrol, yang pada umumnya merupakan stasiun hidrometri. Memperhatikan hal tersebut berarti sebuah DAS merupakan bagian dari DAS lain yang membentuk satu kesatuan sestem DAS. Lazimnya, apabila terdapat titik kontrol yang dianggap penting, maka DAS ditandai dengan nama pada titik kontrol tersebut, sedangkan titik kontrol yang lain yang terletak disebelah hulunya disebut sebagai sub-das. Memperhatikan kembali daur hidrologi yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diketahui bahwa air yang berada di bumi ini, langsung maupun tidak langsung berasal dari air hujan (precipitation). Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialih ragamkan menjadi aliran sungai, baik melalui limpasan permukaan, aliran antara, maupun sebagai aliran air tanah. Untuk mendapatkan perkiraan besarnya banjir yang terjadi di suatu penampang sungai tertentu, maka kedalaman hujan yang terjadi pun harus dapat diketahui pula. Dalam hal ini perlui diketahui bahwa yang diperlukan adalah besaran kedalaman hujan yang terjadi di seluruh DAS. Jadi, tidak hanya besaran 15

25 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== hujan yang terjadi di satu stasiun pengukuran hujan. Dalam hal ini yang diperlukan adalah data kedalaman hujan dari banyak stasiun hujan yang tersebar di seluruh DAS. Oleh karena itu diperlukan sejumlah stasiun hujan yang dipasang sedemikian rupa sehingga dapat mewakili besaran hujan di DAS tersebut. Dalam kaitan ini terdapat dua faktor penting yang sangat menentukan ketelitian pengukuran hujan, yaitu jumlah dan pola penyebaran stasiun hujan. Seperti yang telah di jelaskan di atas. Untuk melakukan pengukuran hujan diperlukan alat pengukur hujan (raingauge). Dalam pemakaian terdapat dua jenis alat ukur hujan yaitu : 1. Penakar hujan biasa (manual raingauge), Merupakan alat ukur yang paling sering digunakan, yang terdiri dari corong dan bejana, sedangkan jumlah air hujan diukur dengan bilah ukur (graduated stick). 2. Penakar hujan otomatis (automatic raingauge). Pengukuran yang dilakukan dengan cara-cara di atas adalah untuk memperoleh data hujan yang terjadi pada satu tempat saja. Akan tetapi dalam analisis umumnya yang diinginkan adalah data hujan rata-rata DAS. Untuk menghitung besaran ini dapat ditempuh dengan beberapa cara yang sampai saat ini sangat lazim digunakan, yaitu: 1. Rata-rata aljabar Cara hitungan dengan aljabar ini adalah cara yang paling sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang kurang teliti karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama. 16

26 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== 2. Polygon Thiessen Cara ini memberikan bobot tertentu pada setiap stasiun hujan dengan pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi hujan di stasiun yang bersangkutan. 3. Isohyet Cara lain yang diharapkan lebih baik (dengan mencoba memasukkan pengaruh topografi). Isohyet ini adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan yang sama pada saat yang bersamaan. 17

27 BAB II STUDI PUSTAKA ========================================================== 7/2/2007 Gambar 2.4 Peta DAS Beringin ( Sumber : Litbang Kompas, Robert J Kodotie, dan BPS) 18

28 BAB III METODOLOGI ========================================================== BAB III METODOLOGI Mulai Pengumpulan data: curah hujan dan peta topografi A, i, Elevation, n Masukan Gambar DAS dari Autocad ke EPA SWMM Masukan Parameter Parameter (curah hujan, i, n, A dan h) Desain Saluran Run Program Eror YA Tidak Out Put berupa : Hidrograph, Run Off, Perkiraan kemampuan saluran terahadap suatu debit, Flooding YA Flooding Selesai Tidak Gambar 3.1 Diagram Alir 19

29 BAB III METODOLOGI ========================================================== keterangan : i : Infiltrasi ( mm/jam ) h : Elevasi ( Meter ) n : Koef Manning kekasaran saluran A : Luasan Area ( M ² ) EPA SWMM Enviromental Protection Agency Strom Water Management Model adalah suatu model simulasi yang dipergunakan untuk memperkirakan banyaknya run off baik pada suatu DAS (Daerah Aliran Sungai). EPA SWMM pertama kali dikembangkan pada tahun 1971 dan telah dipergunakan secara meluas di seluruh dunia untuk perencanaan, analisa, dan desain drainase, saluran pembuangan, dan sebagainya. 3.1 Umum Metodologi meupakan suatu cara atau langkah yang di gunakan untuk memecahkan suatu permasalahan dengan mengumpulkan, mencatat, mempelajari, dan menganalisa data yang diperoleh. Untuk penelitian kasus diperlukan adanya metodologi yang berfungsi sebagai panduan kegiatan yang dilaksanakan dalam pengumpulan data di lapangan, baik data primer ( data yang diperoleh dari penelitian di lapangan ) maupun data sekunder ( studi pustaka ). Pada pemodelan dengan menggunakan EPA SWMM ada parameter yang di gunakan dalam pengolahan data, dari parameter itu kami memiliki tujuan untuk 20

30 BAB III METODOLOGI ========================================================== membandingkan parameter parameter apa yang dapat berpengaruh terhadap perubahan tata guna lahan disekitar DAS Beringin, adapun parameter itu adalah: Parameter tetap : Cura Hujan Area Elevasi Infiltrasi Width % Slope N Imperv N Perv Dstore Imperv Dstore Perv % Zero Imperv Parameter bebas : % Imperv Lebar dan tinggi saluran Bentuk saluran Setelah memaaasukan parameter parameter di atas maka akan mendapatkan suatu out put berupa Report setatus Flooding Grafik debit 21

31 BAB III METODOLOGI ========================================================== Potongan mellllintang saluran Bentuk saluran Adapun parameter tetap adalah parameter yang tidak diubah, dan perameter bebas adalah parameter yang diubah uabah dengan tujuan untuk mendapatkan suatu perbandingan tentang tataguna lahan. 3.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang akan diteliti dalam Tugas Akhir ini adalah tentang Perubahan Tata Guna Lahan Das Beringin Terhadap Banjir. Tindakan tindakan yang akan direncanakan untuk mengatasi dan meminimalisir terjadinya banjir. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul, maka diperlukan studi penelitian yang dititik beratkan pada pengidentifikasian masalah secara lebih khusus. Dengan kata lain, penelitian dilakukan untuk mengetahui pada daerah mana yang terjadi kekurangan air atau kelebihan air. 22

32 BAB IV PEMODELAN DAS BERINGIN 4.1 Pemodelan DAS Beringin Kondisi Sebenarnya Pemodelan DAS Beringin untuk tahap pertama menggunakan EPA SWMM Berikut data-data pada kondisi awal DAS Beringin : 1. Menggunakan hujan dengan periode ulang 25 tahunan. 2. Manning dari area impervious sebesar 0,012 (concrete) 3. Manning dari area Dstore impervious sebesar 0,05 (area pemukiman) 4. Infiltrasi Model Horton. 5. Saluran menggunakan beton. 6. Routing Method menggunakan kinematic wave 7. Flow units CMS 23

33 Keadaan Sebenarnya Parameter Parameter yang dicantumkan pada Subcatchment adalah sebagai berikut : 24

34 25

35 26

36 Tabel 4.1 : data subcatchment 27

37 Setelah seluruh data dan parameter dari DAS Beringin untuk kondisi sebenarnya dimasukkan, maka akan didapat output seperti dibawah ini. EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS

38 Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT :

39 64 CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.04 Analysis begun on: Sun Sep 23 22:03: Total elapsed time: < 1 sec Grafik 4.1 : debit outflow Dari hasil output tersebut, dapat kita analisa sebagai berikut: 1. Total hujan yang terjadi adalah sebesar ha-m. 2. Besarnya infiltrasi adalah sebesar ha-m. 3. Besarnya runoff adalah sebesar ha-m. 4. Terjadi banjir pada saluran. 5. Debit outflow dari DAS Beringin adalah sebesar 39 cms. 30

40 Karena terjadi banjir, maka dilakukan pendesainan saluran agar tidak terjadi banjir yang meliputi pendesainan bentuk saluran dan dimensi saluran. Maka akan menghasilkan output sebagai berikut : EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%)

41 *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

42 76 JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT :

43 ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Sun Sep 23 14:51: Total elapsed time: 00:00:01 Grafik 4.2 : debit outflow Dari hasil output tersebut, dapat kita analisa sebagai berikut: 1. Total hujan yang terjadi adalah sebesar ha-m. 2. Besarnya infiltrasi adalah sebesar ha-m. 3. Besarnya runoff adalah sebesar ha-m. 4. Tidak terjadi banjir pada saluran. 5. Debit outflow dari DAS Beringin adalah sebesar cms. 34

44 Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Potongan melintang saluran node Gambar 4.2 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63 conduit 77 Gambar 4.3 : conduit 77 35

45 conduit 57 conduit 58 Gambar 4.4 : conduit 57 Gambar 4.5 : conduit 58 36

46 conduit 63 Gambar 4.6 : conduit 63 Potongan melintang saluran node Gambar 4.7 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

47 conduit 55 conduit 56 Gambar 4.8 : conduit 55 conduit 60 Gambar 4.9 : conduit 56 Gambar 4.10 : conduit 60 38

48 conduit 61 conduit 62 Gambar 4.11 : conduit 61 Gambar 4.12 : conduit 62 39

49 Potongan melintang saluran node Gambar 4.13 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. conduit 54 Gambar 4.14 : conduit 54 40

50 conduit 56 conduit 60 Gambar 4.15 : conduit 56 conduit 61 Gambar 4.16 : conduit 60 Gambar 4.17 : conduit 61 41

51 conduit 62 Gambar 4.18 : conduit 62 Potongan melintang saluran node Gambar 4.19 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

52 conduit 71 conduit 70 Gambar 4.20 : conduit 71 conduit 31 Gambar 4.21 : conduit 70 Gambar 4.22 : conduit 31 43

53 conduit 74 conduit 79 Gambar 4.23 : conduit 74 conduit 65 Gambar 4.24 : conduit 79 Gambar 4.25 : conduit 65 44

54 conduit 64 conduit 68 Gambar 4.26 : conduit 64 Gambar 4.27 : conduit 68 45

55 Potongan melintang saluran node Gambar 4.28 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit 78. conduit 78 Gambar 4.29 : conduit 78 46

56 4.2 Analisis Grafik perbandingan antara % Impervious dengan Debit % impervious Debit Keterangan Belum terjadi banjir yang disebabkan karena daerah peresapan air masih mencukupi, sehingga limpasan air yang ada di permukaan tanah belum terlalu besar yang disebabkan karena air tertampung atau masuk kedalam pori pori tanah ( Lampiran 1 ) Belum terjadi banjir yang disebabkan karena daerah peresapan air masih mencukupi, sehingga limpasan air yang ada di permukaan tanah belum terlalu besar yang disebabkan karena air tertampung atau masuk kedalam pori pori tanah ( Lampiran 2 ) Belum terjadi banjir yang disebabkan karena daerah peresapan air masih mencukupi, sehingga limpasan air yang ada di permukaan tanah belum terlalu besar yang disebabkan karena air tertampung atau masuk kedalam pori pori tanah ( Lampiran 3 ) Belum terjadi banjir yang disebabkan karena daerah peresapan air masih mencukupi, sehingga limpasan air yang ada di permukaan tanah belum terlalu besar yang disebabkan karena air tertampung atau masuk kedalam pori pori tanah ( Lampiran 4 ) Belum terjadi banjir yang disebabkan karena daerah peresapan air masih mencukupi, sehingga limpasan air yang ada di permukaan tanah belum terlalu besar yang 47

57 disebabkan karena air tertampung atau masuk kedalam pori pori tanah ( Lampiran 5 ) Terjadi limpasan air dipermukaan tanah yang menyebabkan air bergerak langsung ke permukaan yang lebih rendah sehingga air tidak sempat mengalami peresapan di tanah ( Lampiran 6 ) Terjadi limpasan air dipermukaan tanah yang menyebabkan air bergerak langsung ke permukaan yang lebih rendah sehingga air tidak sempat mengalami peresapan di tanah ( Lampiran 7 ) Terjadi limpasan air dipermukaan tanah yang menyebabkan air bergerak langsung ke permukaan yang lebih rendah sehingga air tidak sempat mengalami peresapan di tanah ( Lampiran 8 ) Terjadi limpasan air dipermukaan tanah yang menyebabkan air bergerak langsung ke permukaan yang lebih rendah sehingga air tidak sempat mengalami peresapan di tanah ( Lampiran 9 ) Terjadi limpasan air dipermukaan tanah yang menyebabkan air bergerak langsung ke permukaan yang lebih rendah sehingga air tidak sempat mengalami peresapan di tanah ( Lampiran 10 ) Tabel 4.2 : Tabel analisa % Impervious dengan Debit Dari parameter parameter % impervious di atas di ambil data % imperious dari 10 % sampai 50 %, hal ini di sebabkan karena pada kondisi % impervious di naikan maka akan terjadi peningkatan debit pada outflow. Sedangkan pada % impervious lebih dari 50 % terjadi limpasan di permukaan yang terlalu besar dan mulai terjadi banjir, maka dari hal ini air sudah tidak dapat lagi di tampung pada saluran dan kecenderungannya akan terjadi 48

58 limpasan air di sekitar sungai. Sehingga menyebabkan ketidak akuratan dalam penghitungan debit di outflow. Grafik perbandingan % impervious Debit m³/jam m³/jam m³/jam m³/jam m³/jam m³/jam Tabel 4.3 Tabel perbandingan % Impervious dengan Debit Debit % Impervious VS Debit y = x x x R 2 = % Impervious Grafik 4.2 : perandingan % impervious dab debit Dari grafik di atas di dapatkan sebuah persamaan yang membandingkan antara besaran debit dan % impervious ( y = x³ x² x ) dengan R² = Grafik tersebut menjelaska tentang perbandingan antara debit dan % impervious, semakin tinggi % impervious yang terjadi maka akan semakin tinggi pula debit yang mengalir hal ini disebabkan karena % impervious berpengaruh terhadap peresapan dan tampungan yang akan masuk ke dalam tanah. Semakin tinggi % impervious maka akan semakin kedap pula lapisan permukaan tanah di sebabkan karena sudah terlalu banyak bangunan yang berdiri. 49

59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN = BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisa DAS Beringin menggunakan EPA SWMM dengan kondisi sebenarnya, pengubahan parameter parameter yang ada % Impervious, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada kondisi DAS Beringin sebenarnya, terlihat flooding yang terjadi adalah 0 yang di dapat dari pendisainan saluran yang dapat menampung volume banjir yang akan terjadi dan dari kondisi tersebut dibuat parameter parameter pembanding dengan % Impervious 10 % -100 %, maka di dapatkan perbandingan antara % impervious dengan debit, Grafik perbandingan % impervious Debit m³/jam m³/jam m³/jam m³/jam m³/jam m³/jam Tabel 5.1 Tabel perbandingan % Impervious dengan Debit Debit % Impervious VS Debit y = x x x R 2 = % Impervious Grafik 5.1 : perandingan % impervious dab debit 50

60 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN = yang menghasilkan persamaan debit VS % Impervious ( Hal ini dikarenakan pengaruh dari % of impervious ). Jadi pada kondisi DAS Beringin awal, air hujan lebih mudah masuk ke dalam tanah. Dari grafik di atas di dapatkan sebuah persamaan yang membandingkan antara besaran debit dan % impervious ( y = x³ x² x ) dengan R² = Semakin tinggi % impervious yang terjadi maka akan semakin tinggi pula debit yang mengalir hal ini disebabkan karena % impervious berpengaruh terhadap peresapan dan tampungan yang akan masuk ke dalam tanah. Semakin tinggi % impervious maka akan semakin kedap pula lapisan permukaan tanah di sebabkan karena sudah terlalu banyak bangunan yang berdiri. 2. Dalam mengurangi banjir pada DAS Beringin dapat dilakukan dengan cara penetapan saluran yang sesuai dengan keadaan lapangan, dan dalam kenyataanya perlu memperhatikan tata guna lahan disekitar DAS Beringin sebab factor tata guna lahan sangat berpengaruh penting terhadap terjadinya banjir. 3. Perencanaan saluran mengakibatkan tidak terjadinya banjir pada DAS Beringin. Ini terlihat pada kondisi DAS Beringin masa depan (perencanaan), meskipun dengan % of impervious sama dengan kondisi DAS Beringin, tidak terjadi banjir. 4. Perubahan fungsi dan tata guna lahan dapat menyebabkan terjadinya banjir. 5. Parameter terpenting dalam pemodelan menggunakan EPA SWMM adalah ketepatan dalam menetukan besarnya % of impervious, desain saluran yang efisien dan efektif dan penentuan infiltrasi. 51

61 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN = 5.2 Saran 1. Dalam penggunaan model EPA-SWMM, akan lebih baik bila mempunyai data lain yang dapat digunakan untuk pembanding. 2. Dalam kaitannya dengan banjir, pemerintah hendaknya dapat bertindak lebih tegas dalam menegakkan regulasi terutama yang berkaitan dengan lingkungan dan tata ruang kota. 3. Dalam mengurangi terjadinya banjir perlu ditanamkan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya daerah peresapan yang sangt berperan penting terhadap terjadinya banjir. 52

62 DAFTAR PUSTAKA Ven Te Chow, David R. Maidment, and Larry W. Mays, Applied Hydrology, McGraw-Hill Book Company, Lewis A. Rossman, Storm Water Management Model User s Manual Version 5.0, Water Supply and Water Resources Division National Risk Management Research Laboratory Cincinnati, OH 45268, Gatot Irianto, Alih Fungsi Lahan: Dampaknya Terhadap Produksi Air dan DAS, Tabloid Sinar Tani, G.F. Lane-Serff, Water Engineering, Adidarma. W, Martha. J.W, 1991, Mengenal Dasar-Dasar Hidrologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Harto. S, 1981, Hidrologi Terapan Edisi Pertama, Teknik Sipil UGM, Yogyakarta. Harto. S, 1993, Analisis Hidrologi Edisi Pertama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sosrodarsosno. S, Takeda. K, 1990, Hidrologi Untuk Pengairan, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Sudibyo, 1993, Teknik Bendungan, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. 53

63 LAMPIRAN LAMPIRAN Pemodelan DAS Beringin Dengan Menggunakan Parameter Pembanding. Setelah seluruh data dan parameter dari DAS Beringin untuk kondisi sebenarnya dimasukkan, maka akan dibuat suatu parameter pembanding, pada kasus ini kami menggunakan perubahan parameter pada % Impervious Perubahn Tata Guna Lahan didapat output seperti dibawah ini. Dengan parameter Impervious = 10 % Parameter Parameternya adalah : Slope =1,3 % Imperv =10% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec 54

64 LAMPIRAN ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals

65 LAMPIRAN ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT :

66 LAMPIRAN ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.13 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:35: Total elapsed time: < 1 sec Grafik L1.1 : debit outflow Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L1.1 : potongan melintang saluran node

67 LAMPIRAN Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L1.2 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L1.3 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan

68 LAMPIRAN Gambar L1.4 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan 68. Gambar L1.5 potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

69 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 20 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 20% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding Evaporation Loss

70 LAMPIRAN Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

71 LAMPIRAN 91 JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:36: Total elapsed time: 00:00:01 Grafik L2.1 : debit outflow 62

72 LAMPIRAN Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L2.1 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L2.2 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

73 LAMPIRAN Gambar L2.3 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L2.4 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

74 LAMPIRAN Gambar L2.5 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

75 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 30 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 30% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding Evaporation Loss

76 LAMPIRAN Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

77 LAMPIRAN 90 JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:37: Total elapsed time: < 1 sec 68

78 LAMPIRAN Grafik L3.1 : debit outflow Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L3.1: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L3.2 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

79 LAMPIRAN Gambar L3.3 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L3.4 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

80 LAMPIRAN Gambar L3.5 : potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

81 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 40 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 40% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow

82 LAMPIRAN Surface Flooding Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

83 LAMPIRAN 90 JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:38: Total elapsed time: < 1 sec 74

84 LAMPIRAN Grafik L4.1 : debit outflow Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L4.1: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L4.2: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

85 LAMPIRAN Gambar L4.3: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L4.4: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

86 LAMPIRAN Gambar L4.5: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

87 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 50 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 50% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow

88 LAMPIRAN Surface Flooding Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

89 LAMPIRAN 90 JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:38: Total elapsed time: < 1 sec Grafik L5.1 : debit outflow 80

90 LAMPIRAN Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L5.1: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L5.2: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

91 LAMPIRAN Gambar L5.3: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L5.4: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

92 LAMPIRAN Gambar L5.5: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

93 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 60 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 60% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow

94 LAMPIRAN Surface Flooding Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

95 LAMPIRAN 88 JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:39: Total elapsed time: < 1 sec Grafik L6.1 : debit outflow 86

96 LAMPIRAN Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L6.1: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L6.2: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

97 LAMPIRAN Gambar L6.3: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L6.4: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

98 LAMPIRAN Gambar L6.5: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

99 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 70 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 70% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding

100 LAMPIRAN Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

101 LAMPIRAN 91 JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:39: Total elapsed time: 00:00:01 Grafik L7.1 : debit outflow 92

102 LAMPIRAN Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L7.1: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L7.2: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

103 LAMPIRAN Gambar L7.3: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L7.4: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

104 LAMPIRAN Gambar L7.5: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

105 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 80 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 80% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding

106 LAMPIRAN Evaporation Loss Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

107 LAMPIRAN 91 JUNCTION : JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.12 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:40: Total elapsed time: 00:00:01 Grafik L8.1 : debit outflow 98

108 LAMPIRAN Di bawah ini gambar potongan penampang saluran : Gambar L8.1: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 76 ke node 86, dan melalui conduit 77, 57, 58 dan 63. Gambar L8.2: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 78 ke node 86, dan melalui conduit 55, 56, 60, 61 dan

109 LAMPIRAN Gambar L8.3: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melintang yang menghubungkan dari node 77 ke node 86, dan melalui conduit 54, 56, 60, 61 dan 62. Gambar L8.4: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 86 ke node 25, dan melalui conduit 71, 70, 31, 74, 79, 65, 64 dan

110 LAMPIRAN Gambar L8.5: potongan melintang saluran node Dari gambar di atas dapat diketahui desain saluran secara melitang yang menghubungkan dari node 91 ke node 25, dan melalui conduit

111 LAMPIRAN Dengan parameter Impervious = 90 % Parameter Parameternya adalah : Slope = 1,3 % Imperv = 90% N Imperv = 0,012 N Perv = 0,012 Dstore Imperv = 0,05 Dstore Perv = 0,05 Zero Imperv = 25 % EPA STORM WATER MANAGEMENT MODEL - VERSION 5.0 (Build ) **************** Analysis Options **************** Flow Units... CMS Infiltration Method... HORTON Flow Routing Method... KINWAVE Starting Date... OCT :00:00 Ending Date... OCT :00:00 Antecedent Dry Days Report Time Step... 00:15:00 Wet Time Step... 00:15:00 Dry Time Step... 01:00:00 Routing Time Step sec ************************** Volume Depth Runoff Quantity Continuity hectare-m mm ************************** Total Precipitation Evaporation Loss Infiltration Loss Surface Runoff Final Surface Storage Continuity Error (%) ************************** Volume Volume Flow Routing Continuity hectare-m Mliters ************************** Dry Weather Inflow Wet Weather Inflow Groundwater Inflow RDII Inflow External Inflow External Outflow Surface Flooding Evaporation Loss

112 LAMPIRAN Initial Stored Volume Final Stored Volume Continuity Error (%) *************************** Subcatchment Runoff Summary *************************** Total Total Total Total Total Peak Runoff Precip Runon Evap Infil Runoff Runoff Coeff Subcatchment mm mm mm mm mm CMS Totals ****************** Node Depth Summary ****************** Average Maximum Maximum Time of Max Total Total Depth Depth HGL Occurrence Flooding Minutes Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm Flooded JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION : JUNCTION :

113 LAMPIRAN 92 JUNCTION : OUTFALL : ******************** Link Flow Summary ******************** Maximum Time of Max Maximum Length Max/ Total Flow Occurrence Velocity Factor Full Minutes Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Surcharged CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : CONDUIT : ************************* Routing Time Step Summary ************************* Minimum Time Step : sec Average Time Step : sec Maximum Time Step : sec Percent in Steady State : 0.00 Average Iterations per Step : 1.13 Analysis begun on: Mon Sep 24 23:40: Total elapsed time: < 1 sec Grafik L9.1: debit outflow 104

Kredit Foto: WWF-Canon / Paul FORSTER. WWF-Canon / André BÄRTSCHI. WWF-Canon / Mark EDWARDS. Design and Layout: Aulia Rahman

Kredit Foto: WWF-Canon / Paul FORSTER. WWF-Canon / André BÄRTSCHI. WWF-Canon / Mark EDWARDS. Design and Layout: Aulia Rahman Kredit Foto: WWF-Canon / Paul FORSTER WWF-Canon / André BÄRTSCHI WWF-Canon / Mark EDWARDS Design and Layout: Aulia Rahman Daftar Isi Daftar Isi Daftar Gambar 2 Daftar Tabel 3 BAB 1 PENDAHULUAN 4 1.1 Latar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka konservasi sungai, pengembangan

Lebih terperinci

MEKANISME SUBSIDI ANGKUTAN UMUM PADA TRAYEK UTAMA SEBAGAI AKIBAT KENAIKAN HARGA BBM DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MEKANISME SUBSIDI ANGKUTAN UMUM PADA TRAYEK UTAMA SEBAGAI AKIBAT KENAIKAN HARGA BBM DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MEKANISME SUBSIDI ANGKUTAN UMUM PADA TRAYEK UTAMA SEBAGAI AKIBAT KENAIKAN HARGA BBM DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : Arief Munandar L2D 005 346 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ALAT BANTU LOGGING UNTUK MENGURANGI SELIP PADA JALAN YANG LICIN Oleh : Yuniawati, Dulsalam, Maman Mansyur Idris, Sukadaryati dan Sona Suhartana

ALAT BANTU LOGGING UNTUK MENGURANGI SELIP PADA JALAN YANG LICIN Oleh : Yuniawati, Dulsalam, Maman Mansyur Idris, Sukadaryati dan Sona Suhartana ALAT BANTU LOGGING UNTUK MENGURANGI SELIP PADA JALAN YANG LICIN Oleh : Yuniawati, Dulsalam, Maman Mansyur Idris, Sukadaryati dan Sona Suhartana Abstrak Kegiatan pengangkutan kayu membutuhkan kelancaran

Lebih terperinci

EVALUASI MEDAN UNTUK ANALISIS KERUSAKAN JALUR JALAN SURAKARTA PURWODADI DI KECAMATAN GEYER KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2007

EVALUASI MEDAN UNTUK ANALISIS KERUSAKAN JALUR JALAN SURAKARTA PURWODADI DI KECAMATAN GEYER KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2007 EALUASI MEDAN UNTUK ANALISIS KERUSAKAN JALUR JALAN SURAKARTA PURWODADI DI KECAMATAN GEYER KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 007 Skripsi Oleh: Riyadi NIM K 54005 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIERSITAS

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK LOKASI SENTRA INDUSTRI DI KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN TAHUN 2011. Oleh : SARWORINI NIM : K5402039

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK LOKASI SENTRA INDUSTRI DI KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN TAHUN 2011. Oleh : SARWORINI NIM : K5402039 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK LOKASI SENTRA INDUSTRI DI KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN TAHUN 2011 Oleh : SARWORINI NIM : K5402039 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

MENGURANGI RESIKO KECELAKAAN LALU-LINTAS MELALUI AUDIT KESELAMATAN JALAN (Studi Kasus Jalan Kalimantan Kota Bengkulu)

MENGURANGI RESIKO KECELAKAAN LALU-LINTAS MELALUI AUDIT KESELAMATAN JALAN (Studi Kasus Jalan Kalimantan Kota Bengkulu) SKRIPSI MENGURANGI RESIKO KECELAKAAN LALU-LINTAS MELALUI AUDIT KESELAMATAN JALAN (Studi Kasus Jalan Kalimantan Kota Bengkulu) Oleh : DAFID WAL IKROOM G1B006009 PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN PERTANIAN DAN TEKANAN PENDUDUK

ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN PERTANIAN DAN TEKANAN PENDUDUK 1 ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN PERTANIAN DAN TEKANAN PENDUDUK (STUDI KASUS KABUPATEN PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2003) Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar

Lebih terperinci

MODUL DASAR BIDANG KEAHLIAN KODE MODUL SMKP1C03-04DBK

MODUL DASAR BIDANG KEAHLIAN KODE MODUL SMKP1C03-04DBK MODUL DASAR BIDANG KEAHLIAN KODE MODUL 04DBK KUALITAS AIR DAN KEGUNAANNYA DI BIDANG PERTANIAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PROYEK PENGEMBANGAN SISTEM DAN STANDAR PENGELOLAAN SMK DIREKTORAT PENDIDIKAN

Lebih terperinci

[ ( ) I t = intensitas hujan jam-jaman (mm/jam) R= curah hujan rancangan (mm/hari) T= waktu hujan efektif (menit)

[ ( ) I t = intensitas hujan jam-jaman (mm/jam) R= curah hujan rancangan (mm/hari) T= waktu hujan efektif (menit) PENDAHULUAN Banjir yang hampir setiap tahun terjadi akibat dari meluapnya Sungai Dapit menyebabkan kerugian kepada penduduk yang tinggal di sekitar Sungai Dapit. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PENGELOLAAN SAMPAH SECARA TERPADU DI KAMPUNG NITIPRAYAN

TUGAS AKHIR PENGELOLAAN SAMPAH SECARA TERPADU DI KAMPUNG NITIPRAYAN TA/TL/2008/0254 TUGAS AKHIR PENGELOLAAN SAMPAH SECARA TERPADU DI KAMPUNG NITIPRAYAN Diajukan Kepada Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Teknik

Lebih terperinci

LAMPIRAN I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LAMPIRAN I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL TENTANG PEDOMAN MONITORING DAN EVALUASI DAERAH ALIRAN SUNGAI NOMOR : P.04/V-SET/2009 TANGGAL : 05 Maret 2009 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH KENDARAAN TERHADAP KERUSAKAN JALAN ASPAL KELAS II DI KABUPATEN SEMARANG

PENGARUH JUMLAH KENDARAAN TERHADAP KERUSAKAN JALAN ASPAL KELAS II DI KABUPATEN SEMARANG PENGARUH JUMLAH KENDARAAN TERHADAP KERUSAKAN JALAN ASPAL KELAS II DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Ditujukan Kepada : Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR SUNGAI BAWAH TANAH BRIBIN DI KECAMATAN SEMANU KABUPATEN GUNUNG KIDUL DIY TESIS

KAJIAN TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR SUNGAI BAWAH TANAH BRIBIN DI KECAMATAN SEMANU KABUPATEN GUNUNG KIDUL DIY TESIS KAJIAN TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR SUNGAI BAWAH TANAH BRIBIN DI KECAMATAN SEMANU KABUPATEN GUNUNG KIDUL DIY TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

Tabel 4.2. Kepentingan dan Peran Stakeholder Pemerintah/non-Pemerintah Tingkat Kota Batu dalam Pengelolaan DAS Sumber Brantas

Tabel 4.2. Kepentingan dan Peran Stakeholder Pemerintah/non-Pemerintah Tingkat Kota Batu dalam Pengelolaan DAS Sumber Brantas Tabel 4.2. Kepentingan dan Peran Stakeholder Pemerintah/non-Pemerintah Tingkat Kota Batu dalam Pengelolaan DAS Sumber Brantas Stakeholder (Stakeholder) DPRD dan Wali Kota Kepentingan dalam pengelolaan

Lebih terperinci

Topik 10. Drainase Bawah Permukaan

Topik 10. Drainase Bawah Permukaan 1 Topik 10. Drainase Bawah Permukaan Foto Pemasangan pipa drainase dengan mesin di Belanda Pendahuluan Tujuan instruksional khusus: mahasiswa mampu memahami perhitungan spasing, diameter pipa dan slope

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN BIAYA RELEVAN DALAM MENERIMA ATAU MENOLAK PESANAN KHUSUS PADA PT. ADINATA DI MAKASSAR SKRIPSI

ANALISIS PENERAPAN BIAYA RELEVAN DALAM MENERIMA ATAU MENOLAK PESANAN KHUSUS PADA PT. ADINATA DI MAKASSAR SKRIPSI ANALISIS PENERAPAN BIAYA RELEVAN DALAM MENERIMA ATAU MENOLAK PESANAN KHUSUS PADA PT. ADINATA DI MAKASSAR SKRIPSI OLEH : ANDRY A311 07 679 FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PARAMETER FISIKA PERAIRAN PULAU SEKATAP KELURAHAN DOMPAK KECAMATAN BUKIT BESTARI KOTA TANJUNGPINANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU

KONDISI UMUM PARAMETER FISIKA PERAIRAN PULAU SEKATAP KELURAHAN DOMPAK KECAMATAN BUKIT BESTARI KOTA TANJUNGPINANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU KONDISI UMUM PARAMETER FISIKA PERAIRAN PULAU SEKATAP KELURAHAN DOMPAK KECAMATAN BUKIT BESTARI KOTA TANJUNGPINANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU LAPORAN PRAKTIK LAPANG OLEH REYGIAN FREILA CHEVALDA PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Peran dan Arti AMDAL DR. IR. RIRIEN PRIHANDARINI, MS

Peran dan Arti AMDAL DR. IR. RIRIEN PRIHANDARINI, MS Peran dan Arti AMDAL DR. IR. RIRIEN PRIHANDARINI, MS Konsep AMDAL di Indonesia AMDAL secara formal berasal dr US National Environmental Policy Act (NEPA) th 1969; Dalam UU ini AMDAL dimaksudkan sbg alat

Lebih terperinci

KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA AYAM PETELUR (ANALISIS BIAYA MANFAAT DAN BEP PADA KEANU FARM, KENDAL)

KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA AYAM PETELUR (ANALISIS BIAYA MANFAAT DAN BEP PADA KEANU FARM, KENDAL) KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA AYAM PETELUR (ANALISIS BIAYA MANFAAT DAN BEP PADA KEANU FARM, KENDAL) SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Negeri Semarang Oleh Richo Dian Krisno.A 7450406053

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KONDISI TERMAL RUANG RUMAH SUSUN PERUMNAS PALEMBANG

IDENTIFIKASI KONDISI TERMAL RUANG RUMAH SUSUN PERUMNAS PALEMBANG PENELITIAN DOSEN DAN MAHASISWA IDENTIFIKASI KONDISI TERMAL RUANG RUMAH SUSUN PERUMNAS PALEMBANG Oleh : KETUA : LIVIAN TEDDY, ST, MT ANGGOTA : WIENTY TRIYULY, ST, MT IWAN MURAMAN IBNU, ST, MT Ir. H. SETYO

Lebih terperinci

TINJAUAN JARAK AWAL LONCAT AIR AKIBAT PERLETAKAN END SILL PADA PINTU AIR GESER TEGAK (SLUICE GATE) Jhonson Andar H 1), Paulus N 2)

TINJAUAN JARAK AWAL LONCAT AIR AKIBAT PERLETAKAN END SILL PADA PINTU AIR GESER TEGAK (SLUICE GATE) Jhonson Andar H 1), Paulus N 2) TINJAUAN JARAK AWAL LONCAT AIR AKIBAT PERLETAKAN END SILL PADA PINTU AIR GESER TEGAK (SLUICE GATE) Jhonson Andar H 1), Paulus N ) 1) Jurusan Teknik Spil Fakultas Teknik UKRIM Yogyakarta ) Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS DAN TATACARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEDOMAN TEKNIS DAN TATACARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 22/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS DAN TATACARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI ii KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ii KATA PENGANTAR DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..i DAFTAR ISI ii BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 1.2.Dasar Hukum Pelaksanaan Pekerjaan 2 1.3.Maksud dan Tujuan. 3 1.4.Ruang dan Lingkup Pekerjaan.....3 1.4.1. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi untuk mengetahui besarnya dana yang harus disediakan untuk sebuah

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi untuk mengetahui besarnya dana yang harus disediakan untuk sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Estimasi biaya memegang peranan penting dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Kegiatan estimasi adalah salah satu proses utama dalam proyek konstruksi untuk mengetahui

Lebih terperinci

Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur

Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur Betha Lusiana, Rudy Widodo, Elok Mulyoutami, Dudy Adi Nugroho and Meine van Noordwijk Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten

Lebih terperinci

Analisis Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku (Tanah Longsor Banjir Gempa Bumi - Tsunami)

Analisis Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku (Tanah Longsor Banjir Gempa Bumi - Tsunami) KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA Laporan Akhir Analisis Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku (Tanah Longsor Banjir Gempa Bumi - Tsunami) Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PENATAAN BATAS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PEDOMAN PELAKSANAAN PENATAAN BATAS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PEDOMAN PELAKSANAAN PENATAAN BATAS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL i ii iii KATA PENGANTAR P enetapan sebuah kawasan sebagai kawasan konservasi perairan pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci