DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU"

Transkripsi

1 DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU FAHRULIAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU adalah benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2012 FAHRULIAN C

3 RINGKASAN FAHRULIAN. Deteksi Keberadaan Gunung Bawah Laut (Seamount) Dan Dimensinya Menggunakan Echosounder Multibeam di Perairan Bengkulu. Dibimbing Oleh HENRY MUNANDAR MANIK dan DJOKO HARTOYO. Informasi batimetri tidak hanya derguna untuk menggambarkan topografi dasar laut. Data batimetri juga dapat digunakan untuk menduga keberadaan suatu gunung bawah laut disuatu perairan. Keberadaan gunung bawah laut sangat penting untuk diketahui, hal ini bertujuan untuk mengantisipasi daerah yang berpotensi terhadap bencana meletusnya gunung api maupun bidang lainnya. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret-Juli Tujuan penelitian ini untuk menduga keberadaan gunung bawah laut (seamount) dan melakukan pengukuran terhadap dimensi seperti tinggi, diameter, dan jumlah puncak. Instrumen akustik yang digunakan terdiri dari 2 yaitu: ELAC SeaBeam 1050D dengan frekuansi 50 khz dan Simrad EM 12D dengan frekuensi 12 khz. Survei batimetri dilakukan di perairan barat daya Pulau Sumatera, tepatnya di provinsi Bengkulu pada tanggal Desember Akuisisi data dilakukan menggunakan perangkat lunak Hydrostar yang terdapat dalam Kapal Baruna Jaya 3 dan Kapal Baruna Jaya 4. Perangkat lunak (software) yang digunakan untuk mengolah data kedalaman adalah CARIS HIPS and SIPS 6.1. Data amplitudo dan backscatter dari hasil kegiatan pemeruman diperoleh melalui pemrosesan data mentah pada MBSystem. Tampilan 3 dimensi gunung bawah laut diperoleh melalui perangkat lunak Fledermaus 6.2. Gunung bawah laut diasumsikan sebagai suatu objek yang bebrbentuk kerucut dengan alas elips untuk melakukan perhitungan terhadap dimensinya. Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai keberadaan suatu objek yang diduga kuat sebagai gunung bawah laut (seamount) yang berjarak 320 Kilometer arah barat daya kota Bengkulu, tepatnya pada koordinat ,16 LS dan ,47 BT. Tinggi gunung bawah laut ± meter serta memiliki dua puncak yang dipisahkan oleh celah yang disebut kaldera pada jarak ± meter. Puncak gunung berada pada kedalaman ± meter. Diameter panjang (major axis) gunung tersebut ± meter dan diameter pendek (minor axis) berdasarkan hasil pengukuran dari gunung tersebut yaitu ± meter. Berdasarkan pendapat beberapa ahli geologi, gunung tersebut termasuk kedalam kategori gunung yang tidak aktif.

4 ABSTRACT FAHRULIAN, Detection of the Seamount Existence and Dimensions Using Multibeam Echosounder in Bengkulu s Seas SUPERVISED BY HENRY MANIK AND DJOKO HARTOYO The research Detection of the Seamount Existence and Measuring Dimensions by Using Multibeam Echosounder in Bengkulu s Seas was conducted during 5 months from Maret until July The aim from this research is to guess the existence of seamount and measuring dimension such as height, diameters, and number of peaks. There are two acoustic instruments used in this research, consisted of : ELAC Seabeam 1050D with a frequency of 50 khz and Simrad EM 12D with a frequency of 12 khz. Bathymetric survey conducted in southwest Sumatera island on December Data acquisition was obtained by using the hydrostar software in Baruna Jaya III and Baruna Jaya IV vessel. CARIS HIPS and SIPS 6.1 used to get data of bathymetry. Amplitude and backscatter data obtained by processing on the MB System. Visualization of data is performed by using the Fladermaus 6.2 software thus obtained in 3D. Seamount is assumed as a cone with an elliptical base to calculate the dimensions. The result from this research is existence of an object that is allegedly as a seamount at 320 Kilometers from the southwest of Bengkulu city, precisely at ,16 southern latitude and ,47 east longitude. The seamount height is ± meters and has two peak separated by a gap called a caldera at ± meters. The major axis is ± meters and the minor axis in this seamount is ± meters. Seamount peaks located at ± meters below sea level. Based on the opinion of some geologists, the seamount is expressed as an inactive volcano Keyword : Seamount, Topography and Dimensions of the seamount

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG API BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU FAHRULIAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

7 SKRIPSI Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok Departemen : DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU : Fahrulian : C : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Prof. Dr.Ir. Setyo Budi Susilo. M.Sc NIP Tanggal lulus : 23 Nopember 2012

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyususnan skripsi dengan baik. Skripsi yang berjudul Deteksi Keberadaan Gunung Bawah Laut dan Dimensinya Menggunakan Echosounder Multibeam di Perairan Bengkulu ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Penyusunan skripsi ini dapat selesai karena dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Drs. H. Ismail, M.Pd dan Hj. Erna Susilawati beserta keluarga yang tidak henti-hentinya memberikan doa dan dukungan kepada penulis. 2. Dr. Henry Manik, S.Pi., M.T dan Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah membantu dalam penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 3. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas bantuannya selama proses penyelesaian studi di IPB. 4. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan data Multibeam. 5. Badan Informasi Geospasial (BIG) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan data pasang surut daerah Bengkulu. 6. Teman-teman, khususnya ITK angkatan 45. Penulis mengucapakan terimakasih atas kebersamaannya selama ini dan segala bantuan, motivasi, dan doa yang diberikan kepada penulis.

9 Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2012 Fahrulian

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iii iv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standars For Hydrographic Survei (S.44-IHO) Klasifikasi Survei Orde Khusus Orde Satu Orde Dua Orde Tiga Prinsip Kerja Multibeam ELAC SeaBeam 1050D Simrad EM 12D Kalibrasi Multibeam Kalibrasi Offset Statik Kalibrasi Pitch Kalibrasi Roll Kalibrasi Time Delay Sound Velocity Profile (SVP) Differential GPS (DGPS) Gunung Bawah Laut (seamount) dan Dimensinya METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan Data Multibeam Pengolahan Data Kedalaman Pengambilan Data Sound Velocity Profile (SVP) Pengambilan Data Pasang Surut (Tide) Pemrosesan Data Pemrosesan Data Backscatter dan Amplitudo Pengukuran Dimensi Gunung Bawah Laut HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Sound Velocity Provile (SVP) Pasang Surut Topografi Dasar Laut i

11 Gunung Bawah Laut Dimensi Gunung Bawah Laut Sebaran Nilai Amplitudo Sebaran Nilai Backscatter PEMBAHASAN Sound Velocity Profile (SVP) Pasang Surut Topografi Dasar Laut Gunung Bawah Laut Sebaran Nilai Amplitudo Sebaran Nilai Backscatter KESIPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Prinsip pengukuran backscattering menggunakan multibeam sonar Visualisasi sapuan multibeam Jangkauan sapuan ELAC SeaBeam 1050D terhadap kedalaman perairan Konfigurasi linear transducer dan pola beam yang dihasilkan dari sistem multibeam Kalibrasi offset statik Kalibrasi pitch Kalibrasi roll Kalibrasi time delay Profil kecepatan suara air laut Cara kerja sistem DGPS terhadap reference station Peta penyebaran gunung bawah laut Morfologi gunung api Peta lokasi pengambilan data multibeam Diagram alir perolehan dan pengolahan data multibeam Jalur survei kapal selama melakukan kegiatan sounding dengan SeaBeam 1050D Survei kapal selama melakukan kegiatan sounding dengan Simrad EM 12D Diagram alir pengolahan data multibeam pada CARIS HIPS and SIPS Diagram alir pemrosesan data multibeam untuk memperoleh nilai hambur balik (backscatter) dan amplitudo pada MBSystem Asumsi bentuk gunung bawah laut. (a) bentuk kerucut (b) alas gunung yang berbentuk elips Profil kecepatan suara di lokasi penelitian iii

13 21. Grafik pasang surut di perairan bengkulu Profil batimetri beberapa line survei menggunkan Simrad EM 12D Profile batimetri beberapa line survei menggunkan ELAC SeaBeam 1050D Tampilan 2D gunung bawah laut (seamount) di perairan bengkulu dengan menggunakan Simrad EM 12D Tampilan 2D gunung bawah laut (seamount) di perairan bengkulu dengan menggunkan SeaBeam 1050D Bentuk gunung bawah laut hasil pemeruman dengan SeaBeam 1050D. (a) tampak depan dan (b) tampak atas Bentuk gunung bawah laut hasil pemeruman dengan Simrad EM 12D. (a) tampak depan dan (b) tampak atas Pengukuran tinggi gunung bawah laut Pengukuran diameter panjang (major axis) gunung bawah laut Pengukuran diameter pendek (minor axis) gunung bawah laut Pengukuran jarak antara kedua puncak Celah diantara dua puncak gunung Sebaran nilai amplitudo di lokasi penelitian dengan menggunakan SeaBeam 1050D Sebaran nilai backscatter di lokasi penelitian dengan menggunakan Simrad EM 12D Hubungan antara suhu, Salinitas dan tekanan terhadap kecepatan suara Proses koreksi swath data multibeam pada perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS Proses koreksi altitude data multibeam pada perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS Proses koreksi kecepatan kapal Sketsa pantulan sinyal akustik ketika menyentuh dasar perairan iv

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Spesifikasi SeaBeam 1050D multibeam sonar Lampiran 2. Profil kapal baruna jaya IV Lampiran 3. Spesifikasi coda octopus F Lampiran 4. Standar ketelitian kedalaman menurut IHO (International Hydrographic Organization) Lampiran 5. Data backscater Simrad EM 12D Lampiran 6. Data amplitudo ELAC SeaBeam 1050D Lampiran 7. Stasiun pengambilan data pasang surut Lampiran 8. Data pasang surut perairan bengkulu pada Desember Lampiran 9. Listing program MBSystem v

15 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena alam yang terjadi di muka bumi bersifat dinamis dan terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama, mengakibatkan adanya perubahan bentuk muka bumi. Perubahan itu tidak hanya terjadi di darat, melainkan juga terjadi di lingkungan laut. Salah satu kajian dari perubahan struktur bumi yang terjadi di lingkungan laut yaitu mengenai perubahan kedalaman suatu perairan (batimetri). Kajian batimetri yang telah disebutkan sebelumnya dapat dijadikan acuan dalam penentuan morfologi dasar laut yang kemudian dari informasi tersebut diharapkan mampu menghasilkan informasi tambahan mengenai keberadaan gunung bawah laut (seamount) yang ada di suatu perairan khususnya di wilayah barat Pulau Sumatera. Posisi kawasan Indonesia yang terletak pada 3 jalur tektonik atau biasa disebut lempeng lithospheric yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik, memberikan pengaruh yang besar terhadap bentukan roman dan morfologi dasar laut. Keberadaan gunung pada umumnya sering dijumpai di daratan, namun kemajuan teknologi dan eksplorasi dasar laut yang semakin berkembang berhasil mengungkapkan bahwa gunung juga dapat ditemukan di lingkungan laut. Berbagai kegiatan survei kelautan telah banyak dilakukan di perairan Indonesia, salah satunya adalah Indonesian Explorer Sangihe Talaud (INDEX- SATAL) yang merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat yang dilaksanakan pada tahun Hasil dari kegiatan ini adalah penemuan gunung api di kawasan perairan tersebut. Gunung api yang ditemukan di perairan Sangihe Talaud termasuk kedalam kategori gunung aktif, 1

16 2 hal ini terlihat dari adanya aktivitas vulkanik berupa timbulnya gelembunggelembung panas. Kegiatan serupa juga dilakukan atas kerjasama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, CGGVeritas dan Institut de Physique du Globe (IPG) Paris dengan menggunakan kapal seismik Geowave Champion milik CGGVeritas di perairan barat daya Pulau Sumatera pada tahun Tujuan dari diadakannya survei yaitu untuk mengetahui struktur geologi lau dalam di perairan Sumatera. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim riset, telah ditemukan sebuah gunung besar yang diduga sebuah gunung bawah laut. Penemuan ini menjadi kajian yang sangat menarik untuk dibahas dalam bidang kepentingan penelitian maupun wisata. Keberadaan gunung bawah laut (seamount) khususnya gunung bawah laut yang besar (giant volcano) sangat erat kaitannya dengan aktifitas lempeng yang ada di Indonesia. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini untuk menduga keberadaan gunung bawah laut (seamount) di perairan Pulau Sumatera khususnya di perairan Bengkulu dan mengetahui dimensi dari gunung tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memperoleh informasi mengenai posisi, tinggi, diameter, dan jumlah puncak dari gunung bawah laut tersebut. 2

17 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards For Hydrographic Survei (S.44-IHO) Informasi mengenai kondisi dasar laut dapat diperoleh melalui sebuah kegiatan yang disebut survei batimetri. Kajian untuk mengetahui keberadaan gunung bawah laut (seamount) dititikberatkan pada perolehan data batimetri suatu perairan. Kegiatan pemeruman (sounding) memungkinkan untuk mengetahui kedalaman laut. Kegiatan pemeruman hanya dilakukan di beberapa titik saja sesuai dengan objek yang ingin diperoleh. Batimetri adalah ukuran tinggi rendahnya dasar laut yang merupakan sumber informasi utama mengenai dasar laut (Ariana, 2002). Publikasi khusus yang dilakukan oleh International Hydrography Organization melalui IHO Standars For Hydrographic Surveys edisi ke-4 tahun 1998 manyatakan bahwa dalam melakukan survei batimetri dibagi menjadi beberapa orde yang berbeda sesuai dengan pembagian kawasan lokasi survei dilakukan. Publikasi ini juga digunakan sebagai acuan untuk melakukan survei berdasarkan standar internasional. Ketentuan ini dibuat untuk memberlakukan spesifikasi minimum yang harus dipenuhi dalam pengumpulan data-data yang tepat untuk keselamatan navigasi para pelaut (Gumbira, 2011). 2.2 Klasifikasi Survei Berdasarkan publikasi khusus IHO tahun 1998 terdapat beberapa klasifikasi orde dalam pembagian survei hidrografi. Orde tersebut dibagi menjadi orde khusus, orde satu, orde dua dan orde tiga. 3

18 Orde Khusus Orde ini diperuntukkan bagi wilayah-wilayah kritis dan miliki karakteristik dasar perairan yang mampu membahayakan kapal. Daerah kritis tersebut ditentukan langsung oleh instansi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan survei batimetri. Contoh kawasan yang termasuk kedalam klasifikasi orde khusus ini adalah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar kapal dan alur masuknya kapal. Semua kesalahan harus dibuat seminimal mungkin untuk menghasilkan image dasar perairan dengan resolusi yang tinggi. Kegiatan survei hidrografi pada orde ini dilakukan dengan jarak antar lajur perum yang rapat. Hal yang harus diperhatikan juga pada orde ini adalah setiap benda dengan ukuran lebih besar dari satu meter persegi dapat terlihat oleh peralatan perum yang digunakan Orde Satu Survei hidrografi yang termasuk kedalam orde ini diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, haluan pendekat yang dianjurkan, alur navigasi dan beberapa pantai dengan lalu lintas komersial yang padat dengan kedalaman dibawah lunas kapal cukup memadai dan kondisi dasar perairan tidak membahayakan kapal. Survei orde satu berlaku di daerah yang memiliki kedalaman perairan kurang dari 100 meter. Pada daerah yang termasuk kedalam klasifikasi orde ini, harus diyakinkan bahwa pada kedalaman sampai dengan 40 meter, benda dengan ukuran lebih besar dari dua meter persegi atau benda-benda pada kedalaman lebih 40 meter, harus mampu digambarkan oleh alat pemeruman. 4

19 Orde Dua Orde ini diperuntukkan bagi daerah-daerah yang memiliki kedalaman perairan kurang dari 200 meter. Daerah ini diperkirakan memiliki batimetri yang karakteristiknya tidak membahyakan kapal dalam pelaksanaan survei hidrografi Orde Tiga Klasifikasi ini diperuntukkan bagi semua area yang tidak termasuk kedalam kategori orde khusus, orde satu maupun orde dua. Survei hidrografi termasuk kedalam orde ini jika kedalaman perairan atau batimetri lebih dari 200 meter. Tabel 1. Standar minimum pelaksanaan survei hidrografi Sumber : International Hydrographic Organization, IHO Standards for Hydrographic Surveys, Special Publication No. 44, 4th Edition Tabel di atas menjelaskan standar minimum yang harus dilakukan ketika melaksanakan survei hidrografi. Perhitungan limit error dari akurasi kedalaman 5

20 6 sangat diperlukan untuk tujuan validasi data yang dihasilkan. Perhitungan limit error ini didasarkan pada nilai a dan nilai b yang terdapat pada tabel standar minimum survei hidrografi di atas. 2.3 Prinsip Kerja Multibeam Multibeam merupakan instrumen hidroakustik yang banyak digunakan dalam survei batimetri. Hal ini disebabkan kemampuan instrumen tersebut dalam melakukan pemeruman dasar laut dengan akurasi yang sangat tinggi dan cakupan yang luas (Anderson et al., 2008). Multibeam mengirimkan pulsa suara dalam jumlah yang banyak ke dasar perairan, hal ini memungkinkan untuk dapat dilakukan pemetaan dasar laut secara luas. Prinsip kerja pada instrumen akustik ini pada umumnya sama dengan single beam, yaitu dengan mengukur perbedaan waktu yang dipancarkan dan diterima kembali oleh receiver. Menurut Intelmann et al., tahun 2004 menjelaskan bahwa pemrosesan data multibeam relatif lebih rumit bila dibandingkan dengan gelombang suara single beam. Untuk kepentingan data geologi dasar perairan, diperlukan adanya kompensasi sudut datang dari masing-masing beam yang dipancarkan oleh transducer. Langkah yang harus dilakukan dalam pemrosesan data hambur balik (backscatter) yaitu melalui sebuah algoritma. Data kedalaman dari masing-masing pulsa suara yang dipancarkan terdiri dari nilai amplitudo yang berasal dari pulsa suara yang dipantulkan kembali oleh dasar perairan. Informasi ini disebut data backscatter dan digunakan untuk mengetahui kondisi dasar laut (Gambar 1). Gelombang pantul yang lemah (amplitudo kecil) mengindikasikan substrat dasar perairan yang nilai kekasarannya (roughness) lemah dan gelombang pantul yang kuat 6

21 7 mengindikasikan material dasar perairan yang tingkat kekasarannya (roughness) tinggi. Gambar 1. Prinsip pengukuran backscattering menggunakan multibeam (Kågesten, 2008) Beberapa dekade terakhir ini terjadi perkembangan pemetaan dasar perairan melalui metode akustik. Perkembangan akustik kelautan dimulai pada tahun Akustik digunakan untuk mendeteksi keberadaan gunung es yang menyebabkan kecelakaan kapal Titanic yang dilakukan oleh Alexander Behm. Pada awal tahun 1950, teknik penggunaan multibeam dikembangkan oleh tentara Amerika yang menggunakan lebih dari satu pulsa suara yang dipancarkan pada saat yang bersamaan. Perkembangan multibeam berkembang dengan cepat pada tahun 80 hingga 90an (Furgo Palagos, 2003). Keuntungan dari sistem ini memiliki kemampuan penentuan posisi yang akurat dan membantu untuk menghasilkan peta batimetri dengan resolusi spasial yang tinggi. Gambar 2 di bawah ini menjelaskan bentuk sapuan dari multibeam yang dipancarkan oleh transducer ke dalam kolom perairan ketika melakukan kegiatan pemeruman (sounding). 7

22 8 Gambar 2. Visualisasi sapuan multibeam (L-3 Communication ELAC Nautic GmbH, 2003) 2.4 ELAC SeaBeam 1050D Multibeam ELAC SeaBeam 1050D merupakan jenis instrumen akustik yang dapat digunakan pada kedalaman laut medium, yaitu laut dengan kedalaman mencapai 3000 meter. Multibeam jenis ini memiliki kemampuan untuk memetakan wilayah laut secara luas dengan lebar sapuan mencapai 153 o dan memiliki 126 beam dengan jumlah bukaan 1.5 o untuk masing-masing beam. SeaBeam 1050D memiliki dua frekuensi (dual frequency) yang dapat digunakan, yaitu 50 khz dan 180 khz. Kemampuan deteksi menggunakan frekuensi 50 khz mencapai kedalaman 3000 meter sedangkan frekuensi 180 khz digunakan untuk kedalaman meter. Bentuk pancaran gelombang yang ditransmisikan dari sebuah transducer pada intrumen akustik khususnya SeaBeam 1050D dapat dilihat seperti gambar 3 di bawah ini. 8

23 9 (a) Gambar 3. Jangkauan sapuan ELAC SeaBeam 1050D terhadap kedalaman perairan (a) dengan frekuansi 50 khz dan (b) dengan Frekuensi 180 khz (L3 Communications SEA BEAM 1050D-Multibeam Sonar, 2003) (b) 2.5 Simrad EM 12D Simrad EM 12D merupakan sebuah instrumen akustik yang mampu melakukan pemeruman (sounding) dengan tingkat akurasi dan resolusi yang tinggi (Kongsberg, 2003). Simrad EM 12D juga telah dikonfigurasikan dengan 9

24 10 ketentuan standarisasi berdasarkan ketetapan terbaru yang dibuat oleh International Hydrography Organisatioan (IHO). Jumlah beam per ping pada instrumen ini terdiri dari 162 beam. Simrad EM 12D mampu melakukan pemeruman hingga kedalaman meter. Tingkat resolusi yang diberikan oleh instrumen ini sangat tinggi sehingga akan memberikan gambaran objek yang detail dengan kualitas data yang baik. Resolusi kedalaman yang diberikan oleh Simrad EM 12D yaitu 1 meter. Sedangkan akurasi kedalaman dari alat ini mencapai 5 cm Root Means Square (RMS). Multibeam saat ini menjadi teknologi yang paling penting dalam pemetaan dasar perairan. Instrumen ini terdiri dari sinyal yang dipancarkan ke dasar perairan dan menganalisis pantulan dari sinyal tersebut dalam bentuk data kedalaman dan gambaran dasar perairan. Gambar 4. Konfigurasi linear transducer dan pola beam yang dihasilkan dari sistem multibeam (RØnhovde et al., 1999 ) 2.6 Kalibrasi Multibeam Data yang diperoleh dari hasil pemeruman (sounding) harus melewati proses kalibrasi terhadap adanya pengaruh pergerakan kapal yang diakibatkan 10

25 11 oleh adanya pergerakan masa air laut atau dinamika laut. Tahapan ini dilakukan untuk mengurangi besarnya kesalahan (error) yang akan terjadi selama perekaman data. Selain itu juga proses kalibrasi ini akan menentukan kualitas data yang akan dihasilkan. Proses kalibrasi yang dilakukan terdiri dari kalibrasi offset static, pitch, roll, time delay, cepat rambat gelombang suara (sound speed) dan uji keseimbangan kapal (Mann dan Godin, 1996) Kalibrasi Offset Static Kalibrasi ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian jarak dari sensor yang digunakan terhadap centerline dari kapal dan transducer. Godin (1998) menyatakan bahwa offset statik diukur dari titik referensi yang digunakan pada koordinat transformasi pengukuran kedalaman. Contoh pengukuran offset statik dapat dilihat pada gambar 5. Proses kalibrasi ini memerlukan beberapa komponen, yaitu kapal, antena GPS kapal, transducer, dan kompas gyro Gambar 5. Kalibrasi offset static (Godin, 1998) Beberapa tahapan koreksi yang dilakukan seperti pitch, roll, time delay yang dilakukan memiliki tujuan untuk menghilangkan pengaruh terjadinya perubahan posisi kapal di laut. 11

26 Kalibrasi Pitch Tujuan dari kalibrasi ini adalah untuk mencari nilai koefisien pitch. Pitch dapat didefinisikan sebagai pengaruh pergerakan kapal selama melakukan kegiatan sounding terhadap sumbu-y. Kalibrasi ini perlu dilakukan agar hasil pengukuran kedalaman menjadi akurat. Teknis pelaksanaan dari kalibrasi pitch ini dilakukan dengan membuat garis sapuan dari multibeam yang memiliki kemiringan (slope) tertentu. Pengambilan data ini dilakukan sebanyak dua kali secara bolak-balik dengan kecepatan yang sama. Setelah itu pengambilan data yang kedua dilakukan dengan menggunakan setengah dari nilai kecepatan pertama dan kedua. Pada kedua garis ini dibuat suatu koridor untuk mendapatkan nilai koefisien pitch (Kongsberg, 2003). Pitch memberikan pengaruh yang relatif kecil terhadap error yang ditimbulkan pada pemeruman (Godin, 1998). Ilustrasi mengenai koreksi terhadap pitch ketika melaksanakan survei hidrografi dapat dilihat pada gambar 6. Error yang ditimbulkan akibat kedalaman dan posisi akan lebih terlihat ketika jalur survei tegak lurus terhadap kemiringan perairan (slope) dan meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Hal penting dari kalibrasi pitch yaitu pergantian jalur sepanjang sumbu-y sebanding dengan kedalaman (Sasmita, 2008). Kalibrasi ini dapat ditulis secara matematis melalui sebuah persamaan yang dapat diformulasikan sebagai berikut : Keterangan : d α = tan -1 d/2... (1) z d α = Pitch offset z = Kedalaman (meter) d = Jarak pengukuran 1 dan 2 12

27 13 Gambar 6. Kalibrasi pitch (Mann, 1996) Kalibrasi Roll Tujuan utama dari kalibrasi ini yaitu untuk mencari besarnya nilai koefisien roll sehingga kedalaman yang terukur menjadi akurat. Kalibrasi ini dilakukan dengan cara membuat satu garis sapuan dari beam pada daerah dasar perairan yang relatif datar. Teknis pelaksanaan kalibrasi ini yaitu dengan melakukan pengambilan data kedalaman sebanyak dua kali secara bolak-balik dengan kecepatan yang sama (Gambar 7). Pada daerah ini dibuat satu koridor untuk memperoleh nilai koefisiennya. Gambar 7. Kalibrasi roll (Mann, 1996) 13

28 14 persamaan : Keterangan : θ = Offset roll Penentuan kalibrasi roll ini dapat diformulasikan secara matematis melalui θ = tan -1 d z = Perbedaan kedalaman d a = Jarak jalur lintasan d z - d a 2... (2) Kalibrasi Time Delay Dalam pelaksanaan survei batimeri menggunakan multibeam, pulsa suara yang dipancarkan dan mengenai dasar perairan akan dipantulkan kembali. Setiap beam yang berasal dari transducer memiliki satu nilai kedalaman. Data tersebut harus disesuaikan terhadap data posisi yang berasal dari DGPS. Tidak semua data hasil pemeruman (sounding) digunakan. Data multibeam yang digunakan adalah data yang berasal dari hasil filterisasi yang telah mengalami penyesuaian terhadap data posisi. Berdasarkan. Kalibrasi time delay atau yang lebih dikenal dengan kalibrasi waktu tunggu pada umumnya bernilai 0,2 sekon 1 sekon. Perbedaan waktu pada koreksi ini akan menyebabkan kesalahan kalibrasi roll (Sasmita, 2008). Kalibrasi waktu tunggu ini bernilai akurat jika dapat dideteksi dalam ms. Gambar 8 memperlihatkan kalibrasi dari waktu tunggu akibat adanya pengaruh kecepatan kapal dan slope. Kalibrasi ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga diperoleh profil dengan perolehan perbedaan data yang minimum. Teknis pelaksaan kalibrasi ini dengan malintasi lajur yang sam pada slope kedalaman yang tajam dengan kecepatan kapal yang berbeda. 14

29 15 Gambar 8. Kalibrasi time delay (Mann,1996) Formulasi yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan kalibrasi time delay adalah : Keterangan : TD = d a... (3) V h - V t TD = Time Delay (s) d a = Slope pada kemiringan 1 dan 2 (meter) V h = Kecepatan kapal pada kemiringan terjal (m/s) V t = Kecepatan kapal pada kemiringan yang landai (m/s) 2.7 Sound Velocity Profile (SVP) Sound Velocity Profile merupakan sebuah gambaran atau profil yang menggambarkan tingkat kecepatan rambat suara di perairan. Kecepatan suara sering disimbolkan dengan c. Nilai kecepatan rambat suara air laut berada antara 1450 m/s 1540 m/s. Pengetahuan mengenai kondisi lingkungan air laut sangat penting untuk diketahui. Kecepatan suara akan meningkat dengan bertambahnya suhu, salinitas dan tekanan. Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan yang 15

30 16 sangat kompleks untuk dibahas. Namun variasi nilai kecepatan rambat suara ini relatif kecil. Kecepatan suara dapat diketahui secara langsung secara in-situ dengan menggunakan velocimeters atau dapat dikalkulasikan dengan menggunakan sebuah formula jika nilai temperatur (T), salinitas (S), dan tekanan hidrostatis (P) diketahui. Salah satu formulasi yang dapat digunakan untuk menghitung nilai kecepatan suara menurut Medwin (1998) yaitu: c = 1449, T + 0,055T 2 + 0,00029T 3 + (1,34 0,010T) (S-35) +0, 016Z... (4) Kecepatan suara ini memiliki nilai yang bervariasi. Kinsler et al, (2000) membuat suatu profil kecepatan suara ketika berada di dalam kolom perairan. Perubahan kecepatan suara secara drastis terjadi pada palung laut atau berada pada lapisan thermocline. Hal ini dikarenakan pada lapisan tersebut terjadi perbedaan suhu yang signifikan. Gambar 9 menggambarkan profil kecepatan suara yang umumnya terjadi di perairan laut. Gambar 9. Profil kecepatan suara air laut (Kinsler et al., 2000) 16

31 Differential Global Potitioning System (DGPS) SeaStar 8200VBS Penentuan posisi dapat diketahui melalui sebuah sistem yang berbasis satelit yang disebut GPS. Presisi atau keakuratan menjadi hal yang paling utama dalam sistem ini. Differential GPS merupakan salah satu sistem yang mampu memberikan informasi posisi dengan tingkat keakuratan yang tinggi (Seeber, 2003) Konsep DGPS dalam penentuan posisi yaitu dengan menggunakan stasiun pengamatan yang berada di darat atau yang disebut Reference station. Gambaran mengenai sistem kerja DGPS dapat dilihat pada gambar 10 dibawah ini Sumber: Gambar 10. Cara kerja sistem DGPS terhadap reference station SeaStar 8200 VBS merupakan salah satu dari jenis DGPS. Jenis alat ini mampu memberikan ketelitian resolusi spasial dalam hitungan sentimeter. Pada sistem ini memiliki dua buah antena yang berfungsi sebagai penerima sinyal dari satelit, yang terdiri dari antena primer dan antena sekunder. Antena primer berfungsi sebagai penerima utama sinyal sedangkan antena sekuner berfungsi untuk menerima hasil koreksi yang berasal dari reference station. DGPS pada umumnya hanya sebuah teknik yang digunakan untuk meningkatkan keakuratan 17

32 18 penentuan posisi. Berdasakan akurasi yang ingin dicapai, DPGS terdiri dari beberapa klasifikasi, yaitu : 1. Ordinary GPS 2. Carier Smooth DGPS 3. Precise DGPS Sistem yang bekerja pada DGPS ini pada umumnya sama dengan sistem GPS pada umumnya, namun yang berbeda adalah pada sistem DGPS ini terdapat satu satelit yang telah menjadi acuan dalam penentuan posisi. Satelit ini akan terus menerus memberikan informasi posisi pada SeaStar 8200 VBS. 2.9 Gunung Bawah Laut (Seamount) dan Dimensinya Definisi mengenai gunung bawah laut (seamount) berkebang dari tahun ke tahun. Hal ini didasarkan pada sudut pandang disiplin ilmu yang digunakan oleh beberapa peneliti. Menurut Menard (1964), gunung bawah laut dapat didefinisikan sebagai material yang membentuk sebuah ketinggian yang berada di dasar laut dengan bentuk yang bulat atau elips dengan ketinggian minimum1 kilometer dan memiliki kemiringan (slope) tertentu serta terdapat puncak yang berukuran kecil. Schieferdecker (1959) menyebutkan bahwa gunung bawah laut didefinisikan sebagai sebuah daerah di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar atau pernah keluar pada masa lampau, biasanya akan membentuk suatu gunung, berbentuk kerucut dan mempunyai kawah di bagian puncaknya. Secara bentang alam William dan McBirney (1979) membagi gunung yang berbentuk kerucut menjadi daerah puncak, lereng, kaki dan dataran sekitanrnya. 18

33 19 Berberapa faktor pembentukan gunung bawah laut menurut Spence and Turcotte (1985) terdiri dari beberapa proses. Pertama, material-material yang ada di bawah lapisan bumi memiliki asupan panas atau magma dari perut bumi tepatnya di lapisan litosphere. Kedua, magma yang berasal dari dalam perut bumi memiliki energi yang cukup untuk terangkat ke atas tanpa adanya proses pembekuan selama pembentukan tonjolan menyerupai gunung (Gass et al.,1978). Sebagian besar gunung bawah laut belum dapat diketahui keberadaannya, hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil saja dari dasar laut yang berhasil dipetakan oleh kapal yang melakukan survei kelautan. Perolehan data mengenai gunung api bawah laut (seamount) pada awalanya dilakukan hanya dengan menggunakan peta profil batimetri disuatu perairan. Mekanisme penentuan ini lebih sering dilakukan bila dibandingkan dengan harus melakukan interpolasi dari sebuah peta. Sekitar 90% gunung bawah laut dengan ketinggian kurang dari 1 kilometer tidak dapat terlihat atau teramati, hal ini dikarenakan gunung tersebut terlihat hanya sebagai gundukan-gundukan kecil diantara gunung-gunung tinggi disekitarnya (Craig dan Sandwell, 1988). Gunung laut di dunia dapat ditemukan pada semua cekungan di laut, dengan distribusi yang cukup bervariasi dalam ruang dan waktu, dan dapat ditemukan pada bagian kerak samudra. Hampir setengah dari gunung laut di dunia ditemukan pada Samudra Pasifik dan sisanya tersebar pada bagian Atlantik dan Samudera India. Menurut Encyclopedia of Earth, memperkirakan sebaran gunung laut di dunia berkisar gunung laut yang memiliki ketinggian diatas 1000 meter, dan ribuan lainnya jika dihitung di bawah ketinggian 1000 meter. Perkiraan ini didasarkan dengan penggunaan satelit dengan memeriksa 19

34 20 altimetry anomali gravitasi di bawah permukaan laut (Gambar 10). Informasi terbaru berdasarkan hasil penelitian Yesson. C et al. pada tahun 2011, diperoleh data bahwa diseluruh dunia terdapat gunung bawah laut (seamount) dan bukit kecil. Gambar 11. Peta penyebaran gunung bawah laut (seamount) dunia (Kitchingham dan Lai, 2004) Harian Kompas yang terbit pada tanggal 28 Mei 2009 mencatat bahwa Indonesia memiliki beberapa Gunung api bawah laut, antara lain : 1. Gunung Submarine di Sulawesi Utara. 2. Gunung Mahangetang di Pulau Mahangetang. 3. Gunung Niuwewerker di perairan Banda, ditemukan pada tahun Gunung Hobal, ditemukan pada tahun 1999 di perairan Nusa Tenggara. 5. Gunung Emperor of China di perairan Banda. 20

35 21 Sumber : Gambar 12. Morfologi gunung api. Keterangan : 1. Dapur magma 9. Lapisan Lava 2. Batuan Dasar 10. Kenpundan 3. Pipa Kawah 11. Kerucut Parasit Gunung Api 4. Permukaan Dasar 12. Aliran Lava 5. Retas (skill) 13. Kawah 6. Pipa Kawah Sekunder 14 Bibir Kawah 7. Lapisan Abu Gunung Api 8. Sisi Gunung Api 21

36 22 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lokasi tersebut dipilih karena menjadi jalur survei kelautan yang dilakukan oleh tim riset kelautan BPPT, LIPI, Departemen ESDM, Compagnie Générale de Géophysique-Veritas (CGC- Veritas) dan IPG (Institut de Physique du Globe) Paris Pengolahan data dilakukan selama 5 bulan yaitu pada bulan Maret hingga bulan Juli tahun Data yang digunakan dalam penelitian ini termasuk kedalam kategori data primer. Hal ini disebabkan data dari hasil pemeruman (sounding) kapal survei dan belum pernah diolah sebelumnya. Pengolahan data penelitian ini dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Laboratorium Balai Teknologi Survei Kelautan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Gambar 13 merupakan lokasi survei yang dilakukan oleh tim riset kelautan dan sekaligus menjadi lokasi penelitian yang dilakukan. Penentuan gunung bawah laut dalam penenlitian ini, dianalisis berdasarkan data nilai kedalaman (batimetri). Sebuah objek yang memiliki tinggi lebih dari 1000 meter dari dasar perairan dan memiliki bentuk kerucut akan dianggap sebagai seamount. Hal ini didasarkan pada beberapa teori yang menjelaskan mengenai definisi gunung bawah laut. 22

37 23 Gambar 13. Peta lokasi penelitian 23

38 Pengambilan Data Multibeam Survei batimetri dilakukan menggunakan dua buah instrumen multibeam yaitu jenis ELAC SeaBeam 1050D dengan frekuensi 50 khz dengan kedalaman maksimum mencapai 3000 meter (Lampiran 1). Jenis instrumen jenis lain yang digunkan yaitu Simrad EM 12D dengan frekuensi 12 khz yang memiliki kemampuan deteksi hingga mencapai meter. Kedua instrumen mutibeam ini masing-masing terpasang pada Kapal Riset Baruna Jaya III dan Baruna Jaya IV. Profil Kapal riset Baruna Jaya IV dapat dilihat pada lampiran 2. Data multibeam yang diperoleh merupakan data yang telah mengalami koreksi terhadap pengaruh pergerakan kapal seperti pitch, heave, dan roll. Koreksi tersebut dilakukan menggunakan sensor attitude and positioning Coda Octopus F 180 (Lampiran 3). Data hasil koreksi pengaruh pergerakan kapal selanjutnya digunakan untuk proses koreksi selanjutnya, yaitu koreksi offset static. Titik referensi kapal diperlukan dalam penentuaan beberapa komponen koreksi offset. Sistem navigasi yang digunakan pada kapal survei diatur dalam perangkat lunak Hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data multibeam. Data mentah atau Raw data hasil kegiatan pemeruman selanjutnya akan diproses pada perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 untuk menghasulkan data posisi (lintang dan bujur) serta kedalaman terukur. Alur akuisisi data multibeam di lokasi survei dan pengolahan data tersebut dapat dilihat dengan diagram alir pada gambar

39 25 Navigasi (Hypack) Coda Octopus F 180 Sea Star 8200 VBS Transducer CTD/SVP Akuisisi Data (Hydrostar).XSE (Data Proccessing CARIS HIPS and SIPS 6.1 Export Data (XYZ) Lintang Bujur Kedalaman Gambar 14. Diagram alir perolehan dan pengolahan data multibeam Dalam pelaksanaan survei batimetri, perekaman data batimetri dilakukan berdasarkan jalur survei. Akuisisi data yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan gunung bawah laut diperoleh melalui penyusuran jalur survei. Desain survei yang dilakukan oleh kapal Baruna Jaya III dan Baruna Jaya IV dengan instrumen akustik dapat dilihat pada gambar 15 dan 16 di bawah ini. 25

40 26 Gambar 15. Jalur survei kapal selama melakukan kegiatan sounding dengan ELAC SeaBeam 1050D 26

41 27 Gambar 16. Jalur survei kapal selama melakukan kegiatan sounding dengan Simrad EM 12D 27

42 Pengolahan Data Kedalaman (Batimetri) Pengolahan data kedalaman di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1. Perangkat lunak tersebut diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Raw data multibeam yang berasal dari ELAC SeaBeam 1050D berekstensi.xse, sedangkan data yang berasal dari Simrad EM 12D berekstensi.all. Kedua jenis data tersebut tidak dapat secara langsung diproses pada CARIS HIPS and SIPS 6.1. Pengolahan data multibeam secara umum dengan software ini dimulai dengan konfigurasi kapal atau pembuatan file kapal (Vessel file). File kapal ini memuat informasi mengenai koordinat setiap sensor yang direferensi terhadap titik pusat kapal. Proses berikutnya terdiri dari pembuatan project, menentukan sistem koordinat yang digunakan dan melakukan konversi data (Conversion Wizard) sesuai dengan jenis multibeam yang digunakan dan penyimpanan session yang akan menampilkan urutan objek yang ditampilkan dalam Windows Display. Proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan beberapa koreksi terhadap data sensor seperti Navigation Editor, Swath Editor, dan Altitude Editor pada fase Clean Auxiliary Sensor Data. Koreksi pasang surut (tide) dan Sound Velocity Profile (SVP) juga perlu dilakukan sebelum proses penggabungan (merge) file dilakukan sehingga kita dapat membuat lembar kerja baru (New Field Sheet). Hasil akhir yang diharapakan dari pengolahan data tersebut berupa peta batimetri (mapping product) yang selanjutnya akan di export. Perangkat lunak ini memberikan berbagai macam format file untuk hasil export data. Pada penelitian ini format file yang digunakan adalah ASCII (Lampiran 4). 28

43 29 Gambar 17 menjelaskan secara rinci mengenai pemrosesan data batimetri pada perangkat lunak tersebut. Create a Vessel File Load SVP Create Project Penggabungan (Merge) Convert Raw Data New Field Sheet Save Session * hsf Base Surface Clean Auxiliary Sensor Data Export ASCII Load Tide Gambar 17. Diagram alir pengolahan data multibeam pada CARIS HIPS and SIPS 6.1 Tingkat ketelitian dari data hasil pemeruman menjadi hal utama yang perlu untuk diketahui. Ketelian akan berhubungan dengan seberapa akurat data 29

44 30 tersebut memberikan informasi mengenai nilai kedalaman sebenarnya di lokasi penelitian. Perhitungan limit error dari akurasi kedalaman sangat diperlukan untuk tujuan validasi data yang dihasilkan. Proses perhitungan limit error mengacu pada standar IHO Perhitungan limit error ini didasarkan pada nilai a dan b yang terdapat pada tabel standar minimum survei. Perhitungan tersebut dapat dihitung secara matematis dengan formula : Limit error = ± [a2 + (b x d)2 ]... (5) Keterangan : a = Konstanta kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap). b = Faktor kesalahan kedalaman dependen (jumlah kesalahan kedalaman yang bersifat tidak tetap). d = Kedalaman terukur. b x d = Kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen). 3.4 Pengambilan Data Sound Velocity Profile (SVP) Data SVP diperoleh melalui sebuah alat yang disebut CTD tipe SBE 19. Instrumen ini memiliki beberapa sensor yang mampu merekam (recorded) parameter oseanografi seperti nilai konduktivitas, suhu dan kedalaman periaran. Salah satu keuntungan dari penggunaan instrumen ini adalah mampu dioperasikan secara portable. 3.5 Pengambilan Data Pasang Surut (Tide) Data pasang surut yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG) melalui stasiun 30

45 31 pasang surut Seblat yang terletak di Kabupaten Bengkulu Utara (Lampiran 7). Data yang diambil adalah data pasang surut pada Desember Pemrosesan Data Data multibeam yang diperoleh melalui akuisisi data merupakan data kedalaman, amplitudo dan data backscatter. Data kedalaman dapat diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) CARIS HIPS and SIPS 6.1. Data amplitudo dan backscatter diperoleh melalui pemrosesan data melalui MBSystem yang bekerja pada sistem operasi Linux. Visualisasi gunung bawah laut secara 3D dilakukan dengan perangkat lunak Fledermaus Pemrosesan Data Backscatter dan Amplitudo Karakteristik dasar perairan dapat diketahui dari nilai hambur balik (backscatter) yang diterima oleh receiver. Sama halnya dengan pengolahan data kedalaman, untuk menghasilkan nilai hambur balik dasar perairan dibutuhkan tahap-tahap pengolahan data. MBCLEAN digunakan untuk mengoreksi beam yang dianggap buruk. Pengoreksian secara manual melalui visualisasi dari masing-masing beam dapat dilakukan dengan MBEDIT. Koreksi navigasi seperti heavy, pitch, dan roll dapat dilakukan dengan bantuan MBNAVEDIT. Koreksi terhadap pengaruh kecepatan suara dilakukan dengan MBVELOCITY, hal ini dilakukan untuk menghilangkan perubahan kecepatan suara yang terjadi selama survei dilakukan. MBBACKANGLE digunakan untuk mengoreksi sudut bukaan beam dari instrumen akustik yang digunakan. Semua data yang telah mengalami koreksi tersebut, selanjutnya akan diproses kembali dengan cara menggabungkan melalui perintah MBPROCESS. Gambar 18 menjelaskan pemrosesan data hasil 31

46 32 survei agar diperoleh nilai hambur balik (backscattering) dan amplitude dasar perairan. Setiap jenis multibeam memiliki kode ID tersendiri sehingga akan menghasilkan file output yang berbeda. Dalam penelitian ini jenis multibeam ELAC SeaBeam akan menghasilkan file output *mb94. Sedangkan jenis Simrad EM 12D menghasilkan file output *mb51. Raw Data *XSE atau.all MBCLEAN MB EDIT Pemrosesan Raw Data MBNAVEDIT MBVELOCITTOOL MBBACKANGLE MBPROSSES Output *.mb94 dan *mb51 Grid dan Plot data Grafik Sebaran Backscatter dan Amplitudo Gambar 18. Diagram alir pemrosesan hambur balik (backscatter) dan amplitudo pada MBSystem 32

47 Pengukuran Dimensi Gunung Bawah Laut Ukuran gunung bawah laut dapat diketahui melalui pengukuran dimensinya. Bentuk gunung bawah laut yang asimetris menjadi salah satu kendala dalam melakukan pengukuran. Gunung bawah laut ini akan diasumsikan sebagai suatu objek yang berbentuk kerucut dengan alas yang berbentuk elips, hal ini dilakukan agar pengukuran relatif lebih mudah dilakukan. Bentuk alas yang berupa bangun datar elips akan mengakibatkan terbentuknya dua sumbu simetri yang juga merupakan diameter dari bangun datar tersebut. Elips memiliki 2 buah diameter, yaitu diameter panjang (major axis) dan diameter pendek (minor axis). Pengukuran dimensi pada penelitian ini lebih difokuskan kepada perhitungan tinggi dan diameter dari gunung tersebut. Bentuk gunung bawah laut yang berada di lokasi survey dapat diasumsikan melalui gambar bangun ruang kerucut seperti pada gambar 19 di bawah ini Major axis Minor axis (a) (b) Gambar 19. Asumsi bentuk gunung bawah laut. (a) bentuk kerucut dan (b) alas gunung yang berbentuk elips 33

48 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Sound Velocity Profile (SVP) Pengukuran nilai Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan dengan menggunkan sebuah instrumen CTD SBE 19. Instrumen ini memiliki tingkat keakuratan yang tinggi dalam melakukan pengukuran dan perekaman data. Alat ini mampu mengukur parameter oseanografi seperti nilai konduktivitas, suhu dan kedalaman. Kedalaman yang dapat diukur dengan menggunakan alat ini mencapai 700 meter (Sea-Bird Electronics, 2006). Gambar 20 merupakan grafik kecepatan suara di lokasi penelitian. Secara umum kecepatan suara relatif konstan hingga kedalaman kurang dari 142,36 meter. Kecepatan suara mengalami penurunan nilai secara perlahan dengan bertambahnya kedalaman. Penurunan kecepatan suara secara ekstrim terjadi pada kedalaman 283,73 meter. Pada rentang ini diperkirakan terdapat lapisan thermocline. Tujuan pengambilan data kecepatan suara ini untuk mengetahui waktu tempuh gelombang suara dan nilai kedalaman perairan. Gambar 20. Profil kecepatan suara di lokasi penelitian 34

49 Pasang Surut Pengamatan terhadap nilai pasang surut pada kegiatan survei hidrografi sangat diperlukan untuk menentukan bidang acuan kedalaman serta akan menentukan koreksi nilai kedalaman pada saat pemeruman. Data pasang surut yang digunakan adalah data milik Badan Informasi Geospasial (BIG) yang dahulunya bernama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada stasiun pasang surut Seblat di daerah Bengkulu Utara tepatnya pada koordinat ,6 LS dan ,4 BT (Lampiran 7). Nilai pasang surut akan mempengaruhi nilai suatu kedalaman yang akan kita dapatkan. Data hasil pengukuran dikoreksi menggunakan datum Mean Sea Level (MSL). Datum ini digunakan karena hasil pengukuran akan menghasilkan data kedalaman yang akurat (Sasmita, 2008). Pengolahan data pasang surut pada software CARIS HIPS and SIPS 6.1 dilakukan melalui menu CARIS HIPS Tide Editor. Visualisasi kondisi pasang surut di lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 21. Gambar 21. Grafik pasang surut di perairan bengkulu

50 36 Pengukuran pasang surut ini menggunakan satelit altimetry milik NOAA. Berdasarkan gambar diatas, permukaan air laut mengalami naik turun secara fluktuatif, hal ini menunjukkan adanya perbedaan ketinggian permukaan air laut. Tipe pasang surut suatu perairan bergantung pada kondisi perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat. Nilai kisaran pasang surut dilokasi peneltian berkisar antara -0,8 meter 0,8 meter. Tipe pasang surut perairan Bengkulu termasuk kedalam tipe pasang surut diurnal, artinya pasang surut akan dua kali dalam sehari dengan ketinggian yang berbeda. Data pasang surut selama kegiatan survei terlampir pada lampiran Topografi Dasar Laut Data multibeam yang diperoleh melalui kegiatan survei yang dilakukan oleh Kapal Baruna Jaya 3 dan Kapal Baruna Jaya 4 milik BPPT dapat diekstrak untuk mendapatkan topografi dasar laut. Lokasi penelitian merupakan perairan yang digolongkan sebagai perairan laut dalam. Hal ini dapat dilihat dari nilai kedalaman yang lebih dari 200 meter. Selain itu lokasi ditemukannya gunung bawah laut ini juga merupakan kawasan perairan terbuka yang langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Proses akuisisi data dengan menggunkan perangkat akustik ini memerlukan sejumlah koreksi agar diperoleh data yang akurat. Koreksi terhadap pergerakan kapal selama di laut atau yang lebih dikenal dengan istilah Degree of Freedom (DoF) seperti pitch, roll, heave, dan time delay sangat diperlukan. Koreksi secara realtime dapat langsung dilakukan dengan menggunakan CodaOctopus F180. Sudut pitch dan roll dijaga agar menghasilkan nilai 0,025 o. Koreksi mengenai posisi kapal dapat dilakukan menggunakan Differential Global

51 37 Positioning System (DGPS) SeaStar 8200 VB yang memiliki nilai akurasi sebesar 1 meter. Tingkat keakuratan dari kegiatan survei harus selalu dijaga agar data yang dihasilkan mampu memberikan informasi yang mendekati akurat. Lokasi penelitian berada pada orde 3 berdasarkan IHO tahun Orde 3 diperuntukkan bagi wilayah perairan yang berada di laut lepas (offshore). Spasi lajur pemeruman pada orde ini berada pada 4 kali kedalaman rata-rata. Special Publication No. 44 (S.44) -IHO Tahun 1998 menjelaskan bahwa skala pemeruman menentukan resolusi dari peta batimetri yang dihasilkan. Profil batimetri dapat diperoleh dengan cara memplotkan nilai-nilai kedalaman selama melakukan kegiatan pemeruman. Informasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan peta batimetri terdiri dari posisi dan nilai kedalaman yang terukur. Batimetri dari beberapa line survei dengan menggunakan instrumen Simrad EM 12D dan ELAC SeaBeam 1050D ditampilkan secara 3 dimensi. Proses visualisasi batimetri dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Surfer 9. Kedalaman perairan yang berhasil di deteksi pada line survei Simrad EM 12D ini memiliki rentang kedalaman dari meter hingga mencapai meter di bawah permukaan laut. Setiap instrumen akustik memiliki cakupan yang berbeda-beda dalam melakukan pemeruman. Semakin baik kualitas alat yang digunakan, maka akan menghasilkan gambar yang lebih jelas. Beberapa line survei, tepatanya line survei 0061_140810_180546_raw dan line 0062_140810_210106_raw diproses agar diperoleh tampilan atau profil batimetrinya seperti gambar 22.

52 38 Gambar 22. Profil batimetri beberapa line survei menggunakan Simrad EM 12D Tampilan yang hampir serupa juga diperoleh pada gambar 23 yang merupakan tampilan 3 dimensi beberapa line survei, tepatnya pada line Seamount_002.xse hingga Seamount_006.xse dengan menggunakan perangkat akustik ELAC SeaBeam 1050D. Bentuk dasar laut yang berhasil divisualisasikan melalui alat ini masih berbentuk topografi dasar laut yang tidak rata. Nilai kedalaman perairan pada gambar ini berada pada rentang meter hingga meter di bawah permukaan laut. Gambar 23. Profile batimetri beberapa line survei menggunakan ELAC SeaBeam 1050D

53 39 Tampilan batimetri yang dihasilkan melalui pengolahan data batimetri pada CARIS HIPS and SIPS 6.1 merupakan visualisasi gambar topografi dasar laut secara 2 dimensi. Perbedaan masing-masing kedalaman ditunjukkan oleh gradasi warna. Gambar 24 merupakan visualisasi dari batimetri lokasi penelitian dengan menggunkan instrumen akustik Simrad EM 12D pada CARIS HIPS and SIPS 6.1. Kedalaman perairan yang terbesar digambarkan dengan warna biru. Gambar yang dihasilkan relatif lebih smooth. Berdasarkan gradasi warna yang ada, terilihat bahwa warna-warna tersebut akan mengerucut dengan ditandai berkurangnya instensitas warna, mulai dari warna hijau, kuning dan warna merah. Warna merah diilustrasikan sebagai puncak gunung laut yang berhasil dideteksi melalui kegiatan pemeruman. Gelombang suara yang dihasilkan oleh instrumen Simrad EM 12D mampu untuk melakukan pemeruman hingga kedalaman meter sehingga daerah disekitar kaki gunung bawah laut tersebut dapat ikut divisualisasikan. Data batimetri Simrad EM 12D terlampir (Lampiran 4). Gambar 24. Tampilan 2D gunung bawah laut (seamount) di perairan bengkulu dengan menggunakan Simrad EM 12D

54 40 Tampilan gunung bawah laut (seamount) juga dapat terlihat dari hasil pemeruman dengan menggunakan SeaBeam 1050D. Berdasarkan gambar 25, terdapat dua buah objek yang terpisah satu sama lain yang ditunjukkan oleh warna kemerahan. Objek ini diindikasikan adalah sebuah puncak gunung bawah laut. Perolehan image yang hanya berupa puncak gunung bawah laut ini dikarenakan instrumen SeaBeam 1050D hanya memiliki kemampuan untuk melakukan pemeruman maksimum pada kedalaman 3000 meter. Bila dibandingkan dengan instrumen Simrad EM 12D, jenis alat ini memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatan pemeruman pada kedalaman lebih dari 3000 meter dan akan dianggap sebagai noise berdasarkan spesifikasi alat. Berdasarkan gambar tersebut, dapat telihat bahwa puncak gunung bawah laut tersebut memiliki lebih dari satu puncak yang dipisahkan oleh sebuah celah. Hasil yang diperoleh melalui gambar ini cukup memberikan informasi mengenai jumlah puncak dari gunung bawah laut tersebut. Namun untuk mendapatkan informasi lain seperti dimensi gunung secara keseluruhan, tampilan ini belum dapat memberikan informasi secara lengkap. Gambar 25. Tampilan 2D gunung bawah laut (seamount) di perairan Bengkulu dengan menggunkan ELAC SeaBeam 1050D

55 Gunung Bawah Laut Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, instrumen SeaBeam 1050D melalukan pemeruman (sounding) tepat berada di atas gunung bawah laut sehingga kondisi disekitar kaki gunung bawah laut tidak dapat ditampilkan. Penggunaan instrumen ini sangat memungkinkan untuk mengetahui bentuk gunung bawah laut secara detail khususnya pada bagian atas dari gunung tersebut. Berdasarkan tampilan yang ada, gunung bawah laut tersebut memiliki dua buah puncak yang dipisahkan oleh kaldera (Gambar 26). Salah satu keuntungan yang diperoleh dengan digunakannya instrumen Simrad EM 12D adalah memiliki sapuan perekaman yang lebih luas terhadap objek yang ada di dasar perairan. Hal ini menyebabkan daerah disekitar kaki gunung mampu dideteksi dengan jelas (Gambar 27). Bentuk gambar yang dihasilkan relatif lebih baik atau smooth bila dibandingkan dengan SeaBeam 1050D. Penampakan secara utuh dari gunung bawah laut dapat terlihat dari hasil perekaman data melalui instrumen ini. Visualisasi dari hasil pemeruman (sounding) melalui instrumen akustik ELAC SeaBeam 1050D dan Simrad EM 12D ini ditampilan dari arah depan dengan barat daya sebagai acuannya dan tampak atas agar terlihat lebih jelas mengenai morfologi dari gunung bawah laut (seamount). Secara bentang alam, William dan McBirney (1979) membagi membagi gunung yang berbentuk kerucut menjadi daerah puncak, lereng, kaki dan dataran sekitanrnya. Bentuk gunung bawah laut yang berhasil ditemukan pada umumnya memiliki bentuk yang hampir sama dengan gunung yang terdapat di daratan pada umumnya.

56 42 Gunung tersebut ditemukan berada pada jarak ± 320 kilometer dari arah kota Bengkulu tepatnya pada koordinat ,16 LS dan ,47 BT. Daerah disekitar gunung dideteksi memiliki kedalaman hingga mencapai ± meter. Bentuk dari gunung tersebut dapat dikatakan memiliki bentuk yang asimetris. Hal ini dapat terlihat lebar dari kedua sisi yang tidak sama. (a) (b) Gambar 26. Bentuk bunung bawah laut hasil pemeruman dengan SeaBeam 1050D. (a) tampak depan dan (b) tampak atas

57 43 (a) (b) Gambar 27. Bentuk gunung bawah laut hasil pemeruman dengan Simrad EM 12D. (a) tampak depan dan (b) tampak atas

58 Dimensi Gunung Bawah Laut Pengukuran dimensi dalam penelitian ini lebih difokuskan kepada tinggi dan diameter dari gunung tersebut. Tinggi gunung bawah laut secara umum mencapai ± meter. Nilai ini diperoleh dari hasil pengurangan atau selisih antara tinggi puncak maksimum gunung di bawah permukaan laut dan kedalaman disekitar kaki gunung (Gambar 28). Pengukuran tinggi gunung bawah laut ini dapat dilihat dari profil yang ditampilkan oleh perangkat lunak (software) Fladermaus 6.2. Puncak gunung berada pada kedalaman ± meter dari permukaan laut. Gambar 28. Pengukuran tinggi gunung bawah laut Berdasarkan hasil tampilan 3D, gunung bawah di kawasan barat daya Pulau Sumatera ini memiliki alas yang cenderung berbentuk elips. Bentuk elips akan menghasilkan pengukuran terhadap diameter panjang (major axis) dan diameter pendek (minor axis). Diameter panjang gunung bawah laut memiliki

59 45 nilai ± meter, sedangkan diameter pendek dari gunung tersebut ± meter. Pengukuran terhadap diameter gunung dapat dilihat pada gambar 29 dan gambar 30. Gunung bawah laut pada penelitian ini bisa dikatakan sebagai gunung yang memiliki ukuran yang relatif sangat besar. Ukuran menjadi faktor penting dalam pengklasifikasian bentuk gunung bawah laut. Metode yang sampai saat ini masih digunakan untuk mengetahui sebaran gunung bawah laut di dunia yaitu dengan menggunakan satelit altimetry dan penggunaaan gelombang akustik. Gunung bawah laut yang berukuran besar akan mudah untuk dideteksi keberadaanya sehingga informasi mengenai sebarannya akan lebih mudah untuk diketahui. Gambar 29. Pengukuran diameter panjang (major axis) gunung bawah laut

60 46 Gambar 30. Pengukuran diameter pendek (minor axis) gunung bawah laut Informasi mengenai keberadaan gunung bawah laut tidak hanya dilihat dari posisi gunung tersebut di perairan. Puncak (peak) yang berukuran lebih kecil merupakan salah satu ciri dari sebuah gunung yang mudah untuk diamati. Pengamatan terhadap puncak gunung dapat dilihat dari data batimetri hasil kegiatan pemeruman dengan tingkat akurasi alat yang tinggi. Berdasarkan tampilan batimetri 2 dimensi yang berasal dari perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 maupun tampilan 3 dimensi dari Fledermaus 6.2, diperoleh informasi bahwa gunung bawah laut yang berada di perairan barat daya Pulau Sumatera ini memilik jumah puncak yang lebih dari satu. Umumnya sebuah gunung hanya memiliki satu puncak, jumlah puncak yang lebih dari satu ini merupakan hal yang menarik dalam mempelajari struktur dari gunung tersebut. Gambar 31 memperlihatkan bahwa jarak antara puncak gunung terpisah sejauh ± meter.

61 47 Gambar 31. Pengukuran jarak antar puncak Keberadaan dua buah puncak gunung ini mengakibatkan terbentuknya sebuah celah atau kaldera gunung. Kedalaman celah ini diukur dari puncak gunung terhadap kedalaman maksimum daerah yang membentuk sebuah cekungan di bagian atas gunung. Penggunaan perangkat lunak (software) Fledermaus akan memberikan profil dan nilai dari kedalaman celah (Gambar 32). Berdasarkan hasil pengukuran, celah tersebut memiliki nilai kedalaman sebesar ± 250 meter. Fledermaus akan memberikan tampilan secara jelas mengenai jumlah puncak objek yang diduga sebagai gunung bawah laut. Tampilan tersebut diperoleh dengan cara melakukan pembesaran (zoom in) terhadap gambar. Penggunaan rumus volume kerucut dalam perhitungan dimensi gunung ini menghasilkan nilai ± 8,84 x meter 3.

62 48 Gambar 32. Celah diantara dua puncak gunung Nilai Amplitudo Sebaran nilai amplitudo SeaBeam 1050D diperoleh melalui pemrosesan data mentah hasil survei dengan menggunakan perangkat lunak MBSystem. Data-data tersebut kemudian diplotkan kedalam sebuah gambar sehingga diperoleh sebaran nilai amplitude (Gambar 33). Nilai amplitudo dari lokasi survei berada pada rentang 100 mvolt 800 mvolt. Berdasarkan sebaran nilai amplitudo di lokasi penelitian dengan menggunakan SeaBeam 1050D, terihat bahwa nilai amplitudo yang dominan ditunjukkan oleh gradasi warna toska tua. Warna ini menggambarkan sebaran nilai amplitudo yang memiliki kisaran sebesar 400mV dan menjadi nilai amplitudo yang dominan di lokasi penelitian. Informasi lain yang diperoleh menyatakan bahwa nilai amplitudo terbesar berada pada sisisisi dari jalur survei SeaBeam 1050D atau berada pada sisi gunung bawah laut nilai amplitudo terbesar cenderung berada di sisi-sisi gambar

63 Gambar 33. Sebaran nilai amplitudo di lokasi penelitian 49

64 Sebaran Nilai Backscatter Nilai backscatter menggambarkan besarnya nilai hambur balik dari gelombang suara yang ditransmisikan oleh sebuah alat akustik kedalam perairan. Gelombang suara tersebut akan kembali dan diterima oleh receiver. Menurut Kågesten (2008), backscatter didefinisikan sebagai refleksi gelombang suara kembali menuju sumber gelombang suara itu berasal. Setiap objek memiliki tingkat kekasaran (hardness) dan kekerasan (roughness) yang berbeda. Hal ini dapat dikarenakan kandungan material benda antara benda yang satu dan benda yang lain berbeda. Benda-benda yang memiliki tingkat kekerasan seperti bebatuan akan memiliki nilai hambur balik (backscatter) yang lebih besar bila dibandingkan dengan dengan material lunak seperti lumpur atau biota-biota laut. Selain faktor kekerasan, nilai hambur balik juga dipengaruhi oleh faktor kekasaran (roughness) suatu benda. Material yang memiliki bentuk permukaan yang halus cenderung akan memiliki gelombang pantul yang teratur menuju receiver. Nilai backscatter sering digunakan untuk memperkirakan tipe dan kondisi substrat dasar perairan. Nilai backscatter pada penelitian ini diperoleh melalui pemrosesan data dengan menggunkan MBSystem. Data tersebut kemudian diplotkan dalam sebuah gambar sehingga diperoleh sebaran nilai backscatter di lokasi penelitian seperti pada gambar 34. Kisaran nilai backscatter yang diperoleh selama proses pemeruman tepat diatas gunung bawah laut tersebut yaitu -64,2400 db hingga -23,1347 db. Nilai amplitudo yang diperoleh melalui instrumen akustik tertentu dapat dikonversi menjadi nilai hambur balik melalui sebuah formula matematis. Beberapa komponen nilai yang harus diketahui dalam perhitungan ini terdiri dari

65 51 voltage gain (V) dan reference voltage (V r ). Nilai ini didasarkan pada sinyal suara yang dihasilkan trandcucer ketika melalukan pemeruman berupa energi listrik. Perhitungan nilai hambur balik dari multibeam membutuhkan proses yang relatif lebih rumit. Kerumitan ini dapat dianalogikan melalui sebuah ilustrasi bahwa sapuan multibeam akan menghasilkan bentuk berupa garis, sedangkan single beam hanya berupa titik (Hasanudin 2009). Tahapan pertama yang harus dilakukan dalam pengolahan data backscatter yaitu dengan menggunkan suatu algoritma khusus (Kågesten, 2008). Formula yang dapat digunakan dalam melakukan konversi nilai amplitudo kedalam unit backscatter yaitu : P(dB) = 20 Log (V/V r )... (6)

66 Gambar 34. Sebaran nilai backscatter di lokasi penelitian 52

67 Pembahasan Sound Velocity Profile (SVP) Berdasarkan hukum fisika, perambatan suara memerlukan media. Suara dapat merambat melalui benda padat, cair dan gas. Hal ini juga berlaku pada perairan laut yang menggunakan air sebagai medianya. Kecepatan suara air laut mencapai ± meter/second. Kecepatan suara ini memiliki nilai yang bervariasi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: suhu, salinitas dan tekanan air laut Peningkatan suhu sebesar 1 0 C akan meningkatkan kecepatan perambatan gelombang akustik sebesar 4 m/s. Suhu di perairan banyak dipengaruhi oleh panas dari sinar matahari, upwelling, hujan dan run off dari sungai (Kinsler et al., 2000). Peningkatan tekanan air laut sebesar 1 Km akan menyebabkan cepat rambat gelombang akustik meningkat sebesar 17 m/s dan peningkatan nilai salinitas sebesar 1 ppm akan menyebabkan peningkatan kecepatan rambat gelombang akustik sebesar 1,4 m/s. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai salinitas di suatu perairan dapat disebabkan oleh evaporasi, presipitasi, pengaruh masukan air dari sungai dan efek dari adanya pasang surut. Kecepatan suara menjadi pengaruh yang sangat besar bagi proses perambatan suara di kolom perairan. Sebuah perangkat lunak akan error atau tidak dapat diproses apabila memiliki nilai yang tidak sesuai (Brennan, 2009). Perubahan kecepatan suara secara drastis dalam kolom perairan dapat terjadi pada palung laut atau pada lapisan thermocline. Suhu dipermukaan laut pada umumnya lebih tinggi bila dibandingkan di dasar laut. Permukaan laut lebih banyak mendapatkan sinar matahari sehingga kandungan bahang di permukaan air laut

68 54 lebih tinggi. Kondisi ini juga akan memicu terjadinya pembetukan daerah mixed layer yang akan terjadi secara terus-menerus hingga sore hari. Faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya memiliki hubungan yang sangat kompleks untuk dibahas. Gambar 35 memberikan gambaran dari masing-masing faktor yang telah disebutkan sebelumnya terhadap perubahan kecepatan suara di laut. Gambar 35. Hubungan antara suhu, salinitas dan tekanan terhadap kecepatan suara (Kinsler et al., 2000) Profil kecepatan suara di lokasi penelitian diperoleh berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan CTD. Sumbu X berdasarkan gambar diatas merupakan nilai dari kecepatan suara. Sedangkan sumbu Y merupakan kedalaman perairan yang terukur. Nilai kecepatan suara tertinggi di lokasi penelitian diperoleh pada kedalaman 100,418 meter dengan nilai 1545,13 m/s sedangkan kecepatan suara terendah terjadi pada kedalaman 707,842 meter dengan nilai 1493,27 m/s. Informasi nilai SVP akan sangat berguna dalam pelaksanaan survei batimetri dengan tujuan untuk mengetahui arah penjalaran gelombang akustik. Selain sebagai profil kecepatan suara di suatu perairan, nilai dari SVP juga dapat digunakan untuk mengestimasi kedalaman perairan. Jika

69 55 waktu pemancaran pulsa suaran dan waktu penerimaan pulsa suara oleh receiver diketahui maka kedalaman suatu perairan dapat diukur secara matematis melalui persamaan : Kedalaman = x Sound speed x Echo time... (7) Keterangan : Sound Speed : Kecepatan rambat suara di suatu perairan Echo time : Selisih waktu antara pulsa suara yang dipancarkan dan pulsa suara yang diterima Pasang Surut Tipe pasang surut di lokasi penelitian termasuk kedalam jenis pasang surut tipe campuran. Jenis pasang surut ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh L.Arifin et.al., (2003) yang menyebutkan bahwa tipe pasang surut di daerah bengkulu termasuk ke dalam kategori pasang surut diurnal. Nilai pasang surut akan berpengaruh terhadap nilai kedalaman perairan sesungguhnya di lokasi penelitian. Perolehan data pasang surut berasal dari Badan Informasi Geospasial (BIG) yang bekerja sama dengan penyedia data pasang surut milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melalui stasiun pengamatan pasang surut Seblat. Perekaman data pasang surut ini menggunkan sistem satelit altimetry. Prinsip dasar yang digunakan yaitu melalui pemancar pulsa radar yang disebut transmiter, pulsa dipancarkan kemudian dipantulkan dan diterima oleh sistem penerima pulsa radar yang sensitif (receiver) berakurasi tinggi. Pada sistem ini, radar yang dibawa oleh satelit memancarkan pulsa-pulsa gelombang

70 56 elektrmagnetik (radar) kepermukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh satelit Topografi Dasar Laut Pergerakan kapal selama di lokasi penelitian mengalami berbagai gerakan akibat proses dinamika laut. Gerakan kapal akan mempengaruhi data multibeam yang akan dihasilkan. Data mentah multibeam (raw data) tersebut kemudian diproses untuk mendapatkan gambar topografi dasar laut secara 2 dimensi. Pemrosesan data CARIS HIPS and SIPS 6.1 terdiri dari beberapa tahap pengkoreksian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi besarnya kesalahan dalam perolehan data sehingga data yang dihasilkan akurat. Koreksi swath dan navigasi kapal perlu untuk dilakukan. Koreksi swath dilakukan bertujuan untuk menghilangkan sinyal-sinyal yang dianggap memiliki nilai yang kurang baik dan melakukan interpolasi sinyal-sinyal tersebut. Pada proses pengolahan data multibeam, setiap beam memberikan pengaruh yang sangat besar sehingga dibutuhkan koreksi yang baik untuk menghindari error yang berlebih. Pada Penelitian ini CARIS HIPS and SIPS 6.1 memberikan tampilan beam berwana merah dan hijau (default setting). Beam merah merupakan sinyal yang berasal dari sisi kanan lambung kapal, sedangkan beam yang berwarna hijau berasal dari sisi kiri. Warna kuning pada beam menerangkan bahwa sinyal tersebut dikoreksi untuk mengurangi tingkat error dan sinyal tersebut mengalami proses interpolasi. Gambar 36 dibawah ini merupakan proses koreksi swath yang dilakukan ketika pengolahan data batimetri.

71 57 Gambar 36. Proses koreksi swath data multibeam pada CARIS HIPS and SIPS 6.1 Atitude dari sinyal akustik yang dipancarkan oleh transducer juga dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh yang buruk agar menghasilkan data yang akurat. Proses koreksi terhadap altitude ini dilakukan melalui altitude editor pada CARIS HIPS and SIPS 6.1. Sinyal-sinyal yang dianggap kurang baik selama kegiatan survei harus dikoreksi. Dalam proses pengolahan data multibeam, terdapat sinyal yang dianggap outlier. Sinyal tersebut dikoreksi dengan cara membuang kelebihan dari sinyal terebut (Gambar 37). Proses ini selain mempengaruhi nilai keakuraan dari data, juga akan mempengaruhi visualisasi data 2 dimensi yang akan dihasilkan. Data yang telah dikoreksi akan menghasilkan gambar lebih smooth bila dibandingkan dengan data yang tidak mengalami proses pengkoreksian. Data kedalaman dan standar ketelitian terlampir (Lampiran 4).

72 58 Gambar 37. Proses koreksi attitude data multibeam pada perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 Selain koreksi yang telah dilakukan terhadap posisi kapal yang dalam hal ini Degree Of Freedom (DoF), maka koreksi lain yang perlu dilakukan adalah koreksi kecepatan kapal selama melakukan kegiatan survei di lokasi pengambilan data. Sasmita (2008) menyatakan bahwa kecepatan pada saat melakukan kegiatan survei diusahakan konstan. Koreksi kecepatan kapal dilakukan pada perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 melalui menu Navigation Editor. Data yang dianggap memiliki nilai di luar kisaran harus dihilangkan. Hal ini dilakukan agar kualitas data tetap tejaga dan menghasilkan data dengan akurasi yang tinggi. Proses koreksi terhadap kecepatan kapal ketika pengolahan data dapat dilihat pada gambar 37. Koreksi ini sangat penting dilakukan karena kecepatan kapal selama melakukan survei sering mengalami perubahan dan tidak konstan.

73 59 Gambar 38. Proses koreksi kecepatan kapal Gunung Bawah Laut Gunung bawah laut memiliki bentuk dan ukuran yang tidak sama satu dan yang lainnya. Secara umum, gunung bawah laut memiliki alas berbentuk bulat atau elips serta memiliki puncak yang berada diatasnya. Kitchingman et al. (2007) menjelaskan bahwa puncak gunung merupakan karakteristik dari sebuah gunung bawah laut. Sudut kemiringan atau slope dari dari gunung bawah laut dapat mencapai 60 o (OSPAR Commission, 2010). Penelitian mengenai gunung bawah laut (seamount) telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Penggunaan satelit masih dirasa kurang untuk memberikan informasi yang lengkap mengenai gunung bawah laut. Satelit hanya mampu mengidentifikasi lokasi gunung bawah laut yang relatif berukuran besar saja. Penggunaan data batimetri memungkinkan diperolehnya informasi mengenai bentuk dan struktur dari gunung bawah laut. Penggunaan data satelit dan data

74 60 batimetri akan memberikan informasi yang saling melengkapi dan akurat mengenai gunung bawah laut. Pemetaan terhadap gunung bawah laut tidak hanya memberikan informasi mengenai pola penyebarannya. Keberadaan gunung bawah laut di suatu perairan memberikan informasi tidak hanya dari satu disiplin ilmu. Berbagai informasi seperti proses geologi, ekologi, identifikasi daerah potensial terjadinya letusan gunung berapi, hingga pengelolaan terhadap makhluk hidup Sebaran Nilai Amplitudo Nilai amplitudo yang berada di lokasi penelitian cenderung menyebar disepanjang jalur survei yang dilakukan di lokasi penelitian. Kisaran nilai ini relatif luas yaitu antara 100 mv 800 mv. Perbedaan dari nilai impedansi akustik dari masing-masing jenis sedimen dapat menyebabkan terjadinya nilai amplitudo yang bervariasi. Nilai impedansi yang besar akan menghasilkan nilai amplitudo yang besar pula. Menurut Gumbira (2011), nilai amplitudo diperoleh secara langsung berupa nilai hambur balik yang berasal dari dasar perairan sedangkan nilai backscatter diperoleh dari hasil penurunan nilai intensitas. Data-data dari nilai amplitudo ini dapat digunakan untuk melakukan identifikasi jenis sedimen disepanjang jalur survei. Namun pada penelitian ini, identifikasi terhadap jenis sedimen tidak dilakukan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah,

75 61 serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur Sebaran Nilai Backscatter Gelombang akustik yang dipancarkan ke kolom perairan akan kembali dan mengalami hamburan secara tidak beraturan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi permukaan dasar perairan yang tidak teratur, tingkat kekasaran pada dasar perairan itu sendiri, penggunaan frekuensi suara pada alat yang digunakan dan grazing angle dari pulsa akustik (Burczynski, 2002). Hambur balik yang terjadi pada dasar perairan biasanya dikenal dengan istilah Scattering Strength. Laut merupakan sebuah lingkungan yang bersifat tidak homogen, terdapat pertikel-peritkel berukuran mikro maupun makro yang dapat memantulkan energi akustik yang dipancarkan kedalam kolom perairan. Efek dari pantulan yang diakibatkan oleh masing-masing individu tersebut akan menyebabkan reverberasi. Berdasarkan sebaran nilai backscatter di lokasi penelitian dengan menggunakan instrumen Simrad EM 12D, terlihat bahwa daerah disekitar puncak gunung didominasi oleh warna biru dan cokelat dengan nilai hambur balik -64,2400 db dan -25,2986 db. Wilayah yang berada disekitar kaki gunung didominasi oleh warna toska muda dengan kisaran nilai backscatter -29,6331 db. Semakin besar nilai backscatter yang berhasil direkam, maka nilai ini akan merepresentasikan semakin besar pantulan yang diterima oleh receiver. Hal ini berarti bahwa kondisi di area tersebut berupa material dengan densitas yang tinggi atau berupa suatu benda dengan tingkat kekasaran (hardness) yang relatif lebih tinggi dibandingkan kondisi di sekitar area tersebut.

76 62 Gambar 39. Sketsa pentulan sinyal akustik ketika menyentuh dasar perairan (Richardson dan Jackson, 2007) Pemrosesan data backscatter membutuhkan proses yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan analisis data kedalaman. Gavrilov et al. (2005) mengatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam menginterpretasi data backscatter yang secara umum digunakan dalam melakukan klasifikasi dasar laut, yaitu Analysis Textural of Backscattering Image dan Analysis Angular Dependence of Backscattering Strenght. Berdasarkan nilai sebaran hambur balik (backscatter) yang berada di lokasi penelitian, dapat diduga jenis material yang berada di sepanjang jalur survei.

77 63

78 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kegiatan survei hidrografi yang telah dilakukan di sekitar wilayah barat daya Pulau Sumatera oleh BPPT dan beberapa peneliti dunia telah berhasil menemukan sebuah gundukan yang diindikasikan sebagai gunung bawah laut (seamount). Ukuran yang dimiliki dari gunung ini relatif sangat besar. Letak dari gunung bawah tersebut berada pada jarak 320 kilometer dari kota Bengkulu, tepatnya berada pada koordinat ,16 LS dan ,47 BT. Tampilan terhadap bentuk dari gunung tersebut divisualisasikan dengan bantuan perangkat lunak (software) Fladermaus 6.2. Pengukuran terhadap dimensi gunung bawah laut dalam penelitian ini meliputi tinggi, diameter, dan jumlah puncak, dan volume gunung. Berdasarkan hasil penelitian, gunung bawah laut ini memiliki ketinggian ± meter. Diameter gunung berdasarkan hasil pengukuran yaitu ± meter. Gunung tesebut diketahui memiliki dua buah yang dipisahkan oleh sebuah kaldera dengan jarak ± meter. Kedalaman celah antar puncak dari gunung tersebut ± 250 meter. 5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap metode pengukuran dimensi gunung bawah laut (seamount) yang baik sehingga akan diperoleh hasil dengan tingkat kebenaran yang lebih baik. 63

79 64 DAFTAR PUSTAKA Anderson JT, DV Holliday, R Kloser, D.G. Reid, dan Y. Simrad Acoustic Seabed Classification: Current Practice and Future Directions. ICES J.Mar.Sci, 5: Ariana D Pemetaan batimetri dan karakteristik dasar perairan dangkal di pulau Danger-propinsi NTB dengan data satelit penginderaan jauh. Skripsi [TidakDipublikasikan]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin L, JP Hutagaol, M Hanafi Pendangkalan alur pelayaran di pelabuhan pulau Baai Bengkulu. Jurnal Geologi Kelautan. 2003: Burczynski J Bottom Classification. BioSonics, Inc. [21 Maret 2012]. Brennan CW Basic acoustic theory. BasicAcousticTheory.pdf [12 Juni 2012]. Craig CH, DT Sandwell Global distribution of seamounts from seasat profiles. Journal of Geophysical Research, 93 (B9): FurgoPalagos. Inc, Advance in multibeam technologies and generation of fisheries habitat assessments. [10 Juni 2012]. Gavrilov AN, Siwabessy PJW, Bickers A Multibeam Echo Sounder Backscatter Analysis. CRC For Coastal Zone Estuary and Watermay Management. Perth Gass I.G, DS Chapman, HN Pollack, RS Thorpe Geological and geophysical parameter of mind-plate volcanism. Philos. Trans. R. Soc. London, Ser. A, 288, Godin A The Calibration of Shallow Water Multibeam Echo-Sounding Systems. Geodesy and Geomatics Engineering UNB. Technical Report Publishing. Ottawa. Gumbira G Aplikasi Instrumen Multibeam Sonar Dalam Kegiatan Peletakan Pipa Bawah Laut (ContohStudiPerairanBalongan). Skripsi [TidakDipublikasikan]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. InstitutPertanian Bogor. Bogor. Hasanudin M Pemetaan Dasar Laut Menggunakan Multibeam Echosounder. Jurnal Oseana. Vol. XXXIV. No :

80 65 Intelmann S, Beaudoin J, Cochrane G, Normalization and Characterization of Multibeam Backscatter: Koitlah Point to Point of the Arches. Olympic Coast National Marine Sanctuary. Uppsala. International Hydrographic Organization IHO Standards for Hydrographic Surveys. International Hydrographic Bureau Publishing. Monaco. Kågesten, G Geologi Seafloor mapping with backscatter data from a multibeam echosounder. UPTEC W Examensarbete. Gothenburg. Kinsler, L.E, Frey. A.R, Coppens A.B, Sanders, J.V Fundamental of Acoustics. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. United State of America. Kitchingman A dan Lai, S., Inferences on potential seamount locations from mid-resolution bathymetric data. Fisheries Centre Research Reports12 (5), Kitchinman A, S Lai, T Morato. D. Pauly How many seamounts are there and where are they located? Chapter 2: T.J. Pitcher, T. Morato, P. Hart, M. Clark, N. Haggan and R. Santo (ed.), Seamounts: Ecology, Fisheries and Conservation. Blackwell Fish and Aquatic Resources Series 12, Oxford, U.K. Hal: Kongsberg Multibeam echo sounder. The obvious choice for shallow water surveys and ROV or AUV use. www. Kongsberg.com. Maritime International,Horten. [10 Juni 2012]. L-3 Communications Seabeam Instruments Multibeam Sonar Theory of Operation. 141 Washington Street. East Walpole, MA. L-3 Communications Klein Associates, Inc. SEA BEAM 1055D - MUL TIBEAM SONAR. nautik.de/...multibeam.../nautik/[20 Juli 2012]. Mann, Robert dan Godin, Andre Field Procedures for the Calibration of Shalow Water MultibeamEcho-Sunding System.Canadian Hydrographic Conference, Canada. Medwin, H. C. S. Clay Fundamentals of Acoustical Oceanography. Academic Press. London. Menard, H.W Marine Geology of the Pacific, New York: McGraw-Hill. OSPAR Commision Background Document for Seamount. Biodiversity Series. [ 30 September 2012] Richardson MD, DR Jackson High-Frequency Seafloor Acoustics. SpringerWashington. New York. RØnhovde A, L Yang, T Taxt, S Holm. High-resolution beamforming for multibeam echo sounders using raw EM3000 data.research report. Norway. [20 April 2012]. 65

81 66 Sasmita DK Aplikasi Multibeam Echosounder System (MBES) untuk Keperluan Batimetrik. TugasAkhir [TidakDipublikasikan]. Program Studi TeknikGeodesi dan Geomatika. InstitutTeknologi Bandung, Bandung Schieferdecker AAG Geological Nomenclature.Royal Geol.And Minings Soc. Of the Netherlands, J. Noorduijn en Zoon NV, Gorinchem. Spence DA, DL Turcotte Magma-Driven Propagation Cracks, J.Geophys. Res, 90, Williams H, McBirney AR Volcanology. Freeman, Cooper, San Francisco, Yesson, Chris; Clark, MR; Taylor, M; Rogers, AD The global distribution of seamounts based on 30-second bathymetry data. Deep Sea Research Part I: Oceanographic Research Papers, 58(4), Sea-Bird Electronics, Inc SBE 19 SEACAT Profiler CTD.Conductivity, Temperature and Pressure Recorder. [17 Juni 2012] Handbook Gunung api. [22 Juli 2012] ditemukan.gunung.api.raksasa.bawah.laut.sumatera.html [20 Januari 2012]. 66

82 67 LAMPIRAN 67

83 68 Lampiran 1. Spesifikasi Seabeam 1050D Multibeam Sonar Technical Data Frequency : 50 khz Number of Beam : 126 (fewer selectable) Beam Width : 1530 Power Suply : 115/230 Volt AC User selectable Max. Pulse Power : 3,5 KW per transducer array Max. Source Level : 234 db 1µPa/1 m Pulse Length : 0.3, 1.3, 10 ms; selectable Bandwith : 12 khz, 3.3 khz, 1kHz; selectable Sidelobe suspension : 36 db (transmision and receiption) Survey speed : up to 16 kn for continous sea floor coverage Dimension Sonar Proccesor Unit (SEE ) Dimension 480 x 540 x 360mm Weight approx 33 kg Trabsducer (LSE 237) Dimension 530 x 290mm each Weight w/cable 60Kg Interface And Sensor Motion : DMS-2, Octans, POS M/V, MRU 5 Heading : NMEA 0183 standard, sentence HDT Position : NMEA 0183 standard, sentence GGA or VTG SoundVelocity : Data input via RS 232 Software : ELAC HDP 4061, CARIS, COASTAL OCEANOGRAPHCS : EIVA, QPS, ROXAR 68

84 69 Lampiran 2. Profil Kapal Baruna Jaya IV Spesifikasi Keterangan Nama Baruna Jaya IV Pemilik BadanPengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Pembuat CMN France Tahun Pembuatan 1995 Total Dimensi 60,4 x 11,6 x 4,5 (meter) Mesin Utama 2 x 1100 PS Niigata 5PA5L Kecepatan knot Gross Tonage GT Jangkauan 7500 mil Fuel oil tank m3 Fesh tank 90 m3 Akomodasi 20 PAX Klasifikasi BKI, BV Instrumen ELAC, SEABEAM 1050D, Coda Perlatan Penelitian Octopus F 180, Fish Finder, Squid Jigger, bottom dan mid water trawl longline, gill net dan fish proccessing 69

85 70 Lampiran 3. Spesifikasi Coda Octopus F 180 Parameter Akurasi Keterangan 0,5 4 m (stand alone), 20 1 cm (RTK) Roll and Pitch < 0,0250 Heading 1 m baseline (0,10) 2 m baseline (0,0250) 4 m baseline (0.0250) 5% from heave amplitude Speed Weight Power Temperatur Humidity Antena 0,003 m/s 2,5 Kg 9 19 Vdc, 25 Watts C Splash proof Novatel Pinwheel 70

86 71 Lampiran 4. Standar Ketelitian Kedalaman Menurut IHO (International Hydrographic Organization) Lintang Bujur Kedalaman Ketelitian Lintang Bujur Kedalaman Ketelitian

87 72 Lampiran 4. Lanjutan Lintang Bujur Kedalaman Ketelitian Lintang Bujur Kedalaman Ketelitian Contoh Perhitungan Konstanta kesalahan kedalaman (α) = 1 m Faktor Pengganti kesalahan kedalaman lain (β) = Kedalaman = 100,6241 m Ketelitian pengukuran (σ) adalah : σ = ± (a2 ) + (b*d)2 = ± (12) + (0,023*100,6246)2 = 0,5 72

88 73 Lampiran 5. Data Backscater Simrad EM 12D Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

89 74 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

90 75 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

91 76 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

92 77 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

93 78 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

94 79 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

95 80 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

96 81 Lampiran 5. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Backscatter Bujur Lintang Nilai Backscatter

97 82 Lampiran 6. Data Amplitudo ELAC SeaBeam 1050D Bujur Lintang Nilai Amplitudo Bujur Lintang Nilai Amplitudo

98 83 Lanjutan 6. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Amplitudo Bujur Lintang Nilai Amplitudo

99 84 Lampiran 6. Lanjutan Bujur Lintang Nilai Amplitudo Bujur Lintang Nilai Amplitudo

100 85 Lampiran 6. Bujur Lintang Nilai Amplitudo Bujur Lintang Nilai Amplitudo

101 86 Lampiran 7. Stasiun pengambilan data pasang surut STASIUN PASUT SEBLAT Kabupaten/Kota : Bengkulu Utara Laut/Lautan/Selat : Laut Hindia Provinsi : BENGKULU Jenis Alat : Digital Logosens with Lintang : 3 o 13 26,6 LS sensor: Radar (Kalesto), Bujur : 101 o 35 58,4 BT pressure PS1, and Float Zona waktu : UTC gauge Komunikasi Data : GTS,PASTI, BGAN 86

102 87 Lampiran 8. Data pasang surut perairan Bengkulu Desember 2010 Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/18/2010 0:00: /18/2010 0:10: /18/2010 0:20: /18/2010 0:30: /18/2010 0:40: /18/2010 0:50: /18/2010 1:00: /18/2010 1:10: /18/2010 1:20: /18/2010 1:30: /18/2010 1:40: /18/2010 1:50: /18/2010 2:00: /18/2010 2:10: /18/2010 2:20: /18/2010 2:30: /18/2010 2:40: /18/2010 2:50: /18/2010 3:00: /18/2010 3:10: /18/2010 3:20: /18/2010 3:30: /18/2010 3:40: /18/2010 3:50: /18/2010 4:00: /18/2010 4:10: /18/2010 4:20: /18/2010 4:30: /18/2010 4:40: /18/2010 4:50: /18/2010 5:00: /18/2010 5:10: /18/2010 5:20: /18/2010 5:30: /18/2010 5:40: /18/2010 5:50: /18/2010 6:00: /18/2010 6:10: /18/2010 6:20: Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/18/2010 6:30: /18/2010 6:40: /18/2010 6:50: /18/2010 7:00: /18/2010 7:10: /18/2010 7:20: /18/2010 7:30: /18/2010 7:40: /18/2010 7:50: /18/2010 8:00: /18/2010 8:10: /18/2010 8:20: /18/2010 8:30: /18/2010 8:40: /18/2010 8:50: /18/2010 9:00: /18/2010 9:10: /18/2010 9:20: /18/2010 9:30: /18/2010 9:40: /18/2010 9:50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50:

103 88 Lanjutan 8. Lanjutan Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /18/ :00: /18/ :10: /18/ :20: /18/ :30: /18/ :40: /18/ :50: /19/2010 0:00: /19/2010 0:10: /19/2010 0:20: /19/2010 0:30: /19/2010 0:40: /19/2010 0:50: /19/2010 1:00: /19/2010 1:10: /19/2010 1:20: /19/2010 1:30: /19/2010 1:40: /19/2010 1:50: /19/2010 2:00: /19/2010 2:10: /19/2010 2:20:

104 89 Lampiran 8. Lanjutan Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/19/2010 2:30: /19/2010 2:40: /19/2010 2:50: /19/2010 3:00: /19/2010 3:10: /19/2010 3:20: /19/2010 3:30: /19/2010 3:40: /19/2010 3:50: /19/2010 4:00: /19/2010 4:10: /19/2010 4:20: /19/2010 4:30: /19/2010 4:40: /19/2010 4:50: /19/2010 5:00: /19/2010 5:10: /19/2010 5:20: /19/2010 5:30: /19/2010 5:40: /19/2010 5:50: /19/2010 6:00: /19/2010 6:10: /19/2010 6:20: /19/2010 6:30: /19/2010 6:40: /19/2010 6:50: /19/2010 7:00: /19/2010 7:10: /19/2010 7:20: /19/2010 7:30: /19/2010 7:40: /19/2010 7:50: /19/2010 8:00: /19/2010 8:10: /19/2010 8:20: /19/2010 8:30: /19/2010 8:40: /19/2010 8:50: /19/2010 9:00: Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/19/2010 9:10: /19/2010 9:20: /19/2010 9:30: /19/2010 9:40: /19/2010 9:50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20:

105 90 Lampiran 8. Lanjutan Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /19/ :00: /19/ :10: /19/ :20: /19/ :30: /19/ :40: /19/ :50: /20/2010 0:00: /20/2010 0:10: /20/2010 0:20: /20/2010 0:30: /20/2010 0:40: /20/2010 0:50: /20/2010 1:00: /20/2010 1:10: /20/2010 1:20: /20/2010 1:30: /20/2010 1:40: /20/2010 1:50: /20/2010 2:00: /20/2010 2:10: /20/2010 2:20: /20/2010 2:30: /20/2010 2:40: /20/2010 2:50: /20/2010 3:00: /20/2010 3:10: /20/2010 3:20: /20/2010 3:30: /20/2010 3:40: /20/2010 3:50: /20/2010 4:00: /20/2010 4:10: /20/2010 4:20: /20/2010 4:30:

106 91 Lampiran 8. Lanjutan Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/20/2010 4:40: /20/2010 4:50: /20/2010 5:00: /20/2010 5:10: /20/2010 5:20: /20/2010 5:30: /20/2010 5:40: /20/2010 5:50: /20/2010 6:00: /20/2010 6:10: /20/2010 6:20: /20/2010 6:30: /20/2010 6:40: /20/2010 6:50: /20/2010 7:00: /20/2010 7:10: /20/2010 7:20: /20/2010 7:30: /20/2010 7:40: /20/2010 7:50: /20/2010 8:00: /20/2010 8:10: /20/2010 8:20: /20/2010 8:30: /20/2010 8:40: /20/2010 8:50: /20/2010 9:00: /20/2010 9:10: /20/2010 9:20: /20/2010 9:30: /20/2010 9:40: /20/2010 9:50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30:

107 92 Lampiran 8. Lanjutan Tanggal Waktu Nilai Pasut 12/20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50: /20/ :00: /20/ :10: /20/ :20: /20/ :30: /20/ :40: /20/ :50:

108 93 Lampiran 9. Listing Program MB-System Pengolahan data multibeam untk menghasilkan nilai amplitudo # Make datalist (datalist.mb-1) /bin/ls -1 *.xse awk '{print $1" 94"}' > datalist.mb-1 # Make ancilliary files and datalist to processed data (datalistp.mb-1) mbdatalist -o -v -z # Construct correction tables for amplitude mbbackangle -A1 -V # edit bathymetry mbedit # Edit navigation if necessary #mbnavedit # Process data - repeat after any editing or correction change mbprocess #Generate swath plots mbm_plot -I datalistp.mb-1 -N -G2 -V \-O batimetri mbm_plot -I datalist.mb-1 -N -G4 -S -V \-O rawamp mbm_plot -I datalistp.mb-1 -N -G4 -S -V \-O coramp #Generate grids and mosaics mbgrid -I datalistp.mb-1 -E100/0! -F5 -N -A2 -C5 \-O gridbati mbmosaic -I datalistp.mb-1 -E100/0! -N -A3 -F0.05 -Y7 -C5 \-O mosamp mbgrdviz -I mosamp.grd & # Generate maps from grids and mosaics mbm_grdplot -I gridbati.grd -G5 -A1 -D0/1 \-O kedalaman mbm_grdplot -I mosamp.grd -G1 -D -W1/4 -S \-O Amplitude #Ekstrak Data mblist -I datalistp.mb-1 -Ot#XYZA -Xdata1.txt -M0/125 93

109 94 Lampiran 9. Lanjutan Pengolahan data multibeam untuk menghasilkan nilai Backscatter # Make datalist (datalist.mb-1) /bin/ls -1 *.all awk '{print $1" 51"}' > datalist.mb-1 # Make ancilliary files and datalist to processed data (datalistp.mb-1) mbdatalist -o -v -z # Construct correction tables for amplitude mbbackangle -A1 -V # edit bathymetry mbedit # Edit navigation if necessary #mbnavedit # Process data - repeat after any editing or correction change mbprocess #Generate swath plots mbm_plot -I datalistp.mb-1 -N -G2 -V \-O batimetri mbm_plot -I datalist.mb-1 -N -G4 -S -V \-O rawamp mbm_plot -I datalistp.mb-1 -N -G4 -S -V \-O coramp #Generate grids and mosaics mbgrid -I datalistp.mb-1 -E100/0! -F5 -N -A2 -C5 \-O gridbati mbmosaic -I datalistp.mb-1 -E100/0! -N -A3 -F0.05 -Y7 -C5 \-O mosamp mbgrdviz -I mosamp.grd & # Generate maps from grids and mosaics mbm_grdplot -I gridbati.grd -G5 -A1 -D0/1 \-O kedalaman mbm_grdplot -I mosamp.grd -G1 -D -W1/4 -S \-O Amplitude #Ekstrak Data mblist -I datalistp.mb-1 -Ot#XYZB -Xdata1.txt -M0/125 94

110 61

111 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu, 19 Juli 1989 dari ayah yang bernama Ismail Siana dan ibu Erna Sulisawati. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1996 penulis masuk sekolah dasar (SD) di SD Negeri 52 Kota Bengkulu, setelah itu melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2002 (SMP) di SMP Negeri 1 kota Bengkulu dan tamat pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 5 Kota Bengkulu dan tamat pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) IPB periode 2010/2011 sebagai anggota Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM). Penulis juga pernah mengikuti seminar internasional mengenai alga diantaranya Alternative Aviation Fuel in Asia & ASEAN Algae Biofuel Initiative Confrence pada Februari 2012 di Singapore dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanoologi indonesia (PIT ISOI) atau Indonesian Association Oseanologist pada bulan Oktober 2012 di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) sekaligus sebagai pemakalah pada acara tersebut. Selain itu juga penulis pernah menjadi asisten pembantu praktikum Ekologi Perairan mahasiswa D3 IPB tahun 2011/2012. Dalam rangka penyelesaian studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Deteksi Keberadaan Gunung Bawah Laut dan Dimensinya Menggunakan Echosounder Multibeam di Perairan Bengkulu.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 22 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal 18-19 Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards For Hydrographic Survei (S.44-IHO) Informasi mengenai kondisi dasar laut dapat diperoleh melalui sebuah kegiatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Sound Velocity Profile (SVP) Pengukuran nilai Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan dengan menggunkan sebuah instrumen CTD SBE 19. Instrumen ini memiliki tingkat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Pengukuran kedalaman laut atau pemeruman pada penelitian ini dilakukan di perairan Selat Sunda yang dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman

Lebih terperinci

DIMENSI GUNUNG BAWAH LAUT DENGAN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN BENGKULU

DIMENSI GUNUNG BAWAH LAUT DENGAN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN BENGKULU Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 93-102, Juni 2013 DIMENSI GUNUNG BAWAH LAUT DENGAN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN BENGKULU DIMENSION OF SEAMOUNT USING MULTIBEAM

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai 27 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Data yang digunakan merupakan data mentah (raw data) dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan

Lebih terperinci

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN 3.1 Pendahuluan Pada kegiatan verifikasi posisi pipa bawah laut pasca pemasangan ini akan digunakan sebagai data untuk melihat posisi aktual dari

Lebih terperinci

APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN)

APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN) i APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN) GUGUM GUMBIRA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hasanuddin Z. Metode Penentuan dengan GPS dan Aplikasinya. Pradnya Paramita. 2001. Budhiargo, Guntur. Analisis data batimetri multibeam echosounder menggunakan Caris HIPS. Skripsi.

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) N. Oktaviani 1, J. Ananto 2, B. J. Zakaria 3, L. R. Saputra 4, M. Fatimah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA Pada Bab ini akan dibahas mengenai persiapan data, pengolahan data, ekspor data hasil survei multibeam echosounder

Lebih terperinci

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Survei Lokasi 3.1.1 Lokasi Geografis dan Garis Survei Lokasi dari area survei berada di sekitar Pulau Bawean, Jawa Timur. gambar 3.1 memperlihatkan lokasi dari area

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Echosounder merupakan alat pengukur kedalaman berbasis gelombang akustik. Dengan bantuan GPS sebagai penentu posisi echosounder memberikan data kedalaman suatu daerah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA Teguh Fayakun Alif, ST Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) BAKOSURTANAL Jl.Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911 Telp.

Lebih terperinci

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV 3.1. Persiapan Sebelum kegiatan survei berlangsung, dilakukan persiapan terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan survei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang dua per tiga (2/3) wilayahnya adalah lautan, sehingga Negara Republik Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR KAJIAN EFEKTIFITAS ANTARA APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DENGAN PERPADUAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER - SIDE SCAN SONAR DALAM SURVEI LOKASI ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017 ANALISIS PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MB-SYSTEM DAN CARIS HIPS AND SIPS BERDASARKAN STANDAR S-44 IHO 2008 Sendy Brammadi, Arief Laila Nugraha, Bambang Sudarsono, Imam

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009] BAB III REALISASI DAN HASIL SURVEI 3.1 Rencana dan Pelaksanaan Survei Survei dilakukan selama dua tahap, yaitu tahap I adalah survei batimetri untuk menentukan Foot Of Slope (FOS) dengan menggunakan kapal

Lebih terperinci

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM 3002 3.1 Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 merupakan produk SIMRAD dari negara Norwegia. MBES SIMRAD EM 3002

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

BAB I PENDAHULUAN I. I.1 BAB I PENDAHULUAN I. I.1 Latar Belakang Survei batimetri adalah proses penggambaran garis-garis kontur kedalaman dasar perairan yang meliputi pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Survei batimetri

Lebih terperinci

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survey hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran struktur geologi Dasar Laut

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data side scan sonar yang berasal dari survei lapang untuk kegiatan pemasangan kabel PLN yang telah dilakukan oleh Pusat

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei dan pemetaan dasar laut telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya kebutuhan informasi akan sumber daya

Lebih terperinci

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 257-266 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di laboratorium dilakukan pada 28-29 Februari 2012 yang bertempat di Workshop Akustik

Lebih terperinci

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah :

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah : 01. BATIMETRI TUJUAN PRAKTIKUM - Mahasiswa dapat mengenal bentuk-bentuk dasar perairan. - Mahasiswa dapat mengetahui aturan-aturan dasar dan membuat kontur-kontur batimetri. - Mahasiswa dapat melukiskan

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 2 Desember 2014: 165-170 TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI (Surveying Technology for Coastal Mapping) Imam Mudita Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Desain Penelitian Data geomagnet yang dihasilkan dari proses akusisi data di lapangan merupakan data magnetik bumi yang dipengaruhi oleh banyak hal. Setidaknya

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum Seperti yang telah dijelaskan dalam Latar Belakang, pipa bawah laut diperlukan untuk keperluan pendistribusian minyak dan gas. Untuk

Lebih terperinci

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA Pengaruh Sound Velocity Terhadap Pengukuran Kedalaman Menggunakan Multibeamechosounder Di Perairan Surabaya (Eko Prakoso A..et.al) PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Juli 2017, 9(2):77-84 PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN BATIMETRY MAPPING USING ACOUSTIC METHOD

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI Spesifikasi Pekerjaan Dalam pekerjaan survey hidrografi, spesifikasi pekerjaan sangat diperlukan dan

Lebih terperinci

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES) BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES).1 Prinsip Sistem Multibeam Echosounder (MBES) Multibeam Echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan singlebeam namun jumlah beam yang dipancarkan adalah

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C64103064 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES)

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 253-261 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 22 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1 Single Beam Echo Sounder Penelitian dengan menggunakan instrumen single beam echo sounder dilaksanakan pada tanggal 14 April 15 April 2012,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI II.1. Survey Bathimetri Survei Bathimetri dapat didefinisikan sebagai pekerjaan pengumpulan data menggunakan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu penjelasan dan analisis melalui simulasi pemodelan tsunami dengan memperhitungkan nilai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Agustus menggunakan data hasil olahan dalam bentuk format *raw.dg yang

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M)

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M) BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Keberadaan FOS merupakan dasar penarikan titik-titik ketebalan sedimen 1 %, artinya titik-titik FOS inilah yang menjadi titik awal (start) dalam

Lebih terperinci

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Metode dan Desain Penelitian Data variasi medan gravitasi merupakan data hasil pengukuran di lapangan yang telah dilakukan oleh tim geofisika eksplorasi Pusat Penelitian

Lebih terperinci

KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA

KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA AHMAD SIROJI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG (SPATIAL PATTERN OF BATHYMETRY IN BUNGUS BAY, PADANG CITY) Oleh YULIUS, H. PRIHATNO DAN I. R. SUHELMI Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 13 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Data diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 Februari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A DAFTAR PUSTAKA Adil, Irdam. (2007). Komunikasi Pribadi. Djunarsjah, E. (2001). Standar Survei (Baru) dalam Survei Hidrografi (SP-44 IHO tahun 1998). Forum Ilmiah Tahunan ISI. Surabaya. Djunarsjah, E. (2005).

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER ABSTRAK

IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER ABSTRAK IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER Lufti Rangga Saputra 1), Moehammad Awaluddin 2), L.M Sabri 3) 1) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa serta berhubungan dengan Laut Jawa dan Samudera Hindia. Pada perairan ini terdapat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi G186 Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi Muhammad Didi Darmawan, Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman 313 321 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 APLIKASI ECHOSOUNDER HI-TARGET HD 370 UNTUK PEMERUMAN DI PERAIRAN DANGKAL (STUDI KASUS : PERAIRAN SEMARANG) Muhammad Al Kautsar 1), Bandi Sasmito, S.T., M.T. 2), Ir. Hani ah 3) 1) Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data gayaberat daerah

BAB III METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data gayaberat daerah BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Data Penelitian Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data gayaberat daerah Garut Utara hasil pengamatan Tim Geoteknologi LIPI Bandung dengan menggunakan gravitimeter

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

DIRECTORY PERALATAN PENELITIAN LAUT DALAM PUSAT PENELITIAN LAUT DALAM LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG SARANA PENELITIAN

DIRECTORY PERALATAN PENELITIAN LAUT DALAM PUSAT PENELITIAN LAUT DALAM LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG SARANA PENELITIAN DIRECTORY PERALATAN PENELITIAN LAUT DALAM PUSAT PENELITIAN LAUT DALAM LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA BIDANG SARANA PENELITIAN LAB. ELEKTRONIK KR. BARUNA JAYA VII CTD PROFILER SBE 19plus CTD Underwater

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Tujuan pembahasan analisis pelaksanaan perencanaan alur pelayaran untuk distribusi hasil pertambangan batubara ini adalah untuk menjelaskan kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Akuisisi Data Seismik Akuisisi data seismik dilaksanakan pada bulan April 2013 dengan menggunakan Kapal Riset Geomarin III di kawasan batas laut dan Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alur Penelitian Pengambilan Data Koreksi Variasi Harian Koreksi IGRF Anomali magnet Total Pemisahan Anomali Magnet Total Anomali Regional menggunakan Metode Trend Surface

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek 4.1.1 Ketelitian koordinat objek Pada kajian ketelitian koordinat ini, akan dibandingkan ketelitian dari koordinatkoordinat objek berbahaya pada area

Lebih terperinci

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian. BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT Studi Aplikasi Multibeam Echosounder dan Side Scan Sonar Untuk Mendeteksi Free Span Pada Saluran Pipa Bawah Laut STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gayaberat merupakan salah satu metode dalam geofisika. Nilai Gayaberat di

BAB I PENDAHULUAN. Gayaberat merupakan salah satu metode dalam geofisika. Nilai Gayaberat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gayaberat merupakan salah satu metode dalam geofisika. Nilai Gayaberat di setiap tempat di permukaan bumi berbeda-beda, disebabkan oleh beberapa faktor seperti

Lebih terperinci